Bagaimana Iman Muncul

21 Januari 2022

Oleh Saudara Liu Yu, Tiongkok

Suatu hari menjelang akhir Agustus 2008, aku diberitahu bahwa Saudara Xiaowu, seorang pemimpin gereja, telah ditangkap. Saudara Hong dan aku segera menyuruh saudara-saudari kami untuk pindah, dan kami memindahkan harta benda gereja. Pada waktu itu, kami juga bertemu dengan dua pemimpin gereja yang dengannya kami mau bermitra untuk melakukan pekerjaan gereja. Malam itu, setelah mengakhiri persekutuan, mereka pulang ke rumah, tetapi keesokan harinya, kami tidak dapat menghubungi mereka karena telepon mereka semua telah dimatikan. Baru beberapa hari kemudian, kami menerima kabar bahwa kedua pemimpin ini, serta lebih dari 20 saudara-saudari, telah ditangkap. Aku bertanya-tanya apakah aku juga sedang dipantau, karena aku sering berkumpul dengan Saudara Xiaowu. Sepertinya setiap saat aku dalam bahaya ditangkap. Aku merasa agak takut dan sering berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia membantuku berdiri teguh melewati kesulitan ini. Sementara mengikuti suatu pertemuan, aku melihat bagian firman Tuhan ini: "Mungkin engkau semua ingat kata-kata ini: 'Sebab penderitaan ringan kami, yang hanya sementara, mengerjakan bagi kami kemuliaan yang lebih besar dan kekal.' Engkau semua pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya, tetapi tak satu pun darimu yang memahami arti sebenarnya dari kata-kata tersebut. Hari ini, engkau sadar sepenuhnya akan makna penting sejatinya. Kata-kata ini akan dipenuhi oleh Tuhan pada akhir zaman, dan akan dipenuhi dalam diri orang-orang yang telah dianiaya secara brutal oleh si naga merah yang sangat besar di negeri tempatnya berbaring melingkar. Si naga merah yang sangat besar itu menganiaya Tuhan dan ia adalah musuh Tuhan, dan karenanya, di negeri ini, mereka yang percaya kepada Tuhan dipaksa menanggung penghinaan dan penindasan, dan sebagai hasilnya, perkataan-perkataan ini terpenuhi dalam diri engkau semua, sekelompok orang ini. Karena dimulai di sebuah negeri yang melawan Tuhan, semua pekerjaan Tuhan menghadapi rintangan-rintangan yang luar biasa, dan memenuhi sekian banyak firman-Nya membutuhkan waktu; akibatnya, orang-orang dimurnikan sebagai hasil dari firman Tuhan, yang juga adalah bagian dari penderitaan. Teramat sulit bagi Tuhan untuk menjalankan pekerjaan-Nya di negeri si naga merah yang sangat besar—tetapi lewat kesulitan inilah Tuhan mengerjakan satu tahap pekerjaan-Nya, membuat hikmat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan menjadi nyata, dan menggunakan kesempatan ini untuk menyempurnakan kelompok orang ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apakah Pekerjaan Tuhan Sesederhana yang Manusia Bayangkan?"). Lewat membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa karena Tuhan telah berinkarnasi pada akhir zaman untuk menyelamatkan umat manusia dan telah menampakkan diri untuk melakukan pekerjaan-Nya di negara si naga merah yang sangat besar, bangsa yang paling menentang Tuhan, di mana Dia telah diburu dan dianiaya oleh PKT, kita juga ditakdirkan untuk mengalami penganiayaan sebagai pengikut Tuhan. Namun melalui penderitaan, kita bisa merasakan kesulitan yang Tuhan pikul dalam menyelamatkan umat manusia. Tuhan memakai penganiayaan dan kesulitan ini untuk memperkuat tekadku dan menyempurnakan imanku. Situasi ini adalah cara Tuhan untuk menyempurnakan dan memberkatiku. Tuhan telah menentukan dari semula seberapa banyak setiap orang akan menderita. Aku baru akan ditangkap jika Tuhan mengizinkannya. Aku rela menjadi saksi bagi Tuhan dan takkan pernah mengkhianati Dia seperti Yudas!

