Iman yang Tak Terhancurkan

15 Oktober 2019

Oleh Saudara Meng Yong, Tiongkok

Pada Desember 2012, beberapa saudara-saudari dan aku naik mobil menuju suatu tempat untuk mengabarkan Injil, dan ternyata kami dilaporkan oleh orang-orang jahat. Tidak lama kemudian, pemerintah daerah mengerahkan petugas dari Bareskrim, petugas dari keamanan nasional, skuad antinarkoba, polisi bersenjata, dan kantor polisi setempat, untuk datang dengan lebih dari 10 mobil polisi guna menangkap kami. Ketika seorang saudara dan aku baru saja hendak melarikan diri dengan mobil, empat polisi dengan cepat menghadang dan menghentikan mobil kami. Salah seorang dari mereka merebut kunci mobil dan memerintahkan kami untuk tetap duduk di mobil dan tidak bergerak. Pada waktu itu, aku melihat tujuh atau delapan polisi yang menggenggam pentungan sedang memukuli seorang saudara lain dengan penuh kemarahan, dan bahwa saudara itu sudah dipukuli sampai pada titik di mana dia tidak mampu bergerak. Aku tidak dapat menahan amarah yang memang sudah selayaknya kurasakan dan bergegas keluar dari mobil, berusaha menghentikan kekerasan mereka, tetapi polisi-polisi menahanku. Kemudian, mereka membawa kami ke kantor polisi, dan mobil kami juga ditahan.

Setelah jam sembilan malam itu, dua polisi reskrim datang untuk menginterogasiku. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak dapat mengorek informasi berguna apa pun dariku, mereka menjadi bingung dan jengkel luar biasa, menggertakkan gigi mereka dengan marah sementara mereka memaki: "Sialan, kami akan mengurusmu nanti!" Kemudian, mereka mengunciku di ruang tunggu interogasi. Pada pukul 11:30 malam, mereka membawaku ke dalam sebuah ruangan tanpa kamera pengawas. Aku punya perasaan bahwa mereka akan menggunakan kekerasan terhadapku, maka aku mulai berdoa kepada Tuhan berulang-ulang dalam hatiku, memohon kepada Tuhan untuk melindungiku. Pada waktu ini, seorang petugas polisi bermarga Jia datang untuk menginterogasiku: "Apakah engkau naik Volkswagen Jetta beberapa hari terakhir ini?" Aku menjawab tidak, dan dia berteriak dengan nada marah: "Orang lain telah melihatmu, dan engkau masih mengingkarinya?" Setelah mengatakan itu, dia menampar wajahku dengan sangat keras. Satu-satunya yang kurasakan adalah rasa sakit yang membara di pipiku. Kemudian, dia menggeram dengan keras: "Ayo kita lihat seberapa kuatnya dirimu!" Dia mengambil seutas sabuk lebar sementara berbicara dan terus mencambuki wajahku, aku tidak tahu berapa kali dia mencambukiku, tetapi aku tidak bisa tidak menjerit kesakitan berkali-kali. Melihat hal ini, mereka mengikatkan sabuk itu di mulutku. Beberapa polisi kemudian menutupi tubuhku dengan selembar selimut katun sebelum memukuliku tanpa ampun dengan pentung mereka, dan hanya berhenti ketika mereka menjadi terlalu lelah sampai terengah-engah. Aku telah dipukuli begitu rupa sehingga kepalaku terasa berputar-putar dan tubuhku kesakitan seakan-akan semua tulangku hancur lebur. Pada waktu itu, aku tidak tahu mengapa mereka memukuliku dengan cara demikian, tetapi kemudian aku mengetahui bahwa mereka membungkusku dengan selembar selimut agar pukulan mereka tidak membekas di tubuhku. Mereka menempatkanku di sebuah ruangan tanpa pengawasan, menyumbat mulutku, dan membungkusku dengan selembar selimut—semuanya itu karena mereka takut bahwa perbuatan-perbuatan keji mereka akan terpapar. Polisi Partai Komunis Tiongkok sangat licik dan ganas! Ketika mereka berempat lelah memukuliku, mereka beralih ke metode lain untuk menyiksaku: dua polisi memelintir salah satu tanganku ke belakang dan dengan paksa menyentakkannya ke atas, sementara dua polisi yang lain mengangkat tanganku yang lain ke atas bahu sampai punggung dan menariknya keras-keras ke bawah. (Mereka menyebut jenis metode siksaan ini "Menyandang Sebilah Pedang di Punggung", yang orang biasa tidak akan sanggup menahannya.) Namun, kedua tanganku tidak dapat ditarik bersama-sama betapa pun kerasnya mereka berusaha sehingga mereka menumpukan lutut dengan keras ke tanganku. Aku hanya bisa mendengar suara "klik", dan kedua tanganku terasa seperti copot. Rasanya sakit sekali sampai aku hampir pingsan. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk kehilangan sensasi di kedua tanganku. Hal ini masih belum membuat mereka menyerah, maka mereka memerintahkanku untuk jongkok di lantai untuk menambah penderitaanku. Aku sangat kesakitan sampai dari seluruh tubuhku keluar keringat dingin, kepalaku berdenging, dan kesadaranku mulai bertambah kabur. Aku berpikir: "Selama bertahun-tahun dalam hidupku, aku tidak pernah merasa tidak mampu mengontrol kesadaranku sendiri. Apakah aku akan mati?" Kemudian, aku benar-benar tidak dapat menanggungnya lagi sehingga aku berpikir bahwa kematian adalah suatu kelegaan. Pada saat itu, firman Tuhan memberiku pencerahan dari dalam batin: "Sekarang ini, sebagian besar orang tidak memiliki pengetahuan itu. Mereka percaya bahwa penderitaan tidak ada nilainya, ... Penderitaan sebagian orang mencapai titik ekstrem, dan pikiran mereka mengarah kepada kematian. Ini bukanlah kasih kepada Tuhan yang sejati; orang-orang seperti itu adalah pengecut, mereka tidak memiliki ketekunan, mereka lemah dan tidak berdaya!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Firman Tuhan membuatku tiba-tiba terbangun dan menyadari bahwa cara berpikirku tidak sejalan dengan kehendak Tuhan dan hanya akan membuat Tuhan sedih dan kecewa. Sebab di tengah rasa sakit dan kesusahan ini, yang Tuhan inginkan bukanlah diriku yang mendambakan kematian, tetapi bahwa aku dapat bergantung pada bimbingan Tuhan untuk melawan Iblis, untuk bersaksi bagi Tuhan, serta untuk membuat Iblis malu dan kalah. Mendambakan kematian sama saja dengan jatuh persis ke dalam rancangan jahat Iblis, dan hal itu tidak dapat dianggap sebagai bersaksi bagi Tuhan, tetapi alih-alih menjadi tanda yang memalukan. Setelah memahami maksud Tuhan, aku berdoa kepada Tuhan dengan diam-diam: "Ya, Tuhan! Realitas telah menunjukkan bahwa naturku terlalu lemah. Aku tidak memiliki kehendak dan keberanian untuk menderita bagi-Mu dan ingin mati karena sedikit penderitaan fisik. Kini, aku tidak ingin melarikan diri darinya dan aku harus bersaksi serta memuaskan-Mu tidak peduli berapa banyak penderitaan yang harus kutanggung. Namun, saat ini, tubuhku luar biasa sakit dan lemah, dan aku tahu sangatlah sulit untuk mengatasi siksaan dari iblis-iblis ini dengan kekuatanku sendiri. Tolong karuniai aku keyakinan dan kekuatan yang lebih sehingga aku dapat mengandalkan-Mu untuk mengalahkan Iblis. Aku bersumpah demi hidupku bahwa aku tidak akan mengkhianati-Mu atau saudara-saudariku." Setelah aku berdoa berulang kali kepada Tuhan, hatiku perlahan-lahan menjadi tenang. Polisi yang jahat itu melihat bahwa aku nyaris tidak bernapas dan takut bahwa mereka harus memikul tanggung jawab sekiranya aku mati, jadi mereka melepaskan borgolku. Namun, tanganku sudah menjadi kaku, dan borgol itu demikian ketat sampai sulit untuk dilepaskan. Keempat polisi jahat tersebut perlu beberapa menit untuk melepaskan borgolku sebelum menyeretku kembali ke ruang tunggu interogasi.

