Penyiksaan yang Kualami

21 Maret 2025

Sekitar pukul 10 pagi pada tanggal 20 Maret 2014, di tengah kesibukanku, tiba-tiba aku menerima panggilan telepon dari istriku yang berkata dengan nada mendesak, "Petugas dari kantor polisi datang untuk menangkapmu. Jangan pulang ke rumah!" Aku langsung menjadi gugup saat mendengar hal ini dan berpikir "Ke mana aku harus pergi? Jika aku pergi ke rumah saudara-saudari, aku tentu membuat mereka terkena masalah. Pilihan satu-satunya bagiku adalah untuk mencari perlindungan di rumah teman atau saudara." Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah putriku. Di hari yang sama sekitar pukul 2 siang, tiga petugas berpakaian preman menyerbu ke rumah putriku dan salah seorang dari mereka berteriak, "Kau Lin Guang, bukan? Kami dari kantor polisi dan kami telah menyelidikimu selama bertahun-tahun." Tanpa menunjukan identitas apa pun, mereka kemudian memaksaku keluar menuju sedan mereka. Pada saat itu, aku sangat takut mereka akan memukuliku dan memaksaku untuk memberikan informasi mengenai gereja, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Ya, Tuhan! Tolong beri aku iman dan kekuatan. Tidak peduli apa yang dilakukan para petugas terhadapku, aku tidak akan menjadi seorang Yudas dan mengkhianati-Mu." Setelah berdoa, aku bisa tenang.

Saat berada di kantor polisi, dua petugas segera mendudukkanku dengan paksa ke kursi penyiksaan, mengunci tanganku di kursi, mencopot sepatu serta kaos kakiku dan memasang belenggu besi di kakiku. Dengan suara menyeramkan dan penuh kebencian, kepala kantor polisi berkata kepadaku, "Perintah penangkapanmu hari ini dikeluarkan langsung dari departemen keamanan masyarakat tingkat provinsi dan mereka memintaku untuk menangkapmu sendiri. Kau pasti orang penting! Sebaiknya kau segera bicara dan ceritakan semua yang kau ketahui kepada kami!" Setelah itu, dia meletakkan foto berukuran setengah inci yang bergambar lebih dari 10 orang di hadapanku dan menunjukan satu persatu, sambil menanyakan jika aku mengenali orang-orang yang ada di foto. Saat melihat seorang saudari yang ku kenal aku segera menjawab, "Aku tidak mengenal satu pun orang-orang ini." Dia kemudian menunjukan beberapa barang yang dikumpulkan dari rumahku termasuk dua Alkitab, satu eksemplar "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia", beberapa tanda terima penyimpanan buku-buku firman Tuhan dan 7,400 yuan lalu berkata, "Ini adalah bukti nyata bahwa kau beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan melawan PKT!" Kemudian dia mengambil tanda terima itu dan bertanya padaku, "Di mana kamu menaruh buku-buku itu?" Aku menjadi sangat gugup ketika aku melihatnya memegang tanda terima itu dan berpikir, "Itu adalah tanda terima untuk lebih dari seribu buku. Jika aku tidak memberitahukannya, tentu dia tidak akan melepaskanku, tetapi jika aku memberitahukannya, bukankah itu akan membuatku menjadi seorang Yudas?" Ketika menyadari hal ini, aku segera berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Tolong lindungilah hatiku dan izinkan aku untuk tenang dan tenteram di hadapan-Mu. Tak peduli apa pun yang dilakukan polisi terhadapku, aku tidak akan menjadi seorang Yudas dan tidak akan mengkhianati saudara-saudariku!" Setelah berdoa, aku teringat bagian dari firman-firman Tuhan ini: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu, yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Aku dapat merasakan otoritas Tuhan melalui firman-Nya. Segala sesuatu ada di tangan Tuhan dan Dia berdaulat atas segala hal! Bukankah fakta bahwa seminggu lalu aku telah memindahkan buku-buku yang kusimpan merupakan sebuah tanda perlindungan Tuhan? Ketika menyadari hal ini, aku dengan yakin menjawab, "Buku-buku itu sudah diserahkan." Seorang petugas melanjutkan interogasi, bertanya "Di mana tempat tinggal orang yang menerima buku-buku itu? Siapa namanya? Siapa pemimpinnya?" Kujawab, "Aku tidak tahu." Dia melotot ke arahku dan berteriak, "Kau mau memberi tahuku atau tidak? Jangan sok pintar hanya karena aku bersikap lunak kepadamu!" Kemudian dia berjalan menghampiriku dan dengan bengis menampar sisi kiri dan kanan wajahku. Kemudian dua petugas lainnya mendekat dan bergantian menampariku. Mereka menamparku setidaknya lebih dari 10 kali aku pun mulai berkunang-kunang, kupingku mendengung dan rasa sakit menyengat wajahku. Ketika melihatku masih tidak berbicara, seorang petugas mengambil kabel listrik setebal 2,5 cm dan mencambuk punggungku lebih dari 10 kali, membuat aku mengejang karena kesakitan. Aku berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku, memohon kepada-Nya untuk memberiku iman dan kehendak untuk menanggung penderitaan. Beberapa petugas menggeram dengan bengis, "Lepaskan pakaiannya dan pukul dia dengan keras. Kita lihat apakah dia mau bicara!" Kemudian mereka melepaskan pakaianku dengan paksa dan terus mencambukku sambil berteriak, "Kau mau bicara atau tidak?" Setidaknya mereka mencambukku delapan atau sembilan kali, dengan tiap cambukan menghantarkan rasa sakit yang membakar ke seluruh tubuhku. Namun, betapa pun mereka mencecarku, aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Kemudian dua petugas lainnya datang dan menampar wajahku secara bergantian. Mereka memukuliku hingga aku hampir pingsan dan tidak dapat membuka mataku.

Setelah beberapa saaat, seorang petugas datang membawa baskom berisi air. Dia melempar sepasang celana kotor ke dalam air dan kemudian menggunakan sebuah tongkat untuk mengangkat celana dari air dan mempercikkan air ke kepala serta tubuhku tanpa henti membuatku merasa kedinginan dan kesakitan. Saat melihatku masih tak mau bicara, mereka mengambil sebatang bambu seukuran jari kelingking dan mulai menekan serta memelintirnya ke putingku selama dua hingga tiga menit, menimbulkan rasa sakit yang membakar. Aku mengepalkan tanganku dan menggertakkan gigiku, tatapi aku merasa tidak dapat menahannya lebih lama lagi, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Tolong beri aku iman dan kehendak untuk menanggung penderitaan. Izinkan aku mengatasi penderitaan ini dan tetap teguh dalam kesaksian-Mu." Selama berdoa, aku berpikir tentang bagaimana Tuhan Yesus dipukuli oleh para tentara hingga seluruh tubuh-Nya penuh luka dan memar, dipaksa berjalan susah payah ke tempat penyalibannya dengan belenggu, dan akhirnya dipaku dengan brutal di kayu salib. Tuhan Yesus mengorbankan hidup-Nya untuk menembus umat manusia. Kasih Tuhan begitu besar! Kasih Tuhan sangat memotivasiku. Ketika memikirkan bagaimana Petrus juga disalibkan terbalik, aku menyadari bahwa penderitaan yang aku alami sangat kecil jika dibandingkan penderitaan Petrus. Aku tahu bahwa aku harus meniru Petrus, tetap teguh dalam kesaksianku, dan tidak peduli seberapa keras polisi menyiksaku, bahkan jika itu berarti mengorbankan hidupku, aku harus memuaskan Tuhan. Saat menyadari semua ini, imanku bertambah, sakit di tubuhku terasa berkurang, dan aku mulai mengalami sebuah perasaan tenang. Setelah itu, polisi terus menyiksaku dengan tongkat bambu dan kabel listrik secara bergantian, tetapi ketika mereka melihat aku masih tidak mau berbicara, mereka berteriak, "Kau keras kepala! Belum pernah kami mendapati orang yang keras kepala sepertimu! Bahkan seorang pahlawan pun pasti sudah menyerah pada titik ini! Apa yang membuatmu bertahan?" Aku sangat gembira ketika mendengar mereka mengatakan itu. Aku tahu Tuhan telah memberiku iman dan kehendak untuk menanggung penderitaan, yang memungkinkanku untuk mengatasi siksaan itu. Aku merasa Tuhan berada di sisiku dan imanku makin kuat—aku akan tetap teguh dalam kesaksianku kepada Tuhan bahkan jika itu berarti kematianku. Aku dengan tegas menyatakan, "Firman Tuhanlah yang membuatku bertahan!" Ketika mendengar itu, para petugas makin gencar melancarkan siksaannya, menamparku, menekan dan memelintir putingku, serta dengan tongkat bambu memukuli tanganku hingga menjadi membiru dan mati rasa. Seorang petugas berkata kepadaku, "Jika kau tidak berbicara, kami akan memukulimu hingga mati malam ini. Tidak ada yang peduli jika kami membunuhmu. Kalian para orang percaya harus dibunuh!" Aku menjadi marah ketika dia mengatakan itu dan berpikir, "Bahkan jika kau membunuhku, aku tidak akan mengatakan sepatah kata pun. Jangan harap bisa mendapatkan sedikit pun informasi dariku!"

Kemudian, melihat bahwa aku masih tidak mau berbicara, polisi menggunakan batang bambu untuk menekan dan memelintir kedua jempol kakiku serta memakai seutas kabel listrik untuk mencambuki kakiku. Mereka terus mencambukku secara bergantian menekan dan memelintir puting serta jempolku dengan batang bambu dan menamparku. Aku sangat kesakitan sampai menggertakan gigi, mengeluarkan suara gemeretak. Kemudian seorang petugas polisi berkata, "Jika kau tidak bicara, besok kami akan mengarakmu di jalanan. Kerabat, teman, dan keluargamu semua akan membencimu dan menolakmu. Jika kau bicara pada kami, kami tidak akan memberi tahu siapa pun bahwa kau ditangkap dan kau akan terhindar dari rasa malu." Aku menyadari bahwa ini merupakan rencana jahat Iblis dan aku memikirkan apa yang Tuhan Yesus katakan: "Diberkatilah mereka yang dianiaya karena kebenaran" (Matius 5:10). Ejekan, celaan, dan fitnahan seperti yang aku alami karena percaya kepada Tuhan ini adalah bentuk penganiayaan demi kebenaran. Ini bukan penghinaan, ini adalah hal yang mulia. Tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain, yang penting bagiku adalah memuaskan Tuhan. Saat menyadari hal ini, aku mengabaikan petugas itu. Kemudian petugas lainnya mengancamku, berkata, "Kau mau bicara atau tidak? Kalau tidak mau, kami akan memukulimu sampai mati malam ini dan melemparmu ke jalan raya. Mobil-mobil akan membuatmu jadi daging giling dan tidak akan ada yang tahu apa yang terjadi!" Ketika mendengarnya, aku berpikir, "Para petugas ini benar-benar jahat dan dapat melakukan apa pun. Jika mereka membunuhku, tidak ada seorang pun yang akan tahu." Aku memikirkan ayahku yang berusia 80an-tahun yang ada di rumah, juga istriku, yang menderita berbagai macam penyakit. "Jika mereka membunuhku, bagaimana ayah dan istriku bisa mengurus diri mereka sendiri?" Aku merasa sangat kacau ketika ini terjadi dan karenanya aku berdoa kepada Tuhan. Kemudian, aku teringat bagian dari firman-firman Tuhan: "Dalam setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan pada manusia, di luarnya pekerjaan itu terlihat seperti interaksi antara manusia, seolah-olah itu lahir karena pengaturan manusia atau dari gangguan manusia. Namun di balik layar, setiap langkah pekerjaan, dan semua yang terjadi, adalah pertaruhan yang Iblis buat di hadapan Tuhan, dan menuntut orang-orang untuk berdiri teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Firman Tuhan membantuku menyadari bahwa Iblis mencoba untuk menggunakan kelemahan dagingku dan kasih sayangku kepada keluargaku agar aku mengkhianati saudara-saudariku dan Tuhan. Aku tidak boleh jatuh dalam tipu dayanya. Kemudian aku mengingat hal lain yang dikatakan oleh Tuhan Yesus: "Ia yang mempertahankan nyawanya, akan kehilangan nyawanya, dan ia yang kehilangan nyawanya karena Aku, akan mendapatkannya" (Matius 10:39). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Bahkan jika mereka memukuliku sampai mati, jiwaku akan berada di tangan Tuhan, dan bahkan jika itu berarti mengorbankan hidupku, aku harus tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan. Manusia tidak bisa mengendalikan nasibnya, dan Tuhanlah yang berdaulat atas takdir kita, jadi kehidupan masa depan keluargaku juga berada di tangan Tuhan. Aku rela tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan, maka aku pun berdoa kepada Tuhan, "Ya, Tuhan! Semua hal dan kejadian berada di tangan-Mu, termasuk hidupku sendiri. Tidak peduli bagaimana polisi menyiksaku, bahkan jika itu berarti kematianku, aku tidak akan mengkhianati-Mu atau saudara-saudariku."

Ketika melihat bahwa aku masih tidak mau berbicara, polisi mengambil celana lusuh dari baskom berisi air dan memercikannya ke kepalaku beberapa kali, memutar batang bambu ke puting dan jempol kakiku, serta memukuli punggung kakiku dengan keras. Setiap kali mereka memukulku, rasanya sangat sakit hingga seluruh tubuhku mati rasa, jantungku berdebar-debar dan aku mengalami sesak napas. Aku menggertakan gigiku, berdoa dalam hati kepada Tuhan, dan tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Kemudian seorang petugas mengambil sebuah kaos kaki bau, melemparkannya ke dalam baskom agar air kotor itu terserap, dan kemudian menggosokkannya ke mulutku. Aku menutup mulutku rapat-rapat, jadi dia hanya menggosokannya ke bibirku. Kemudian, ketika aku sedikit mengendurkan mulutku, dia memasukkan kaos kaki itu ke mulutku dan mulai menggosokkannya ke gigiku sambil berkata, "Ini, biar aku yang membilas mulutmu!" Kemudian mereka mengambil baskom berisi air dingin dari kulkas dan menyiramkannya ke kepalaku. Setelah itu, ketika aku masih menolak untuk berbicara, mereka mengambil sebuah palu dan menggunakan gagang kayu untuk mencongkel mulutku dan kemudian membawa lebih dari setengah mangkuk minyak cabai dan mencoba menuangkannya ke tenggorokanku. Ketika menyadari bahwa mereka tidak bisa memasukkan minyak itu karena aku telah menutup mulutku sekuat tenaga, mereka hanya menggosokkannya ke bibirku dan pada luka di putingku, mereka tidak berhenti hingga semua minyak itu habis. Rasa sakit yang membakar itu hampir tak tertahankan dan aku terus-menerus menggigil serta gemetar di kursi penyiksaan. Kakiku lecet karena belenggu besi dan mengakibatkan luka menganga di kedua tumitku yang mulai berdarah. Rasa sakitnya begitu parah sehingga aku berpikir lebih baik aku mati saja dan merasa sangat putus asa. Aku berpikir, "Jika kalian hendak memukuliku, pukulilah aku hingga mati dan lepaskan aku dari kesengsaraan ini." Ketika aku mulai berpikir tentang keinginan untuk mati, aku menyadari bahwa hal itu salah—jika aku mati, bagaimana aku dapat menjadi saksi bagi Tuhan? Saat itu, aku memikirkan satu bagian dari firman Tuhan: "Engkau belum boleh mati. Engkau harus menguatkan dirimu dan bertekad untuk terus hidup. Engkau harus menjalani hidup bagi Tuhan. Ketika orang memiliki kebenaran di dalam diri mereka, mereka memiliki tekad ini dan tidak pernah lagi ingin mati. Ketika kematian mengancammu, engkau akan berkata, 'Ya Tuhan, aku tidak mau mati. Aku masih belum mengenal-Mu. Aku masih belum membalas kasih-Mu. Aku tak boleh mati sampai aku mengenal-Mu dengan baik.' ... Jika engkau tidak memahami maksud Tuhan, dan engkau hanya memikirkan penderitaan, maka makin engkau memikirkannya, makin engkau merasa tidak nyaman dan makin engkau merasa negatif, seolah-olah jalan hidupmu akan segera berakhir. Engkau akan mulai mengalami siksaan kematian. Jika engkau berusaha dengan sepenuh hatimu dan dengan segenap kekuatanmu untuk mengejar kebenaran, dan engkau mampu memahami kebenaran, maka hatimu akan dicerahkan, dan engkau akan mengalami kenikmatan. Engkau akan menemukan kedamaian dan sukacita di dalam hatimu dalam hidup ini, dan ketika penyakit menyerang atau kematian mendekat, engkau akan berkata, 'Aku belum memperoleh kebenaran, jadi aku tak boleh mati. Aku harus banyak mengorbankan diri untuk Tuhan, bersaksi tentang Tuhan dengan baik, dan membalas kasih Tuhan. Bagaimana aku mati pada akhirnya tidak masalah, karena aku telah menjalani kehidupan yang memuaskan. Apa pun yang terjadi, aku belum boleh mati. Aku harus bertahan dan terus hidup'" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). Firman Tuhan memberikan dampak mendalam, yang menyentuh hatiku. Tuhan menggunakan kesukaran ini untuk menyempurnakan iman dan kasihku dan memungkinkanku untuk memperoleh kebenaran. Setelah sedikit menderita, aku ingin mati dan terhindar dari kesengsaraan—dimanakah kesaksianku? Aku teringat betapa pun Petrus menderita dan mengalami kesukaran, dia tidak pernah mengeluh tentang Tuhan, sebaliknya dia berdoa untuk mencari maksud Tuhan, tunduk kepada segala sesuatu yang datang dari Tuhan dan akhirnya mencapai kasih tertinggi kepada Tuhan, tunduk hingga mati, disalib terbalik untuk Tuhan dan memberikan kesaksian yang luar biasa serta menggema. Aku harus meniru Petrus—betapa pun aku menderita, aku harus tetap hidup dan tetap teguh dalam kesaksianku untuk mempermalukan Iblis dengan setiap sisa napasku. Setelah itu, seorang petugas membawa masuk sebuah kipas angin, menyalakannya dengan setelan tertinggi, dan membiarkannya berembus ke arahku selama sekitar 10 menit, membuatku sangat kedinginan hingga aku mulai menggigil. Aku berpikir dalam hati, "Apa pun metode yang kalian gunakan, aku tidak akan pernah berbicara." Mereka menyiksaku dengan cara ini sejak pukul 3 sore hingga 4:30 keesokan paginya. Meskipun tidak mendapat sepatah kata pun dariku, akhirnya mereka sangat kelelahan sehingga mereka menyerah dan pergi.

Pada pagi hari kedua, mereka membawaku ke rumah tahanan. Kakiku sangat bengkak sehingga aku tidak bisa memakai sepatu, dan hanya bisa berjalan terpincang-pincang dengan kaki yang setengahnya menancap di sepatu. Setiap langkah membuatku merasakan sakit yang luar biasa. Ketika seorang petugas menyuruhku untuk melepas pakaianku untuk diperiksa dan melihat bahwa tubuhku penuh luka dan memar, dia berkata, "Siapa yang memukulimu seperti ini?" Aku hendak menjawab, ketika wakil kepala polisi buru-buru menyela, berkata, "Itu memar karena kerokan, bukan pemukulan." Ketika aku memasuki sel tempatku ditahan, seorang narapidana gendut memberi tahuku, "Pendatang baru harus dibersihkan dari kepala hingga kaki dengan enam baskom air. Ini adalah peraturannya." Saat mendengar itu, aku merasa sedikit gugup dan berpikir, "Di luar begitu dingin dan dicuci dengan enam baskom air pasti sangat dingin serta menyakitkan. Mana mungkin aku tahan?" Namun, yang mengejutkanku, ketika aku melepaskan pakaianku dan dia melihatku penuh dengan luka dan memar, dia memberi tahu narapidana lainnya, "Punggung, kaki, dan wajahnya semua lebam membiru, juga ada luka gores yang dalam, dan berlumuran darah di kedua tumitnya. Dia dihajar begitu parah, jadi dia tidak perlu disiram enam baskom air," Aku merasa sangat lega dan terus-menerus bersyukur kepada Tuhan di dalam hatiku.

Pada pukul dua siang di hari ketiga penahananku, tiba-tiba aku mengalami sakit kepala yang parah, jantungku mulai berdebar kencang dan aku pingsan di tempat tidur betonku. Saat itu, aku merasakan dadaku sesak seperti diikat dengan tali dan terasa berat seperti ada satu lempeng batu besar yang membebaniku. Rasanya sangat tidak nyaman dan sakit kepalaku sangat parah sehingga kepalaku seperti akan meledak. Seorang narapidana buru-buru memanggil seorang petugas yang memeriksa jantung dan denyut nadiku, kemudian berkata, "Jantungnya berdetak terlalu kencang, aku bahkan tidak bisa mengukurnya." Kemudian, mereka mengirimku ke rumah sakit, dan setelah diperiksa, didapati bahwa jantungku berdetak dengan kecepatan 240bpm dan aku mengalami serangan jantung. Aku dirawat di rumah sakit, dipakaikan masker oksigen, dan disuntikkan obat kardiotonik. Aku dirawat di rumah sakit selama empat hari dan karena polisi khawatir aku akan mencoba melarikan diri, mereka memborgolku ke tempat tidur dan menempatkan dua penjaga bersenjata di depan pintuku. Pada malam hari keempat, mereka membawaku kembali ke rumah tahanan. Beberapa petugas bertanya mengenai kondisiku, dan petugas yang menemaniku hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Orang ini sudah tamat, dia tidak berguna." Aku ingat mendengar narapidana lainnya mengatakan bahwa narapidana dengan cedera atau sakit parah dapat dibebaskan setelah ditahan selama sekitar 10 hari atau lebih. Aku pikir karena aku sakit parah, aku mungkin tidak akan ditahan terlalu lama dan mungkin Tuhan sedang membukakan jalan untukku. Aku berdoa kepada Tuhan, memberi tahu-Nya bahwa aku bersedia menyerahkan penyakitku ke tangan-Nya. Tidak peduli apakah aku hidup atau mati, apakah aku terus di penjara atau dibebaskan, aku bersedia tunduk pada kedaulatan dan pengaturan-Nya. Untuk beberapa hari berikutnya, aku menghabiskan sepanjang hariku di tempat tidur dengan rasa sakit yang parah, dan teman satu sel bergantian merawatku selama seminggu. Aku tahu bahwa Tuhan telah mengatur dan menata orang, peristiwa, serta hal-hal untuk membantuku dan aku pun terus bersyukur kepada-Nya! Karena aku menderita penyakit jantung stadium lanjut dan napasku bisa berhenti kapan saja, para petugas di rumah tahanan khawatir mereka akan dimintai pertanggungjawaban jika aku meninggal saat di tahanan, jadi, mereka memanggil istriku setelah 29 hari ditahan untuk mengurus jaminan penangguhan penahanan dan membebaskanku agar bisa pulang ke rumah. Aku ingat saat aku hendak pergi, wakil kepala polisi memperingatkanku, "Kami melepaskanmu, tetapi kau tetap dalam kendali kami. Istrimu adalah jaminan kami. Jika di masa mendatang kau melakukan kontak dengan para orang percaya, kami akan menangkapmu dan istrimu di lain waktu. Mulai sekarang, kau harus melapor ke kantor polisi setempat setiap bulannya." Saat itu, aku tidak menjawab dan hanya berpikir, "Kalian dapat mengawasi dan mengendalikanku, tetapi kalian tidak dapat mengendalikan hatiku yang mengikuti Tuhan. Aku akan terus beriman kepada Tuhan setelah dibebaskan."

Setelah dibebaskan dari rumah tahanan, penyakitku semakin memburuk dan serangannya makin sering muncul. Setiap kali kambuh, rasa sakitnya akan menjalar dari jantung ke punggungku dan dari tulang belakang ke kepalaku. Sakit kepalaku makin parah, rasanya seperti seseorang sedang menekan kepalaku dan telingaku berdenging lebih keras daripada mesin pabrik. Jantungku akan terasa sangat sesak seperti diikat dengan tali sehingga sulit untuk bernapas. Aku hanya bisa merasa lega dengan menarik nafas dalam-dalam dan perlahan. Jika serangan itu tidak membaik dengan sendirinya, aku harus pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan suntikan. Aku tidak mampu melakukan pekerjaan fisik dan bahkan membawa baskom berisi air terlalu berat bagi jantungku. Selain itu, karena minum obat dalam jangka waktu yang lama, aku mengalami masalah perut yang sangat serius. Aku nyaris lumpuh dan tidak dapat melakukan pekerjaan sekecil apa pun. Terlebih lagi, tagihan medis sangat membebani keluargaku dan membuat hidup menjadi sangat sulit. Setiap kali aku bepikir tentang bagaimana sebagai seorang pria, aku tak mampu bekerja dan menafkahi keluargaku, menjadi beban bagi keluargaku, dan bagaimana aku harus setiap hari menderita karena rasa sakit dan siksaan penyakit, aku merasa sangat tersiksa dan sengsara. Setiap kali aku menderita seperti ini, aku memikirkan pengalaman Ayub dan Petrus. Aku membaca bagian dari firman Tuhan ini: "Engkau menjalani ujian Ayub, dan pada saat yang sama engkau menjalani ujian Petrus. Ketika Ayub diuji, ia menjadi kesaksian, dan pada akhirnya Yahweh dinyatakan kepadanya. Hanya setelah dia menjadi kesaksian, dia layak memandang wajah Tuhan. Mengapa dikatakan: 'Aku menyembunyikan diri dari tanah najis, tetapi memperlihatkan diri-Ku pada kerajaan yang kudus'? Itu artinya bahwa hanya ketika engkau kudus dan menjadi kesaksian, engkau bisa memiliki martabat untuk memandang wajah Tuhan. Jika engkau tidak bisa menjadi kesaksian bagi-Nya, engkau tidak memiliki martabat untuk memandang wajah-Nya. Jika engkau mundur atau mengeluh kepada Tuhan saat menghadapi pemurnian, sehingga gagal menjadi kesaksian bagi-Nya, dan menjadi bahan tertawaan Iblis, maka engkau tidak akan mendapatkan penampakan Tuhan. Jika engkau seperti Ayub, yang di tengah ujian mengutuki dagingnya sendiri dan tidak mengeluh kepada Tuhan, dan mampu membenci dagingnya sendiri tanpa mengeluh atau berdosa dalam perkataannya, itulah artinya engkau akan menjadi kesaksian. Ketika engkau menjalani pemurnian sampai tahap tertentu dan masih bisa seperti Ayub, sepenuhnya tunduk di hadapan Tuhan, dan tanpa menuntut hal lain dari-Nya atau memiliki gagasanmu sendiri, Tuhan pun akan menampakkan diri kepadamu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Ketika merenungkan firman Tuhan, aku menyadari bahwa meskipun siksaan PKT telah membuatku dirundung penyakit, Tuhan menggunakan lingkungan ini untuk menyempurnakan iman dan kasihku. Dia ingin melihat apakah aku akan tunduk pada pengaturan dan penataan ini serta tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya melalui pemurnian ini. Ketika Ayub mengalami ujian, kehilangan semua hartanya dan melihat anak-anaknya sendiri binasa dalam satu hari, serta tubuhnya dipenuhi dengan barah yang busuk, dia tetap memiliki hati yang takut kepada Tuhan dan meskipun mengalami penderitaan serta kesakitan seperti itu, dia tidak pernah mengeluh tentang Tuhan dan bahkan memuji nama Tuhan. Lalu ada Petrus, yang mengalami ratusan ujian, tetapi tidak pernah kehilangan imannya kepada Tuhan dan akhirnya disalibkan terbalik untuk Tuhan, tunduk kepada Tuhan hingga akhir hayatnya. Penderitaan, ujian, dan pemurnian yang mereka alami jauh lebih besar daripada yang aku alami, tetapi mereka tetap tidak pernah memberontak atau menentang Tuhan, dan mampu dengan rela tunduk kepada-Nya tanpa mengeluh terlepas dari apakah mereka menerima berkat atau mengalami kemalangan. Aku hendak meniru mereka dan menahan diri untuk tidak mengeluh tentang Tuhan, tidak peduli seberapa besar penderitaan dan pemurnian yang kuhadapi. Dengan yakin, aku akan tetap teguh dalam kesaksianku kepada Tuhan.

Setelah melalui penganiayaan dan penangkapan ini, aku melihat dengan jelas esensi PKT yang jahat, yang membenci kebenaran dan Tuhan. Mereka seperti yang dikatakan oleh Tuhan: "Gerombolan kaki tangan dalam kejahatan ini! Mereka turun ke alam fana untuk menikmati kesenangan dan menyebabkan keributan, mengaduk-aduk segala sesuatu sedemikian rupa sehingga dunia menjadi tempat yang berubah-ubah dan tidak konstan serta hati manusia dipenuhi dengan kepanikan dan kegelisahan, dan mereka telah mempermainkan manusia sedemikian rupa sehingga penampilannya telah menjadi seperti binatang buas yang tidak manusiawi, sangat buruk, di mana jejak terakhir dari manusia yang awalnya kudus telah hilang. Selain itu, mereka bahkan ingin mendapatkan kekuasaan berdaulat di bumi. Mereka merintangi pekerjaan Tuhan sedemikian rupa sehingga itu hampir tidak bisa maju sedikit pun, dan mereka menutup manusia serapat tembok yang terbuat dari tembaga dan besi. Setelah melakukan begitu banyak dosa yang serius dan menyebabkan begitu banyak bencana, apakah mereka masih mengharapkan sesuatu selain hajaran?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (7)"). Tuhan telah menciptakan kita, sehingga menyembah dan percaya kepada Tuhan merupakan hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, tetapi PKT menggunakan segala cara untuk menganiaya dan menangkap orang-orang percaya, memaksa mereka untuk mengkhianati Tuhan dan mengikutinya, PKT juga berfantasi tentang mengendalikan umat manusia, ciptaan Tuhan. Betapa tidak tahu malunya mereka. Pada akhirnya para Iblis ini akan dikutuk dan dihukum oleh Tuhan! Dalam pengalamanku, aku juga menyaksikan perbuatan ajaib, kemahakuasaan, dan kedaulatan Tuhan. Setiap kali aku merasa tidak sanggup menanggung penderitaan yang ditimbulkan oleh kesengsaraan dan penyiksaan mereka, aku akan berdoa dan mengandalkan Tuhan dan penderitaan dagingku akan mereda. Ketika aku merasa negatif dan sengsara, firman Tuhan membimbingku untuk menjadi kuat dan tidak terkekang oleh kematian. Tuhan juga mengatur dan menata orang-orang, peristiwa, dan hal-hal lain untuk membantuku, memungkinkanku merasakan bahwa Dia ada di sisiku, mengasihani kelemahanku. Ini semua adalah kasih Tuhan untukku dan sekarang imanku kepada Tuhan makin bertambah dibandingkan sebelumnya.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Hidup di Ambang Kematian

Oleh Saudari Wang Fang, TiongkokPada tahun 2008, aku bertanggung jawab untuk mengangkut buku-buku gereja. Ini adalah jenis tugas yang...