Sebuah Lagu Kehidupan di Tengah Kehancuran

07 November 2019

Oleh Gao Jing, Provinsi Henan

Pada tahun 1999, aku beruntung menerima pekerjaan Tuhan yang Mahakuasa pada akhir zaman. Melalui pembacaan firman Tuhan, aku merasakan otoritas dan kuasa di dalam firman Tuhan, dan merasa bahwa firman ini adalah suara Tuhan. Mampu mendengar firman yang diungkapkan kepada umat manusia oleh Sang Pencipta menggerakkan diriku melampaui kemampuanku untuk melukiskannya, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan damai dan sukacita jauh di dalam rohku yang dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus dalam diri manusia. Sejak saat itu, aku menjadi pembaca yang semakin gemar akan firman Tuhan. Setelah aku bergabung dengan Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, aku melihat bahwa gereja adalah dunia yang sama sekali baru, sepenuhnya berbeda dari dunia di tengah masyarakat. Semua saudara-saudari sederhana dan baik hati, murni dan penuh gairah hidup. Meskipun kami tidak memiliki hubungan darah satu dengan yang lain, dan kami masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda serta memiliki identitas kami sendiri, kami semua sepertinya memiliki kepedulian yang sama, saling mengasihi, saling mendukung, dan dipersatukan bersama dalam sukacita. Melihat hal ini benar-benar membuatku merasa betapa bahagia dan sukacitanya, betapa indah dan manisnya hidup yang dipergunakan untuk menyembah Tuhan. Kemudian, aku membaca firman Tuhan ini: "Sebagai anggota umat manusia dan orang Kristen yang taat, adalah tanggung jawab dan kewajiban kita semua untuk mempersembahkan pikiran dan tubuh kita untuk memenuhi amanat Tuhan, sebab seluruh keberadaan kita berasal dari Tuhan, dan kita ada berkat kedaulatan Tuhan. Apabila pikiran dan tubuh kita bukan dipersembahkan untuk amanat Tuhan dan bukan untuk tujuan kebenaran bagi umat manusia, maka jiwa kita akan merasa malu dengan jiwa orang-orang yang telah menjadi martir demi amanat Tuhan, dan bahkan lebih malu lagi dengan Tuhan, yang telah menyediakan segalanya untuk kita" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia"). Firman Tuhan memampukanku untuk mengerti bahwa, sebagai makhluk ciptaan, aku harus hidup bagi Sang Pencipta, dan bahwa aku harus mengabdikan dan mengorbankan seluruh diriku untuk menyebarkan dan memberikan kesaksian tentang Injil Tuhan pada akhir zaman—hanya inilah kehidupan yang paling berharga dan bermakna. Maka, ketika aku mendengar bahwa banyak orang yang tinggal di daerah-daerah yang sangat jauh dan terpencil belum pernah mendengar Injil Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman, aku dengan tekad bulat mengucapkan selamat tinggal kepada saudara-saudari di kota asalku dan memulai perjalananku untuk menyebarkan Injil kerajaan.

Pada tahun 2002, aku tiba di daerah pegunungan terpencil dan terbelakang di Provinsi Guizhou untuk memberitakan Injil. Menyebarkan Injil di sana membuatku harus berjalan bermil-mil di sepanjang jalan setapak di pegunungan setiap hari, dan aku sering kali harus melawan angin dan salju. Namun, dengan Tuhan di sampingku, aku tak pernah merasa lelah, atau merasa bahwa itu adalah hal yang sulit. Di bawah bimbingan dari pekerjaan Roh Kudus, pekerjaan Injil di sana segera berkembang pesat, dengan semakin banyaknya orang yang menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman dan kehidupan bergereja penuh dengan semangat. Dibimbing oleh firman Tuhan, aku menghabiskan enam tahun yang bahagia dan memuaskan di tempat itu. Lebih tepatnya, sampai tahun 2008, ketika sesuatu yang tidak biasa terjadi secara tiba-tiba, sesuatu yang akan menghancurkan sukacita dan ketenangan hidupku ...

Peristiwa itu terjadi sekitar jam 11 pagi pada tanggal 15 Maret 2008. Aku dan dua orang saudara sedang berkumpul ketika tiba-tiba empat polisi menerobos pintu dan dengan cepat menjatuhkan dan menekan tubuh kami ke lantai. Mereka memborgol kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu mendorong dan menyeret kami ke mobil polisi. Di dalam mobil, mereka semua tertawa terkekeh-kekeh dengan jahatnya, sambil mengayunkan tongkat kejut listrik kepada kami dan sesekali memukulkannya ke kepala atau tubuh kami. Mereka menyumpahi kami dengan kejam, sambil mengatakan, "Kalian semua bajingan! Kalian masih sangat muda sehingga bisa melakukan apa saja, tetapi kalian malah percaya kepada Tuhan! Memangnya tidak ada yang lebih baik yang bisa kalian lakukan?" Ditangkap secara begitu mendadak membuatku merasa sangat gugup, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kami. Yang bisa kulakukan hanyalah berseru kepada Tuhan diam-diam dalam hatiku, berulang kali, "Ya Tuhan! Situasi ini telah menimpa kami hari ini atas izin-Mu. Aku hanya meminta agar Engkau memberi kami iman dan melindungi kami sehingga kami dapat menjadi kesaksian bagi-Mu." Setelah aku berdoa, satu baris firman Tuhanmelayang ke dalam pikiranku: "Setialah kepada-Ku apa pun yang terjadi, dan majulah dengan berani; Aku adalah batu karangmu yang teguh, jadi andalkanlah diri-Ku!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). "Ya!" pikirku. "Tuhan adalah sandaranku dan Dia adalah penopangku yang kuat dan berkuasa. Tidak peduli dalam situasi apa pun aku berada, selama aku dapat tetap setia kepada Tuhan dan berdiri bersama-Nya, aku pasti akan mengalahkan dan mempermalukan Iblis." Pencerahan dari firman Tuhan memampukanku untuk mendapatkan kekuatan dan iman, dan aku diam-diam bertekad: aku lebih baik mati daripada meninggalkan jalan yang benar dan tidak menjadi kesaksian bagi Tuhan!

Begitu kami tiba di kantor polisi, para polisi itu menyeret kami dengan kasar keluar dari mobil, lalu mendorong dan mendesak kami ke dalam kantor. Mereka mengeledah seluruh tubuh kami dengan teliti dan menemukan beberapa materi Injil dan ponsel di tas milik dua saudara segerejaku. Ketika mengetahui bahwa mereka belum mendapatkan uang sedikit pun, salah satu dari polisi yang jahat itu menyeret salah seorang saudara dan menendang serta memukulinya hingga ia jatuh ke lantai. Setelah itu, kami dibawa ke ruangan yang berbeda-beda untuk diinterogasi secara terpisah. Mereka menanyaiku sepanjang sore itu, tetapi mereka tidak mendapatkan sepatah kata pun dariku. Telah lewat jam 8 malam ketika mereka mencatat kami bertiga sebagai tahanan tanpa nama, sebelum membawa kami semua ke rumah tahanan setempat.

Begitu kami tiba di rumah tahanan, dua wanita petugas pemasyarakatan menanggalkan semua pakaianku. Mereka memotong setiap logam pada pakaianku dan mengambil tali sepatu serta ikat pinggangku. Tanpa alas kaki dan dengan mengangkat celana panjangku, aku berjalan dengan gentar ke sel-ku. Ketika para tahanan wanita melihatku masuk, mereka menyerbu ke arahku bagaikan orang gila dan semuanya mengelilingi aku, mereka semua mengajukan pertanyaan tentang diriku secara bersamaan. Cahaya lampu sangat redup di sana sehingga mata mereka tampak selebar cawan; mereka membelalak padaku dan dengan penuh rasa ingin tahu memandangiku dari ke atas ke bawah, sementara beberapa orang menarik lenganku, menyentuh dan mencubitku di sana sini. Dengan tercengang, aku berdiri terpaku di tempat, merasa sangat takut dan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Memikirkan bahwa aku harus tinggal di tempat yang seperti neraka bersama wanita-wanita ini, aku merasa ingin menangis atas semua ketidakadilan itu. Pada saat itulah, seorang tahanan yang telah sejak tadi duduk di tempat tidur dari batu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba berteriak, "Cukup! Dia baru saja datang dan tidak tahu apa-apa. Jangan menakuti dia." Dia lalu memberiku selimut untuk membungkus tubuhku. Aku merasakan gelora kehangatan pada saat itu, dan aku tahu betul bahwa bukan tahanan ini yang sedang bersikap baik kepadaku, melainkan Tuhanlah yang sedang menggunakan orang-orang di sekitarku untuk menolong dan merawatku. Tuhan telah menyertaiku sepanjang waktu, dan aku sama sekali tidak sendirian. Memiliki kasih Tuhan yang menyertaiku dalam neraka di bumi yang suram dan mengerikan ini, aku merasa sangat terhibur. Larut malam setelah semua tahanan lainnya tertidur, aku masih belum terpikir untuk tidur sama sekali. Aku memikirkan betapa pagi itu aku baru saja dengan gembira melakukan tugasku dengan saudara-saudariku, tetapi malam ini aku terbaring di tempat neraka yang seperti makam ini, tanpa mengetahui kapan aku akan dibebaskan—aku merasakan kesedihan dan penderitaan yang tak terungkapkan. Baru saja aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, angin yang teramatdingin menerpa entah dari mana, dan tanpa sadar aku menggigil. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ke sekeliling, dan baru pada saat itulah aku menyadari bahwa sel itu terbuka untuk masuknya udara dingin. Selain atap di atas tempat tidur, bagian lainnya dari sel itu memiliki bentuk jaring di atasnya yang terbuat dari batang logam tebal yang dilas satu sama lain, dan angin yang dingin menyerbu masuk. Sesekali, aku juga bisa mendengar langkah kaki para polisi yang berpatroli sedang berjalan di atap. Satu-satunya yang bisa kurasakan adalah ketakutan yang menusuk tulang, dan rasa takutku, ketidakberdayaanku, dan perasaan bahwa aku telah diperlakukan tidak adil semuanya membanjiri hatiku; air mata jatuh tanpa diundang dari mataku. Tepat pada saat itu, satu bagian dari firman Tuhan melayang dengan jelas ke dalam pikiranku: "Engkau tahu bahwa segala sesuatu di lingkungan sekitarmu berada di sana atas seizin-Ku, semuanya diatur oleh-Ku. Lihatlah dengan jelas dan puaskanlah hati-Ku di lingkungan yang telah Kuberikan kepadamu. Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). "Ya," pikirku, "Tuhan telah mengizinkan pemerintah PKT (Partai Komunis Tiongkok) untuk menangkapku. Meskipun tempat ini gelap dan sangat menakutkan, dan aku tidak tahu apa lagi yang akan kuhadapi selanjutnya, Tuhan adalah penopangku, jadi tidak ada yang perlu kutakutkan! Ya atau tidak sama sekali, dan aku menyerahkan segala sesuatu ke dalam tangan Tuhan." Setelah memahami kehendak Tuhan, aku merasa jauh lebih santai, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Terima kasih atas pencerahan dan penerangan-Mu yang telah memampukan aku untuk mengerti bahwa semua ini terjadi atas izin-Mu. Aku ingin tunduk pada pengaturan dan pengelolaan-Mu, mencari kehendak-Mu dalam keadaan yang sulit ini, serta mendapatkan kebenaran yang ingin Kauberikan kepadaku. Ya Tuhan! Hanya saja tingkat pertumbuhanku masih sangat kecil, jadi aku memohon agar Engkau memberiku iman dan kekuatan dan melindungiku, agar siksaan apa pun yang akan kuterima, aku tidak akan pernah mengkhianati-Mu." Setelah berdoa, aku mengeringkan air mataku dan merenungkan firman Tuhan, sambil dengan tenang menunggu kedatangan hari yang baru.

