Transaksi di Balik Membayar Harga

28 Januari 2025

Oleh Saudari Liu Ying, Tiongkok

Suatu hari di penghujung tahun 2019, cucu perempuanku tiba-tiba mengatakan bahwa kakinya terasa sakit. Aku membawanya ke rumah sakit untuk dirontgen, tetapi tidak ditemukan penyakit, jadi aku tidak menganggapnya serius. Keesokan harinya, dia mengatakan kakinya masih terasa sangat sakit. Melihatnya menangis kesakitan membuatku ikut menangis. Menjelang malam itu, kakinya makin sering terasa sakit, dan dia hampir tak tidur sama sekali. Saat memijat kakinya, aku terus berdoa dan memercayakan penyakitnya kepada Dia. Pada pagi di hari ketiga, putra dan menantu perempuanku membawa cucuku ke rumah sakit daerah.

Setelah dirawat di rumah sakit, dia terus-menerus mengalami demam tinggi. Suhu tubuhnya tetap 40 derajat dan tidak berkurang. Dia diperiksa di bagian pembedahan dan bagian penyakit dalam, tetapi tak ada penyakit yang ditemukan, dan para dokter tak bisa menyembuhkannya. Merasa tak berdaya, putraku membawanya ke rumah sakit di ibu kota provinsi. Setelah berkonsultasi dengan para ahli, diagnosis pertama mereka adalah lupus tetapi diagnosis kemudian berubah menjadi sepsis. Ketika orang tua menantu perempuanku pulang dari rumah sakit dan memberitahuku tentang kondisi cucuku, aku sangat khawatir. Lupus dan sepsis keduanya merupakan penyakit yang mematikan. Bahkan tanpa diagnosis itu pun, cucuku masih mengalami demam tinggi dengan suhu 40 derajat, yang dapat menyebabkan banyak kerusakan pada kesehatannya jika berlangsung terlalu lama. Kondisi cucuku tampak tidak baik. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa sedih. Aku telah membesarkan cucuku, dan aku tak tahan jika sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya. Aku berusaha menghibur diriku berulang-ulang dengan berpikir: "Dia akan baik-baik saja. Tuhan itu mahakuasa. Dia akan melindungi cucuku. Dia tidak akan membiarkannya mati." Saat memikirkan penyakit cucuku, aku sering menangis dalam kesedihan. Dia masih sangat muda dan harus menderita seperti ini. Aku berharap akulah yang terkena penyakit ini sehingga bisa menderita menggantikannya. Aku juga berpikir, "Aku percaya kepada Tuhan, jadi mengapa ini terjadi pada keluargaku?" Namun, kemudian aku kembali berpikir, "Sebenarnya, keadaan ini pasti kualami atas seizin Tuhan. Mungkin Tuhan sedang menguji imanku. Aku tak boleh menyalahkan Tuhan. Asalkan aku teguh dalam melaksanakan tugasku, penyakit cucuku akan disembuhkan." Setelah itu, aku makan dan minum firman Tuhan seperti biasa dan terus melaksanakan tugasku. Ketika aku menerima saudara-saudari di rumahku, aku melakukan semua yang kubisa untuk mereka. Saudara-saudariku ingin membantuku, tetapi aku tidak mengizinkan mereka. Kupikir asalkan aku melaksanakan tugasku sebanyak yang kubisa, Tuhan pasti menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku, dan cucuku akan membaik.

Sekitar setengah bulan kemudian, putraku menelepon untuk memberi tahu bahwa cucuku dipastikan menderita sepsis, demamnya yang tinggi terus datang dan pergi, dan ada banyak kutil yang terbentuk di selaput jantungnya, yang mengancam jiwanya. Ketika mendengar kabar ini, aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa menerimanya, jadi aku menuntut Tuhan, "Cucuku sedang sakit, tetapi aku harus terus melaksanakan tugasku, agar dia bisa membaik! Namun sekarang, penyakitnya bukan saja tidak membaik, tetapi malah menjadi makin parah. Apakah penyakitnya benar-benar tidak mungkin disembuhkan?" Suatu hari, suamiku menghampiriku sambil menangis dan berkata, "Cucu kita sedang sekarat. Rumah sakit mengatakan penyakitnya tidak dapat disembuhkan, dan dokter berkata tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka menyuruh kita membawanya pulang." Perkataan suamiku benar-benar di luar dugaan. Rasanya sulit dipercaya; aku tak sanggup menerimanya. Pikiranku dipenuhi dengan gambaran kehidupanku bersama cucuku. Saat memikirkan betapa lucu dirinya, air mataku tak bisa berhenti mengalir. Berkali-kali, aku berseru kepada Tuhan supaya melindungi hatiku dan membimbingku untuk tunduk. Namun, ketika kulihat fotonya di ponselku, seluruh wajahnya bengkak, dan semangat hidupku pun langsung lenyap. Aku tak mau membaca firman Tuhan dan merasa tidak ada motivasi untuk melaksanakan tugasku. Yang kupedulikan hanyalah penyakit cucuku. Kemudian, menantu laki-lakiku membawa rekam medis cucuku ke sebuah rumah sakit besar di Shanghai untuk berkonsultasi, tetapi para ahli di sana juga mengatakan tidak ada yang bisa mereka lakukan dan menyarankan agar kami berhenti menghabiskan uang untuk tujuan yang sia-sia. Ini membuatku sangat sedih, "Aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, aku tak pernah berhenti melaksanakan tugasku, dan aku selalu berupaya sebaik mungkin untuk melakukan pekerjaan apa pun yang diatur oleh gereja untukku. Bahkan sekalipun cucuku sakit, aku tidak meninggalkan tugasku. Aku terus menerima saudara-saudari di rumahku. Setelah membayar harga sebesar itu, mengapa cucuku mengidap penyakit yang mengerikan ini?" Semakin kupikirkan, semakin aku merasa sedih. Aku tak mampu menahan tangis. Dalam penderitaanku, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, cucuku sedang sekarat. Aku merasa sedih dan lemah sekarang. Aku tak tahu harus berbuat apa, dan aku masih memiliki keluhan terhadap-Mu. Kumohon bimbinglah aku untuk memahami maksud-Mu."

Dalam penderitaanku, aku teringat akan firman Tuhan:

4. Jika, setelah engkau mengorbankan berbagai hal untuk-Ku, Aku tidak mengabulkan permohonan-permohonan kecilmu, akankah engkau menjadi berkecil hati dan kecewa terhadap-Ku atau bahkan menjadi marah dan merasa diperlakukan secara kejam?

5. Jika engkau selalu sangat setia kepada-Ku dan sangat mengasihi-Ku, tetapi engkau menanggung siksaan penyakit, beban keuangan, dan ditinggalkan teman-teman dan saudaramu, atau jika engkau menanggung kemalangan lain dalam hidupmu, akankah kesetiaanmu dan kasihmu kepada-Ku tetap berlanjut?

—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Masalah yang Sangat Serius: Pengkhianatan (2)"

Dihadapkan dengan pertanyaan Tuhan, aku merasa sangat malu. Penyakit cucuku adalah ujian nyata bagiku untuk melihat apakah aku setia dan tunduk kepada Tuhan atau tidak. Dahulu, aku selalu berpikir aku telah mengerahkan upaya dan melaksanakan tugasku untuk Tuhan, dan ini berarti aku setia kepada Tuhan. Namun, ketika cucuku menderita sepsis, dan keadaannya memburuk, aku menjadi negatif dan mengeluh. Aku tak mau lagi membaca firman Tuhan, dan menjadi tidak termotivasi dalam tugasku. Aku sadar bahwa aku sebenarnya tidak tunduk ataupun setia kepada Tuhan. Aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia membimbingku untuk memetik pelajaran dan menjadi benar-benar tunduk dalam hal penyakit cucuku. Aku teringat firman Tuhan: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? ... engkau tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku. Sejak awal kepercayaanku kepada Tuhan, kupikir asalkan aku mengerahkan upaya bagi Tuhan dan melaksanakan tugasku, Tuhan pasti memberkati keluargaku dengan kedamaian dan kemakmuran, dan semua orang akan bebas dari penyakit dan bencana. Oleh karena itu, sejak aku mulai percaya kepada Tuhan, aku selalu bersemangat melaksanakan tugasku. Tuhan sangat baik kepadaku. Sebelum aku menyadarinya, beberapa penyakitku sembuh, dan pengejaranku menjadi jauh lebih kuat. Meskipun aku ditangkap oleh Partai Komunis, aku terus melaksanakan tugasku setelah dibebaskan. Namun, ketika cucuku terkena penyakit yang mengerikan ini, di dalam hatiku aku mengeluh mengapa Tuhan tidak melindunginya. Meskipun aku terus melaksanakan tugasku, aku hanya ingin Tuhan melindungi cucuku dengan menyembuhkan penyakitnya. Aku ingin menukar upaya dan pengorbanan lahiriahku dengan berkat Tuhan. Ketika kondisi cucuku tidak membaik, nyawanya berada dalam bahaya, dan rumah sakit menghentikan pengobatan, aku benar-benar hancur. Aku salah paham dan mengeluh terhadap Tuhan, berpikir Tuhan tidak adil, dan menjadi negatif serta menentang Tuhan. Aku sadar bahwa aku percaya kepada Tuhan hanya untuk mendapatkan anugerah dan berkat, bahwa aku mengejar kemudahan dalam hidup dan keamanan lahiriah dan bukan mengejar kebenaran, dan bahwa pengorbanan dan upayaku bukanlah ketundukan yang tulus kepada Tuhan, melainkan penuh dengan keinginan dan tuntutan yang berlebihan terhadap Tuhan. Ini artinya menipu Tuhan dan berusaha bertransaksi dengan-Nya. Kemudian, aku membaca satu bagian firman Tuhan: "Tuhan akan melakukan apa yang harus Dia lakukan, dan watak-Nya adalah adil. Keadilan itu bukan berarti pantas atau masuk akal; keadilan bukanlah egalitarianisme, juga bukan perkara mengalokasikan kepadamu apa yang pantas engkau terima sesuai dengan berapa banyak pekerjaan yang telah kauselesaikan, atau memberimu upah untuk pekerjaan apa pun yang telah kaukerjakan, atau memberi kepadamu hakmu sesuai dengan upaya yang telah kaukeluarkan. Ini bukanlah keadilan. Itu hanyalah pantas dan masuk akal. Sangat sedikit orang yang mampu mengenal watak Tuhan yang adil. Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: apakah ini adil? Sebenarnya, ini adil. Mengapa ini disebut adil? Bagaimana manusia memandang keadilan? Jika sesuatu selaras dengan gagasan-gagasan manusia, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil; tetapi, jika mereka tidak melihat bahwa hal itu selaras dengan gagasan-gagasan mereka—jika hal itu adalah sesuatu yang tak mampu mereka pahami—maka menjadi sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Jika Tuhan memusnahkan Ayub pada waktu itu, orang pasti tidak akan mengatakan bahwa Dia adil. Sebenarnya, entah manusia telah dirusak atau tidak, dan entah mereka telah dirusak sedemikian dalam atau tidak, apakah Tuhan harus membenarkan diri-Nya ketika Dia memusnahkan mereka? Haruskah Dia menjelaskan kepada manusia atas dasar apa Dia melakukannya? Haruskah Tuhan memberi tahu manusia aturan-aturan yang telah Dia tetapkan? Tidak perlu. Di mata Tuhan, orang yang rusak dan cenderung menentang Tuhan, sama sekali tidak layak; namun bagaimanapun cara Tuhan menangani mereka, itu akan tepat, dan semuanya adalah pengaturan Tuhan. Jika engkau tidak berkenan di mata Tuhan, dan jika Dia berkata bahwa engkau tidak lagi berguna bagi-Nya setelah kesaksianmu dan karena itu memusnahkanmu, apakah ini juga merupakan keadilan-Nya? Ya. Engkau mungkin tidak mampu mengenali hal ini sekarang dari faktanya, tetapi engkau harus memahami doktrinnya. Menurutmu, apakah pemusnahan Iblis oleh Tuhan merupakan ungkapan keadilan-Nya? (Ya.) Bagaimana jika Dia membiarkan Iblis tetap hidup? Engkau tidak berani berpendapat, bukan? Esensi Tuhan adalah keadilan. Walaupun tidak mudah untuk memahami apa yang Dia lakukan, semua yang Dia lakukan itu adil; hanya saja orang-orang tidak memahaminya. Ketika Tuhan menyerahkan Petrus kepada Iblis, bagaimana Petrus meresponinya? 'Umat manusia tak mampu memahami apa yang Kaulakukan, tetapi semua yang Kaulakukan mengandung maksud baik-Mu; ada keadilan di dalam semua itu. Bagaimana mungkin aku tidak memuji kebijaksanaan dan perbuatan-Mu?' ... Segala sesuatu yang Tuhan lakukan adalah adil. Walaupun manusia mungkin tidak mampu memahami keadilan Tuhan, mereka tak boleh membuat penilaian sesuka hati mereka. Jika sesuatu yang Dia lakukan tampak tidak masuk akal bagi manusia, atau jika mereka memiliki gagasan apa pun tentang hal itu, dan hal itu membuat mereka mengatakan bahwa Dia tidak adil, maka merekalah yang sangat tidak masuk akal. Engkau melihat bahwa Petrus mendapati beberapa hal yang tidak bisa dipahaminya, tetapi dia yakin bahwa ada hikmat Tuhan dan ada maksud baik-Nya di dalam hal-hal tersebut. Manusia tidak mampu memahami segala sesuatu; ada begitu banyak hal yang tidak dapat mereka pahami. Jadi, mengenal watak Tuhan bukanlah hal yang mudah" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku sadar bahwa keadilan Tuhan tidak seperti yang kubayangkan. Aku membayangkan keadilan Tuhan artinya melakukan sejumlah pekerjaan lalu menerima upah yang sepadan, atau mengerahkan upaya lalu menerima upah tertentu sebagai imbalannya. Ini adalah gagasan dan imajinasiku sendiri. Tuhan adalah kebenaran, dan esensi Tuhan adalah keadilan. Apa pun yang Tuhan lakukan dan entah itu sesuai dengan gagasan manusia atau tidak, apa yang Tuhan lakukan adalah adil. Aku menilai keadilan Tuhan dari sudut pandang transaksi atau perdagangan. Aku yakin aku akan menerima berkat Tuhan jika aku mengerahkan upayaku dan banyak menyangkal diri. Kupikir jika aku bekerja keras untuk melaksanakan tugasku, Tuhan pasti melindungi keluargaku dan menjaga cucuku dari penyakit dan bencana. Jadi, ketika dia sakit parah, aku bernalar dengan Tuhan, mengeluh terhadap Tuhan, dan berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Pandanganku tidak masuk akal. Aku buta dan sama sekali tidak mengenal Tuhan. Aku adalah makhluk ciptaan, jadi melaksanakan tugasku dan membalas kasih Tuhan adalah wajar dan benar, itu adalah tugas dan tanggung jawabku. Aku seharusnya tidak berusaha bertransaksi dengan Tuhan. Sama seperti anak-anak yang harus berbakti kepada orang tua mereka, sudah seharusnya aku tunduk tanpa syarat pada pengaturan dan penataan-Nya, entah Dia memberiku anugerah dan berkat atau membuatku mengalami bencana, karena Tuhan itu adil. Jika tidak, aku tidak akan layak disebut manusia. Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan mengalami kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, bencana, berkat, dan kemalangan, tidak terkecuali mereka yang percaya kepada Tuhan. Tuhan tidak pernah berkata bahwa orang yang percaya kepada Tuhan akan selalu aman dan terlindungi. Sebaliknya, keadaan apa pun yang kita alami, Tuhan menuntut kita untuk memiliki iman dan ketundukan yang sejati, serta melaksanakan tugas kita sebagai makhluk ciptaan. Namun, aku percaya kepada Tuhan hanya untuk mencari berkat. Aku meminta Tuhan untuk menjaga keluargaku agar aman dan bebas dari penyakit dan bencana, tetapi aku tidak mencari kebenaran dan tunduk kepada Tuhan. Kepercayaanku hanyalah kepercayaan agamawi yang kugunakan untuk makan roti hingga kenyang. Tuhan sama sekali tidak mengakui kepercayaan yang seperti itu. Jika tidak disingkapkan oleh fakta-fakta ini, aku pasti tidak pernah mengenali pandanganku yang keliru yang percaya kepada Tuhan hanya untuk mencari berkat. Aku tak akan pernah memperoleh kebenaran jika percaya dengan cara seperti ini, sebaliknya aku hanya akan disingkirkan oleh Tuhan. Tuhan mengizinkan keadaan yang tidak sesuai dengan gagasanku ini terjadi padaku sebagai cara untuk menyucikan keinginanku untuk berkat dalam kepercayaan kepada Tuhan, untuk mentahirkan ketidakmurnian dan kerusakanku, dan untuk mengubah dan menyelamatkanku. Ini adalah kasih Tuhan! Dengan memikirkan ini, aku merasakan sedikit kelegaan.

Kemudian, aku terus merenungkan natur apa yang membuat kepercayaanku kepada Tuhan menjadi bersifat transaksional. Aku membaca firman Tuhan: "Semua manusia yang rusak hidup untuk kepentingan mereka sendiri. Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya—inilah ringkasan dari natur manusia. Manusia percaya kepada Tuhan demi kepentingan mereka sendiri; ketika mereka meninggalkan segala sesuatu dan mengorbankan diri mereka untuk Tuhan, tujuannya adalah untuk diberkati, dan ketika mereka setia kepada-Nya, tujuannya masih untuk mendapatkan upah. Singkatnya, semua itu dilakukan dengan tujuan untuk diberkati, diberi upah, dan masuk ke dalam kerajaan surga. Di tengah masyarakat, orang bekerja untuk keuntungan diri mereka sendiri, dan di rumah Tuhan, mereka melaksanakan tugas untuk diberkati. Demi mendapatkan berkat, orang meninggalkan segalanya dan mampu menanggung banyak penderitaan. Tidak ada bukti yang lebih kuat mengenai natur Iblis dalam diri manusia dibandingkan hal ini" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). "Tuhan meminta manusia untuk memperlakukan-Nya sebagai Tuhan karena manusia telah dirusak sedemikian dalamnya, dan manusia tidak memperlakukan-Nya sebagai Tuhan, melainkan sebagai manusia. Apa masalahnya jika manusia selalu mengajukan tuntutan terhadap Tuhan? Dan apa masalahnya jika mereka selalu memiliki gagasan tentang Tuhan? Apakah yang terkandung dalam natur manusia? Aku telah mendapati bahwa apa pun yang terjadi pada mereka, atau apa pun yang mereka hadapi, manusia selalu melindungi kepentingan mereka sendiri dan mengkhawatirkan daging mereka sendiri, dan mereka selalu mencari alasan atau dalih yang menguntungkan mereka. Mereka tidak mencari atau menerima kebenaran sedikit pun, dan semua yang mereka lakukan adalah untuk memperjuangkan daging mereka sendiri dan membuat rencana demi prospek mereka sendiri. Mereka semua memohon kasih karunia dari Tuhan, ingin mendapatkan keuntungan apa pun yang bisa mereka peroleh. Mengapa manusia mengajukan begitu banyak tuntutan terhadap Tuhan? Ini membuktikan bahwa natur manusia adalah tamak, dan bahwa di mata Tuhan, mereka sama sekali tidak memiliki nalar. Dalam semua yang manusia lakukan—baik pada saat mereka berdoa atau menyampaikan persekutuan atau berkhotbah—pengejaran, pemikiran, dan aspirasi mereka, semua hal ini adalah tuntutan terhadap Tuhan dan upaya untuk memohon sesuatu dari-Nya, semuanya dilakukan manusia dengan harapan mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Ada orang-orang yang berkata 'seperti inilah natur manusia,' dan perkataan ini benar! Selain itu, manusia mengajukan terlalu banyak tuntutan terhadap Tuhan dan memiliki terlalu banyak keinginan berlebihan yang membuktikan bahwa manusia benar-benar tidak memiliki hati nurani dan nalar. Mereka semua menuntut dan memohon sesuatu demi kepentingan mereka sendiri, atau mencoba berdebat dan mencari alasan untuk diri mereka sendiri—mereka melakukan semua ini demi diri mereka sendiri. Dalam banyak hal, dapat terlihat bahwa apa yang manusia lakukan sama sekali tidak bernalar, yang merupakan bukti penuh bahwa logika Iblis 'Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya' sudah menjadi natur manusia" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Manusia Mengajukan Terlalu Banyak Tuntutan Terhadap Tuhan"). Aku merenungkan firman Tuhan dan menyadari bahwa aku percaya kepada Tuhan untuk mencari berkat dan keuntungan karena aku dikendalikan oleh racun Iblis seperti "Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya" dan "Jangan pernah bangun pagi kecuali ada untungnya". Hidup berdasarkan racun Iblis ini membuatku sangat egois dan curang. Aku hanya mencari keuntungan dan berusaha bertransaksi dengan Tuhan dalam pelaksanaan tugasku. Meskipun aku telah mengerahkan banyak upaya dan membayar harga selama bertahun-tahun aku percaya kepada Tuhan, aku melakukan semua itu demi berkat dan keuntunganku sendiri. Aku ingin menukar pengorbanan kecil dengan imbalan berkat Tuhan yang besar. Aku tidak tunduk kepada Tuhan dan setia kepada-Nya. Akibatnya, ketika cucuku sakit parah dan ambisiku untuk diberkati pupus, aku merasa sedih dan mengeluh terhadap Tuhan, dan aku merasa tidak ada motivasi untuk melaksanakan tugasku. Aku menggunakan upaya kecil yang kukerahkan dan harga yang kubayarkan sebagai modal untuk berdebat dan menentang Tuhan. Aku sadar bahwa dalam pelaksanaan tugasku, aku sedang menipu Tuhan, menuntut Tuhan, dan berusaha bertransaksi dengan Tuhan. Aku telah dirusak sedemikian dalam oleh Iblis, dan aku terlalu egois dan curang. Aku teringat Paulus, yang berkhotbah, bekerja, menyangkal diri, mengerahkan upaya, mengalami banyak penderitaan, dan bahkan mati sebagai martir. Namun, dia tidak mengejar kebenaran atau menerapkan firman Tuhan Yesus. Semua penyangkalan diri dan upayanya dilakukan untuk mendapatkan upah dan mahkota. Dia berkata bahwa dia telah mengakhiri pertandingan yang baik dan mencapai garis akhir, dan ada mahkota kebenaran yang disediakan untuknya. Yang dia maksudkan adalah bahwa Tuhan itu adil hanya jika Tuhan memberinya upah dan mahkota, dan jika Tuhan tidak memberi upah atau memahkotainya, artinya Tuhan tidak adil. Dari sini, kita dapat memahami bahwa penderitaan dan upaya Paulus dalam kepercayaannya kepada Tuhan semuanya dilakukan untuk bertransaksi dengan Tuhan. Pada akhirnya, dia menyinggung watak Tuhan dan disingkirkan serta dihukum oleh Tuhan. Aku pun sama. Aku hanya percaya kepada Tuhan untuk mengejar anugerah dan berkat, dan aku menganggap penyangkalan diri dan upayaku sebagai cara dan modal untuk mendapatkan berkat. Jika aku tidak mengubah pandanganku yang keliru tentang pengejaran, sebanyak apa pun upaya yang kukerahkan, aku tak akan pernah mendapatkan perkenanan Tuhan. Aku akan disingkapkan dan disingkirkan oleh Tuhan, sama seperti Paulus. Kemudian, aku membaca bagian lain firman Tuhan: "Sebagai makhluk ciptaan, manusia harus berupaya untuk memenuhi tugas seorang makhluk ciptaan, dan berusaha untuk mengasihi Tuhan tanpa mengajukan pilihan lain, sebab Tuhan layak menerima kasih manusia. Mereka yang berusaha untuk mengasihi Tuhan tidak boleh mengejar keuntungan pribadi atau mengejar apa yang mereka sendiri dambakan; inilah cara pengejaran yang paling benar. Jika hal yang kaukejar adalah kebenaran, jika hal yang kaulakukan adalah kebenaran, dan jika hal yang kaucapai adalah perubahan pada watakmu, maka jalan yang kautapaki adalah jalan yang benar" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keberhasilan atau Kegagalan Tergantung pada Jalan yang Manusia Jalani"). Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa aku adalah makhluk ciptaan yang menikmati makanan, minuman, dan kelimpahan hidup yang diberikan oleh Tuhan. Sudah seharusnya aku mengejar kebenaran, melaksanakan tugasku dengan baik, dan mengejar ketundukan dan kasih kepada Tuhan. Inilah hati nurani dan nalar yang harus dimiliki oleh makhluk ciptaan. Aku teringat bagaimana Tuhan berinkarnasi dua kali untuk menyelamatkan manusia, bagaimana Dia diejek, difitnah, dan ditolak oleh dunia, serta dianiaya dan dikecam oleh Partai Komunis dan dunia keagamaan. Namun, meski demikian, Dia tetap diam-diam mengungkapkan kebenaran untuk menyirami dan membekali kita. Dia juga mengatur berbagai keadaan untuk menyingkapkan kerusakan kita, untuk menyucikan dan mengubah kita. Meskipun masih banyak pemberontakan dan kerusakan dalam diriku, dan aku bisa salah paham dan mengeluh terhadap Tuhan ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku, Tuhan tidak pernah menyerah untuk menyelamatkanku. Dia menggunakan firman-Nya untuk menghakimi, menyingkapkan, mengingatkan, menasihati, menghibur, dan mendorongku sementara Dia menungguku untuk memperbaiki jalanku. Kasih Tuhan begitu tanpa pamrih, dan Dia sangat indah! Namun, aku percaya kepada Tuhan semata-mata untuk mendapatkan berkat dan keuntungan, dan aku tidak mengejar kasih dan ketundukan kepada Tuhan. Aku benar-benar tak punya hati nurani atau nalar. Ketika menyadari hal ini, aku merasakan teguran dan penyesalan yang mendalam, dan aku merasa sangat berutang kepada Tuhan.

Beberapa hari kemudian, rumah sakit kembali memberitahukan bahwa cucuku sakit parah, dan mereka memulangkannya agar tempat tidurnya bisa dipakai untuk pasien lain. Ketika mendengar kabar ini, aku merasa sangat sedih, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, Engkau memberi cucuku napas. Apa pun yang Engkau lakukan dan atur adalah tepat dan adil. Meskipun dia mati, aku tak akan mengeluh. Aku akan tetap percaya kepada-Mu dan mengikuti-Mu." Setelah itu, putraku membawanya ke rumah sakit lain di ibu kota provinsi untuk mendapatkan pengobatan. Dokter membaca rekam medis cucuku dan berkata dia tak bisa menerimanya, karena penyakitnya tak dapat disembuhkan, jadi putraku pulang tanpa cucuku dirawat di rumah sakit. Pada saat ini, aku berpikir, "Jika Tuhan telah menetapkan bahwa cucuku akan mati, tak seorang pun mampu menyelamatkannya. Jika Tuhan tidak ingin dia mati, selama dia masih bernapas, tak seorang pun mampu mengakhiri hidupnya. Semuanya berada di tangan Tuhan. Aku akan tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan." Ketika aku memikirkannya seperti ini, aku tidak merasa seburuk sebelumnya. Beberapa hari kemudian, ketika aku menengok cucuku, aku melihatnya tersiksa oleh rasa sakit. Wajahnya sangat kurus hingga tak bisa dikenali. Itu menghancurkan hatiku, dan aku tak mampu menahan diri untuk tidak menangis. Pemikiran bahwa cucuku akan mati masih membuatku sangat sedih, dan aku tak mau menghadapinya. Aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, "Tuhan, aku tak sanggup mengatasi situasi ini seorang diri. Kumohon lindungi hatiku dan bimbinglah aku untuk tunduk kepada-Mu." Pada saat ini, aku teringat pengalaman Abraham yang mempersembahkan Ishak. Tuhan meminta Abraham untuk mempersembahkan putranya sebagai korban bakaran. Pada waktu itu, Abraham juga sangat tertekan, tetapi dia tetap membaringkan Ishak di atas mazbah seperti yang Tuhan minta. Ketika dia mengangkat pisaunya untuk membunuh putranya, Tuhan melihat ketulusan dan ketundukan Abraham dan menghentikannya. Abraham memiliki iman dan ketundukan yang sejati kepada Tuhan, dan dia tetap teguh dalam kesaksiannya bagi Tuhan dalam menghadapi ujian, dan karenanya dia menerima perkenanan dan berkat Tuhan. Pengalaman Abraham sangat mendorongku. Saat memikirkan diriku sendiri, ketika kulihat cucuku di ambang kematian, aku berkata bahwa aku akan tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, tetapi tetap tak mampu melepaskannya. Ketika aku melihatnya menderita, aku tetap tak mau menghadapinya. Aku masih mengharapkan mukjizat, bahwa Tuhan mampu menyembuhkan cucuku dan membuatnya hidup bahagia. Dalam hatiku, aku berulang kali mengajukan tuntutan terhadap Tuhan, dan aku sama sekali tak bernalar ataupun ketundukan. Aku teringat firman Tuhan: "Siapakah dari seluruh umat manusia yang tidak diperhatikan di mata Yang Mahakuasa? Siapakah yang tidak hidup menurut apa yang telah ditentukan dari semula oleh Yang Mahakuasa? Apakah kehidupan dan kematian manusia terjadi karena pilihannya sendiri? Apakah manusia mengendalikan nasibnya sendiri? Banyak orang menginginkan kematian, tetapi kematian menjauh dari mereka; banyak orang ingin menjadi orang yang kuat dalam kehidupan dan takut akan kematian, tetapi tanpa sepengetahuan mereka, hari kematian mereka semakin mendekat, menjerumuskan mereka ke dalam jurang maut" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 11"). Benar, hidup dan mati, kemujuran dan kemalangan manusia, semuanya berada di tangan Tuhan. Kapan manusia lahir dan kapan manusia mati, itu telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Orang tak punya pilihan dalam hal ini. Entah penyakit cucuku dapat disembuhkan atau tidak dan berapa lama dia akan hidup sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Tidak ada manusia yang bisa memengaruhi hal ini. Dengan pemikiran ini, aku berdoa kepada Tuhan. Entah penyakit cucuku dapat disembuhkan atau tidak, aku siap untuk tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan.

Suatu hari, seorang saudari bercerita tentang ramuan obat. Aku membuatnya untuk cucuku sesuai dengan cara yang dijelaskan saudariku. Aku tidak tahu apakah ramuan obat itu akan menyembuhkannya, tetapi kupikir itu patut dicoba. Di luar dugaan, kondisi cucuku mulai membaik dari hari ke hari, demamnya berangsur-angsur mereda, dan segera dia keluar dari keadaan kritis. Tak lama kemudian, kami menemukan ramuan obat lainnya, dan setelah meminumnya selama beberapa waktu, kaki cucuku tidak lagi sakit! Aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Beberapa bulan kemudian, cucuku dapat berjalan beberapa langkah sambil berpegangan pada sesuatu, dan penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Setahun kemudian, dia bisa hidup dan berjalan dengan normal, dan kerusakan pada jantungnya dipulihkan. Kemudian, ketika para ahli dari rumah sakit di ibu kota provinsi mengetahui bahwa cucuku bukan saja tidak mati, tetapi malah sembuh total, mereka tidak bisa memercayainya. Kami telah menghabiskan begitu banyak uang saat berusaha mengobati penyakitnya di rumah sakit itu, tetapi mereka tak mampu menyembuhkannya. Beberapa rumah sakit besar telah memvonis mati cucuku, tetapi ketika aku melepaskan keinginanku akan berkat, bersedia tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan menyerahkan cucuku kepada Tuhan, di luar dugaan, penyakitnya disembuhkan dengan menggunakan beberapa ramuan obat yang harganya tidak mahal. Aku benar-benar melihat kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan. Kini, tidak ada penyakit dalam tubuh cucuku selain sedikit pincang dan detak jantungnya agak cepat. Orang-orang yang mengetahui penyakitnya mengatakan bahwa dia bisa sembuh seperti itu adalah mukjizat!

Firman Tuhan katakan: "Dalam kepercayaan kepada Tuhan, yang orang cari adalah mendapatkan berkat untuk di masa depan; inilah tujuan dalam iman mereka. Semua orang memiliki niat dan harapan ini, tetapi kerusakan dalam natur mereka harus dibereskan melalui ujian dan pemurnian. Dalam aspek mana pun engkau tidak murni dan memperlihatkan kerusakan, dalam aspek-aspek inilah engkau harus dimurnikan—ini adalah pengaturan Tuhan. Tuhan menciptakan lingkungan tertentu untukmu, yang memaksamu dimurnikan di sana sehingga engkau mampu mengetahui kerusakanmu sendiri. Pada akhirnya, engkau akan mencapai titik di mana engkau lebih suka mati untuk meninggalkan rencana dan keinginanmu, serta tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Jadi, jika orang tidak mengalami beberapa tahun pemurnian, jika mereka tidak menanggung tingkat penderitaan tertentu, mereka tidak akan dapat membebaskan diri dari kekangan kerusakan daging dalam pemikiran dan hati mereka. Dalam aspek mana pun orang masih tunduk pada kekangan dari natur Iblis dalam diri mereka, dan dalam aspek mana pun mereka masih memiliki keinginan dan tuntutan mereka sendiri, dalam aspek-aspek inilah mereka harus menderita. Hanya melalui penderitaan, pelajaran dapat dipetik, yang berarti orang menjadi mampu untuk memperoleh kebenaran dan memahami maksud Tuhan. Sebenarnya, banyak kebenaran dapat dipahami dengan mengalami penderitaan dan ujian. Tak seorang pun mampu memahami maksud Tuhan, mengenal kemahakuasaan dan hikmat Tuhan atau menghargai watak Tuhan yang benar ketika berada di lingkungan yang nyaman dan mudah, atau ketika keadaan baik. Itu tidak mungkin!" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Melalui pengalaman ini, aku mendapatkan beberapa pemahaman tentang keinginanku akan berkat dan ketidakmurnian dalam kepercayaanku sendiri kepada Tuhan. Pandanganku tentang iman telah berubah, dan aku telah mendapatkan pemahaman nyata tentang kedaulatan Tuhan yang mahakuasa dan watak benar Tuhan. Aku sungguh merasa bahwa mengalami kesukaran ini adalah hal yang baik, dan ini adalah pentahiran dan keselamatan Tuhan bagiku.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Kembali ke Jalan yang Benar

Oleh Saudara Chen Guang, Amerika SerikatTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Melayani Tuhan bukan tugas yang sederhana. Mereka yang watak...

Harga dari Kemunafikan

Pada bulan Juni 2021, aku terpilih menjadi pemimpin gereja. Saat itu, sejujurnya ini cukup di luar dugaan karena aku masih lumayan muda...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh