Hidup di Ambang Kematian

27 September 2024

Oleh Saudari Wang Fang, Tiongkok

Pada tahun 2008, aku bertanggung jawab untuk mengangkut buku-buku gereja. Ini adalah jenis tugas yang sangat lumrah di negara dengan kebebasan beragama, tetapi di Tiongkok, ini sangat berbahaya. Menurut undang-undang Partai Komunis, siapa pun yang tertangkap karena membawa buku-buku keagamaan dapat dihukum selama tujuh tahun atau lebih. Karena alasan ini, aku dan saudara-saudari lainnya sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas kami. Namun, pada 26 Agustus, saat aku sedang berjalan di sepanjang jalan, tiba-tiba aku dikepung oleh beberapa mobil polisi dan polisi memaksaku masuk ke salah satu dari mobil itu. Aku benar-benar gugup. Aku teringat seorang saudari yang telah ditangkap karena hal yang sama, dan dia dihukum selama 10 tahun. Akankah aku juga dihukum selama 10 tahun? Jika aku benar-benar dihukum selama itu di penjara, akankah aku bisa keluar hidup-hidup? Hatiku tercekat memikirkan hal itu, dan aku segera berseru kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Aku tidak tahu bagaimana polisi akan menyiksaku. Kumohon lindungi aku, dan berilah aku iman dan kekuatan." Setelah berdoa, aku teringat bagian firman Tuhan ini: "Engkau tidak perlu takut akan ini dan itu; sebanyak apa pun kesulitan dan bahaya yang mungkin engkau hadapi, engkau mampu tetap tenang di hadapan-Ku; tidak terhalang oleh rintangan apa pun sehingga kehendak-Ku dapat terlaksana. Ini adalah tugasmu .... Inilah saatnya Aku akan mengujimu: akankah engkau memberikan kesetiaanmu kepada-Ku? Dapatkah engkau mengikuti-Ku sampai akhir dengan setia? Janganlah takut; dengan dukungan-Ku, siapa yang mampu menghalangi jalan ini?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). Ini memperkuat iman dan keberanianku. Tuhan adalah Penguasa atas segala sesuatu dan seluruh alam semesta berada di tangan-Nya. Jadi, bukankah polisi juga berada di tangan-Nya? Tanpa seizin Tuhan, tidak ada sehelai pun rambut di kepalaku yang bisa disentuh. Tuhan menggunakan penindasan dan kesukaran untuk menyempurnakan imanku, jadi aku harus berdoa dan bersandar pada Tuhan dan menjadi kesaksian bagi-Nya. Sekalipun aku dihukum selama 10 tahun, aku bertekad untuk tidak pernah mengkhianati saudara-saudariku, tidak pernah mengkhianati Tuhan.

Polisi membawaku ke sebuah gedung berlantai dua di luar kota. Seorang petugas paruh baya yang tinggi dan kekar sambil memegang sebotol air dingin bergegas menuju ke arahku dengan ekspresi menakutkan di wajahnya, menggebrak meja sambil berteriak, "Siapa namamu? Apa yang kaulakukan di gereja? Dengan siapa kau berhubungan? Siapa pemimpin gerejamu?" Karena aku diam saja, dia mengangkat botol itu dan menghantamkannya ke kepalaku, membuat kepalaku berdengung. Dia terus menginterogasiku, menggunakan berbagai macam kata-kata kotor. Aku hanya menundukkan kepala dan berdoa tanpa memberinya satu jawaban pun. Lalu dia menghantamkan botol itu ke dahiku—untuk sesaat pandanganku kabur dan aku merasa tengkorakku nyaris retak. Rasanya sakit sekali sampai air mataku keluar. Kemudian dia berteriak dengan ganas, "Kau akan disiksa jika kau tidak buka mulut, dan jika setelah disiksa kau masih tidak bicara, jangan pernah berpikir kau bisa keluar hidup-hidup!" Aku sangat takut. Aku berpikir jika dia terus memukulku seperti itu, meskipun pukulannya tidak membuat tengkorakku retak, aku pasti akan gegar otak. Aku bertanya-tanya apakah aku akan dipukuli sampai mati. Aku segera berseru kepada Tuhan memohon perlindungan-Nya, dan aku bertekad: bagaimanapun dia memukuliku, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan, tidak akan pernah menjadi Yudas. Saat itu ponselnya berbunyi, dan setelah menerima telepon, dia pergi. Petugas lainnya menutupi kepalaku dengan karung kanvas, mengikatnya dengan tali, lalu menyeretku ke sebuah ruangan kosong. Aku merasa panas dan lembab di dalam karung itu. Aku tidak yakin berapa lama waktu berlalu sebelum mereka membawaku ke lantai dua. Seorang kepala divisi di Departemen Keamanan Publik Provinsi bermarga Gong menggertakkan giginya dan mengancamku: "Kami bisa menghukummu 10 tahun hanya karena percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Katakan kepada kami semua yang kau ketahui sekarang, atau tak seorang pun yang bisa menyelamatkanmu!" Dia juga berkata akan menyuruh majikanku agar berhenti membayar gajiku. Karena aku tetap tidak buka mulut, dia menyuruh orang lain untuk mengecek apakah aku pernah ditangkap karena percaya kepada Tuhan. Itu benar-benar menegangkan karena aku pernah ditangkap pada tahun 2003 karena mengabarkan Injil, dan ditahan selama lima bulan. Jika mereka menemukan catatan penangkapanku, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Mereka akhirnya tidak menemukan apa pun—aku tahu itu adalah perlindungan Tuhan. Dalam hati, aku mengucap syukur kepada-Nya. Polisi membawaku ke rumah tahanan sekitar lewat tengah malam, di mana petugas lembaga pemasyarakatan menyuruh beberapa tahanan menelanjangiku, menyuruhku merentangkan tangan, lalu melakukan tiga kali jongkok bangun. Mereka juga melemparkan semua pakaianku ke luar sel, dan ketika kulihat mereka bahkan akan melempar keluar semua pakaian dalamku, aku segera merampasnya dan mengenakannya kembali. Berjongkok di sana tanpa berpakaian, melihat ke arah empat kamera CCTV di dinding, aku merasa sangat dipermalukan. Keesokan paginya, setelah semua tahanan bangun, yang bisa kulakukan hanyalah mengambil seprai untuk menutupi tubuhku. Kemudian seorang tahanan di sana melemparkan pakaian kepadaku dan berbisik, "Pakai ini, cepat." Seorang lagi meminjamiku celana. Aku tahu Tuhan telah mengatur ini—aku sangat bersyukur. Kemudian pagi itu, petugas lembaga pemasyarakatan melemparkan kembali pakaianku ke dalam sel, tetapi ketika kuperiksa, aku melihat ritsleting dan kancing di celanaku dan di bagian lain pakaianku telah dipotong, jadi aku harus menahan celanaku dengan satu tangan dan memegang bagian depan pakaianku dengan tangan yang lain, dan berjalan dengan posisi menekuk. Melihatku seperti itu, para tahanan lainnya mengolok-olokku dan memerintahkanku untuk melakukan berbagai hal, dan beberapa dari mereka dengan sengaja menarik celanaku ke bawah dan mengatakan berbagai macam hal yang mengejek. Doa adalah satu-satunya caraku melewati hari itu.

Tengah hari pada hari ketiga, polisi datang dan membawaku kembali untuk diinterogasi. Mereka membawaku ke sebuah ruangan kosong yang remang-remang di mana aku melihat alat penyiksaan dari besi tergantung di dinding, dan ada bekas noda darah di sekelilingnya. Sungguh menyeramkan dan menakutkan. Mereka memborgol tanganku ke belakang, lalu Kapten Yang dari Brigade Keamanan Nasional dan beberapa polisi kriminal mengepungku, menatapku dengan mata melotot seperti serigala lapar. Kapten Yang menunjukkan beberapa foto saudari lainnya untuk aku identifikasi dan dia bertanya kepadaku di mana uang gereja disimpan. Dia juga mengancamku dengan kejam, "Katakan! Jika tidak buka mulut, kami akan memukulimu sampai mati!" Kupikir sekalipun mereka melakukannya, aku tetap tidak mau menjadi Yudas. Seorang polisi gemuk berkata, "Sebaiknya kau buka mulut hari ini! Jika tidak, kuberi tahu kau, kepalan tanganku ini siap memukulmu. Aku berlatih tinju selama empat tahun di akademi kepolisian dan ahli menggunakan teknik 'mengayunkan palu godam'. Caranya kutinju titik akupuntur di bahumu, dan dengan satu pukulan, tulang dan semua organ dalammu akan hancur. Dengan tinjuku ini, semua orang akhirnya mau mengaku." Dia menjadi semakin sombong saat berbicara. Kemudian Kapten Yang mengeluarkan surat resmi berkop surat dari tasnya, melambaikannya di depan wajahku dan berkata, "Ini adalah surat rahasia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat khusus tentang Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah kami menangkap kalian semua, kami dapat memukulimu sampai mati, tidak ada yang peduli jika kau mati! Setelah kami memukulimu sampai mati, kami tinggal membuang mayatmu di gunung dan tak seorang pun tahu tentang itu. Kami punya berbagai macam alat penyiksaan untuk menangani orang percaya sepertimu. Ada semacam cambuk kawat yang bisa dicelupkan dalam air es, dan setiap kali orang dicambuk dengan cambuk itu, dagingnya akan tercabik. Tulang orang itu akan kelihatan." Mendengar semua hal mengerikan ini membuat hatiku tercekat ketakutan, dan yang terlintas di benakku adalah jika mereka menggunakan alat penyiksaan itu terhadapku, kemungkinan itu akan membunuhku. Dan jika mereka melemparkan mayatku ke gunung, aku pasti akan dimakan oleh anjing liar. Sungguh sebuah tragedi! Merasa ketakutan, aku segera berseru kepada Tuhan, "Tuhan, aku sangat takut polisi akan menyiksaku dengan alat-alat ini. Imanku tidak cukup kuat—kumohon lindungi aku dan berilah aku iman dan keberanian agar apa pun yang mereka lakukan terhadapku, sekalipun aku harus menyerahkan nyawaku, aku mampu menjadi kesaksian bagi-Mu." Melihatku tetap tidak buka mulut, Kapten Yang mengayunkan tangannya ke kepalaku dan menamparku puluhan kali, ke kiri dan ke kanan. Aku bahkan tak mampu tetap berdiri. Aku memejamkan mata dan air mata mengalir di wajahku. Petugas yang berdiri di sebelah kiriku yang mengatakan dia akan "mengayunkan palu godam" ke arahku memukul titik akupuntur di bahuku dengan sekuat tenaga. Untuk sesaat, rasanya semua tulangku telah patah, dan dia terus memukuliku sambil menghitung. Petugas di sebelah kananku menendang tempurung lutut kananku dan aku jatuh ke lantai. Mereka berteriak menyuruhkan berdiri. Dengan tangan terborgol ke belakang, aku berusaha berdiri dengan susah payah, meskipun merasa kesakitan. Mereka menendangku sampai jatuh lagi. Petugas "palu godam" itu terus memukuli bahuku berulang-ulang, sambil terus bertanya, "Dengan siapa kau berhubungan? Di mana uang gereja? Katakan padaku sekarang, atau tamat riwayatmu!" Dengan marah, aku bertanya kepada mereka, "Hukum apa yang kulanggar sehingga kalian memukuliku seperti ini? Bukankah undang-undang mengatakan kita memiliki kebebasan beragama?" Kapten itu berkata dengan kejam, "Cukup! Jika kau tak mau mati di sini, katakan saja pada kami! Di mana uang gereja? Yang kami inginkan adalah uang. Kami akan memukulimu sampai mati hari ini juga jika kau tidak memberi tahu kami!" Sambil mengatakan ini dia memukuli kepalaku berulang-ulang, setiap pukulan lebih keras dari sebelumnya. Aku ditendang, dipukuli sampai jatuh ke lantai oleh mereka berulang-ulang, dan terus diperintahkan untuk berdiri kembali. Aku tidak tahu berapa lama mereka memukuliku. Yang bisa kurasakan hanyalah kepala dan telingaku berdengung, dan aku tak bisa membuka mataku, dan rasanya seperti akan keluar dari kepalaku. Wajahku sangat bengkak hingga mati rasa dan darah mengucur dari sudut mulutku. Jantungku terasa seperti akan keluar dari dadaku, dan tulang bahuku terasa seperti telah dilumatkan. Aku jatuh tak bergerak di lantai dan seluruh tubuhku terasa sakit, seakan-akan semuanya sudah hancur berkeping-keping. Aku terus berseru kepada Tuhan memohon perlindungan-Nya, dan hanya ada satu pemikiran di benakku: sekalipun mati, aku tidak mau menjadi Yudas!

Melihatku tidak mengatakan sepatah kata pun, kapten itu berusaha membujukku: "Kami menanyakan pertanyaan ini kepadamu, tetapi sebenarnya, kami sudah tahu jawabannya. Kami hanya sedang memverifikasi. Kau sudah dikhianati oleh orang lain, jadi apakah menanggung kesalahan orang lain benar-benar sepadan? Di usiamu, mengapa kau mau melewati semua penderitaan ini? Untuk apa? Itu hanya agama, bukan? Beri tahu kami apa yang kau ketahui dan kami akan segera membebaskanmu. Itu akan menyelamatkanmu dari banyak penderitaan." Kemudian mereka mengatakan beberapa hal yang menghujat. Mendengar kata-kata kotor mereka dan melihat ekspresi kejam di wajah mereka membuatku marah. Untuk menangkap lebih banyak saudara-saudari dan menyita uang gereja, mereka mengubah taktik untuk membujukku. Mereka benar-benar jahat dan keji! Entah orang lain telah mengkhianatiku atau tidak, aku akan teguh pada pendirianku, dan sama sekali tidak mengkhianati Tuhan atau saudara-saudari lainnya. Setelah itu, kapten itu menggunakan putriku untuk mengancamku. Melihatku dengan senyumannya yang munafik, dia berkata, "Bukankah putrimu berada di Beijing? Kami bisa menangkapnya dan menyiksanya di depanmu. Jika kau tidak buka mulut, kami akan menjebloskan kalian berdua ke penjara pria dan membiarkan mereka merusak kalian sampai mati. Aku bisa melakukannya dengan menjentikkan jariku, dan melakukan apa yang kukatakan." Aku tahu bahwa Partai Komunis mampu melakukan apa pun, dan aku tidak takut dipukuli sampai mati, tetapi aku tidak tahan membayangkan aku dan putriku dijebloskan ke penjara pria. Aku lebih suka dipukuli sampai mati daripada direndahkan seperti itu. Pemikiran ini sangat menakutkan bagiku, jadi aku segera berseru kepada Tuhan, "Tuhan, kumohon lindungi hatiku, dan bagaimanapun mereka menyiksa atau mempermalukanku, aku tidak boleh menjadi Yudas." Setelah berdoa, aku teringat Daniel yang dilemparkan ke dalam gua singa. Singa tidak memakan Daniel karena Tuhan tidak mengizinkan mereka menyakitinya. Aku harus memiliki iman kepada Tuhan. Para polisi jahat itu juga berada di tangan Tuhan, jadi mereka tidak bisa melakukan apa pun terhadapku jika Tuhan tidak mengizinkannya. Karena aku tetap tidak buka mulut, salah seorang dari mereka berteriak dengan penuh kemarahan, "Kami akan memukulimu sampai mati hari ini juga kalau kau tidak buka mulut!" Setelah mengatakan ini, dia mundur beberapa langkah, mengepalkan tangannya, langsung menerjang ke arahku dengan tatapan ganas di matanya, dan menghantamkan tinjunya tepat ke dadaku. Aku terlempar ke lantai dengan kepala terlebih dulu dan tidak mampu bernapas cukup lama. Seluruh organ dalam dan tulangku terasa seperti diremukkan, dan jantungku terasa seperti dicabut dengan tang. Aku tidak berani menarik napas panjang karena rasa sakit. Kepalaku berada di lantai dan seluruh tubuhku berkeringat. Aku ingin berteriak tetapi tidak mampu—rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Aku ingin menangis, tapi air mata tak kunjung keluar. Pada saat itu, aku benar-benar merasa lebih baik mati. Tubuhku melemah, merasa aku telah mencapai batas kemampuanku untuk bertahan, dan dalam hati berpikir jika mereka terus memukuliku seperti itu, lebih baik mati saja dan selesai. Maka mereka pasti berhenti menginterogasi dan menyiksaku, dan aku akan bebas. Aku mempertimbangkan untuk memberi tahu mereka sesuatu yang sepele, tetapi kemudian aku sadar jika diberi hati, mereka akan minta jantung, dan akan mulai menginterogasiku lebih ganas lagi. Tidak: apa pun yang terjadi, aku tidak boleh mengkhianati saudara-saudari dan membuat mereka mengalami siksaan semacam itu. Aku berseru dalam hatiku memohon perlindungan Tuhan. Tepat pada saat itu, satu bagian firman Tuhan terlintas dengan sangat jelas di benakku: "Terhadap mereka yang tidak menunjukkan kepada-Ku sedikit pun kesetiaan selama masa-masa kesukaran, Aku tidak akan lagi berbelas kasihan, karena belas kasihan-Ku hanya sampai sejauh ini. Lagipula, Aku tidak suka siapa pun yang pernah mengkhianati Aku, terlebih lagi, Aku tidak suka bergaul dengan mereka yang mengkhianati kepentingan teman-temannya. Inilah watak-Ku, terlepas dari siapa pun orangnya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Persiapkan Perbuatan Baik yang Cukup demi Tempat Tujuanmu"). Firman Tuhan mengingatkanku pada waktu yang tepat bahwa watak-Nya yang benar tidak akan menoleransi pelanggaran manusia. Tuhan membenci orang yang mengkhianati-Nya, dan orang semacam itu akan mengalami hukuman kekal, tubuh dan jiwanya. Selama bertahun-tahun kepercayaanku kepada Tuhan, aku telah menikmati begitu banyak kasih Tuhan dan makanan dari firman-Nya, dan kini saatnya bagiku untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan, bukankah tidak masuk akal jika aku mengkhianati-Nya agar aku bisa tetap hidup? Aku pasti tidak layak menjadi manusia! Jadi aku bersumpah bahwa sekalipun itu berarti kematianku, aku tidak mau menjadi Yudas. Aku tidak mau mengkhianati Tuhan, tetapi pasti menjadi kesaksian bagi Tuhan!

Saat itu, kapten yang kejam itu menendangku sambil berteriak, "Bangun! Jangan pura-pura mati, keparat!" Namun, aku tak punya kekuatan untuk bangkit berdiri. Beberapa petugas mengangkatku. Aku linglung, pikiranku kosong dan kepalaku berdengung; dadaku sangat sakit hingga aku takut untuk bernapas, dan mataku berkunang-kunang. Mereka masih menghujaniku dengan pertanyaan. Gelombang kemarahan muncul dalam diriku dan aku mengerahkan segenap kekuatanku untuk berkata, "Kalau begitu aku mati saja! Pukuli saja aku sampai mati, kalau begitu!" Mereka tercengang dalam keheningan, masing-masing mereka hanya menatap kosong ke arahku. Aku tahu gelombang kekuatan dan keberanian itu diberikan oleh Tuhan kepadaku, dan aku mengucap syukur kepada-Nya di dalam hatiku. Mereka awalnya berencana untuk menginterogasiku dengan penyiksaan secara bergiliran, tetapi sekitar pukul 5 sore mereka mendapat telepon dari Departemen Keamanan Umum Provinsi yang menyuruh mereka untuk melaporkan hasil interogasi mereka, jadi mereka menghentikan interogasi mereka. Bersandar ke dinding, aku duduk tak berdaya di lantai, menangis dengan penuh syukur kepada Tuhan. Tuhanlah yang melindungiku sehingga memampukanku untuk melewatinya, jika tidak, dengan kondisi fisikku, aku pasti sudah lama mati. Setelah itu, petugas lainnya pergi kecuali petugas "palu godam" itu. Dia menatapku dan berkata, "Bibi, aku belum pernah memukul seorang wanita sebelumnya. Kau yang pertama, dan tak seorang pun dari pria besar dan kuat itu yang bisa menahan 30 pukulanku. Tahukah kau sudah berapa kali aku memukulmu? Sudah lebih dari 30 kali. Aku tak pernah membayangkan wanita seusiamu akan mampu menahan pukulanku, dan kau belum buka mulut sedikit pun tentang apa yang ingin kami ketahui. Aku telah bertugas dengan polisi kriminal selama sepuluh tahun dan tidak pernah menginterogasi kasus sepertimu." Aku tak habis-habisnya bersyukur kepada Tuhan ketika mendengar hal itu. Tidak dipukuli sampai mati sepenuhnya adalah perlindungan Tuhan.

Setelah pukul 7 malam itu, mereka membawaku kembali ke rumah tahanan dan memperingatkanku, "Ketika kau kembali ke sana, kau sama sekali tidak boleh memberi tahu siapa pun bahwa kami telah memukulimu. Jika kau melakukannya, lain kali kami menginterogasimu, itu akan lebih parah." Sambil berbicara, mereka mengambil handuk dan menyeka debu dari celanaku, merapikan pakaian dan rambutku, dan kemudian menggunakan handuk basah untuk membersihkan wajahku. Setelah membawaku kembali ke sel, mereka berbohong kepada penjaga, mengatakan bahwa aku merasa tidak enak badan karena mengalami serangan jantung. Aku sangat marah. Mereka benar-benar hina dan tidak tahu malu! Kembali ke sel, aku berbaring di tempat tidurku, tidak mampu bergerak. Kulit kepalaku sangat sakit sampai aku tak berani menyentuhnya dan aku sama sekali tak bisa mendengar dari telinga kiriku. Mulutku terlalu bengkak untuk dibuka dan pipiku lebam. Sekujur tubuh dan kakiku penuh memar, dan ada bekas tonjokan berwarna keunguan yang sangat jelas di dadaku. Bahu kiriku terkilir, jadi aku harus menopangnya dengan tangan kananku. Pemeriksaan yang dilakukan kemudian menemukan bahwa banyak tulang di dadaku telah patah dan tulang belakangku juga tidak sejajar. Aku takut untuk berbaring telentang dan terutama untuk duduk; menarik napas panjang membuat jantung dan rongga dadaku terasa seperti ditusuk dengan pecahan kaca. Bernapas dengan sangat perlahan dapat sedikit mengurangi rasa sakit. Ketika dokter penjara melihatku dalam keadaan itu, dia menyuruh para tahanan yang berjaga malam untuk memeriksa hidungku setiap dua jam sekali, untuk melihat apakah aku masih bernapas. Ketika petugas lembaga pemasyarakatan datang untuk bekerja setiap pagi, mereka pertama-tama pasti bertanya apakah aku sudah meninggal atau belum. Aku tidak makan atau minum selama dua hari berturut-turut dan semua orang di sel berpikir aku tidak mungkin bertahan hidup. Aku mendengar beberapa tahanan yang berjaga malam berkomentar dengan suara pelan. Salah seorang dari mereka berkata, "Mereka tidak mengobatinya atau bahkan memberi tahu keluarganya. Kurasa dia hanya menunggu untuk mati di sini." Yang lainnya berkata, "Petugas lembaga pemasyarakatan berkata bahwa para pembunuh, pembakar, dan pelacur semuanya dapat menyogok untuk dibebaskan, hanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa yang tidak bisa keluar. Dia hanya punya waktu beberapa hari lagi untuk hidup." Sangat menyedihkan mendengar mereka mengatakan hal-hal seperti itu. "Apakah aku benar-benar akan mati di sini dengan cara ini? Aku masih belum melihat hari kemuliaan Tuhan. Jika aku mati di tempat ini, saudara-saudari pasti tidak tahu, begitu juga putriku." Memikirkan putriku membuatku sangat sedih, dan aku tak mampu menahan air mataku. Di sana, di ambang kematian, tidak ada keluarga, saudara atau saudari di sisiku. Semakin kupikirkan, semakin terasa menyakitkan, dan yang bisa kulakukan hanyalah berseru kepada Tuhan. Kemudian aku mendengar kedua tahanan itu berkata, "Bagaimana jika dia benar-benar mati di sini?" Tahanan satunya menjawab, "Ambil seprai mana pun yang paling kotor dan robek, gulung dia di dalamnya, lalu lemparkan dia ke dalam lubang dan kuburkan dia." Mendengar ini sungguh melemahkan semangatku. Secara fisik aku sudah tidak tahan lagi, dan dengan kesengsaraan emosional yang ekstrem dan keputusasaan, jantungku terasa semakin sakit—aku merasa lebih baik mati. Aku tidak tahu harus berkata apa kepada Tuhan, jadi aku hanya berseru kepada Tuhan dengan mendesak, "Tuhan, selamatkan aku! Tolonglah aku! Beri aku iman dan keberanian agar aku bisa mengatasi ini. Ya Tuhan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi aku tahu hidup dan matiku berada di tangan-Mu." Saat itu, satu bagian firman Tuhan terlintas di benakku: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Aku merasa sangat dikuatkan, dan merasa Tuhan itu sendiri berada di sisiku, menghibur dan memberiku semangat. Aku juga teringat dengan semua orang kudus selama berabad-abad yang mati syahid demi mengabarkan Injil Tuhan, dan bahkan sekarang ini, begitu banyak saudara-saudari telah menyerahkan hidup mereka untuk mengabarkan Injil kerajaan Tuhan. Kematian mereka bermakna dan bernilai, dan mereka diingat oleh Tuhan. Aku ditangkap karena percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Sekalipun aku dianiaya sampai mati, itu adalah demi kebenaran dan akan menjadi hal yang mulia. Entah aku hidup atau mati hari itu, aku akan menjadi kesaksian bagi Tuhan, dan sekalipun aku mati, hidupku tidak akan sia-sia. Pemikiran ini membuatku merasa sangat tenang, dan tidak lagi begitu sedih atau tidak berdaya. Aku memanjatkan doa lagi: "Tuhan, ancaman kematian sedang membayangiku. Jika kematian memang datang, aku siap tunduk pada pengaturan-Mu. Jika aku bisa keluar hidup-hidup, aku tetap akan melaksanakan tugas makhluk ciptaan untuk memuaskan-Mu. Aku akan menyerahkan diriku sepenuhnya kepada-Mu dan setia sampai akhir." Aku mendapatkan perasaan damai setelah doa itu. Aku tidak lagi dibatasi oleh pikiran tentang kematian dan rasa sakit di tubuhku juga berkurang. Aku melewati satu hari dengan cara itu, lalu hari kedua, dan kemudian hari ketiga .... Aku masih belum mati! Aku tahu betul aku bahwa semua ini adalah anugerah dan perlindungan Tuhan.

Tiga hari kemudian, para petugas dari Brigade Keamanan Nasional datang menjemputku untuk diinterogasi lebih lanjut. Aku mendengar petugas lembaga pemasyarakatan meneriakkan namaku bahkan sebelum pintu sel dibuka. Kondisiku sedang sangat buruk saat itu, dan segera setelah tahanan lainnya mendengar itu, mereka semua mulai membuat keributan, berdiri dan sambil berteriak-teriak, mengatakan hal-hal seperti, "Keadaannya sangat buruk dan kalian akan kembali menginterogasinya? Kalian benar-benar biadab. Membawanya untuk diinterogasi setelah dia dipukuli hingga menjadi seperti ini?" Ada sekitar 60-an orang di sana, dan lebih dari setengah dari mereka membelaku dengan marah. Seluruh sel menjadi kacau. Melihat pemandangan ini, polisi memutuskan untuk tidak menginterogasiku. Aku terharu sampai meneteskan air mata, sangat bersyukur atas perlindungan Tuhan. Kemudian, bahkan kepala tahanan berkata, "Aku sudah berada di sini selama dua tahun dan belum pernah melihat yang seperti itu." Aku tahu bahwa Tuhan sedang bekerja di balik layar untuk menjagaku, mengatur orang, peristiwa, dan hal-hal untuk membantuku dan memungkinkanku untuk menghindari interogasi itu. Aku bersyukur kepada Tuhan!

Selama beberapa waktu, aku begitu tersiksa dengan rasa sakit di sekujur tubuh hingga aku tak bisa tidur di malam hari. Jadi aku merenungkan firman Tuhan. Suatu kali, aku teringat sebuah lagu pujian berjudul "Kasih Petrus Terhadap Tuhan", tentang Petrus yang berdoa kepada Tuhan ketika dia sedang berada di titik terlemahnya: "Ya Tuhan! Terlepas dari waktu atau tempat, Engkau tahu bahwa aku selalu mengingat-Mu. Tidak peduli waktu atau tempat, Engkau tahu bahwa aku ingin mengasihi-Mu, tetapi tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, aku terlampau lemah dan tidak berdaya, kasihku terlalu terbatas, dan ketulusanku terhadap-Mu terlalu kurang. Dibandingkan dengan kasih-Mu, aku sangat tidak layak untuk hidup. Aku hanya berharap supaya hidupku tidak akan sia-sia, bahwa aku bukan saja dapat membalas kasih-Mu, tetapi terlebih lagi, aku dapat mencurahkan segala yang kumiliki untuk-Mu. Jika aku dapat memuaskan Engkau, sebagai makhluk ciptaan, aku akan memiliki kedamaian pikiran, dan tidak akan meminta apa pun lagi. Sekalipun aku lemah dan tidak berdaya sekarang, aku tidak akan melupakan nasihat, dan aku tidak akan melupakan kasih-Mu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Lagu pujian itu sangat menyentuh bagiku. Sepanjang pengalaman disiksa dengan kejam, setiap kali aku berdoa dan bersandar kepada Tuhan ketika aku merasa rapuh dan merasa sangat kesakitan, Dia mencerahkan dan membimbingku dengan firman-Nya dan membuka jalan keluar bagiku. Tuhan selalu menyertaiku, mengawasi dan melindungiku. Mengalami lingkungan seperti itu memperlihatkan kepadaku kemahakuasaan dan kekuasaan Tuhan, dan kemudian imanku kepada Tuhan bertumbuh. Aku juga benar-benar melihat esensi jahat si naga merah yang sangat besar yang menentang Tuhan dan menghancurkan manusia—dengan segenap hati aku menolak dan meninggalkannya, dan memalingkan hatiku kepada Tuhan. Tuhan menyelamatkanku dari kekuatan Iblis dengan cara yang begitu nyata. Penuh rasa syukur kepada Tuhan, aku memanjatkan doa bahwa entah aku hidup atau mati, aku siap menyerahkan seluruh hidupku kepada-Nya dan menerima apa pun yang Dia atur. Sekalipun itu berarti kematianku, aku akan mengikut Tuhan sampai akhir! Sejak saat itu, aku dapat merasakan di dalam hatiku bahwa aku dapat melakukan apa pun—yang tidak dapat kulakukan adalah terpisah dari Tuhan. Saat aku merenungkan firman Tuhan, aku bisa merasakan hatiku semakin dekat dengan-Nya. Di bawah pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, pembengkakan di sekitar lukaku pulih dengan sangat cepat, jantungku tidak terlalu sakit lagi ketika aku bernapas, dan setelah seminggu, aku mampu berjalan dengan menyandarkan diriku ke dinding. Semua orang di penjara kagum, berkata, "Lihat itu, dia pasti percaya kepada Tuhan yang benar!" Aku tahu semua itu berkat kuasa Tuhan yang besar, dan bahwa Dia telah membawaku kembali dari ambang kematian dan memberiku kehidupan kedua. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku karena menyelamatkanku!

Setelah empat bulan dikurung di rumah tahanan, Partai Komunis menghukumku menjalani setahun pendidikan ulang melalui kerja paksa karena mengganggu ketertiban sosial. Ketika aku dibebaskan, polisi memperingatkanku, "Jika kau ditangkap karena melakukan lebih banyak kegiatan keagamaan, kau akan mendapatkan hukuman yang berat." Namun, aku tidak bisa dikendalikan oleh mereka. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, "Sebanyak apa pun penindasan atau kesukaran yang kuhadapi setelah ini, aku akan mengikuti-Mu selamanya!"

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Masa Muda Tanpa Penyesalan

Oleh Saudari Xiaowen, Kota Chongqing "'Kasih' mengacu pada emosi yang murni dan tanpa cela, di mana engkau menggunakan hatimu untuk...

Hanya untuk 300.000 Yuan

Oleh Saudara Li Ming, TiongkokSekitar pukul 9 malam pada 9 Oktober 2009, ketika aku, istri, dan putriku sedang mengadakan pertemuan,...