Suatu hari pada bulan Januari 2009, sekitar pukul 2 siang, aku sedang membaca firman Tuhan di rumah ketika, tiba-tiba, aku mendengar suara ketukan keras di pintu rumahku. Seseorang berteriak: "Biro Keamanan Publik. Buka pintunya sekarang!" Jantungku berdegup kencang saat bergegas menyembunyikan buku firman Tuhan milikku. Aku terus berdoa kepada Tuhan, memohon keberanian dan iman kepada-Nya. Ketika aku membuka pintu, lebih dari sepuluh petugas polisi menerjang masuk sambil berteriak, "Jangan bergerak, berdiri menghadap ke dinding!" Mereka mulai mengubrak-abrik lemari dan laciku, melemparkan pakaianku ke segala arah. Mereka menemukan laptop, ponsel, dan buku-buku firman Tuhan milikku. Seorang polisi wanita membawaku ke kamar mandi untuk menggeledahku. Kupikir dalam hati: "Sepertinya mereka datang dengan persiapan. Mungkin aku adalah salah satu target prioritas utama mereka. Kalau tidak, mengapa mereka bisa mengirim petugas sebanyak ini? Jika benar begitu, mereka pasti takkan melepaskanku dengan mudah. Siapa yang tahu siksaan macam apa yang akan mereka gunakan terhadapku." Aku hanya berdoa dalam hati kepada Tuhan dan tahu dalam hatiku bahwa aku baru ditangkap dengan seizin Tuhan. Tuhan sedang mengujiku—aku harus bersandar pada Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya. Mereka memborgolku, menutupi kepalaku dengan tudung dan kemudian membawaku ke Biro Keamanan Umum Provinsi untuk mencatat informasiku. Malam itu, mereka membawaku ke rumah tahanan. Selain memborgolku, mereka juga mengikat kakiku dengan belenggu seberat 5 kg. Ketika mereka membawaku ke selku, belenggu itu sangat berat sehingga aku harus mengangkatnya dengan tanganku dan menyeret diriku. Setiap langkah terasa melelahkan.

Di dalam sel, petugas mengunci borgolku ke rantai di antara kedua penyangga kaki dan kemudian mengunci rantai ke cincin besi yang terhubung ke bagian dasar dinding. Mereka meletakkan pispot di dekat dinding sehingga bahkan saat buang air, aku tetap terbelenggu di tempat. Saat itu sangat dingin, sipir telah melepas jaketku dan aku tidak punya selimut. Aku menderita sepanjang malam itu menggigil dan meringkuk di lantai. Keesokan sorenya, dua petugas dari Brigade Keamanan Nasional Provinsi memborgol dan menutupi kepalaku dengan tudung dan membawaku ke tempat yang sangat terpencil. Hanya setelah kami tiba dan berada di dalam ruangan, barulah mereka melepas tudung itu. Kemudian mereka mengunciku ke kursi besi. Di depan kursi ada pelat besi dengan panjang 50 cm dan lebar 30 cm, dan di dekat kakiku ada dua cincin besi berbentuk setengah lingkaran. Kakiku dijepit ke dalam cincin besi itu dan tanganku diborgol di depanku. Sekitar pukul 19.00, tiga petugas tiba. Salah satu dari mereka menginterogasiku tentang pertanyaan yang berhubungan dengan gereja dan bahkan memperlihatkan sebuah foto dan bertanya apakah aku mengenali orang yang ada di foto tersebut. Aku melihat dan menyadari bahwa itu adalah rekan sekerjaku, Saudara Hong. Aku terkejut—aku tak pernah membayangkan bahwa Saudara Hong akan ditangkap juga. PKT pasti telah memantau kami selama beberapa waktu. Aku menjawab mereka dengan mengatakan aku tidak mengenalnya. Salah satu petugas menjadi kesal dan berkata: "Ini buang-buang waktu, pakai saja taktik penyiksaan terhadapnya!" Petugas lain mengancamku, berkata: "Kami memberimu kesempatan dan bertanya dengan sopan, tetapi jika kau tak buka mulut sekarang, kami akan membuatmu bicara!" Ketika aku mendengarnya mengatakan itu, aku teringat bagaimana, di masa lalu, banyak saudara-saudariku telah ditangkap dan disiksa, dipukuli sampai bonyok, lumpuh dan bahkan tewas, dan aku menjadi takut, berpikir: "Jika aku tidak buka mulut, penyiksaan macam apa yang akan mereka lakukan terhadapku? Akankah aku lumpuh atau tewas?" Aku berdoa dalam hati kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Aku tidak tahu penyiksaan macam apa yang akan mereka gunakan terhadapku, tetapi kumohon lindungi aku. Aku rela menjadi saksi bagi-Mu dan lebih baik mati daripada menjadi Yudas!" Setelah berdoa, beberapa firman Tuhan Yesus terlintas di benakku: "Dan jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh, tetapi tidak mampu membunuh jiwa: sebaliknya, takutlah kepada Dia yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa di neraka" (Matius 10:28). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Kupikir, "Betapapun kejamnya para petugas itu, mereka hanya bisa merusak tubuhku. Jiwaku berada di tangan Tuhan. Jika aku bisa menjadi saksi dan memuaskan Tuhan, aku mungkin mati, tetapi aku akan mendapatkan pujian dari Tuhan. Namun, jika aku mengkhianati Tuhan dan bertindak secara memalukan seperti Yudas, tubuh dan jiwaku akan dihukum dan dikutuk Tuhan." Menyadari hal ini, rasa takutku makin berkurang. Melihat interogasi tidak berhasil, petugas membawaku ke ruangan lain dan memulai penyiksaan. Mereka memelintir tanganku ke belakang, membungkusnya dengan handuk dan kemudian mengikatnya erat-erat dengan tali. Kemudian mereka meletakkan tongkat kayu di antara tangan dan punggungku. Salah satu petugas mengangkatku, menggantung tongkat kayu tersebut di bangku setinggi 2 m. lalu melepaskanku, sehingga tubuhku tergantung di atas bangku dengan tanganku menyokong seluruh bobot tubuhku. Aku berteriak kesakitan. Dadaku terasa seperti terkoyak dan tangan serta bahuku terasa sakit sekali. Sulit untuk bernapas dan aku merasa seperti tercekik. Karena tanganku terbungkus handuk di punggungku, aku tak mampu mengangkat kepalaku. Aku mulai berkeringat dari dahi dan lenganku serta tanganku mati rasa. Salah satu petugas tertawa sinis dan berkata: "Kau tak bisa bicara sekarang meskipun kau mau. Sebaiknya kau mulai berdoa kepada Tuhanmu!" Tak lama kemudian, keringat dari dahiku menetes ke lantai dan petugas mengira aku menangis. Dia memiringkan kepalanya dan mencemooh: "Coba kulihat, apa kau sedang meneteskan keringat atau air mata?" Aku terus berdoa kepada Tuhan, berkata: "Tuhan Yang Mahakuasa! Aku tidak memohon agar Engkau membebaskanku dari siksaan ini, aku hanya memohon agar Engkau memberiku kekuatan untuk bertahan sehingga aku dapat berdiri teguh." Setelah berdoa, aku tetap merasakan kesakitan fisik yang luar biasa, tetapi aku tidak terlalu merasa menderita. Mereka meninggalkanku tergantung di sana selama setengah jam sebelum menurunkanku. Tanganku benar-benar mati rasa dan tidak responsif.