Keesokan siangnya, polisi secara semena-mena menyematkan tanda "pelaku kejahatan" padaku dan membawaku kembali ke rumahku untuk menggeledahnya, dan kemudian mengirimku ke sebuah rumah tahanan. Segera setelah aku masuk ke rumah tahanan itu, empat petugas lapas menyita jaket berbantalan katun, celana panjang, sepatu bot, dan jam tanganku, juga 1.300 yuan uang tunai yang ada padaku. Mereka memerintahkan aku untuk berganti mengenakan seragam standar penjara mereka dan memaksaku untuk merogoh 200 yuan demi membeli selembar selimut dari mereka. Setelah itu, petugas lapas mengurungku bersama dengan para perampok, pembunuh, pemerkosa, dan penyelundup narkoba. Ketika aku masuk ke selku, aku melihat dua belas tahanan berkepala plontos yang mengawasiku dengan tatapan memusuhi. Suasananya suram dan mengerikan, dan aku merasa nyaliku tiba-tiba menciut. Dua kepala sel itu mendatangiku dan bertanya: "Mengapa engkau masuk ke sini?" Aku menjawab: "Mengabarkan Injil." Tanpa berkata-kata lagi, salah seorang dari mereka menampar wajahku dua kali, dan berkata: "Engkau sok religius, begitu?" Para tahanan yang lain mulai tertawa dengan terbahak-bahak dan mengejekku dengan mengatakan: "Mengapa engkau tak meminta Tuhanmu menyelamatkanmu dari sini?" Di tengah-tengah ejekan dan olok-olok itu, sang kepala sel menampar wajahku beberapa kali lagi. Sejak saat itu, mereka menjulukiku "si sok religius" dan sering kali menghina dan mengejekku. Kepala sel yang lain melihat alas kaki yang kukenakan dan dengan arogan berteriak: "Engkau sama sekali tidak tahu diri. Apakah engkau layak mengenakan sepatu itu? Lepaskan." Setelah dia mengatakan ini, dia memaksaku untuk melepaskan sepatuku dan menggantinya dengan sandal mereka yang sudah usang. Dia juga memberikan selimutku kepada para tahanan yang lain. Para tahanan itu saling berebut selimutku, dan pada akhirnya menyisakan bagiku selembar selimut tua yang tipis, sobek, kotor, dan berbau. Karena dihasut oleh para petugas lapas, para tahanan ini menjadikanku sasaran segala macam penderitaan dan siksaan. Lampu selalu dinyalakan di sel pada waktu malam, tetapi seorang kepala sel mengatakan kepadaku dengan seringai jahat: "Matikan lampu bagiku." Ketika aku tidak dapat melakukannya (bahkan tidak ada saklar di sana), mereka mulai menertawakan dan mengejekku lagi. Keesokan harinya, beberapa tahanan remaja memaksaku untuk berdiri di sudut dan menghafal aturan penjara, sembari mengancam: "Engkau akan dihajar jika engkau tidak dapat menghafalnya dalam dua hari!" Aku tidak dapat menahan rasa ngeri, dan semakin aku berpikir mengenai apa yang telah kulalui dalam beberapa hari terakhir, semakin takut aku jadinya. Jadi, aku terus berseru kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk melindungiku supaya aku dapat mengatasinya. Saat itu, aku berpikir tentang sebuah lagu pujian firman Tuhan: "Ketika ujian datang, engkau tetap dapat mengasihi Tuhan; Jika engkau masih bisa mengasihi Tuhan terlepas dari apakah engkau dipenjara atau sakit, apakah orang lain mengejek atau memfitnahmu, atau apakah kau mengalami jalan buntu, itu berarti hatimu telah berbalik kepada Tuhan" ("Sudahkan Hatimu Berbalik kepada Tuhan?" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru"). Firman Tuhan memberiku kuasa dan menunjukkan sebuah jalan untuk kulakukan—berusaha untuk mengasihi Tuhan dan mengarahkan hatiku kepada Tuhan! Pada saat itulah, tiba-tiba menjadi sangat gamblang di hatiku: Tuhan mengizinkan penderitaan ini menimpaku bukan untuk menyiksaku atau secara sengaja membuatku menderita, tetapi untuk melatihku mengarahkan hati kepada Tuhan dalam lingkungan semacam itu sehingga aku dapat melawan kendali pengaruh gelap Iblis dan sehingga hatiku dapat tetap dekat dengan Tuhan dan mengasihi Tuhan, tidak mengeluh, senantiasa menerima dan menaati pengaturan dan penetapan Tuhan. Dengan pemahaman ini di benakku, aku tidak lagi takut. Tidak peduli bagaimana polisi dan tahanan memperlakukanku, satu-satunya yang perlu kupedulikan adalah memberikan diriku sendiri kepada Tuhan; aku tidak akan pernah menyerah kepada Iblis.

Kehidupan di penjara tak ada bedanya dengan neraka di bumi. Para tahanan dihasut oleh para penjaga penjara untuk menggunakan berbagai cara untuk menyiksaku: ketika aku sedang tidur di malam hari, mereka akan menghimpitku sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa membalikkan badan, dan mereka membuatku tidur persis di samping toilet. Setelah ditangkap, aku tidak tidur selama beberapa hari dan menjadi sangat mengantuk sehingga aku tidak tahan lagi dan jatuh tertidur. Para tahanan yang tengah bertugas jaga datang untuk menggangguku, dengan sengaja mengetuk-ngetuk kepalaku sampai aku bangun sebelum mereka beranjak. Ada seorang tahanan yang dengan sengaja membangunkan aku dan mencoba mengambil kaos lengan panjangku. Setelah sarapan keesokan harinya, kepala sel memintaku menggosok lantai setiap hari. Hari-hari ini adalah hari paling dingin di tahun itu dan tidak ada air panas, maka aku hanya bisa menggunakan air dingin untuk membasahi kain pembersihnya. Kemudian, beberapa tahanan perampok menyuruhku untuk menghafal aturan penjara. Jika aku tidak dapat menghafalnya, mereka akan memukuli dan menendangiku; mendapat tamparan di wajah bahkan lebih lazim lagi. Menghadapi lingkungan semacam itu, aku merasa sangat menderita. Pada waktu malam, aku menarik selimutku sampai menutupi kepalaku dan berdoa diam-diam: "Ya, Tuhan, Engkau mengizinkan lingkungan seperti ini menimpaku sehingga niat-Mu yang baik pasti terkandung di dalamnya. Tolong nyatakan niat-Mu kepadaku." Pada waktu itu, firman Tuhan memberiku pencerahan: "Aku mengagumi bunga bakung yang mekar di bukit; bunga dan rerumputan terbentang sepanjang lereng, tetapi bunga bakung menambah kilau kepada kemuliaan-Ku di bumi sebelum datangnya musim semi—bisakah manusia mencapai hal-hal semacam itu? Bisakah ia bersaksi bagi-Ku di bumi sebelum kedatangan-Ku? Bisakah ia mendedikasikan diri bagi nama-Ku di negara naga merah besar?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 34"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, aku berpikir: "Bunga dan rumput dan aku semua adalah ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan kita untuk menjadi perwujudan-Nya, untuk memuliakan-Nya. Bunga bakung mampu menambah kilau bagi kemuliaan Tuhan di bumi sebelum musim semi tiba, yang artinya mereka telah menggenapi tanggung jawab mereka sebagai sebuah ciptaan Tuhan. Tugasku hari ini adalah menaati pengaturan Tuhan serta menjadi saksi bagi Tuhan di hadapan Iblis. Sekarang, aku menjadi sasaran penganiayaan penghinaan karena imanku, tetapi ini adalah penderitaan demi kebenaran dan ini adalah sesuatu yang mulia. Semakin Iblis merendahkanku, semakin aku harus teguh berpihak pada Tuhan dan mengasihi Tuhan. Dengan demikian, Tuhan dapat memperoleh kemuliaan, dan aku akan menggenapi tugasku yang harus kugenapi. Selama Tuhan bahagia dan disenangkan, hatiku juga akan menerima penghiburan. Aku bersedia menanggung penderitaan terakhir untuk memuaskan Tuhan dan tunduk pada pengaturan Tuhan dalam segalanya." Ketika aku mulai berpikir demikian, hatiku merasa sangat tergerak, dan sekali lagi aku tidak mampu mengendalikan air mataku. Aku berdoa diam-diam kepada Tuhan: "Ya, Tuhan, Engkau benar-benar layak untuk dikasihi! Aku telah mengikuti-Mu selama bertahun-tahun, tetapi aku belum pernah merasakan kasih sayang-Mu yang lembut seperti yang kurasakan hari ini, atau merasa sedekat dengan-Mu seperti pada hari ini." Aku benar-benar lupa akan penderitaanku sendiri dan menjadi larut dalam perasaan terharu ini untuk waktu yang sangat amat lama ...

Suhu sangat rendah pada hari keenam di rumah tahanan. Karena polisi yang jahat telah menyita jaketku yang berisi kapas, aku hanya mengenakan kaos lengan panjang dan akhirnya terkena flu. Aku terserang demam tinggi dan tidak dapat berhenti batuk. Pada waktu malam, aku menyelimuti tubuhku dengan selimut yang usang, menahan siksaan dari penyakitku sembari berpikir tentang perlakuan buruk dan pelecehan yang tiada henti dari para tahanan lainnya. Aku merasa sangat sedih dan tak berdaya. Ketika kesengsaraanku menjadi tak tertahankan, aku teringat doa Petrus yang murni dan tulus di hadapan Tuhan: "Jika Engkau menimpakan penyakit dan merenggut kebebasanku, aku dapat terus hidup, tetapi seandainya hajaran dan penghakiman-Mu sampai meninggalkan aku, tidak ada cara lain bagiku untuk terus hidup. Tanpa hajaran dan penghakiman-Mu, aku akan kehilangan kasih-Mu. Kasih-Mu sangat dalam dan sulit bagiku untuk mengungkapkannya. Tanpa kasih-Mu, aku akan hidup di bawah wilayah kekuasaan Iblis dan tidak akan bisa melihat wajah-Mu yang mulia. Bagaimana aku bisa terus hidup?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Kata-kata ini memberiku iman dan kekuatan. Petrus tidak memikirkan penderitaan fisik. Apa yang dia hargai, apa yang benar-benar dia pedulikan adalah penghakiman dan hajaran Tuhan. Apa yang dia kejar adalah untuk mengalami penghakiman dan hajaran Tuhan sehingga dia bisa ditahirkan dan akhirnya mencapai ketaatan sampai mati, dan kasih tertinggi kepada Tuhan. Aku tahu bahwa aku harus melakukan pengejaran yang sama seperti Petrus, bahwa Tuhan telah mengizinkan aku untuk ditempatkan dalam situasi itu. Meskipun aku mengalami penderitaan fisik, itu adalah kasih Tuhan yang datang atasku. Tuhan ingin menyempurnakan iman dan tekadku dalam menghadapi penderitaan. Aku benar-benar tersentuh setelah memahami niat tulus Tuhan, dan aku membenci betapa lemahnya, betapa egoisnya aku. Aku merasa aku berhutang banyak kepada Tuhan karena tidak memperhatikan kehendak-Nya, dan aku bersumpah bahwa betapapun beratnya penderitaanku, aku akan menjadi kesaksian dan memuaskan Tuhan. Keesokan harinya, demam tinggiku secara ajaib mereda. Aku bersyukur kepada Tuhan di dalam hatiku.

Suatu malam, seorang pedagang datang ke jendela dan kepala sel membeli banyak daging babi, daging anjing, paha ayam, dan semacamnya. Pada akhirnya, dia menyuruhku untuk membayar. Aku mengatakan bahwa aku tidak punya uang, lalu dia berkata dengan jahat: "Jika engkau tidak punya uang, aku akan menyiksamu pelan-pelan!" Keesokan harinya, dia menyuruhku mencuci seprei, pakaian, dan kaos kaki. Para petugas lapas di rumah tahanan itu juga menyuruhku mencuci kaos kaki mereka. Di rumah tahanan, aku harus menanggung pukulan-pukulan mereka hampir setiap hari. Setiap kali aku tidak dapat menanggungnya lagi, aku akan memikirkan firman Tuhan: "Engkau harus melakukan tugas terakhirmu bagi Tuhan selama waktumu di bumi. Di masa lalu, Petrus disalibkan terbalik demi Tuhan; tetapi engkau harus memuaskan Tuhan pada akhirnya, dan menghabiskan seluruh tenagamu untuk kepentingan-Nya. Apa yang bisa dilakukan seorang makhluk ciptaan atas nama Tuhan? Karena itu, engkau harus menyerahkan dirimu kepada Tuhan, lebih cepat lebih baik, agar Dia memakaimu seperti yang Dia inginkan. Asalkan Tuhan bahagia dan senang, biarkan Dia melakukan apa yang Dia mau denganmu. Apa hak manusia untuk mengeluhkannya?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 41"). Firman Tuhan memberiku kuasa. Walaupun dari waktu ke waktu aku masih menjadi sasaran serangan, pelecehan, cercaan, dan pukulan para tahanan lain, dengan tuntunan firman Tuhan, hatiku terhibur dan aku tidak merasa sakit lagi.

Satu kali, seorang petugas lapas membawaku ke kantornya. Aku melihat lebih dari selusin orang yang memandangiku dengan tatapan aneh. Salah seorang dari mereka memegang sebuah kamera video di depanku agak ke kiri, sementara seorang yang lain berjalan ke arahku dengan mikrofon, bertanya: "Mengapa Anda percaya pada Tuhan Yang Mahakuasa?" Saat itulah aku menyadari bahwa ini adalah sebuah wawancara media sehingga aku menjawab dengan kerendahan hati sekaligus rasa bangga: "Sejak kecil, saya telah menjadi sasaran perundungan dan sikap dingin orang lain, dan saya telah melihat bagaimana orang saling menipu dan memanfaatkan satu sama lain. Saya merasa bahwa masyarakat ini terlalu gelap, terlalu berbahaya; orang menjalani kehidupan yang hampa dan menyedihkan, tanpa ada sesuatu yang dinantikan dan tanpa tujuan hidup. Kemudian, ketika seseorang mengabarkan Injil Tuhan Yang Mahakuasa kepada saya, saya mulai memercayainya. Setelah percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, saya merasa orang-orang percaya lainnya memperlakukan saya seperti keluarga. Tidak seorang pun di Gereja Tuhan Yang Mahakuasa merancang sesuatu yang jahat terhadap saya. Semua orang saling mengerti dan memperhatikan. Mereka menjaga satu sama lain, dan tidak takut mengatakan apa yang ada di benak mereka. Di dalam firman Tuhan Yang Mahakuasa, saya telah menemukan tujuan dan nilai kehidupan. Saya rasa percaya kepada Tuhan adalah hal yang cukup baik." Reporter itu kemudian bertanya: "Anda tahu mengapa Anda di sini sekarang?" Aku menjawab: "Sejak percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, saya melihat bahwa firman Tuhan dapat benar-benar menyelamatkan dan mantahirkan orang dan menuntun mereka untuk mengambil jalan yang benar dalam hidup. Karena itu, saya telah memutuskan untuk menceritakan kabar baik ini kepada orang lain, tetapi saya tidak pernah tahu bahwa perbuatan sebaik ini akan dilarang di Tiongkok. Dan, karena itu, saya ditangkap dan dibawa ke sini." Sang reporter melihat bahwa jawaban-jawabanku tidak menguntungkan bagi mereka sehingga dia segera menghentikan wawancara dan pergi. Pada waktu itu, wakil kepala Brigade Keamanan Nasional begitu marah hingga dia terus-menerus menghentak-hentakkan kakinya. Dia menatapku dengan penuh kemarahan, menggertakkan giginya dan berkata: "Tunggu dan lihat saja!" Namun, aku sama sekali tidak takut terhadap ancaman atau intimidasinya. Sebaliknya, aku merasa sangat terhormat karena telah mampu bersaksi bagi Tuhan dalam kesempatan seperti itu, dan terlebih lagi, aku memberikan kemuliaan kepada Tuhan demi meninggikan nama-Nya dan mengalahkan Iblis.

Di kemudian hari, polisi yang bertanggung jawab atas kasusku kembali menginterogasiku. Kali ini, dia tidak menggunakan siksaan untuk mencoba memaksaku mengaku, dan alih-alih berubah memakai wajah yang "baik hati" untuk menanyaiku: "Siapa pemimpinmu? Aku akan memberimu satu kesempatan lagi. Jika engkau memberi tahu kami, engkau akan baik-baik saja. Aku akan memberimu kelonggaran besar. Engkau sebenarnya tidak bersalah, tetapi orang lain mengkhianatimu. Jadi, mengapa engkau melindungi mereka? Engkau kelihatannya orang yang baik. Mengapa mau mengorbankan hidupmu bagi mereka? Jika engkau memberitahu kami, engkau boleh pulang. Untuk apa tinggal di sini dan menderita?" Orang munafik bermuka dua ini melihat bahwa cara yang keras tidak berhasil sehingga mereka memutuskan untuk mencoba pendekatan yang lembut. Mereka benar-benar penuh dengan tipu daya yang licik dan merupakan dedengkot akal bulus dan manuver! Wajah munafiknya mengisi hatiku dengan kebencian terhadap gerombolan setan ini. Aku berkata kepadanya: "Aku sudah mengatakan semua yang kutahu. Aku tidak tahu apa-apa lagi." Dia melihat pendirianku yang teguh dan bahwa dia tidak dapat mengorek apa pun dariku; dia pun pergi dengan kesal.

Setelah ditahan di rumah tahanan selama setengah bulan, aku dibebaskan hanya setelah polisi meminta keluargaku membayar 8.000 yuan sebagai uang jaminan. Namun, mereka memperingatkanku untuk tidak pergi ke mana-mana dan bahwa aku harus tinggal di rumah dan menyatakan siap untuk dipanggil sewaktu-waktu. Kemudian, dengan tuduhan tidak berdasar yaitu "mengganggu ketertiban sosial," Partai Komunis Tiongkok menghukumku dengan hukuman penjara satu tahun, diskors selama dua tahun.

Setelah mengalami penganiayaan dan kesusahan ini, aku memiliki sebuah pemahaman dan dapat mengenali wajah iblis dan hakikat jahat Partai Komunis Tiongkok, serta mengembangkan rasa benci yang mendalam terhadapnya. Partai Komunis memakai kekerasan dan kebohongan untuk melindungi posisinya sebagai penguasa; mereka dengan membabi-buta menekan dan menganiaya orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Mereka memakai setiap tipu daya yang ada untuk menghalangi dan mengganggu pekerjaan Tuhan di bumi, dan begitu membenci kebenaran. Mereka adalah musuh terbesar Tuhan dan juga musuh orang-orang di antara kita yang adalah orang percaya. Setelah melewati kesusahan ini, aku dapat melihat bahwa hanya firman Tuhanlah yang dapat memberi hidup bagi manusia. Ketika aku sedang ada di keadaan paling putus asa atau di ambang kematian, firman Tuhanlah yang memberiku iman dan kekuatan, serta memungkinkanku untuk bertahan hidup dengan gigih. Terima kasih Tuhan karena telah melindungiku melewati hari-hari tergelap dan tersulit itu. Kasih-Nya terhadapku terlalu besar!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Saat Ibu Dipenjara

Oleh Saudari Zhou Jie, Tiongkok Usiaku 15 tahun saat aku dan ibuku melarikan diri dari rumah. Aku ingat kami pergi larut malam pada tahun...

Tinggalkan Balasan