Dini hari berikutnya, terdengar suara gedoran dan pintu sel terbuka. Salah seorang petugas pemasyarakatan berteriak dengan keras, "Keluar kau, si Anu!" Aku sempat berlama-lama sebelum akhirnya menyadari bahwa dia memanggilku. Di ruang interogasi, para polisi sekali lagi memintaku untuk memberikan nama dan alamatku, dan untuk memberi tahu mereka tentang gereja. Aku tidak mengatakan apa pun, melainkan hanya duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Mereka menanyaiku setiap hari selama seminggu, sampai akhirnya salah seorang dari mereka meninjuku dengan kepalan tangannya dan berteriak, "Bangsat kau! Kami telah menghabiskan waktu berhari-hari denganmu dan kau belum mengucapkan sepatah kata pun. Baik, tunggu saja. Kami punya sesuatu untuk diperlihatkan kepadamu!" Setelah mengatakan hal ini, kedua polisi tersebut bergegas pergi dengan marah, sambil membanting pintu di belakang mereka. Suatu hari menjelang malam, polisi-polisi itu datang kembali dan memanggilku untuk menghadap. Mereka memborgolku dan memasukkanku ke dalam mobil polisi. Duduk di bagian belakang mobil itu, aku mau tak mau merasakan kepanikan mulai muncul dalam diriku, dan aku berpikir, "Ke mana mereka akan membawaku? Mungkinkah mereka akan membawaku ke tempat yang sunyi dan terpencil untuk memerkosaku? Apakah mereka akan memasukkanku ke dalam karung dan melemparkanku ke sungai untuk dijadikan makanan ikan?" Aku sangat takut, tetapi tepat pada saat itu beberapa baris dari nyanyian pujian gerejawi yang berjudul "Kerajaan" mulai bergema di telingaku: "Tuhan penopangku, mengapa takut? Aku akan melawan Iblis hingga akhir. Tuhan mengangkat kita, jadi tinggalkan semua, berjuang menjadi saksi Kristus. Tuhan pasti akan melaksanakan kehendak-Nya di bumi. Aku akan memberikan kasih, kesetiaan, pengabdianku kepada-Nya. Aku akan menyambut kedatangan-Nya kembali saat Dia datang dalam kemuliaan" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Dalam sekejap, kekuatan yang tiada habisnya timbul dalam diriku. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat keluar jendela sambil dengan diam-diam merenungkan lirik lagu pujian tersebut. Salah satu polisi memperhatikan bahwa aku sedang menatap ke luar jendela dan dengan cepat menarik tirai di seberangnya, sebelum membentakku dengan galak, "Apa yang sedang kaulihat? Turunkan kepalamu!" Diteriaki secara tiba-tiba membuatku gemetar karena terkejut, dan aku segera menundukkan kepalaku. Empat polisi semuanya merokok di dalam mobil, terus-menerus meniupkan gumpalan asap, dan segera udara di dalam mobil itu menjadi pengap dan tak tertahankan; aku mulai terbatuk-batuk. Salah satu polisi yang sedang duduk di depanku berbalik dan menjepit rahang bawahku dengan jari-jarinya sebelum menghembuskan asap tepat di wajahku. Dia kemudian berkata dengan jahat, "Kau tahu, kau hanya perlu memberi tahu kami semua yang kau ketahui, dan kau tidak perlu menderita sama sekali; kau bisa langsung pulang. Kau wanita yang masih muda, dan kau sangat cantik ..." Ketika mengatakan hal ini, jari-jarinya menelusuri wajahku dan ia mengedipkan mata kepadaku dengan penuh nafsu, lalu tertawa nakal dan berkata, "Mungkin kami akan mencarikan pacar untukmu." Aku memalingkan wajahku dan mengangkat tanganku yang terbelenggu untuk melepaskan tangannya. Karena merasa malu dan itu membuatnya marah, dia berkata, "Oh, kau sungguh kuat. Tunggu saja sampai kita tiba di tempat tujuan, maka kau akan berperilaku baik." Mobil terus melaju. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi, dan yang bisa kulakukan hanyalah berseru kepada Tuhan secara diam-diam dalam hatiku, "Ya Tuhan! Aku siap mempertaruhkan segalanya sekarang. Tidak peduli taktik apa yang digunakan oleh petugas-petugas jahat ini terhadapku, selama aku masih memiliki satu tarikan napas tersisa di tubuhku, aku akan menjadi kesaksian yang kuat dan hebat bagi-Mu di hadapan Iblis!"

Setelah lebih dari setengah jam, mobil itu berhenti. Polisi-polisi itu menyeretku keluar; aku berdiri dengan terhuyung dan melihat ke sekeliling. Hari sudah benar-benar gelap, dan hanya ada beberapa bangunan kosong yang berpencaran di sekeliling tanpa satu pun lampu yang bercahaya—semuanya tampak begitu suram dan menakutkan. Aku digiring masuk ke salah satu bangunan. Di dalam, ada sebuah meja dan sofa, dengan lampu listrik tergantung di langit-langit yang memancarkan cahaya pucat mengerikan ke seluruh ruangan. Ada tali dan rantai baja tergeletak di lantai, dan di seberang ruangan ada sebuah kursi yang terbuat dari batang logam tebal. Dihadapkan dengan pemandangan yang mengerikan ini, aku mau tak mau mulai panik. Kedua kakiku tiba-tiba menjadi gemetar dan aku harus duduk di sofa agar tenang. Beberapa pria kemudian masuk ke ruangan itu, dan aku dibentak dengan keras oleh salah seorang dari mereka. "Kaupikir apa yang sedang kaulakukan dengan duduk di sana? Apa itu milikmu untuk kau duduki? Ayo bangun!" Sambil berbicara, dia bergegas menghampiriku dan menendangku beberapa kali, lalu merenggut bagian depan bajuku, menarikku dari sofa dan menyeretku ke kursi logam. Seorang polisi lainnya berkata kepadaku, "Kau tahu, kursi ini adalah benda yang hebat. Kau hanya perlu duduk di atasnya sebentar dan kau akan 'mendapatkan manfaat' selama sisa hidupmu. Kursi ini telah dipersiapkan secara khusus untuk kalian orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Kami tidak membiarkan sembarang orang duduk di atasnya. Kau hanya perlu menjadi gadis yang baik, melakukan apa yang kami katakan, dan menjawab pertanyaan kami dengan jujur, dan kemudian kau tidak perlu duduk di atasnya. Jadi beri tahu kami, mengapa kau datang ke Guizhou? Apa untuk mengkhotbahkan Injilmu?" Aku tidak mengatakan apa pun. Seorang polisi yang terlihat tangguh yang sedang berdiri di samping menunjuk ke wajahku dan menyumpahiku, sambil berkata, "Berhenti membisu, sialan kau! Jika kau tidak berbicara, kau akan merasakan kursi itu!" Aku tetap diam.

Pada saat itulah, seorang wanita berpakaian menggoda masuk ke dalam ruangan, dan ternyata dia telah diminta oleh gerombolan polisi ini untuk datang dan membujukku untuk mengaku. Dia menasihatiku dengan kelemahlembutan palsu, dan berkata, "Lihat, kau orang asing di sini, dan kau tidak punya kerabat atau teman di sekitar sini. Beri tahu kami apa yang ingin kami ketahui, oke? Setelah kau memberi tahu kami apa yang ingin kami ketahui, aku akan mencarikanmu pekerjaan, dan mencarikanmu seorang suami di sini di Guizhou. Aku juga berjanji akan mencarikanmu pria yang baik. Namun jika kau tidak menginginkannya, kau bisa bekerja padaku sebagai pengasuh. Aku akan membayarmu setiap bulan. Dengan begitu, kau bisa menetap dan tinggal di sini." Aku mengangkat kepalaku dan melihatnya sepintas, tetapi tidak menjawab. Dalam hatiku, aku berpikir, "Setan tetaplah setan. Mereka tidak mengakui keberadaan Tuhan, tetapi hanya melakukan segala macam hal yang sangat buruk demi uang dan keuntungan. Sekarang mereka mencoba menggunakan keuntungan untuk menyuapku dan membuatku mengkhianati Tuhan. Bagaimana mungkin aku bisa terpengaruh oleh rencana licik mereka dan menjadi Yudas yang memalukan?" Wanita itu melihat bahwa kata-katanya yang "baik hati" tidak berdampak apa pun pada diriku dan merasa bahwa dia telah kehilangan muka di hadapan polisi-polisi lainnya, jadi dia segera menghentikan kepalsuannya dan menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Dia melepaskan satu tali pegangan dari ranselnya dan dengan ganas mencambukku dengan tali itu beberapa kali, lalu dengan agresif melemparkan ranselnya ke sofa. Sambil menggelengkan kepalanya dengan gusar, dia pergi berdiri di samping. Melihat apa yang terjadi, seorang polisi jahat bertubuh gendut menyerbu ke arahku, menjambak rambutku, dan membenturkan kepalaku ke dinding beberapa kali, sambil meneriaki aku dengan gigi yang gemeretak, "Tidak tahukah kau jika seseorang berusaha untuk baik kepadamu? Hah? Kau mau bicara atau tidak?" Kepalaku dibenturkan ke dinding berkali-kali hingga aku berkunang-kunang, kepalaku berdengung, ruangan itu terasa berputar, dan aku jatuh ke lantai. Dia kemudian menyeretku bangun dan melemparkanku ke kursi logam seolah-olah aku tidak lebih dari seekor burung kecil. Baru setelah aku sedikit pulih, aku mulai membuka mataku sedikit—aku melihat bahwa di tangannya dia masih mencengkeram segenggam rambutku yang terlepas. Aku diikat pada kursi dari kepala sampai ke kakiku, dan sebuah pelat baja tebal dipasang di depan dadaku. Borgolku diikatkan pada kursi, dan belenggu dengan berat puluhan kilo diikatkan pada kakiku, dan kemudian belenggu itu juga dirantai ke kursi. Aku merasa seperti patung, tidak bisa menggerakkan satu otot pun. Rantai, kunci, dan belenggu yang dingin dan berat menahanku pada kursi logam itu—penderitaanku tak terlukiskan dengan kata-kata. Melihatku kesakitan, polisi-polisi yang jahat itu merasa senang dengan diri mereka sendiri dan mulai mengejekku, sambil mengatakan, "Bukankah Tuhan yang kaupercaya itu mahakuasa? Mengapa Dia tidak datang untuk menyelamatkanmu? Mengapa Dia tidak menyelamatkanmu dari kursi penyiksaan ini? Kau sebaiknya mulai bicara. Tuhanmu tidak bisa menyelamatkanmu, hanya kami yang bisa melakukannya. Beri tahu kami apa yang ingin kami ketahui, dan kami akan membiarkanmu pergi. Kau bisa memiliki kehidupan yang baik. Sungguh sia-sia memercayai Tuhan!" Aku menghadapi pernyataan sarkartis polisi-polisi jahat itu dengan sangat tenang, karena firman Tuhan berkata: "Pada akhir zaman, Tuhan menggunakan firman, bukan tanda dan mukjizat, untuk menyempurnakan manusia. Dia menggunakan firman-Nya untuk menyingkapkan manusia, menghakimi manusia, menghajar manusia, dan menyempurnakan manusia, supaya di dalam firman Tuhan, manusia dapat melihat hikmat dan keindahan Tuhan, dan menjadi paham akan watak Tuhan, dan supaya melalui firman Tuhan, manusia melihat perbuatan-perbuatan Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mengenal Pekerjaan Tuhan pada Zaman Sekarang"). Pekerjaan yang Tuhan lakukan sekarang adalah pekerjaan yang nyata, bukan yang supernatural.. Tuhan menggunakan firman-Nya untuk menyempurnakan manusia dan memungkinkan firman-Nya menjadi iman dan hidup kita. Dia menggunakan situasi-situasi nyata untuk mengubah watak hidup kita, dan pekerjaan nyata semacam inilah yang dapat dengan lebih baik mengungkapkan kuasa dan hikmat Tuhan yang besar, dan dapat dengan lebih baik mengalahkan Iblis sekali untuk selamanya. Aku telah ditangkap dan mengalami penyiksaan yang kejam oleh pemerintah PKT karena Tuhan ingin menguji imanku kepada-Nya dan melihat apakah aku dapat hidup berdasarkan firman-Nya dan menjadi kesaksian bagi-Nya. Mengetahui hal ini, aku ingin tunduk pada situasi apa pun yang diizinkan Tuhan untuk menimpaku. Kebisuanku membangkitkan amarah gerombolan polisi jahat itu dan mereka menyerbuku seakan mereka semua telah menjadi gila. Mereka mengepungku dan memukuliku dengan ganas. Beberapa orang meninju kepalaku dengan keras dengan kepalan tangan mereka, beberapa orang menendang kakiku dengan liar, sementara yang lainnya merobek pakaianku dan meraba-raba wajahku. Kemarahanku mendidih menghadapi pemukulan mereka yang kejam dan kebiadabanmereka. Kalau saja aku tidak tertahan dengan erat pada kursi penyiksaan itu, aku pasti sudah bertarung dengan mati-matian! Terhadap pemerintah PKT, organisasi kriminal yang jahat itu, aku tidak merasakan apa pun kecuali kebencian sampai ke tulang sumsumku, dan aku benar-benar harus membulatkan tekad dalam hatiku: semakin mereka menganiaya aku, semakin imanku akan bertumbuh, dan aku akan percaya kepada Tuhan sampai napas terakhirku! Semakin mereka menganiaya aku, semakin hal itu membuktikan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa adalah satu-satunya Tuhan yang benar, dan semakin hal itu membuktikan bahwa aku mengikuti jalan yang benar! Diperhadapkan pada kenyataan ini, aku menyadari dengan sangat jelas bahwa ini adalah peperangan antara yang baik dan yang jahat, pertarungan antara hidup dan mati, dan bahwa yang harus kulakukan adalah bersumpah untuk menjunjung tinggi nama Tuhan dan kesaksian Tuhan, untuk mempermalukan Iblis dengan tindakan nyataku, sehingga membuat Tuhan dapat memperoleh kemuliaan. Para polisi jahat itu berusaha mendapatkan pengakuan dariku selama beberapa hari penyiksaan dan interogasi, tetapi aku tidak memberi tahu mereka apa pun tentang gereja. Pada akhirnya, mereka kehabisan pilihan, dan berkata, "Yang ini benar-benar tangguh. Kita sudah menanyai dia selama berhari-hari sekarang, tetapi dia belum mengucapkan sepatah kata pun." Ketika aku mendengar mereka membicarakan diriku, aku tahu bahwa firman Tuhan telah menolongku melewati setiap gerbang neraka yang ditempatkan oleh setan-setan ini di hadapanku, dan bahwa Tuhan telah melindungiku sehingga aku bisa menjadi kesaksian bagi-Nya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku diam-diam bersyukur dan memuji Tuhan Yang Mahakuasa!

Selama lebih dari sepuluh hari diinterogasi, aku telah duduk di kursi penyiksaan yang sangat dingin itu siang dan malam, dan seluruh tubuhku terasa seolah-olah telah dilemparkan ke dalam gua es yang besar. Rasa dinginnya telah menembus ke dalam tulang sumsumku, dan setiap sendi di dalam tubuhku terasa seolah telah terkoyak. Salah satu polisi jahat yang masih sangat muda melihatku menggigil kedinginan, jadi mengambil keuntungan dari situasi ini untuk mengatakan kepadaku, "Kau sebaiknya mulai berbicara! Bahkan orang yang paling tegar sekalipun tidak bisa bertahan lama di kursi ini. Jika kau terus begini, kau akan lumpuh selama sisa hidupmu." Saat mendengarnya berkata demikian, aku mulai melemah dan merasa cemas, tetapi kemudian aku diam-diam berseru kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk memberiku kekuatan untuk menanggung siksaan yang tidak manusiawi ini dan tidak melakukan apa pun yang bisa mengkhianati Tuhan. Setelah aku berdoa, Tuhan mencerahkanku dengan nyanyian pujian gerejawi yang sejak dulu menjadi lagu favorit untuk kunyanyikan: "Aku tidak peduli betapa berat jalan kepercayaan kepada Tuhan, aku hanya melakukan kehendak Tuhan sebagai panggilanku; tak kupedulikan entah aku menerima berkat atau mengalami kemalangan di masa depan. Sekarang aku bertekad mengasihi Tuhan, aku akan setia sampai akhir. Apa pun bahaya atau kesulitan yang mengintai di belakangku, bagaimanapun akhir hidupku, untuk menyambut hari kemuliaan Tuhan, aku mengikuti jejak kaki Tuhan dari dekat dan berusaha terus maju" ("Bergerak Maju di Sepanjang Jalan Mengasihi Tuhan" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru"). Semua kata dari nyanyian pujian itu mengilhamiku, dan aku menyanyikannya berulang-ulang dalam pikiranku. Aku tidak bisa tidak memikirkan sumpah yang telah kubuat sebelumnya di hadapan Tuhan, bahwa apa pun penderitaan atau kesulitan yang harus kualami, aku tetap akan mengorbankan hidupku untuk Tuhan dan tetap setia kepada-Nya sampai akhir. Namun, aku mulai merasa lemah dan takut setelah menderita rasa sakit sedikit saja—bagaimana ini bisa disebut setia? Tidakkah aku sedang jatuh ke dalam rencana licik Iblis? Iblis ingin aku memikirkan dagingku dan mengkhianati Tuhan, tetapi aku tahu aku tidak boleh membiarkannya membodohiku. Bahwa aku dapat menderita karena imanku kepada Tuhan adalah hal yang paling berarti, paling berharga, hal yang sungguh mulia, dan tidak peduli seberapa banyak aku harus menderita, aku tidak bisa membiarkan diriku menjadi orang kecil yang menyedihkan yang meninggalkan imanku dan mengkhianati Tuhan. Begitu aku bertekad untuk memuaskan Tuhan, lambat laun aku tidak lagi merasa sangat kedinginan, dan rasa sakit di hatiku lenyap. Sekali lagi, aku menyaksikan perbuatan Tuhan yang menakjubkan dan mengalami kasih Tuhan. Meskipun polisi-polisi itu belum mencapai tujuan mereka, mereka masih belum selesai denganku. Mereka mulai bergiliran menyiksaku, dan mereka membuatku terjaga sepanjang siang dan sepanjang malam. Jika aku sedikit saja memejamkan mataku untuk sesaat, mereka akan mencambukku dengan cemeti yang terbuat dari kayu pohon willow, atau mereka akan memukulku dengan keras dengan tongkat kejut listrik. Setiap kali mereka melakukannya aku akan merasakan listrik mengaliri diriku dan seluruh tubuhku akan terasa hancur oleh kejang-kejang. Rasa sakitnya begitu dahsyat sehingga membuatku ingin mati. Sambil memukuliku, mereka berteriak, "Kau masih tidak mau memberi tahu kami semuanya, sialan, dan kau bahkan ingin tidur! Mari kita lihat apakah kami bisa menyiksamu sampai mati hari ini!" Pemukulan mereka menjadi semakin intens, semakin ganas, dan teriak kesakitanku bergema di sekeliling ruangan. Karena aku terikat dengan erat pada kursi penyiksaan itu dan tidak bisa menggerakkan otot sedikit pun, aku tidak bisa melakukan apa pun selain tunduk pada kebiadaban mereka. Polisi-polisi jahat itu menjadi semakin senang dengan diri mereka sendiri dan sesekali tawa parau mereka meledak. Aku telah mengalami cambukan dan sengatan listrik untuk waktu yang begitu lama sehingga aku dipenuhi dengan benjolan dan luka, wajah, leher, lengan dan tanganku penuh dengan memar, dan seluruh tubuhku bengkak. Namun tubuhku sepertinya telah mati rasa, dan aku tidak lagi merasa sesakit sebelumnya. Aku tahu bahwa ini adalah Tuhan yang sedang menjagaku dan mengurangi rasa sakitku, dan dalam hati aku bersyukur kepada Tuhan berulang kali.

Aku menanggung siksaan ini selama hampir sebulan hingga aku benar-benar tak tahan lagi. Aku sangat ingin tidur, sekalipun hanya sebentar saja. Namun, setan-setan itu bahkan tidak memiliki perikemanusiaan sedikit pun. Begitu mereka melihatku memejamkan mata, mereka akan segera melemparkan segelas penuh air ke wajahku untuk membuatku terkejut dan bangun, dan sekali lagi aku harus memaksa diri membuka mataku. Kekuatanku benar-benar habis—aku merasa seolah hidupku telah mencapai akhirnya. Tetapi Tuhan selalu melindungiku, menjaga pikiranku sangat jernih dan waspada dan imanku kuat sehingga aku tidak mengkhianati-Nya. Melihat bahwa mereka sama sekali tidak mendapatkan informasi dariku dan takut bahwa aku akan benar-benar mati, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan adalah membawaku kembali ke rumah tahanan. Lima atau enam hari berlalu dan aku masih belum pulih dari siksaan mereka, tetapi mereka sekali lagi menyeretku keluar dan merantaiku kembali ke kursi penyiksaan. Mereka kembali mengikatkan belenggu yang berat di kakiku, dan sekali lagi melanjutkan usaha mereka untuk mencoba mendapatkan pengakuan dariku melalui pemukulan, penyiksaan dan penganiayaan. Aku disiksa di sana selama sekitar sepuluh hari lagi, dan baru ketika aku benar-benar tidak tahan lagi, akhirnya mereka membawaku kembali ke rumah tahanan. Lima atau enam hari lagi berlalu dan mereka kembali melakukan semua hal itu. Enam bulan berlalu dengan cara ini, dan aku bahkan tidak tahu berapa kali mereka membuatku mengalaminya—siksaan yang sama berulang kali. Aku disiksa sampai benar-benar kelelahan, dan dalam lubuk hatiku, aku melepaskan semua harapan akan kehidupan di masa depan. Aku mulai menolak makanan dan selama beberapa hari aku menolak untuk minum air setetes pun. Mereka kemudian mulai memaksa memasukkan air ke mulutku; salah satu dari mereka memegang kepalaku sementara yang lainnya memegang wajahku, membuka mulutku dan menuangkan air ke dalamnya. Air mengalir di sekitar mulutku, menuruni leherku dan membasahi pakaianku. Seluruh tubuhku terasa dingin membeku dan aku berusaha untuk berjuang, tetapi aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menggerakkan kepalaku. Melihat bahwa menolak makanan juga merupakan upaya yang tidak berguna, aku memutuskan untuk mengambil kesempatan yang diberikan untuk pergi ke toilet untuk menghancurkan kepalaku ke dinding dan bunuh diri. Dengan menyeret belenggu yang sangat berat, aku terhuyung-huyung selangkah demi selangkah menuju toilet, sambil mencengkeram dinding di sepanjang jalan. Karena aku sudah tidak makan terlalu lama, kedua mataku menjadi buram dan aku benar-benar tidak bisa melihat ke mana aku pergi; aku jatuh berkali-kali di sepanjang jalan. Melalui pandangan yang kabur aku melihat bahwa pergelangan kakiku telah berubah menjadi gumpalan daging yang berdarah oleh belenggu-belenggu baja, dan pergelangan kaki itu mengucurkan darah dengan deras. Ketika aku sampai ke sebuah jendela, aku mengangkat kepalaku dan melihat ke luar. Aku melihat orang-orang berjalan mondar-mandir di kejauhan, melakukan kesibukan mereka, dan tiba-tiba aku merasakan gejolak yang luar biasa jauh di dalam diriku, dan aku berpikir, "Dari antara jutaan orang ini, berapa banyakkah yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa? Aku adalah salah seorang yang beruntung, karena Tuhan telah memilihku—orang yang sangat biasa-biasa saja—dari antara orang banyak, dan telah menggunakan firman-Nya untuk menyirami dan membekali aku, menuntunku di setiap langkah jalanku sampai sekarang. Aku telah sangat diberkati oleh Tuhan, jadi mengapa aku mencari kematian? Tidakkah aku akan benar-benar melukai Tuhan dengan melakukan hal itu?" Pada saat itu, firman Tuhan muncul dalam pikiranku, "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan sampai helaan napasmu yang terakhir, engkau tetap harus setia kepada Tuhan, dan berada dalam pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Setiap kata, penuh dengan dorongan dan antisipasi, menghangatkan dan mengilhami hatiku, dan aku merasa sangat tersentuh—aku telah mendapatkan keberanian untuk melanjutkan hidupku. Aku berbicara dalam hati untuk menyemangati diriku sendiri, "Setan-setan ini hanya dapat menghancurkan tubuhku, tetapi mereka tidak dapat menghancurkan kerinduanku untuk memuaskan Tuhan. Hatiku akan selamanya menjadi milik Tuhan. Aku akan kuat; aku tidak akan pernah menyerah!" Aku kemudian berbalik dan berjalan, langkah demi langkah, menyeret belengguku yang berat. Dalam keadaan tubuhku yang setengah sadar, aku berpikir tentang Tuhan Yesus, seluruh tubuhnya penuh luka, sedang menempuh jalan-Nya yang berliku-liku ke Golgota, benar-benar kepayahan dan memikul salib yang berat itu di punggung-Nya, dan kemudian firman dari Tuhan Yang Mahakuasa ini muncul dalam pikiranku: "Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus merasakan kesakitan, seolah-olah pisau sedang ditusuk dan dipelintir di jantung-Nya, namun Dia tidak memiliki niat sedikit pun untuk mengingkari perkataan-Nya; selalu ada kekuatan dahsyat yang mendorong-Nya menuju ke tempat Dia akan