Malam Penyiksaan yang Kejam

28 Januari 2025

Oleh Saudara Gao Liang, Tiongkok

Suatu hari di bulan April 2006, aku pergi untuk mengabarkan Injil Kerajaan Tuhan Yang Mahakuasa kepada sekelompok orang Kristen, tetapi mereka tidak menerimanya. Setelah itu, aku kembali untuk mengabarkan Injil kepada mereka lagi, tetapi mereka mengirim seekor anjing untuk mengejarku. Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang bekerja, dua orang polisi berpakaian preman datang ke tempat kerjaku dan memaksaku untuk membawa mereka ke tempat tinggalku pada waktu itu. Aku sadar bahwa orang-orang Kristen itu kemungkinan besar telah melaporkanku. Aku merasa cemas dan takut—aku tahu jika polisi menemukan buku-buku firman Tuhan yang kusimpan di apartemenku, mereka pasti akan menangkapku. Aku terus-menerus berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, jika mereka benar-benar menangkapku hari ini, itu adalah atas seizin-Mu. Aku siap untuk menyerahkan diriku ke dalam tangan-Mu. Kumohon lindungilah aku, berilah aku kekuatan dan iman dan bimbinglah aku untuk tetap teguh dalam kesaksianku." Sesampainya di rumahku, mereka mulai mengubrak-abrik semua barang-barangku tanpa menunjukkan identitas apa pun, dan akhirnya menemukan satu buku Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia, satu buku Injil, dan satu pemutar CD. Mereka kemudian membawaku ke biro keamanan publik wilayah.

Seorang polisi bertanya kepadaku: "Apakah kau orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa? Berapa banyak orang yang telah kauinjili? Siapa pemimpinmu?" Aku menjawab: "Ya, aku percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tetapi kami menerapkan iman dan memberitakan Injil atas kemauan kami sendiri. Kami tidak memiliki pemimpin." Ini membuatnya sangat marah sehingga dia menendang perutku dengan keras, membuatku terhuyung ke belakang beberapa langkah. Aku tahu aku mungkin tidak dapat menghindari siksaan dan penganiayaan setelah ditangkap—hari seperti itu pasti akan tiba bagi kami yang hidup di Tiongkok sebagai orang percaya dan pengikut Tuhan. Aku harus mengandalkan Tuhan untuk melewati pencobaan ini—aku tidak boleh menyerah kepada Iblis. Polisi itu dengan galak menginterogasiku: "Kapan kau bergabung dengan gereja? Siapa yang memberimu buku-buku itu? Di mana dia tinggal?" Karena aku tidak menjawab, dia menarik tanganku ke belakang dan memborgolku ke kursi besi. Saat itu, kepala Biro Keamanan Publik, Komandan Wang, masuk dan berteriak: "Apa yang kaulakukan? Cepat buka borgolnya!" Kemudian, sambil tersenyum, dia menghampiriku, menepuk bahuku dan, dengan nada bicara yang munafik, berkata: "Kawan lama, aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Aku tahu pekerjaanmu tidak mudah. Jika kau memberi tahu kami semua yang kauketahui tentang Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, kau akan mendapatkan hadiah beberapa ribu yuan." Aku sadar ini adalah rencana licik Iblis: polisi itu berusaha memikatku agar memberikan informasi tentang gereja, mengkhianati Tuhan dan saudara-saudariku dengan menawarkan hadiah uang. Kupikir: "Sekalipun kau memberiku segunung emas, aku tetap tidak akan menjawab. Aku tak akan pernah mengkhianati kepentingan gereja." Melihatku tidak terbujuk, dia menambahkan: "Jika kau memberitahuku apa yang kauketahui, nanti kau bahkan boleh mengambil sebagian dari keuntungan kami." Aku merasa sangat jijik terhadapnya dan mengabaikan semua perkataannya. Ketika menyadari aku tidak akan mengatakan apa pun, dia segera berubah menjadi jahat. Dengan cemberut dan nada bicara yang bengis, dia berkata: "Orang ini tidak tahu apa yang baik untuknya. Lakukan apa yang harus kaulakukan dengannya" dan kemudian bergegas keluar dari ruangan itu. Salah seorang polisi mengancamku: "Jika kau tidak dengan jujur memberi tahu kami apa yang kauketahui, kau akan merasakan akibatnya." Sambil mengatakannya, dia menampar wajahku dengan keras, menendangku jatuh ke lantai, lalu menarik kedua tanganku ke belakang dan memborgolku kembali ke kursi besi itu. Aku merasa sedikit takut ketika memikirkan siksaan apa yang mungkin akan menimpaku, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan: "Ya Tuhan, terserah pada-Mu apakah hari ini aku akan mati di tangan polisi atau tidak. Kumohon penuhilah aku dengan iman dan kekuatan—tolong agar aku tidak mengkhianati saudara-saudariku ataupun mengkhianati-Mu." Setelah berdoa, aku tiba-tiba teringat kisah Daniel. Daniel dilemparkan ke dalam gua singa, tetapi dia beriman, berdoa dan mengandalkan Tuhan, jadi Tuhan mengatupkan mulut singa-singa itu agar tidak memangsanya. Aku tahu aku juga harus percaya kepada Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya bagaimanapun polisi menyiksaku.

Setelah itu, mereka kembali menginterogasiku dengan pertanyaan yang sama, tetapi aku tetap tidak menjawab, jadi mereka menyeretku ke halaman, meletakkan lima atau enam buku firman Tuhan di hadapanku, dan menggantungkan sebuah plakat di leherku yang bertuliskan "anggota kultus". Mereka memotretku sebelum mengambil sidik jariku dan membawaku ke ruang penyiksaan rahasia. Begitu masuk ke ruangan itu, aku merasa sangat takut—ruangan itu penuh dengan berbagai jenis alat penyiksaan. Ada sebuah rak tinggi yang terbuat dari besi yang dilas, kursi harimau dan belenggu kaki, serta lebih dari sepuluh kotak besar dan kecil yang berisi segala macam alat penyiksaan lainnya. Di dinding tergantung cambuk kulit, tongkat pemukul, penjepit, dan banyak alat penyiksaan yang lebih kecil lainnya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Pasti ada lebih dari seratus alat penyiksaan di ruangan itu. Aku langsung merasakan bulu kudukku berdiri, dan kakiku menjadi lemas. Kupikir dalam hatiku: "Mereka tidak akan membawaku ke sini jika mereka tidak berencana menyiksaku. Siapa yang tahu apakah aku bisa keluar dari sini hidup-hidup. Mungkin jika aku memberi mereka informasi yang tidak penting, mereka akan membebaskanku dan aku tidak perlu menderita di tempat ini. Jika aku tidak memberi tahu mereka apa pun, mereka pasti akan menyiksaku dengan kejam." Tepat pada saat itu, tiba-tiba aku teringat kisah tentang ketiga teman Daniel—mereka dilemparkan ke dalam perapian yang menyala-nyala karena tidak mau menyembah patung emas, berkata bahwa mereka lebih baik mati daripada mengkhianati Tuhan. Tuhan melindungi mereka bertiga, tanpa seorang pun mengalami luka bakar sekecil apa pun. Ini mengingatkanku pada kedaulatan Tuhan yang mahakuasa; imanku kepada-Nya diperbarui. Aku tahu bahwa nasibku, entah hidup atau mati, semuanya berada di tangan Tuhan. Bagaimanapun mereka menyiksaku, aku harus mengandalkan Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya. Setelah itu, dua polisi muda masuk dan menyesuaikan rak besi itu dengan tinggi badanku, menggantung tanganku di palang yang melintang sehingga hanya ujung jari-jari kakiku yang menyentuh lantai. Seorang polisi berkata dengan kejam: "Kami telah menghabiskan sepanjang hari berusaha membuatmu bicara, sekarang tiba saatnya membuatmu menderita!" Tangan dan lenganku menahan seluruh bobot tubuhku. Seluruh tubuhku terasa sangat tidak nyaman. Setelah beberapa waktu, tangan dan lenganku mulai makin sakit, seolah sedang perlahan-lahan dicabik-cabik. Sangat menyakitkan hingga aku berteriak kesakitan. Aku belum makan sepanjang hari dan aku merasa pusing dan mual. Ini benar-benar lebih daripada yang mampu kutanggung. Di tengah penderitaanku, tiba-tiba aku teringat firman Tuhan: "Mungkin engkau semua ingat kata-kata ini: 'Sebab penderitaan ringan kami, yang hanya sementara, mengerjakan bagi kami kemuliaan yang lebih besar dan kekal.' Engkau semua pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya, tetapi tak satu pun darimu yang memahami arti sebenarnya dari kata-kata tersebut. Hari ini, engkau sadar sepenuhnya akan makna penting sejatinya. Kata-kata ini akan dipenuhi oleh Tuhan pada akhir zaman, dan akan dipenuhi dalam diri orang-orang yang telah dianiaya secara brutal oleh si naga merah yang sangat besar di negeri tempatnya berbaring melingkar. Si naga merah yang sangat besar itu menganiaya Tuhan dan ia adalah musuh Tuhan, dan karenanya, di negeri ini, orang-orang menjadi sasaran penghinaan dan penindasan karena kepercayaan mereka kepada Tuhan, dan sebagai hasilnya, perkataan-perkataan ini terpenuhi dalam diri engkau semua, sekelompok orang ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apakah Pekerjaan Tuhan Sesederhana yang Manusia Bayangkan?"). Melalui firman Tuhan, aku sadar bahwa Dia menggunakan si naga merah yang sangat besar dalam pelayanan-Nya untuk menyempurnakan umat pilihan-Nya. Aku disiksa untuk menyempurnakan imanku—ada makna khusus dari penyiksaan ini—jadi aku harus berhenti bersikap negatif dan lemah. Lalu aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Bagaimanapun mereka menyiksaku atau sebanyak apa pun aku harus menderita, aku tidak akan pernah mengkhianati saudara-saudariku ataupun mengkhianati-Mu!" Setelah itu, aku digantung di sana selama sekitar dua jam.

Sekitar lewat pukul 8 malam, empat pria muda yang mengenakan penutup kepala memasuki ruangan dan salah seorang dari mereka berkata dengan sinis: "Hei, bagaimana kabarmu? Enak, bukan?" Sembari mengatakannya, dia mengambil cambuk kulit dari dinding dan mulai menggunakannya untuk mencambuk lenganku. Setiap cambukan bagaikan mencabik-cabik daging dari tulangku—sangat menyakitkan. Dia mencambukku setidaknya lima puluh atau enam puluh kali dan setelah dia kelelahan, pria lainnya mengambil alih. Pada waktu itu, aku agak khawatir jika mereka mencambukku begitu keras dan lenganku menjadi lumpuh, aku tak akan bisa menjalani hidup dengan normal, jadi aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku menyerahkan semuanya ke dalam tangan-Mu. Entah aku menjadi lumpuh atau tidak, aku tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu." Setelah mereka lelah mencambukku, barulah mereka menurunkanku dari rak besi itu. Seluruh tubuhku terasa lemas dan aku langsung terkulai ke lantai. Namun, mereka belum selesai denganku—setelah itu, mereka mengikatku ke kursi harimau dan terus menginterogasiku. Salah seorang polisi berkata dengan kejam: "Jangan harap bisa keluar dari sini hidup-hidup jika kau tidak mengatakan yang sebenarnya! Beri tahu kami dengan jujur tentang apa yang kauketahui dan kami akan membebaskanmu. PKT sangat memusuhimu—mereka menganggap kalian orang percaya sebagai musuh bebuyutan. Mereka ingin menghancurkan dan membunuh kalian semua. Ini adalah kebijakan PKT—mereka bisa mengambil nyawa kalian orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa tanpa bisa dipidanakan sedikit pun!" Aku dengan tegas menjawab: "Aku tak tahu apa-apa. Tidak ada yang bisa kukatakan kepadamu." Melihatku masih tidak mau bekerja sama, mereka melepaskanku dari kursi harimau dan membiarkanku terbaring di lantai. Kemudian masing-masing dari mereka mengambil sebatang tongkat pemukul berwarna hitam, dengan panjang 75 cm dan tebal 7-10 cm yang berisi bola-bola besi dan, dengan berdiri di kedua sisiku, mereka dengan kejam mulai memukuli sekujur tubuhku dengan tongkat itu. Setiap pukulan tongkat itu membuat tubuhku bergetar hebat. Aku menggeliat kesakitan, menjerit kesakitan. Aku sulit bernapas; tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa menyiksanya rasa sakit itu. Yang paling sering mereka pukul adalah bokongku—itu terus berlanjut, dan aku merasa sepertinya mereka memukuliku habis-habisan. Menahan rasa sakit yang tak tertahankan, aku dengan marah berteriak: "Kalian mau memukuliku sampai mati! Kalian ingin mencabut nyawaku! Mengapa kalian tidak menangkap pembunuh dan pembakar yang sesungguhnya? Hukum apa yang telah kulanggar sehingga pantas menerima kekejaman ini? Apakah kalian bisa disebut manusia?" Salah seorang polisi menjadi makin marah mendengar perkataanku dan mulai memukuliku dengan sangat keras sehingga tongkatnya patah menjadi dua, membuat bola-bola besi itu berjatuhan ke lantai. Semua polisi tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan marah, seorang polisi berkata kepadaku: "Katamu kau tidak melanggar hukum? PKT tidak mengizinkan kepercayaan beragama apa pun. Rakyat Tiongkok hanya boleh percaya kepada Partai Komunis. Kalian adalah musuh PKT dan mereka akan menghancurkan kalian, membunuh dan membasmi kalian semua!" Sembari mengatakannya, mereka mengambil dua cambuk panjang dari salah satu kotak dan berkata: "Masih tak mau buka mulut? Kalau begitu mari kita coba cara lain—lihat saja apa kau akan menyukainya!" Kemudian mereka menyuruhku berdiri dan dua orang dari mereka mulai mencambukku dengan keras dengan amarah membara, menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan. Setelah kelelahan mencambukku, dua polisi lainnya menggantikan mereka dan melanjutkan pencambukan, bergantian setidaknya empat kali, dengan masing-masing pencambukan berlangsung setidaknya 30 menit. Setelah berakhir, aku jatuh terkulai tak berdaya ke lantai, tetapi mereka menarikku berdiri dan terus menginterogasiku. Karena aku tidak mengatakan apa pun, mereka terus mencambuk dan menendangi kakiku. Rasanya mereka telah mematahkan kakiku. Aku mulai merasa agak lemah dan berpikir: "Jika aku tidak memberi tahu mereka apa pun, mereka akan terus menggunakan berbagai macam taktik penyiksaan untuk menyiksaku. Mereka bahkan bisa menyiksaku sampai mati. Namun, jika aku mengatakan sesuatu, aku akan menjadi Yudas dan janji yang kubuat di hadapan Tuhan akan menjadi penipuan. Ini akan menyakiti hati Tuhan, dan lebih buruk lagi, membuat-Nya membenciku." Aku terus bergumul dalam benakku—haruskah aku mengatakan sesuatu atau tidak? Tepat pada saat itu, aku teringat penyaliban Tuhan Yesus dan aku teringat firman Tuhan: "Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus merasakan kesakitan, seolah-olah pisau sedang dipelintir di jantung-Nya, namun Dia tidak memiliki niat sedikit pun untuk mengingkari perkataan-Nya; selalu ada kekuatan dahsyat yang mendorong-Nya menuju ke tempat Dia akan disalibkan. Akhirnya, Dia dipaku di kayu salib dan menjadi keserupaan dengan daging yang berdosa, menyelesaikan pekerjaan penebusan umat manusia. Dia melampaui belenggu kematian dan alam maut. Di hadapan-Nya, kematian, neraka, dan alam maut kehilangan kuasa mereka, dan ditaklukkan oleh-Nya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Bagaimana Melayani dalam Keselarasan dengan Maksud-Maksud Tuhan"). Untuk menebus semua manusia, Tuhan Yesus rela disalibkan, dihina dan disiksa, serta menyerahkan nyawa-Nya sendiri. Kasih Tuhan bagi manusia begitu besar! Dengan pemikiran ini, aku merasa sangat terinspirasi dan bertekad dalam hatiku: "Aku tidak akan menjadi Yudas dan mengkhianati Tuhan, sekalipun itu berarti disiksa sampai mati!" Setelah itu, mereka terus mengancamku, berkata: "Jika kau tidak memberi tahu kami apa yang ingin kami ketahui, kami akan memukulimu sampai mati dan mengirimmu ke krematorium, di mana kau akan dibakar menjadi abu. Entah itu, atau kami akan mengirim tubuhmu ke tempat pembuatan batu bata di mana kau akan digiling menjadi bubur dan dijadikan batu bata." Pada waktu itu, aku merasa takut, tetapi aku tahu bahwa mereka tidak punya otoritas untuk mengatakan apakah aku akan selamat dari pemukulan mereka atau tidak. Semua itu berada di tangan Tuhan, dan aku bersedia tunduk pada pengaturan dan penataan-Nya. Tepat pada saat itu, tiba-tiba terpikir olehku bahwa buku-buku gereja masih berada di tanganku dan tak satu pun saudara-saudariku yang tahu bahwa aku telah ditangkap. Jika polisi mendapatkan buku-buku itu, itu akan menjadi kerugian besar bagi gereja. Aku mulai panik, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, hidupku sendiri tidak penting, tetapi sebagai penjaga buku gereja, aku harus memastikan buku-buku itu tetap aman. Namun, aku tidak tahu apakah aku akan berhasil keluar dari sini hidup-hidup atau tidak. Aku menyerahkan semua kekhawatiran ini ke dalam tangan-Mu dan memohon agar Engkau membukakan jalan bagiku." Setelah berdoa, sesuatu yang ajaib terjadi: aku tidak lagi merasakan sakit akibat cambukan itu. Aku tahu bahwa Tuhan menolong dengan meringankan penderitaanku dan aku sangat bersyukur kepada-Nya. Ketika mereka melihatku hanya terbaring di sana tak bergerak dan berhenti berteriak, mereka segera menghentikan cambukan mereka. Salah seorang dari mereka menaruh jarinya di bawah hidungku dan kemudian dengan gugup berkata: "Dia sedang sekarat. Bawa dia keluar dari sini—kita akan mendapat masalah besar jika dia mati dalam pengawasan kita." Aku tahu bahwa Tuhan telah membukakan jalan bagiku dan melindungiku, kalau tidak, aku pasti sudah mati di sana.

Setelah itu, dua polisi menyeretku keluar dan melemparkanku ke sebuah lapangan, meninggalkanku di sana. Aku terbaring di tanah tak bergerak. Saat itu mungkin sekitar pukul dua pagi. Pada waktu itu, hanya ada satu pemikiran di benakku: aku harus memberi tahu saudara-saudariku bahwa buku-buku itu harus dipindahkan sebelum matahari terbit, agar tidak sampai jatuh ke tangan polisi. Aku berusaha bangun, tetapi lukaku terlalu parah. Aku mengerahkan segenap sisa tenaga terakhir yang kumiliki, tetapi aku tak mampu berdiri. Aku merasa sangat khawatir dan panik, jadi aku segera berdoa kepada Tuhan, memohon kekuatan dari-Nya. Setelah berdoa, aku teringat satu bagian firman Tuhan: "Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Firman Tuhan memberiku iman. Setelah kira-kira 30 menit, aku kembali mencoba berdiri, dan setelah sekitar empat atau lima kali mencoba, akhirnya aku berhasil berdiri. Matahari belum terbit dan masih gelap gulita di jalanan. Aku berjalan terseok-seok, menahan rasa sakit yang luar biasa saat aku berjalan tertatih-tatih selangkah demi selangkah menuju rumah Saudara Cheng Yi. Sesampainya di sana, aku segera memberi tahu dia apa yang telah terjadi dan memintanya agar segera menyuruh saudara-saudari untuk memindahkan buku-buku firman Tuhan. Setelah memberi tahu dia, aku berjalan tertatih-tatih kembali ke apartemenku. Saat itu sekitar pukul 3 pagi. Ketika menyalakan lampu, aku mendapati apartemenku berantakan. Apa yang telah terjadi dengan rumahku? Selimut, bantal, kasur, dan pakaianku semuanya berserakan di lantai. Seluruh isi apartemenku telah diporak-porandakan. Saat memeriksa luka-lukaku, aku mendapati seluruh tubuhku mengalami luka parah: daging di pergelangan kakiku telah menempel di bagian dalam celanaku, dan usus besarku keluar dari duburku sekitar 10 cm dan tampaknya mengalami nekrosis. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa, napasku sesak, dan aku merasa seperti orang sekarat. Luka-lukaku sangat parah—aku tak mampu bergerak dan tak mampu menelan seteguk air pun. Kupikir dalam hatiku: "Bisakah aku bertahan hidup dengan semua luka ini? Meskipun aku bertahan hidup, apakah aku akan aku lumpuh? Akankah kelak aku mampu mengurus diriku sendiri? Istri dan anak-anakku telah disesatkan oleh kebohongan PKT dan menentang kepercayaanku. Jika aku menjadi cacat, mereka tidak akan merawatku ...." Makin kupikirkan, makin buruk perasaanku, jadi aku berdoa kepada Tuhan. Saat berdoa, aku teringat firman Tuhan: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu, yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Benar, nasibku berada di tangan Tuhan. Hanya Tuhan-lah yang memutuskan apakah aku akan hidup atau mati dan apakah aku akan cacat atau tidak. Aku tahu aku harus menyerahkan diriku kepada Tuhan dan tunduk pada pengaturan-Nya. Meskipun menjadi cacat, aku akan tunduk. Meskipun istri dan anak-anakku tidak mau merawatku, aku tahu bahwa Tuhan menyertaiku dan saudara-saudariku pasti merawatku, jadi aku akan tetap hidup. Menyadari hal ini, aku tidak lagi merasa begitu tersiksa dan menderita.

Saudara Yu Zhijian tiba di rumahku pada pukul 4 pagi itu. Ketika dia masuk, dilihatnya aku sedang terbaring di tempat tidurku tanpa mampu bergerak, dia menarik selimutku hanya untuk mendapati celanaku berlumuran darah, tubuh bagian bawahku penuh dengan luka yang dalam dan daging yang menganga, dengan dubur dan potongan daging menempel di celanaku. Melihat keadaanku, dia menangis dan membawakanku baskom berisi air panas sembari menangis. Setelah membuka celanaku dengan cara mengguntingnya dan mengompres kakiku dengan air panas, dia dengan perlahan memisahkan celana dari dagingku, sepotong demi sepotong. Kulit di bawah lututku penuh dengan luka terbuka yang begitu dalam hingga tulangnya terlihat. Sampai hari ini, masih sangat berat bagiku untuk mengingat penyiksaan itu. Aku mengalami luka yang sangat parah, tetapi tidak berani pergi ke rumah sakit karena khawatir polisi akan menemukanku dan menangkapku ketika aku masuk dengan KTP-ku. Aku juga akan membahayakan saudara-saudariku. Selama waktu itu, aku sama sekali tak mampu mengurus diriku sendiri, dan Zhijian berisiko ditangkap karena datang dan mengurusku setiap hari. Dia belum lama percaya kepada Tuhan dan aku khawatir dia akan menjadi ketakutan dan lemah setelah melihat bagaimana aku dipukuli. Aku berkata kepadanya: "Mengalami pencobaan ini adalah hal yang baik bagiku—ini membuatku mengetahui diri Iblis yang sebenarnya." Di luar dugaan, Zhijian berkata: "Jangan khawatirkan aku. Kini aku telah melihat sendiri bahwa PKT adalah setan yang menentang Tuhan dan melakukan kekejaman terhadap manusia. Kita harus tetap teguh dalam kesaksian kita bagi Tuhan." Sepanjang minggu itu, aku membersihkan bagian usus besarku yang turun setiap hari dengan air garam serta meminum obat tradisional. Akhirnya, sekitar hari kedelapan setelah ditangkap, ususku yang turun itu sembuh. Setelah dua minggu, aku bisa berjalan lagi.

Setelah itu, polisi datang menginterogasi dan menggangguku setiap 15 hari. Setiap kali datang, mereka selalu menanyaiku dengan pertanyaan tentang gereja dan bertanya apakah aku masih berhubungan dengan anggota lainnya. Mereka bahkan mengancamku: "Jika kau tak mau mengaku, kami tidak akan pernah membatalkan kasusmu!" Kupikir dalam hatiku: "Aku sudah mengetahui diri kalian yang sebenarnya. Bagaimanapun kalian memaksa atau mengancamku, aku tidak akan pernah menyerah kepada kalian. Jangan pernah berpikir aku akan pernah mengkhianati Tuhan!" Dalam waktu dua tahun sejak aku ditangkap pada tahun 2006 hingga 2008, polisi setidaknya datang 25 kali untuk menginterogasiku. Karena mereka terus mengawasiku, aku tidak berani bertemu dengan saudara-saudari karena takut membuat mereka berada dalam masalah, jadi aku terpaksa pulang ke rumah keluargaku di desa.

Beberapa waktu kemudian, usus dan punggungku sembuh total, tetapi efek dari luka-luka itu terus kualami di pergelangan kakiku. Aku masih merasakan banyak rasa sakit dan kelemahan di kaki kananku dan aku menjadi pincang selama cuaca mendung atau hujan. Efek terburuk dari lukaku terjadi pada kulitku. Keropeng dari semua lukaku terkelupas menjadi bercak-bercak hitam, dan seluruh tubuhku dipenuhi dengan lubang-lubang yang tidak sedap dipandang, dipenuhi benjolan-benjolan padat dengan bisul putih kecil yang sangat gatal. Ketika aku mandi atau kepanasan, rasa gatal dari bisul itu lebih buruk daripada garam pada luka terbuka. Rasanya sangat gatal hingga aku hampir tak tahan—terkadang aku harus menggaruk area yang gatal itu dengan kerikil dari tepi sungai, atau menggunakan pisau untuk mengeluarkan nanahnya baru aku merasakan kelegaan. Aku telah menderita rasa sakit ini siang dan malam selama lebih dari 15 tahun. Selama waktu ini, aku telah pergi ke beberapa dokter pengobatan tradisional Tiongkok di klinik swasta, menghabiskan 10.500 yuan untuk tagihan medis tanpa perbaikan apa pun. Karena menanggung siksaan fisik yang luar biasa dan tidak dapat menghubungi saudara-saudariku serta menjalani kehidupan bergereja yang normal, aku mengalami penderitaan yang sangat besar dan sering berdoa kepada Tuhan dengan air mata berlinang, memohon agar Dia tetap berada di sisiku dan memberiku iman dan kekuatan. Jika aku tidak memiliki perlindungan dan bimbingan Tuhan selama hari-hari kelam itu, aku tidak akan pernah berhasil melewatinya.

Sudah 15 tahun sejak aku ditangkap, dan ketika aku merenung, aku menyadari bahwa meskipun aku memang menderita sampai taraf tertentu, aku juga telah mengetahui yang sebenarnya mengenai si naga merah yang sangat besar dan benar-benar mengenali esensi jahatnya. Sekarang aku membaca firman Tuhan yang berkata: "Ribuan tahun kebencian berkumpul di hati, dosa ribuan tahun tertulis di hati—bagaimana mungkin ini tidak menimbulkan kebencian? Tuhan yang membalas dendam, menghancurkan semua musuh-Nya, tidak membiarkannya mengacau lebih lama lagi, dan tidak mengizinkannya memerintah sebagai penguasa zalim! Sekaranglah saatnya: manusia sudah lama mengumpulkan seluruh kekuatannya, ia telah mencurahkan segenap upayanya dan membayar harga apa pun untuk ini, untuk menyingkapkan wajah setan ini dan membuat orang-orang, yang selama ini telah dibutakan dan yang telah mengalami segala macam penderitaan dan kesulitan untuk bangkit dari rasa sakit mereka dan memberontak melawan si Iblis tua yang jahat ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku melihat dengan lebih jelas betapa kejam dan biadabnya PKT. Mereka menyatakan bahwa mereka menghormati kebebasan beragama, tetapi secara diam-diam mereka menangkap dan menganiaya orang Kristen secara sewenang-wenang, berusaha memberangus pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia dan mengubah Tiongkok menjadi negara ateis. Mereka adalah komplotan Iblis yang membenci kebenaran dan menentang Tuhan. Aku benar-benar telah melihat wajah buruk PKT dan telah membenci dan memberontak terhadap mereka sepenuhnya. Melalui pengalaman ini, aku juga menyadari betapa Tuhan selalu menjaga dan melindungiku. Setiap kali aku berada dalam penderitaan atau merasa lemah, firman Tuhan selalu mengajar dan membimbingku serta memberiku kekuatan dan iman. Aku mengalami kasih Tuhan yang sejati bagi manusia dan keajaiban serta kemahakuasaan-Nya. Ini sangat memperkuat imanku kepada Tuhan. Betapa pun sulitnya jalan di depan atau sebanyak apa pun tubuhku harus menderita, aku akan mengikuti Tuhan sampai akhir!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Penderitaan adalah Berkat Tuhan

Oleh Saudara Wang Gang, TiongkokSuatu sore di musim dingin tahun 2008, saat aku dan dua orang saudari sedang bersaksi mengenai pekerjaan...

Hari-hari Penyiksaan Brutal

Oleh Saudari Chen Hui, TiongkokAku tumbuh dalam sebuah keluarga biasa di Tiongkok. Ayahku menjalani dinas militer dan karena telah dibentuk...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh