Disiksa Karena Mengirim Buku

28 Januari 2025

Oleh Saudara Guo Qiang, Tiongkok

Aku sedang mengemudi saat larut malam di musim dingin tahun 2015, dalam perjalananku mengirimkan buku-buku firman Tuhan. Di tikungan jalan pegunungan, kulihat di kejauhan, polisi sedang memeriksa kendaraan, dan ada tiga mobil polisi di samping mereka. Jantungku berdegup kencang: "Oh tidak! Aku membawa lebih dari seratus buku di truk ini. Jika polisi menemukannya, tamatlah riwayatku." Namun, lampu depan truk terlihat sangat jelas di malam hari, jadi jika aku berhenti dan berbalik pada saat itu, polisi pasti akan datang untuk memeriksaku. Saat itu kebetulan juga sedang turun salju; jalan pegunungan itu licin dan sempit sehingga sangat sulit untuk membalikkan kendaraan—aku tak punya pilihan selain terus maju. Merasa sangat gugup, aku segera berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia menjaga hatiku dan membantuku tenang. Terpikir olehku, bahwa aku juga membawa ponsel yang digunakan untuk menghubungi saudara-saudari, jadi aku segera memperlambat trukku, menghancurkan ponsel dan kartu SIM-ku, lalu membuangnya lewat jendela. Sesampainya di tempat polisi itu, salah seorang dari mereka bertanya apa yang kubawa di dalam truk. Aku berkata, "Kentang." Tepat pada saat itu, dua petugas lain berjalan mendekat dan menaiki bak truk. Kulihat dari kaca spionku, mereka mengangkat kantong demi kantong kentang itu, menemukan kotak-kotak yang tersembunyi di bawahnya, dan mengeluarkan beberapa buku. Pikiranku mulai berputar-putar, dan kupikir, "Gawat. Kali ini aku ketahuan. Buku-buku firman Tuhan ini sangat penting, sangat berharga bagi kami dalam mengejar kebenaran. Aku harus melindungi buku-buku itu, sekalipun harus mengorbankan nyawaku—aku tak boleh membiarkan buku-buku itu jatuh ke tangan polisi." Jadi kuinjak kopling dan pedal gas, ingin segera melarikan diri dari sana. Namun, karena salju membuat jalan menjadi sangat licin, roda-roda trukku hanya berputar-putar di tempat dan tak bisa bergerak. Tepat pada saat itu, seorang petugas mengambil sesuatu dari mobil polisi, menghantamkannya ke trukku dan memecahkan kaca depannya. Dua petugas yang berdiri di kedua sisi truk meraih pintu dan memecahkan kedua jendela, membuka pintu, dan kemudian mulai memukuliku seperti orang gila dengan pentungan mereka ke kepala dan sekujur tubuhku sambil berusaha menarikku keluar dari truk. Salah seorang dari mereka berhasil masuk dan menendangku keluar sampai terjatuh ke tanah, memborgol kedua tanganku ke kakiku, lalu memukuliku dengan kejam. Karena saat itu musim dingin, semua petugas mengenakan sepatu bot polisi yang sangat kuat dan tebal. Ketika mereka menendangiku, rasanya dagingku seperti tercabik-cabik. Kemudian, mereka memasukkanku ke dalam mobil polisi dengan tangan dan kaki yang masih terborgol, dan menempatkanku di antara kursi depan dan kursi belakang dengan kepala menghadap ke bawah. Rasanya leherku seperti akan patah—aku sangat kesakitan, keringat membanjiri pakaianku.

Aku berada dalam keadaan bingung. Aku tak tahu penyiksaan macam apa yang akan polisi lakukan terhadapku. Akankah mereka memukuliku sampai mati, atau membuatku cacat? Akankah mereka menjebloskanku ke penjara? Apakah aku tak akan pernah lagi bertemu keluargaku? Semakin kupikirkan, semakin aku merasa takut. Saat sedang memikirkan semua ini, tiba-tiba aku sadar bahwa dalam menghadapi penindasan dan kesukaran, satu-satunya yang kupikirkan adalah daging dan keselamatanku sendiri, bukan bagaimana agar tetap teguh dalam kesaksianku untuk memuaskan Tuhan. Aku segera berdoa: "Tuhan, aku takut dipukuli dan dijebloskan ke dalam penjara. Kumohon berilah aku iman. Aku ingin tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Mu." Setelah berdoa, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan.

Ujian Memerlukan Iman

1  Sementara mengalami ujian, normal bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang maksud Tuhan atau jalan penerapan mereka. Namun dalam hal apa pun, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, jangan menyangkal Tuhan. ...

2  ... Iman manusia dibutuhkan ketika sesuatu tidak bisa terlihat oleh mata telanjang, dan imanmu dibutuhkan ketika engkau tidak bisa melepaskan gagasanmu sendiri. Ketika engkau tidak mengerti pekerjaan Tuhan, yang dibutuhkan darimu adalah memiliki iman dan engkau harus bersikap tegas dan tetap teguh dalam kesaksianmu. Ketika Ayub mencapai titik ini, Tuhan menampakkan diri kepadanya dan berbicara kepadanya. Artinya, hanya dari dalam imanmulah, engkau akan bisa melihat Tuhan, dan ketika engkau memiliki iman, Tuhan akan menyempurnakanmu.

—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"

Saat itulah, aku berpikir bahwa aku ingin mengikuti teladan Ayub dan menyerahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan. Meskipun aku telah jatuh ke dalam cengkeraman polisi, tanpa seizin Tuhan, mereka tak bisa mengambil nyawaku. Aku harus memiliki iman kepada Tuhan, dan sebesar apa pun penderitaanku, sekalipun akhirnya aku harus mati, aku harus tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis.

Mereka membawaku ke kantor polisi, di mana dua petugas menyeretku masuk dengan menarik kedua kakiku. Seluruh bagian punggungku menghadap ke lantai dan bobot seluruh tubuhku tertumpu pada borgol, yang menusuk ke dalam daging pergelangan tangan dan kakiku. Rasanya pergelangan tanganku seperti akan patah. Mereka menyeretku ke sebuah ruangan dan melemparkanku dengan kasar seperti karung ke sudut ruangan. Sekujur tubuhku sangat kesakitan, aku berjuang untuk bernapas. Beberapa petugas datang setelah beberapa waktu dan mulai dengan kasar menendangi kepalaku dan menginjak-injak tubuhku, dan seorang petugas berkata dengan marah, "Kau pikir kau hebat ya, berani mengantarkan buku-buku rohani? Mungkin kupukuli saja kau sampai mati!" Selama berjam-jam berikutnya, petugas polisi terus-menerus masuk, memukul dan menendangiku sambil mengumpat. Dengan sepatu bot polisi yang tebal itu, setiap tendangan terasa sangat menyakitkan. Karena tangan dan kakiku diborgol, tak mungkin aku menghindari tendangan mereka—aku terpaksa harus menerimanya. Aku teringat akan firman Tuhan ini: "Engkau harus tahu bahwa sekarang adalah akhir zaman. Setan-setan dan Iblis, seperti singa yang mengaum-aum, berjalan berkeliling mencari manusia untuk ditelannya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 28"). Undang-Undang Tiongkok dengan jelas menjamin kebebasan beragama, dan yang kulakukan hanyalah mengirimkan buku-buku firman Tuhan. Aku tidak melanggar hukum apa pun, tetapi polisi telah menangkapku dan mengancam nyawaku dengan pemukulan mereka. Partai Komunis benar-benar setan yang menentang Tuhan! Mereka memukuliku seperti itu agar aku menjadi Yudas dan mengkhianati Tuhan—aku tak boleh tertipu oleh tipu muslihat Iblis. Sebanyak apa pun aku menderita, aku harus mengandalkan Tuhan, tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan, dan mempermalukan Iblis.

Aku dipukuli sampai aku berada dalam kondisi setengah sadar hampir sepanjang waktu. Aku tidak tahu kapan polisi melepaskan borgolku, tetapi ketika siuman, kulihat tangan kiri dan kaki kiriku diikat bersama-sama, begitu juga dengan tangan kanan dan kaki kananku. Juga ada tali di belakang leherku dan dililitkan ke pahaku beberapa kali. Mereka mengikatku menjadi seperti simpul, menyandarkanku ke sudut ruangan. Sekujur tubuhku terasa sakit, aku harus berjuang keras untuk bernapas, dan kepalaku bengkak dan terasa sakit. Para petugas masih datang dan memukuliku tanpa ampun. Terkadang, dua petugas berdiri di depan dan di belakangku, lalu secara bergantian menendangiku seperti bola. Aku dalam keadaan linglung. Ketika mereka menendangku lebih pelan, aku tak lagi merasakan tendangan itu. Ketika mereka menendangku dengan sangat keras atau di bagian tubuh yang sudah terluka, tubuhku terasa sedikit bergetar, seperti ada aliran listrik yang mengalir melewati tubuhku. Ketika sesekali aku siuman, aku menyadari bahwa setiap bagian tubuhku terasa sakit. Saat terkapar di lantai sedingin es, merasa haus, lapar, dan kesakitan di sekujur tubuhku, aku bertanya-tanya kapan polisi akan mengakhiri pemukulan mereka yang tanpa henti ini. Aku merasa kematian akan lebih baik daripada siksaan itu, karena setidaknya aku tidak harus menderita dengan cara seperti itu. Dalam keadaanku yang linglung dan bingung, sebuah lagu pujian berjudul "Mengikut Kristus Ditentukan oleh Tuhan" tiba-tiba muncul di benakku dengan sangat jelas: "Tuhan telah menetapkan bahwa kita mengikut Kristus dan mengalami ujian dan kesengsaraan. Jika kita benar-benar mengasihi Tuhan, kita harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan-Nya. Mengalami ujian dan kesengsaraan berarti diberkati oleh Tuhan, dan Tuhan berkata bahwa semakin berat jalan yang kita lalui, semakin itu dapat menunjukkan kasih kita. Jalan yang kita tempuh saat ini telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Mengikut Kristus akhir zaman adalah berkat terbesar dari semuanya" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Benar. Seberapa banyak jalan yang harus kita tempuh dan seberapa banyak penderitaan yang harus kita tanggung dalam hidup ini, semuanya itu telah ditentukan dari semula oleh Tuhan—tak seorang pun mampu melepaskan diri darinya. Di luarnya, mengalami penindasan dan kesukaran semacam ini tampaknya seperti hal yang buruk, tetapi sebenarnya, ini bermanfaat bagi pertumbuhanku dalam hidup ini dan dapat membantu menyempurnakan imanku. Aku telah melewati banyak situasi berbahaya sebelumnya, jadi kupikir aku telah memiliki tingkat pertumbuhan dan iman, bahwa aku mampu menderita dan mengorbankan diriku untuk Tuhan. Namun, ketika menghadapi penyiksaan kejam polisi, aku takut dipukuli sampai mati atau cacat, takut dijebloskan ke dalam penjara. Yang kupikirkan hanyalah kepentingan dagingku dan keselamatanku sendiri. Ketika segalanya menjadi terlalu menyakitkan, aku bahkan ingin melepaskan diri darinya lewat kematian. Pada titik ini, aku sadar betapa menyedihkannya imanku, bahwa aku tidak memiliki tingkat pertumbuhan yang sejati dan lebih dari itu, aku tidak memiliki kasih kepada Tuhan. Kesukaran dan penindasan ini juga membuatku tahu dengan lebih jelas natur si naga merah yang sangat besar yang jahat dan kejam. Partai Komunis sesumbar kepada orang luar bahwa mereka menjamin kebebasan beragama, padahal sebenarnya, mereka dengan gila-gilaan menangkap dan menganiaya orang percaya dan memperlakukan mereka seperti musuh. Kita semua diciptakan oleh Tuhan, jadi memiliki iman dan menyembah Tuhan adalah hal yang benar dan wajar, tetapi para petugas polisi ini menangkap orang percaya dan membawa kita ke pintu kematian. Partai Komunis benar-benar setan yang menentang Tuhan! Aku jadi lebih mengenali esensi dari Partai Komunis. Aku teringat akan sesuatu yang Tuhan katakan: "Tuhan dengan berani menghadapi bahaya ribuan kali lebih besar daripada orang-orang pada zaman Kasih Karunia untuk turun ke tempat kediaman si naga merah yang sangat besar demi melakukan pekerjaan-Nya sendiri, mencurahkan seluruh pikiran dan perhatian-Nya, untuk menebus sekelompok orang miskin ini, sekelompok orang yang telah terjerumus ke dalam tumpukan kotoran ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (4)"). Aku telah membaca bagian itu sebelumnya, tetapi tidak memiliki pemahaman yang nyata tentang hal itu. Setelah penangkapan ini, barulah aku secara pribadi menghargai betapa sangat sulitnya bagi Tuhan untuk bekerja di Tiongkok demi menyelamatkan manusia. Jika aku, yang hanyalah orang percaya yang mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasku, telah dianiaya sekejam ini oleh Partai Komunis—akan sekejam apa gerombolan setan ini menganiaya Tuhan yang berinkarnasi? Namun, bahkan di tengah lingkungan yang berbahaya seperti itu, Tuhan tetap terus mengungkapkan kebenaran, berusaha keras untuk menyelamatkan manusia. Kasih-Nya bagi kita begitu besar! Merenungkan kasih Tuhan sangat menyentuh dan membesarkan hatiku. Dalam hati aku bertekad, taktik apa pun yang digunakan si naga merah yang sangat besar untuk menyiksaku, aku akan mengandalkan Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku; jika aku berhasil keluar hidup-hidup suatu hari nanti, aku akan terus mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasku untuk memuaskan-Nya. Aku merasa jauh lebih tenang dengan iman dan kekuatan yang firman Tuhan berikan kepadaku. Imajinasiku tidak lagi menjadi liar, dan sekalipun tubuhku menderita, hatiku merasa tenang.

Setelah beberapa waktu—aku tak tahu berapa lama—seorang petugas datang dan menendangku dua kali untuk melihat apakah aku masih hidup atau tidak. Aku masih terikat dan meringkuk di sudut ruangan, dan bahkan tak mampu mengangkat kepalaku. Yang bisa kulihat hanyalah kakinya. Petugas itu bertanya kepadaku, "Apa kau tahu buku apa yang sedang kaukirim?" Kujawab, "Ya." Kemudian dia bertanya, "Apa kau orang percaya?" Kujawab, "Ya." Setelah itu, dia terus bertanya berulang-ulang untuk mengetahui dari mana buku-buku itu berasal, ke mana aku akan membawanya, bagaimana aku menghubungi yang lainnya, berapa banyak buku yang telah kukirimkan, dan sebagainya. Melihatku tak mau menjawab, dia mendekatiku, menendangku beberapa kali dan berkata, "Sebaiknya kau buka mulut! Katakan semuanya kepada kami dan kami akan membebaskanmu—tak ada lagi pemukulan!" Selama beberapa hari selanjutnya, mereka menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa henti, dan karena tidak mendapatkan jawaban, mereka memukuliku berulang kali. Aku ingat suatu kali ketika mereka menginterogasiku, aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajah mereka. Akibatnya, seorang polisi memukul wajahku, lalu mengambil pentungan polisi yang tergeletak di atas meja dan menggunakannya untuk memukul leherku. Aku langsung pingsan. Aku tak tahu berapa kali aku pingsan selama berhari-hari aku di sana. Mereka tak hanya memukuliku, tetapi juga mempermalukanku, tidak mengizinkanku menggunakan kamar mandi. Suatu kali, aku memanggil mereka untuk memgizinkanku pergi ke kamar mandi, tetapi itu hanya membuatku kembali mendapat serangkaian pukulan. Seorang petugas berkata kepadaku dengan jahat, "Berak saja di celanamu! Kencing saja di celanamu!" Kemudian dia berjalan keluar. Aku tak punya pilihan selain menahan kencingku. Perutku menjadi bengkak dan terasa sakit, dan kemudian menjadi mati rasa sampai-sampai aku tak merasakan apa pun. Aku tidak tahu kapan aku kehilangan kendali atas kandung kemihku—aku hanya merasakan tubuh bagian bawahku menjadi basah dan dingin seperti es. Itu sangat merendahkan, sangat memalukan.

Mereka tidak memberiku makanan sedikit pun setelah menangkapku. Awalnya aku sangat lapar, tetapi kemudian tak punya keinginan untuk makan—yang bisa kurasakan hanyalah rasa sakit dan ketidaknyamanan. Mataku menjadi begitu bengkak sehingga aku tak mampu membukanya, tetapi aku merasakan seseorang membuka mulutku dan menuangkan air dingin ke dalamnya. Aku merasa haus pada awalnya, tetapi setelah beberapa waktu, aku tak mampu menelan air, jadi mereka menuangkan air ke dalam mulutku dengan paksa. Aku sama sekali tak punya tenaga dan ketika kupaksa mataku membuka sedikit, samar-samar aku bisa melihat seorang petugas. Dia memukul dadaku dan membentakku, "Kau mau buka mulut atau tidak?" Aku berkata, "Aku telah mengatakan semua yang harus kukatakan. Kau ingin aku mengatakan apa lagi?" Kemudian, dia mulai memukul dan menendangiku dengan marah. Aku merasa dagingku seperti sedang dicabik-cabik dariku. Setelah memukuliku puluhan kali, dia menendang dadaku—rasanya seperti seseorang telah mencengkeram jantungku, dan itu sangat menyakitkan hingga bernapas pun begitu sulit. Kemudian, dia mencengkeram kerahku, mendorongku ke sudut ruangan, dan memukuliku dengan keras berulang kali di kepala, dada, dan perut. Aku tak tahu berapa kali atau berapa lama dia memukuliku. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Dia makin gila-gilaan memukuliku saat aku berulang kali pingsan lalu siuman, dan sekarang mati rasa karena rasa sakit. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang akan keluar dari perutku dan akhirnya aku tak mampu lagi menahannya, dan itu mulai menyembur keluar dari mulutku. Samar-samar kudengar petugas itu berteriak, "Panggil orang ke sini, dia muntah darah!" Setelah itu, aku pingsan dan tak tahu apa yang telah terjadi. Ketika siuman, aku melihat ada darah di seluruh pakaianku. Aku dalam keadaan linglung dan tak tahu kapan aku pingsan lagi. Ketika kembali siuman, aku sama sekali tak punya tenaga untuk bergerak—rasanya tubuhku akan hancur berkeping-keping. Kupikir aku mungkin tak akan selamat, dan bagiku ini sangat menyedihkan. Tepat pada saat itu, perkataan dari firman Tuhan muncul dengan sangat jelas di benakku. Tuhan berfirman: "Aku adalah penopang dan perisaimu, dan semuanya ada di tangan-Ku" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 9"). Benar. Semuanya ada di tangan Tuhan, dan Tuhan yang memutuskan apakah aku akan hidup atau mati. Aku ingat ketika Ayub diuji, Iblis menyerangnya, membuat sekujur tubuhnya dipenuhi barah yang sangat menyakitkan, tetapi Tuhan tidak mengizinkan Iblis mengambil nyawa Ayub, dan Iblis tak berani melewati batas itu. Aku mengingat kembali hari-hari sejak penangkapanku. Meskipun polisi telah memukuliku tanpa henti dan aku tak tahu berapa kali aku pingsan, aku masih hidup, dan itu sepenuhnya berkat pemeliharaan dan perlindungan Tuhan. Aku benar-benar memahami bahwa hidup dan mati kita sepenuhnya ada di tangan Tuhan, dan jika Dia tidak mengizinkannya, Iblis tak bisa mengambil nyawa kita. Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan, dan dalam hati aku berdoa, "Tuhan, aku siap menyerahkan nyawaku ke dalam tangan-Mu dan tunduk pada kedaulatan dan penataan-Mu."

Selama hari-hari itu, aku berada di antara hidup dan mati. Hal yang paling mengkhawatirkanku ketika menghadapi kemungkinan kematian adalah istri dan anakku. Pada tahun 2012, polisi pergi ke rumahku untuk menangkapku karena kepercayaanku kepada Tuhan, tetapi untungnya, aku sedang tidak di rumah hari itu. Sejak saat itu, aku tak berani pulang ke rumah, dan tiga tahun telah berlalu sejak terakhir aku bertemu dengan mereka. Aku berpikir jika aku mati, aku tak akan pernah bisa lagi bertemu dengan mereka. Sudah bertahun-tahun, aku tak bisa berada di rumah untuk merawat mereka. Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka dan putri kami masih dalam keadaan sakit. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup di masa depan? Pemikiran ini membuatku ingin menangis, tetapi aku bahkan tak punya tenaga untuk menangis. Kemudian, aku teringat sebuah lagu pujian yang sering kunyanyikan, berjudul "Ratapan untuk Dunia yang Suram dan Tragis": "Manusia memiliki tempat berlindung, tetapi Tuhan tidak memiliki tempat untuk menyandarkan kepala-Nya. Berapa banyak yang menawarkan semua yang mereka miliki? Tuhan sudah cukup merasakan dinginnya dunia, dan menanggung semua penderitaan dunia, tetapi sangat sulit bagi-Nya untuk mendapatkan simpati manusia. Tuhan terus-menerus mengkhawatirkan umat manusia, berjalan di antara umat manusia. Siapakah yang menunjukkan perhatian terhadap keselamatan-Nya? Dia bekerja tanpa lelah melewati perubahan musim, menyerahkan segalanya untuk umat manusia. Tidak ada seorang pun yang pernah menunjukkan kepeduliannya terhadap kenyamanan Tuhan. Manusia hanya tahu untuk menuntut kepada Tuhan, tetapi tidak mau berpikir lebih banyak tentang maksud Tuhan. Umat manusia menikmati kebahagiaan rumah tangga, mengapa mereka selalu membuat air mata Tuhan mengalir?" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Lagu ini sangat menyentuhku, dan aku merasa betapa berutangnya diriku kepada Tuhan. Demi keselamatan kita, Tuhan telah menjadi daging dan menampakkan diri dan bekerja di negeri si naga merah yang sangat besar ini. Dia ditindas dan diburu oleh Partai Komunis, ditolak oleh generasi ini dan tak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Tuhan adalah Tuhan atas ciptaan—Dia begitu agung dan mulia, tetapi menanggung penghinaan yang sangat besar demi keselamatan kita, membayar harga yang begitu mahal demi kita. Kasih-Nya bagi umat manusia begitu besar! Aku telah menjadi orang percaya selama bertahun-tahun dan telah menikmati begitu banyak penyiraman dan pembekalan dari firman-Nya, tetapi ketika menghadapi penindasan dan kesukaran, tidak ada tempat bagi Tuhan di hatiku. Aku tidak memikirkan bagaimana agar aku bisa tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis, aku hanya memikirkan daging dan keluargaku. Dengan penderitaan ini, aku bahkan merasa telah diperlakukan tidak adil. Aku sadar bahwa aku sama sekali tidak memikirkan maksud Tuhan, aku sangat egois dan hina. Sebenarnya, kesukaran ini bermanfaat bagi hidupku, itu memungkinkanku untuk melihat kerusakan dan kekuranganku sendiri dan akan membantu imanku kepada Tuhan bertumbuh. Saat merenungkan kasih Tuhan, aku merasa sangat tersentuh dan terdorong, dan aku bertekad akan menjalani hidup ini bagi Tuhan, dan hidup untuk memuaskan Tuhan. Sebanyak apa pun aku harus menderita, sekalipun itu berarti kematianku, aku akan mengandalkan Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya.

Polisi menggunakan taktik keras dan lunak dalam upaya mereka untuk mendapatkan informasi dariku. Aku ingat suatu hari seorang petugas membawakanku mangkuk yang setengahnya berisi nasi, dan setengahnya lagi berisi tomat, dan berkata, "Kau belum makan apa pun selama berhari-hari. Kau telah mengalami semua penderitaan ini dan dipukuli begitu banyak, apa gunanya? Kau menderita bukan karena kau telah membunuh seseorang atau membakar sesuatu. Kau telah mengalami begitu banyak pemukulan—ini tidak sepadan. Kini tubuhmu lebih bau daripada pengemis di jalanan. Katakan saja kepada kami apa yang kauketahui dan kau tak perlu lagi menderita. Kau akan pulang ke rumah dan berkumpul bersama istri dan anakmu." Selanjutnya, dia berkata, "Dari mana kau mendapatkan buku-buku itu? Ke mana kau akan membawanya? Jika kau menjawab salah satu saja dari pertanyaan itu, kami akan segera membebaskanmu." Aku tetap diam, jadi dia menendangku beberapa kali dan berteriak, "Dasar tumpukan daging busuk! Memang kau layak dipukul! Sekarang pun kau nyaris tak mampu bicara dengan jelas tetapi kau tetap diam." Kupikir apa pun yang terjadi, aku sama sekali tak boleh mengkhianati saudara-saudari. Aku tak boleh menjadi Yudas dan mengkhianati Tuhan. Menyadari dirinya tidak berhasil mendapatkan informasi apa pun dariku, dia berbalik dan pergi begitu saja. Tangan dan kakiku telah diikat sepanjang waktu; aku meringkuk di sudut ruangan, menahan penghinaan dan pukulan mereka. Setelah beberapa waktu, aku mulai merasa sangat menderita dan lemah. Aku terluka parah karena dipukuli dan berkali-kali pingsan. Ketika pikiranku jernih, aku selalu berdoa kepada Tuhan dan sering kali mampu mengingat beberapa bagian firman Tuhan. Ada dua bagian firman Tuhan yang meninggalkan kesan mendalam bagiku. Tuhan berfirman: "Jalan yang ditempuh Tuhan dalam memimpin kita bukanlah jalan yang lurus, melainkan jalan berliku yang penuh lubang; lebih lanjut Tuhan mengatakan bahwa semakin berbatu-batu suatu jalan, semakin jalan itu dapat menyingkapkan hati kita yang penuh kasih" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (6)"). "Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Ketika aku merenungkan firman Tuhan, aku merasakan Dia berada di sana bersamaku, membimbingku. Firman Tuhan-lah yang memberiku iman dan kekuatan, memampukanku untuk terus hidup. Aku berdoa dalam hatiku: "Ya Tuhan! Aku masih hidup sepenuhnya berkat pemeliharaan dan perlindunganmu. Aku bersyukur kepada-Mu!"

Keesokan harinya, polisi melihat bahwa aku sudah sekarat, jadi mereka membawaku ke sebuah ruangan, memandikanku dengan air dari selang, lalu membawa selembar kertas untuk kutandatangani. Penglihatanku sangat kabur, dan aku hanya bisa samar-samar membaca sebaris kalimat. Kejahatan yang mereka tuduhkan kepadaku adalah: mengangkut barang selundupan, percaya kepada kultus, dan mengganggu ketertiban sosial. Karena aku tak mau menandatanganinya, seorang petugas meraih tanganku dan memaksaku untuk meninggalkan sidik jari. Setelah beberapa waktu, aku tidak tahu berapa lama, mereka memakaikan penutup kepala di kepalaku, memaksaku masuk ke dalam mobil polisi, membawaku ke suatu tempat, lalu menendangku keluar dari mobil. Pada saat aku berdiri dan melepaskan penutup kepala itu, mobil polisi itu sudah sangat jauh. Aku berjalan beberapa langkah dan kemudian benar-benar tak punya tenaga untuk berjalan lebih jauh. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk di pinggir jalan. Setelah banyak kemalangan, akhirnya aku kembali ke kamar yang aku sewa. Sangat sulit bagiku untuk berjalan, dan ketika masuk ke dalam sebuah mobil, aku harus bergerak sedikit demi sedikit. Jenggotku juga sudah menebal, jadi si sopir mengira aku sudah tua dan menawarkan bantuan kepadaku. Kemudian, ketika aku melihat kalender, aku sadar telah disiksa di kantor polisi itu selama delapan hari. Jika bukan karena perlindungan Tuhan, tak mungkin aku bisa selamat dari penyiksaan itu. Ketika aku kembali ke tempat tinggalku, yang bisa kulakukan hanyalah berbaring di tempat tidur—sekujur tubuhku terasa sakit. Ada bercak kebiruan dan keunguan di sekujur tubuhku yang terasa seperti tumor ketika kusentuh. Tekanan selembut apa pun pada semua benjolan ini terasa sangat menyakitkan. Aku hanya terus terbaring di sana, dan baru pada hari kesepuluh aku bisa bangun dan berjalan, dan baru pada hari kelima belas aku punya tenaga untuk mengambil sebuah buku firman Tuhan untuk kubaca. Awalnya, aku bahkan tak mampu membaca satu halaman penuh karena posisi duduk membuat punggungku sakit, dan aku tak punya tenaga untuk memegang buku ketika aku sedang berbaring. Aku hanya mampu membaca selama tiga atau empat menit setiap kali.

Setelah dibebaskan, aku terus diawasi dan polisi terus menelepon dan menggangguku. Aku ingat suatu kali, ibuku sakit dan aku pulang ke kampung halaman untuk menjenguknya. Akibatnya, keesokan harinya polisi menelepon dan bertanya mengapa aku pulang ke rumah. Memikirkan betapa parahnya lukaku, bahwa aku tak bisa menghubungi saudara-saudari atau melaksanakan tugas apa pun benar-benar berat bagiku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup seperti itu. Tepat ketika aku sedang merasa benar-benar menderita, aku membaca sesuatu dalam firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Mereka yang Tuhan sebut 'para pemenang' adalah mereka yang tetap teguh dalam kesaksian mereka dan mempertahankan keyakinan dan pengabdian mereka kepada Tuhan ketika berada di bawah pengaruh Iblis dan dikepung oleh Iblis, yaitu saat mereka mendapati diri mereka berada di tengah kekuatan kegelapan. Jika engkau tetap mampu menjaga hati yang murni di hadapan Tuhan dan mempertahankan kasih yang tulus kepada Tuhan apa pun yang terjadi, engkau tetap teguh dalam kesaksianmu di hadapan Tuhan, dan inilah yang Tuhan maksudkan sebagai 'pemenang'. ... Mempersembahkan tubuh rohani yang kudus dan perawan suci kepada Tuhan berarti menjaga ketulusan hati di hadapan Tuhan. Bagi umat manusia, ketulusan adalah kemurnian, dan kemampuan untuk bersikap tulus terhadap Tuhan adalah mempertahankan kemurnian. Inilah yang seharusnya engkau lakukan. Saat engkau harus berdoa, berdoalah; saat engkau harus berkumpul bersama dalam persekutuan, lakukanlah itu; saat engkau harus menyanyikan lagu pujian, nyanyikanlah lagu pujian; dan saat engkau harus memberontak melawan daging, berontaklah terhadap daging. Saat engkau melaksanakan tugasmu, jangan engkau kacau dalam melakukannya; saat engkau dihadapkan pada ujian, berdirilah teguh. Inilah pengabdian kepada Tuhan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Sudah Seharusnya Mempertahankan Kesetiaanmu kepada Tuhan"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan dan mencerahkan hatiku. Bagaimanapun si naga merah yang sangat besar itu menganiayaku, entah aku bisa menghubungi jemaat gereja lainnya atau tidak, entah aku bisa melaksanakan tugas atau tidak, dan kesudahan apa pun yang akan kudapatkan, aku akan mengikuti Tuhan sampai akhir.

Aku punya banyak masalah kesehatan karena penyiksaan kejam polisi. Seorang dokter berkata ada kerusakan pada katup jantungku, aliran darah ke jantungku berkurang, dan ada masalah dengan hati, kantong empedu, limpa, dan ginjalku. Dia berkata tubuhku sebenarnya sudah rusak. Dahulu kesehatanku sangat baik, tetapi sekarang menaiki satu tangga, bahkan tanpa membawa apa pun, membuatku terengah-engah dan jantungku terasa sakit. Ketika mereka pertama kali membebaskanku, rasanya bagian atas kepalaku telah ditarik. Itu sangat menyakitkan dan tersentuh sedikit saja membuatnya terasa lebih sakit. Setelah meminum lebih dari 80 bungkus obat Tiongkok, sakit kepalaku akhirnya sedikit berkurang. Aku juga merasa perut bagian bawahku seperti akan terlepas dari tubuhku. Itu terasa sangat menyakitkan, dan selama dua hari aku terus kencing darah. Pada waktu itu, aku tak punya uang untuk pergi ke dokter, dan kupikir aku mungkin benar-benar tidak akan selamat, jadi aku memanjatkan doa ini kepada Tuhan: "Tuhan, entah aku hidup atau mati, itu sepenuhnya berada di tangan-Mu. Entah aku selamat atau tidak, aku bersyukur kepada-Mu." Di luar dugaan, setelah minum obat anti radang selama tiga hari, aku berhenti buang air kecil berdarah.

Meskipun aku menderita ketika ditangkap dan disiksa oleh Partai Komunis, aku benar-benar memperoleh banyak hal. Delapan hari di neraka memperlihatkan dengan jelas kepadaku bahwa Partai Komunis adalah setan yang menentang Tuhan. Aku hanyalah orang Kristen biasa dan sederhana, yang mematuhi hukum dan tidak mencampuri urusan orang lain. Yang kuinginkan hanyalah menerapkan imanku, mengejar kebenaran, memperoleh keselamatan Tuhan, dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan sebaik mungkin. Meskipun demikian, polisi Partai Komunis menangkap dan nyaris membunuhku. Partai Komunis ingin menggunakan penganiayaan yang kejam dan ganas untuk menakut-nakuti orang percaya agar orang tidak berani percaya kepada Tuhan dan mengikuti-Nya, dan dengan cara demikian mereka ingin menghancurkan pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan kita. Namun, makin mereka melakukan penganiayaan seperti itu, makin kita melihat kejahatan dan kekejaman mereka, membenci dan menolak mereka, dan makin kita merindukan terang dan kedatangan kerajaan Tuhan, hari di mana keadilan dan kebenaran berkuasa di bumi. Melalui penderitaan ini, aku juga mengalami kasih Tuhan. Jika bukan karena perlindungan Tuhan dan bimbingan firman-Nya, tak mungkin aku bisa keluar dari sarang setan itu hidup-hidup. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku, dan aku ingin mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasku dengan baik untuk membalas kasih Tuhan.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Kebangkitan dari Penjara

Aku adalah mantan anggota veteran partai komunis. Dahulu keluargaku adalah petani miskin, tetapi pemerintah memberi kami tanah dan rumah...

Buronan tetapi Tidak Bersalah

Oleh Saudari Liu Yunying, TiongkokPada Mei 2014, Partai Komunis Tiongkok merekayasa Kasus Zhaoyuan di Shandong untuk menjebak dan memfitnah...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh