Tidak Lagi Menjadi "Pakar" Sangat Membebaskan

21 Januari 2022

Oleh Saudari Zhang Wei, Tiongkok

Dahulu aku bekerja di rumah sakit sebagai wakil kepala ahli ortopedi. Aku mengerahkan segalanya selama empat dekade dan mengumpulkan cukup banyak pengalaman klinis. Aku sangat dihormati karena keahlian medisku oleh pasien dan rekan kerja, dan aku dipandang dan dihormati ke mana pun aku pergi. Aku merasa seperti sesuatu yang istimewa, lebih baik daripada yang lain. Setelah menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, aku melihat beberapa saudara-saudari yang melayani sebagai pemimpin dan diaken di gereja akan berbagi persekutuan dan membantu menyelesaikan masalah dalam pertemuan, dan ada pula yang menulis artikel atau memproduksi video. Aku sangat iri pada mereka dan merasa bahwa mereka pasti dikagumi atas tugas yang mereka lakukan. Aku meremehkan tugas seperti menjadi tuan rumah atau menangani urusan umum, berpikir bahwa ini sederhana dan tanpa nama. Aku berpikir, "Aku tidak akan pernah melakukan tugas seperti itu. Aku memiliki status sosial dan pendidikan yang bagus. Jika aku harus melakukan tugas, haruslah sesuatu yang sesuai untuk statusku."

Setelah Tahun Baru Imlek 2020, seorang pemimpin gereja mencariku dan berkata, "Ada beberapa saudari yang bertugas menulis yang tidak memiliki tempat tinggal yang aman. Kau tidak dikenal secara luas sebagai orang percaya, jadi rumahmu seharusnya relatif aman. Bisakah kau menampung mereka?" Aku berpikir, "Aku senang melakukan tugas, tetapi seorang wakil kepala dokter berpangkat tinggi sepertiku, seorang profesional, bertindak sebagai tuan rumah, bekerja keras di atas kompor panas, berlarian di sekitar meja—bukankah pada dasarnya aku seperti pengasuh?" Aku merasa agak tersingkir. Bukankah tugas lain lebih bermartabat daripada menjadi tuan rumah? Apa pun itu, aku pikir aku harus mendapat tugas dengan sedikit status, atau tugas yang membutuhkan keterampilan. Jika tidak, aku merasa seperti sedang direndahkan! Bukankah menjadi tuan rumah menyia-nyiakan bakatku? Jika teman dan keluargaku tahu bahwa aku telah melepaskan posisi luar biasaku sebagai ahli hanya untuk tinggal di rumah dan memasak untuk orang lain, bukankah mereka akan mati tertawa? Makin aku memikirkannya makin aku merasa sedih. Pemikiranku adalah bahwa itu kebutuhan mendesak bagi gereja, jadi meskipun bukan itu yang benar-benar kuinginkan, aku tidak bisa menolak pada saat kritis seperti itu—itu akan kurang manusiawi. Kemudian terpikir olehku bahwa tingkat pertumbuhanku masih kurang dan tidak mengerti banyak kebenaran, jadi dengan banyak berinteraksi dengan saudara-saudari dalam tugas menulis, aku bisa belajar dari mereka, dan aku mungkin akan dipindahkan untuk bekerja dengan mereka. Aku anggap tugas tuan rumah akan bersifat sementara. Juga, dalam situasi pandemi yang begitu parah, rumah sakit adalah tempat terburuk, dan aku tidak ingin bekerja lagi. Jadi, aku mengundurkan diri dan siap menerima tugas tuan rumah.

Aku selalu sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak pernah memasak terlalu banyak. Aku sungguh-sungguh belajar memasak agar para saudari dapat menikmati makanan yang enak. Namun, begitu membuatnya, aku tidak pernah ingin membawanya ke meja. Aku merasa itu adalah tugas pelayan. Ketika aku makan di rumah sakit, selalu ada seseorang yang membawakanku sesuatu yang sudah jadi, dan rekan-rekan akan berdiri dan berbicara denganku di lingkungan mana pun aku berada. Aku sangat dihormati ke mana pun aku pergi. Namun sekarang, aku harus mengenakan celemek dan memakai pakaian bernoda minyak hari demi hari dan menghabiskan waktuku untuk menggosok panci dan wajan berminyak sementara para saudari itu mengenakan pakaian bagus dan bersih dan duduk di depan komputer. Aku merasa sangat terluka dan sedih. Itu membuatku berpikir: "Mereka yang menggunakan pikirannya akan menguasai mereka yang tidak," dan "Burung berbulu sama akan berkumpul bersama." Memasak dan menjadi tuan rumah adalah pekerjaan fisik, dan itu memiliki tingkat yang berbeda dari yang lain. Memikirkan hal ini membuatku makin kesal dan aku merasa terbebani, seolah-olah ada beban berat menekanku. Aku tidak ingin melakukan tugas itu dalam jangka panjang. Aku pikir, "Aku telah menulis makalah kedokteran dan dipuji di bidang ini. Tidak mungkin kemampuan menulisku kurang. Jika aku bisa menulis beberapa artikel kesaksian yang bagus, mungkin pemimpin akan melihat bakatku dan menempatkanku pada tugas itu. Dengan begitu mungkin aku akan bebas dari tugas menjadi tuan rumah ini?" Aku mulai bangun lebih awal dan begadang, mengerjakan artikel tentang pengalamanku. Para saudari membacanya dan berkata bahwa itu tidak buruk. Merasa senang, aku mengirimnya ke pemimpin, tetapi aku menunggu dan menunggu, tetapi masih tidak ditugaskan untuk menulis. Aku sangat kecewa, dan lambat laun kehilangan semangat untuk menulis artikel. Beberapa hari kemudian, aku mendengar bahwa gereja membutuhkan lebih banyak orang untuk produksi video, dan aku pikir, "Produksi video adalah tugas yang membutuhkan beberapa keterampilan. Sekarang aku punya kesempatan—jika makin mahir komputer, aku akan menjadi seorang yang berbakat, seseorang yang berketerampilan." Sekali lagi, aku mulai bangun pagi dan begadang untuk mempelajari beberapa keterampilan produksi video. Namun karena lebih tua, aku tidak bisa melakukan hal-hal secepat orang-orang muda. Aku tidak bisa mengikuti. Harapan itu pun pupus. Aku merasa benar-benar putus asa, sepertinya tugas yang lebih "berperingkat tinggi" tidak tersedia untukku, dan aku terjebak dengan pekerjaan semacam ini. Aku merasa seperti sedang dilecehkan. Aku tidak makan atau tidur nyenyak selama beberapa hari, dan aku terus lupa apa yang aku lakukan di tengah memasak. Aku tidak bisa fokus pada apa pun. Terkadang aku teriris saat mengiris sayuran, atau tanganku terbakar. Aku terus menjatuhkan piring dan peralatan ke lantai, membuat keributan yang mengerikan dan mengejutkan diriku sendiri. Setiap kali para saudari mendengar suara itu, mereka akan menghentikan apa pun yang mereka lakukan dan bergegas membantuku membersihkan. Aku merasa buruk, melihat bagaimana aku mengalihkan perhatian mereka dari tugas mereka. Dalam kesengsaraanku, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku sudah ditugaskan menjadi tuan rumah sekarang. Tampaknya sangat rendah bagiku. Aku merasa dirugikan, dan aku tidak bisa tunduk. Aku tidak tahu bagaimana menangani ini. Tolong bimbinglah aku."

Aku membaca ini dalam firman Tuhan setelah itu: "Apa pun tugasmu, jangan membedakan antara tugas yang tinggi dan rendah. Misalkan engkau berkata, 'Meskipun tugas ini adalah amanat dari Tuhan dan merupakan pekerjaan rumah Tuhan, jika aku melakukannya, orang-orang mungkin akan memandang rendah diriku. Orang lain dapat melakukan pekerjaan yang membuat mereka menonjol. Bagaimana bisa tugas yang diberikan kepadaku ini, yang tidak membuatku menonjol tetapi membuatku berupaya keras di balik layar, disebut sebuah tugas? Ini adalah tugas yang tidak bisa kuterima; ini bukan tugasku. Tugasku haruslah sebuah tugas yang membuatku menonjol di depan orang lain dan memungkinkanku untuk menjadi terkenal—dan bahkan jika aku tidak terkenal atau menonjol, aku harus tetap mendapatkan manfaat darinya dan merasa nyaman secara fisik.' Apakah ini sikap yang bisa diterima? Bersikap memilah-milah artinya tidak menerima apa yang berasal dari Tuhan; itu artinya membuat pilihan sesuai dengan pilihanmu sendiri. Ini artinya tidak menerima tugasmu; itu artinya penolakan terhadap tugasmu. Segera setelah engkau berusaha untuk memilah-milah, engkau tidak lagi memiliki penerimaan sejati. Sikap memilah-milah seperti itu telah dicemari dengan pilihan dan keinginan pribadimu; ketika engkau memikirkan keuntunganmu sendiri, reputasimu, dan sebagainya, sikapmu terhadap tugasmu bukanlah penundukan" ("Apa Arti Pelaksanaan Tugas yang Memadai?" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Bagian ini benar-benar menusuk hatiku. Firman Tuhan mengungkapkan keadaanku yang sebenarnya. Aku menganggap diriku sebagai ahli terkemuka dengan status, jadi aku seharusnya diutamakan dan dihormati ke mana pun aku pergi. Aku ingin memanfaatkan itu dan menonjol dari keramaian. Ketika aku ditugaskan sebagai tuan rumah, rasanya statusku direndahkan, seolah tidak adil. Namun, penghakiman dan wahyu dari firman Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa alasanku sangat meremehkan tugas tuan rumah adalah karena aku melihat tugasku di rumah Tuhan dari sudut pandang orang yang tidak percaya. Aku melihat tugas berdasarkan tinggi atau rendah, memeringkatnya. Jika bisa terkenal, aku senang melakukannya, tetapi aku merendahkan apa pun yang ada di belakang layar. Pandangan itu yang menahanku dari memenuhi tugasku sendiri, dan bahkan ingin menyerah. Aku tidak memikirkan sedikit pun kehendak Tuhan dalam tugasku, tetapi itu semua jelas untuk membuat diriku terlihat baik, untuk mengejar nama dan status. Tuhan mengangkatku dengan mengizinkanku untuk melakukan tugas makhluk ciptaan, dan itu adalah tugas-Nya untukku, tetapi aku memilah dan memilih berdasarkan preferensi pribadi. Itu benar-benar tidak masuk akal. Aku merasa sangat berhutang budi kepada Tuhan ketika menyadari hal ini, dan aku diam-diam memutuskan untuk sepenuh hati melakukan tugasku dengan baik.

Setelah itu, aku sengaja makan dan minum firman Tuhan dan berdoa tentang keadaanku, dan dapat menjadi tuan rumah tanpa ragu. Namun apa yang terjadi selanjutnya membuatku terkejut lagi. Seorang saudari yang aku layani terpilih sebagai pemimpin gereja, dan aku merasa sangat iri padanya. Aku pikir, "Aku bisa melihat betapa berharganya seseorang yang bertugas menulis. Mereka benar-benar dapat menjadi terkenal, dan bahkan bisa menjadi pemimpin jika mereka melakukannya dengan baik. Namun, masa depan seperti apa yang dimiliki seseorang yang bertugas sebagai tuan rumah? Aku selalu memakai celemek, terus-menerus berlumuran minyak dan berbau asap, dan setiap kali aku keluar untuk membeli makanan, aku takut melihat seseorang yang aku kenal dan ditanya mengapa aku tidak menggunakan keterampilan medisku. Aku hanya menundukkan kepalaku dan mencoba menyelinap, terus mendekat pada dinding. Aku tidak bisa bernapas lega sampai aku kembali ke rumah. Aku biasa menempatkan diriku di depan dan di tengah ke mana pun aku pergi, dan aku sering berada di atas panggung, menyampaikan kuliah. Semua orang akan berusaha menjabat tanganku. Namun sekarang aku tidak ingin ada yang melihatku. Untuk membeli sayuran saja aku harus menyelinap." Aku makin kesal dan tidak bisa menghilangkan posisiku di dunia dari pikiranku. Aku merasa sangat bernostalgia dengan sebutan "ahli", "direktur", dan "profesor". Mau tak mau aku mengenang tentang kekaguman dari pemimpin, pujian dari rekan kerja, dan iring-iringan dari pasien. Itu terasa seperti cara hidup yang istimewa. Aku merasa seperti burung phoenix yang telah berubah menjadi ayam dan bertanya-tanya kapan aku akan selesai dengan tugas itu. Aku tidak bisa menahan perasaan iri, dan meskipun melihat para saudari menikmati makanan mereka, aku tidak bisa mendapatkan apa-apa. Berat badanku sedikit berkurang. Dan kemudian, direktur rumah sakit memanggilku tiba-tiba, mengatakan pandemi telah dikendalikan, dan bertanya apakah aku ingin kembali bekerja. Aku bekerja lagi, berpikir akan menyenangkan untuk bekerja lagi, untuk sekali lagi menjalani kehidupan prestise itu dan mengenakan jubah "ahli". Namun, aku tahu bahwa tugas menjadi tuan rumah itu penting, dan bahwa aku perlu memperhatikan keselamatan para saudari. Jika kembali bekerja, aku tidak akan bisa menjamu mereka lagi. Aku segera berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Aku tidak pernah bisa benar-benar tunduk pada tugas tuan rumah ini. Aku benar-benar tidak bisa melepaskan masa lalu. Tolong bimbing aku untuk mengenal diriku sendiri dan bantu aku tunduk."

Dalam pencarianku, aku menemukan ini dalam firman Tuhan: "Renungkanlah bagaimana engkau seharusnya memandang nilai sosial, status sosial, atau asal-usul keluarga seseorang. Sikap apakah yang paling tepat untuk kaumiliki? Pertama-tama, orang harus mencari dalam firman Tuhan untuk melihat bagaimana Tuhan memperlakukan masalah ini. Hanya dengan cara inilah orang dapat mencapai pemahaman akan kebenaran, dan hanya dengan cara demikianlah seseorang dapat menghindarkan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran. Lalu, bagaimana Tuhan memandang asal-usul keluarga, status sosial, dan tingkat pendidikan atau kekayaan yang diperoleh seseorang di masyarakat? Jika engkau tidak menggunakan firman Tuhan sebagai dasar untuk segala sesuatu, dan tidak dapat berdiri di pihak-Nya untuk menerima apa pun dari-Nya, maka pasti akan ada kesenjangan di antara pandanganmu tentang berbagai hal dengan maksud-maksud Tuhan. Jika jaraknya tidak besar dan penyimpangannya kecil, hal itu tidak akan menjadi masalah, tetapi jika hal-hal itu sepenuhnya bertentangan dengan maksud Tuhan, maka hal-hal tersebut tidak selaras dengan kebenaran. Dari sudut pandang Tuhan, Dia-lah penentu keputusan tentang seberapa banyak yang Dia berikan kepada seseorang, dan posisimu dalam masyarakat ditentukan oleh-Nya, bukan oleh manusia. Jika Dia telah menempatkan seseorang dalam kemiskinan, apakah itu berarti orang tersebut tidak memiliki harapan untuk diselamatkan? Jika mereka memiliki nilai sosial atau status sosial yang rendah, apakah Tuhan tidak akan menyelamatkan mereka? Jika status sosial mereka rendah, mungkinkah karena mereka kurang dihargai oleh Tuhan? Belum tentu. Lalu apa sebenarnya hal yang penting? Yang penting adalah jalan yang orang ini tempuh, pengejaran mereka, dan sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan. Jika seseorang memiliki status sosial yang sangat rendah dan miskin serta kurang berpendidikan, tetapi dia sangat pragmatis dan realistis dalam imannya kepada Tuhan, mencintai kebenaran dan menyukai hal-hal yang positif, maka bagi Tuhan, apakah orang tersebut bernilai rendah atau tinggi? Apakah mereka mulia atau hina? Mereka sangat berharga. Jadi, melihat dari sudut pandang ini, apa yang menentukan nilai atau keluhuran seseorang? Hal itu tergantung pada bagaimana Tuhan memandangmu. Jika Dia memandangmu sebagai orang yang bernilai dan berharga, maka engkau akan menjadi bejana yang dipakai untuk maksud yang mulia, terbuat dari emas atau perak. Namun, jika Tuhan menganggapmu tidak berharga dan hina, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan, status sosial, atau status etnismu, engkau tetap tidak akan berstatus tinggi. Sekalipun banyak orang menyokong, memuji, dan mengagumimu, engkau akan tetap menjadi orang yang hina. Lalu, mengapa orang yang 'mulia' dengan status sosial yang tinggi—orang yang dipuji dan dikagumi oleh banyak orang, dan yang memiliki martabat yang tinggi—dianggap oleh Tuhan sebagai orang yang hina? Apakah karena Tuhan sama sekali bertentangan dengan manusia? Sama sekali tidak. Tuhan memiliki standar evaluasi-Nya sendiri, dan standar evaluasi-Nya adalah kebenaran" ("Mereka Jahat, Berbahaya, dan Curang (Bagian Satu)" dalam "Menyingkapkan Antikristus"). Firman Tuhan mencerahkan bagiku. Akar penderitaanku bukanlah melihat sesuatu dari sudut pandang kebenaran firman Tuhan, tetapi masih menggunakan perspektif Iblis tentang peringkat, status tinggi atau rendah untuk menilai tugasku. Aku selalu menggunakan status sosial, nama, pendidikan, dan prestasi profesional sebagai barometerku untuk sukses. Dikendalikan oleh perspektif semacam ini, aku melihat diriku sebagai orang yang sangat tinggi dan terhormat, berpikir bahwa aku adalah seseorang dengan keahlian yang memiliki status dan posisi yang bagus, seseorang yang istimewa dan pada anak tangga yang lebih tinggi. Aku berpegang pada pandangan ini setelah mendapatkan imanku, memandang tinggi tugas-tugas seperti pemimpin dan pekerja dan mereka yang membutuhkan lebih banyak keterampilan, sambil meremehkan tugas-tugas tidak terampil seperti menjadi tuan rumah atau menangani urusan umum. Aku pikir semua itu berada di anak tangga yang lebih rendah dan tidak cocok untuk orang sepertiku. Aku ingin menikmati prestise yang aku nikmati sebelumnya. Karena pandanganku tentang peringkat itulah aku terkena tipu daya, dibiarkan tidak bisa makan atau tidur dan kehilangan berat badan dalam kesusahanku. Sangat menyakitkan. Namun, disingkap dan dihakimi oleh firman Tuhan, aku melihat watak benar Tuhan. Dia tidak peduli seberapa tinggi atau rendah status seseorang, atau tentang kelebihan atau derajat mereka. Dia peduli apakah mereka mengejar kebenaran; Dia peduli jalan apa yang mereka tempuh. Tidak peduli seberapa tinggi posisi, derajat atau reputasi apa yang dimiliki seseorang, tanpa kebenaran, mereka rendah di mata Tuhan. Siapa pun yang mengejar dan memperoleh kebenaran akan dihargai dan diberkati oleh Tuhan, dengan atau tanpa status. Aku telah belajar, tidak peduli berapa banyak orang yang memujiku dan seberapa tinggi pangkatku, jika aku tidak bisa tunduk kepada Tuhan dan melakukan tugas makhluk ciptaan, aku benar-benar tidak berharga.

Aku memikirkannya lagi kemudian. Mengapa aku tahu perspektifku salah, tetapi aku tetap tidak bisa tidak mengejar tugas yang lebih bergengsi? Aku melihat bagian dari firman Tuhan ketika merenungkan hal ini. "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasat mata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis" ("Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Apa yang diungkapkan oleh firman Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa Iblis menyakitiku dan membatasiku dengan nama dan keuntungan, membuatku benar-benar terpenjara. Aku telah ditanamkan oleh orang tuaku, dididik di sekolah, dan dipengaruhi oleh masyarakat sejak aku masih kecil. Filosofi dan kekeliruan Iblis telah meresap jauh ke dalam sumsum tulangku. Hal-hal seperti "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah," "Manusia mati meninggalkan nama," "Mereka yang menggunakan pikirannya akan menguasai mereka yang tidak," racun ini telah mengakar kuat di hatiku jauh sebelumnya. Mengapa aku selalu mengenang kehormatan saat disebut sebagai "ahli", "dokter terkenal", dan "direktur", selalu ingin memanfaatkan ini, berpikir bahwa aku menonjol dan lebih unggul daripada yang lain? Karena aku telah mengambil nama dan status sebagai hal yang benar untuk dikejar dalam hidup dan merasa bahwa dengan memilikinya, aku dapat memperoleh kekaguman dan dukungan orang lain. Jadi, baik itu di sekolah, di masyarakat, atau di rumah Tuhan, aku memprioritaskan pangkat dan status, dan bekerja keras untuk mengembangkan keahlian, berharap bahwa aku akan naik ke puncak kelompok apa pun yang aku ikuti. Aku merasa itulah satu-satunya jenis kehidupan di mana aku dapat menyadari nilai sejatiku. Ketika aku tidak bisa mendapatkannya, masa depan tampak suram bagiku dan aku sangat menderita. Belenggu nama dan status benar-benar mengendalikanku, membuatku menyimpang dari Tuhan dan mengkhianati-Nya terlepas dari diriku sendiri. Hal lain yang aku pelajari adalah bahwa tugas menjadi tuan rumah sepertinya tidak besar, tetapi kondisi itulah yang memungkinkanku untuk mengenali perspektifku yang salah tentang pengejaran, mulai mengejar kebenaran saat melakukan tugasku, dan dibebaskan dari ikatan nama dan keuntungan. Setelah memahami niat baik Tuhan, aku mengucapkan syukur yang tulus kepada-Nya, dan merasa sangat menyesal dan bersalah. Aku berlutut di hadapan Tuhan dan berdoa: "Ya Tuhan, terima kasih telah menyiapkan kondisi untuk menyingkap watakku yang rusak dan menyelamatkanku dari pengejaranku yang salah. Aku ingin bertobat dan berhenti mengejar nama dan status. Aku ingin tunduk dan melakukan tugas tuan rumahku dengan baik untuk menyenangkan-Mu." Aku menolak tawaran rumah sakit.

Aku membaca beberapa bagian lagi dari firman Tuhan setelah itu. "Orang macam apa yang Tuhan inginkan? Apakah Dia menginginkan orang yang hebat, selebriti, bangsawan, atau orang yang mengguncangkan dunia? (Tidak.) Jadi, orang macam apa yang Tuhan inginkan? Dia menginginkan orang yang rendah hati yang berusaha menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang memenuhi syarat, yang dapat memenuhi tugas makhluk ciptaan, dan yang dapat memenuhi standar sebagai manusia" ("Hanya Mencari Kebenaran dan Mengandalkan Tuhan yang Dapat Mengatasi Watak yang Rusak" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). "Pada akhirnya, apakah orang dapat memperoleh keselamatan atau tidak bukanlah tergantung pada tugas apa yang mereka penuhi, tetapi pada apakah mereka telah memahami dan memperoleh kebenaran, dan apakah mereka mampu tunduk atau tidak pada pengaturan Tuhan dan menjadi makhluk ciptaan yang sejati. Tuhan itu benar, dan dengan prinsip inilah Dia menilai seluruh umat manusia. Prinsip ini tidak dapat diubah, dan engkau harus mengingat ini. Jangan berpikir tentang mencari jalan lain, atau mengejar hal yang tidak nyata. Standar-standar yang Dia tuntut dari semua orang yang memperoleh keselamatan selamanya tidak berubah; standar-standar ini tetap sama, siapa pun dirimu" ("Sikap yang Seharusnya Dimiliki Manusia terhadap Tuhan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Aku melihat bahwa Tuhan tidak menginginkan orang yang sombong, tetapi Dia menginginkan orang-orang yang berwawasan baik yang dapat melakukan tugas makhluk ciptaan. Aku memiliki status di dunia, tetapi pemahamanku tentang kebenaran dangkal. Tugas kepemimpinan dan penulisan keduanya menyangkut kebenaran, sehingga tidak bisa dilakukan oleh seseorang hanya karena memiliki status dan pengetahuan. Aku harus masuk akal dan melakukan apa yang aku mampu. Aku kebetulan memiliki rumah yang berfungsi baik untuk menjamu, jadi aku hanya harus melayani sebagai tuan rumah dan mengejar kebenaran. Itu satu-satunya hal yang masuk akal. Untuk tugas yang berbeda, satu-satunya perbedaan nyata adalah nama dan fungsinya. Identitas dan esensi seseorang sebagai makhluk tidak berubah. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri, mengira aku sangat terkenal. Aku selalu menganggap diriku sebagai seorang ahli, dokter terkenal, seolah-olah aku entah bagaimana di atas orang lain. Aku pikir menjadi tuan rumah adalah tugas yang rendah dan menginginkan tugas yang lebih menonjol. Rumput tetangga selalu lebih hijau—aku tidak bisa hanya menundukkan kepala dan melakukan tugasku. Aku bahkan berperang melawan Tuhan di dalam hatiku, dengan congkak tidak memiliki nalar sama sekali. Aku juga memikirkan Ayub. Dia memiliki status yang luar biasa di antara orang-orang di Timur, tetapi dia tidak pernah memikirkan statusnya atau peduli dengan kemuliaan yang diberikan kepadanya. Dengan atau tanpa status, dia meninggikan Tuhan. Ayub bersikap masuk akal. Itulah sebabnya Tuhan memuji Ayub sebagai makhluk ciptaan yang memenuhi standar-Nya. Aku sama sekali bukan tandingan Ayub, tetapi aku ingin mengikuti teladannya, untuk melepaskan hal-hal itu dan mencoba untuk memenuhi standar Tuhan. Setelah aku berhenti melakukannya, pola pikirku juga berubah. Aku melihat bahwa setiap tugas adalah penting dan esensial. Tanpa orang untuk bertindak sebagai tuan rumah, saudara-saudari tidak akan memiliki tempat yang baik untuk melakukan tugas mereka dengan aman. Sejak saat itu, aku mulai membuat upaya sadar untuk meninggalkan diriku sendiri, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuat makanan enak dan menjaga keselamatan para saudari sehingga mereka dapat melakukan tugas mereka dengan tenang. Seiring waktu, aku tidak lagi merasa ada perbedaan status di antara kami, dan aku akan menyenandungkan lagu pujian saat memasak, dan makin dekat dengan Tuhan. Setelah menyelesaikan semuanya, aku membaca firman Tuhan, menenangkan hatiku dan mempertimbangkan semua pekerjaan yang telah dilakukan Tuhan di dalam diriku, dan apa yang telah aku peroleh, kemudian mengerjakan beberapa artikel kesaksian. Setiap hari terasa sangat memuaskan. Rasanya seperti cara hidup yang damai, dan sangat membebaskan.

Selanjutnya: Aku Teguh di Jalan Ini

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Setelah Pengusiran Ayahku

Oleh Saudari Isabella, PrancisBeberapa tahun yang lalu, aku sedang melaksanakan tugasku jauh dari rumah saat tiba-tiba mendengar kabar...

Belajar dari Kritik

Oleh Saudari Song Yu, Belanda Pada Mei tahun ini, seorang saudari melapor kepadaku bahwa Saudari Lu berkata kepadanya setidaknya tiga...