Selanjutnya, mereka mendudukkanku di kursi besi dan menarik tangan dan pergelangan tanganku, memaksaku merangkul pelat besi persegi panjang di depanku, dan kemudian memborgol tanganku sebelum memiringkan kursi itu ke depan. Sekarang, tidak ada apa pun yang menyokong punggungku, jadi tanganku menahan seluruh tubuhku. Pelat besi itu menggores tanganku, yang dengan cepat mulai terasa sakit. Setelah kira-kira setengah jam, mereka kembali masuk, menarikku berdiri dan kemudian menggunakan tongkat kayu untuk kembali menggantungku. Seluruh tubuhku sangat tidak nyaman, aku mengalami kesulitan bernapas dan merasa seperti akan mati lemas. Namun, salah satu petugas malah tertawa dan berkata: "Dia sangat kurus, dan mungkin tidak terlalu menderita. Si Hong itu gemuk. Segera setelah kami menggantungnya, tongkat kayu itu patah. Dia jatuh begitu kerasnya sehingga dia berteriak dan membocorkan semuanya kepada kami." Aku sangat marah ketika aku mendengar bagaimana mereka menyiksa Saudara Hong. Namun, aku juga agak khawatir: "Apakah Saudara Hong benar-benar mengkhianati Tuhan dan diriku? Jika dia mengkhianatiku, berarti mereka pasti tahu tugas apa yang sedang kulakukan di gereja, dan mereka pasti takkan begitu saja melepaskanku. Siapa yang tahu siksaan macam apa yang mereka siapkan untukku. Mungkin sebaiknya aku hanya mengakui sesuatu yang tidak penting kepada mereka?" Saat itu, aku teringat firman Tuhan yang mengatakan: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku; ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan akan terlambat" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Firman Tuhan membantuku menyadari bahwa petugas yang mengatakan bahwa Saudara Hong telah mengatakan semuanya adalah rencana licik Iblis. Iblis ingin menabur perpecahan di antara kami dan menipuku agar mengkhianati Tuhan. Iblis sangat hina dan jahat! Berkat pencerahan dan bimbingan Tuhan, aku bertekad: "Siksaan atau tipu daya apa pun yang digunakan para petugas terhadapku, aku takkan pernah mengkhianati Tuhan dan menjadi Yudas."

Seorang petugas polisi melihatku dalam kondisi buruk dan berkata: "Merasa kesakitan, ya? Jika kau tidak mulai buka mulut, pertama kami akan menggantungmu selama setengah jam, lalu satu jam, dan seterusnya dan seterusnya." Kemudian, aku merasa sepertinya tubuhku tak tahan lagi, jadi aku mencoba menginjak sekrup yang mencuat dari bangku tersebut untuk mendapatkan pijakan dan mengurangi rasa sakit sedikit, tetapi petugas itu segera melihatnya. Dia menendang kakiku dan membentak dengan galak: "Siapa bilang kau boleh menginjak bangku? Tidak boleh!" Tubuhku mulai berayun tak terkendali dari kiri ke kanan, yang membuat tanganku makin terasa sakit. Sakitnya begitu parah sehingga seluruh tubuhku berkeringat dan bahkan tidak punya tenaga untuk mendongakkan kepalaku. Rasanya detik demi detik berjalan dengan lambat. Entah sudah berapa lama, tiba-tiba aku merasakan bahu kananku ambruk ke bawah. Tepat setelah itu, bahu kiriku juga ambruk dan seluruh tubuhku melorot ke bawah. Aku menyadari bahuku terkilir. Aku berteriak: "Bahuku terkilir!" Baru setelah itulah petugas menurunkanku. Ketika mereka melepaskan talinya, tanganku yang kaku terayun dari punggungku ke depanku. Kedua tanganku sama sekali mati rasa dan bengkak. Ketika aku berdiri, kedua tanganku melorot di sampingku. Kedua tanganku tak bisa digerakkan dan tak bisa menekuk. Rasanya seperti ada dua tongkat kayu yang tergantung di bahuku. Kemudian mereka kembali memborgolku dan mulai menggerak-gerakkan tanganku. Dengan kasar mereka menarik tanganku ke belakang kepalaku, menariknya sejauh mungkin ke belakang, kemudian mereka menarik tanganku dengan keras ke bagian kiri tubuhku sambil melihat apakah aku akan meringis atau merasa kesakitan. Tanganku sama sekali mati rasa, jadi setelah menarik kedua tanganku selama beberapa saat tanpa hasil, mereka berteriak: "Berhenti pura-pura!" Aku benar-benar ingin mengangkat tanganku, tetapi keduanya tidak mau bergerak. Kupikir dalam hati: "Apakah tanganku benar-benar terkilir? Apakah aku akan lumpuh? Bagaimana aku akan makan dan bahkan pergi ke kamar mandi mulai sekarang?" Malam itu, mereka kembali memborgolku dan mengunci borgol kakiku ke bagian depan tempat tidur. Aku berbaring di sana di tempat tidur, tidak bisa tidur. Tanganku terasa sakit dan mati rasa—tidak tahan rasanya. Mau tak mau aku bertanya-tanya apakah besok polisi akan menyiksaku dengan siksaan yang sama. Memikirkan semua rasa sakit dan penderitaan itu membuatku merasa takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa menanggungnya. Dalam penderitaan, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Kumohon lindungi aku dan beri aku iman dan kekuatan. Betapapun menderitanya diriku, aku takkan mengkhianati-Mu dan takkan mengadukan saudara-saudariku." Setelah berdoa, aku teringat firman Tuhan yang berbunyi: "Terhadap mereka yang tidak menunjukkan kepada-Ku sedikit pun kesetiaan selama masa-masa kesukaran, Aku tidak akan lagi berbelas kasihan, karena belas kasihan-Ku hanya sampai sejauh ini. Lagipula, Aku tidak suka siapa pun yang pernah mengkhianati Aku, terlebih lagi, Aku tidak suka bergaul dengan mereka yang mengkhianati kepentingan teman-temannya. Inilah watak-Ku, terlepas dari siapa pun orangnya. Aku harus memberi tahu engkau hal ini: siapa pun yang menghancurkan hati-Ku tidak akan menerima pengampunan dari-Ku untuk kedua kalinya, dan siapa pun yang telah setia kepada-Ku akan selamanya berada di hati-Ku" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Persiapkan Perbuatan Baik yang Cukup demi Tempat Tujuanmu"). Firman Tuhan membuatku merasakan watak-Nya yang benar, megah, dan tak terbantahkan. Tuhan mengasihi dan menyempurnakan orang-orang yang setia kepada-Nya. Kesengsaraan dan penderitaan apa pun yang mereka alami, mereka selalu tetap setia dan menjadi saksi bagi-Nya. Hanya orang-orang seperti itulah yang dapat tetap tinggal dalam kerajaan Tuhan. Adapun orang-orang yang mengkhianati Tuhan seperti Yudas, mereka bukan hanya takkan mendapatkan kesudahan yang baik, Tuhan akan menghukum dan mengutuk roh, jiwa dan tubuh mereka. Jika aku mengkhianati Tuhan hanya untuk melepaskan diri dari penderitaan tubuh yang sementara, aku akan kehilangan kesempatan untuk diselamatkan selamanya. Aku juga teringat bagaimana ketika petugas mencoba menipuku agar mengkhianati Tuhan, Tuhan memberiku hikmat untuk melihat tipu daya Iblis yang sebenarnya. Ketika para petugas menyiksaku, tubuhku memang menderita sampai taraf tertentu, tetapi Tuhan secara diam-diam melindungiku dan memberiku kekuatan sehingga bisa mengatasi kelemahan dagingku. Aku telah mengalami kasih Tuhan dan menyaksikan kemahakuasaan dan kedaulatan-Nya. Aku tidak boleh melanggar hati nuraniku—Seberapa banyak pun aku menderita, aku harus menjadi saksi dan memuaskan Tuhan!

Pada hari ketiga, sekitar pukul 9 pagi, para petugas membawaku ke sebuah ruangan besar dan kembali mendudukkanku di kursi besi. Salah satu petugas melilitkan handuk di kepala pada mulutku dan kemudian menyentaknya ke belakang dengan keras. Aku merasakan kesakitan yang luar biasa di mana bahuku terjepit masuk ke dalam kursi besi itu, dan kakiku mulai terangkat dari tanah saat kursi terdorong ke belakang. Dengan handuk menutupi mulutku, aku mulai kesulitan bernapas. Aku hanya bisa bernapas melalui hidungku, dan tenggorokanku terasa sangat sakit sehingga aku hampir tak mampu menelan air liurku sendiri. Kemudian, salah satu petugas mengambil jarum suntik yang berisi minyak mustard dan menyemprotkan minyak ke lubang kanan hidungku. Rasanya seperti seluruh rongga hidungku terbakar, dan ketika aku menarik napas, minyak itu menetes ke dalam tenggorokanku. Sulit dan terasa tidak nyaman ketika berusaha menelan minyak itu. Aku tak berani menarik napas, tetapi jika aku tidak bernapas, aku tahu aku akan mati lemas. Sulit untuk menggambarkan betapa mengerikannya perasaan itu. Aku berjuang dengan sekuat tenaga, tetapi mereka memegang handuk itu erat-erat di mulutku dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghalanginya. Minyak mustard itu sangat pedas sehingga air mata mengalir dari mataku. Rasanya seperti waktu berhenti—detik-detik berlalu sangat lambat. Mereka baru melepaskan handuk itu begitu aku menelan setiap tetes minyak itu. Butuh waktu cukup lama bagi leherku untuk pulih dari siksaan itu. Aku merasa mual dan membungkuk di atas kursi sambil bersin-bersin sekeras yang kubisa. Seluruh wajah dan rongga hidungku menjadi terasa pedas oleh rempah-rempah. Itu adalah rasa terbakar yang sangat menyakitkan. Salah satu petugas melihatku akan muntah dan dengan marah memelototiku sambil berteriak: "Tahan!" Aku benci kawanan setan itu! Rasa sakitnya hampir tak tertahankan, dan aku tak tahu apakah aku mampu menahannya lebih lama lagi. Aku tidak tahu berapa lama lagi mereka berencana untuk menyiksaku, jadi dalam hati aku berdoa kepada Tuhan berkata: "Ya Tuhan, aku tidak tahu berapa kali lagi petugas berencana untuk menyiksaku, tetapi aku takkan mengkhianati-Mu karena kelemahan dagingku. Kumohon jagai hatiku, dan beri aku iman dan kekuatan agar aku bisa berdiri teguh melewati siksaan ini." Setelah berdoa, aku merasa sedikit lebih baik. Aku tahu bahwa Tuhan telah mendengar doa-doaku dan meringankan rasa sakitku. Aku bersyukur kepada Tuhan di dalam hatiku! Kira-kira sepuluh menit kemudian, mereka menyemprotkan minyak mustard ke lubang kiri hidungku. Seluruhnya, mereka menyemprotkan tiga jarum suntik berisi minyak mustard ke hidungku pagi itu. Setiap semprotan adalah siksaan neraka. Salah satu petugas dengan kejam mencibir: "Kami seharusnya membunuhmu saja. Kami bisa menggali lubang besar dan menguburmu di dalamnya. Tak seorang pun yang akan tahu!" Kupikir karena mereka mau menyiksaku dengan sangat kejam, mungkin mereka akan melakukan apa saja. Aku membayangkan mereka melemparkanku ke dalam lubang besar dan menimbun tubuhku dengan kotoran. Aku mengalami kesengsaraan yang luar biasa, dan berpikir dalam hati: "Apakah aku benar-benar akan mati di usia yang begitu muda?" Di tengah penderitaanku, firman Tuhan terlintas di benakku: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu, yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Pencerahan dan bimbingan firman Tuhan membantuku menyadari bahwa hidupku berada di tangan Tuhan, itu semua terserah pada-Nya. Sekejam dan sejahat apa pun petugas itu, tanpa seizin Tuhan, mereka takkan berani mengambil nyawaku. Aku tidak memiliki pemahaman yang benar tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan serta imanku kepada-Nya lemah, jadi ketika aku mendengar petugas mengatakan mereka akan membunuh dan menguburku, aku menjadi kecut dan takut. Aku sama sekali tidak menjadi kesaksian! Setelah menyadari semua ini, aku tidak lagi merasa kecut dan takut, dan aku memutuskan bahwa aku akan menjadi saksi dan mempermalukan Iblis bahkan jika itu berarti kematianku.

Pada pukul 2 siang, petugas kembali datang untuk menginterogasiku. Salah satu petugas terus menatapku; dia tidak percaya bahwa tanganku lumpuh, jadi dia dengan sengaja mulai menusuk bagian bawah kukuku dengan tusuk gigi. Meskipun aku sudah berdarah, aku hanya bisa merasakan sedikit rasa sakit di ujung jariku. Saat dia menusuk, dia memerhatikan ekspresiku. Ketika dia melihat bahwa aku tidak bereaksi, dia berkata: "Jadi tanganmu sudah mati rasa, ya? Bagaimana kalau kusetrum!" Kemudian petugas itu pergi dan mengambil kabel listrik dan menempelkan salah satu ujungnya ke alat kejut listrik dan ujung satunya di kedua jempol kakiku dan mulai menyetrumku. Jantungku mulai berpacu, tubuhku menjadi kaku, punggungku melengkung ke belakang dan kakiku mengejang. Aku berteriak dalam kesakitan yang tak tertahankan. Mereka berhenti sejenak dan kemudian mulai menyetrumku lagi sambil tanpa henti menginterogasiku tentang gereja. Mereka terus mengulangnya selama beberapa waktu, menyetrumku berkali-kali lebih dari yang bisa kuingat. Aku benar-benar tak berdaya menghadapi kekejaman mereka. Rasa sakit dan penderitaan itu hampir mustahil untuk ditanggung. Aku benar-benar merasa khawatir bahwa jika mereka terus menyetrumku, mereka dapat menyebabkan semacam kerusakan permanen. Mereka baru berhenti ketika sudah waktunya untuk makan malam. Salah satu petugas melepaskanku dari kursi dan membiarkanku berdiri. Aku terkejut mendapati bahwa ketika aku berdiri, aku tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Aku seperti tidak pernah terluka. Tubuhku juga tidak terasa lemah. Aku dengan jelas melihat bahwa perlindungan dan pemeliharaan Tuhanlah yang telah meringankan rasa sakitku. Dahulu, secara teori aku tahu bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, tetapi sekarang aku secara pribadi telah mengalami dan melihat sendiri perbuatan Tuhan yang ajaib. Aku melihat kasih dan belas kasihan Tuhan terhadapku dan hatiku penuh dengan rasa syukur dan pujian bagi-Nya. Aku merasa lebih percaya diri untuk menjalani penyiksaan petugas. Hari itu, mereka menyetrumku dari pukul 7 malam hingga pukul 11 malam. Pada pagi keempat, mereka kembali menyuntikkan minyak mustard ke dalam hidungku. Sekali lagi, aku merasakan rasa sakit dan penderitaan yang tak tertahankan. Pagi itu, mereka menggunakan 4 jarum suntik terhadapku. Siang hari, saat makan siang, aku meminta segelas air. Salah satu petugas dengan kejam mencibir: "Jangan beri minum sedikit pun—nanti dia pasti harus ke kamar mandi." Petugas lain berkata: "Perut dan ususnya mungkin sudah rusak karena minyak." Setelah mendengar hal itu, kupikir: "Benar, mereka menyuntikkan banyak minyak mustard ke dalam tenggorokanku. Dalam keadaan normal, itu akan menyebabkan banyak masalah, tetapi selain merasa agak haus, perutku sama sekali tidak terasa sakit." Aku sangat sadar bahwa Tuhan sedang melindungiku secara diam-diam, dan hatiku penuh rasa syukur kepada-Nya.

Sore itu, ketika aku masih tidak mau menjawab pertanyaan mereka, Direktur Guo, pimpinan Departemen Keamanan Umum Provinsi mengambil alat kejut listrik dan menyetrum punggungku. Aku langsung terjatuh ke lantai. Lalu dia menyuruhku duduk di kursi besi dan menyetrum tanganku. Setiap kali dia menyetrumku, tanganku akan terangkat dan kemudian jatuh kembali. Dia juga menyetrum telapak tanganku beberapa kali. Dia terus menyetrumku seperti itu selama dua jam. dan hanya berhenti ketika alat kejut listrik itu kehabisan daya. Setelah itu, dia menggulung beberapa koran dan menampar wajahku sambil berteriak: "Mau buka mulut atau tidak! Aku akan membuatmu bicara!" Wajahku terasa sangat sakit akibat tamparan itu. Hanya setelah koran-koran itu rusak dan aku tetap tidak mengucapkan sepatah kata pun, barulah dia pergi dengan kesal. Kembali ke kamarku, seorang petugas wanita melihat wajahku yang memerah karena bengkak dan mencibir sambil berkata: "Wajahmu ditampar, ya?" Kemudian dia mengancamku, berkata: "Jika kau tidak mulai buka mulut, hari pertama mereka menggantungmu, hari kedua mereka menyetrummu, dan pada hari ketiga seorang pria memerkosamu!" Aku merasa muak dan jijik dengan perkataannya. Kelompok petugas ini pasti benar-benar jahat karena mampu memikirkan taktik penyiksaan yang hina dan tak tahu malu. Mau tak mau aku merasa sedikit takut. Apa yang akan kulakukan jika mereka benar-benar menggunakan taktik hina seperti itu? Saat itu, tiba-tiba aku teringat firman Tuhan, yang mengatakan: "Tidak ada yang perlu engkau takuti. Iblis berada di bawah kaki kita ...." (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). Kupikir, "Benar. Bukankah segala sesuatu berada di tangan Tuhan? Jika Tuhan tidak mengizinkannya, hal seperti itu takkan terjadi padaku. Mereka hanya mengancamku untuk membuatku mengkhianati Tuhan, mengadukan saudara-saudariku dan memberi tahu mereka tentang uang gereja. Taktik penyiksaan apa pun yang digunakan para petugas, aku tidak boleh mengkhianati Tuhan." Setelah itu, petugas menginterogasiku beberapa kali lagi, tetapi ketika aku tetap tidak mau buka mulut, mereka membawaku kembali ke rumah tahanan.

Pada Februari 2009, PKT menghukumku satu setengah tahun dan mengirimku ke kamp kerja paksa. Seorang kepala bagian di kamp kerja paksa bertanya kepada seorang petugas: "Bisakah dia bekerja?" Aku berkata, "Tanganku lumpuh, aku tak bisa mengangkatnya." Petugas itu takut kamp kerja paksa tidak mau menerimaku, jadi dia berkata: "Tangannya normal, dia bohong." Selama waktu makan di kamp kerja paksa tersebut, aku tak mampu menggerakkan lengan atau tanganku dan tidak bisa mengambil sumpitku, jadi seorang saudari mau menyuapiku, tetapi sipir melarangnya. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk di bangkuku, menaruh sendok di satu tangan, letakkan lengan bawahku di atas meja, dan dengan tubuhku, aku menekan lengan bawah dan sendokku ke atas dan menyuapkan sedikit makanan. Saudari itu menangis ketika dia melihat betapa sulitnya itu bagiku. Bahkan sebelum aku selesai makan, sipir menyuruh kami turun ke bawah dan mengantre. Saudari itu melihat bahwa aku tidak makan banyak, jadi secara diam-diam dia mengambilkan bakpao untukku. Setelah itu, aku mengandalkan saudariku untuk mengambilkan bakpao untukku agar aku cukup makan. Dua saudari selalu bergantian memijat tanganku setiap malam, dan mereka merawatku. Mereka juga secara diam-diam mempersekutukan firman Tuhan untuk menyemangatiku. Aku tahu semua ini adalah pengaturan Tuhan dan tanda kasih-Nya bagiku dan aku sangat bersyukur kepada Tuhan di dalam hatiku!

Selama waktu itu, aku masih sama sekali tidak bisa mengangkat tanganku. Suatu kali, aku bertanya kepada seorang dokter: "Apakah ada obat yang bisa kuminum untuk tanganku?" Dokter berkata: "Jika tanganmu tidak bisa digerakkan selama lebih dari tiga bulan, ototnya akan mengalami penyusutan dan kau akan lumpuh selamanya. Tidak ada obat—bahkan disuntik pun takkan ada gunanya. Hal terbaik yang bisa kaulakukan adalah berlatih menggerakkan tanganmu ke dinding dengan jari-jarimu." Jadi, selama waktu itu aku dengan rajin mempraktikkan latihan "merangkak di dinding" ini. Aku tak bisa mengangkat tanganku sendiri, jadi aku harus mengayunkannya dan menyentuh dinding dengan jari-jariku dan kemudian perlahan-lahan menggerakkan tanganku ke atas. Setelah merangkak naik sekitar 30 cm, tanganku tidak bisa naik lebih tinggi lagi, jadi aku membiarkan kedua tanganku terayun ke bawah dan kemudian memulai kembali. Awalnya aku sangat percaya diri dan berharap suatu hari akan terjadi keajaiban, dan aku bisa mengangkat tanganku dan hidup secara normal. Namun, setelah tiga bulan, aku masih tidak bisa mengangkat tangan, dan aku menjadi sedikit frustrasi dan sedih, berpikir, "Apakah tanganku akan sembuh? Jika tanganku tidak sembuh, bagaimana aku bisa menjalani hidup saat aku keluar dari kamp? Aku baru berusia 30-an tahun—apakah aku benar-benar harus bergantung pada orang lain selama sisa hidupku?" Di tengah penderitaan dan keputusasaan, aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia membimbing dan memberiku kekuatan dan iman. Malam itu, ketika saudariku sedang memijatku, aku menceritakan keadaanku saat itu kepadanya. Saudariku menghiburku dengan berkata: "Kita punya Tuhan, jadi kita tidak perlu takut. Teruslah berlatih dan kami akan terus memijat tanganmu. Jangan khawatir tentang apa pun." Perkataan saudariku membuatku meneteskan air mata. Kemudian, aku teringat firman Tuhan yang mengatakan: "Sementara menjalani ujian, wajar bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang kehendak Tuhan atau jalan penerapan mereka. Namun dalam hal apa pun, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, jangan menyangkal Tuhan. Walaupun Ayub lemah dan mengutuki hari kelahirannya sendiri, dia tidak menyangkal bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia dikaruniakan oleh Yahweh dan Yahweh-lah juga yang bisa mengambil semuanya itu. Bagaimanapun dia diuji, dia tetap mempertahankan keyakinannya ini. Dalam pengalamanmu, pemurnian apa pun yang engkau alami melalui firman Tuhan, yang Tuhan kehendaki dari manusia, singkatnya, adalah iman dan kasih mereka kepada-Nya. Yang Dia sempurnakan dengan bekerja dengan cara ini adalah iman, kasih dan aspirasi manusia. Tuhan melakukan pekerjaan penyempurnaan dalam diri manusia, dan mereka tidak bisa melihatnya, tidak bisa merasakannya; dalam situasi inilah imanmu dibutuhkan. Iman manusia dibutuhkan ketika sesuatu tidak bisa terlihat oleh mata telanjang, dan imanmu dibutuhkan ketika engkau tidak bisa melepaskan gagasanmu sendiri. Ketika engkau tidak memiliki kejelasan tentang pekerjaan Tuhan, yang dibutuhkan darimu adalah memiliki iman dan engkau harus berdiri teguh dan menjadi saksi" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Firman Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa ketika Ayub merasa lemah dan menderita, dia tidak pernah kehilangan iman kepada Tuhan. Bagaimanapun Tuhan mengujinya, dia selalu memuji Tuhan karena kuasa-Nya yang besar, tidak pernah menyalahkan Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya. Ketika tanganku tidak membaik setelah 3 bulan, aku kehilangan iman dan mulai memikirkan tentang masa depanku. Aku hidup dalam kenegatifan dan penderitaan. Aku menyadari bahwa imanku kepada Tuhan masih kecil, itu bukan iman yang sejati. Tuhan memakai penderitaan dan pemurnian ini untuk menyucikan dan mengubah serta menyempurnakan imanku. Aku seharusnya tidak hidup dalam kenegatifan dan kesalahpahaman. Kemudian, para saudari sering bersekutu denganku dan membantuku, dan aku mampu taat dan mengalami situasi ini. Ketika aku taat, aku sekali lagi menyaksikan perbuatan Tuhan yang ajaib. Tak lama kemudian, aku secara berangsur-angsur bisa mengangkat tangan kananku. Kemudian setelah kira-kira dua bulan, aku juga secara perlahan bisa mengangkat tangan kiriku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Dokter mengatakan bahwa setelah tiga bulan tidak bisa digerakkan, tanganku akan lumpuh, tetapi Tuhan memungkinkanku untuk sembuh secara ajaib. Semua ini karena kasih dan perlindungan Tuhan.

Pada bulan Juni 2010, aku dibebaskan. Setelah menjadi sasaran kekejaman dan penganiayaan PKT, aku dengan jelas melihat esensi setan yang menentang Tuhan, serta meninggalkan dan berpaling dari mereka di dalam hatiku. Aku juga secara pribadi mengalami kasih Tuhan. Ketika aku terperangkap di sarang setan dan menjadi sasaran kekejaman dan siksaan para petugas, Firman Tuhan memenuhiku dengan iman dan kekuatan, dan membantu membimbingku melewati masa-masa sulit itu. Setelah melewati semua ini, aku merasa makin dekat dengan Tuhan. Aku memahami bahwa segala sesuatu yang Tuhan lakukan bagi manusia merupakan kasih dan penyelamatan-Nya. Penganiayaan atau kesulitan apa pun yang kuhadapi kelak, aku akan selalu bertekun dalam imanku, mengikut Tuhan, dan melakukan tugasku untuk membalas kasih Tuhan.

Selanjutnya: Saat Ibu Dipenjara

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Penderitaan di Penjara

Oleh Saudari Xiao Fan, Tiongkok Suatu hari di bulan Mei 2004, aku menghadiri pertemuan dengan beberapa saudara-saudari ketika lebih dari 20...

Hari-hari Penyiksaan Brutal

Oleh Saudari Chen Hui, TiongkokAku tumbuh dalam sebuah keluarga biasa di Tiongkok. Ayahku menjalani dinas militer dan karena telah dibentuk...