Aku Tidak Lagi Menaruh Harapan Tinggi pada Putraku
Aku dibesarkan di pedesaan dan kehidupan di rumah sangatlah sulit. Aku iri dengan kehidupan orang-orang kota dan merasa bahwa hanya dengan...
Kami menyambut semua pencari yang merindukan penampakan Tuhan!
Aku lahir di keluarga terpelajar. Orang tuaku selalu menanamkan pemikiran seperti, "Mengejar hal-hal lain tidak penting, mengejar pendidikan tinggi lebih penting dari semuanya", "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", dan "Jika engkau lebih menonjol dari orang lain, engkau akan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu". Aku menerima pemikiran dan pandangan ini dan selalu bekerja keras untuk mencapainya. Aku ingin mengubah nasibku lewat pengetahuan, dan percaya jika aku bisa masuk perguruan tinggi, aku akan mendapat pekerjaan yang terhormat. Aku bisa bekerja di kantor tanpa perlu melakukan pekerjaan fisik yang berat, dan orang-orang akan menghormatiku. Namun, kenyataannya tidak sesuai harapanku, dan aku gagal masuk perguruan tinggi. Kemudian, aku menjadi buruh di pabrik produk semen. Setelah aku menikah, ibu mertuaku meremehkanku karena aku hanya buruh biasa, dan sering mempersulit diriku. Dia selalu bilang bahwa aku ini bukan siapa-siapa, hanya buruh yang payah. Aku tidak berani membalas sepatah kata pun saat ibu mertuaku melontarkan ejekan dan hinaan itu, dan aku pun merasa sangat sedih. Aku memutuskan untuk belajar pelajaran akademik sambil mengasuh anakku, agar setelah masuk perguruan tinggi, aku bisa menjadi pejabat. Dengan begitu, ibu mertuaku tidak akan lagi memandang rendah diriku.
Pada tahun 1986, aku akhirnya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dan meraih gelar diploma, persis seperti yang kuharapkan. Setelah lulus, aku kembali ke pabrik dan menjadi pegawai resmi di sana. Kemudian, aku dipromosikan menjadi direktur pabrik cabang pakan ternak. Semua rekan sekelas dan kolegaku sangat mengagumiku, mereka bilang aku wanita hebat, dan semua kerabat serta teman-temanku memujiku. Saat berpapasan denganku di jalan, orang yang mengenalku akan menyapaku dengan hangat. Sikap ibu mertuaku juga berubah dibandingkan sebelumnya, dan dia selalu tersenyum saat berbicara denganku. Dia bahkan membanggakan kemampuanku kepada para tetangga. Akhirnya aku bisa berbangga diri. Aku pun menghela napas, "Ternyata, memiliki status dan tidak itu sangat berbeda! Tanpa pengetahuan dan status, kita hanya bisa menjadi orang kelas bawah yang dipandang rendah oleh orang-orang." Saat aku sedang terhanyut dalam pujian orang lain, aku menyadari bahwa aku masih punya satu tanggung jawab: aku harus membina putraku dengan baik, agar dia memperoleh lebih banyak pengetahuan dan masuk perguruan tinggi seperti aku. Lalu, di masa depan, dia akan melampauiku, bisa meniti karier di pemerintahan, meraih kekuasaan dan status yang lebih tinggi, menjadi orang yang unggul, dan mengharumkan nama leluhur kami. Kemudian, sebagai ibunya, aku juga bisa ikut menikmati kehormatan dari kesuksesannya. Ketika putraku masuk SMP, aku menggunakan koneksiku untuk memasukkannya ke sekolah terbaik. Aku sering menyuruhnya belajar dengan giat, mendorongnya untuk berambisi, dan mengajarinya bahwa hanya dengan masuk perguruan tinggi, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki masa depan yang cerah. Putraku tidak mengecewakanku, dan prestasi akademisnya selalu masuk peringkat enam besar di kelasnya. Wali kelasnya berkata kepadaku, "Anda harus membina putra Anda dengan baik. Dia sangat pintar, dan berpotensi masuk ke Universitas Tsinghua atau Peking." Setelah mendengar perkataan guru itu, aku merasa sangat senang, dan berpikir, "Putraku pintar, jadi masuk universitas unggulan tidak akan menjadi masalah baginya. Akan sangat mudah baginya untuk mencari pekerjaan yang bagus di masa depan." Karierku sukses, dan prestasi putraku di sekolah sangat baik. Ini membuatku penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Namun, apa yang terjadi selanjutnya sama sekali di luar dugaanku.
Sejak paruh kedua tahun 1995, pabrik cabang yang mengontrakku berubah dari untung menjadi rugi. Aku sangat khawatir akan hal itu. Ditambah lagi, aku menderita tuberkulosis parah, dan aku sangat lemah sehingga tidak bisa bekerja lagi. Karena aku memutuskan kontrak lebih awal, pihak pabrik tidak membayarku. Saat itu, suamiku sudah di-PHK selama bertahun-tahun dan tidak kunjung menemukan pekerjaan yang cocok. Setelah membeli apartemen, sisa tabungan kami hampir habis. Putraku akan segera masuk SMA, yang biayanya mahal. Tanpa sumber penghasilan, bagaimana kami bisa terus membiayai pendidikannya? Kemudian, suamiku memintaku untuk membuka lapak kaki lima bersamanya untuk menjual sisa barang. Aku sangat tertekan saat itu dan berpikir, "Dulu aku adalah direktur pabrik yang dihormati, tetapi kini aku terpuruk hingga menjual barang-barang di jalanan untuk menyambung hidup. Kalau rekan-rekan dari pabrik atau orang yang mengenalku melihat ini, mau ditaruh di mana mukaku!" Namun, kemudian aku berpikir, "Sekarang aku memang sangat malu, tetapi saat putraku lulus dari universitas dan menjadi sukses, dia akan memberiku kehormatan. Demi menabung untuk biaya kuliah putraku, aku sedikit menanggung malu dan penderitaan; itu sepadan."
Pada bulan April 1998, aku beruntung menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Pada tahun yang sama, putraku masuk SMA. Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa tahap pekerjaan Tuhan ini adalah pekerjaan terakhir-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, dan jika orang tidak percaya kepada Tuhan serta tidak menerima keselamatan dari-Nya, sebanyak apa pun pengetahuan yang mereka peroleh atau setinggi apa pun gelar atau status mereka, pada akhirnya mereka akan binasa. Namun, pemikiran dan pandangan tentang mengejar pengetahuan untuk mengubah nasib sudah sangat mengakar dalam diriku, dan aku masih berharap putraku akan menjadi orang yang unggul dan membawa kehormatan bagi leluhur kami. Tak kusangka, pada tahun pertamanya di SMA, putraku tidak mau belajar lagi dan malah ingin menjadi tentara. Aku terkejut, dan berpikir, "Menjadi tentara itu pekerjaan yang berat. Memangnya masa depan seperti apa yang bisa kaudapat di sana? Hanya dengan masuk universitas dan mendapat gelar yang tinggi, kau bisa mendapat pekerjaan yang bagus. Hanya dengan begitu, kau akan memiliki kesempatan untuk mendapat jabatan tinggi dan bergaji besar serta menjadi orang terpandang." Aku sama sekali tidak bisa membiarkan putraku melakukan apa yang dia inginkan. Karena itu, aku mencoba membujuknya dengan lembut, "Nak, kau ini sangat pintar. Semua guru bilang bahwa kau berpotensi untuk masuk Universitas Tsinghua atau Peking. Ujian masuk universitas tinggal dua tahun lagi. Jika sekarang kau putus sekolah dan menjadi tentara, kau akan menyesal seumur hidup. Kalau tentara sudah diberhentikan dari dinas, mereka pasti digolongkan sebagai pekerja biasa, apa pun pekerjaannya, dan tidak ada ruang untuk berkembang. Kau hanya bisa mendapat pekerjaan yang bagus jika kau memiliki gelar universitas. Paling tidak, kau akan dapat pekerjaan kantoran, posisi yang resmi dan mapan. Selama kau bekerja keras, akan ada banyak kesempatan untuk dipromosikan. Hanya dengan memiliki status dan karier yang sukses, kau baru bisa memiliki pijakan di masyarakat ini. Di zaman sekarang, persaingan di tengah masyarakat begitu ketat, dan tanpa pengetahuan juga gelar, kau hanya akan menjadi orang kelas bawah. Ibu mengatakan semua ini demi masa depanmu." Setelah dibujuk berulang kali, dia akhirnya kembali bersekolah, meskipun dengan enggan. Suatu pagi, suamiku melihat putra kami tidak mau pergi ke sekolah dan bermalas-malasan di rumah, jadi suamiku memukulnya. Putraku langsung lari dari rumah dan kami baru menemukannya saat sudah larut malam. Aku tahu bahwa anakku tidak mau belajar dan ingin menjadi tentara, tetapi aku tidak bisa membiarkannya. Aku mencoba segala cara untuk membujuknya, dan akhirnya, meski dengan enggan, dia setuju untuk kembali bersekolah. Meskipun putraku cemberut setiap hari dan bahkan tidak mau bicara dengan kami, aku berpikir, "Entah sekarang kau mengerti atau tidak, nanti saat kau menjadi terkenal dan sukses, kau akan mengerti niat kami yang tekun." Kemudian, dia benar-benar diterima di universitas, dan aku sangat senang. Harapanku selama bertahun-tahun akhirnya terwujud. Namun, di tengah kebahagiaanku, aku juga khawatir soal biaya kuliahnya. Saat itu, keluarga kami tidak punya uang lebih untuk membayar biaya kuliahnya, jadi aku menjual apartemen yang kubeli dengan kerja kerasku selama separuh hidupku untuk membayar biaya kuliahnya, dan kami menyewa apartemen yang masih kosong untuk ditinggali. Ketika putraku akan segera lulus, aku membayar seseorang 10.000 yuan untuk mencarikannya pekerjaan di sebuah bank. Aku sudah mempersiapkan segalanya untuk putraku, hanya tinggal menunggunya mendapatkan gelar dan mulai bekerja di bank. Namun, hal yang tak terduga kembali terjadi.
Suatu hari di bulan September, putraku memberitahuku bahwa dia sudah putus kuliah di tahun terakhirnya. Dia tidak membayar biaya kuliah, jadi dia tidak bisa mendapatkan gelarnya. Saat mendengar berita ini, aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Apa aku salah dengar? Namun, saat melihat ekspresi tenang putraku, aku tahu bahwa itu benar, dan air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Aku menangis sambil mengeluh dan memarahi putraku. Aku sangat marah sampai seluruh tubuhku terasa lemas. Aku berpikir, "Aku sudah bekerja begitu keras selama bertahun-tahun agar dia bisa kuliah. Aku hanya berharap agar dia sukses dan membawa kehormatan bagiku sebagai ibunya. Tak kusangka, dia justru melakukan ini. Bagaimana aku akan menghadapi orang-orang setelah ini?" Saat itu, aku benar-benar ingin memegang kabel listrik dan mengakhiri semuanya. Selama masa itu, aku tidak nafsu makan, juga tidak bisa tidur. Pikiranku penuh dengan kekhawatiran tentang masa depan anakku. "Apa yang harus kulakukan nanti?" pikirku. "Aku sudah menjual apartemen untuk membiayai pendidikannya, dan sekarang kami bahkan tidak punya tempat tinggal yang tetap. Kerja kerasku selama separuh hidupku telah hancur." Tepat ketika penderitaanku mencapai puncaknya, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa agar Dia menuntunku keluar dari penderitaanku.
Saat mencari, aku mendengar sebuah lagu pujian firman Tuhan yang berjudul: Nasib Manusia Ada di Tangan Tuhan. "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: Meskipun manusia selalu terburu-buru dan sibuk demi dirinya sendiri, dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau mampu mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau masih akan disebut makhluk ciptaan? Singkatnya, terlepas dari bagaimana Tuhan bekerja, semua pekerjaan-Nya adalah demi manusia. Itu sama seperti langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk melayani manusia: Tuhan menciptakan bulan, matahari, dan bintang-bintang untuk manusia, Dia menciptakan hewan dan tumbuhan untuk manusia, Dia menciptakan musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin untuk manusia, dan sebagainya—semuanya diciptakan demi keberadaan manusia. Jadi, terlepas dari bagaimana Tuhan menghajar dan menghakimi manusia, semua itu demi penyelamatan manusia. Meskipun Dia melucuti manusia dari harapan kedagingannya, itu adalah demi menyucikan manusia, dan penyucian manusia dilakukan demi keberadaan manusia. Tempat tujuan manusia berada di tangan Sang Pencipta, jadi bagaimana manusia bisa mengendalikan dirinya sendiri?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). Aku mendengarkan lagu pujian ini berulang kali. Saat merenungkan firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan berdaulat atas nasib setiap orang dan telah menetapkannya. Tidak peduli seberapa keras kau berusaha atau berjuang, kau tidak bisa mengubah masa depan atau nasibmu, apalagi mengubah nasib orang lain. Aku teringat kembali pada paruh pertama hidupku. Aku ingin mengubah nasibku dengan lebih giat menuntut ilmu, tetapi kemudian, pabrik merugi dan aku jatuh sakit. Aku tidak punya tenaga untuk mengelola pabrik dan terpaksa mengundurkan diri. Semua ini benar-benar di luar kendaliku. Aku telah mengajari putraku dengan perkataan dan perbuatan sejak dia kecil, berharap dia akan kuliah dan menjadi pejabat seperti yang kuinginkan. Aku berjuang dan mengorbankan separuh hidupku dengan kerja keras dan usahaku untuk mewujudkan ini, tetapi dia tidak menuruti keinginanku, dan pada akhirnya dia tidak pernah mendapatkan gelar universitas. Fakta-fakta ini menyadarkanku bahwa apakah putraku akan memiliki masa depan dan nasib yang baik atau tidak, itu berada di luar kendaliku. Tidak peduli seberapa keras aku berjuang atau berkorban, semuanya sia-sia. Karena aku hanyalah makhluk ciptaan yang kecil, nasibku dan nasib putraku ada di bawah kedaulatan dan ketetapan Tuhan. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan nasibku sendiri, tetapi aku masih ingin mengendalikan masa depan dan nasib putraku. Betapa bodoh dan congkaknya aku! Alasan mengapa aku begitu menderita adalah karena aku sama sekali tidak memahami kedaulatan Tuhan, dan tidak bisa tunduk padanya. Ketika aku memahami hal ini, aku bersedia untuk tunduk pada kedaulatan serta pengaturan Tuhan, dan berhenti mengeluh tentang putraku. Jika dia menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, itu karena kedaulatan dan ketetapan Tuhan. Aku harus memercayakannya kepada Tuhan dan membiarkan segalanya berjalan apa adanya.
Setelah itu, aku terus bertanya-tanya: Mengapa aku begitu menderita saat putraku tidak mendapatkan gelar? Mengapa aku begitu mementingkan pengetahuan dan gelar? Apa akar penyebabnya? Aku membaca firman Tuhan: "Sebagian orang berpikir bahwa pengetahuan adalah hal yang berharga di dunia ini. Makin banyak pengetahuan yang dimiliki, makin tinggi status mereka, dan makin baik mereka, makin mulia dan berbudaya mereka, sehingga mereka tidak bisa hidup tanpa pengetahuan. Sebagian berpikir kalau engkau belajar dengan serius dan memperkaya pengetahuanmu, engkau akan memiliki segalanya. Engkau akan memiliki status, uang, pekerjaan dan masa depan yang baik; mereka percaya bahwa tanpa pengetahuan, mereka tidak mungkin hidup di dunia ini. Jika seseorang tidak berpengetahuan, semua orang akan memandangnya rendah. Mereka akan didiskriminasi, tanpa ada yang mau bergaul dengannya; mereka yang tidak berpengetahuan hanya bisa hidup pada tingkat terendah dalam masyarakat. Begitulah mereka memuja pengetahuan, menganggapnya sangat agung dan penting—bahkan melebihi kebenaran. ... bagaimanapun engkau memandangnya, ini adalah salah satu aspek dari pemikiran dan pandangan manusia. Ada pepatah kuno: 'Bacalah sepuluh ribu buku, jelajahilah sepuluh ribu mil.' Namun, apa arti pepatah ini? Artinya, makin banyak engkau membaca, engkau akan makin berpengetahuan dan makmur. Engkau akan jadi sangat dihormati oleh semua kelompok manusia dan akan memiliki status. Setiap orang memiliki pemikiran seperti ini dalam hati mereka. Jika seseorang tidak mampu memperoleh gelar sarjana karena keadaan keluarga yang tidak mendukung, mereka akan menyesalinya sepanjang hidup, dan bertekad bahwa anak dan cucu mereka harus lebih banyak belajar, mendapat gelar, atau bahkan kuliah di luar negeri. Inilah rasa haus setiap orang akan pengetahuan, bagaimana mereka berpikir, memandang, dan menanganinya. Oleh karena itu, banyak orang tua akan melakukan segala upaya atau mengeluarkan biaya untuk mendidik anak-anaknya, bahkan hingga menghabiskan harta keluarga, semuanya agar anak-anak mereka bisa bersekolah. Bagaimana dengan upaya sebagian orang tua mendisiplinkan anak-anaknya? Dalam satu malam, mereka hanya memperbolehkan anak-anaknya tidur tiga jam, terus-menerus dipaksa belajar dan membaca, atau memaksa mereka untuk meniru orang-orang zaman dulu, dengan mengikat rambut mereka ke langit-langit agar tidak bisa tidur sama sekali. Cerita dan tragedi semacam ini selalu terjadi dari zaman dulu sampai sekarang, dan ini adalah konsekuensi ketika manusia haus dan menyembah pengetahuan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Penerapan Menuju Perubahan Watak Orang"). Firman Tuhan menyentuh hatiku. Apa yang Tuhan singkapkan benar-benar merupakan cara pandangku. Aku telah terikat oleh pemikiran dan pandangan Iblis seperti "Mengejar hal-hal lain tidak penting, mengejar pendidikan tinggi lebih penting dari semuanya", "Bacalah sepuluh ribu buku, jelajahilah sepuluh ribu mil", dan "Pengetahuan dapat mengubah nasibmu", dan aku sangat memuja pengetahuan. Aku percaya bahwa pengetahuan akan membawa masa depan yang cerah, di mana kau bisa menjadi orang yang unggul dan dikagumi; hanya dengan begitu, hidup akan menjadi berharga. Aku percaya bahwa tanpa pengetahuan atau gelar, kau harus bekerja keras dan menjalani kehidupan orang kelas bawah, dipandang rendah oleh orang-orang, dan tetap berada di lapisan terbawah dalam masyarakat seumur hidupmu, tidak akan pernah bisa maju. Aku percaya bahwa dengan pengetahuan, kau bisa memiliki segalanya. Karena itu, aku tidak pernah berhenti belajar, bahkan setelah menikah dan punya anak. Setelah aku lulus kuliah dan kembali ke pabrik, aku langsung diangkat menjadi pegawai resmi, lalu dipromosikan selangkah demi selangkah, dan dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting. Tak lama kemudian, keluarga kami, yang beranggotakan tiga orang, pindah ke apartemen yang luas. Semua orang yang melihatku menatap dengan iri dan menyapaku dengan ramah; semua karyawan di pabrik sangat menghormatiku. Aku mendapatkan ketenaran dan keuntungan yang kuinginkan, dan aku percaya bahwa semua ini kudapatkan berkat pengetahuan yang kuperoleh lewat belajar dengan giat dan gelar yang kuperoleh. Karena itu, aku menjadi makin yakin bahwa pengetahuan dapat mengubah nasib seseorang, dan berharap agar putraku mendapatkan gelar yang tinggi, menjadi sukses dan terkenal di masa depan, sehingga orang-orang akan mengaguminya dan aku bisa ikut mendapat kehormatan. Ketika putraku memberitahuku bahwa dia ingin menjadi tentara, aku tidak bertanya apa yang sebenarnya dia pikirkan. Sebaliknya, aku hanya percaya bahwa dia tidak akan memiliki masa depan yang baik setelah menjadi tentara, dan dia tidak akan dikagumi orang-orang, jadi aku memaksanya untuk kuliah. Untuk memastikan bahwa putraku bisa kuliah, aku menjual apartemen yang kubeli dari hasil kerja kerasku selama separuh hidupku. Ketika aku mengetahui bahwa putraku tidak membayar biaya kuliahnya di tahun terakhir dan tidak akan mendapatkan gelar universitas, harapanku benar-benar hancur, dan aku benar-benar hidup dalam keputusasaan. Aku merasa ingin mengakhiri semuanya. Aku benar-benar telah dibutakan oleh ketenaran dan keuntungan. Faktanya, nasib setiap orang ada di tangan Tuhan, dan tidak dapat diubah hanya dengan menuntut ilmu. Aku teringat akan tetanggaku, Kepala Seksi Wang, yang pendidikannya tidak tinggi tetapi sekarang menjadi kepala seksi di Biro Personalia. Di sisi lain, seorang teman sekelas perempuanku dari angkatan di bawahku diterima di Universitas Peking tetapi tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok selama bertahun-tahun setelah lulus. Saat ini, ada banyak sekali lulusan universitas yang menganggur, bahkan banyak lulusan pascasarjana tidak dapat menemukan pekerjaan formal. Jelas bahwa pandangan "Pengetahuan dapat mengubah nasibmu" itu keliru, dan sama sekali tidak dapat dipertahankan. Itu bertentangan dengan kebenaran. Meskipun aku percaya kepada Tuhan, aku tidak memahami kebenaran dan tidak punya kemampuan untuk membedakan; aku tidak tahu bahwa ketenaran dan keuntungan adalah cara Iblis untuk merayu dan melahap orang. Berkat penyingkapan dalam firman Tuhan, akhirnya aku tersadar, dan berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, "Ya Tuhan, terima kasih atas firman-Mu, yang mencerahkanku dan membuatku mampu membedakan pemikiran dan pandangan Iblis. Aku tidak mau lagi terikat oleh semua itu. Kiranya Engkau menuntunku untuk menempuh jalan mengejar kebenaran."
Aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Beberapa orang akan berkata bahwa mempelajari pengetahuan tidak lebih dari membaca buku atau mempelajari beberapa hal yang belum mereka ketahui agar tidak ketinggalan zaman atau tertinggal oleh dunia. Pengetahuan dipelajari hanya agar mereka dapat menyediakan makanan di meja, untuk masa depan mereka sendiri, atau untuk menyediakan kebutuhan dasar. Adakah orang yang akan belajar keras selama satu dekade hanya demi kebutuhan dasar, hanya untuk menyelesaikan masalah makanan? Tidak, tidak ada yang seperti ini. Jadi, mengapa orang menderita kesukaran ini selama bertahun-tahun? Ini adalah demi ketenaran dan keuntungan. Ketenaran dan keuntungan menanti mereka di kejauhan, menarik mereka, dan mereka percaya bahwa hanya melalui kerajinan, kesukaran, dan perjuangan mereka sendiri, mereka dapat mengikuti jalan yang akan menuntun mereka untuk memperoleh ketenaran dan keuntungan. Orang seperti itu harus menderita kesukaran-kesukaran ini demi jalan masa depan mereka sendiri, demi kesenangan masa depan mereka, dan demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). "Apa yang Iblis gunakan untuk membuat manusia tetap berada dalam kendalinya? (Ketenaran dan keuntungan.) Jadi, Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pemikiran manusia, membuat orang hanya memikirkan kedua hal ini. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan serta memikul beban berat demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan segala yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan membuat penilaian atau mengambil keputusan apa pun demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara inilah, Iblis mengenakan belenggu tak kasatmata pada orang-orang, dan dengan mengenakan belenggu ini, mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk melepaskan diri. Mereka tanpa sadar memikul belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi serta mengkhianati Tuhan dan menjadi makin jahat. Dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis. Melihat tindakan Iblis sekarang, bukankah motif jahat Iblis patut dibenci? Mungkin hari ini engkau semua masih belum dapat melihat motif jahat Iblis dengan jelas karena engkau semua menganggap bahwa hidup tidak ada artinya tanpa ketenaran dan keuntungan, dan engkau menganggap bahwa jika orang meninggalkan ketenaran dan keuntungan, mereka tidak akan mampu lagi melihat arah ke depan, tidak mampu lagi melihat tujuan mereka, serta masa depan mereka akan menjadi gelap, redup, dan suram. Namun, perlahan-lahan, suatu hari nanti engkau semua akan menyadari bahwa ketenaran dan keuntungan adalah belenggu besar yang Iblis kenakan pada manusia. Ketika hari itu tiba, engkau akan sepenuhnya menentang kendali Iblis dan sepenuhnya menentang belenggu yang dibawa kepadamu oleh Iblis. Ketika tiba saatnya di mana engkau ingin membebaskan diri dari semua hal yang telah Iblis tanamkan dalam dirimu ini, engkau kemudian akan sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Iblis, dan engkau akan benar-benar membenci semua yang telah Iblis bawa kepadamu. Baru setelah itulah, engkau akan memiliki kasih dan kerinduan yang sejati kepada Tuhan" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Apa yang Tuhan singkapkan dalam bagian ini sangatlah praktis. Alasan di balik pengejaran orang akan pengetahuan adalah untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan. Orang bekerja keras dan menanggung kesulitan demi ketenaran serta keuntungan, dan bahkan rela membayar harga berapa pun untuk itu. Aku melihat bahwa Iblis menggunakan pengetahuan untuk merayu orang, dan menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan mereka, sehingga mereka dirusak olehnya tanpa sadar. Aku persis seperti itu. Aku teringat bagaimana ayahku mengajariku sejak kecil bahwa dengan menguasai lebih banyak pengetahuan, aku akan menjadi orang yang unggul, dan aku bisa hanya menggunakan otakku daripada bekerja keras. Tanpa pengetahuan, aku hanya bisa menjadi orang rendahan dan melakukan pekerjaan kasar yang berat. Para guru juga mengajari kami untuk memiliki cita-cita yang tinggi, berusaha menjadi orang yang unggul, dan membawa kehormatan bagi leluhur kami. Tanpa kusadari, aku menerima semua pemikiran dan pandangan itu. Demi mendapatkan ketenaran, keuntungan, dan status yang kuinginkan, aku rela menanggung kesulitan apa pun dan membayar harga berapa pun. Aku tidak hanya mengejar hal-hal ini sendiri, tetapi aku juga memaksa putraku untuk mengejarnya. Ketika putraku tidak mendapatkan gelarnya, impianku tiba-tiba hancur, dan aku begitu menderita sehingga aku ingin mengakhiri hidupku untuk lari dari penderitaan itu. Akar penyebab dari semua ini adalah karena aku telah dikendalikan oleh pandangan tentang mengejar ketenaran dan keuntungan yang ditanamkan Iblis dalam diriku. Ini tidak hanya membuatku sangat menderita, tetapi juga menyakiti putraku secara mental dan fisik. Iblis memasang belenggu tak kasatmata berupa ketenaran dan keuntungan pada diriku, membuatku terus-menerus mengejar ketenaran serta keuntungan, berjuang, bekerja keras, dan membuat diriku kelelahan secara fisik dan mental. Aku tidak mampu melepaskan diri dari semua ini. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mengatur lingkungan ini untuk menyelamatkanku, memaksaku untuk datang ke hadapan-Nya mencari kebenaran, mendapatkan sedikit pemahaman tentang cara Iblis menyakiti orang, dan menyadari bahwa mengejar ketenaran dan keuntungan bukanlah jalan hidup yang benar. Itu hanya bisa membuatku mengkhianati Tuhan dan menjauh dari-Nya. Aku tidak boleh lagi disesatkan dan terikat oleh ketenaran dan keuntungan. Aku harus menempatkan diriku dengan benar sebagai makhluk ciptaan dan tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan.
Kemudian, aku menceritakan keadaanku kepada saudariku, dan dia mencarikan satu bagian dari firman Tuhan untukku: "Pertama-tama, apakah tuntutan dan pendekatan yang orang tua miliki terhadap anak-anaknya ini benar atau salah? (Salah.) Jadi, pada akhirnya, dari manakah asal penyebab utama pendekatan yang orang tua gunakan terhadap anak-anak mereka? Bukankah itu berasal dari pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka? (Ya.) Dalam kesadaran subjektif orang tua, mereka membayangkan, merencanakan, dan menentukan berbagai hal tentang masa depan anak-anak mereka, dan sebagai akibatnya, mereka memunculkan pengharapan-pengharapan tersebut. ... Orang tua mereka menaruh pengharapan kepada anak-anak mereka sepenuhnya berdasarkan cara orang dewasa memandang segala sesuatu, serta berdasarkan pandangan, sudut pandang, dan kesukaan orang dewasa tentang hal-hal dunia. Bukankah ini bersifat subjektif? (Ya.) Sederhananya, engkau dapat mengatakan bahwa itu bersifat subjektif, tetapi apa itu sebenarnya? Apa arti lain dari subjektivitas ini? Bukankah itu artinya keegoisan? Bukankah itu pemaksaan? (Ya.) Engkau menyukai pekerjaan ini dan karier itu, engkau suka hidup mapan, menjalani kehidupan yang glamor, menjabat sebagai pejabat, atau menjadi orang kaya di tengah masyarakat, jadi engkau membuat anak-anakmu melakukan hal-hal itu juga, menjadi orang yang seperti itu juga, dan menempuh jalan seperti itu. Namun, akankah mereka suka hidup dalam lingkungan tersebut dan menggeluti pekerjaan tersebut di masa depan? Apakah mereka cocok dengan pekerjaan itu? Apa takdir mereka? Apa pengaturan dan ketetapan Tuhan mengenai mereka? Apakah engkau mengetahui hal-hal ini? Ada orang-orang yang berkata: 'Aku tidak peduli dengan hal-hal itu, yang penting adalah hal-hal yang aku sukai sebagai orang tua mereka. Aku akan menaruh pengharapan kepada mereka berdasarkan kesukaanku sendiri.' Bukankah itu sangat egois? (Ya.) Itu sangat egois! Sederhananya, itu sangat subjektif, itu artinya mereka sendiri yang membuat semua keputusannya, tetapi apa sebenarnya itu? Itu sangat egois! Orang tua seperti ini tidak memikirkan kualitas ataupun bakat anak-anak mereka, mereka tidak peduli dengan pengaturan Tuhan terhadap takdir dan kehidupan setiap orang. Mereka tidak memikirkan hal-hal ini, mereka hanya memaksakan kesukaan, niat, dan rencana mereka sendiri kepada anak-anak mereka melalui angan-angan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Setelah membaca bagian firman Tuhan ini, aku tiba-tiba tersadar. Dulu, aku berpikir bahwa semua yang kulakukan adalah demi masa depan dan nasib putraku, dan aku tidak memahaminya dari segi natur egoisku. Melalui penyingkapan dalam firman Tuhan, aku akhirnya memahami bahwa niat di balik semua tindakanku adalah untuk memuaskan keinginanku akan ketenaran, keuntungan, dan status. Karena aku menyukai kekuasaan dan status, gengsi menjadi seorang pejabat, dan dihormati orang lain, aku memaksakan kesukaan dan keinginanku sendiri pada putraku. Aku berharap dia belajar dengan giat dan menjadi orang yang unggul di masa depan, mendapatkan jabatan yang tinggi dan gaji yang besar, dan aku bisa ikut menikmati kehormatan dari kesuksesannya. Semua yang telah kulakukan adalah demi ambisi dan keinginanku sendiri, dan aku sama sekali tidak mempertimbangkan kesukaan dan keinginan putraku. Ketika dia bilang tidak mau kuliah dan ingin menjadi tentara, aku berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya, dan memaksanya untuk kuliah meski itu bukan keinginannya. Tujuanku adalah membuatnya meniti karier sebagai pejabat dan mendapatkan kekuasaan serta status agar aku juga mendapatkan kehormatan. Kelihatannya semua yang kulakukan adalah demi masa depan dan nasib putraku. Aku memberikan segalanya untuk membina putraku. Namun, pada dasarnya, ini semua untuk memuaskan keinginanku sendiri akan status, ingin menikmati rasa hormat dan kekaguman dari lebih banyak orang melalui putraku, dan menikmati kehidupan materi yang lebih kaya. Aku akhirnya menyadari dengan jelas bahwa semua yang telah kulakukan sama sekali bukan untuk kebaikan putraku. Semuanya untuk memuaskan ambisi dan keinginanku sendiri. Naturku terlalu egois, hina, dan buruk! Putraku sebenarnya tidak ingin meniti karier di pemerintahan. Dia pernah berkata kepadaku, "Bu, sudahlah. Aku sama sekali tidak cocok menjadi pejabat. Kalau ingin memiliki pijakan di dunia pejabat dalam masyarakat ini, kau harus bisa minum-minum, makan-makan, menjilat, dan menipu. Kau juga memerlukan latar belakang keluarga dan koneksi yang tepat, serta harus kejam dan jahat. Aku tidak punya semua itu. Jadi orang biasa saja sudah bagus." Ketika aku teringat kembali akan perkataan putraku, itu sangat realistis, tetapi saat itu, aku tidak peduli apa yang dia pikirkan, dan, berdasarkan angan-anganku, aku memaksanya untuk kuliah dan menempuh jalan mengejar ketenaran dan keuntungan. Aku teringat akan putra kakak perempuanku, yang merupakan wakil direktur Biro Industri dan Perdagangan. Dia pernah berkata kepadaku, "Begitu kau masuk ke dunia pejabat, kau tidak lagi bisa mengendalikan dirimu. Orang-orang saling berintrik dan berkomplot, dan kau tidak bisa mengatakan apa yang kaupikirkan kepada siapa pun atau terlalu dekat dengan mereka. Kau tidak tahu perkataan seperti apa yang bisa menyinggung orang. Kau mungkin tidak ingin menyakiti orang lain, tetapi mereka akan tetap menusukmu dari belakang. Dalam hidupmu, kau harus selalu memperhatikan ekspresi orang. Hidup di dunia pejabat itu sangat melelahkan!" Aku juga menyadari satu hal: menjadi pejabat bukanlah hal yang baik. Dunia pejabat itu seperti wadah pewarnaan yang besar. Jika putraku terjun ke sana seperti yang kuinginkan, setelah sekitar sepuluh tahun, dia pasti akan terpengaruh segala macam kebiasaan buruk tanpa sadar. Dia akan menjadi licin, licik, dan munafik; dia akan berbohong, menipu, mengejar ketenaran dan keuntungan, bersaing dengan orang lain, dan bahkan mungkin melakukan beberapa hal jahat. Kemudian, dia tidak akan bisa lagi menjalani kehidupan yang normal dan damai. Itu akan menyebabkan kerugian besar dan penderitaan yang tak berujung bagi tubuh dan pikirannya. Putraku tidak ingin menjadi pejabat, dan hanya ingin menjadi orang biasa. Bukankah itu hal yang baik? Sekarang dia memiliki pekerjaan formal, dan gaji bulanannya pada dasarnya bisa menutup biaya hidup keluarganya. Dia tidak menentang kepercayaanku kepada Tuhan dan sangat bersedia membantu ketika gereja membutuhkan bantuannya. Ketika aku melihat putraku tersenyum dan tanpa beban setiap hari, aku seharusnya ikut bahagia.
Setelah merasakan pengalaman ini, aku makin menyadari bahwa pekerjaan seperti apa yang dilakukan setiap orang dan bagaimana mereka mencari nafkah, semuanya ada di bawah kedaulatan dan ketetapan Tuhan. Seperti yang Tuhan firmankan: "Tuhan telah menetapkan bahwa seseorang itu akan menjadi pekerja biasa, dan dalam kehidupan ini, dia hanya akan mampu memperoleh upah standar untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, tetapi orang tuanya bersikeras agar dia menjadi seorang selebritas, orang kaya, pejabat tinggi, merencanakan dan mengatur masa depannya sebelum dia menjadi dewasa, membayar berbagai macam harga, berusaha mengendalikan kehidupan dan masa depannya. Bukankah itu bodoh? (Ya.)" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Bagian firman Tuhan ini menyadarkanku bahwa aku bukan sekadar bodoh, tetapi benar-benar tolol! Semua penderitaan yang telah kualami adalah salahku sendiri. Saat aku melepaskan harapanku pada putraku, berhenti berjuang melawan takdir, berhenti menempuh jalan mengejar ketenaran dan keuntungan serta menentang Tuhan, dan sebagai makhluk ciptaan, mampu menerima, menghadapi, dan mengalami kedaulatan Tuhan dengan sikap yang positif dan tunduk, barulah aku menyadari betapa luar biasanya pengaturan Tuhan. Syukur kepada Tuhan!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.
Aku dibesarkan di pedesaan dan kehidupan di rumah sangatlah sulit. Aku iri dengan kehidupan orang-orang kota dan merasa bahwa hanya dengan...
Aku menghabiskan masa kecil dan tumbuh besar di samping ibuku, dan aku melihat ibuku bekerja keras demi pekerjaan, pernikahan, dan...
Pada sore hari tanggal 14 Oktober 2023, seorang saudari memberitahuku bahwa seorang pemimpin dari Gereja Xinguang ditangkap oleh polisi....
Pada bulan Maret 1997, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, aku...