Semangat Hidup Yang Tak Pernah Dapat Dipadamkan

19 Oktober 2019

Oleh Saudari Dong Mei, Provinsi Henan

Aku adalah orang awam yang menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja. Seperti banyak orang yang mendambakan terang, aku telah mencoba banyak cara untuk mencari makna sesungguhnya dari keberadaan manusia, sehingga hidupku dapat lebih bermakna. Pada akhirnya, semua upayaku sia-sia. Namun setelah aku cukup beruntung untuk menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman, banyak perubahan ajaib terjadi dalam hidupku. Ini membuat hidupku lebih berwarna, dan aku mulai memahami bahwa Tuhanlah satu-satunya Sang Penyedia sejati bagi roh dan hidup manusia, dan hanya firman Tuhanlah yang mengungkapkan apa makna sesungguhnya hidup manusia. Aku senang akhirnya menemukan jalan yang benar dalam kehidupan. Namun suatu hari, sementara melaksanakan tugasku, aku ditangkap secara ilegal dan disiksa secara kejam oleh pemerintah PKT (Partai Komunis Tiongkok). Setelah itu, aku menjalani pengalaman hidup yang akan selamanya terukir dalam perjalanan hidupku ...

Suatu hari di bulan Desember 2011 sekitar pukul 7 pagi, aku dan seorang pemimpin gereja sedang melakukan inventarisasi aset gereja ketika secara tiba-tiba, lebih dari sepuluh petugas polisi masuk menerobos pintu. Salah seorang dari polisi jahat ini bergegas menghampiri kami dan berteriak, "Jangan bergerak!" Melihat apa yang sedang terjadi, kepalaku menjadi pening. Dalam benakku aku berpikir, "Gawat—gereja akan kehilangan banyak aset." Selanjutnya, para polisi jahat itu memeriksa kami seperti penjahat yang melakukan perampokan. Mereka juga menggeledah setiap kamar, memorakporandakannya dalam waktu singkat. Akhirnya, mereka menemukan beberapa properti milik gereja, tiga kartu ATM, bukti setoran, komputer, ponsel, dan sebagainya. Mereka menyita semuanya, lalu membawa aku, pemimpin gereja lainnya itu dan dua orang lagi ke kantor polisi.

Sore harinya, polisi jahat itu membawa tiga saudari lainnya yang mereka tangkap. Mereka mengunci kami bertujuh di sebuah ruangan dan tidak memperbolehkan kami berbicara, juga melarang kami tidur ketika malam tiba. Melihat para saudari itu dikurung bersamaku, dan memikirkan berapa banyak uang yang telah hilang dari gereja, aku merasa cemas. Yang bisa kulakukan adalah berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Sekarang keadaan ini telah menimpaku, aku tak tahu harus berbuat apa. Kumohon lindungilah hatiku dan buatlah hatiku tetap tenang." Setelah berdoa, aku teringat firman Tuhan: "Jangan takut—ketika hal-hal seperti ini terjadi di gereja, itu terjadi atas izin-Ku. Bangkitlah dan berbicaralah atas nama-Ku. Yakinlah bahwa semua hal dan masalah terjadi atas izin takhta-Ku dan mengandung maksud-Ku di dalamnya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). "Engkau tahu bahwa segala sesuatu di lingkungan sekitarmu berada di sana atas seizin-Ku, semuanya diatur oleh-Ku. Lihatlah dengan jelas dan puaskanlah hati-Ku di lingkungan yang telah Kuberikan kepadamu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Firman Tuhan memadamkan kepanikan di hatiku. Aku menyadari bahwa, hari ini, lingkungan ini telah menimpaku atas seizin Tuhan, dan bahwa saatnya telah tiba saat Tuhan memintaku untuk menjadi kesaksian bagi-Nya. Setelah memahami kehendak Tuhan, aku berdoa kepada Tuhan dan berkata: "Ya Tuhan! Aku ingin menaati pengaturan dan rencana-Mu, dan berdiri teguh dalam kesaksianku bagi-Mu—tetapi tingkat pertumbuhanku masih sedikit, dan kumohon agar Engkau memberiku iman dan kekuatan, dan melindungiku agar aku mampu berdiri teguh."

