Hari-Hari Pelecehan dan Penyiksaan

28 Januari 2025

Oleh Saudari Chen Xinjie, Tiongkok

Suatu hari sekitar pukul 11 pagi pada musim panas tahun 2006, aku sedang berada di kediaman tuan rumahku mendengarkan lagu-lagu pujian firman Tuhan ketika polisi tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar, dan membawaku, tuan rumahku Saudari Zhao Guilan, dan putrinya yang berusia 6 tahun ke kantor polisi.

Begitu memasuki kantor polisi, beberapa polisi wanita menanggalkan pakaian kami secara paksa. Karena hanya tersisa pakaian dalam di tubuhku, aku secara refleks berusaha mencegah mereka melucutinya juga. Seorang polisi wanita mendekatiku, merobek semua pakaian dalamku, meremas-remasnya dengan sangat teliti, dan kemudian merobeknya untuk diperiksa. Setelah selesai menggeledah sekujur tubuh kami, kami dibawa ke sebuah ruangan kantor. Di sana para polisi itu membuka-buka buku catatan kecil yang mereka temukan di sakuku. Melihat ada banyak nomor telepon yang tertera di dalamnya, mereka mengira aku mungkin seorang pemimpin, jadi mereka berkata akan melaporkan kasusku ke Kantor Keamanan Publik Provinsi. Seorang komandan bagian bernama Zhu bertanya kepadaku, "Kapan kau mulai percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa? Apa peranmu di gereja?" Aku tidak mengatakan apa pun, jadi dia dengan marah mencengkeram daguku dengan keras dan mengangkat kepalaku—dia meremasnya begitu keras sehingga aku sama sekali tak bisa bergerak. Dia tersenyum cabul dan berkata, "Tampangmu lumayan, menarik dan masih muda. Kau bisa melakukan apa pun, tapi kau malah ingin percaya kepada Tuhan!" Polisi lain di sampingnya terkekeh-kekeh. Aku merasa jijik dan sangat marah. Kupikir, "'Polisi Rakyat' macam apa ini? Mereka adalah segerombolan penjahat, binatang!" Komandan Zhu berulang kali bertanya kepadaku tentang informasi pribadiku dan siapa pemimpin gerejanya. Karena aku tidak mau memberi tahu mereka apa pun, salah seorang polisi mulai memukuliku dengan sangat keras. Kepalaku menjadi pusing dan penglihatanku kabur karena pemukulan itu; aku terus-menerus terkulai ke lantai, dan dia terus menarikku berdiri agar bisa terus memukuliku. Sambil melakukannya, dia berteriak, "Pemerintah Pusat telah sejak lama menetapkan bahwa membunuh kalian bukanlah kejahatan, jadi tidak masalah jika kami memukulimu sampai mati! Jika kau mati, kami cukup membawamu ke perbukitan dan menguburmu. Tidak akan ada yang tahu!" Melihat raut wajahnya yang terlihat kejam dan sangat jahat membuatku panik dan ketakutan—aku takut mereka benar-benar akan memukuliku sampai mati. Aku terus-menerus berseru kepada Tuhan di dalam hatiku, memohon kepada-Nya untuk menjaga hatiku. Pada saat itu, sesuatu dari firman Tuhan muncul di benakku: "Para penguasa mungkin tampak ganas dari luar, tetapi jangan takut, karena ini disebabkan engkau semua memiliki sedikit iman. Asalkan imanmu bertumbuh, tidak akan ada yang terlalu sulit" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 75"). Benar. Tuhan mengendalikan segala sesuatu, jadi sejahat dan sekejam apa pun polisi, mereka juga berada di tangan Tuhan. Jika Tuhan tidak mengizinkanku mati, bahkan Iblis pun tidak bisa mencabut nyawaku. Meskipun polisi benar-benar memukuliku sampai mati, jiwaku tetap berada di tangan Tuhan. Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan, dan perlahan-lahan aku bisa menjadi tenang.

Karena gagal mendapatkan jawaban yang dia inginkan, Komandan Zhu berteriak dengan marah, "Kulihat kau lebih suka melakukan segala sesuatu dengan cara yang sulit. Akan kubuat kau buka mulut hari ini. Tak seorang pun bisa lolos dariku—aku telah menggantung dua orang sampai mereka mati dalam dua hari terakhir." Kemudian beberapa polisi datang, memborgol tanganku, dan menggantungku di pintu gerbang besi dengan kakiku tidak menyentuh tanah, dan seluruh bobot tubuhku tertumpu pada pergelangan tanganku. Mereka menyeret Guilan setelah itu. Seluruh wajahnya bengkak karena dipukuli dan rambutnya acak-acakan. Polisi juga menggantungnya di pintu gerbang besi. Komandan Zhu menyeringai saat melihat wajah kami yang terlihat kesakitan dan berkata, "Selamat bersenang-senang," lalu berbalik dan berjalan keluar. Seiring waktu, karena diborgol dengan cara seperti itu, tekanan pada pergelangan tanganku menjadi makin menyakitkan dan rasanya lenganku seperti dicabut dari sendinya. Rasa sakit yang menusuk membuat sekujur tubuhku berkeringat. Tak lama kemudian, seluruh pakaianku basah kuyup dengan keringat. Dalam upayaku mengurangi rasa sakit, kukepalkan tanganku dan berusaha keras meletakkan tumitku ke jeruji pintu gerbang besi itu, tetapi kakiku terus tergelincir ke bawah. Jantungku berdebar-debar dan aku kesulitan bernapas. Aku merasa akan mati lemas. Saat teringat perkataan Komandan Zhu bahwa dia telah menggantung dua orang sampai mereka mati dalam beberapa hari terakhir membuatku takut; aku khawatir aku benar-benar akan mati di sana. Aku terus berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku hampir tak tahan lagi. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi—kumohon selamatkan aku ...." Setelah berdoa, aku teringat lagu pujian firman Tuhan yang berjudul "Berusahalah Mengasihi Tuhan Tidak Peduli Seberapa Besar Penderitaanmu". Tuhan berfirman: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Firman Tuhan segera memberiku iman dan kekuatan. Hidup dan matiku berada di tangan Tuhan, dan aku tidak akan mati kecuali Tuhan mengizinkannya. Dan sekalipun aku hanya memiliki satu tarikan napas terakhir, aku harus setia kepada Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi Dia. Jadi, aku terus berdoa dan mengandalkan Tuhan, dan tanpa sadar, aku perlahan-lahan bisa menjadi tenang dan rasa sakitku jauh berkurang. Kupalingkan kepalaku dan kulihat ekspresi keteguhan di wajah Guilan, dan aku bersyukur dalam hatiku kepada Tuhan. Aku tahu bahwa kami mampu bertahan hidup sejauh ini sepenuhnya karena kekuatan dan iman yang Tuhan berikan kepada kami.

Polisi menurunkan kami sekitar pukul 4 pagi. Tangan dan kaki kami mati rasa dan lemas, jadi kami rebah begitu saja di lantai, dalam keadaan sekarat. Melihat penderitaan yang kami alami, Komandan Zhu, dengan sangat bangga akan dirinya, bertanya kepadaku, "Sudah kau pertimbangkan? Digantung dengan borgol rasanya tidak enak, bukan?" Aku mengabaikannya. Dia tampak sangat yakin akan dirinya sendiri, mengira aku tak mampu menahan penyiksaan itu dan pasti akan mengkhianati saudara-saudariku. Namun, dia tidak tahu bahwa semakin mereka menganiaya kami, semakin jelas aku dapat melihat betapa kejam dan biadabnya mereka, semakin jelas aku dapat melihat bahwa Partai Komunis adalah setan yang menentang Tuhan, semakin aku menjadi teguh dalam keyakinanku bahwa aku harus tetap teguh dalam kesaksianku dan mempermalukan Iblis. Interogasi mereka berlanjut sampai sore hari berikutnya. Kemudian Komandan Zhu menerima telepon, dan aku mendengarnya berkata, "Tidak ada cara yang berhasil dengan wanita ini—semuanya gagal. Aku telah menangani banyak kasus selama puluhan tahun, tetapi tak pernah menghadapi kasus yang sesulit ini!" Setelah menutup telepon, dia mulai memakiku, "Kalian orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa memang keras kepala! Aku yakin bisa membuatmu buka mulut. Kami akan membawamu ke tempat lain hari ini, kau tidak akan mudah bertahan di sana. Aku punya banyak cara untuk membuatmu bicara!" Setelah itu, dia dan polisi lainnya masuk ke kamar sebelah. Samar-samar aku mendengarnya berkata, "Bawa dia ke lubang ular dan lemparkan dia ke dalamnya dalam keadaan telanjang. Itu akan membuatnya bicara!" Mendengar kata "lubang ular" mengejutkanku, aku ketakutan. Memikirkan ular merayap di mana-mana membuatku merinding, jadi aku segera berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk memberiku keberanian agar aku tidak pernah menjadi Yudas dan mengkhianati-Nya, meskipun mereka melemparkanku ke dalam lubang ular. Setelah berdoa, aku ingat Daniel yang dilemparkan ke dalam gua singa; singa-singa itu tidak menerkamnya, karena Tuhan tidak mengizinkannya. Bukankah aku juga sepenuhnya berada di tangan Tuhan? Pemikiran ini memampukanku untuk perlahan-lahan menjadi tenang. Beberapa waktu kemudian, Komandan Zhu menerima telepon, berkata ada kasus mendesak yang harus dia tangani, dan kemudian bergegas pergi bersama polisi lain yang mengawalnya. Setelah dia pergi, polisi yang ditugaskan mengawasiku mendapat telepon dari keluarganya yang berkata sesuatu telah terjadi pada putranya, dan dia dalam kondisi kritis. Dia memborgolku ke kursi besi dan kemudian pergi dengan tergesa-gesa. Aku tahu tanpa sedikit pun keraguan bahwa Tuhan telah mendengar doaku dan membuka jalan keluar bagiku. Aku kembali berdoa: "Tuhan, aku telah melihat perbuatan-Mu yang ajaib, dan aku bersyukur kepada-Mu!"

Melihat interogasi tidak membuahkan hasil, polisi sangat marah dan tidak membiarkanku tidur. Aku sangat mengantuk, tetapi saat aku memejamkan mata, seorang polisi akan memegang bahuku dan mendorongnya dengan sangat keras, sambil berteriak, "Mau tidur ya? Mau tidur ya?" Mereka terus menakut-nakutiku berulang kali seperti itu dan tidak membiarkanku tidur. Polisi menyiksaku selama empat hari empat malam, dan tidak mengizinkanku makan, minum, atau tidur. Aku sangat lemah karena penyiksaan itu, perutku sakit rasanya seperti ditusuk-tusuk, aku sulit bernapas, dan tubuhku sangat kelelahan. Namun, bagaimanapun mereka menginterogasiku, aku tidak memberi tahu mereka apa pun. Karena melihat tidak ada cara mereka yang berhasil, Komandan Zhu membanting pintu dan pergi dengan marah. Ketika dia kembali, dia membawa tiga atau empat lembar kertas yang dipenuhi tulisan. Dia membanting kertas-kertas itu di atas meja dan memerintahkanku untuk menandatangani surat pengakuan dan meninggalkan sidik jariku. Aku berkata, "Aku tak pernah mengatakan semua ini, jadi aku tak mau tanda tangan." Dia memberi isyarat kepada polisi lainnya, dan beberapa dari mereka bergegas mendekat, ada yang menarik lenganku, dan ada yang meremas pergelangan tanganku dengan sangat keras, memaksaku membuka tanganku yang terkepal, dan kemudian menempelkan semua sidik jariku ke surat pengakuan palsu itu. Komandan Zhu mengambilnya dan berkata dengan senang, "Huh! Masih coba melawanku? Kaupikir bisa lolos dengan diam saja. Aku tetap bisa membuatmu dihukum delapan hingga sepuluh tahun!"

Malam itu, polisi membawaku ke sebuah pabrik yang terbengkalai dan memerintahkanku untuk melepas sepatu dan kaus kakiku, jadi aku dibiarkan bertelanjang kaki. Lalu dua orang berdiri di sebelahku, memegangi kedua tanganku, dan membawaku melewati lorong gelap yang semakin gelap saat kami masuk lebih jauh ke dalamnya. Bulu kudukku berdiri. Mereka membawaku melewati tiga pintu gerbang besi dan kemudian mendorongku masuk ke dalam ke sebuah ruangan. Aku melihat seorang pria di sudut diikat dengan rantai yang berat, tangan dan kakinya direntangkan dan dia mengerang kesakitan. Ada banyak rantai besar yang tergantung di dinding, dan ada pentungan listrik dan batang besi. Aku merasa seperti telah jatuh ke dalam neraka. Aku ketakutan dan merasa kali ini aku pasti akan mati di sana. Aku terus-menerus berdoa kepada Tuhan. Lalu seorang polisi berkata dengan nada mengancam, "Jika kau mau, masih ada waktu bagimu untuk mengaku. Kau mau bicara, atau tidak?" Aku berkata, "Aku tidak melanggar hukum apa pun. Tidak ada yang perlu kuakui." Dia mencibir dengan dingin, melambaikan tangan, dan kemudian dua polisi pria lainnya melompat ke arahku seperti serigala, dan dengan cepat menekanku ke lantai. Aku meronta mati-matian, tetapi mereka berlutut dengan kuat di atas kakiku dan merobek baju dan celanaku sementara aku mati-matian berusaha melawan. Mereka merobek semua pakaianku, dan akhirnya meninggalkanku dengan posisi tertelungkup dalam keadaan telanjang di lantai. Setelah itu, mereka berlutut di atas pahaku dengan sangat keras dan memelintir lenganku ke belakang sehingga aku tidak bisa bergerak. Polisi lainnya mengambil pentungan listrik dan mulai menyetrumku seperti orang gila di seluruh pinggang, punggung, dan bokongku. Setiap setruman membuatku bengkak dan mati rasa, dan rasa sakitnya terasa seperti menusuk langsung ke tulangku. Sekujur tubuhku bergetar-getar tak terkendali dan kakiku meronta-ronta di lantai. Semakin aku meronta, semakin erat mereka memegangiku. Salah seorang polisi memanfaatkan keadaan ini untuk meraba-raba bokongku sambil tertawa terbahak-bahak, dan mengatakan hal-hal yang cabul. Polisi lainnya berteriak sambil menyetrum, "Kau mau bicara atau tidak? Aku bertaruh bisa membuatmu buka mulut!" Setelah menyetrumku lima atau enam kali, mereka membalikkan tubuhku, berlutut di atas pahaku lagi, dan terus menyetrumku di dada, perut, dan selangkangan. Ketika mereka menyetrum bagian tengah tubuhku, rasanya perut dan ususku seperti diaduk-aduk—itu sangat menyakitkan. Ketika mereka menyetrum dadaku, aku merasakan jantungku mengerut dan aku sulit bernapas. Aku merasa seakan-akan segenggam paku tajam tiba-tiba ditancapkan ke dagingku ketika mereka menyetrum selangkanganku, dan aku hampir tak mampu bernapas. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa sakit seperti itu.

Aku pingsan setelah itu. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu sebelum mereka menyiramku dengan air dingin untuk menyadarkanku, lalu terus menyetrumku. Salah seorang polisi bahkan mencubit putting susuku, menariknya ke atas dan kemudian menekannya dengan keras, melakukan hal ini berulang-ulang selama empat atau lima menit. Aku merasa putting susuku akan copot—rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan. Polisi lainnya menyetrum payudaraku pada saat yang sama. Dengan setiap setruman, aku merasa daging payudaraku dikelupas, rasanya jantungku akan berhenti. Keringat membasahi sekujur tubuhku dan aku tidak bisa berhenti gemetar. Mereka terus menyetrumku, mempermainkanku, sambil mengatakan hal-hal yang menjijikkan. Aku merasa mereka adalah roh-roh jahat dan setan-setan di neraka yang secara khusus menyiksa orang untuk hiburan mereka sendiri. Beberapa waktu kemudian, aku sangat kesakitan sehingga akhirnya aku kehilangan kendali atas kandung kemihku, dan kemudian pingsan lagi. Beberapa waktu berlalu, aku tidak tahu berapa lama, sebelum mereka kembali menyadarkanku dengan air dingin dan terus menyetrumku di dada, perut, dan selangkanganku. Aku merasa dagingku sedang terbakar oleh semua setruman itu. Salah seorang polisi berteriak sambil menyetrumku, "Di mana Tuhanmu sekarang? Suruh Dia datang menyelamatkanmu! Akulah tuhanmu!"

Aku pingsan karena setruman yang berulang-ulang, dan mereka memercikkan air untuk menyadarkanku berkali-kali. Akhirnya, aku bahkan sama sekali tak punya sisa tenaga untuk meronta atau bergerak. Aku terbaring di lantai dalam keadaan sekarat, merasakan kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit yang luar biasa. Aku tidak tahu berapa lama lagi mereka akan menyiksa dan melecehkanku. Aku benar-benar tidak tahan lagi dan ingin menggigit lidahku sendiri dan bunuh diri untuk melepaskan diri dari kesengsaraan ini secepat mungkin. Tepat ketika aku hampir tak sanggup lagi bertahan, aku teringat lagu pujian ini: "Iblis telah hancurkanku. Telah kulihat wajah iblis. Tak lupa ribuan tahun kebencian. Ku tak akan tunduk pada Iblis! Tuhan menjadi daging, menderita, hanya untuk selamatkan kita. Telah kunikmati kasih Tuhan, aku harus bisa membalas-Nya. Sebagai manusia, aku bangkit dan jadi saksi. Tubuhku rusak, tapi hatiku makin kuat. Kuakan setia pada Tuhan hingga mati. Jika bisa senangkan-Nya sekali saja, kuakan tunduk." Aku teringat bagaimana Tuhan telah menjadi daging dan menanggung penghinaan yang sangat besar hanya untuk menyelamatkan umat manusia, bagaimana Dia membagikan firman-Nya untuk menyirami dan membekali kita. Tuhan telah membayar harga yang sangat mahal demi kita, dan Dia selalu ada di sana membimbing dan melindungiku sejak penangkapanku. Aku telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan, tetapi apa yang pernah kulakukan untuk-Nya? Orang-orang kudus di sepanjang zaman telah mampu mengorbankan diri dan menumpahkan darah mereka, menjadi martir bagi Tuhan, sedangkan aku, baru mengalami sedikit penderitaan saja sudah ingin menghindarinya melalui kematian. Aku sangat pengecut! Bagaimana ini bisa menjadi kesaksian bagi Tuhan? Bukankah aku sedang membiarkan Iblis menertawakanku? Dengan pemikiran ini, aku berdoa dalam hati, "Tuhan, bagaimanapun Iblis menyiksaku, aku tidak akan pernah menyerah kepadanya. Aku akan hidup untuk-Mu."

Mereka terus menyetrumku berulang kali setelah itu, dan aku tetap berusaha bertahan dan tidak bersuara. Setelah aku pingsan karena disetrum untuk terakhir kalinya, aku mendapati diriku berdiri di sebuah tempat di mana aku bisa melihat gunung berbentuk seperti paruh elang di kejauhan, dikelilingi oleh pepohonan yang layu, serta bambu, bunga, dan rerumputan kering yang sudah mati. Hanya gunung itu yang hijau dan subur. Ada banyak orang dengan bibir yang kering dan pecah-pecah mendaki gunung dan ada yang meninggal karena kehausan dalam perjalanan. Aku juga sangat haus, dan ketika aku tiba di kaki gunung, aku mendengar suara air mengalir dari sana. Aku bergegas untuk mulai mendakinya dan setelah berjuang untuk naik setengah jalan, aku dapat mengangkat kepalaku dan meminum air yang menetes dari paruh elang itu. Rasanya sangat manis! Saat aku sedang minum, aku mendengar nyanyian. Aku memalingkan kepalaku dan melihat dua barisan orang berpakaian serba putih yang sedang menyanyikan sebuah lagu pujian; mereka terlihat seperti malaikat. Inilah lirik dari lagu tersebut: "Iman dan kasih yang terbesar dituntut dari kita dalam pekerjaan akhir zaman. Kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil, karena tahap pekerjaan ini berbeda dari semua pekerjaan sebelumnya: yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman orang-orang, yang tidak dapat dilihat dan diraba. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan menjadi hidup. Orang-orang harus mencapai titik di mana mereka telah menanggung ratusan pemurnian dan memiliki iman yang lebih besar dari iman Ayub. Mereka harus menanggung penderitaan luar biasa dan segala macam siksaan tanpa pernah meninggalkan Tuhan. Ketika mereka tunduk sampai mati, dan memiliki iman yang besar kepada Tuhan, maka tahap pekerjaan Tuhan ini selesai" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (8)"). Suara lagu itu bergema di lembah itu—suaranya jernih, merdu, dan indah. Mendengarkannya sangat menyenangkan dan menginspirasi bagiku. Kemudian, aku tiba-tiba terbangun. Aku masih merasa sangat kesakitan, tetapi aku merasakan kedamaian di hatiku. Aku melihat seorang polisi sedang beristirahat di kursi, kelelahan dan terengah-engah. Polisi lainnya berkata, "Aku terkesan. Wanita ini sangat kuat—tak ada yang bisa membunuhnya." Mendengar perkataannya, aku menaikkan syukur dan pujianku kepada Tuhan. Tuhan-lah yang mencerahkan dan membimbingku, mengizinkanku menyaksikan penglihatan ini, memberiku kekuatan, dan membimbingku melewati masa sulit ini. Imanku kepada Tuhan bertumbuh. Beberapa waktu kemudian, salah seorang polisi melemparkan baju dan celanaku kepadaku dan pergi dengan kesal. Tubuhku telah menjadi lemah karena sengatan listrik dan terlalu kesakitan untuk duduk. Dengan susah payah, aku bisa mengenakan pakaianku sambil berbaring di lantai, tetapi pakaian dalamku tidak ada dan mereka telah merobek pakaianku. Aku hampir tidak bisa menutupi tubuhku dengan pakaian itu. Aku merasa seperti ada lapisan kulit yang terkelupas oleh sengatan listrik, dan rasa sakit dari pakaian yang menempel ke dagingku terasa sangat menyiksa. Luka yang kudapatkan karena sengatan listrik membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk sembuh, dan aku masih merasakan akibat dari sengatan itu. Sejak saat itu, aku sering mengalami kejang yang tidak terkendali di seluruh tubuh, tak bisa membuka rahang dan seluruh tubuhku terasa tegang. Jika itu terjadi pada malam hari, aku tidak bisa tidur nyenyak, dan keesokan harinya aku merasa kelelahan dan tak punya tenaga.

Pada hari kelima penangkapanku, polisi membawaku ke sebuah rumah tahanan. Setelah lima hari tanpa makan dan minum, tenggorokanku terlalu kering untuk menelan makanan. Tahanan lain membawakanku segumpal nasi kering yang dingin, membuka mulutku dengan sumpit dan memaksakannya masuk ke dalam mulutku, sambil berteriak, "Cepat telan, rasakan akibatnya jika kau tak segera menelannya!" Rasanya seperti menelan paku—tenggorokanku sangat sakit hingga air mata mengalir di wajahku. Penghinaan dan penindasan semacam itu biasa terjadi di sana. Suatu hari, kepala tahanan mengambil gunting, menahanku di sebuah kursi, dan bertanya kepada beberapa tahanan lain potongan rambut seperti apa yang cocok untukku. Salah seorang dari mereka berkata, "Dia religius, jadi beri dia potongan rambut penyihir!" Kepala tahanan langsung memotong kepangku, dan yang lainnya tertawa terbahak-bahak melihat rambutku acak-acakan. Salah seorang dari mereka berkata, "Beri dia gaya rambut biarawati!" Kepala tahanan memotong sebagian besar rambutku sehingga kulit kepalaku terlihat, dan tahanan lainnya kembali tertawa terbahak-bahak. Penghinaan ini sangat buruk bagiku, dan aku tak mampu menahan air mataku. Aku tak mampu mengangkat tangan dan kakiku setelah digantung dengan borgol dan disetrum, dan kakiku sangat sakit ketika berusaha berjalan. Namun, aku tetap harus berolahraga setiap hari dengan yang lain, mengangkat kakiku tinggi-tinggi dan menurunkannya dengan sangat keras, dan membuat suara hentakan yang keras. Setiap kali dilakukan, gerakan-gerakan ini sangat menyakitkan. Seluruh tubuhku lemah dan tidak ada tenaga dan tak mampu mengikuti irama sehingga kepala tahanan pasti mencubit tubuhku, membuatnya memar-memar. Khususnya selama menstruasi, itu sangat tidak nyaman. Tidak ada kertas tisu, aku tak punya pakaian dalam, dan kepala tahanan hanya memberiku satu seragam penjara, jadi di celanaku ada bekas noda darahnya dan aku tidak bisa menggantinya. Kain seragamnya juga sangat kasar sehingga mengeras setelah darah mengering di atasnya. Luka di selangkanganku saat aku disetrum belum sembuh, jadi sangat menyakitkan ketika berjalan dan setiap kali kami berolahraga, seragam itu akan menggores luka-luka itu, yang terasa seperti disayat-sayat oleh pisau. Bagian terburuknya adalah tanpa kertas tisu, aku tak punya pilihan selain menggunakan air dingin untuk membersihkan tubuhku. Aku pernah mengalami kondisi pendarahan sebelum menjadi orang percaya, dan aku khawatir itu akan kambuh lagi karena air dingin. Selama hari-hari itu, aku merasa aku benar-benar tidak akan bertahan hidup. Aku tidak tahu kapan semuanya akan berakhir, dan aku tak ingin tinggal lebih lama lagi di penjara setan itu. Ketika penderitaanku mencapai titik tertentu, aku kembali memikirkan tentang kematian. Menyadari bahwa hatiku sedang menyimpang dari Tuhan, aku berdoa, memohon agar Tuhan membimbingku untuk mengatasi keadaanku. Kemudian, suatu hari, aku teringat bagian firman Tuhan ini: "Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya yang dari dulu tanpa membiarkan kasih itu berubah atau menghilang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus tunduk pada pengaturan-Nya, dan lebih memilih untuk mengutuki dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus memuaskan Tuhan, meskipun engkau mungkin menangis getir atau merasa enggan berpisah dengan beberapa objek yang engkau kasihi. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Melalui firman Tuhan, aku mengerti bahwa Dia mengizinkanku mengalami penganiayaan si naga merah yang sangat besar untuk mengujiku, untuk melihat apakah aku memiliki iman yang sejati kepada-Nya atau tidak. Itu membuatku teringat tentang Ayub dan Petrus. Ayub diserang dan disiksa oleh Iblis—sekujur tubuhnya dipenuhi barah, membuatnya sangat sengsara, dan dia duduk di tengah-tengah abu sambil menggaruk-garuk tubuhnya dengan pecahan beling. Namun, dia tidak menyalahkan Tuhan, tetapi memuji nama-Nya. Petrus disalibkan terbalik bagi Tuhan dan mampu tunduk sampai mati, menjadi kesaksian yang berkumandang. Keduanya menjadi kesaksian bagi Tuhan di tengah penderitaan mereka. Dibandingkan dengan mereka, aku benar-benar memiliki iman yang terlalu kecil. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa malu, jadi aku berdoa dalam hati: "Ya Tuhan, apa pun penderitaannya, aku mau mengikuti-Mu! Semakin si naga merah yang sangat besar menyiksaku, semakin aku ingin mengandalkan-Mu dan tetap teguh dalam kesaksianku dan mempermalukan Iblis!"

Kemudian suatu hari polisi memanggil suamiku. Melihatku telah disiksa sampai aku hampir tak terlihat seperti manusia, dia mulai menangis di sana dan berkata, "Bagaimana kau bisa menahan siksaan semacam ini? Komandan Zhu berkata bahwa jika kau memberi tahu mereka apa yang kauketahui, kita bisa pulang." Melihatku tetap tidak mau berbicara, Komandan Zhu kemudian menelepon putriku. Dia berkata sambil menangis, "Bu, kau di mana? Para guru dan anak-anak lain di sekolah semuanya berkata bahwa aku adalah putri seorang pemimpin kultus. Mereka semua menindas dan mengabaikanku. Aku bersembunyi di sudut kelas setiap hari, menangis ...." Aku menjauhkan gagang telepon itu dari telingaku, benar-benar tak sanggup mendengarkan lebih lanjut. Rasanya seperti ada pisau yang memelintir hatiku dan aku tak mampu menghentikan tangisku. Komandan Zhu menggunakan kesempatan ini untuk berkata, "Katakan saja kepada kami. Beri tahu kami satu rumah yang menyimpan uang gereja, satu saja, lalu kau boleh pulang dan bersatu dengan keluargamu." Aku merasa agak lemah saat itu. Kupikir jika aku tak pernah mengatakan apa pun, suami dan putriku pasti dilibatkan juga, jadi mungkin aku bisa memberitahukan beberapa informasi yang tidak terlalu penting. Kemudian aku sadar ini tidak sesuai dengan maksud Tuhan, jadi aku segera berdoa, memohon agar Tuhan menjaga hatiku agar aku mampu menang atas pencobaan dari Iblis ini. Kemudian, aku teringat sesuatu yang Tuhan katakan: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan sudah terlambat" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Pencerahan firman Tuhan datang tepat pada waktunya. Tiba-tiba aku sadar bahwa Iblis berusaha menggunakan kasihku kepada keluargaku untuk menyerangku, untuk membuatku mengkhianati Tuhan. Aku tidak boleh tertipu—aku tidak boleh mengkhianati saudara-saudari demi keluargaku. Dan kemudian, aku teringat bagian lain firman Tuhan: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas seumur hidupmu demi kesenangan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku merasa sangat bersalah dan sangat menyesal. Aku teringat Ayub yang dicobai oleh Iblis, kehilangan anak-anaknya dan semua harta bendanya, tetapi dia tetap tidak menyalahkan Tuhan. Dia mempertahankan imannya kepada Tuhan dan menjadi kesaksian yang indah dan berkumandang bagi Dia. Namun, dihadapkan dengan pencobaan polisi, aku mau mengkhianati saudara-saudari dan mengkhianati Tuhan demi melindungi kepentingan keluargaku. Aku benar-benar tak punya hati nurani; aku sangat egois dan hina, dan menyakiti Tuhan. Setiap kali aku berada dalam penderitaan atau bahaya, Tuhan berada di sana membimbing dan melindungiku, memberiku iman dan kekuatan dengan firman-Nya. Kasih-Nya kepadaku sangat nyata, dan kini tiba saatnya bagiku untuk membuat pilihan, aku tidak boleh mengkhianati anggota gereja lainnya demi suami dan putriku. Nasib hidup semua orang telah ditentukan dari semula oleh Tuhan, dan nasib suami serta putriku berada di tangan Tuhan, Iblis tidak boleh menentukan hal itu. Aku tahu aku harus memercayakan segalanya kepada Tuhan. Ketika aku memikirkannya seperti itu, apa yang keluargaku hadapi tidak lagi membuatku sedih, dan aku bertekad untuk memberontak terhadap daging dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan.

Pada hari ke-28 penangkapanku, polisi mengirimku dan Guilan ke pusat penahanan, mengurung kami bersama para wanita tuna susila yang terinfeksi penyakit menular seksual. Itu adalah sel penjara yang bahkan polisi tidak mau mendekatinya. Ada tahanan yang memiliki borok di sekujur tubuh mereka dan kulit mereka membusuk, dan ada yang memiliki bisul bernanah di alat kelamin mereka yang sangat menyakitkan bagi mereka; mereka menutupi diri mereka dengan seprai kotor, dan melompat-lompat di atas ranjang beton. Tidak ada obat yang tersedia, jadi yang bisa mereka lakukan hanyalah menggunakan garam dan pasta gigi untuk mengurangi rasa sakit. Pada beberapa pakaian dalam yang telah mereka cuci dan jemur bahkan ada kutu yang merayap keluar masuk dari jahitannya. Kupikir dalam hatiku, "Ini bukan tempat untuk manusia; itu adalah lubang penyakit! Bagaimana aku mampu bertahan hidup jika aku terkena sejenis penyakit seksual, atau AIDS selama aku berada di sini?" Merasa agak takut, aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk melindungi dan membimbingku. Setelah berdoa, aku teringat sesuatu yang Dia katakan: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu, yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Benar, segala sesuatu berada di tangan Tuhan, dan jika Dia tidak mengizinkannya, aku tidak akan tertular penyakit apa pun selama tinggal bersama para wanita ini; jika aku benar-benar tertular penyakit, itu pasti adalah sesuatu yang harus kualami. Pemikiran ini menghilangkan rasa takutku dan aku mampu menghadapi keadaan itu dengan tenang. Selama enam bulan berikutnya, meskipun aku tidur dan makan bersama para tahanan lainnya, aku tidak tertular penyakit apa pun berkat perlindungan Tuhan.

Selama di pusat penahanan, polisi menugaskan dua mata-mata untuk menyusup dan mendekatiku untuk mendapatkan informasi tentang gereja. Tak lama setelah dimasukkan ke dalam pusat penahanan, ada seorang tahanan yang mulai berusaha mengambil hatiku, berkata dia juga ingin menjadi orang percaya, dan bahwa dia sangat mengagumi para pemimpin atau pekerja di gereja sebelum bertanya apakah aku seorang pemimpin atau bukan. Pada saat itu, kewaspadaanku segera meningkat dan aku segera mengganti topik pembicaraan. Setelah itu, setiap kali dia mengemukakan sesuatu tentang kepercayaan kepada Tuhan, aku selalu mengalihkan pembicaraan agar dia tidak mendapatkan informasi apa pun dariku. Tak lama kemudian, dia meninggalkan pusat penahanan. Beberapa waktu setelah itu, ketika suatu hari aku sedang melewati sel penjara laki-laki, salah seorang tahanan laki-laki melemparkan sepotong kertas ke arahku. Di situ dituliskan bahwa dia telah ditangkap karena memberitakan Injil dan dijatuhi hukuman penjara sampai 1,5 tahun. Dia juga menulis bahwa dia berharap kami bisa saling membantu, dan dia ingin aku membalas suratnya. Aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar seorang percaya. Saat aku ragu apakah akan menanggapi suratnya atau tidak, satu bagian firman Tuhan tiba-tiba muncul di benakku: "Engkau semua harus berjaga-jaga dan menanti-nantikan setiap saat, dan engkau harus lebih banyak berdoa di hadapan-Ku. Engkau harus mengenali berbagai tipu muslihat dan rencana licik Iblis, mengenali roh, mengenali orang, dan mampu membedakan semua jenis orang, peristiwa dan hal-hal" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 17"). Firman Tuhan adalah peringatan yang segera menyadarkanku. Mungkinkah ini salah satu rencana Iblis? Pada waktu itu aku benar-benar tidak dapat mengetahui yang sebenarnya, jadi aku terus-menerus berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk menyingkapkannya. Kira-kira seminggu kemudian, ketika semua tahanan berkumpul di halaman, kebetulan aku melihat laki-laki itu. Melihat kepalanya tidak dicukur membuatku bingung—semua tahanan laki-laki harus dicukur rambutnya ketika mereka dihukum, jadi mengapa rambutnya masih lebat? Saat aku sedang memikirkan hal ini, seorang tahanan wanita di sebelahku menepuk bahuku dan menunjuk ke arah laki-laki itu, dan berkata dengan nada suara yang sangat senang, "Laki-laki itu adalah seorang polisi, dia membayar jasaku beberapa waktu yang lalu." Aku langsung sadar bahwa dia adalah polisi, dan dia berusaha mendekatiku untuk mendapatkan pengakuan dariku. Aku melihat bahwa si naga merah yang sangat besar benar-benar memiliki segala macam rencana jahat—dia sangat keji dan menjijikkan! Aku bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku atas perlindungan-Nya, yang telah memungkinkanku untuk mengetahui tipu muslihat Iblis dari waktu ke waktu, dan menghentikanku agar tidak jatuh ke dalamnya.

Pada Januari 2007, polisi mengirimku ke kamp kerja paksa bersama Guilan dan tiga orang lainnya yang dihukum karena mengedarkan narkoba. Aku tidak akan pernah melupakan penghinaan yang kualami hari itu. Ketika kami tiba, kebetulan saat itu tengah hari dan ada sedikit salju turun; ratusan tahanan lainnya berada di halaman kamp kerja paksa mengantre untuk mengambil makan. Polisi polisi berjalan ke arah kami dengan wajah yang tidak bersahabat dan menyuruh para pengedar narkoba itu untuk pergi mengambil makanan, meninggalkan hanya aku dan Guilan di sana. Lalu mereka menyuruh kami menanggalkan semua pakaian kami. Aku bertanya-tanya apakah mereka akan menggeledah kami, dengan dilihat semua tahanan lain di sana. Karena aku tidak mau menanggalkan pakaianku, beberapa polisi menyerang kami dan dengan paksa melucuti semua pakaianku dan Guilan. Bagiku, ditelanjangi di depan semua orang itu bahkan lebih buruk daripada jika mereka membunuhku. Deretan mata tertuju pada kami, dan aku terus menundukkan kepalaku, menutupi payudaraku, dan berjongkok. Seorang polisi menarikku berdiri dan menyuruhku meletakkan tanganku di belakang kepala, berdiri dengan kaki terbuka, menghadap ke semua tahanan, dan berjongkok bangun. Guilan harus melakukan hal yang sama, dan aku bisa melihat seluruh tubuhnya gemetaran. Dia sudah menjadi sangat kurus, hanya tinggal kulit dan tulang, dan ada bekas-bekas luka di tubuhnya—dia pasti sering disiksa juga. Polisi mengacungkan jarinya ke arah kami dan berteriak kepada yang lainnya, "Keduanya percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Jika ada di antara kalian menjadi orang percaya, kalian akan berakhir seperti mereka!" Ini memicu pembicaraan di antara para tahanan, dan beberapa dari mereka berkata dengan mengejek, "Mengapa Tuhanmu tidak datang menyelamatkanmu?" Kami harus terus berjongkok bangun di depan ratusan orang seperti ini selama kurang lebih 10 menit. Aku tak pernah mengalami penghinaan seperti itu sebelumnya, dan aku tak mampu menghentikan tangisku. Jika ada tembok di sana, aku ingin membenturkan kepalaku untuk mengakhiri hidupku. Kemudian, aku teringat salah satu lagu pujian gereja: "Iblis sang raja setan benar-benar kejam, benar-benar tidak tahu malu, dan tercela. Aku melihat dengan jelas wajah Iblis yang jahat dan hatiku makin mengasihi Kristus. Aku tidak akan pernah memilih kehidupan yang hina dengan bertekuk lutut kepada Iblis dan mengkhianati Tuhan. Aku akan menderita melalui semua kesulitan serta rasa sakit, dan bertahan melalui malam-malam tergelap. Untuk menghibur hati Tuhan, aku akan memberikan kesaksian yang penuh kemenangan" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru, "Bangkit di Tengah Kegelapan dan Penindasan"). Merenungkan lirik lagu pujian ini, aku teringat Tuhan Yesus yang disalibkan—tentara Romawi memukuli-Nya, mempermalukan-Nya, dan meludahi wajah-Nya. Tuhan itu kudus, jadi Dia tidak seharusnya menanggung penderitaan seperti itu, tetapi Dia menanggung penderitaan dan penghinaan yang terberat untuk menyelamatkan manusia, dan akhirnya disalibkan untuk kita. Dia menanggung penghinaan dan penderitaan yang sangat besar. Sedangkan aku, sebagai manusia yang rusak, aku ingin mati ketika aku dihina dan aku tidak memiliki kesaksian apa pun. Aku dipermalukan oleh setan dan Iblis karena mengikuti Tuhan—ini adalah penganiayaan demi kebenaran, dan merupakan suatu kemuliaan! Semakin Partai Komunis mempermalukan dan menganiayaku, semakin aku dapat melihat betapa hina dan kejinya mereka, dan semakin aku mampu menolak dan memberontak terhadap mereka, serta mempertahankan tekadku untuk tetap teguh dalam kesaksianku untuk Tuhan.

Setelah itu, beberapa penjaga penjara membawa kami untuk berdiri di dekat sebuah tangga, dan pada waktu itu, dua tahanan lainnya bergegas turun dan mulai memukuli dan menendangi kami, menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke dinding, membuat telingaku berdenging. Segera aku tidak bisa mendengar apa pun dan aku merasa kepalaku seperti telah terbelah. Guilan mengeluarkan darah dari mata, hidung, mulut, dan telinganya. Setelah pemukulan itu, para tahanan menyeret kami ke balkon dan menyuruh kami berdiri di sana sebagai hukuman. Saat itu turun salju lebat, angin dingin bertiup, dan suhu malam hari turun hingga minus tujuh atau delapan derajat. Kami hanya mengenakan pakaian dalam dan celana panjang, jadi kami menggigil kedinginan. Ketika sampai pada titik di mana aku benar-benar tidak tahan lagi dan ingin mengubah posisi tubuhku, aku sedikit menggeser kakiku, dan para tahanan datang seolah-olah mereka akan memukulku. Keesokan harinya, seluruh tubuhku terasa sakit karena kedinginan dan rasanya jantungku hampir berhenti. Selain itu, ada rasa sakit yang menusuk di kakiku. Perasaan itu lebih buruk daripada kematian itu sendiri, dan setiap menitnya sulit untuk ditanggung. Ketika rasa sakitnya mencapai titik ekstrem tertentu, aku sangat ingin melompat dari balkon dan mengakhiri hidupku. Namun kemudian, aku segera menyadari bahwa pemikiran seperti itu tidak sesuai dengan maksud Tuhan, jadi aku segera berseru kepada-Nya, "Tuhan, aku hampir tak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku benar-benar tak tahan lagi—kumohon berilah aku iman agar aku mampu menanggung penderitaan ini." Setelah berdoa, aku teringat sebuah lagu pujian dari firman yang berjudul "Berusahalah Mengasihi Tuhan Tidak Peduli Seberapa Besar Penderitaanmu": "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Aku sadar bahwa Tuhan selalu membimbingku, memeliharaku, dan melindungiku. Saat memikirkan tentang penyiksaan dan penghinaan yang kualami, aku sadar jika bukan karena tuntunan Tuhan atau iman dan kekuatan yang diberikan kepadaku melalui firman-Nya, aku pasti tak mampu melewati penyiksaan setan-setan itu. Tuhan telah memperlihatkan kepadaku bagaimana menjalani hidup sampai hari itu, dan Dia berharap agar aku dapat menjadi kesaksian bagi-Nya di hadapan Iblis. Namun sekarang, demi menyelamatkan diriku sendiri dari sedikit kesukaran jasmani, aku ingin mengakhiri hidupku. Aku sangat lemah. Bagaimana ini bisa menjadi kesaksian bagi Tuhan? Bukankah mati artinya aku telah jatuh ke dalam rencana licik Iblis? Aku tidak boleh mati, aku harus tetap teguh dalam kesaksianku dan mempermalukan Iblis. Ketika aku memikirkannya seperti itu, tanpa sadar, aku tidak lagi merasa kedinginan, dan seluruh tubuh terasa hangat.

Kepala tahanan tidak mengizinkan kami berhenti berdiri sampai sore hari ketiga. Kaki kakiku dan kaki Guilan sangat bengkak dan rasanya seperti darah telah membeku di dalamnya. Pembuluh darah terlihat di seluruh kaki kami dan kaki kami sangat sakit, tetapi aku tetap bersyukur kepada Tuhan. Dalam cuaca dingin bersalju, aku dan Guilan berdiri di balkon selama dua hari dua malam tanpa makan atau minum, tapi kami tidak mati kedinginan atau bahkan terkena flu. Ini adalah perlindungan Tuhan.

Selama berada di kamp kerja paksa, setiap hari aku harus menanggung lebih dari belasan jam, atau bahkan hingga 22 jam kerja paksa, dan aku sering dipukuli dan dihukum oleh kepala tahanan karena gagal menyelesaikan tugasku. Namun, Tuhan terus mencerahkan dan membimbingku, mengizinkanku melewati satu setengah tahun kehidupan penjara yang seperti neraka. Tuhan selalu menyertaiku, menjaga dan melindungiku. Aku disiksa dan dipermalukan berkali-kali, sampai aku ingin mengakhiri hidupku, dan firman Tuhan-lah yang memberiku iman dan kekuatan, membimbingku melewati setiap badai. Tuhan telah memberiku hidup ini! Dengan mengalami penindasan si naga merah yang sangat besar, aku memahami bahwa satu-satunya hal yang benar-benar dapat kita andalkan adalah Tuhan; hanya Dialah yang benar-benar mengasihi umat manusia, dan hanya Dialah yang mampu menyelamatkan kita dari perusakan dan penghancuran Iblis, dan memimpin kita untuk hidup dalam terang. Aku bersyukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Hanya untuk 300.000 Yuan

Oleh Saudara Li Ming, TiongkokSekitar pukul 9 malam pada 9 Oktober 2009, ketika aku, istri, dan putriku sedang mengadakan pertemuan,...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh