Renungan tentang Mengejar Keberuntungan

22 November 2024

Pada akhir tahun 2022, aku memulai tugasku sebagai pengkhotbah dan bertanggung jawab untuk menindaklanjuti pekerjaan di beberapa gereja. Suatu hari, aku menerima surat dari pemimpin tingkat atas, yang mengatakan bahwa di salah satu gereja, keadaan dua orang pemimpin sedang tidak baik dan hal itu sudah memengaruhi berbagai pekerjaan gereja. Beliau memintaku untuk segera ke sana untuk memahami situasinya dan menyelesaikannya melalui persekutuan. Aku berpikir dalam hati, "Baru-baru ini, gereja ini mengalami serangkaian penangkapan oleh Partai Komunis, banyak saudara-saudari menghadapi risiko keamanan dan tidak bisa melaksanakan tugas mereka dengan normal. Dapat dimengerti jika kedua pemimpin tersebut merasa sedikit negatif karena kesulitan ini. Jika aku bisa menemukan beberapa firman Tuhan dan bersekutu dengan mereka, mestinya aku dapat menyelesaikan masalah ini." Ketika aku bertemu kedua pemimpin tersebut, keadaan mereka benar-benar buruk. Mereka mengatakan bahwa kurangnya hasil dalam berbagai pekerjaan gereja disebabkan oleh kegagalan mereka untuk melakukan pekerjaan nyata, dan mereka begitu negatif hingga ingin mengundurkan diri. Aku segera bersekutu dengan mereka, aku berkata, "Keadaan ini terjadi atas izin Tuhan. Kita tidak boleh terjebak dalam keadaan negatif. Hal yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita bisa bekerja sama untuk memikul tanggung jawab kita dan tidak menunda pekerjaan gereja." Namun, bagaimana pun aku bersekutu, kedua saudari itu tetap terjebak dalam keadaan negatif mereka, mengatakan bahwa kualitas mereka rendah, mereka tidak mengejar kebenaran, dan mereka tidak bisa melakukan pekerjaan kepemimpinan. Menghadapi situasi seperti itu, aku berpikir, "Mengapa aku begitu tidak beruntung? Aku baru saja mulai menjadi pengkhotbah, dan aku ditugaskan di gereja ini di mana para pemimpinnya terlalu negatif untuk memikul tanggung jawab. Bukankah ini berarti semua pekerjaan akan jatuh ke pundakku?" Saat itu, aku bersekutu secara simultan dengan para pemimpin gereja untuk mencari jalan keluar atas keadaan mereka dan juga menghadiri berbagai pertemuan untuk melaksanakan beberapa pekerjaan. Aku sibuk hingga kelelahan setiap hari. Belakangan, salah satu pemimpin akhirnya mengundurkan diri. Pemimpin lainnya dikhianati oleh seorang Yudas dan sementara harus bersembunyi untuk menghindari penangkapan, sehingga dia tidak bisa keluar untuk melaksanakan tugasnya. Mendengar kabar ini, mau tak mau aku mendesah dalam-dalam. Aku berpikir, "Ada begitu banyak masalah di gereja ini; kedua pemimpin tersebut bahkan tidak bisa melaksanakan tugas mereka. Aku sendiri yang harus melakukan semua pekerjaan. Berapa lama aku akan sibuk dengan semua ini?" Selama hari-hari itu, aku seperti gasing yang terus berputar, tidak bisa berhenti bergerak. Kadang-kadang, aku bertemu dengan saudara-saudari di siang hari untuk memahami pekerjaan, dan ketika aku pulang di malam hari, ada setumpuk surat yang harus dibalas. Setiap hari, aku terus sibuk hingga larut malam dan tetap tidak bisa menyelesaikan semua tugas. Menghadapi serangkaian masalah dan kesulitan ini, aku merasa lelah, terkuras secara fisik dan mental. Rasanya seperti ada batu yang menyumbat dadaku, membuatku sulit bernapas. Aku berpikir, "Sejak ditugaskan di gereja ini, aku menghadapi serangkaian kejadian yang tidak menguntungkan. Masalah yang baru muncul sebelum yang lama terselesaikan. Sekarang bahkan tidak ada pemimpin gereja. Aku seperti komandan tunggal, tanpa siapa pun untuk berkonsultasi tentang berbagai hal, harus menangani semua pekerjaan sendiri. Sementara itu, pengkhotbah lain bertanggung jawab atas gereja-gereja dengan tiga pemimpin. Meskipun ada banyak tugas, setiap orang melakukan sebagian, jadi dia tidak sekelelahan aku. Mengapa dia begitu beruntung? Dan mengapa aku ditugaskan di gereja seperti ini? Aku sangat tidak beruntung!" Makin aku memikirkannya, makin aku merasa tertekan, selalu merasa bahwa aku tidak beruntung ditugaskan ke gereja itu. Meskipun aku tampaknya melaksanakan tugasku secara normal setiap hari, aku merasa patah semangat dan bahkan ingin melarikan diri dari lingkungan ini.

Saat hidup dalam keadaan putus asa dan penentangan yang salah ini, suatu hari, aku menonton sebuah video kesaksian dengan sebuah kutipan dari firman Tuhan yang sangat menyentuh hatiku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apa masalahnya dengan orang yang selalu menganggap diri mereka tidak beruntung? Mereka selalu menggunakan keberuntungan sebagai standar untuk mengukur apakah tindakan mereka benar atau salah, untuk mempertimbangkan jalan mana yang harus mereka tempuh, hal-hal apa yang harus mereka alami, dan masalah apa pun yang harus mereka hadapi. Apakah itu benar atau salah? (Salah.) Mereka menggambarkan hal-hal buruk sebagai ketidakberuntungan dan hal-hal baik sebagai keberuntungan atau keuntungan. Apakah sudut pandang ini benar atau salah? (Salah.) Mengukur segala sesuatu dari sudut pandang seperti ini adalah salah. Ini adalah cara dan standar yang tidak benar dan ekstrem untuk mengukur segala sesuatu. Cara seperti ini sering kali membuat orang tenggelam dalam depresi, dan sering kali membuat mereka merasa gelisah, dan merasa semua hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka, dan merasa mereka tak pernah mendapatkan apa yang mereka inginkan, yang pada akhirnya membuat mereka selalu merasa cemas, mudah tersinggung, dan gelisah. Jika emosi-emosi negatif ini tidak dibereskan, orang-orang ini akan selalu tenggelam dalam perasaan depresi dan merasa Tuhan tidak berkenan akan mereka. Mereka menganggap Tuhan memperlakukan orang lain dengan kasih karunia tetapi tidak kepada mereka, dan Tuhan memedulikan orang lain tetapi tidak memedulikan mereka. 'Mengapa aku selalu merasa gelisah dan cemas? Mengapa hal-hal buruk selalu menimpaku? Mengapa hal-hal baik tak pernah terjadi pada diriku? Aku hanya minta satu kali saja mengalami hal yang baik!' Jika engkau memandang segala sesuatu dengan cara berpikir dan sudut pandang yang keliru seperti ini, engkau akan terjerumus ke dalam perangkap beruntung dan tidak beruntung. Jika engkau terus-menerus terjerumus ke dalam perangkap ini, engkau akan selalu merasa depresi. Di tengah perasaan depresi ini, engkau akan sangat sensitif terhadap apakah hal-hal yang menimpamu adalah keberuntungan atau ketidakberuntungan. Ketika hal ini terjadi, ini membuktikan bahwa sudut pandang dan gagasan tentang beruntung dan tidak beruntung ini telah mengendalikan dirimu. Ketika engkau dikendalikan oleh sudut pandang seperti ini, pandangan dan sikapmu terhadap orang, peristiwa dan hal-hal tidak lagi berada dalam lingkup hati nurani dan nalar manusia normal, melainkan telah jatuh ke dalam keadaan ekstrem. Ketika engkau telah jatuh ke dalam keadaan ekstrem seperti ini, engkau tidak akan terbebas dari perasaan depresimu. Engkau akan terus merasa depresi berulang kali, dan meskipun engkau biasanya tidak merasa depresi, begitu sesuatu tidak berjalan lancar, begitu engkau merasa ketidakberuntungan telah terjadi, engkau akan langsung tenggelam dalam depresi. Perasaan depresi akan memengaruhi penilaian normalmu dan pengambilan keputusanmu, dan bahkan memengaruhi kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, dan sukacitamu. Ketika perasaan depresi memengaruhi kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, dan sukacitamu, itu akan mengganggu dan menghancurkan pelaksanaan tugasmu, serta kemauan dan keinginanmu untuk mengikut Tuhan. Setelah hal-hal positif ini hancur, sedikit kebenaran yang telah kaupahami akan hilang begitu saja dan menjadi sama sekali tidak berguna bagimu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku dengan tepat. Dalam pandanganku, melaksanakan tugasku dengan lancar tanpa kesulitan apa pun dan semuanya berjalan dengan baik adalah keberuntungan. Ketika aku menghadapi beberapa kesulitan atau masalah dalam tugasku, aku merasa diriku tidak beruntung dan malang, dan aku langsung terperosok ke dalam suasana hati yang putus asa. Misalnya, ketika aku datang ke gereja ini dan melihat bahwa kedua pemimpin begitu negatif hingga ingin mengundurkan diri dan bahwa ada serangkaian kesulitan dan masalah dalam pekerjaan gereja, aku tidak menerima bahwa itu berasal dari Tuhan dan mencari maksud-Nya atau memikirkan bagaimana mengerahkan seluruh energiku untuk mengemban pekerjaan ini. Sebaliknya, aku terperosok ke dalam keputusasaan, berpikir bahwa menghadapi kesulitan-kesulitan ini adalah nasib burukku. Khususnya, ketika kemudian kedua pemimpin tersebut tidak dapat mengerjakan tugas, dan ketika aku memikirkan area yang disupervisi oleh pengkhotbah lain di mana para pemimpin dan pekerja sudah ada di tempatnya dan pekerjaan berjalan dengan lancar, aku sangat iri padanya dan kuanggap bahwa dia beruntung, sementara aku tidak beruntung dan menghadapi semua hal buruk. Ketika aku melihat hal-hal dari perspektif yang salah ini, aku terus tenggelam dalam keputusasaan dan penentangan, tidak memiliki energi dalam tugasku dan bahkan ingin melarikan diri dari lingkungan ini. Namun pada kenyataannya, semua lingkungan yang kuhadapi telah diatur oleh Tuhan. Maksud Tuhan adalah agar aku mencari kebenaran, mengandalkan Tuhan, dan mengalami lingkungan ini dengan cara yang nyata. Bahkan ketika ada kesulitan, aku tetap harus berdoa kepada Tuhan dan mencari kebenaran untuk menyelesaikannya, memikul tugas-tugas yang bisa aku tangani. Namun, aku tidak berpikir tentang bagaimana mengalami pekerjaan Tuhan dan memahami kedaulatan serta pengaturan-Nya dalam lingkungan seperti itu. Ketika menghadapi hal-hal yang tidak memuaskan, aku berpikir bahwa aku tidak beruntung dan memiliki nasib buruk, aku hidup dalam suasana hati yang putus asa dan menentang kedaulatan Tuhan. Bagaimana aku bisa belajar dengan cara ini? Bagaimana aku bisa memahami perbuatan Tuhan? Mau tak mau aku memikirkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Ketika menghadapi berbagai situasi, mereka tidak pernah menerima bahwa itu berasal dari Tuhan, serta tidak tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan mereka menyalahkan semua orang kecuali diri mereka sendiri ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan keinginan mereka. Mereka menjalani hidup mereka tanpa pernah mengenal Tuhan. Sedangkan aku, meskipun aku percaya kepada Tuhan dan mengatakan bahwa Tuhan memegang kedaulatan atas segalanya, aku masih menilai segala sesuatu menurut sudut pandang orang yang tidak percaya. Bukankah ini perilaku pengikut yang bukan orang percaya?

Aku membaca lebih banyak firman Tuhan yang mengatakan: "Orang-orang yang selalu memikirkan apakah mereka beruntung atau tidak beruntung—apakah cara mereka memandang segala sesuatu benar? Apakah keberuntungan dan ketidakberuntungan itu ada? (Tidak ada.) Atas dasar apa engkau mengatakan bahwa itu tidak ada? (Orang-orang yang kami jumpai dan hal-hal yang terjadi pada kami setiap hari ditentukan oleh kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Tidak ada yang namanya keberuntungan dan ketidakberuntungan; semua yang terjadi adalah hal yang perlu terjadi dan ada makna di balik semua itu.) Benarkah demikian? (Ya.) Pandangan ini benar, dan ini adalah dasar teoretis untuk mengatakan bahwa keberuntungan itu tidak ada. Apa pun yang terjadi padamu, entah itu baik atau buruk, semua itu normal, sama seperti cuaca selama empat musim—cuaca tidak mungkin cerah setiap harinya. Engkau tidak dapat mengatakan bahwa hari-hari yang cerah diatur oleh Tuhan, sedangkan hari-hari berawan, hujan, berangin, dan badai tidak diatur oleh Tuhan. Segala sesuatu ditentukan oleh kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan dihasilkan oleh lingkungan alam. Lingkungan alam muncul sesuai dengan hukum dan aturan yang telah Tuhan atur dan tetapkan. Semua ini perlu dan harus ada, jadi apa pun cuacanya, itu dihasilkan dan disebabkan oleh hukum alam. Tidak ada baik atau buruk di dalam hal ini—hanya perasaan orang tentangnya yang baik dan buruk. ... Sebenarnya, apakah seseorang merasa baik atau buruk tentang sesuatu, itu didasarkan pada motif, keinginan, dan kepentingan mereka sendiri, dan bukan didasarkan pada esensi dari hal itu sendiri. Jadi, dasar yang orang gunakan untuk mengukur apakah sesuatu itu baik atau buruk tidaklah tepat. Karena dasarnya tidak tepat, kesimpulan yang mereka tarik pun tidak tepat. Kembali ke topik tentang keberuntungan dan ketidakberuntungan, sekarang semua orang sudah mengerti bahwa perkataan tentang keberuntungan ini tidak masuk akal, dan tidak ada yang namanya beruntung atau tidak beruntung. Orang, peristiwa, dan hal-hal yang kautemui, entah baik atau buruk, semuanya ditentukan oleh kedaulatan dan pengaturan Tuhan, jadi engkau harus menghadapi semua itu dengan benar. Terimalah apa yang baik sebagai sesuatu dari Tuhan, dan terimalah juga apa yang buruk sebagai sesuatu dari Tuhan. Jangan berkata engkau beruntung ketika hal-hal baik terjadi, dan engkau tidak beruntung ketika hal-hal buruk terjadi. Engkau hanya dapat berkata bahwa ada pelajaran yang dapat orang petik dalam semua hal ini, dan mereka tidak boleh menolak atau menghindarinya. Bersyukurlah kepada Tuhan untuk hal-hal baik, tetapi bersyukurlah juga kepada Tuhan untuk hal-hal buruk, karena semua itu diatur oleh-Nya. Orang, peristiwa, hal-hal, dan lingkungan yang baik menyediakan pelajaran yang harus mereka petik, tetapi ada jauh lebih banyak pelajaran yang dapat dipetik dari orang, peristiwa, hal-hal, dan lingkungan yang buruk. Semua ini adalah pengalaman dan peristiwa yang harus menjadi bagian dari kehidupan seseorang. Orang tidak boleh menggunakan gagasan tentang keberuntungan untuk mengukur semua itu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). "Jika engkau melepaskan gagasan tentang beruntung atau tidak beruntungnya dirimu, dan memperlakukan hal-hal ini dengan tenang dan benar, engkau akan mendapati bahwa sebagian besar hal yang terjadi tidaklah terlalu buruk atau terlalu sulit untuk ditangani. Jika engkau melepaskan ambisi dan keinginanmu, jika engkau tidak lagi menolak atau menghindari kemalangan apa pun yang menimpamu, dan engkau tidak lagi mengukur hal-hal semacam itu berdasarkan beruntung atau tidak beruntungnya dirimu, maka banyak hal yang sebelumnya kauanggap tidak beruntung dan buruk, sekarang akan kauanggap baik—hal-hal buruk itu akan berubah menjadi hal-hal baik. Mentalitas dan caramu dalam memandang segala sesuatu akan berubah, dan ini akan memampukanmu merasakan hal yang berbeda tentang pengalaman hidupmu, dan engkau juga akan sekaligus menuai hasil yang berbeda. Ini adalah pengalaman yang luar biasa, pengalaman yang akan membuahkan hasil yang tak pernah kaubayangkan. Ini adalah hal yang baik, bukan hal yang buruk" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Firman Tuhan mencerahkan aku. Sebenarnya, tidak ada yang namanya keberuntungan atau kemalangan. Segala sesuatu yang terjadi padaku, terlepas dari apakah itu sesuai dengan gagasanku di permukaan atau tidak, telah diatur oleh Tuhan dan pasti akan terjadi, dan juga merupakan pengalaman yang perlu dalam hidupku. Tuhan mengatur hal-hal ini untuk memberiku pelajaran. Selama aku fokus pada mencari kebenaran, aku akan mendapatkan sesuatu; apa yang tampak buruk bagi manusia bisa berubah menjadi sesuatu yang baik. Misalnya, ketika Ayub menghadapi godaan-godaan dari Iblis, dia kehilangan kekayaannya yang besar, anak-anaknya mati tertimbun, dan tubuhnya dipenuhi bisul. Dari sudut pandang manusia, serangkaian peristiwa yang Ayub alami tampak sangat malang dan tidak beruntung. Namun, dari sudut pandang Tuhan, Tuhan mengizinkan Ayub menghadapi semua pencobaan ini untuk memberinya kesempatan bersaksi kepada Tuhan, membuktikan kepada Setan bahwa Ayub adalah orang benar yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, yang mencegah Setan untuk menuduh atau menyerangnya lebih lanjut. Dengan iman dan rasa takutnya kepada Tuhan, Ayub tetap teguh dalam kesaksiannya selama cobaan-cobaan ini dan memperoleh perkenan Tuhan. Ini adalah hal yang sangat bermakna! Melalui pengalaman Ayub, kita dapat melihat bahwa tidak ada yang namanya keberuntungan atau kemalangan, dan bahwa segala sesuatu yang terjadi disebabkan oleh kedaulatan dan pengaturan Tuhan, yang dirancang untuk mengajarkan kita pelajaran-pelajaran yang berbeda di tengah berbagai lingkungan. Namun, aku tidak menyadari kedaulatan Tuhan dan selalu menilai segala sesuatu yang terjadi padaku berdasarkan keberuntungan. Ini karena aku terlalu memikirkan dagingku, selalu ingin melaksanakan tugas-tugasku dengan lancar tanpa membuat dagingku menderita. Selama hal itu bermanfaat bagi dagingku dan aku tidak perlu menderita, aku merasa bahwa aku beruntung. Sebaliknya, jika aku menghadapi beberapa kesulitan dan masalah dan harus menderita serta membayar harga, aku merasa tidak beruntung dan sering mengeluh dalam hatiku. Pandanganku dalam menilai segala sesuatu terlalu terdistorsi! Serangkaian kesulitan dan masalah yang sekarang aku hadapi tampak tidak menguntungkan di permukaan, tetapi Tuhan telah menggunakan kesulitan-kesulitan ini untuk mengajarkanku bergantung kepada-Nya, mencari kebenaran, memberontak melawan dagingku, dan memetik sejumlah pelajaran. Di masa lalu, ketika aku melaksanakan tugasku di lingkungan yang nyaman dan hanya mengikuti rutinitas yang sama setiap hari, tampak mudah di permukaan, tetapi yang kudapat sangat sedikit. Aku tidak memahami banyak prinsip kebenaran, dan pertumbuhan hidupku lambat, sedangkan lingkungan yang sekarang bermanfaat bagi kehidupanku. Dengan memahami maksud Tuhan, aku merasa jauh lebih lega, tidak lagi terperangkap dalam keputusasaan dan penentangan. Aku bersedia tunduk kepada lingkungan yang Tuhan telah atur untukku dan mengalami pekerjaan Tuhan dengan cara yang nyata. Setelah itu, aku mulai melaksanakan tugasku dengan sungguh-sungguh, melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tuntutan rumah Tuhan. Setelah beberapa waktu, beberapa pekerjaan gereja mulai pulih secara perlahan. Aku menjadi lebih akrab dengan para personel dan berbagai aspek pekerjaan, dan aku memahami prinsip-prinsip pekerjaan lebih baik daripada sebelumnya, sehingga aku mendapatkan rasa percaya diri. Barulah saat itu aku mengalami secara langsung perhatian Tuhan dalam mengatur lingkungan-lingkungan ini. Aku melihat bahwa dengan tidak menilai orang-orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitarku dari sudut pandang keberuntungan atau kemalangan dan menerima bahwa segalanya berasal dari Tuhan serta mencari kebenaran, aku tidak merasa lelah dalam tugasku. Sebaliknya, aku merasa puas dan damai.

Seusai sebuah pertemuan, pemimpin mengatur agar aku menangani sesuatu di sebuah gereja. Awalnya, aku berencana menyelesaikannya dalam satu hari kemudian pergi ke gereja lain untuk melaksanakan pekerjaan, tetapi tanpa diduga, begitu aku tiba di gereja ini, pengawas gereja dengan gugup memberitahuku, "Sesuatu telah terjadi. Banyak saudara dan saudari ditangkap kemarin." Setelah mendengar laporannya, aku menyadari bahwa hampir semua yang ditangkap adalah para pemimpin dan pekerja, artinya sekarang hampir tidak mungkin untuk melaksanakan pekerjaan gereja secara normal. Para pemimpin gereja juga harus bersembunyi karena hubungan mereka dengan orang-orang tersebut dan tidak bisa keluar untuk melaksanakan tugas-tugas mereka. Segera setelah itu, aku menerima surat dari pemimpin tingkat atas yang memerintahkanku untuk tinggal sementara di gereja ini untuk menangani dampak dari penangkapan tersebut. Pada awalnya, aku bisa menerima bahwa ini berasal dari Tuhan dan tunduk. Pada saat itu, ada banyak risiko keamanan bagi beberapa keluarga tuan rumah serta saudara-saudari, dan ada banyak tugas gereja yang perlu ditangani. Aku sibuk sepanjang hari, dan ketika aku kembali ke rumah tuan rumahku di malam hari, aku harus membalas surat-surat dari gereja-gereja lain. Aku harus begadang hampir setiap malam. Lingkungannya juga keras, dan hampir setiap hari aku menerima surat yang mengatakan bahwa makin banyak saudara-saudari telah ditangkap. Setiap kali aku pergi keluar, hatiku diliputi kecemasan, tidak tahu apakah aku akan kembali dengan selamat kali ini. Beberapa waktu berlalu, dan aku merasa lelah secara fisik dan mental. Melihat bahwa dua pemimpin di dekatku hanya membalas surat dan melakukan beberapa pekerjaan di rumah, sedangkan aku selalu ke sana kemari, bergerak seperti gasing yang terus-menerus berputar dengan lebih banyak pekerjaan daripada yang bisa kutangani, dan sarafku tegang, aku berpikir dalam hati, "Tugas yang mereka lakukan begitu mudah. Mereka tidak perlu khawatir, tidak perlu ke sana kemari. Berbeda denganku, aku bahkan tidak punya kesempatan untuk beristirahat. Mengapa aku selalu terlibat dalam menangani penangkapan di gereja? Aku sangat tidak beruntung! Mengapa hal-hal ini terus terjadi padaku satu demi satu?" Meskipun aku tidak berani mengeluh secara terang-terangan, jauh di dalam hati, aku sangat menentang, dan aku selalu merasa terpaksa dan enggan saat melaksanakan tugasku. Saat aku berada dalam keadaan yang salah ini, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan kembali pengalaman-pengalamanku sebelumnya, dan aku samar-samar menyadari bahwa lingkungan ini telah diatur oleh Tuhan agar aku bisa belajar suatu pelajaran. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, ketika hal-hal terjadi padaku, aku masih secara tidak sadar melihatnya dari perspektif keberuntungan atau kemalangan. Dan masih merasa bahwa hal-hal ini terjadi karena nasib buruk dan kemalanganku. Aku tidak bisa benar-benar memahami maksud-Mu. Ya Tuhan, tolong cerahkan dan bimbing aku agar aku bisa belajar untuk mengalami di tengah lingkungan ini."

Setelah itu, aku dengan sengaja mencari firman Tuhan untuk kubaca, ingin memahami apa yang sebenarnya salah dengan selalu mengejar keberuntungan. Aku membaca bagian ini dalam firman Tuhan: "Seperti apakah pemikiran dan sudut pandang orang yang menggunakan keberuntungan untuk mengukur apakah sesuatu itu baik atau buruk? Apakah esensi orang-orang semacam itu? Mengapa mereka sangat memperhatikan keberuntungan dan ketidakberuntungan? Apakah orang yang sangat berfokus pada keberuntungan berharap mereka beruntung atau berharap mereka tidak beruntung? (Mereka berharap mereka beruntung.) Benar. Sebenarnya, mereka berusaha agar mereka beruntung dan agar hal-hal baik terjadi pada diri mereka, dan mereka hanya ingin mendapatkan manfaat dan mengambil keuntungan dari keberuntungan dan hal-hal baik tersebut. Mereka tidak peduli seberapa banyak orang lain menderita atau seberapa banyak kesukaran dan kesulitan yang harus orang lain alami. Mereka tidak ingin apa pun yang mereka anggap sebagai ketidakberuntungan menimpa mereka. Dengan kata lain, mereka tidak mau hal-hal buruk terjadi pada diri mereka: tidak mau mengalami kemunduran, kegagalan atau rasa malu, tidak mau mengalami pemangkasan, kehilangan, dan kerugian, dan tidak mau tertipu. Jika salah satu hal tersebut terjadi, mereka menganggapnya sebagai ketidakberuntungan. Siapa pun yang mengaturnya, jika terjadi hal yang buruk, itu berarti ketidakberuntungan. Mereka berharap semua hal yang baik—mulai dari dipromosikan, terlihat paling menonjol, dan mendapatkan manfaat sekalipun mengorbankan orang lain, mendapatkan keuntungan dari sesuatu, menghasilkan banyak uang, atau menjadi pejabat tinggi—terjadi pada diri mereka, dan mereka menganggap itulah keberuntungan. Mereka selalu mengukur orang, peristiwa, dan hal-hal yang mereka temui berdasarkan keberuntungan. Mereka berusaha menjadi orang yang beruntung, bukan orang yang tidak beruntung. Begitu terjadi kesalahan sekecil apa pun, mereka menjadi marah, kesal dan tidak puas. Bahasa kasarnya, jenis orang seperti ini egois. Mereka berusaha memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri sekalipun mengorbankan orang lain, menjadi unggul dari yang lain, dan terlihat paling menonjol. Mereka akan merasa puas jika semua hal baik terjadi hanya pada diri mereka. Inilah natur dan esensi mereka; seperti inilah diri mereka yang sebenarnya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Firman Tuhan membuatku merasa sangat malu. Ternyata, pengejaranku yang terus-menerus terhadap keberuntungan dan penghindaran dari segala kesulitan atau penderitaan sebenarnya disebabkan oleh sifatku yang egois. Aku berpegang pada filosofi duniawi "mendapatkan keuntungan tanpa mengalami kerugian," selalu mengedepankan kepentinganku sendiri. Aku selalu ingin hal-hal baik terjadi padaku, ingin semuanya berjalan lancar tanpa harus menghadapi kesulitan; itulah yang membuatku bahagia. Begitu aku menghadapi hambatan atau kesulitan yang berkaitan dengan kepentingan jasmaniku dan mengharuskanku untuk menderita, aku mulai mengeluh dan kesal, keseimbanganku sepenuhnya hilang. Sebelum percaya kepada Tuhan, ketika aku melihat rekan-rekan yang berasal dari latar belakang yang baik, yang anggota keluarganya memiliki pekerjaan yang stabil dan rumah bagus, sementara aku hidup dalam kemiskinan tanpa memiliki rumah sendiri dan anggota keluargaku menganggur di rumah dan membutuhkan dukunganku, aku merasa sangat tidak seimbang. Aku berpikir, kemalanganku yang membuatku memiliki keluarga seperti itu, dan aku sangat iri serta cemburu pada rekan-rekanku. Aku selalu merasa bahwa hal-hal baik hanya terjadi pada orang lain, bahwa aku hanyalah orang yang tidak beruntung. Saat memikirkan masa-masa belakangan ini, ketika kedua gereja yang berada dalam tanggung jawabku dihadapkan dengan penangkapan oleh Partai Komunis Tiongkok, itu mengharuskanku menderita dan membayar harga, itu juga bersinggungan dengan kepentingan dagingku, jadi aku mulai mengeluhkan segalanya dan menyalahkan nasib buruk serta kemalanganku. Bukan hanya aku tidak berpikir untuk secara proaktif melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi aku juga menjadi putus asa dan menentang, mengeluh bahwa Tuhan terus-menerus menempatkanku dalam lingkungan-lingkungan seperti itu. Pengejaranku terhadap keberuntungan pada dasarnya adalah untuk memuaskan kepentingan dagingku; aku berharap semua hal baik datang kepadaku dan selalu ingin mendapatkan keuntungan dari orang lain. Adapun tugas-tugas yang membutuhkan pengorbanan dan penderitaan, aku berpikir bahwa itu seharusnya dilakukan oleh orang lain. Selama aku bisa merasa nyaman dan dagingku bisa mendapatkan manfaat, aku akan puas. Aku benar-benar begitu egois! Di permukaan, tampaknya aku melaksanakan tugasku di rumah Tuhan, tetapi hatiku mempertimbangkan kepentingan jasmaniku daripada pekerjaan gereja dan maksud Tuhan yang Maha Waskita. Ini menjijikkan dan memuakkan bagi Tuhan, dan pada akhirnya, aku yang melaksanakan tugas dengan cara ini tidak akan mendapat perkenan-Nya.

Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan yang mengatakan: "Mudahkah untuk keluar dari perasaan depresi ini? Sebenarnya mudah. Lepaskan saja cara pandangmu yang salah, jangan berharap semuanya berjalan baik, atau tepat seperti yang kauinginkan, atau berharap semuanya berjalan lancar. Jangan takut, menentang, atau menolak hal-hal yang tidak berjalan lancar. Sebaliknya, lepaskan penentanganmu, tenangkan dirimu, dan datanglah ke hadapan Tuhan dengan sikap yang tunduk, dan terimalah semua yang Tuhan atur. Jangan mengejar apa yang disebut 'keberuntungan', dan jangan menolak apa yang disebut 'ketidakberuntungan'. Serahkan hatimu dan seluruh keberadaanmu kepada Tuhan, biarkan Dia bertindak dan mengatur, dan tunduklah pada pengaturan dan penataan-Nya. Tuhan akan memberimu apa yang kaubutuhkan sesuai dengan jumlah yang kauperlukan. Dia akan mengatur lingkungan, orang, peristiwa, dan hal-hal yang kauperlukan, sesuai dengan kebutuhan dan kekuranganmu, sehingga engkau dapat memetik pelajaran yang seharusnya kaupetik dari orang, peristiwa, dan hal-hal yang kautemui. Tentu saja, prasyarat semua ini adalah engkau harus memiliki mentalitas ketundukan pada pengaturan dan penataan Tuhan. Jadi, jangan mengejar kesempurnaan; jangan menolak atau takut akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, memalukan, atau hal-hal yang tidak menguntungkan; dan di dalam hatimu, jangan gunakan perasaan depresimu untuk menentang terjadinya hal-hal yang buruk" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Dari firman Tuhan, aku memahami maksud-Nya. Semua lingkungan yang telah diatur Tuhan untukku seluruhnya baik dan dimaksudkan untuk mengajariku. Aku tidak boleh lagi mengejar apa yang disebut keberuntungan ini dan selalu ingin melaksanakan tugasku di lingkungan yang nyaman. Terus bersikap begitu hanya akan menghasilkan pelayanan yang sia-sia. Sebaliknya, aku harus belajar tunduk pada lingkungan yang telah Tuhan atur, dan baik itu menguntungkan atau tidak, aku harus mencari kebenaran dari situ, berfokus merenungkan watak rusak yang kusingkapkan dan memberontak terhadap daging serta bertindak sesuai dengan tuntutan Tuhan. Inilah yang selaras dengan maksud Tuhan. Sekarang, saudara-saudari ditangkap, ada risiko keamanan bagi dua pemimpin gereja, dan beberapa pekerjaan tidak bisa dilakukan. Sebagai seorang pemimpin, aku harus memenuhi tanggung jawabku pada saat kritis ini. Meskipun menangani pekerjaan gereja akan sulit dan akan ada sejumlah penderitaan daging, selama itu bermanfaat bagi pekerjaan gereja, aku harus melakukan yang terbaik untuk bekerja sama. Saat memahami hal ini, aku tidak lagi hidup dalam kenegatifan, dan aku memahami dari dalam hatiku bahwa ini adalah tugasku, bahwa ini adalah tanggung jawab yang harus aku penuhi. Setelah itu, saat melaksanakan tugasku, aku secara aktif bersekutu untuk menyelesaikan masalah atau penyimpangan dalam pekerjaan gereja. Jika aku menghadapi masalah yang tidak kumengerti, aku berdiskusi dengan kedua pemimpin agar mereka bisa segera memahaminya, dan kemudian kami mencari prinsip-prinsip untuk menyelesaikannya. Dengan penerapan seperti ini, meskipun aku sibuk setiap hari, selama aku mengatur semuanya dengan masuk akal, aku bisa menanganinya dan tidak merasa bahwa itu tak tertahankan atau sulit.

Suatu hari, pemimpin tingkat atas mengirim surat yang meminta kami segera mengatur bahan-bahan untuk pentahiran dan pengusiran, menekankan bahwa hal itu sangat mendesak dan harus dikumpulkan serta diatur oleh orang-orang yang tidak memiliki risiko keamanan. Saat membaca surat ini, aku tahu bahwa akulah yang paling cocok untuk melakukannya. Namun, saat memikirkan bahwa aku harus memverifikasi dengan begitu banyak saudara-saudari dan pasti akan ke sana kemari setiap hari, mau tak mau aku mulai memikirkan hal-hal yang sama lagi, "Aduh, jelas-jelas pemimpin meminta seseorang yang tidak memiliki risiko keamanan, jadi aku tidak bisa menghindarinya meskipun aku ingin. Harus bolak-balik seperti ini dengan terburu-buru, siapa yang tahu berapa lama waktu yang akan dihabiskan untuk mengumpulkan dan memverifikasi bahan-bahan ini." Aku merasa tidak beruntung. Ketika memikirkan hal ini, aku teringat pada firman Tuhan yang mengatakan: "Jangan selalu melakukan segala sesuatu demi kepentinganmu sendiri dan jangan selalu memikirkan kepentinganmu sendiri; jangan memikirkan kepentingan manusia, dan jangan memikirkan harga diri, reputasi, dan statusmu sendiri. Engkau harus terlebih dahulu memikirkan kepentingan rumah Tuhan, dan menjadikannya prioritasmu. Engkau harus memikirkan maksud-maksud Tuhan dan memulainya dengan merenungkan apakah ada ketidakmurnian dalam pelaksanaan tugasmu, apakah engkau selama ini setia, memenuhi tanggung jawabmu, dan mengerahkan segenap kemampuanmu atau tidak, dan apakah engkau selama ini memikirkan tugasmu dan pekerjaan gereja dengan segenap hatimu atau tidak. Engkau harus memikirkan hal-hal ini" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Kebebasan dan Kemerdekaan Hanya Dapat Diperoleh dengan Menyingkirkan Watak yang Rusak"). Firman Tuhan mencerahkan hatiku. Tidak peduli tugas apa yang aku hadapi, itu mengandung maksud Tuhan. Khususnya karena pekerjaan ini sangat penting, bukankah kesempatan untuk melakukan pekerjaan ini artinya Tuhan sedang meninggikan derajatku? Namun, ketika menghadapi sebuah tugas, hal pertama yang kupikirkan adalah dagingku akan menderita lagi, dan aku berpikir bahwa aku tidak beruntung. Aku benar-benar terlalu egois! Aku seharusnya memprioritaskan pekerjaan gereja daripada memikirkan kesulitan daging terlebih dahulu, dan berusaha sebaik mungkin untuk mengandalkan Tuhan serta bekerja sama. Dengan menyadari hal itu, aku tidak lagi begitu menentang tugas ini, dan aku berdiskusi dengan para pemimpin gereja tentang cara menemukan orang-orang untuk memverifikasi bahan-bahan itu. Selama proses verifikasi, aku menghadapi beberapa kesulitan, tetapi aku menerima bahwa itu berasal dari Tuhan dan tidak lagi mengeluh, sambil juga meninjau penyimpangan dan mengandalkan Tuhan untuk terus bekerja sama. Akhirnya, bahan-bahan itu berhasil dikumpulkan. Aku dengan tulus bersyukur kepada Tuhan atas bimbingan-Nya!

Melalui pengalaman ini, aku mendapatkan pemahaman tentang pandangan keliru dalam mengejar keberuntungan dan melihat bahwa di balik pengejaran ini tersembunyi watak rusak yang egois dan hina. Sebenarnya, semua lingkungan yang Tuhan atur untukku, apakah aku melihatnya sebagai hal yang baik atau buruk, telah diatur berdasarkan tingkat pertumbuhanku dan kebutuhanku. Lingkungan-lingkungan itu dimaksudkan untuk membantuku mencari kebenaran, mengenali watak rusakku, dan memetik pelajaran dari lingkungan-lingkungan itu. Ada hikmat dan maksud Tuhan yang saksama di dalamnya. Di masa depan, aku tidak ingin terus menilai semua orang, peristiwa, dan hal-hal yang aku temui dengan pandangan yang didasarkan pada keberuntungan. Aku ingin belajar tunduk pada lingkungan yang Tuhan atur dan mengalami pekerjaan Tuhan.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait