Setelah Menanggung Kesukaran, Kasihku kepada Tuhan Bahkan Lebih Kuat
Oleh Saudara Zhou Rui, Provinsi JiangxiNamaku Zhou Rui dan aku seorang Kristen di Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Sejak aku mulai memahami...
Kami menyambut semua pencari yang merindukan penampakan Tuhan!
Suatu pagi pada November 2004, aku pergi ke rumah seorang saudari berusia lanjut untuk menghadiri pertemuan. Baru saja aku hendak mengetuk pintu, pintunya tiba-tiba terbuka, dan sepasang tangan menarik dan menyeretku masuk ke dalam rumah. Sambil memelototiku dan bicara dengan suara menggeram, seorang pria mengancamku, "Diam, jangan bicara!" Seorang pria lain mencekik leherku dan menendang tulang keringku sambil bertanya apa yang sedang kulakukan di sana dan berapa banyak orang yang akan datang. Aku sadar orang-orang ini adalah polisi dan dengan sedikit gugup, aku berkata, "Aku ke sini hanya untuk mengantarkan air minum dan menagih." Salah seorang dari mereka berkata, "Kau Chen Hao, bukan?" Aku terkejut—bagaimana mereka bisa tahu namaku? Sebelum aku sempat bereaksi, mereka mulai menggeledahku, menyita sebuah buku catatan dan uang 600-an yuan dari sakuku, dan kemudian mereka memborgolku. Aku mendengar seseorang berkata, "Ternyata tidak sia-sia kita mengawasi tempat ini selama sebulan." Aku sadar bahwa mereka telah cukup lama memantau rumah ini. Sekitar lima menit kemudian, tiga petugas polisi berpakaian preman tiba. Salah seorang dari mereka menatapku dengan heran dan berkata, "Apa yang sedang kaulakukan di sini? Mengapa kau berhubungan dengan orang-orang ini?" Pria ini bernama Liu dan adik perempuannya adalah rekan sekerjaku ketika aku percaya kepada Tuhan Yesus. Dia sangat kejam dan menyeramkan dan dia menyuruh bawahannya menangkapku. Aku teringat saudara-saudari lainnya yang telah ditangkap sebelumnya, mereka sering mengalami berbagai macam penyiksaan dan bahkan ada yang dipukuli sampai mati, aku merasa sangat takut. Aku tidak tahu apakah polisi akan menyiksa atau bahkan membunuhku, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia melindungiku dan memberiku iman dan kekuatan untuk tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya. Kemudian, aku teringat perkataan Tuhan Yesus: "Dan jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh, tetapi tidak mampu membunuh jiwa: sebaliknya, takutlah kepada Dia yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa di neraka" (Matius 10:28). Benar, polisi hanya bisa membunuhku secara fisik—mereka tak bisa merampas jiwaku. Dengan bimbingan firman Tuhan, rasa takutku sedikit berkurang.
Setelah itu, mereka membawaku ke kantor polisi setempat. Dengan nada suara tulus yang palsu, pria bernama Liu ini berkata kepada polisi yang menangkapku, "Jangan terlalu keras kepadanya. Dia orang yang jujur dan kami sudah lama saling mengenal." Kemudian, dengan ketulusan yang palsu, dia berkata kepadaku, "Beritahukan saja kepada kami apa yang kauketahui. Sedikit praktik keagamaan bukanlah masalah besar. Jika kau berkata jujur, kau boleh langsung pulang. Kau sudah lebih dari setahun tidak pulang ke rumahmu, bukan? Pikirkanlah baik-baik. Begitu kau siap, katakan saja kepada kami apa yang ingin kami ketahui dan kujamin kau akan baik-baik saja." Mendengar perkataannya, aku menjadi sedikit ragu, dan berpikir: "Mengingat kami sudah saling mengenal dan dia adalah kepala tim investigasi khusus, mungkin jika aku hanya memberitahukan beberapa informasi yang kurang penting dan mendapatkan kepercayaannya, dia akan membebaskanku." Saat aku sedang mempertimbangkan hal ini, tiba-tiba aku teringat firman Tuhan: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan sudah terlambat" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Aku sadar aku hampir jatuh ke dalam rencana licik Iblis. Petugas Liu ini adalah orang yang penuh tipu daya dan licik—bagaimana aku bisa memercayai apa yang dia katakan? Dia hanya ingin mendapatkan informasi dariku tentang gereja dan membuatku mengkhianati Tuhan. Setelah menyadari hal ini, aku tutup mulut. Kemudian, petugas lainnya bertanya kepadaku, "Kau sudah menginjili di mana saja? Dengan siapa kau berkumpul? Siapa pemimpinmu? Di mana gereja menyimpan uangnya?" Namun, bagaimanapun dia menginterogasiku, aku tidak mengatakan apa pun.
Sekitar pukul 3 sore di hari yang sama, mereka membawaku ke rumah tahanan provinsi. Seorang petugas di sana membawaku ke sebuah ruangan dan memerintahkanku untuk menanggalkan semua pakaianku, mengangkat tanganku dan kemudian berputar-putar. Karena aku tak mau berputar, dia menendangku, lalu menyuruhku tiga kali jongkok bangun. Aku merasa marah dan dipermalukan. Setelah itu, aku dibawa ke sel penjara yang dipadati oleh lebih dari tiga puluh narapidana di ruangan seluas kurang dari 20 meter persegi. Begitu aku masuk ke dalam sel itu, dua narapidana memelintir lenganku ke belakang, menarik tanganku ke atas dan mendorongku untuk mengarakku ke sekeliling ruangan sebelum menendangku jatuh ke lantai. Dahiku membentur lantai dan mulai berdarah. Para narapidana itu hanya tertawa dan seseorang berkata, "Rem pesawat sepertinya blong." Yang lain berkata, "Ada banyak hal yang akan kami ajarkan kepadamu. Kau akan tahu pada waktunya." Kupikir dalam hatiku: "Aku baru saja tiba dan mereka sudah menyiksaku seperti ini. Bagaimana aku akan bertahan hidup di sini? Akan sanggupkah aku menanggungnya?" Dalam hati, aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk menjaga hatiku agar aku mampu tetap teguh dalam kesaksianku. Tepat pada saat itu, aku teringat firman Tuhan, yang berkata: "Teramat sulit bagi Tuhan untuk menjalankan pekerjaan-Nya di negeri si naga merah yang sangat besar—tetapi lewat kesulitan inilah Tuhan mengerjakan satu tahap pekerjaan-Nya, membuat hikmat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan menjadi nyata, dan menggunakan kesempatan ini untuk melengkapi kelompok orang ini. Melalui penderitaan manusialah, melalui kualitas mereka, dan melalui semua watak Iblis orang-orang di negeri yang najis inilah Tuhan mengerjakan pekerjaan penyucian dan penaklukan-Nya, agar dari ini, Dia bisa memperoleh kemuliaan, dan agar Dia bisa mendapatkan mereka yang akan menjadi saksi perbuatan-perbuatan-Nya. Seperti itulah seluruh makna penting semua pengorbanan yang telah Tuhan lakukan bagi kelompok orang ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apakah Pekerjaan Tuhan Sesederhana yang Manusia Bayangkan?"). Saat kurenungkan firman Tuhan ini, aku sadar bahwa Tuhan menggunakan lingkungan seperti ini untuk menyempurnakan iman kita. Atas seizin Tuhan-lah aku ditangkap dan disiksa oleh polisi. Dia berharap aku akan tetap teguh dalam kesaksianku bagi Dia untuk mempermalukan Iblis. Sungguh suatu kehormatan memiliki kesempatan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku teringat tentang Tuhan Yesus yang disalibkan untuk menebus umat manusia dan bagaimana setelah Tuhan berinkarnasi pada akhir zaman untuk menyelamatkan kita, Dia menjadi sasaran pengejaran dan penganiayaan dari partai yang berkuasa, menjadi sasaran fitnah dan penolakan dari dunia keagamaan dan mengalami segala macam kesukaran dan penghinaan. Namun, meskipun demikian, Tuhan tetap mengungkapkan kebenaran dan membekali kita. Apalah arti penderitaan kecil ini bila dibandingkan dengan kesempatan untuk mengikuti Tuhan, mengejar kebenaran, dan diselamatkan oleh-Nya? Menyadari hal ini, aku merasa sedikit lebih kuat dan berpikir: "Bagaimanapun mereka menyiksaku, aku tak boleh memberitahukan informasi apa pun tentang gereja ataupun mengkhianati Tuhan."
Pada pagi di hari keempat, polisi datang untuk kembali menginterogasiku. Mereka menginterogasiku tentang berbagai hal mendetail mengenai gereja dan memperlihatkan kepadaku beberapa foto orang dan memintaku untuk mengidentifikasi mereka, mengatakan bahwa orang-orang ini telah mengidentifikasiku. Aku tahu ini adalah rencana licik mereka yang lain—mereka ingin menipuku agar mengkhianati saudara-saudariku—jadi kuabaikan saja mereka. Akhirnya, melihatku tak mau mengatakan apa pun, mereka membawaku kembali dan memasukkanku ke dalam sel berbeda. Saat aku masuk, kudengar petugas memberi tahu para narapidana di dalam sel itu, "Yang satu ini orang percaya. Pastikan kalian 'mengurusnya dengan baik'." Kemudian, seorang narapidana muda menghampiriku dan berkata bahwa dia akan membantuku "membersihkan telingaku". Dia dan narapidana lainnya menarik telingaku ke arah berlawanan. Aku mulai berusaha mendorong mereka, tetapi tiba-tiba mereka melepaskan pegangan mereka dan aku tersungkur ke lantai. Tepat ketika aku akan bangun, seseorang menahan bahuku, menghalangiku untuk berdiri. Kemudian, narapidana lain menghampiriku dan berkata dia akan "menguliti kulit kayu dari pohon". Dia menggulung kaki celanaku dan kemudian dengan satu tangan, dia menekan kakiku dengan keras sambil menggosok kulit tulang keringku dengan kuat sambil tangan yang lain terbungkus kantong deterjen. Dia menggosok dengan sangat cepat dan tak lama kemudian, kakiku berdarah dan mulai terasa perih. Narapidana lain yang menekan kakiku terus-menerus menjewer telingaku. Mereka menyiksaku seperti itu selama lebih dari dua puluh menit. Telingaku terasa sakit dan tulang keringku memar parah dan mengeluarkan darah. Setelah itu, narapidana muda itu menendang punggungku dengan keras, membuatku terdorong ke depan. Kemudian, dia menendang perutku begitu keras hingga aku terbungkuk kesakitan. Rasanya organ-organ dalam tubuhku akan terbelah. Narapidana lainnya datang dan menendang punggungku, membuatku tersungkur ke lantai, setelah itu mereka melemparkan selimut ke atas tubuhku dan mulai menendangi dan memukuliku. Sekujur tubuhku terasa sakit—ada luka di dahiku dan darah menetes dari hidungku. Mereka mengoleskan deterjen ke rambutku dan memaksaku menanggalkan semua pakaianku dan mandi air dingin. Pada waktu itu bulan Desember dan di luar turun salju. Air di sel itu berasal dari es di dalam menara air yang dicairkan dan sangat dingin sampai menusuk ke tulang. Aku kedinginan karena air yang dingin dan sekujur tubuhku menggigil kedinginan. Setelah itu, seorang narapidana mengambil setengah gelas deterjen yang dilarutkan dalam air dan berkata, "Kau terlihat kedinginan. Kami sisakan setengah gelas 'bir' untukmu. Ayo, minumlah." Karena aku tidak meminumnya, dia berkata, "Apa? Kurang ya?" dan kembali menuangkan air dingin. Busa deterjen itu mengalir di sisi gelas. Melihatku tetap tak mau minum dari gelas itu, dia berkata: "Jika kau tidak meminumnya, bagaimana kami bisa membuatmu 'menyalakan petasan'?" Kemudian, dua narapidana menekan tubuhku di atas tempat tidur, menjepit hidungku dan menuangkan air deterjen itu ke dalam tenggorokanku secara paksa. Yang mereka maksud dengan "menyalakan petasan" adalah memaksa orang minum air deterjen, lalu memukulinya untuk membuatnya memuntahkannya. Aku meronta-ronta dengan marah dan berteriak, "Apa kalian berusaha membunuhku? Apa hukum tak berlaku di sini?" Salah seorang polisi yang sedang berjaga mendengarku berteriak dan balas membentak: "Apa yang kauteriakkan? Mereka hanya memandikanmu—itu tidak akan membunuhmu! Kalau kau teriak lagi, besok akan kusetrum kau dengan pentungan listrik!" Kata-katanya membuatku dipenuhi dengan kemarahan. Sekujur tubuhku menggigil karena air sedingin es dan kulitku dipenuhi bentol-bentol kecil karena kedinginan. Saat kuulurkan tanganku yang gemetaran untuk mengambil pakaianku dan mengenakannya, seorang narapidana menendangku jatuh ke lantai. Dengan membungkuk kesakitan, aku berusaha berdiri, tetapi segera didorong ke dinding oleh dua narapidana lainnya, dan setelah itu tiga belas narapidana bergegas menghampiriku dan mulai memukuliku seolah aku ini karung tinju. Seorang narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati berteriak, "Ayo masing-masing kalian pukul dia sepuluh kali." Lalu dia berdiri di samping dan menghitung sementara semua narapidana bergiliran memukuliku. Aku sangat kesakitan sehingga aku membungkuk, dada dan perutku terasa sakit tak tertahankan dan aku hampir tak bisa bernapas. Setelah itu, seorang narapidana lainnya menghampiriku dan memukul bagian belakang kepalaku dengan keras dua kali dengan borgolnya. Aku menjadi pusing dan mual, ruangan itu mulai tampak berputar-putar, telingaku mulai berdenging dan kemudian aku muntah-muntah cukup lama. Akhirnya, aku hanya memuntahkan air berwarna kekuning-kuningan. Aku menaruh tanganku di dada dan tak berani menarik napas dalam-dalam, karena bernapas pun terasa menyakitkan. Akhirnya, aku mulai batuk-batuk mengeluarkan darah dan rasanya tubuhku seperti hancur berkeping-keping. Kupikir dalam hatiku: "Para narapidana ini akan memukuliku sampai mati dan tidak ada dari keluargaku yang tahu bahwa aku telah ditangkap, begitu pula saudara-saudariku yang tahu ke mana aku telah dibawa. Jika mereka benar-benar membunuhku dan polisi membuang mayatku begitu saja ke suatu tempat terpencil, tak seorang pun akan pernah tahu apa yang telah terjadi." Menyadari hal ini, aku merasa sangat takut dan lemah, jadi aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Aku tak tahan lagi. Jika ini terus berlanjut, mereka akan menyiksaku sampai mati. Kumohon perlindungan-Mu agar aku mampu menanggung penderitaan dan siksaan ini." Tepat pada saat itu, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Abraham mempersembahkan Ishak—apa yang telah engkau persembahkan? Ayub mempersembahkan segalanya. Apa yang telah engkau persembahkan? Begitu banyak orang telah menyerahkan nyawa mereka, memberikan kepala mereka, menumpahkan darah mereka untuk mencari jalan yang benar. Sudahkah engkau membayar harga itu?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Makna Penting Menyelamatkan Keturunan Moab"). Dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan ini, aku dipenuhi dengan rasa malu. Aku teringat orang-orang kudus di sepanjang zaman. Karena mereka mengabarkan Injil dan bersaksi tentang Tuhan, ada yang dirajam sampai mati, ada yang dimutilasi, bahkan ada yang diseret kuda sampai mati. Mereka mempersembahkan hidup mereka yang berharga untuk tetap teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan. Sedangkan aku, setelah ditangkap, dipukuli, disiksa, dan nyawaku terancam, aku menjadi lemah, negatif, dan berusaha mempertahankan nyawaku karena takut menghadapi kematian. Betapa pengecutnya diriku! Kupikir betapa tak berhati nuraninya aku jika aku tak mau tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan di saat yang penting ini, padahal aku telah menikmati begitu banyak penyiraman dan pembekalan firman Tuhan. Aku merasa sangat tertuduh dan bertekad untuk tidak pernah menyerah kepada Iblis, apa pun siksaan yang ada di depanku. Hanya setelah melihatku terbujur kaku tak bergerak di lantai, barulah para narapidana itu akhirnya berhenti memukuliku.
Kurang lebih seminggu kemudian, Petugas Liu datang untuk kembali menginterogasiku. Dengan menggunakan nada bicara tulus yang palsu, dia berkata: "Sobat lamaku, kami telah memeriksa rekam jejakmu dan kau tak punya riwayat berperilaku melanggar hukum. Orang tuamu semakin tua dan anakmu menangis ingin bertemu denganmu. Mereka semua berharap kau akan berada di rumah untuk perayaan Tahun Baru. Pikirkanlah lagi. Jika kau memberi tahu kami apa yang ingin kami ketahui tentang gereja, kami akan segera membebaskanmu." Karena aku tidak menjawab, dia mengubah taktik dan berkata, "Kau tahu, meskipun kau diam saja, kami tetap bisa menghukummu 3-5 tahun. Kau harus sadar memang begitulah adanya—jangan terlalu keras kepala." Karena aku terus mengabaikannya, dia mengirimku kembali ke sel untuk memikirkan tawarannya. Di dalam sel, aku teringat ibuku yang sudah begitu lanjut usianya dan kesehatannya yang kurang baik. Jika aku benar-benar dijatuhi hukuman 3-5 tahun dan bahkan meninggal di dalam penjara, siapa yang akan menjaga ibuku? Semakin kupikirkan, semakin buruk yang kurasakan. Akhirnya, aku mulai berpikir mungkin jika kuberitahukan sesuatu yang tidak penting, aku tidak akan dijebloskan ke dalam penjara. Tepat pada saat itu, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Terhadap mereka yang tidak menunjukkan kepada-Ku sedikit pun kesetiaan selama masa-masa kesukaran, Aku tidak akan lagi berbelas kasihan, karena belas kasihan-Ku hanya sampai sejauh ini. Lagi pula, Aku tidak suka siapa pun yang pernah mengkhianati Aku, terlebih lagi, Aku tidak suka bergaul dengan mereka yang mengkhianati kepentingan teman-temannya. Inilah watak-Ku, terlepas dari siapa pun orangnya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Persiapkan Perbuatan Baik yang Cukup demi Tempat Tujuanmu"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa watak benar Tuhan tidak menoleransi pelanggaran. Tuhan sangat membenci mereka yang menjadi Yudas, mengkhianati gereja dan Tuhan, dan Dia tak akan pernah mengampuni orang-orang semacam itu. Aku jelas tahu bahwa Petugas Liu adalah orang yang licin dan licik, dan setelah kuberitahukan informasi sesedikit apa pun, dia pasti akan mencari cara untuk memaksaku memberitahukan lebih banyak lagi. Namun, aku benar-benar memercayai perkataan setannya. Betapa bodohnya diriku! Karena mengkhawatirkan keluargaku, aku telah mempertimbangkan untuk mengkhianati Tuhan. Aku sadar bahwa imanku kepada Tuhan benar-benar lemah. Nasib kita semua berada di tangan Tuhan. Tuhan-lah yang akan menentukan apakah aku akan disiksa sampai mati atau tidak dan menentukan apa yang akan terjadi pada keluargaku. Aku harus memercayakan segalanya ke dalam tangan Tuhan dan mengandalkan Dia untuk melewati siksaan ini. Setelah aku bersedia untuk tunduk, para narapidana di sel 8 berhenti memukuliku. Melihat para narapidana telah mengubah sikap mereka terhadapku, petugas memindahkanku ke sel 10.
Narapidana di sel 10 memukuliku sama seperti yang dilakukan narapidana di sel 8. Sebelum aku sempat bereaksi, mereka menaruh selimut ke atas tubuhku dan mulai menendang dan memukuliku. Mereka menyebutnya "membuat pangsit". Setiap kali para narapidana sedang dalam suasana hati yang buruk, mereka pasti melampiaskannya kepadaku. Aku sangat menderita dan merasa sangat tertekan di lingkungan semacam itu. Bahkan melewati setiap hari adalah pergumulan, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia membimbingku dan memberiku iman. Seminggu kemudian, seorang narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati berkata kepadaku: "Ceritakan kepadaku tentang kepercayaanmu kepada Tuhan dan nyanyikan lagu pujianmu untukku. Jika kau tidak melakukan permintaanku, kupukul kepalamu dengan borgol ini. Jangan berhenti bernyanyi, tugasmu sekarang hanya bicara dan bernyanyi." Jadi, aku menyanyikan lagu apa pun yang terlintas di benakku, dan bahkan tanpa berpikir, aku mulai menyanyikan lagu pujian firman Tuhan "Sudahkah Engkau Memahami Harapan Tuhan Terhadap Dirimu?": "Siapakah di antaramu adalah Ayub? Siapakah di antaramu adalah Petrus? Mengapa Aku berulang-ulang menyebut Ayub? Dan mengapa Aku sering kali merujuk kepada Petrus? Pernahkah engkau semua mengetahui apa yang Kuharapkan darimu? Engkau seharusnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk merenungkan hal-hal semacam ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 8"). Saat bernyanyi, aku mulai merasa begitu terharu. Aku teringat Ayub yang terus memuji nama Tuhan bahkan setelah kehilangan semua harta bendanya dan muncul barah di sekujur tubuhnya. Aku teringat Petrus yang menghabiskan seluruh hidupnya mengejar kasih Tuhan dan mengalami pemurnian dan kesukaran yang tak terhitung banyaknya, sampai akhirnya disalibkan secara terbalik. Dia sangat mengasihi Tuhan dan tunduk kepada-Nya sampai mati. Mereka berdua menjadi kesaksian yang indah bagi Tuhan dan menerima perkenanan-Nya. Tuhan berfirman: "Siapakah di antaramu adalah Ayub? Siapakah di antaramu adalah Petrus?" Dari firman Tuhan, aku merasakan apa yang menjadi harapan-Nya. Kupikir: "Aku harus menjadi seperti Ayub dan Petrus dan menjadi kesaksian bagi Tuhan." Menyanyikan lagu pujian itu memberiku motivasi baru. Rasanya seperti Tuhan sedang berada di sisiku dan aku merasakan tekad yang diperbarui untuk menanggung semua penderitaan dan untuk tetap teguh dalam kesaksianku. Setelah itu, aku memberitahu narapidana itu tentang Tuhan yang memegang kendali atas segala sesuatu, bagaimana Dia menghukum mereka yang melakukan kejahatan dan memberi upah kepada mereka yang berbuat baik, bersaksi tentang watak benar Tuhan. Aku juga menceritakan kepadanya kisah Lazarus dan orang kaya. Kukatakan kepadanya bahwa mereka yang melakukan kejahatan akan menerima pembalasan dan dilemparkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman setelah kematian. Tuhan telah datang untuk mengungkapkan kebenaran dan melakukan pekerjaan menyelamatkan umat manusia, dan manusia harus menerima kebenaran untuk dapat melepaskan diri mereka dari dosa agar dapat disucikan dan masuk ke dalam kerajaan surga. Setelah mendengar semua itu, narapidana itu menghela napas dan berkata, "Sudah terlambat sekarang! Jika saja aku bertemu seseorang sepertimu sebelumnya, aku pasti tak akan pernah sampai ke titik ini." Teman satu sel lainnya yang adalah seorang pensiunan guru juga dengan setuju berkata, "Aku pernah bertemu orang percaya sepertimu sebelumnya. Aku belum pernah mendengar mereka melakukan sesuatu yang ilegal." Lalu dengan marah dia berkata, "Di Tiongkok, tidak ada yang namanya keadilan atau supremasi hukum." Setelah itu, para narapidana di sel itu berhenti memukuliku. Aku tahu ini adalah tanda belas kasihan Tuhan dan bahwa Dia mengasihaniku dalam kelemahanku. Melihat kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan dalam bekerja, imanku semakin kuat.
Pada Desember 2004, PKT menghukumku karena "pengajaran ilegal yang mengganggu ketertiban sosial" dan menghukumku tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa. Aku sangat marah ketika mendengar hukumanku dibacakan—sebagai orang percaya, aku sedang menempuh jalan yang benar dan tak pernah melakukan sesuatu yang ilegal, tetapi PKT telah memaksakan hukuman tiga tahun kepadaku. Mereka benar-benar jahat! Kemudian, satu bagian firman Tuhan muncul di benakku: "Di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang tanpa mengedipkan matanya, menoleransi keberadaan Tuhan yang penuh kasih, baik, dan juga kudus? Bagaimana mungkin ia akan menghargai dan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para antek ini! Mereka membalas kebaikan dengan kebencian, sejak dahulu mereka mulai memperlakukan Tuhan sebagai musuh, mereka menyiksa Tuhan, mereka luar biasa buasnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah sama sekali kehilangan hati nurani, mereka sepenuhnya mengabaikan hati nuraninya, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar tidak sadar. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). PKT menyatakan bahwa mereka menjamin kebebasan beragama padahal secara diam-diam mereka menindas dan menganiaya orang Kristen, memukuli, menyiksa, dan memenjarakan orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Mereka mencari ketenaran melalui penipuan dan sepenuhnya jahat! Melalui pengalaman pribadiku ditangkap dan dianiaya oleh PKT, aku dapat mengenali esensi PKT yang jahat dan menentang Tuhan. Ini makin memperkuat tekadku untuk mengikuti Tuhan sampai akhir hidupku.
Pada Januari 2005, aku dipindahkan ke kamp kerja paksa dan ditugaskan di bagian percetakan. Kami harus bekerja sekitar 15 jam per hari dan seringkali hanya memiliki waktu istirahat sekitar 3-4 jam per hari. Setiap bulan kami harus lembur 10-15 hari dan terkadang bahkan harus bekerja sampai malam. Seiring berjalannya waktu, kuota pencetakan kami meningkat dari 3.000 menjadi lebih dari 15.000 lembar. Karena itu, aku harus membawa pelat cetak bolak-balik sepanjang hari dan sering kali menempuh jarak 10 kilometer hingga puluhan kilometer per hari. Aku selalu memegang cat di tangan kiriku sambil terus menyikat dengan tangan kananku. Bau cat membuatku pusing, mataku terasa perih, penglihatanku kabur, dan bernapas menjadi sangat sulit bagiku. Sepanjang hari, aku merasakan rasa sakit yang terus-menerus dan tak tertahankan di lengan, kaki, dan bahuku, dan aku sangat lelah sehingga aku bisa tidur sambil berdiri. Aku ingat suatu kali, ketika aku menderita flu dan demam, aku menjadi sangat pusing hingga hampir rebah. Ketika pengawas yang bertugas melihat ini, dia berkata aku hanya berusaha mengendur dan berkata: "Kau akan bekerja lebih cepat jika kusetrum dengan pentungan listrikku." Aku teringat seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang disetrum karena tak mampu melakukan pekerjaan berat. Dia menderita beberapa luka bakar di telinganya dan beberapa bagian kulitnya menghitam akibat luka bakar lainnya. Akhirnya, dia tak tahan lagi dan berusaha bunuh diri dengan menelan paku, tetapi dia tidak mati dan dijatuhi hukuman satu bulan kerja tambahan. Aku tahu orang-orang ini adalah setan-setan yang akan membunuh kami tanpa ragu dan pasti tak akan pernah mengizinkan kami beristirahat, jadi aku harus menguatkan diriku dan terus bekerja. Karena beban kerjaku yang berlebihan, jari-jariku menjadi cacat dan tumbuh kista di sikuku yang membengkak seukuran kuning telur. Aku juga menderita rinitis parah dan sering merasa pusing dan sesak napas. Terlalu banyak bekerja dan kurang tidur membuatku sangat pusing sehingga aku selalu terhuyung saat berjalan dan rasanya setiap saat aku bisa jatuh. Selain pekerjaan kami, kami juga dipaksa untuk mengambil bagian dalam sesi cuci otak yang diadakan PKT dua kali sebulan. Aku mendapati betapa menjijikkan kekeliruan dan ide-ide sesat PKT tersebut, dan tak punya keinginan untuk mendengarkannya. Aku sangat menderita di kamp kerja paksa itu dan merindukan hari-hari ketika aku bertemu dan membaca firman Tuhan bersama saudara-saudariku. Aku ingin keluar dari keadaan tidak manusiawi yang seperti di neraka itu sesegera mungkin. Aku berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia memberiku kekuatan dan membantuku mengatasi lingkungan itu. Kemudian, satu lagu pujian firman Tuhan yang berjudul "Cara Agar Disempurnakan" muncul di benakku: "Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya yang dari dulu tanpa membiarkan kasih itu berubah atau menghilang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus tunduk pada pengaturan-Nya, dan lebih memilih untuk mengutuki dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus memuaskan Tuhan, meskipun engkau mungkin menangis getir atau merasa enggan berpisah dengan beberapa objek yang engkau kasihi. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Saat aku menyanyikan lagu pujian itu, aku mulai memahami maksud Tuhan dan merasa sangat terdorong dan bersedia untuk tunduk mengalami situasi sulit ini serta mengandalkan Tuhan dan imanku untuk melewatinya. Selama lebih dari dua tahun di kamp kerja paksa, aku mengidap rinitis, bronkitis, rheumatoid arthritis, hernia, dan masalah perut. Suatu kali, ketika herniaku mulai kambuh dan seorang petugas kamp kerja paksa membawaku ke klinik medis, aku melihat dokter yang merawat mematahkan jarum di bokong seorang tahanan dan kemudian menggunakan tang medis untuk mengeluarkannya. Aku ketakutan melihatnya dan tak berani kembali ke klinik itu. Selama waktu itu, berjalan beberapa langkah saja membuat perut bagian bawahku terasa sangat sakit. Ketika aku terus berusaha melakukan beberapa pekerjaan, aku merasa akan mati lemas. Petugas penjara khawatir mereka akan dimintai pertanggungjawaban jika aku mati, jadi mereka membawaku ke rumah sakit di kota tempat kamp kerja paksa itu untuk pemeriksaan medis yang lebih menyeluruh. Setelah menyelesaikan pemeriksaan kesehatanku, dokter berkata dengan nada terkejut: "Apa jenis jerih payah yang telah kau lakukan? Mengapa baru sekarang kau mencari pengobatan! Herniamu harus dioperasi. Selain itu, hati dan kantung empedu sedikit membesar, jadi kau tak boleh lagi melakukan pekerjaan berat. Jika terus bekerja, kau akan mati." Namun, petugas hanya mengambilkan beberapa obat untukku dan membawaku kembali ke kamp kerja paksa. Aku sangat khawatir pada waktu itu karena aku tahu sisa hukumanku masih satu tahun lagi dan aku tak yakin apakah aku mampu bertahan hidup. Setelah itu, kupikir: "Dalam dua tahun dipenjara, aku telah disiksa oleh polisi dan nyaris tewas karena dipukuli oleh para narapidana, tetapi selama mengalami semua penderitaan itu, aku tak pernah sekali pun mengkhianati Tuhan. Jadi, mengapa aku mengidap penyakit yang begitu parah? Mungkinkah nasibku sebenarnya adalah untuk mati di kamp kerja paksa ini?" Di tengah penderitaanku, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kumohon bimbinglah aku." Tak lama kemudian, satu bagian firman Tuhan muncul di benakku: "Engkau harus tahu apakah ada iman sejati dan kesetiaan sejati dalam dirimu, entah engkau memiliki pengalaman menderita untuk Tuhan atau tidak, dan entah engkau sudah sepenuhnya tunduk kepada Tuhan. Jika engkau tidak memiliki hal-hal ini, maka masih ada dalam dirimu pemberontakan, kelicikan, ketamakan, dan keluhan. Karena hatimu jauh dari jujur, engkau tidak pernah menerima pengakuan dari Tuhan dan tidak pernah hidup dalam terang" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku merenungkan diriku sendiri. Ketika menghadapi penyakit dan penderitaan, aku menjadi negatif dan lemah dan bahkan berusaha berdebat dengan Tuhan. Aku telah meninggalkan tekadku dan mengeluh serta memberontak. Di manakah ketundukanku? Di manakah kesaksianku? Aku ingat ketika aku dianiaya dan disiksa oleh PKT dan sedang menderita dan lemah, firman Tuhan-lah yang membimbingku dan memberiku iman dan kekuatan. Tuhan juga telah bekerja melalui orang-orang, situasi, dan berbagai hal untuk membukakan jalan bagiku. Dia selalu menyertaiku, menjaga dan melindungiku. Kasih-Nya kepadaku begitu besar dan aku tahu aku harus berhenti mengeluh dan salah paham terhadap Dia. Siksaan atau penderitaan apa pun yang akan kualami kelak, entah aku hidup atau mati, aku harus mengandalkan Tuhan untuk terus maju! Sebulan kemudian, polisi menugaskanku ke pekerjaan lain di mana aku tak perlu banyak berjalan dan kesehatanku meningkat tajam. Aku bersyukur kepada Tuhan atas kasih-Nya dari lubuk hatiku.
Saat berada di kamp kerja paksa, aku sering menyanyikan lagu pujian. Salah satu lagu pujian yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam bagiku berjudul "Apa yang Telah Engkau Persembahkan kepada Tuhan?" Di situ dikatakan: "Abraham mempersembahkan Ishak—apa yang telah engkau persembahkan? Ayub mempersembahkan segalanya. Apa yang telah engkau persembahkan? Begitu banyak orang telah menyerahkan nyawa mereka, memberikan kepala mereka, menumpahkan darah mereka untuk mencari jalan yang benar. Sudahkah engkau membayar harga itu? Sebagai perbandingan, engkau sama sekali tidak memenuhi syarat untuk menikmati kasih karunia yang demikian besar. Jangan menganggap dirimu terlalu tinggi. Engkau tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Keselamatan yang demikian besar, kasih karunia yang demikian besar, diberikan kepadamu dengan gratis. Engkau belum mempersembahkan apa pun, tetapi menikmati kasih karunia dengan gratis. Apakah engkau tidak merasa malu?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Makna Penting Menyelamatkan Keturunan Moab"). Setiap kali selesai menyanyikan lagu pujian ini, hatiku dipenuhi rasa syukur. Penderitaanku tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan orang-orang kudus di sepanjang zaman. Dalam mengalami pekerjaan Tuhan, mereka semua menjadi kesaksian yang indah bagi Tuhan dan mendapatkan perkenanan-Nya. Kini Tuhan sedang memberiku kesempatan yang sama untuk menjadi kesaksian—ini adalah kasih-Nya kepadaku! Firman Tuhan-lah yang terus mendorong dan membimbingku melewati pemenjaraan yang panjang dan sulit di kamp kerja paksa. Tanpa bimbingan firman Tuhan, aku pasti tak mampu melewati keadaan yang begitu mengerikan.
Pada September 2007, aku menyelesaikan hukumanku dan dibebaskan dari kamp kerja paksa. Sebelum keluar dari kamp, mereka menyuruhku untuk melapor ke kantor polisi setempat setelah pulang ke rumah, jika tidak, pendaftaran rumahku akan dibatalkan. Mereka juga mengancamku, berkata jika aku ditangkap lagi, aku pasti mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat. Setelah dibebaskan, aku pindah dari rumah agar dapat terus percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Melalui pengalamanku ditangkap dan dianiaya oleh PKT, aku mengenali dengan jelas esensi PKT yang jahat dan menentang Tuhan. Semakin mereka menganiayaku, semakin aku bertekad untuk mengikuti Tuhan, memenuhi tanggung jawabku sebagai makhluk ciptaan, dan melaksanakan tugasku dengan baik untuk membalas kasih Tuhan. Syukur kepada Tuhan!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.
Oleh Saudara Zhou Rui, Provinsi JiangxiNamaku Zhou Rui dan aku seorang Kristen di Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Sejak aku mulai memahami...
Oleh Saudari Xiao Min, TiongkokPada 2012, saat mengabarkan Injil, aku ditangkap oleh Partai Komunis Tiongkok. Menjelang sore pada tanggal...
Oleh Saudari Xiaowen, Kota Chongqing "'Kasih' mengacu pada emosi yang murni dan tanpa cela, di mana engkau menggunakan hatimu untuk...
Oleh Saudari Zhao Rui, Provinsi ShanxiNamaku Zhao Rui. Karena kasih karunia Tuhan, seluruh keluargaku mulai mengikut Tuhan Yesus pada tahun...