disalibkan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Bagaimana Melayani dalam Keselarasan dengan Kehendak Tuhan"). Pada saat itu, aku tidak bisa lagi menahan air mataku, dan air mata itu mengalir dengan lepas di pipiku. Aku mengucapkan doa kepada Tuhan dalam hatiku, "Ya Tuhan! Engkau sangat kudus, dan Engkau yang termulia, tetapi demi menyelamatkan kami, Engkau secara pribadi menjadi manusia. Engkau menderita penghinaan dan rasa sakit yang mengerikan dan disalibkan demi kami. Ya Tuhan! Siapakah yang pernah mengetahui kesedihan dan penderitaan-Mu? Siapakah yang pernah memahami atau menghargai harga dari pengorbanan yang Kaubayar demi kepentingan kami? Aku menderita kesengsaraan ini sekarang agar aku bisa mendapatkan keselamatan. Terlebih lagi, aku menderita kesengsaraan ini agar dapat melihat dengan jelas esensi jahat dari pemerintah PKT sementara aku menderita kekejaman di tangan setan-setannya, agar aku tidak pernah tertipu atau dibodohi lagi olehnya, dan agar dengan demikian aku bisa terbebas dari pengaruh kegelapannya. Namun aku tidak sedikit pun mempertimbangkan kehendak-Mu, tetapi hanya memikirkan dagingku sendiri dan berharap untuk mati sehingga siksaan rasa sakit ini dapat berakhir. Aku begitu pengecut dan hina! Ya Tuhan! Engkau mengorbankan diri-Mu sendiri dan menderita bagi kami setiap saat, dan Engkau mencurahkan seluruh kasih-Mu kepada kami. Ya Tuhan! Aku tidak bisa melakukan apa pun sekarang, tetapi hanya ingin mengabdikan hatiku sepenuhnya kepada-Mu, mengikuti-Mu sampai akhir tidak peduli seberapa besar penderitaanku, dan menjadi kesaksian untuk memuaskan-Mu!" Aku belum pernah meneteskan setitik pun air mata selama berbulan-bulan pemukulan dan penyiksaan yang kejam, jadi ketika aku kembali ke ruang interogasi, polisi-polisi yang jahat itu melihat bahwa wajahku basah oleh air mata dan berpikir bahwa aku sudah siap menyerah. Polisi gemuk yang ada di antara mereka tampak sangat senang dengan dirinya sendiri dan tersenyum padaku, sambil berkata, "Sudahkah kau memikirkannya dengan matang? Maukah kau bekerjasama?" Aku sama sekali mengabaikannya dan wajahnya langsung merah padam. Tiba-tiba, dia mengangkat lengannya dan selanjutya menampar wajahku lebih dari yang bisa kuhitung. Wajahku terbakar oleh rasa sakit sementara darah mengucur dari sudut mulutku dan menetes ke lantai. Salah satu dari polisi jahat lainnya melemparkan segelas air ke wajahku dan berteriak dengan gigi yang gemeretak, "Kami tidak peduli jika kau tidak mau bekerjasama. Dunia ini adalah milik Partai Komunis sekarang, dan jika kau tidak berbicara, kami tetap dapat memenjarakanmu!" Tetapi tidak peduli bagaimana pun mereka mencoba mengancam dan menakuti-nakutiku, aku tetap tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Meskipun polisi-polisi itu tidak dapat menemukan bukti pendukung untuk menuntutku dengan kejahatan, mereka tetap tidak mau menyerah, tetapi terus berusaha untuk mendapatkan pengakuan dengan menyiksaku. Suatu hari ketika larut malam, beberapa dari mereka mabuk dan terhuyung-huyung masuk ke ruang interogasi. Salah satu dari mereka, sambil menatapku dengan penuh nafsu, tampaknya mendapatkan sebuah ide dan berkata, "Lepaskan dia dan gantung dia. Lalu kita akan melihat apakah dia mau bekerjasama." Mendengarnya mengatakan hal ini membuatku sangat ketakutan, dan dalam hatiku aku dengan putus asa berseru kepada Tuhan agar Dia mengutuk binatang-binatang buas ini dan menggagalkan cara mereka yang penuh nafsu. Mereka melepaskanku dari kursi penyiksaan itu, tetapi aku nyaris tidak dapat berdiri dengan belenggu yang berat di pergelangan kakiku. Mereka mengelilingiku dan mulai menendangku seperti bola sepak, sambil meludahkan sekam biji melon ke wajahku dan berteriak berulang kali, "Kau mau bekerjasama atau tidak? Jika kau tidak mau bersikap baik kepada kami, kami akan memastikan hidupmu tidak layak untuk dijalani! Di mana Tuhanmu sekarang? Bukankah Dia mahakuasa? Biarlah Dia menghantam kami hingga jatuh!" Yang lainnya berkata, "Wang membutuhkan seorang istri, bagaimana kalau kita berikan saja dia kepadanya saja? Haha ..." Melihat wajah-wajah mereka yang kesetanan, kebencianku kepada mereka begitu membara sehingga semua air mataku mengering. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan dan meminta-Nya untuk melindungi hatiku agar aku tidak akan mengkhianati-Nya, dan agar aku bisa tunduk pada pengaturan Tuhan baik aku hidup ataupun mati. Pada akhirnya, polisi-polisi jahat itu telah memainkan semua kartu mereka tetapi tetap belum berhasil mendapatkan satu kata pun dariku. Karena kehabisan pilihan, mereka tidak dapat melakukan apa pun selain menelepon dan melapor kepada atasan mereka. "Wanita ini sangat kuat dan tangguh. Dia adalah Liu Hulan modern. Kita bisa saja memukulnya sampai mati dan dia tetap tidak mau bicara. Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan!" Melihat mereka sangat sedih dan putus harapan, aku berterima kasih kepada Tuhan berulang kali dalam hatiku. Tuntunan dari firman Tuhan-lah yang telah memampukan aku untuk mengatasi penyiksaan mereka yang kejam berulang kali. Segala kemuliaan bagi Tuhan Yang Mahakuasa!

Meskipun pada kenyataannya tak terhitung banyaknya interogasi tidak memberikan hasil apa pun bagi mereka, pemerintah PKT menuduhku menghalangi penegakan hukum dan menjatuhiku hukuman tetap selama tujuh tahun penjara. Dua saudara yang telah ditangkap bersamaku juga dituntut dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Setelah mengalami delapan bulan siksaan yang tidak manusiawi, mendengar vonis tujuh tahun penjara ini bukan saja tidak menyebabkan rasa sakit atau penderitaan bagiku, tetapi sebaliknya, aku merasa lega dan, terlebih lagi, aku merasa terhormat. Ini karena selama delapan bulan sebelumnya, aku telah mengalami bimbingan Tuhan di setiap langkah dan telah menikmati kasih dan perlindungan Tuhan yang tak terbatas. Hal ini telah memampukan aku untuk secara ajaib selamat dari penghancuran kejam yang pasti telah melampaui batas daya tahanku, dan aku telah mampu menjadi kesaksian. Ini merupakan penghiburan terbesar yang dapat Tuhan anugerahkan kepadaku, dan aku mempersembahkan rasa syukur dan pujian kepada Tuhan dari lubuk hatiku yang paling dalam!

Pada tanggal 3 November 2008, aku dikirim ke Penjara Wanita Utama untuk menjalani hukumanku, dan dengan demikian memulai kehidupan penjara yang panjang. Ada sistem pengaturan yang sangat ketat di penjara; kami bangun jam 6 pagi dan mulai bekerja, dan selanjutnya bekerja sepanjang hari sampai malam tiba. Istirahat waktu makan dan pergi ke toilet sama tegangnya seperti jika kami berada di medan perang, dan para tahanan tidak diperbolehkan untuk kendur bahkan sedikit saja. Para penjaga penjara membebani kami dengan pekerjaan yang berlebihan sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak lagi dari kerja keras kami, dan mereka lebih tidak berbelas kasihan lagi terhadap para tahanan yang percaya kepada Tuhan. Hidup dalam lingkungan seperti itu, aku selalu gelisah—setiap hari terasa seperti setahun. Aku diberi tugas paling sulit dan paling berat di penjara, dan makanan yang diberikan kepadaku untuk kumakan bahkan tidak pantas untuk anjing—roti manis setengah matang berwarna hitam yang sangat kecil, dan beberapa daun kubis kuning yang dikeringkan. Dalam upaya mengurangi hukumanku untuk perilaku yang baik, aku sering bekerja sekeras yang aku mampu sejak fajar hingga senja, dan bahkan akan bekerja sepanjang malam untuk memenuhi kuota produksi yang berada di luar kemampuan fisikku. Aku akan berdiri setiap hari selama 15 atau 16 jam di ruang kerja, tanpa henti-hentinya memutar pegangan pada mesin pembuat pakaian rajutan semi-otomatis. Kedua kakiku bengkak dan sering terasa sakit dan lemah. Tetap saja, aku tidak pernah berani untuk memperlambat, karena ada penjaga-penjaga penjara yang dipersenjatai dengan tongkat kejut listrik terus-menerus berpatroli di ruang kerja, dan mereka akan menghukum siapa saja yang mereka lihat tidak bekerja dengan sekuat tenaga, dan menolak memberikan nilai untuk perilaku yang baik dari para tahanan. Pekerjaan yang tak putus-putusnya dan melelahkan membuat tubuh dan pikiranku benar-benar kepayahan. Meskipun aku masih muda, sebagian besar rambutku mulai memutih, dan pada banyak kejadian, aku hampir pingsan di mesin. Kalau bukan karena Tuhan yang menjagaku, aku mungkin tidak akan selamat. Pada akhirnya, di bawah perlindungan Tuhan, aku memperoleh dua kesempatan untuk mengurangi hukumanku, dan aku bisa keluar dari neraka di bumi itu dua tahun lebih awal.

Setelah menjalani delapan bulan penyiksaan brutal dan lima tahun penjara di tangan pemerintah PKT, baik tubuh maupun pikiranku telah menjadi sangat rusak. Aku sangat takut bertemu orang asing untuk waktu yang lama setelah pembebasanku. Khususnya, setiap kali aku berada di tempat yang sibuk dengan banyak orang yang hiruk-pikuk, adegan-adegan polisi jahat yang menyiksaku akan kembali membanjiriku, dan tanpa disadari aku akan merasakan kengerian yang dalam dan kegelisahan dalam diriku. Siklus menstruasiku telah menjadi kacau karena dirantai ke kursi logam itu untuk waktu yang sangat lama, dan aku dirusak oleh segala macam penyakit. Ketika memikirkan kembali bulan-bulan yang tak berkesudahan dan menyakitkan itu pada saat ini, walaupun aku mengalami banyak rasa sakit dan penderitaan, aku melihat dengan jelas bahwa "kebebasan beragama" serta "hak-hak yang sah dan kepentingan dari warga negara dilindungi oleh hukum" yang sering digembar-gemborkan oleh Pemerintah PKT semata-mata adalah cara untuk menyembunyikan dosa dan esensi mereka yang jahat. Pada saat yang bersamaan, aku juga benar-benar mengalami dan menghargai kemahakuasaan, kedaulatan, otoritas dan kuasa Tuhan, dan aku bisa merasakan kepedulian dan belas kasihan Tuhan kepadaku. Semua hal ini adalah kekayaan hidup yang berharga dan berlimpah yang dilimpahkan Tuhan kepadaku. Pekerjaan Tuhan itu nyata dan normal, dan Dia mengizinkan penganiayaan Iblis dan setan untuk terjadi pada kita. Tetapi sementara setan-setan itu dengan panik mendatangkan celaka atas diri kita, Tuhan selalu ada di sana, diam-diam menjaga kita dan melindungi kita, menggunakan firman-Nya yang penuh otoritas dan kuasa untuk mencerahkan dan membimbing kita. Tuhan memberi kita iman dan kasih, dan Dia menaklukkan dan mengalahkan musuh yaitu Iblis, sehingga mendapatkan kemuliaan. Aku memuji hikmat dan keindahan Tuhan dari lubuk hatiku yang paling dalam!

Sekarang aku kembali ke gereja dan telah kembali bersama saudara-saudariku. Di bawah bimbingan kasih Tuhan, aku menjalani kehidupan bergereja, dan bersama saudara-saudariku, dengan seia sekata, kami menyebarkan Injil kerajaan. Hidupku melimpah dengan kekuatan dan semangat. Aku sekarang dipenuhi dengan iman untuk pekerjaan Tuhan. Aku secara nyata bisa melihat pemandangan indah dari kerajaan Tuhan yang terwujud di bumi, dan mau tak mau aku menyanyikan pujian bagi Tuhan! "K'rajaan Kristus t'lah turun di bumi Firman Tuhan takklukan s'mua, berkuasa di dunia Kini kita dapat saksikan sendiri, s'mua diciptakan, dilengkapi oleh firman-Nya. Yerusalem baru t'lah turun dari langit, K'rajaan Kristus t'lah ada di bumi. Firman Tuhan di antara kita, dalam setiap gerak dan pikiran kita. Sorak, rayakan! Kerajaan Kristus di bumi. Sorak, rayakan! Firman Tuhan mem'rintah di bumi. ... Indahnya k'rajaan, terang dan tiada berakhir, s'mua yang di bumi serukan firman Tuhan, turut firman-Nya, sembah Tuhan. Ada sorak sorai di semesta. Rayakan karya-Nya yang telah usai, s'bab Dia kudus, mahakuasa, benar, bijaksana. Dia pimpin kita masuk Kanaan 'tuk nikmati k'limpahan dan kekayaan-Nya" ("Kerajaan Kristus Telah Turun di Bumi" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru").

Sebelumnya: Keajaiban Hidup

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Bagaimana Iman Muncul

Oleh Saudara Liu Yu, Tiongkok Suatu hari menjelang akhir Agustus 2008, aku diberitahu bahwa Saudara Xiaowu, seorang pemimpin gereja, telah...

Dua Puluh Hari Penderitaan

Oleh Saudara Ye Lin, TiongkokSuatu hari pada Desember 2002 sekitar pukul 4 sore, ketika aku sedang berdiri di pinggir jalan sambil...

Hidup di Ambang Kematian

Oleh Saudari Wang Fang, TiongkokPada tahun 2008, aku bertanggung jawab untuk mengangkut buku-buku gereja. Ini adalah jenis tugas yang...