Pencobaan di Kelas Indoktrinasi

27 September 2024

Oleh Saudari Xu Hui, Tiongkok

Akhir Juli 2018, aku ditangkap karena percaya kepada Tuhan dan memberitakan Injil. Suatu hari pada bulan Oktober, polisi membawaku ke siheyuan (rumah berpelataran luas) di sebuah taman ekologi di pinggiran kota, yang berfungsi sebagai pusat indoktrinasi. Pada waktu itu, aku agak gugup dan takut. Berbagai bayangan terus melintas di benakku tentang saudara-saudari yang diinterogasi dan disiksa secara rahasia. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Ya Tuhan, aku tidak tahu bagaimana polisi akan menyiksaku. Kumohon berikan aku iman dan kekuatan. Siksaan apa pun yang kualami, aku tidak akan berbuat apa pun yang mengkhianati-Mu." Seusai berdoa, aku merasa lebih tenang.

Orang yang bertanggung jawab untuk mencuci otak kami di sana adalah seorang kapten bermarga Lang, yang terlihat sangat licin dan licik. Dia menyuruh kami berbaris dan berkata, "Kelas di sini terbagi menjadi kelas cepat dan kelas lambat. Jika ingin berubah dan selesai dengan cepat, kalian dapat memilih kelas cepat. Di kelas lambat, kalian akan dipukuli kapan pun dan di mana pun. Semua itu akan menjadi hal biasa seperti makanan sehari-hari." Ketika mendengar ucapannya, aku sangat marah. Itu jelas upaya untuk membuat kami sangat takut pada kekejamannya sehingga kami akan mengkhianati Tuhan. Aku telah ditangkap, yang kutahu ini terjadi atas seizin Tuhan, jadi aku bersedia tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Bagaimanapun mereka berencana menganiayaku, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan. Dengan pemikiran ini, aku berkata, "Aku akan mengambil kelas lambat." Malam itu, Lang meminta kami, kedua belas orang yang telah memilih kelas lambat, agar berdiri berjajar di halaman. Ada empat atau lima polisi laki-laki yang membawa pentungan listrik, dan sesekali mereka menyalakan sakelarnya sehingga pentungan itu mengeluarkan suara berderak. Mereka juga membawa botol air cabai dan air mustard di saku mereka, siap menggunakannya untuk menyiksa kami setiap saat. Melihat ini, aku sadar bahwa mungkin ini adalah ujian dari Tuhan bagiku, dan aku teringat sesuatu yang Tuhan katakan: "'Pada akhir zaman, binatang buas akan muncul untuk menganiaya umat-Ku, dan mereka yang takut mati akan ditandai dengan meterai untuk dimangsa oleh binatang buas itu. Mereka yang telah melihat Aku akan dibunuh oleh binatang buas itu.' 'Binatang buas' dalam firman ini tidak diragukan lagi merujuk pada Iblis, penyesat umat manusia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 120"). Partai Komunis menggunakan siksaan daging untuk memaksa orang mengkhianati Tuhan, dan jika kita tak mampu mempertaruhkan nyawa kita, kita berisiko ditipu dan disingkirkan tanpa dipedulikan sedikit pun. Dalam hati, aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, sekejam apa pun mereka akan memukuliku hari ini, aku bersedia meletakkan hidup dan matiku di tangan-Mu, dan menyerahkan hidupku agar tetap berdiri teguh untuk memuaskan-Mu." Setelah itu, Lang bertanya kepadaku, "Sebenarnya kau mau masuk kelas yang mana?" Jawabku, "Kelas lambat." Ketika mendengar ini, dia sangat marah sehingga menendangku ke dalam kolam bunga. Pergelangan kakiku membentur salah satu batu bata di sekitar kolam bunga itu, dan rasanya sakit bukan kepalang. Kemudian, dia menendang kesebelas orang lainnya satu per satu hingga terjungkal ke tanah, dan memerintahkan kami untuk berdiri. Saat kami hendak bangun, beberapa polisi menyemprot wajah kami satu per satu dengan cairan cabai dan moster. Secara refleks aku menghindar dan tercebur ke dalam kolam bunga di belakangku. Wajahku serasa terbakar, lalu aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mereka kemudian meninju dan menendang kami, dan menyemprot kami dengan air cabai, menyiksa kami selama lebih dari satu jam.

Selanjutnya, mereka mulai mencuci otak kami di kelas indoktrinasi. Pertama, seorang pria bermarga Huang memutarkan sebuah video untuk kami. Isinya tentang bagaimana Tiongkok telah bangkit serta menjadi berkuasa dan berjaya. Dia juga mengatakan hal-hal yang mengutuk dan menghujat Tuhan. Kami berdebat dengannya, dan dia menunjuk ke luar pintu, kemudian dia memperingatkan kami dengan ekspresi mengancam, "Siapa pun yang tak mau berada di kelas ini boleh keluar!" Aku tahu bahwa meninggalkan kelas menyiratkan semacam hukuman berat dari Lang, jadi aku tak lagi mengatakan apa pun. Setiap hari sebelum makan siang dan makan malam, Lang menanyai kami satu per satu tentang apa yang telah kami pelajari di kelas, adakah perubahan dalam pemikiran kami, apakah kami percaya kepada Tuhan atau tidak, dan manakah yang telah kami pilih antara negara dan Tuhan. Suatu hari, Lang memerintahkan kami semua berdua belas orang agar berdiri berjajar dan bertanya kepadaku, "Apa kau masih perlu mengikuti kelas? Bisakah kau tanda tangani surat jaminan, surat penyesalan, dan surat penolakan?" Aku tahu bahwa menandatangani "Tiga Surat" ini berarti menyangkal dan mengkhianati Tuhan, jadi aku berkata, "Tidak." Ketika mendengar ini, Lang menamparku dengan keras, yang membuat wajahku terasa nyeri. Kemudian, dia menginterogasi dan memukuli saudara-saudari lainnya dengan cara yang sama. Setelah satu putaran, dia kembali menginterogasiku dan menyuruhku tanda tangan. Kubilang tidak mau, jadi dia kembali menamparku. Dia menginterogasi kami seperti ini selama hampir satu jam, menekan masing-masing kami sekitar empat kali. Selama tiga malam berturut-turut, mereka memukuli dan menendangi kami, atau menyiksa kami dengan cairan cabai, cairan moster, dan pentungan listrik untuk memaksa kami menyangkal dan mengkhianati Tuhan, setiap kali selama hampir satu jam. Seluruh kakiku disetrum sampai akhirnya dipenuhi keropeng hitam. Setelah beberapa waktu, kakiku menjadi gatal tak tertahankan, dan aku harus menggaruk sekeras mungkin sampai berdarah agar merasa lebih baik. Indoktrinasi, yang berlangsung selama lebih dari sepuluh jam setiap hari, membuatku sangat gelisah. Entah pertanyaan apa yang akan mereka gunakan untuk mengganggu dan menyiksa kami selanjutnya. Pada waktu itu, setiap kali kudengar perintah Lang yang lantang, "Penjaga, ambil pentungannya, setrum mereka!" Aku sangat terkejut. Saat kulihat polisi menghampiri kami dengan pentungan listrik yang berkedap-kedip dengan cahaya biru, tubuhku gemetar tak terkendali.

Aku teringat suatu hari, seorang saudari tidak menjawab salah satu pertanyaan Lang seperti yang diinginkannya, dia menjadi marah dan berkata, "Kau berani menentangku?! Berlutut!" Saudari itu tidak berlutut, jadi Lang dan beberapa petugas polisi menyeretnya ke area yang tak terpantau sembari menendangnya. Setelah beberapa waktu, kami mendengar teriakannya yang menyayat hati. Kira-kira sepuluh menit kemudian, dia dibawa kembali dengan tubuh berlumuran tanah dan rambut acak-acakan. Sekali lagi, Lang berusaha menakut-nakuti dan mengancam saudari itu agar berlutut di hadapannya, lalu menendangnya hingga terjungkal ke tanah dan meletakkan kantong plastik hitam di atas kepalanya. Dia menyemprotkan cairan cabai ke dalamnya, membuat saudari itu menggoyang-goyangkan kepalanya, meronta, dan terbatuk-batuk. Mereka membiarkan kantong plastik itu di atas kepalanya selama sekitar dua menit sebelum melepasnya. Akhirnya, saudari itu terpaksa berlutut di hadapan mereka. Aku sangat marah ketika melihat kekejaman yang dilakukan Lang terhadapnya. Aku benar-benar ingin melawan mereka, tetapi aku tahu bahwa dengan melakukan ini, aku bukan saja tidak dapat membantu saudari itu, tetapi kami semua pasti dipukuli dan disiksa lebih parah lagi. Malam itu, aku tidak tidur. Pikiranku dipenuhi dengan semua bayangan polisi menyiksa orang-orang yang kulihat selama beberapa hari terakhir. Aku merasa tertekan dan sengsara. Aku menyaksikan Partai Komunis menyebarkan segala macam kekeliruan untuk menyangkal dan mengutuk Tuhan, tetapi aku tidak berani menyanggah mereka dan sering mengalami hukuman dan pemukulan. Aku benar-benar tidak tahu apakah aku mampu tetap teguh jika ini terus berlanjut. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, "Tuhan! Menghadapi situasi mengerikan seperti ini benar-benar menakutkanku. Aku takut akan tiba saatnya aku benar-benar tak sanggup lagi menanggungnya. Aku tidak punya banyak dari firman-Mu yang telah kuhafalkan. Apa yang akan kulakukan jika aku dijatuhi hukuman selama tujuh atau delapan tahun, dan aku tidak memiliki firman-Mu untuk membimbingku? Jika polisi menyiksaku sampai aku mati, bagaimana aku dapat menahan rasa sakitnya? ... Ya Tuhan, ada sangat banyak hal yang tidak kuketahui dan ada sangat banyak ketakutan di hatiku, Aku tidak tahu apakah aku akan mampu tetap kuat. Tuhan, kumohon cerahkanlah aku dan bimbinglah aku, berilah aku iman untuk menang atas siksaan setan-setan ini." Dengan cara inilah aku mencari dan berdoa, dan menghadapinya hari demi hari. Saat aku merenungkan dan memikirkannya, sebuah kalimat firman Tuhan muncul dengan jelas di benakku: "Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Setelah merenungkan firman Tuhan berulang kali, hatiku dicerahkan. Aku memiliki Tuhan yang menyokongku. Meskipun aku berada dalam situasi berbahaya dan menghadapi ancaman dan pemukulan oleh polisi setiap hari, Tuhan selalu besertaku sebagai penyokongku. Karena situasi ini telah menimpaku, ini adalah sesuatu yang harus kualami, dan sesuatu yang mampu untuk kutanggung. Hanya saja, aku tidak memiliki iman yang sejati kepada Tuhan, jadi ketika kulihat betapa biadab dan kejamnya polisi, aku menjadi takut dan tanpa sadar jatuh ke dalam pencobaan Iblis. Situasi ini terjadi atas seizin Tuhan dan dalam kedaulatan Tuhan. Bukankah para petugas polisi ini juga berada di tangan Tuhan? Tuhan tahu siksaan seperti apa yang mampu kutanggung, jadi aku hanya harus sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan dan percaya bahwa Tuhan akan memberiku iman dan kekuatan serta membimbingku dalam mengatasi penganiayaan polisi. Begitu menyadari hal ini, aku merasakan kelegaan yang luar biasa, dan memiliki iman untuk menghadapi situasi ini. Aku tak dapat menahan dorongan untuk menyanyikan lagu pujian "Kesaksian Hidup" bagi diriku sendiri, "Jika satu hari aku menjadi martir dan tak lagi dapat bersaksi bagi Tuhan, injil kerajaan akan tetap tersebar bagai api oleh orang-orang kudus yang tak terhitung banyaknya. Walau aku tidak tahu seberapa jauh aku dapat menjalani jalan bergelombang ini, aku akan tetap bersaksi bagi Tuhan dan mempersembahkan hati yang mengasihi Tuhan. Yang kukehendaki hanyalah melakukan kehendak Tuhan dan bersaksi tentang penampakan dan pekerjaan Kristus. Suatu kehormatan bagiku untuk mendedikasikan diriku untuk memberitakan dan bersaksi bagi Kristus. Tak gentar oleh kesulitan, bagai emas murni yang ditempa di perapian, dari pengaruh Iblis, muncul sekelompok laskar pemenang. Firman Tuhan tersebar ke seluruh dunia, terang telah muncul di antara manusia. Kerajaan Kristus bangkit dan didirikan dalam kesulitan. Kegelapan akan segera berlalu, fajar kebenaran telah datang. Waktu dan realitas telah melahirkan kesaksian bagi Tuhan" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Makin aku bernyanyi, makin aku merasa termotivasi. Aku merasa sungguh merupakan kehormatan besar dan berkat terbesar dalam hidupku karena dapat menyambut kedatangan Tuhan kembali pada akhir zaman, mendengarkan suara Tuhan, mengikuti Kristus akhir zaman, memberitakan Injil, dan memenuhi tugasku. Sekarang aku disiksa oleh Partai Komunis, tetapi aku disiksa demi kebenaran, jadi penderitaan ini bermakna. Penganiayaan macam apa pun yang kuhadapi, aku sepenuhnya mau mengandalkan Tuhan agar berdiri teguh menjadi kesaksian, dan tidak menyerah kepada Iblis. Hari-hari selanjutnya, ketika menghadapi ancaman dan pemukulan oleh polisi, aku tidak terlalu takut. Aku sering menyanyikan lagu pujian untuk diriku sendiri dalam hati dan senyuman mengembang di wajahku. Suatu kali, seorang petugas polisi berkata dengan bingung, "Kita memukulinya setiap hari. Bagaimana dia masih bisa tersenyum?" Kupikir, "Kau tidak percaya kepada Tuhan, jadi kau tak akan pernah bisa merasakan sukacita dan damai sejahtera yang berasal dari Tuhan."

Suatu malam, Lang meminta polisi membawa kami keluar untuk menandatangani surat penolakan. Tujuan mereka mencuci otak dan menyiksa kami adalah untuk memaksa kami menandatangani "Tiga Surat" agar kami mengkhianati Tuhan dan masuk neraka untuk dihukum bersama mereka. Aku sadar aku tak akan lolos dari siksaan malam itu. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Bagaimanapun cara polisi menyiksaku, aku mau berdiri teguh menjadi kesaksian dan memuaskan-Mu." Ketika seorang petugas polisi melihatku tidak menulis apa pun dalam waktu yang begitu lama, dia menendang kakiku dengan keras. Lang mendekat, mencengkeram kerah bajuku, menarikku ke atas, dan menamparku dengan keras, membuat wajahku terasa nyeri oleh rasa sakit. Kemudian, dia menendangku lagi hingga aku terlempar ke dasar dinding. Rasa sakitnya tak tertahankan sehingga aku mendekap perutku dan tidak sanggup berdiri sesaat lamanya. Dia menyuruhku berdiri. Tepat ketika aku berdiri sambil bersandar ke dinding, seorang petugas polisi kembali menendangku, dan aku roboh ke arah samping. Para petugas polisi lainnya bergegas mendekat, ada yang menyetrum kakiku dengan pentungan listrik, ada yang menampar wajahku, dan ada pula yang menendangi perut, pinggang, dan kakiku, sehingga aku berguling-guling di lantai. Pemukulan itu berlanjut selama sekitar setengah jam, dan aku tak bisa menahan diri untuk berteriak ketika rasa sakit menjalar ke sekujur tubuhku. Rasanya seperti batu besar yang berat menekan tubuhku dan mencekikku. Kemudian, Lang mencengkeram kerah bajuku dan menekanku ke kursi, menjambak rambutku, dan menyentakkan kepalaku ke sandaran kursi sehingga aku mendongak. Dengan nada bicara mengancam, dia bertanya, "Mau tulis?" Aku diam saja. Dia sangat marah sehingga meraih tanganku dan menekannya ke meja, lalu menyuruh seorang polisi pria menyetrum tanganku. Aku menekuk jari-jariku dan memutar pergelangan tanganku sembari meronta sekuat tenaga agar petugas polisi pria itu tidak tahu bagaimana harus menyetrumku. Kami terhenti sejenak, sampai Lang berkata, "Sudah, nanti kau malah akan menyetrumku." Lalu dia melepaskan tanganku. Beberapa saat kemudian, Lang melambaikan setumpuk kertas di depanku dan berkata, "Mereka semua sudah tanda tangan. Tinggal kau satu-satunya yang belum!" Ketika mendengar ini, aku merasakan kesepian dan ketandusan yang tak terlukiskan. Ada begitu banyak saudari yang menderita bersama-sama, tetapi tiba-tiba, dalam sekejap mata, aku ditinggalkan sendirian, dan entah bagaimana polisi berencana menyiksaku, jadi aku berseru kepada Tuhan dalam hati. Melihatku diam saja, Lang menghardikku, katanya, "Kau tangguh ya? Kau satu-satunya pengecualian? Pukuli dia!" Setelah itu, polisi kembali menendang dan memukuliku. Sekitar sepuluh menit kemudian, Lang berkata pentungan listrik itu terlalu kecil dan memerintahkan bawahannya untuk mengambil yang lebih besar. Berpikir bahwa aku harus menanggung siksaan yang lebih berat, aku merasakan kesedihan yang tak terlukiskan. Pikiranku dipenuhi dengan gambaran segala macam alat penyiksaan yang digunakan oleh polisi. Aku tidak tahu apakah aku sanggup menahan siksaan itu. Mau tak mau aku merasa cemas, dan aku ingin keluar dari situasi itu. Namun, aku juga tahu betapa Tuhan berharap kita mampu mengalahkan kekuatan gelas Iblis dan tetap teguh dalam kesaksian kita. Aku tak ingin menjadi pembelot, tetapi dagingku lemah; aku takut aku tak akan mampu tetap kuat dalam kesaksianku. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku tahu pada saat inilah aku harus menjadi kesaksian dan tidak boleh menyerah, tetapi aku dilanda kepanikan. Aku takut tak akan sanggup melewati malam ini, dan tak mampu menang atas intimidasi dan siksaan si naga merah yang sangat besar, dan aku takut akan melakukan sesuatu yang mengkhianati-Mu. Jikalau mungkin, kumohon Engkau mempersiapkan kesempatan yang tepat bagiku agar kutemukan damai di dalam hatiku, agar aku tenang dan bersandar pada-Mu untuk melewati apa pun yang akan kualami selanjutnya." Setelah aku berdoa, Lang membawaku ke sebuah ruangan besar. Seorang petugas polisi mendudukkanku ke kursi dan menekan kepalaku ke atas meja, sementara petugas polisi lainnya memegang lengan, tangan, dan kakiku, membuatku tidak bisa bergerak. Segera setelah aku meronta, mereka menyetrum kakiku dengan pentungan listrik. Seorang petugas polisi mencengkeram tanganku dan memaksaku menulis surat penolakan. Aku sangat marah, dan berpikir, "Kau memaksaku menulis surat penolakan, tetapi ini bukan berarti aku mengkhianati Tuhan. Aku percaya Tuhan melihat segalanya."

Aku terjaga sepanjang malam dan terus bertanya-tanya bagaimana aku harus melewati situasi ini. Aku teringat firman Tuhan: "Ketika orang belum diselamatkan, hidup mereka sering diganggu, dan bahkan dikendalikan, oleh Iblis. Dengan kata lain, orang yang belum diselamatkan adalah tawanan Iblis, mereka tidak memiliki kebebasan, mereka belum dilepaskan oleh Iblis, mereka tidak layak atau berhak untuk menyembah Tuhan, dan mereka dikejar dengan gigih dan diserang secara kejam oleh Iblis. Orang-orang semacam itu tidak memiliki kebahagiaan untuk ditunjukkan, mereka tidak memiliki hak keberadaan yang normal untuk ditunjukkan, dan bahkan mereka tidak memiliki martabat untuk ditunjukkan. Hanya jika engkau berjuang dan berperang melawan Iblis, menggunakan imanmu kepada Tuhan serta ketundukanmu, dan rasa takutmu akan Tuhan sebagai senjata yang digunakan dalam pertarungan hidup dan mati melawan Iblis, sehingga engkau akan mengalahkan Iblis sepenuhnya dan membuatnya lari terbirit-birit dan menjadi ketakutan kapan pun dia melihatmu, sehingga dia menghentikan serangan dan tuduhannya terhadapmu—baru setelah itulah engkau akan diselamatkan dan menjadi bebas. Jika engkau bertekad untuk benar-benar putus dengan Iblis, tetapi tidak diperlengkapi dengan senjata yang akan membantumu mengalahkan Iblis, maka engkau akan tetap berada dalam bahaya. Seiring berjalannya waktu, ketika engkau begitu tersiksa oleh Iblis sehingga engkau tidak memiliki kekuatan lagi dalam dirimu, juga engkau tetap tidak mampu menjadi kesaksian, masih belum sepenuhnya membebaskan dirimu dari tuduhan dan serangan Iblis terhadapmu, maka engkau memiliki harapan yang sedikit untuk memperoleh penyelamatan. Pada akhirnya, saat akhir pekerjaan Tuhan dikumandangkan, engkau akan tetap berada dalam cengkeraman Iblis, tidak mampu membebaskan dirimu, dan dengan demikian engkau tidak akan pernah memiliki kesempatan atau harapan. Maka, implikasinya adalah orang tersebut akan sepenuhnya berada dalam penawanan Iblis" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Kusadari bahwa meskipun aku sudah bertekad mempertaruhkan nyawaku demi memuaskan Tuhan, ketika diperhadapkan dengan aniaya dan siksaan, aku menjadi khawatir dengan dagingku dan selalu ingin melarikan diri. Iblis memanfaatkan kelemahanku untuk memburu dan menyerangku tanpa ampun. Aku secara paksa diindoktrinasi, disiksa, dan dipaksa menandatangani "Tiga Surat" untuk mengkhianati Tuhan. Ini adalah peperangan sengit antara hidup dan mati. Jika aku ingin terus percaya dan mengikut Tuhan, aku harus mengandalkan Dia, memiliki iman kepada-Nya, dan mengalahkan pencobaan Iblis dengan mengandalkan firman Tuhan. Setelah aku memahami kehendak Tuhan, aku memiliki iman untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ketika memikirkan tentang bagaimana beberapa saudara-saudari tidak tahan dengan siksaan dan menandatangani "Tiga Surat" itu, aku cukup terkejut dan merasa sulit menerimanya sesaat lamanya. Aku merenungkan firman Tuhan: "Sekarang, Aku hanya melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tugas-Ku; Aku akan mengikat seluruh gandum itu menjadi berkas-berkas, bersama dengan semua lalang itu. Inilah pekerjaan-Ku sekarang. Lalang-lalang ini akan ditampi pada waktu penampian-Ku, lalu bulir-bulir gandum akan dikumpulkan ke dalam lumbung, dan lalang-lalang yang telah ditampi itu akan ditempatkan di dalam api untuk dibakar sampai menjadi debu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apa yang Kauketahui tentang Iman?"). Pada akhir zaman, Tuhan memakai penganiayaan si naga merah yang sangat besar untuk menyingkapkan semua jenis orang. Tuhan memakai penangkapan dan penganiayaan Partai Komunis untuk menyingkapkan orang percaya sejati, orang percaya palsu, para pengecut, mereka yang mengikuti orang banyak secara membabi buta, dan kaum oportunis yang berharap mendapatkan berkat. Mereka yang tidak mengejar kebenaran dan hanya berusaha mengenyangkan perut mereka akan disingkapkan dan disingkirkan, sementara mereka yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan mencintai kebenaran akan diselamatkan dan disempurnakan oleh Tuhan. Ini adalah perwujudan dari watak benar Tuhan. Ketika ditangkap, mereka yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan mencintai kebenaran akan selalu berdoa kepada-Nya, mencari kebenaran, mendapatkan pengenalan akan Tuhan, memiliki iman yang sejati, rela menyerahkan nyawa mereka demi mengikuti Tuhan, dan memiliki kesaksian mengalahkan Iblis. Mereka yang tidak mengejar kebenaran dan hanya berusaha mengenyangkan perut mereka akan mengkhianati Tuhan karena penderitaan sekecil apa pun dan tidak lagi percaya. Mereka tentu saja akan disingkapkan dan disingkirkan. Dalam situasi itu, setiap orang harus menyatakan pendiriannya, setiap orang harus melewati siksaan, dan tak seorang pun bisa melarikan diri. Sebagaimana firman Tuhan katakana: "Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus melewatinya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Tuhan memakai pekerjaan si naga merah yang sangat besar untuk menyingkapkan dan menyempurnakan orang. Bekerja dengan cara ini sangatlah bijaksana! Walaupun orang lain menandatangani "Tiga Surat" dan mundur dengan penuh rasa takut, aku tak boleh membiarkan mereka memengaruhiku dan mengikuti arus. Jika aku memedulikan dagingku dan takut menderita, pada akhirnya aku pun pasti jatuh. Dalam hati aku bertekad bahwa meskipun aku dipukuli sampai mati oleh polisi, itu akan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan di dunia ini setelah mengkhianati Tuhan. Apa pun keadaan yang kuhadapi esok hari, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan. Belakangan aku mengetahui bahwa beberapa saudari juga dipaksa oleh polisi untuk menandatangani surat penolakan. Untuk memaksa orang mengkhianati Tuhan, petugas polisi ini menggunakan segala macam tipu daya yang hina dan jahat. Mereka sangat jahat dan kejam!

Keesokan harinya, aku berada di kelas ketika Lang tiba-tiba memanggilku. Begitu keluar, kulihat ayahku dan dua orang kader dari desaku. Ketika melihatku, ayah memelukku dan menangis, katanya, "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" Saat kulihat rambut putih ayahku di pelipisnya dan kelelahan di wajah tuanya, kepahitan mencengkeram hatiku dan air mataku berlinang. Kemudian, Lang membawakan pena dan kertas dan memintaku menulis ulang surat penolakan. Kusadari polisi menggunakan emosiku untuk memaksaku menyangkal dan mengkhianati Tuhan, jadi aku menolak. Salah seorang kader desa memarahiku, berkata, "Sejak kapan polisi memohon agar kau menulis surat penyesalan? Meskipun mereka menyuruhmu menulisnya sepuluh kali, kau harus melakukannya." Lang menimpali, "Ya, tulis sepuluh kali!" Pada saat itu, Huang, orang yang menjalankan kelas kami, juga mendekat dan berkata dengan ekspresi sok suci, "Jangan takut. Kuatkan dirimu dan tulis suratnya." Aku sangat muak ketika mendengar ucapannya. Ketika melihatku mengabaikannya, dia menunjuk ke arahku seraya berteriak, "Kau tidak bisa pergi jika kau tidak menulisnya, jadi cepatlah!" Ayahku menangis ketika berusaha membujukku, "Tolong, tulis saja. Kami tidak bisa pulang sampai kau menulisnya. Tahukah kau seberapa sering aku harus pergi ke sana kemari dan berapa banyak orang yang harus kucari untuk menemukanmu? Kau harus menulis surat itu. Kau tak boleh masuk penjara!" Lang juga berkata dengan marah, "Puluhan lebih orang sudah tanda tangan, dan hanya kau yang tersisa. Apa kau akan tetap keras kepala?" Kader desa itu juga berusaha membujukku, "Ini gampang. Tulis saja beberapa kata, dan kita akan pulang bersama-sama. Jika kau tidak menulis surat itu, kartu keluargamu akan dicabut dari desa. Kau akan dianggap tidak ada, dan tidak akan pernah diizinkan lagi untuk kembali ke desa." Semua orang di ruangan itu mulai mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Ayahku membisikkan beberapa kata bujukan yang cemas kepadaku, "Tulis saja, kau tidak harus bersungguh-sungguh. Mari kita pergi dari sini terlebih dahulu. Kau dapat menganut keyakinanmu secara diam-diam nanti jika kau mau. Mengapa kau begitu keras kepala?" Kupikir dalam hatiku, "Siapa yang tidak mau meninggalkan tempat setan ini? Namun, aku tak bisa menulis asal-asalan dan pergi begitu saja. Menandatangani 'Tiga Surat' adalah sesuatu yang mengkhianati Tuhan dan menyinggung watak-Nya." Namun, diperhadapkan dengan permintaan dan bujukan ayahku yang berulang-ulang, aku bingung. Pikirku, "Apakah Tuhan mengatur situasi ini sehingga aku mengambil kesempatan ini untuk pergi?" Aku terus-menerus berdoa dalam hati kepada Tuhan untuk menanyakan, "Tuhan! Apa kehendak-Mu?" Pada saat itu, tiba-tiba kusadari bahwa harga untuk pergi dari tempat ini adalah menandatangani sebuah surat yang menyangkal dan mengkhianati Tuhan. Aku tak boleh melakukan apa pun yang mengkhianati Tuhan. Aku juga teringat tentang bagaimana banyak orang-orang kudus di sepanjang zaman lebih memilih dipenjara dan disiksa sampai mati daripada mengkhianati Tuhan. Alasan mengapa aku sangat bingung dalam situasi ini adalah karena aku terlalu mencintai daging, tidak mau menderita dan membayar harga. Berkat bimbingan Tuhan, aku sangat tenang pada waktu itu. Aku teringat firman Tuhan: "Dalam setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan di dalam diri manusia, di luarnya pekerjaan itu terlihat seperti interaksi antara manusia, seolah-olah itu lahir karena pengaturan manusia atau dari gangguan manusia. Namun di balik layar, setiap langkah pekerjaan, dan semua yang terjadi, adalah pertaruhan yang Iblis buat di hadapan Tuhan, dan menuntut orang-orang untuk berdiri teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Pada saat ini, aku memahami lebih jelas lagi bahwa perkataan mereka adalah tipu muslihat dan pencobaan Iblis. Semua itu adalah ujian bagiku, dan inilah saatnya aku harus menjadi kesaksiaan bagi Tuhan. Ayahku telah ditipu oleh Partai Komunis agar berdiri di pihak Iblis untuk mengacaukan pikiranku dan menggoyahkan tekadku. Aku tak boleh melakukan sesuatu yang mengkhianati dan menghujat Tuhan demi mencari kenyamanan sementara, terlebih lagi, aku tak boleh dikendalikan oleh emosiku dan jatuh ke dalam tipu muslihat Iblis. Setelah beberapa waktu berlalu, Lang melihat aku tidak sedang menulis surat itu, jadi dia menyuruh polisi membawaku kembali ke kelas. Beberapa hari kemudian, mereka membawa kembali ayah dan pamanku untuk membujukku, dan mereka juga menyuruh ayahku menangis dan menyusahkanku, serta mengungkapkan kekacauan emosinya di depanku, tetapi pada akhirnya, siasat mereka tidak berhasil. Melihat ekspresi kekecewaan Lang, aku merasakan damai sejahtera setelah mengandalkan Tuhan untuk mengalahkan pencobaan Iblis.

Untuk memaksa kami menandatangani "Tiga Surat" itu, polisi juga menggunakan cara yang keji dan cabul. Suatu malam sekitar tengah malam, aku dan Saudari Jiang Xinming dipaksa berdiri mematung di halaman sebagai hukuman. Kemudian, beberapa petugas polisi membawa kami kembali ke kelas. Lang menyuruhku dan Xinming menanggalkan pakaian kami. Pikirku, "Mungkin dia mengira kami berpakaian terlalu hangat," jadi aku dan saudari itu melepas jaket kami. Di luar dugaan, baik Lang maupun polisi itu tertawa. Kemudian, Lang menyuruh Xinming melepas celananya, tetapi dia menolak. Seorang petugas polisi bergegas mendekat dan melorotkan celananya ke bawah hingga merosot ke lututnya. Xinming menariknya kembali, dan kemudian polisi itu mendekat untuk menanggalkan pakaianku. Aku meronta sambil memegangi pakaianku, jadi Lang memberi isyarat kepada petugas polisi pria lain agar datang dan membantu menurunkan celanaku. Pada saat ini, seorang bermarga Yang masuk dengan membawa sebuah botol berisi beberapa laba-laba besar berwarna cokelat dengan kaki panjang dan ramping yang merayap dengan cepat di dalam botol tersebut. Orang bermarga Yang ini mengambil botol berisi laba-laba itu, melambaikannya di depan kami dan berkata, "Apa kalian ingin memakannya?" Sembari berbicara, Yang berusaha mengeluarkan laba-laba itu dan meletakkan botol itu di depan mulut kami. Aku merasa jijik, jadi kupalingkan kepalaku dan secara refleks melangkah mundur. Semua petugas polisi tertawa. Lang berkata, "Letakkan laba-laba di selangkangan mereka, atau mungkin di dada mereka, atau mungkin di mulut mereka." Aku dipenuhi dengan kemarahan, kebencian, dan ketakutan. Apa yang akan kulakukan jika mereka benar-benar memasukkan laba-laba itu ke dalam celanaku? Pada saat itu, tiba-tiba aku sadar bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, termasuk laba-laba. Tanpa seizin Tuhan, laba-laba itu tak bisa berbuat apa pun terhadapku. Kesadaran ini muncul dengan jelas di benakku, dan bagaimanapun cara polisi mempermalukan dan menganiayaku hari itu, aku tidak akan menyerah pada Iblis. Orang bermarga Yang itu terus berusaha menarik laba-laba itu keluar dari botol, tetapi dia tak bisa mengeluarkannya. Ketika akhirnya dia berhasil mengeluarkannya, sebelum dia bisa membawanya ke arah kami, laba-laba itu jatuh ke lantai. Setelah beberapa saat, Lang menyuruhnya berhenti. Aku tahu ini perlindungan Tuhan bagi kami. Aku sadar bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Sebagaimana Tuhan berfirman: "Setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Kemudian, polisi datang untuk kembali menanggalkan pakaian kami, sampai aku hanya mengenakan celana dalamku yang panjang. Lang menggertakkan gigi dan berkata, "Lepaskan! Tanggalkan saja!" Aku meronta sekuat tenaga. Memikirkan dalam keadaan telanjang dan dilihat, diejek, dan dihina oleh mereka membuatku merasa malu. Makin kupikirkan, makin itu membuatku tidak nyaman. Pada saat itu, tiba-tiba aku menyadari pemikiran seperti ini membuatku rentan terhadap tipu muslihat Iblis. Polisi yang menanggalkan pakaian kami hanya membuktikan betapa jahatnya mereka. Untuk memaksa orang mengkhianati Tuhan, mereka siap melakukan apa pun yang kejam dan jahat. Aku dihina dan dianiaya karena percaya kepada Tuhan. Ini adalah hal yang mulia, dan tidak perlu merasa malu. Gambaran Tuhan Yesus yang disalibkan demi penebusan umat manusia muncul di benakku. Tuhan adalah Tuhan yang mahatinggi dan kudus, tetapi Dia dengan diam menanggung penghinaan ini demi menebus umat manusia. Tuhan telah membayar begitu banyak bagi umat manusia, dan aku terinspirasi, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, sebesar apa pun mereka mempermalukanku atau penderitaan apa pun yang kutanggung hari ini, aku tidak akan pernah mengkhianatimu." Aku menatap petugas polisi itu dengan marah. Dia tampak merasa bersalah, dan membiarkan kami mengenakan pakaian dan pergi dari situ. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku karena Dia telah memimpin kami dalam mengalahkan pencobaan Iblis lainnya. Hari itu, Lang mengancamku, katanya, "Sekarang hanya kau yang belum tanda tangan. Semua orang tahu apa yang terbaik bagi diri mereka, tapi kau tidak. Jika kau tidak tanda tangan, kaulah yang akan jadi kambing hitamnya!" Aku mengabaikannya. Dia berkata dengan frustrasi, "Baiklah, atas nama Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, kau menang! Kau menang! Selamat!" Dia melirikku, berdiri, dan berjalan keluar dari ruangan dengan putus asa. Melihat penghinaan dan kegagalan Iblis, aku sangat bersyukur kepada Tuhan, aku tahu bahwa firman Tuhan dan kekuatan yang Tuhan berikan kepadaku yang memberiku iman untuk sampai ke tempatku berada sekarang, dan aku memuliakan Tuhan dalam hatiku!

Suatu hari, Lang berbicara kepadaku sepanjang pagi, dan pada sore hari, semua orang di pusat indoktrinasi yang bertanggung jawab mencuci otakku secara bergiliran membujukku untuk menandatangani "Tiga Surat" itu. Mereka berkata, "Jika kau tanda tangan sekarang, kau masih punya kesempatan untuk pergi, tetapi kau tak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi setelah hari ini. Kau akan dihukum delapan sampai sepuluh tahun penjara. Berapa umurmu saat bebas?" Kudengarkan bujukan mereka yang menggiurkan, tetapi aku tak peduli. Aku hanya merasa mereka bodoh dan bebal, dan bujukan mereka sia-sia. Aku teringat bagaimana, selama indoktrinasi dan siksaanku, Tuhan selalu besertaku di hatiku, menuntunku, jadi apa yang harus kukhawatirkan? Tentang berapa tahun lamanya hukumanku dan berapa besarnya penderitaanku kelak, semua ini atas seizin Tuhan. Walaupun aku harus menanggung kesukaran dan penderitaan yang berkepanjangan di hari-hari mendatang, aku bersedia menaati pengaturan dan penataan Tuhan, serta berdiri teguh menjadi kesaksian bagi Tuhan. Menjelang senja, ayahku tiba-tiba datang. Dia bernegosiasi dengan Lang cukup lama, dan akhirnya membayar jaminan sebesar 5.000 yuan, di mana setelah itu mereka membebaskanku. Belakangan, aku mengetahui bahwa seorang teman ayahku telah dipindahkan untuk bekerja di sana selama pendidikan indoktrinasi, jadi ayahku memiliki kesempatan membayar sejumlah uang untuk mengeluarkanku. Aku tahu ini adalah salah satu pengaturan Tuhan yang ajaib. Kalau tidak, bagaimana mungkin polisi bisa dengan mudah membebaskan seseorang yang tidak mau menandatangani "Tiga Surat"?

Setelah menjalani penganiayaan dan kesengsaraan ini, aku benar-benar melihat hikmat dari pekerjaan Tuhan. Tuhan memakai penganiayaan si naga merah yang sangat besar untuk membantuku memahami kebenaran dan mendapatkan kearifan, serta menyempurnakan imanku. Walaupun aku berada dalam situasi berbahaya dan menghadapi ancaman, intimidasi, indoktrinasi paksa, dan siksaan setiap hari oleh polisi, Tuhan menyertaiku, mencerahkan dan menuntunku dengan firman-Nya, memampukanku mengalahkan pencobaan Iblis dan berdiri teguh menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku juga benar-benar melihat wajah jahat dan buruk Partai Komunis dan esensi jahatnya dalam menentang dan membenci Tuhan, dan aku dapat membenci dan meninggalkan mereka dari lubuk hatiku. Selain itu, aku juga benar-benar mengalami otoritas dan kuasa firman Tuhan, dan melihat bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, Dia mengendalikan segalanya, dan betapapun ganasnya Iblis, dia hanyalah alat untuk pelayanan Tuhan. Sebanyak apa pun bahaya dan kesengsaraan yang kuhadapi di kemudian hari, aku akan mengikut Tuhan sampai akhir!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait