Aku Akhirnya Mengerti Cara Memperlakukan Putriku dengan Benar

24 Desember 2025

Pendidikan orang tuaku tidak tinggi, sehingga hanya bisa melakukan pekerjaan kasar. Makanya, mereka sangat mementingkan pendidikanku dan kakakku, sampai-sampai mereka hidup sangat irit dan menabung demi menyekolahkan kami. Ibuku sering bilang, kakek tidak mengizinkannya sekolah, makanya seumur hidupnya dia hanya bisa jadi ibu rumah tangga. Dia selalu bilang kami jangan sampai bernasib sama sepertinya. Dia rela mengorbankan segalanya agar kami bisa kuliah, supaya kelak kami bisa mendapat pekerjaan yang layak. Setelah kakakku masuk SMA unggulan, kehidupan keluarga kami memang agak sulit, tetapi orang tuaku tetap meminta tolong orang lain untuk membelikan berbagai bahan pelajaran dan suplemen kesehatan untuk kakakku. Sedangkan aku, nilaiku kurang beberapa poin untuk masuk SMA negeri, jadi orang tuaku menghabiskan lebih dari tujuh ribu yuan agar aku bisa bersekolah di SMA swasta. Setelah lulus, aku belajar berdagang dan membuka toko kecil. Melihat toko-toko sejenis di sekelilingku, aku merasa sangat tertekan. Aku merasa tidak mudah untuk punya pijakan yang kuat di pasar. Aku jadi sedikit mengerti kenapa orang tuaku lebih memilih bekerja keras demi menyekolahkan kami, yaitu agar kami bisa punya pijakan yang lebih baik di masyarakat. Aku pun berpikir, kalau nanti aku punya anak, aku juga harus menjadi ibu yang bertanggung jawab, bekerja keras mencari uang untuk mendidik anakku agar dia rajin belajar.

Setelah menikah, aku dikaruniai seorang putri. Aku berpikir dalam hati: "Aku tidak boleh membiarkan putriku kalah sebelum berperang! Karena aku yang melahirkannya, aku harus memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu, membinanya dengan baik, serta melakukan yang terbaik untuk membukakan jalan dan merencanakan masa depannya. Dengan begitu, putriku kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik serta menjalani hidup tanpa harus mengkhawatirkan masalah kebutuhan pokok. Kalau aku tidak mempersiapkan masa depannya dari sekarang, itu artinya aku ibu yang tidak bertanggung jawab." Jadi, saat anakku baru belajar bicara, aku sudah membacakan cerita, membacakan puisi kuno, dan mengajarinya mengenal huruf, bahkan memutarkan program belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Putriku cepat sekali bisa bicara, dan sejak kecil dia sudah bisa membaca buku cerita sendiri. Ketika melihat putriku sangat pintar, aku jadi makin yakin untuk membinanya dengan baik. Kelak jika dia sukses, dia akan membuatku bangga sebagai ibunya.

Saat putriku masuk TK, aku merasa pendidikan usia dini sangat penting untuk perkembangan kecerdasannya, jadi dengan sangat teliti aku pilihkan untuknya sebuah TK yang fokus pada berhitung di luar kepala, dan agar kelak putriku tampak anggun dan memiliki kecantikan fisik, aku mendaftarkannya ke les menari sejak usia lima tahun. Saat akan masuk SD, aku meminta tolong seseorang untuk memilihkan sekolah terbaik untuknya, juga mencarikannya wali kelas yang berpengalaman dan berkualitas untuk mengajarnya. Demi menyekolahkan putriku, aku bekerja mati-matian untuk mencari uang. Setiap hari aku sibuk dari pagi sampai malam, dan sering makan tidak teratur. Terkadang, aku hanya makan sekali sehari. Setiap kali putriku pulang sekolah, aku selalu mendesaknya untuk segera mengerjakan PR. Selesai itu, aku memeriksanya. Kalau ada satu saja yang salah, aku akan menghukumnya mengerjakan sepuluh soal lagi. Terkadang saat aku berjalan dengan putriku di jalan, kami melihat ada pemulung, aku akan berbisik padanya, "Kalau tidak rajin belajar, seperti itulah jadinya kau nanti. Kau mau?" Putriku pun menggelengkan kepalanya. Kemudian, aku menyadari bahwa putriku sangat menyukai musik. Lagu apa pun bisa dia nyanyikan hanya dengan dua kali mendengarkannya. Aku berpikir, "Suaranya masih suara anak-anak, mungkin terlalu dini untuk belajar vokal. Biarkan dia belajar alat musik dulu agar dia bisa membaca not balok. Dengan begitu, kalau nanti dia mau melanjutkan di bidang musik, akan lebih mudah." Jadi, saat dia kelas dua SD, aku mendaftarkannya les guzheng. Awalnya, karena penasaran, putriku setuju untuk belajar guzheng, tetapi saat dia duduk di depan guzheng setiap hari, berlatih berbagai teknik jari dan memainkan nada-nada yang monoton, dia menjadi tidak mau lagi. Dia sering cemberut dan menatapku dengan mata berkaca-kaca, sambil berkata, "Ma, aku tidak mau latihan lagi. Aku mau main sebentar." Namun, aku akan membujuknya untuk terus berlatih, dan putriku tidak punya pilihan selain melanjutkan latihannya sambil menangis. Saat melihatnya merasa begitu diperlakukan tidak adil, aku ikut merasa sedih. Terutama ketika aku melihat kulit di pinggir kuku jari-jari mungilnya terkelupas, hatiku hancur dan batinku bergejolak. Aku juga ingin membiarkan putriku bermain dengan bebas, tetapi masyarakat sangat fokus pada sukses yang kelihatan dan tak kenal ampun. Tanpa pendidikan atau keterampilan yang baik, bagaimana dia bisa bertahan di masyarakat? Semua anak bekerja keras, dan aku tidak bisa membiarkan putriku bermalas-malasan. Jika dia tidak mau menjadi yang paling bawah nanti, dia harus bekerja keras dari sekarang, dan aku harus tegas mengaturnya serta bertanggung jawab atas dirinya. Aku hanya berharap putriku bisa mengerti perhatianku yang besar sebagai seorang ibu. Kemudian, aku sering berkata kepada putriku, "Sekarang, persaingan di masyarakat sangat ketat, dan jika pendidikanmu tidak bagus, dan kau tidak punya keahlian khusus, maka kau hanya akan dipandang rendah dan menjadi kalangan bawah. Mama ingin kau belajar guzheng agar kau punya lebih banyak pilihan pekerjaan di masa depan. Kau sekarang mungkin belum mengerti maksud Mama, tetapi kau akan mengerti saat dewasa nanti." Dengan pasrah, putriku berkata, "Ma, bisakah Mama berhenti mengomel? Aku tidak bisa membuat pilihan sendiri. Aku hanya harus melakukan semua yang Mama katakan." Ketika aku melihat putriku seperti ini, terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah yang kulakukan ini benar?" Saat itu, aku sudah percaya kepada Tuhan, dan seorang saudari juga bersekutu denganku, memberitahuku bahwa kita tidak boleh terlalu menuntut pada anak-anak kita, dan cukup melakukan bagian kita sebagai orang tua, dan tentang apakah anak-anak kita akan sukses atau memiliki karier baik atau tidak, ini bukan ditentukan orang tua, semuanya itu adalah bagian dari ketetapan Tuhan, dan kita harus memercayakan segalanya kepada Tuhan. Aku merasa bahwa dengan persaingan yang begitu ketat di masyarakat, jika orang tidak berpendidikan atau punya bakat khusus, sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pijakan. Putriku cukup berbakat, dan jika aku tidak membinanya dengan baik, tidakkah saat dewasa dia akan menyalahkanku karena tidak menjadi ibu yang bertanggung jawab? Aku tidak menganggap serius nasihat saudariku, dan aku terus membina putriku sesuai dengan rencanaku sendiri.

Saat putriku belajar guzheng, aku juga mendaftarkannya ke kelas lain seperti bahasa Inggris dan menulis. Akhir pekan dan hari libur menjadi waktu tersibuk bagi putriku. Setiap hari rasanya seperti dia bergegas dari satu tempat ke tempat lain—selesai satu kelas, langsung buru-buru ke kelas berikutnya. Setiap kali putriku melihat anak-anak bermain di lantai bawah, dia menatap mereka dengan rasa ingin dan iri. Dia berkata, "Ma, aku juga ingin main di luar seperti anak-anak lain. Bukankah hari Minggu itu hari libur kita? Namun, sekarang aku malah lebih sibuk daripada waktu sekolah. Kapan aku bisa berhenti berlelah-lelah seperti ini dan bebas melakukan apa pun yang aku mau?" Dengan pasrah aku berkata, "Mama tahu kau lelah dan ingin santai serta bersenang-senang, tetapi saat kau bermain, anak-anak lain sedang berusaha keras, dan kamu bisa tertinggal. Kalau kau ingin masa depan yang baik, kau harus berusaha keras sekarang. Kau masih kecil, jadi tidak tahu betapa ketatnya persaingan di masyarakat. Saat dewasa, kau akan mengerti." Aku menggunakan berbagai cara untuk menyemangatinya belajar. Putriku juga sangat berprestasi dan membanggakan, tulisannya dimuat di koran lokal. Guzheng-nya juga sangat bagus, dia sering tampil di panggung dan ikut kompetisi, dan juga sering ikut pertunjukan tari. Prestasi putriku membuatku sangat senang, dan aku merasa usahaku tidak sia-sia. Aku merasa jika putriku bisa memiliki masa depan yang cerah, berarti sudah memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu.

Kemudian, putriku masuk SMP. Aku mencarikannya seorang wali kelas yang punya tingkat kelulusan lanjut yang tinggi. Untuk memastikan pelajarannya tidak terganggu, aku bahkan menyaring teman-teman sekolah yang bergaul dengannya, karena takut dia bergaul dengan teman yang tidak rajin belajar dan memengaruhi prestasinya. Putriku sering mengeluh padaku, "Aku ini seperti burung yang dikurung di dalam sangkar, tidak punya kebebasan sedikit pun. Setiap hari aku hanya bolak-balik di antara tiga tempat: sekolah, rumah, dan tempat les. Yang kulakukan hanya belajar, belajar, dan belajar. Ma, Mama tahu tidak rasanya? Aku ingin bebas. Bahkan ikan di akuarium kita lebih bebas dariku. Setidaknya mereka bisa berenang bebas di akuarium besar itu. Aku bahkan tidak punya ruang gerak sebanyak itu." Setiap kali mendengar putriku mengeluh seperti itu, aku juga merasa berada dalam dilema. Aku tahu dia tidak bahagia, tetapi dengan persaingan yang begitu ketat di masyarakat, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa membujuknya dengan sabar, "Bukannya Mama tidak memberimu kebebasan, tetapi kalau kau tidak berusaha keras sekarang, bagaimana kau bisa meraih sukses nanti? Kau belum terjun ke masyarakat, jadi kau tidak memahami betapa kejamnya persaingan di luar sana. Mama sudah pernah mengalaminya, Mama melakukan ini semua demi kebaikanmu." Setiap kali mendengar aku berkata seperti ini, putriku hanya diam saja. Perlahan-lahan, aku sadar putriku jadi makin pendiam. Setiap pulang sekolah, dia langsung mengunci diri di kamarnya. Aku berpikir mungkin dia sedang memasuki masa puber dan agak memberontak, yang nanti juga akan berlalu seiring waktu.

Aku tidak menyangka suatu hari, saat putriku kelas tiga SMP, setelah hanya beberapa patah kata, pembicaraan kami benar-benar buntu. Aku melihat putriku terkadang bermain ponsel, jadi aku berkata padanya, "Pelajaranmu sangat padat sekarang dan ujian masuk SMA sudah dekat. Kurangi main ponselnya!" Putriku berkata, "Aku cuma main sebentar saat istirahat." Aku melanjutkan, "Memangnya apa gunanya main ponsel itu! Cuma mengganggu belajarmu!" Dia terdiam beberapa saat, lalu tiba-tiba berteriak padaku sambil menangis, "Kenapa aku harus selalu menuruti semua kata-katamu? Pernahkah kau berpikir? Dari kecil sampai sekarang, pernahkah kau memberiku kebebasan? Kau selalu memanipulasi dan mengendalikan seluruh hidupku. Kau yang memilihkan sekolahku, kau yang memilihkan wali kelasku di SD dan SMP, les menari, guzheng, menulis, bahasa Inggris, semua itu kau yang menyuruhku ikut! Aku harus menuruti semua maumu. Pernahkah kau memikirkan perasaanku? Apa kau benar-benar menyayangiku? Aku tidak mau lagi bersamamu!" Malam itu juga, putriku kabur dari rumah. Seketika itu, aku hampir hancur. Aku benar-benar tidak habis pikir, bukankah semua yang kulakukan untuknya itu demi kebaikannya? Kenapa putriku sama sekali tidak memahami isi hatiku? Aku sangat cemas kalau sampai terjadi apa-apa padanya, jadi aku segera menelepon teman-teman dekatnya untuk menanyakan keberadaannya. Mereka semua bilang tidak tahu. Jantungku berdebar kencang. Pergi ke mana dia? Mungkinkah dia bertindak gegabah? Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, bagaimana aku bisa hidup? Aku menangis tanpa daya sambil berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Anakku marah padaku dan kabur dari rumah, aku takut terjadi apa-apa padanya. Tuhan, kumohon jaga hatiku agar bisa tenang. Aku tahu, keadaan ini terjadi atas izin-Mu, tetapi aku tidak mengerti apa pelajaran yang harus kupetik. Kumohon pimpin aku agar bisa mengerti maksud-Mu."

Tiga atau empat hari kemudian, putriku mengirim kabar bahwa dia tidak mau pulang, dan orang yang paling tidak ingin ditemuinya adalah aku. Ketika mendengar itu, aku merasa seperti ditikam tepat di dadaku, air mataku tidak berhenti mengalir. Aku selalu menganggap diriku ibu yang bertanggung jawab dan penuh pengabdian. Sejak putriku lahir, aku sudah merencanakan segalanya untuknya, berharap dia bisa tumbuh dewasa tanpa masalah dan kelak punya pekerjaan yang baik. Namun, setelah semua yang kulakukan untuknya, yang kudapat sebagai balasannya justru penolakan dan kebencian darinya. Aku merasa benar-benar gagal sebagai seorang ibu. Aku sering menangis diam-diam sendirian. Di saat-saat paling tak berdaya, aku mencurahkan semua sakit hati dan kebingunganku kepada Tuhan. Tepat pada saat itu, aku membaca firman terbaru Tuhan, yang mempersekutukan tentang enam titik kehidupan manusia. Seketika itu juga, semua kekusutan dalam hatiku terurai. Aku membaca firman Tuhan: "Selain melahirkan dan membesarkan anak, tanggung jawab orang tua dalam hidup anak-anak mereka hanyalah menyediakan lingkungan secara lahiriah untuk mereka bertumbuh, dan hanya itu, karena tidak ada hal lain selain ketetapan Sang Pencipta yang berhubungan dengan nasib seseorang. Tidak seorang pun dapat mengendalikan masa depan seperti apa yang akan orang miliki; itu telah ditentukan jauh sebelumnya, dan bahkan orang tua tidak bisa mengubah nasib seseorang. Dalam perkara nasib, setiap orang berdiri sendiri, setiap orang memiliki nasib mereka sendiri. Jadi, tidak ada orang tua yang dapat menghalangi nasib orang dalam hidupnya sama sekali atau memaksakan sedikit pun peran yang akan orang mainkan dalam hidupnya. Dapat dikatakan bahwa keluarga tempat orang ditetapkan untuk dilahirkan dan lingkungan tempat ia bertumbuh, semuanya tak lebih dari prasyarat bagi pemenuhan misi orang itu dalam hidupnya. Semua itu sama sekali tidak menentukan nasib seseorang dalam hidupnya ataupun nasib macam apa yang orang miliki saat memenuhi misi mereka. Dengan demikian, tidak ada orang tua yang dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan misi dalam hidupnya, demikian pula, tidak ada kerabat yang dapat membantu orang untuk mengambil peran dalam hidupnya. Bagaimana orang menyelesaikan misinya dan dalam lingkungan hidup seperti apa ia menjalankan perannya, itu ditentukan oleh nasib hidupnya. Dengan kata lain, tidak ada kondisi objektif lain yang dapat memengaruhi misi seseorang yang telah ditetapkan sejak semula oleh Sang Pencipta. Semua orang menjadi dewasa dalam lingkungan tertentu, di mana mereka bertumbuh; kemudian secara bertahap, langkah demi langkah, mereka menapaki jalan hidup mereka masing-masing dan memenuhi nasib yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Secara alami, tanpa terkendali, mereka memasuki lautan luas manusia dan mengambil posisi mereka sendiri dalam kehidupan, di mana mereka mulai memenuhi tanggung jawab mereka sebagai makhluk ciptaan demi ketetapan Sang Pencipta, demi kedaulatan-Nya" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). "Saat seseorang meninggalkan orang tuanya dan menjadi mandiri, situasi sosial yang ia hadapi, dan jenis pekerjaan serta karier yang tersedia baginya ditentukan oleh nasib yang tak ada kaitannya dengan orang tuanya. Sebagian orang memilih jurusan yang bagus di perguruan tinggi dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang memuaskan setelah lulus, mencapai langkah pertama yang penuh kemenangan dalam perjalanan hidup mereka. Sebagian orang belajar dan menguasai banyak keterampilan berbeda, tetapi tidak bisa menemukan pekerjaan atau tidak pernah menemukan posisi mereka, apalagi memiliki karier; di awal perjalanan hidupnya, mereka mendapati diri mereka gagal pada setiap kesempatan, tertimpa berbagai kesulitan, prospek mereka suram, dan kehidupan mereka tak menentu. Sebagian orang sangat rajin dalam studi mereka, tetapi nyaris kehilangan setiap kesempatan untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi; mereka seakan ditakdirkan untuk tak pernah mencapai kesuksesan, cita-cita pertama dalam perjalanan hidup mereka telah menguap begitu saja. Tanpa mengetahui apakah jalan di depan mereka mulus atau berbatu, mereka merasakan untuk pertama kalinya betapa nasib manusia dipenuhi berbagai variabel, dan karenanya mereka memandang hidup ini dengan harapan dan ketakutan. Sebagian orang, walaupun tidak berpendidikan tinggi, menulis buku dan meraih sejumlah ketenaran, sebagian orang, meski nyaris buta huruf, mampu menghasilkan uang dalam berbisnis dan karenanya mampu menyokong diri mereka sendiri ... Terlepas dari perbedaan dalam kemampuan, kecerdasan, dan tekad, semua orang adalah setara di hadapan nasib, yang tidak membedakan antara yang besar dan yang kecil, yang tinggi dan yang rendah, yang terpandang dan yang rata-rata. Pekerjaan apa pun yang dijalani seseorang, apa yang orang lakukan untuk mencari nafkah, dan berapa banyak kekayaan yang orang kumpulkan dalam hidup ini, itu tidaklah ditentukan oleh orang tua, talenta, upaya, ataupun ambisi seseorang, melainkan telah ditentukan dari semula oleh Sang Pencipta" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Setelah membaca firman Tuhan, aku baru mengerti. Ternyata tanggung jawab orang tua hanyalah melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka. Sedangkan untuk nasib anak di masa depan, apa pekerjaannya, apakah dia akan miskin atau kaya, itu semua bukan hal yang bisa diubah oleh orang tua. Seperti apa nasib yang sudah Tuhan tetapkan untuk seseorang akan tetap seperti itu, tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku tidak memahami kedaulatan Tuhan, yang kupikirkan hanyalah karena persaingan di masyarakat begitu ketat, untuk bisa punya pijakan, orang harus berpendidikan atau punya keterampilan, kalau tidak, mereka akan terus hidup susah. Aku merasa jika putriku tidak kubina dengan baik, aku tidak memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Karena berpegang pada pandangan yang salah ini, aku mulai merencanakan masa depannya sejak dia masih sangat kecil. Aku memilihkan TK terbaik untuknya dan mendaftarkannya ke berbagai les keterampilan. Saat anak-anak lain bermain di luar, putriku justru sibuk berpindah dari satu tempat les ke tempat les lainnya. Di usianya yang masih sangat muda, dia sudah terbelenggu. Setiap hari dia seperti robot, didorong maju langkah demi langkah oleh rencana yang kubuat untuknya, sampai kehilangan kebahagiaan masa kecil yang seharusnya menjadi miliknya. Karena aku bekerja dari pagi buta sampai larut malam untuk mencari uang, makanku jadi tidak teratur untuk waktu yang lama, sampai-sampai aku punya masalah perut. Aku tidak hanya diam-diam menderita sendirian, tetapi akhirnya bahkan membuat putriku kabur dari rumah. Semua ini terjadi karena aku tidak memahami kedaulatan Tuhan. Meskipun aku percaya kepada Tuhan, aku hanya percaya pada kedaulatan-Nya di bibir saja. Kenyataannya, aku sama sekali tidak percaya pada firman Tuhan, juga tidak bertindak dan berperilaku serta memandang orang maupun hal-hal seturut dengan tuntutan Tuhan. Akibatnya, aku dan putriku sama-sama lelah, baik fisik maupun mental, dan sangat menderita. Aku tidak pernah merenungkan, apakah caraku mendidik putriku ini benar atau salah? Apakah itu benar-benar bisa mengubah masa depan anakku? Saat kuingat lagi, nilai-nilai sekolahku dahulu tidaklah buruk, dan aku mengira bisa masuk universitas keguruan dan kelak punya pekerjaan tetap yang terjamin, tetapi tak disangka, aku gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi dan tidak diterima di mana pun. Setelah lulus, aku belajar sebuah keterampilan, dan awalnya berencana membuka pabrik garmen, tetapi industri garmen sedang lesu, jadi aku terpaksa beralih profesi dan membuka salon. Saat aku sedang berpikir untuk memperluas usaha, karena berbagai alasan, rencana itu kuurungkan. Selangkah demi selangkah, tibalah aku di titik ini, dan tidak ada rencanaku yang terwujud. Aku bahkan tidak bisa mengubah nasibku sendiri, lalu bagaimana mungkin aku bisa mengubah nasib putriku? Nasib putriku sudah Tuhan tetapkan sejak dia lahir, dan mengenai apa pekerjaannya kelak, apakah dia bisa hidup layak atau tidak, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan. Seberapa pun baiknya rencanaku atau seberapa pun lengkapnya aku membina dan mendidiknya, aku tetap tidak bisa mengubah nasibnya. Aku tidak mengenal kedaulatan dan ketetapan Tuhan, serta mengira bisa mengubah nasibnya melalui usahaku untuk membina dan mendidiknya. Aku sungguh menyedihkan dan tak berpengetahuan. Dari luar, semua yang kulakukan untuk putriku, tampaknya benar, dan bahwa aku sedang merencanakan masa depannya, tetapi sebenarnya, tindakanku sudah melampaui tanggung jawab sebagai orang tua. Aku bertindak melawan kedaulatan dan pengaturan Tuhan!

Lalu aku membaca firman Tuhan: "Ke mana orang akan pergi, apa yang akan mereka lakukan, siapa atau apa yang akan mereka temui, apa yang akan mereka katakan, dan apa yang akan terjadi pada mereka setiap harinya—dapatkah orang meramalkan satu pun dari hal-hal ini? Mungkin dikatakan bahwa orang bukan saja tidak dapat meramalkan semua kejadian ini, tetapi terlebih dari itu, mereka juga tidak mampu mengendalikan bagaimana hal-hal ini berkembang. Dalam kehidupan orang sehari-hari, peristiwa-peristiwa yang tak terduga ini terjadi sepanjang waktu, semua itu adalah kejadian biasa. Terjadinya 'hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari' ini, serta cara dan pola berkembangnya hal-hal ini, adalah pengingat yang terus-menerus bagi umat manusia bahwa tidak ada hal yang terjadi secara acak, dan bahwa proses perkembangan setiap peristiwa serta sifat tak terhindarkan dari setiap peristiwa, tidak dapat diubah oleh kehendak manusia. Terjadinya setiap peristiwa menyampaikan peringatan dari Sang Pencipta kepada umat manusia, dan juga mengirimkan pesan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Pada saat yang sama, itu juga merupakan bantahan terhadap ambisi dan hasrat manusia yang dengan sia-sia berharap untuk menentukan nasib di tangannya sendiri. Bantahan ini bagaikan tamparan keras yang menampar manusia berulang kali, memaksa manusia untuk merenungkan siapa sebenarnya yang berdaulat dan mengendalikan nasib mereka. Dan ketika ambisi dan hasrat mereka terus-menerus hancur dan musnah, manusia juga mau tak mau hanya dapat mengikuti pengaturan nasib, serta menerima kenyataan, kehendak Surga, dan kedaulatan Sang Pencipta" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). "Tragedi manusia bukanlah bahwa mereka mengejar kehidupan yang bahagia, bukanlah bahwa mereka mengejar ketenaran dan keuntungan atau berjuang melawan nasibnya sendiri melewati kabut, melainkan bahwa setelah mereka melihat keberadaan Sang Pencipta, setelah mereka mengetahui fakta bahwa Sang Pencipta berdaulat atas nasib manusia, mereka tetap tidak bisa berbalik dari jalan yang salah, tidak bisa menarik kaki mereka dari dalam lumpur, malahan mengeraskan hati dan bersikeras dalam kesalahan mereka. Mereka lebih memilih terus meronta-ronta di dalam lumpur, bersaing dengan keras kepala melawan kedaulatan Tuhan, menentangnya sampai akhir, melakukan semua itu tanpa sikap pertobatan sedikit pun. Hanya setelah mereka terkapar hancur dan berdarah, barulah mereka akhirnya memutuskan untuk menyerah dan berbalik arah. Inilah tragedi manusia yang sebenarnya. Jadi Kukatakan bahwa mereka yang memilih untuk tunduk adalah orang yang bijaksana, sedangkan mereka yang memilih untuk melepaskan diri adalah orang yang bebal" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Setelah membaca firman Tuhan, aku mulai merenungkan diriku. Ketika mengingat kembali caraku membina putriku, aku selalu percaya bahwa selama aku merencanakan masa depannya dan menjalankan rencana itu, dia pasti akan sukses dalam kariernya. Setelah menemukan Tuhan, saudara-saudari mempersekutukan kepadaku bahwa masa depan seorang anak sudah ditetapkan oleh Tuhan, orang tua tidak bisa mengendalikannya, dan kita harus tunduk pada penataan serta pengaturan Tuhan. Namun, aku tetap berpegang pada pandanganku sendiri, percaya bahwa apakah putriku akan sukses atau tidak dalam kariernya, itu bergantung pada kerja kerasnya. Orang-orang dunia tidak percaya pada kedaulatan Tuhan; mereka berpikir takdir ditentukan oleh tangannya sendiri. Mereka percaya bahwa hanya dengan menanggung kesulitan, barulah orang bisa menjadi lebih unggul dari yang lain, dan mereka secara membabi buta menentang ketetapan dan kedaulatan Sang Pencipta. Meskipun percaya kepada Tuhan, aku tidak percaya pada kedaulatan-Nya atas nasib manusia. Pandanganku sama saja dengan orang tidak percaya, ingin mengubah nasib putriku melalui usaha manusia. Bagaimana bisa aku disebut orang percaya? Pandanganku sama saja dengan pandangan para pengikut yang bukan orang percaya. Aku benar-benar tidak layak hidup di hadapan Tuhan! Aku tahu betul bahwa Tuhan adalah Penguasa seluruh ciptaan, yang berdaulat dan mengendalikan segalanya. Namun, demi keinginan egoisku sendiri, aku dengan keras kepala ingin melepaskan diri dari kedaulatan Tuhan dan mengubah masa depan putriku. Ini membawa banyak penderitaan dan kerusakan bagi putriku dan aku, tetapi lebih dari itu, ini menentang ketetapan Tuhan. Setelah menyadari ini, aku tidak mau lagi menentang kedaulatan Tuhan, dan bersedia menyerahkan putriku ke dalam tangan Tuhan; entah hasil studinya baik atau buruk, aku bersedia untuk tunduk. Setelah berdoa, hatiku terasa jauh lebih tenang.

Tidak lama kemudian, putriku pulang. Dia bilang dia bekerja di sebuah restoran. Ketika melihat putriku tampak lebih kurus, dengan sedih aku bertanya, "Apakah kau akan pergi lagi?" Putriku mengangguk sambil menahan tangisnya. Aku berusaha menahan air mataku tidak menetes, lalu berkata, "Di luar sana begitu keras, kenapa tidak pulang saja?" Putriku menangis dan berkata, "Di rumah tidak ada kebebasan." Jawaban putriku terasa seperti pisau yang mengiris dagingku, dan hatiku seakan hancur berkeping-keping. "Bukankah ini semua karena aku yang memaksanya? Aku sudah merampas kebebasan dan kebahagiaan anakku, sampai-sampai dia lebih memilih menderita di luar daripada pulang ke rumah. Seperti inikah ibu yang penuh pengabdian?" Air mataku tidak bisa kutahan lagi, aku langsung memeluk putriku dan menangis sejadi-jadinya. Putriku juga menangis dengan sangat sedih. Aku berkata, "Mama salah. Mama memang bukan ibu yang baik, seharusnya Mama tidak memaksamu seperti itu. Mama membuatmu tidak punya kebebasan sama sekali di rumah, dan sudah memberimu begitu banyak penderitaan. Kumohon pulanglah. Mama tidak akan memaksamu belajar ini-itu lagi." Setelah putriku pulang, aku tidak lagi memaksanya belajar seperti dulu. Aku membiarkannya berkembang secara alami. Aku lebih fokus merawat kebutuhan dan kehidupan sehari-harinya, dan juga mengobrol dengannya tentang iman. Perlahan-lahan, putriku jadi lebih banyak bicara dan jauh lebih ceria, rumah kami pun kembali dipenuhi tawa. Suatu hari putriku berkata, "Ma, Mama sudah berubah, tidak lagi memaksaku belajar seperti dulu." Aku berkata, "Mama bisa sedikit berubah ini semua berkat bimbingan firman Tuhan. Dari firman Tuhan, Mama jadi mengerti kalau tanggung jawab Mama adalah membesarkanmu dengan sehat dan mendidikmu dengan pemikiran yang benar. Soal apakah kelak kau akan sukses secara akademis atau punya pijakan di masyarakat, itu semua sudah diatur dan ditetapkan oleh Tuhan. Dahulu, Mama salah karena memaksamu, itu membuat kita berdua sangat menderita. Jangan khawatir, Mama tidak akan memaksamu lagi." Aku dan putriku sama-sama menangis. Kemudian, putriku masuk sekolah kejuruan, dan setiap ujian nilainya selalu termasuk yang terbaik di sekolah. Dia meneleponku hampir setiap malam, menceritakan semua yang terjadi di sekolah hari itu. Hubungan kami menjadi seperti teman. Aku benar-benar merasakan dari dalam hati, betapa menyenangkannya menerapkan firman Tuhan.

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan, dan aku jadi lebih memiliki kemampuan membedakan, apakah harapanku pada putriku selama ini masuk akal atau tidak. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Semua orang tua menaruh pengharapan tertentu terhadap anak-anak mereka. Entah itu besar atau kecil, untuk saat ini atau kelak, pengharapan-pengharapan ini adalah sikap yang orang tua miliki terhadap cara berperilaku, tindakan, kehidupan anak-anak mereka, atau cara anak-anak mereka dalam memperlakukan mereka. Itu juga merupakan semacam tuntutan spesifik. Dari sudut pandang anak-anak mereka, tuntutan spesifik ini adalah hal-hal yang harus mereka lakukan, karena berdasarkan gagasan tradisional, anak-anak tidak boleh melanggar perintah orang tua mereka. Jika mereka melakukannya, artinya mereka tidak berbakti. Akibatnya, banyak orang yang menanggung beban yang besar dan berat sehubungan dengan hal ini. Jadi, tidakkah seharusnya orang memahami apakah pengharapan spesifik yang orang tua miliki terhadap anak-anak mereka itu masuk akal atau tidak, dan apakah orang tua mereka harus memiliki pengharapan tersebut atau tidak, serta yang manakah dari pengharapan-pengharapan ini yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, mana yang dapat dibenarkan, dan mana yang dipaksakan serta tidak dapat dibenarkan? Selain itu, ada prinsip-prinsip kebenaran yang harus orang pahami dan patuhi jika berkenaan dengan bagaimana mereka harus memperlakukan pengharapan orang tua, bagaimana mereka harus menerima atau menolaknya, dan sikap serta perspektif apa yang harus mereka gunakan untuk memandang serta memperlakukan pengharapan ini. Jika hal-hal ini belum diselesaikan, orang tua sering kali memikul beban semacam ini, menganggap bahwa sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban mereka untuk memiliki pengharapan terhadap anak-anak dan keturunan mereka, dan, tentu saja, menganggap bahwa hal-hal tersebut adalah hal-hal yang harus mereka miliki. Mereka beranggapan bahwa jika mereka tidak memiliki pengharapan terhadap anak-anak mereka, itu sama saja dengan tidak memenuhi tanggung jawab atau kewajiban mereka terhadap anak-anak mereka, dan itu sama saja dengan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan orang tua. Mereka menganggap bahwa hal ini akan membuat mereka menjadi orang tua yang buruk, orang tua yang tidak memenuhi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, jika berkenaan dengan pengharapan yang mereka miliki terhadap anak-anak mereka, orang tanpa sadar memunculkan berbagai tuntutan terhadap anak-anak mereka. Mereka memiliki tuntutan yang berbeda terhadap anak-anak yang berbeda pada waktu yang berbeda dan dalam keadaan yang berbeda. Karena mereka memiliki pandangan dan beban seperti ini terhadap anak-anak mereka, orang tua melakukan hal-hal yang harus mereka lakukan berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis ini, entah aturan tersebut benar atau salah. Orang tua mengajukan tuntutan terhadap anak-anak mereka sembari memperlakukan pendekatan-pendekatan ini sebagai semacam kewajiban, serta sebagai semacam tanggung jawab, dan pada saat yang sama, mereka memaksakan hal-hal tersebut kepada anak-anak mereka, membuat anak-anak mereka mencapainya" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). "Betapa pun besarnya pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan betapa pun benar dan pantasnya pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, selama pengharapan-pengharapan tersebut bertentangan dengan kebenaran bahwa Tuhan berdaulat atas nasib manusia, maka pengharapan-pengharapan tersebut adalah sesuatu yang orang harus lepaskan. Dapat dikatakan bahwa ini juga merupakan hal yang negatif. Itu tidak tepat dan tidak positif. Hal ini bertentangan dengan tanggung jawab orang tua dan melampaui lingkup tanggung jawab tersebut, serta merupakan pengharapan dan tuntutan yang tidak realistis dan bertentangan dengan kemanusiaan. ... beberapa tindakan dan perilaku yang tidak normal, serta beberapa perilaku ekstrem yang diperlihatkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka yang belum dewasa, yang menimbulkan berbagai macam pengaruh negatif serta tekanan terhadap anak-anak mereka, merusak kesehatan tubuh, mental, dan rohani anak-anak. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan orang tua tidak tepat dan tidak pantas. Ini adalah pemikiran dan tindakan yang harus dilepaskan oleh orang-orang yang mengejar kebenaran, karena, dari sudut pandang kemanusiaan, ini adalah cara yang kejam dan tidak manusiawi untuk merusak kesehatan fisik dan mental seorang anak" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Tuhan mengungkapkan bahwa ketika orang tua menjadikan harapan dan tuntutan tidak wajar mereka terhadap anak-anak sebagai tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka penuhi, lalu memaksa anak-anak untuk memenuhinya, hal ini justru menyakiti dan merusak anak-anak. Aku pun merenungkan diriku. Sejak kecil, aku melihat orang tuaku berkorban begitu banyak agar kami kelak bisa punya pekerjaan yang baik. Dari lubuk hatiku, aku sungguh mengagumi mereka dan menganggap mereka mereka sangat penuh pengabdian. Aku berpikir, kelak jika aku punya anak, aku juga akan seperti mereka, menjadi ibu yang baik dan bertanggung jawab. Setelah putriku lahir, aku berpikir karena dia masih kecil, dia tidak tahu tentang kenyataan pahit dan kejamnya persaingan di masyarakat. Karena aku sudah lebih dulu merasakannya, aku harus merencanakan masa depannya dan membukakan jalan untuknya, meskipun itu akan melibatkan penderitaan atau kelelahan, aku harus mengirit dan menabung serta melakukan segala cara untuk mendidik dan membimbingnya agar dia punya banyak bakat serta masa depan yang cerah. Aku merasa inilah tanggung jawab dan kewajibanku sebagai seorang ibu. Aku pun mendidik dan membina putriku sesuai dengan rencanaku, mendaftarkannya ke berbagai kelas ekstrakurikuler, bahkan aku menyaring pergaulannya dengan teman sekelas agar tidak mengganggu belajarnya. Aku sering menasihatinya berdasarkan pengalamanku. Bahkan ketika putriku mengeluh lelah dan tidak punya kebebasan, aku tetap membujuk dan meyakinkannya agar terus berjuang mengatasi kesusahan sementara ini. Aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan caraku. Aku malah merasa ini semua demi kebaikannya dan ini adalah bentuk tanggung jawabku padanya. Bahkan ketika saudara-saudari mempersekutukan hal ini denganku, aku tidak mau berubah pikiran, dan sama sekali tidak memikirkan perasaan putriku. Aku tidak ingat bahwa dia masih anak-anak atau memikirkan apa yang dia butuhkan di usianya. Sebaliknya, aku memaksakan harapanku sendiri padanya, memberikan tekanan, kekangan, dan penderitaan yang berat pada hati dan pikirannya yang masih muda. Ternyata, aku sama sekali tidak sedang memenuhi tanggung jawabku sebagai ibu, semua tindakanku sepenuhnya didasarkan pada tuntutan manusia yang tidak wajar. Aku menganggap semua harapanku ini sebagai tanggung jawab seorang ibu, dan terus memaksa putriku sampai dia kabur dari rumah. Apa yang kusebut "tanggung jawab" ini ternyata hanya membawa penderitaan bagi kami berdua!

Suatu hari, seorang saudari yang menjadi rekan kerjaku bertanya, "Kau selalu berpikir bahwa membina putrimu berarti memenuhi tanggung jawabmu sebagai ibu, tetapi kau tidak pernah membiarkannya melakukan apa yang dia sukai, malah menuntutnya untuk memenuhi harapanmu. Bukankah ada watak rusak di balik semua ini?" Aku membawa pertanyaan ini ke hadapan Tuhan dalam doa dan membaca firman-Nya: "Berdasarkan pada apakah pengharapan orang tua ini? Dari manakah pengharapan-pengharapan ini berasal? Semua itu berasal dari masyarakat dan dunia. Tujuan dari semua pengharapan orang tua ini adalah untuk memungkinkan agar anak-anak beradaptasi dengan dunia dan masyarakat ini, agar mereka tidak tersingkir oleh dunia atau masyarakat, dan agar mereka memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat, mendapatkan pekerjaan yang mapan, keluarga yang stabil, serta masa depan yang stabil, jadi orang tua memiliki pengharapan subjektif yang berbeda-beda terhadap anak-anak mereka. Sebagai contoh, saat ini menjadi sarjana teknik komputer merupakan hal yang sangat populer. Ada orang-orang yang berkata: 'Anakku kelak akan menjadi sarjana teknik komputer. Mereka bisa menghasilkan banyak uang di bidang ini, membawa komputer sepanjang hari, dan mengerjakan jaringan komputer. Ini juga akan membuatku terlihat baik sebagai orang tua!' Dalam keadaan seperti ini, ketika anak-anak sama sekali tidak memiliki konsep apa pun, orang tua merekalah yang menentukan masa depan mereka. Bukankah ini salah? (Ya.) Orang tua mereka menaruh pengharapan kepada anak-anak mereka sepenuhnya berdasarkan cara orang dewasa memandang segala sesuatu, serta berdasarkan pandangan, sudut pandang, dan kesukaan orang dewasa tentang hal-hal dunia. Bukankah ini bersifat subjektif? (Ya.) Sederhananya, engkau dapat mengatakan bahwa itu bersifat subjektif, tetapi apa itu sebenarnya? Apa arti lain dari subjektivitas ini? Bukankah itu artinya keegoisan? Bukankah itu pemaksaan? (Ya.) Engkau menyukai pekerjaan ini dan karier itu, engkau suka hidup mapan, menjalani kehidupan yang glamor, menjabat sebagai pejabat, atau menjadi orang kaya di tengah masyarakat, jadi engkau membuat anak-anakmu melakukan hal-hal itu juga, menjadi orang yang seperti itu juga, dan menempuh jalan seperti itu. Namun, akankah mereka suka hidup dalam lingkungan tersebut dan menggeluti pekerjaan tersebut di masa depan? Apakah mereka cocok dengan pekerjaan itu? Apa takdir mereka? Apa pengaturan dan ketetapan Tuhan mengenai mereka? Apakah engkau mengetahui hal-hal ini? Ada orang-orang yang berkata: 'Aku tidak peduli dengan hal-hal itu, yang penting adalah hal-hal yang aku sukai sebagai orang tua mereka. Aku akan menaruh pengharapan kepada mereka berdasarkan kesukaanku sendiri.' Bukankah itu sangat egois? (Ya.) Itu sangat egois! Sederhananya, itu sangat subjektif, itu artinya mereka sendiri yang membuat semua keputusannya, tetapi apa sebenarnya itu? Itu sangat egois! Orang tua seperti ini tidak memikirkan kualitas ataupun bakat anak-anak mereka, mereka tidak peduli dengan pengaturan Tuhan terhadap takdir dan kehidupan setiap orang. Mereka tidak memikirkan hal-hal ini, mereka hanya memaksakan kesukaan, niat, dan rencana mereka sendiri kepada anak-anak mereka melalui angan-angan. Ada orang-orang yang berkata: 'Aku harus memaksakan hal ini kepada anakku. Mereka masih terlalu muda untuk memahaminya, dan pada waktu mereka memahaminya, semuanya sudah terlambat.' Benarkah demikian? (Tidak.) Jika memang sudah terlambat, berarti itu adalah nasib mereka, bukan tanggung jawab orang tua mereka. Jika engkau memaksakan hal-hal yang kaupahami kepada anak-anakmu, akankah mereka memahaminya lebih cepat hanya karena engkau memahaminya? (Tidak.) Cara orang tua mendidik anak-anak mereka tidak ada hubungannya dengan kapan anak-anak tersebut memahami hal-hal seperti jalan hidup seperti apa yang harus dipilih, karier seperti apa yang harus dipilih, dan seperti apa kehidupan mereka nantinya. Mereka punya jalan mereka sendiri, kecepatan mereka sendiri, dan hukum mereka sendiri. ... Engkau sedang membuat anak-anakmu memikul tekanan itu sejak dini agar penderitaan mereka berkurang di masa depan, dan mereka harus menanggung tekanan itu mulai dari usia di mana mereka masih belum memahami apa pun. Dengan melakukannya, bukankah berarti engkau sedang menyakiti anak-anakmu? Apakah engkau benar-benar melakukannya demi kebaikan mereka sendiri? Lebih baik mereka tidak memahami hal-hal ini, sehingga mereka dapat hidup selama beberapa tahun dengan nyaman, bahagia, murni, dan sederhana. Jika mereka memahami hal-hal tersebut sejak dini, apakah itu menjadi berkat atau kemalangan? (Itu akan menjadi kemalangan.) Ya, itu akan menjadi kemalangan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa harapan orang tua yang tidak wajar terhadap anak-anak mereka berasal dari pengaruh tren jahat dan masyarakat, dan semua ini berasal dari Iblis. Seperti kasusku, aku tidak berpendidikan tinggi dan tidak punya keahlian khusus. Di masyarakat, aku hanya bisa mengais rezeki dengan kemampuanku. Sementara mereka yang berpendidikan tinggi atau punya keahlian khusus tidak perlu terlalu menderita; hanya dengan mengandalkan otak dan ucapan, mereka bisa hidup berkecukupan. Aku terpengaruh oleh falsafah Iblis yang menyesatkan dan menipu, seperti "Mengejar hal-hal lain tidak penting, mengejar pendidikan tinggi lebih penting dari semuanya," "Pengetahuan bisa mengubah nasibmu," dan "Mereka yang bekerja dengan otaknya, berkuasa; mereka yang bekerja dengan ototnya dikuasai." Aku menganggap bahwa hanya pengetahuan dan keahlian khususlah yang bisa mengubah nasib dan membawa kehidupan yang baik. Jadi, dengan pengalamanku, aku seenaknya membuat rencana untuk putriku yang masih kecil, memaksanya belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan, tanpa sedikit pun mempertimbangkan apakah putriku menyukainya atau tidak. Aku hanya fokus untuk membina putriku agar menjadi orang yang berbakat dan terkemuka. Iblis menggunakan falsafah-falsafah ini untuk menyesatkan manusia, membuatku keliru berpikir bahwa hanya pengetahuan yang bisa mengubah nasib orang, dan yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara membina putriku untuk mengubah nasibnya. Kalau kuingat lagi, semua yang kulakukan itu benar-benar tidak ada artinya. Tuhan sudah menetapkan akan jadi seperti apa putriku kelak, dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Aku sama sekali tidak punya kemampuan membedakan cara Iblis merusak manusia dan niat jahatnya. Aku dengan keras kepala memaksakan kehendakku agar putriku menurutiku. Akibatnya, di usianya yang masih sangat muda, putriku menanggung begitu banyak tekanan dan penderitaan. Masa kecilnya yang dahulu polos dan riang telah hancur oleh keegoisanku. Bukankah aku sama saja telah menyakiti anakku? Dari luar, kelihatannya aku sedang memikirkan masa depan putriku, tetapi sebenarnya, aku memaksakan minat dan keinginanku sendiri padanya. Semua itu demi hasrat egoisku, demi kehormatanku sendiri. Aku benar-benar sangat egois! Aku sampai tidak berani membayangkan, seandainya tidak ada bimbingan firman Tuhan, akan jadi seperti apa putriku jika aku terus mengekang dan menekannya! Setelah menyadari hal ini, dengan tulus aku bersyukur atas pencerahan dan bimbingan Tuhan, yang membuatku sedikit lebih mengenal naturku yang rusak.

Lalu aku membaca lagi firman Tuhan: "Dengan menganalisis esensi dari pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, kita dapat melihat bahwa pengharapan-pengharapan tersebut bersifat egois, bertentangan dengan kemanusiaan, dan selain itu, semua itu tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab orang tua. Ketika orang tua memaksakan berbagai harapan dan tuntutan terhadap anak-anak mereka, mereka tidak sedang memenuhi tanggung jawab mereka. Jadi, apa 'tanggung jawab' mereka? Tanggung jawab paling mendasar yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah mengajari anak-anak mereka berbicara, mendidik mereka untuk bersikap baik dan tidak menjadi orang jahat, serta membimbing mereka ke arah yang positif. Ini adalah tanggung jawab mereka yang paling mendasar. Selain itu, mereka harus mendampingi anak-anak mereka dalam mempelajari segala jenis ilmu, bakat, dan lain-lain yang sesuai dengan usia, kemampuan, serta kualitas dan minat mereka. Orang tua yang sedikit lebih baik akan membantu anak-anak mereka memahami bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan bahwa Tuhan itu ada di alam semesta ini, membimbing anak-anak mereka untuk berdoa dan membaca firman Tuhan, menceritakan kepada mereka beberapa kisah dari Alkitab, dan berharap bahwa mereka akan mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan setelah mereka dewasa, dan bukan mengikuti tren duniawi, terjebak dalam berbagai hubungan antarpribadi yang rumit, dan dihancurkan oleh berbagai tren dunia dan masyarakat ini. Tanggung jawab yang harus dipenuhi orang tua tidak ada hubungannya dengan pengharapan mereka. Tanggung jawab yang harus mereka penuhi dalam peran mereka sebagai orang tua adalah memberikan bimbingan yang positif dan bantuan yang tepat kepada anak-anak mereka sebelum mereka mencapai usia dewasa, serta segera merawat mereka dalam kehidupan jasmani mereka yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Firman Tuhan menunjukkan jalan penerapan bagiku, dan kini aku tahu bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anakku dengan benar. Sebagai orang tua, kita harus memberikan pengasuhan dan pendidikan yang benar sesuai dengan kebutuhan anak di setiap tahap usianya. Saat anak-anak masih kecil, mereka perlu diajari oleh orang tua bagaimana cara berperilaku, bagaimana memiliki pemikiran manusia yang normal, bagaimana menjadi orang yang baik hati, dan orang tua juga harus menjaga kesehatan mereka, agar mereka bisa tumbuh dewasa dengan sehat. Orang tua tidak seharusnya memaksakan pemikiran yang salah, serta tekanan dan beban kepada mereka. Jika ada kesempatan, orang tua bisa menceritakan kepada mereka bagaimana Tuhan menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, bagaimana Dia bekerja untuk memimpin dan menyelamatkan manusia, serta membimbing mereka untuk percaya kepada Tuhan, dan memberi mereka arahan dan bantuan yang positif. Ini juga merupakan tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua. Sekarang, pekerjaan putriku tidak berhubungan dengan bidang keahliannya. Kakak perempuanku memintaku untuk membujuk putriku agar mencari pekerjaan sesuai dengan keahliannya, tetapi aku tahu, apa pun pekerjaan putriku, itu semua sudah ditetapkan oleh Tuhan. Aku bisa memberinya saran, tetapi dia bebas memilih sesuai kehendaknya. Lalu, aku pun membagikan pemikiranku kepadanya. Putriku berkata, "Aku suka pekerjaanku yang sekarang." Aku berkata, "Karena kau bilang begitu, Mama menghargai pilihanmu." Percakapan kami terasa begitu ringan, tanpa ada paksaan atau tekanan sama sekali. Aku jadi merasakan bahwa menerapkan firman Tuhan itu sungguh membebaskan. Syukur kepada Tuhan atas bimbingan-Nya.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Tinggalkan Balasan

Hubungi kami via WhatsApp