Keesokan paginya, mereka memisahkan kami dan menginterogasi kami. Salah seorang polisi jahat itu berkata dengan bangga, "Aku tahu kau adalah seorang pemimpin gereja. Kami telah memantaumu selama lima bulan. ..." Ketika aku mendengar dia menggambarkan secara terperinci semua yang telah mereka lakukan untuk memantauku, tubuhku bergetar ketakutan. Dalam pikiranku, aku berpikir, "Pemerintah PKT benar-benar berusaha keras dan berniat untuk menangkap kami. Karena mereka sudah tahu aku seorang pemimpin gereja, tidak mungkin mereka akan membiarkan aku pergi." Aku segera membulatkan tekad di hadapan Tuhan: aku lebih baik mati daripada mengkhianati Tuhan dan menjadi seorang Yudas. Melihat pertanyaan mereka tidak membuahkan hasil apa pun, mereka menugaskan seseorang untuk mengawasiku dan melarangku tidur.

Selama interogasi hari ketiga itu, kepala polisi jahat itu menyalakan komputer dan memaksaku membaca materi yang menjelek-jelekkan Tuhan. Melihat bahwa aku tidak tergerak, dia selanjutnya menanyaiku dengan saksama tentang keuangan gereja. Aku memalingkan wajahku ke arah lain dan mengabaikannya. Ini membuatnya sangat marah sehingga dia mulai mengumpat. "Tak masalah kalau kau tidak mengatakan apa pun—kami dapat menahanmu tanpa batas waktu, dan menyiksamu kapan saja kami mau," dia mengancam dengan ganas. Di tengah malam itu, para polisi memulai penyiksaan mereka. Mereka menarik salah satu tanganku ke atas bahuku dan merenggutnya ke bawah, dan mengangkat tangan satunya lagi ke punggungku. Menekan punggungku dengan kaki mereka, mereka memborgol kedua pergelangan tangan dengan paksa. Rasanya sangat menyakitkan hingga aku menjerit kesakitan—tulang dan daging di bahuku terasa seperti akan terkoyak. Aku hanya bisa berlutut diam dengan kepalaku di atas lantai. Aku pikir jeritanku akan membuat mereka mengurangi siksaan terhadapku, tetapi sebaliknya mereka memasukkan sebuah cangkir teh di antara tanganku yang diborgol dan punggungku, yang melipatgandakan rasa sakitnya. Tulang-tulang di bagian atas tubuhku terasa seperti dipatahkan jadi dua. Rasanya sangat menyakitkan hingga aku tidak berani bernapas dan keringat dingin membasahi wajahku. Tepat saat aku merasa tidak sanggup lagi menahan sakit, salah seorang polisi jahat itu mengambil kesempatan ini untuk berkata kepadaku, "Beri kami satu nama dan kami akan langsung membebaskanmu." Pada saat itu, aku berseru kepada Tuhan untuk melindungi hatiku, dan aku segera teringat sebuah lagu pujian: "Tuhan dalam daging, Dia menderita, apalagi seharusnya aku. Jika aku menyerah kepada kegelapan, bagaimana aku melihat Tuhan? Saat aku merenungkan firman-Mu, aku jadi merindukan-Mu. Setiap kali aku melihat wajah-Mu, dalam rasa bersalahku, aku memberi-Mu penghormatan. Bagaimana aku dapat meninggalkan-Mu untuk mencari apa yang disebut kebebasan? Aku lebih suka menderita demi menghibur hati-Mu yang berduka" ("Menantikan Kabar Baik Tuhan" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru"). "Ya," pikirku. "Kristus adalah Tuhan yang kudus dan benar. Dia berinkarnasi dalam daging dan datang ke bumi demi membawa keselamatan bagi umat manusia yang sepenuhnya rusak. Selama beberapa waktu, Dia telah dianiaya dan diburu oleh pemerintah PKT dan telah ditentang dan dikutuk oleh umat manusia. Tuhan seharusnya tidak harus menderita dengan cara ini, tetapi Dia dengan tenang menanggung semua ini demi menyelamatkan kami." Jadi, setelah perenungan, aku memahami bahwa aku menderita sekarang ini adalah demi mendapatkan keselamatan—aku harus menjalani penderitaan ini. Jika aku menyerah kepada Iblis karena aku tidak mampu menanggung penderitaan, bagaimana aku bisa menghadap Tuhan lagi? Memikirkan ini memberiku kekuatan, dan aku sekali lagi menjadi pantang menyerah. Para polisi jahat itu menyiksaku sekitar satu jam. Ketika mereka membuka borgolnya, seluruh tubuhku jatuh lemas ke lantai. "Kalau kau tidak bicara, kami akan melakukannya lagi!" teriak mereka kepadaku. Aku menatap mereka dan tidak mengatakan apa pun. Hatiku dipenuhi dengan kebencian terhadap para polisi jahat ini. Salah seorang dari mereka maju untuk kembali memborgolku. Memikirkan rasa sakit luar biasa yang baru saja kuderita, aku terus berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku. Yang mengejutkanku, ketika dia berusaha menarik lenganku ke punggung, dia tidak bisa menggerakkannya. Lenganku juga tidak terlalu sakit. Dia berusaha sangat keras sehingga seluruh kepalanya dipenuhi keringat—tetapi dia tetap tidak bisa memborgolku. "Kau cukup kuat!" katanya dengan gusar penuh kemarahan. Aku tahu bahwa ini adalah Tuhan yang memeliharaku, dan Tuhan memberiku kekuatan. Syukur kepada Tuhan!

Bertahan sampai fajar menyingsing sungguh berat rasanya. Aku masih merasa trauma ketika mengingat tentang cara polisi jahat menyiksaku. Mereka juga mengancamku, mengatakan bahwa kalau aku tidak mengatakan apa pun, mereka harus membawaku jauh ke gunung dan mengeksekusiku, dan bahwa, setelah itu, ketika mereka menangkap orang percaya lainnya, mereka akan mengatakan aku mengkhianati gereja—mereka akan merusak reputasiku, dan membuat saudara-saudari lain dari gereja membenci dan meninggalkanku. Membayangkan itu, hatiku dibanjiri dengan gelombang kesedihan dan ketidakberdayaan. Aku merasa malu dan lemah. Dalam benakku aku berpikir: "Lebih baik aku mati. Dengan begitu aku tidak akan menjadi seorang Yudas dan mengkhianati Tuhan, aku juga tidak akan ditinggalkan oleh saudara-saudariku. Aku juga akan terhindar dari penderitaan akibat siksaan daging." Jadi aku menunggu sampai polisi jahat yang menjagaku tidak memperhatikan, dan kemudian aku membenturkan kepalaku dengan keras ke tembok—tetapi yang terjadi hanyalah kepalaku jadi pusing; aku tidak mati. Pada saat itu, firman Tuhan mencerahkanku dari dalam batinku: "Ketika orang lain salah menafsirkanmu, engkau mampu berdoa kepada Tuhan dan berkata: 'Ya, Tuhan! Aku tidak meminta orang lain menoleransiku, atau memperlakukan aku dengan baik, juga tidak meminta agar mereka mengerti atau menyetujui aku. Aku hanya meminta agar aku mampu mengasihi-Mu dalam hatiku, agar aku tenang di dalam hatiku, dan agar hati nuraniku jernih. Aku tidak meminta orang lain memujiku, atau menghormatiku; aku hanya berusaha untuk memuaskan-Mu dari hatiku'" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Pemurnian, Manusia Dapat Memiliki Kasih Sejati"). Firman Tuhan mengusir kegelapan dari hatiku. "Ya," pikirku. "Tuhan melihat hati manusia yang terdalam. Kalau polisi menjebakku, bahkan jika saudara-saudari lainnya benar-benar salah paham dan meninggalkanku karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku percaya bahwa maksud Tuhan itu baik; Tuhan sedang menguji iman dan kasihku kepada-Nya, dan aku harus berusaha untuk memuaskan Tuhan." Setelah menyadari rencana licik iblis yang sesungguhnya, tiba-tiba aku merasa malu. Aku mengerti bahwa imanku kepada Tuhan terlalu kecil. Aku tidak dapat berdiri teguh setelah mengalami sedikit penderitaan, dan berpikir untuk melarikan diri dan menghindari pengaturan Tuhan melalui kematian. Tujuan polisi jahat mengancamku dengan cara ini adalah untuk membuatku berpaling dari Tuhan. Dan kalau bukan karena perlindungan Tuhan, aku pasti akan jatuh ke dalam rencana licik mereka. Ketika aku merenungkan firman Tuhan, hatiku dipenuhi dengan terang. Aku tidak lagi ingin mati, tetapi hidup dengan baik, dan menggunakan apa yang aku alami dalam kenyataan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis.

Dua polisi jahat yang bertugas menjagaku bertanya mengapa aku membenturkan kepala ke tembok. Aku katakan karena para polisi lainnya telah memukuliku. "Kami terutama bekerja melalui pendidikan. Jangan khawatir—aku tidak akan membiarkan mereka memukulimu lagi," kata salah seorang dari mereka sambil tersenyum. Mendengar kata-katanya yang menghibur, aku berpikir: "Kedua orang ini tidak jahat. Sejak aku ditangkap, mereka cukup baik kepadaku." Dengan itu, aku melonggarkan kewaspadaanku. Namun pada saat itu, firman Tuhan melintas di hatiku: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku, ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan akan terlambat" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Firman Tuhan memberikan pengingat yang tepat waktu kepadaku, menunjukkan kepadaku bahwa rencana licik iblis banyak, dan aku harus berjaga-jaga terhadap para setan ini setiap saat. Aku tidak menyangka bahwa mereka akan segera memperlihatkan sifat asli mereka. Salah seorang polisi jahat itu mulai mengumpat Tuhan, sementara yang lainnya duduk di sebelahku menepuk-nepuk kakiku, menatapku dan bertanya tentang keuangan gereja. Di malam hari, melihatku tertidur, dia mulai meraba-raba dadaku. Melihat mereka memperlihatkan sifat mereka yang sebenarnya, aku dipenuhi dengan kemarahan. Baru sekarang aku melihat bahwa yang seharusnya merupakan "Polisi Rakyat" itu sebenarnya tidak lebih dari bajingan dan penindas. Mereka benar-benar mampu melakukan hal-hal yang tercela dan menjijikkan seperti itu! Akibatnya, aku hanya bisa segera berdoa kepada Tuhan untuk melindungiku dari kejahatan mereka.

Selama beberapa hari berikutnya, para polisi jahat itu tidak hanya menginterogasiku dengan saksama tentang gereja, tetapi juga secara bergantian mengawasiku dan mencegahku tertidur. Setelah itu, melihat bahwa aku tidak memberikan informasi apa pun kepada mereka, dua polisi jahat yang menginterogasiku menjadi sangat marah. Salah seorang dari mereka membentakku dengan kasar, menampar wajahku, memukulku entah berapa kali. Wajahku terasa sakit, mulai membengkak, dan pada akhirnya menjadi begitu mati rasa sehingga aku tidak bisa merasakan apa pun. Karena pertanyaan mereka tidak menghasilkan apa pun dariku, pada suatu malam kepala polisi jahat itu berteriak kepadaku dan berkata, "Kau harus mulai bicara. Kau sedang menguji kesabaranku—aku tidak percaya tidak ada yang bisa kami lakukan denganmu. Aku telah bertemu banyak orang yang lebih tangguh darimu. Kalau kami tidak kejam terhadapmu, tak mungkin kau akan tunduk, dasar sialan kau!" Dia memberi perintah dan beberapa polisi jahat mulai menyiksaku. Di malam hari, ruang interogasi itu suram dan menakutkan—aku merasa seperti berada dalam neraka. Mereka memerintahkanku untuk berjongkok di lantai dan meletakkan tanganku yang diborgol di atas kakiku. Selanjutnya, mereka menyelipkan tongkat kayu di antara lekukan lenganku dan di belakang lututku, memaksa seluruh tubuhku untuk meringkuk. Mereka kemudian mengangkat tongkat itu dan meletakkannya di antara dua meja, meninggalkan seluruh tubuhku tergantung di udara dengan kepala terbalik. Saat mereka mengangkatku, kepalaku pusing dan sulit bernapas. Rasanya seperti aku sedang tercekik. Karena aku tergantung di udara dalam keadaan terbalik, semua berat badanku tertumpu di pergelangan tanganku. Pada awalnya, untuk menghentikan borgol menggores dagingku, aku menggenggam tanganku erat-erat, meringkukkan tubuhku, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap dalam posisi itu. Namun kekuatanku perlahan semakin melemah. Tanganku bergeser dari pergelangan kakiku ke lututku, dan borgol itu menggores ke dalam dagingku, membuatku kesakitan luar biasa. Setelah menggantung seperti ini selama sekitar setengah jam, rasanya seperti semua darah di tubuhku telah berkumpul di kepalaku. Tekanan yang menyakitkan di kepala dan mataku membuatnya terasa seperti akan meledak. Luka yang dalam telah terbentuk di pergelangan tanganku, dan tanganku sangat bengkak sehingga tampak seperti dua gumpal roti. Aku merasa berada di ambang kematian. "Aku tak tahan lagi, turunkan aku!" teriakku putus asa. "Tak seorang pun yang bisa menyelamatkanmu kecuali dirimu sendiri. Cukup beri tahu kami satu nama dan kami akan menurunkanmu," kata salah seorang petugas polisi jahat dengan kejam. Pada akhirnya, mereka melihat aku benar-benar dalam kesulitan dan menurunkanku. Mereka memberiku sirup glukosa dan mulai menginterogasiku lagi. Aku berbaring lemas seperti lumpur di lantai, mataku tertutup rapat, tidak memedulikan mereka. Tanpa diduga, polisi jahat itu mengangkatku ke udara sekali lagi. Tanpa kekuatan untuk menahan dengan tanganku, aku tidak punya pilihan selain membiarkan borgol itu menancap di pergelangan tanganku, ujung-ujungnya yang bergerigi menggerogoti dagingku. Pada saat itu, rasanya sangat menyakitkan sampai aku menjerit memilukan. Aku tidak punya kekuatan untuk terus berjuang dan napasku menjadi sangat pendek. Sepertinya waktu telah berhenti. Aku merasa seperti berada di ambang kematian. Berpikir bahwa kali ini aku benar-benar akan mati, aku ingin mengucapkan perkataan terakhir dari dalam hatiku kepada Tuhan sebelum hidupku berakhir: "Ya Tuhan! Pada saat ini, ketika aku benar-benar berada di ambang kematian, aku merasa takut—tetapi bahkan jika aku harus mati malam ini, aku tetap akan memuji kebenaran-Mu. Ya Tuhan! Dalam perjalanan singkat hidupku, aku bersyukur kepada-Mu karena telah memilihku untuk pulang dari dunia berdosa ini, menghentikanku dari pengembaraan, dan membuatku hidup dalam pelukan-Mu yang hangat untuk selamanya. Ya Tuhan, aku telah menikmati begitu banyak kasih-Mu—namun baru sekaranglah, saat aku hampir kehilangan nyawaku, aku menyadari bahwa aku belum menghargai kasih-Mu. Sering kali aku membuat-Mu sedih dan kecewa; aku seperti anak naif yang hanya tahu menikmati kasih ibunya, tetapi tidak pernah berpikir untuk membalasnya. Baru sekaranglah saat aku akan kehilangan nyawaku, aku mengerti bahwa aku harus menghargai kasih-Mu, dan baru sekaranglah aku menyesal telah melewatkan begitu banyak waktu-waktu yang baik. Sekarang, yang paling aku sesali adalah bahwa aku tidak dapat melakukan apa pun bagi-Mu dan aku berutang banyak kepada-Mu, dan jika aku masih bisa hidup, aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk melaksanakan tugasku, untuk menebus utangku kepada-Mu. Pada saat ini, aku hanya mohon agar Engkau memberiku kekuatan, sehingga aku tidak takut mati lagi, dan menghadapi kematian dengan ketabahan...." Air mataku berlinang, satu demi satu, mengalir di dahiku. Malam itu sangat sunyi menakutkan. Satu-satunya suara adalah jam yang berdetak, seakan-akan menghitung detik-detik hidupku yang tersisa. Saat itulah sesuatu yang ajaib terjadi: rasanya seakan-akan sinar matahari yang hangat menyinariku, dan perlahan-lahan aku berhenti merasakan rasa sakit di tubuhku. Firman Tuhan bergema di benakku: "Dari saat engkau lahir dengan menangis ke dalam dunia ini, engkau mulai melakukan tugasmu. Oleh karena rencana Tuhan dan oleh karena penentuan-Nya dari semula, engkau melakukan peranmu dan memulai perjalanan hidupmu. Apa pun latar belakangmu, dan apa pun perjalanan yang ada di hadapanmu, tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan rencana Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, sebab hanya Dia yang mengatur segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan tersebut" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). "Ya," pikirku. "Tuhan adalah sumber kehidupanku, Tuhan yang mengatur nasibku, dan aku harus menyerahkan diriku ke dalam tangan Tuhan dan tunduk pada pengaturan-Nya." Merenungkan firman Tuhan memberiku perasaan yang nyaman dan tenang di hatiku, seakan-akan aku berbaring di pelukan hangat Tuhan. Aku mendapati diriku tertidur. Khawatir aku akan mati, polisi jahat itu menurunkanku dan segera memberiku sirup glukosa dan air. Dalam pertempuranku dengan kematian, aku telah melihat perbuatan Tuhan yang ajaib.

Keesokan harinya, para polisi jahat itu menghabiskan sepanjang malam mengangkatku berulang kali. Mereka mengintegorasiku tentang keberadaan dana untuk kwitansi yang mereka sita. Sepanjang interogasi tersebut, aku tidak mengatakan apa pun, namun mereka tetap tidak menyerah. Untuk mendapatkan uang gereja, mereka menggunakan segala cara yang tercela untuk menyiksaku. Pada saat itu, firman Tuhan bergema di dalam hatiku: "Ribuan tahun kebencian berkumpul di hati, dosa ribuan tahun tertulis di hati—bagaimana mungkin ini tidak menimbulkan kebencian? Tuhan yang membalas dendam, menghancurkan semua musuh-Nya, tidak membiarkannya mengacau lebih lama lagi, dan tidak lagi mengizinkannya berulah sesuai keinginannya! Sekaranglah saatnya: manusia sudah lama mengumpulkan seluruh kekuatannya, ia telah mencurahkan segenap upayanya dan membayar harga apa pun untuk ini, untuk menyingkapkan wajah Iblis dan membuat orang-orang, yang selama ini telah dibutakan dan yang telah mengalami segala macam penderitaan dan kesulitan untuk bangkit dari rasa sakit mereka dan berpaling dari si Iblis tua yang jahat ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Firman Tuhan memberiku kekuatan dan iman yang luar biasa. Aku akan berjuang sampai mati melawan Iblis, dan bahkan jika aku mati, aku akan berdiri teguh dalam kesaksianku kepada Tuhan. Terinspirasi oleh firman Tuhan, tanpa kusadari aku melupakan rasa sakit itu. Dengan cara ini, setiap kali mereka mengangkatku, firman Tuhan menginspirasi dan memotivasiku, dan semakin sering mereka mengangkatku, semakin aku mampu melihat hakikat jahat mereka yang sebenarnya, semakin besar tekadku untuk berdiri teguh dalam kesaksianku dan memuaskan Tuhan. Akhirnya, mereka semua kelelahan sendiri. "Kebanyakan orang tidak tahan digantung seperti ini selama setengah jam, tetapi dia bertahan selama ini—dia benar-benar tangguh!" Aku mendengar mereka berkomentar. Hatiku bergetar mendengar ini. Dalam benakku, aku berpikir: "Dengan Tuhan sebagai pendukungku, kalian tidak mampu mengalahkanku." Selain menyiksa tubuhku, selama sembilan hari sembilan malam di kantor polisi, para polisi jahat itu juga melarangku tidur. Setiap kali aku memejamkan mata dan mulai mengangguk, mereka akan memukul tongkat mereka di atas meja, atau membuatku berdiri dan berlari-lari di tempat, atau hanya berteriak kepadaku, mencoba membuatku ambruk dan merusak pikiranku. Setelah sembilan hari, melihat mereka belum mencapai tujuannya, para polisi itu masih tidak menyerah. Mereka membawaku ke sebuah hotel, di mana mereka memborgol tanganku di depan kakiku, kemudian menyelipkan tongkat kayu di antara lekukan lengan dan kakiku, memaksaku duduk dalam posisi meringkuk di lantai. Mereka membuatku tetap dalam posisi ini duduk di lantai selama beberapa hari berikutnya, yang menyebabkan borgol itu menggores dagingku. Tangan dan pergelangan tanganku bengkak dan berubah menjadi ungu, dan pantatku sangat sakit sehingga aku tidak berani menggosok atau menyentuhnya; rasanya seperti duduk di atas kumpulan jarum. Suatu hari, salah seorang pemimpin polisi jahat itu, melihat bahwa interogasiku tidak membuahkan hasil, lalu ia berjalan menghampiriku penuh dengan amarah dan menampar wajahku dengan keras—cukup keras sehingga membuat dua gigiku mengendur.

Pada akhirnya, dua kepala bagian dari Departemen Keamanan Umum Provinsi datang. Begitu mereka tiba, mereka melepaskan borgol, membantuku duduk ke sofa, dan menuangkan secangkir air untukku. "Kau telah mengalami masa yang sulit selama beberapa hari terakhir—tetapi jangan mengindahkannya, mereka hanya mengikuti perintah," kata mereka, berpura-pura ramah. Kepura-puraan mereka membuatku sangat membenci mereka sehingga aku menggertakkan gigiku. Mereka juga menyalakan komputer dan menunjukkan kepadaku bukti palsu, mereka mengatakan banyak hal yang mengutuk dan menghujat Tuhan. Aku merasa sangat marah. Aku ingin berdebat dengan mereka, tetapi aku tahu bahwa melakukan itu hanya akan membuat mereka menghujat Tuhan dengan lebih gila-gilaan lagi. Pada saat ini, aku benar-benar merasakan betapa besarnya penderitaan yang dialami oleh Tuhan yang berinkarnasi, dan betapa banyaknya penghinaan yang telah Tuhan tanggung demi menyelamatkan manusia. Selain itu, aku melihat betapa hina dan penuh kebenciannya para setan jahat ini. Dalam hatiku, aku diam-diam bersumpah bahwa aku akan sama sekali memutuskan hubungan dengan Iblis dan selamanya setia kepada Tuhan. Setelah itu, bagaimanapun mereka berusaha menipuku, aku tetap tutup mulut dan tidak mengatakan apa pun. Melihat perkataan mereka tidak berpengaruh, kedua kepala bagian itu hanya bisa pergi dengan gusar.

Selama sepuluh hari, sepuluh malam di hotel itu, mereka terus memborgolku, membuatku berjongkok di lantai sambil memegangi kakiku. Mengingat waktu yang kuhabiskan selama ditahan, aku menghabiskan sembilan belas hari, sembilan belas malam di kantor polisi dan di hotel, dan perlindungan kasih Tuhanlah yang telah memungkinkanku untuk tidur sejenak. Selain tidur yang sejenak itu, para polisi jahat tidak membiarkan aku tidur sama sekali di sepanjang waktu itu; aku hanya memejamkan mata untuk sesaat dan mereka melakukan apa pun untuk membuatku tetap terjaga—memukul meja, menendangku dengan keras, meneriakiku, memerintahkanku untuk berlari-lari di tempat, dan sebagainya. Setiap kali aku terkejut, jantungku akan berdetak kencang di dadaku, dan saraf-sarafku akan menegang. Dengan terus terjaga seperti ini dan sering disiksa oleh para polisi jahat itu, kekuatanku semakin menipis, seluruh tubuhku bengkak dan tidak nyaman, dan pandangan mataku mulai kabur. Aku tahu ada orang di depanku yang berbicara, tetapi suara mereka seakan-akan berasal dari suatu tempat yang sangat jauh. Selain itu, reaksiku menjadi sangat lambat. Bagiku, berhasil melewati semua ini, adalah berkat kuasa Tuhan yang besar! Seperti yang Tuhan katakan: "Dia membuat manusia dilahirkan kembali, dan memampukan manusia untuk hidup dengan gigih dalam setiap perannya. Berkat kuasa-Nya, dan daya hidup-Nya yang tidak terpadamkan, manusia telah hidup dari generasi ke generasi, dan selama itulah kuasa hidup Tuhan telah menjadi landasan bagi keberadaan manusia, dan yang untuknya Tuhan telah membayar harga yang tidak pernah dibayarkan oleh manusia biasa mana pun. Daya hidup Tuhan dapat menang atas kekuatan mana pun; terlebih lagi, daya hidup-Nya melampaui kekuatan apa pun. Hidup-Nya kekal, kuasa-Nya menakjubkan, dan daya hidup-Nya tidak bisa ditundukkan oleh makhluk ciptaan atau kekuatan musuh mana pun" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Kristus Akhir Zaman yang Bisa Memberi Manusia Jalan Hidup yang Kekal"). Dalam hatiku, aku dengan tulus bersyukur dan memuji Tuhan: "Ya Tuhan! Engkau mengatur segala sesuatu, perbuatan-Mu tidak terkira, hanya Engkau yang mahakuasa, Engkau adalah semangat hidup yang tak dapat dipadamkan, dan Engkau adalah mata air kehidupan bagi hidupku. Di lingkungan khusus ini, aku telah melihat kuasa dan otoritas-Mu yang unik." Pada akhirnya, para polisi jahat itu tidak mendapat jawaban atas pertanyaan mereka dariku, dan mereka mengirimku ke rumah tahanan.

Dalam perjalanan ke rumah tahanan, dua polisi berkata kepadaku, "Kalian telah melakukannya dengan sangat baik. Kalian mungkin berada di rumah tahanan, tetapi kalian adalah orang baik. Ada berbagai jenis orang di sana: pengedar narkoba, pembunuh, pelacur—kau akan tahu saat kau tiba." "Karena kalian tahu kami orang baik, mengapa kalian menangkap kami? Bukankah pemerintah berbicara tentang kebebasan beragama?" tanyaku. "Partai Komunislah yang membohongimu. Partai itu memberi kami nafkah, jadi kami harus melakukan apa yang dikatakannya. Kami tidak membencimu atau menentangmu. Kami hanya menangkapmu karena kau percaya kepada Tuhan," kata salah seorang polisi. Mendengar ini, aku merenungkan kembali semua yang kualami. Aku mau tak mau teringat firman Tuhan ini: "Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Firman Tuhan menyerang langsung ke inti permasalahan, membuatku mampu benar-benar melihat sifat pemerintah PKT yang sesungguhnya dan cara mereka berusaha mendapatkan pujian yang tidak layak diterimanya: secara lahiriah, mereka mengibarkan bendera kebebasan beragama, tetapi secara diam-diam menangkap, menindas, dan dengan kejam menyakiti mereka yang percaya kepada Tuhan di seluruh negeri, dengan harapan yang sia-sia untuk melarang pekerjaan Tuhan, dan bahkan tanpa malu menjarah uang gereja, yang semuanya menelanjangi hakikat jahatnya yang membenci Tuhan dan membenci kebenaran.

Sementara di rumah tahanan, ada saat-saat ketika aku lemah dan dalam kesakitan. Namun firman Tuhan terus menginspirasiku, memberiku kekuatan dan iman, membuatku dapat memahami bahwa, meskipun Iblis telah melucutiku dari kebebasan daging, penderitaanku telah mendidik kerohanianku, dan telah mengajarku untuk mengandalkan Tuhan selama penyiksaan para setan jahat ini, memungkinkanku untuk memahami arti yang sesungguhnya dari banyak kebenaran dan untuk melihat betapa berharganya kebenaran itu, dan firman Tuhan telah meningkatkan tekad dan motivasiku untuk mengejar kebenaran. Aku menjadi rela untuk terus menaati Tuhan, dan untuk mengalami semua yang telah Tuhan atur bagiku. Akibatnya, ketika bekerja di rumah tahanan, aku menyanyikan lagu-lagu pujian dan dengan diam-diam merenungkan kasih Tuhan. Aku merasa hatiku semakin dekat kepada Tuhan, dan aku tidak lagi mendapati hari-hari itu begitu menyakitkan dan menyedihkan.

Selama masa ini, para polisi jahat itu menginterogasiku berkali-kali. Aku bersyukur kepada Tuhan karena membimbingku dalam mengatasi siksaan mereka yang berulang-ulang. Setelah itu, para polisi jahat itu menarik semua uang dari tiga kartu ATMku. Tak berdaya melihat uang gereja diambil oleh para polisi jahat, hatiku hancur. Hatiku dipenuhi dengan kebencian terhadap gerombolan setan yang serakah dan jahat ini, dan aku mendambakan agar kerajaan Kristus segera tiba. Pada akhirnya, meskipun tidak memiliki bukti, mereka memvonisku satu tahun tiga bulan pendidikan ulang melalui kerja paksa karena "mengganggu ketertiban umum."

Melalui dianiaya secara kejam oleh pemerintah PKT, aku telah benar-benar merasakan kasih dan keselamatan Tuhan bagiku, aku jadi menghargai kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan serta perbuatan ajaib-Nya, dan aku telah melihat otoritas dan kuasa firman Tuhan. Selain itu, aku jadi sungguh-sungguh membenci Iblis. Selama masa penganiayaan itu, firman Tuhan menemaniku melewati hari-hari yang menyedihkan, membuatku mampu melihat rencana licik Iblis yang sebenarnya dan memberiku perlindungan yang tepat waktu. Firman Tuhan membuatku kuat dan berani, memampukanku mengatasi siksaan biadab itu berkali-kali. Firman Tuhan memberiku kekuatan dan iman, dan memberiku keberanian untuk bertarung melawan Iblis sampai akhir .... Syukur kepada Tuhan! Tuhan Yang Mahakuasa adalah jalan, kebenaran, dan hidup! Aku akan selamanya mengikuti Tuhan Yang Mahakuasa sampai akhir!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Mengalahkan Pencobaan Iblis

Oleh Saudari Chen Lu, TiongkokIni terjadi pada bulan Desember 2012, saat aku berada di luar kota untuk menyebarkan Injil. Suatu pagi, saat...

Satu Cobaan Demi Cobaan Lain

Suatu pagi di bulan April 2009, sekitar pukul 9 pagi, saat baru saja melangkah ke luar jalan setelah sebuah pertemuan, aku dan Saudari Ding...