Rasa Sakit yang Disebabkan Karena Mengejar Kebahagiaan Pernikahan

24 Januari 2025

Sejauh ingatanku, aku sering melihat ayah kehilangan kesabaran dan melampiaskan amarahnya kepada ibu. Seiring aku tumbuh dewasa, ibu sering mengeluh kepadaku tentang pernikahannya yang tidak bahagia. Dia berkata bahwa sepanjang hidupnya bersama ayah, dia selalu kekurangan makanan dan pakaian, tidak pernah merasa bahagia, dan ayah sering marah kepadanya. Dia sering berkata kepadaku, "Seorang wanita hanya bisa menemukan kebahagiaan seumur hidup dengan menikahi suami yang memperlakukannya dengan baik." Aku berpikir, "Ibuku sudah mengalami sendiri hal ini, jadi apa yang dia katakan pasti benar. Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh menjadi seperti dia. Aku harus menemukan suami yang akan memperlakukanku dengan baik." Kemudian, aku mendapatkan apa yang kuinginkan dan menemukan seorang suami yang penyabar serta memperlakukanku dengan baik. Setelah menikah, suamiku selalu menurutiku dalam segala hal, dan dia tidak pernah membentakku. Setiap kali dia pulang kerja dan tidak melihatku, dia akan menelepon untuk menanyakan ke mana aku pergi dan buru-buru menjemputku dengan sepedanya. Dia juga sangat peduli denganku dalam kehidupan sehari-hari, selalu bertanya setiap kali melihatku sedih, "Ada apa? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?" Mendapatkan suami yang penuh cinta dan perhatian seperti itu membuatku sangat bahagia, dan aku merasa puas dengan hidupku.

Pada tahun 2004, aku menerima pekerjaan baru Tuhan dan memberitakan Injil kepada suamiku. Dia tidak menerimanya, tetapi juga tidak menentang imanku. Namun kemudian, suamiku mulai percaya pada rumor tak berdasar yang dibuat oleh PKT tentang Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, dan sejak saat itu, dia mulai melarangku percaya kepada Tuhan. Dia juga sering mengeluh saat aku menghadiri pertemuan-pertemuan. Suatu hari sepulang kerja, dia berkata kepadaku dengan nada serius, "Di internet disebutkan bahwa percaya kepada Tuhan bertentangan dengan PKT, dan pemerintah tidak mengizinkannya. Kau tidak boleh percaya kepada Tuhan lagi!" Ketika melihat ekspresinya yang tidak senang, aku tahu dia telah disesatkan oleh rumor tak berdasar yang disebarkan oleh PKT. Aku berkata kepadanya bahwa semua itu hanyalah kebohongan dan fitnah, tetapi dia sama sekali tidak mau mendengarkanku. Suatu malam, begitu suamiku pulang, dia bertanya, "Apakah kau pergi ke pertemuan lagi hari ini?" Aku menjawab, "Ya." Dia kemudian berteriak padaku, "Sudah kubilang kau tidak boleh percaya kepada Tuhan, tetapi kau tidak mau mendengarkan! Dalam perjalanan pulang hari ini, aku melihat seorang guru ditangkap karena percaya kepada Tuhan. Siapa yang tahu berapa lama dia akan dihukum? Jika kau terus mempertahankan imanmu ini, cepat atau lambat kau juga akan ditangkap. Lalu aku dan anak-anak juga akan terseret ke persoalan ini dan kau akan menghancurkan keluarga kita!" Setelah berkata demikian, dia mengayunkan sepatunya, dan tanpa berkata apa-apa, mulai memukuli kepalaku sambil memaki, "Sudah kubilang dengarkan aku, tetapi kau tidak mau! Akan kubunuh kau!" Kupikir dia hanya akan memukul beberapa kali untuk melampiaskan amarahnya, tetapi dia memukulku dengan sangat keras. Kepalaku terasa berputar akibat pukulannya dan tampaknya dia tidak akan berhenti. Aku tidak pernah menyangka bahwa setelah bertahun-tahun bersama, dia bisa begitu kejam! Lalu suamiku berkata kepada anak-anak, "Bicaralah dengan ibumu, mintalah dia berkata bahwa dia tidak akan percaya kepada Tuhan lagi. Jika dia tidak mau mengatakannya, akan kupukul dia sampai mati hari ini!" Putriku mulai menangis dan memohon kepadaku. Aku merasa lemah melihat anak-anakku menangis. Aku berpikir, "Mungkin untuk sementara waktu aku harus mengatakan kepada suamiku bahwa aku tidak akan percaya lagi. Jika aku tetap bersikeras seperti ini, dan dia makin marah lalu menceraikanku, keluarga ini akan hancur." Namun kemudian aku berpikir, "Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh menyangkal nama Tuhan. Dengan mengatakan bahwa aku tidak akan percaya kepada Tuhan lagi berarti mengkhianati-Nya, dan aku tidak bisa melakukan itu." Jadi aku terus berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar memberiku hikmat dan iman. Kemudian aku teringat pada satu bagian firman Tuhan: "Dalam setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan pada manusia, di luarnya pekerjaan itu terlihat seperti interaksi antara manusia, seolah-olah itu lahir karena pengaturan manusia atau dari gangguan manusia. Namun di balik layar, setiap langkah pekerjaan, dan semua yang terjadi, adalah pertaruhan yang Iblis buat di hadapan Tuhan, dan menuntut orang-orang untuk berdiri teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan. Misalnya, ketika Ayub diuji: di balik layar, Iblis bertaruh dengan Tuhan, dan yang terjadi kepada Ayub adalah perbuatan manusia, dan gangguan manusia. Di balik setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan di dalam dirimu adalah pertaruhan antara Iblis dengan Tuhan—di balik semua itu ada peperangan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Pencerahan dari firman Tuhan membantuku memahami bahwa meskipun tampaknya suamiku yang sedang menganiayaku, pada kenyataannya, ada tipu muslihat Iblis di balik semua ini. Iblis ingin aku menyangkal Tuhan dan mengkhianati-Nya. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak akan percaya kepada Tuhan lagi hanya karena takut pada amarah suamiku; aku harus tetap teguh dalam kesaksianku. Setelah itu, entah seberapa pun anak-anakku memohon kepadaku, aku tetap diam. Karena benar-benar jengkel, suamiku berteriak, "Karena ibumu tidak mau mengatakannya, aku akan menceraikannya malam ini dan mengusirnya keluar. Dia tidak akan tinggal sehari pun di rumah kita!" Ini benar-benar mengejutkanku. Aku tak pernah menyangka dia benar-benar ingin bercerai. Aku telah sepenuh hati dan jiwa mendampinginya selama bertahun-tahun, tetapi hanya karena imanku, dia ingin menceraikanku, bahkan ingin aku segera meninggalkan rumah. Bagaimana mungkin ini adalah suami yang telah hidup bersamaku selama lebih dari satu dekade? Aku merasa benar-benar hancur. Aku bertanya-tanya, "Jika kami bercerai, bagaimana aku bisa bertahan hidup sendiri, tanpa dukungan dan tanpa siapa pun?" Hatiku terasa seperti disayat, dan air mata mengalir deras di wajahku. Aku berpikir bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan, bahwa Tuhan telah memberikan napas hidup kepada kita dan menyediakan segala kebutuhan kita, jadi manusia menyembah Tuhan itu sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan. Aku merasa bahwa apa pun yang terjadi, aku tidak bisa berhenti percaya kepada Tuhan. Kemudian putriku berkata kepada ayahnya, "Jika kalian bercerai, aku dan adikku ingin tinggal bersama Ibu, bukan dengan Ayah." Baru kemudian suamiku melunak dan berhenti membahas perceraian. Kemudian, penganiayaan oleh PKT meningkat, dan berbagai kesesatan serta kekeliruan yang memfitnah dan menjelekkan Gereja Tuhan Yang Mahakuasa dipasang di seluruh jalan-jalan. Penganiayaan suamiku terhadapku juga makin memburuk. Setiap hari sepulang kerja, dia selalu mencecarku, bertanya apakah aku masih percaya kepada Tuhan, dan dia akan marah kepadaku karena hal-hal sepele. Aku sangat sedih melihatnya seperti itu. Meskipun aku percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku, aku tetap mengurus semua pekerjaan rumah tangga dan di ladang, dan juga merawat anak-anak. Tidak seharusnya dia menganiayaku seperti ini. Namun, aku kemudian berpikir, "Kalau bukan karena penganiayaan dan rumor tak berdasar dari PKT, mungkin dia tidak akan memperlakukanku seperti ini. Dia telah diperdaya oleh PKT. Jika aku tidak bertahan, bisa dipastikan kami akan bercerai." Untuk menjaga keutuhan keluarga dan mempertahankan pernikahan kami, tidak peduli bagaimana suamiku menganiayaku, aku bertahan dalam diam, bahkan berinisiatif untuk merawat dan membuatkan makanan enak untuknya. Kadang-kadang, ini membuat tugasku tertunda.

Kemudian, aku dipilih menjadi seorang pengkhotbah dan bertanggung jawab atas beberapa gereja. Beberapa gereja jauh dari rumah, sehingga aku tidak bisa pulang setiap hari, dan hal ini membuatku agak khawatir. Saat itu suamiku sedang berselingkuh, dan beberapa kali setelah pulang dalam keadaan mabuk, dia berkata kepadaku bahwa seorang wanita telah menyatakan cinta kepadanya dan ingin membangun keluarga bersamanya. Aku takut bahwa keberadaanku yang jauh dari rumah dan tidak mudah untuk pulang akan menjauhkan hubungan kami, dan bahwa dia pasti akan menceraikanku. Jika itu terjadi, keluarga kami akan hancur. Namun, aku berpikir bahwa tugas ini berasal dari Tuhan, dan aku tidak bisa menolak tugasku hanya untuk menjaga keharmonisan keluarga. Jadi, aku menerimanya. Saat itu, aku pulang ke rumah sekali selama beberapa hari setiap dua minggu atau lebih, melakukan semua pekerjaan di rumah dan di ladang, berharap upaya ini bisa mempertahankan hati suamiku. Meskipun aku tahu dia berselingkuh, aku tidak pernah mengonfrontasi tentang hal itu kepadanya, karena aku sangat takut bahwa ini akan benar-benar menyebabkan perceraian. Masalah ini sering menggangguku, dan bahkan mengalihkan pikiranku saat sedang melaksanakan tugasku. Sering kali, aku hanya melakukan semuanya dengan setengah hati. Ada seorang pemimpin palsu di salah satu gereja yang seharusnya segera dipecat, tetapi aku berpikir bahwa memilih pemimpin baru setelah pemecatan itu akan memakan waktu, jadi aku menunda pemecatan itu supaya ada waktu bagiku pulang ke rumah. Ini menyebabkan tertundanya pekerjaan gereja. Pada kesempatan lain, pemimpin tingkat atas memintaku membantu sebuah gereja untuk menangani seorang antikristus. Saat itu, beberapa saudara-saudari belum dapat mengenali antikristus ini, jadi mereka perlu segera mempersekutukan kebenaran tentang pengenalan. Aku berpikir, "Untuk membuat saudara-saudari mendapatkan pengenalan tentang antikristus ini, mungkin diperlukan setengah bulan persekutuan, dan itu pun belum tentu berhasil. Jika demikian, kapan aku bisa pulang?" Jadi aku berkata kepada pemimpin, "Antikristus ini terlalu licik, dan mereka menyesatkan orang dengan cara yang canggih. Tidak mudah bagi saudara-saudari untuk mengenali mereka, dan aku juga tidak mampu menanganinya. Bagaimana kalau kau cari saja orang lain untuk mengurus ini?" Pemimpin melihat aku enggan bekerja sama dan terpaksa mereka mencari saudari lain untuk menangani hal ini. Namun, karena saudari itu kurang memiliki pengenalan, upaya penanganan antikristus ini berlangsung lambat, yang menyebabkan antikristus ini tetap berada di gereja, menyesatkan dan mengendalikan umat pilihan Tuhan selama lebih dari dua bulan. Seluruh pekerjaan gereja terhenti. Kemudian, karena sikapku yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas, dan karena aku benar-benar menunda pekerjaan gereja, aku pun dipecat. Dalam sebuah pertemuan, seorang saudari berkata kepadaku, "Berdasarkan perilakumu, kau harus dikucilkan untuk merenung." Ucapannya begitu dalam menusuk hatiku. Aku sering pulang untuk menjaga pernikahanku, sehingga menunda pekerjaan gereja. Aku benar-benar melakukan perbuatan jahat dan harus dikucilkan untuk merenung. Aku pun teringat pada satu bagian firman Tuhan: "Caramu memperlakukan amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus dihukum. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling serius. Dalam hal ini, engkau lebih menyedihkan daripada Yudas dan harus dikutuk" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). Firman Tuhan membuatku gemetar ketakutan. Aku merasakan murka Tuhan, seolah-olah aku sedang dikutuk-Nya. Saudara-saudari telah memilihku sebagai seorang pengkhotbah. Maksud Tuhan adalah agar aku memimpin saudara-saudari untuk makan dan minum firman-Nya serta masuk ke dalam kebenaran, juga melindungi saudara-saudari dari gangguan serta penyesatan yang dilakukan para pemimpin palsu dan antikristus. Namun, hatiku sama sekali tidak berada dalam tugasku. Aku menempatkan pernikahan dan keluargaku di atas segalanya, sering pulang ke rumah untuk mempertahankan hubungan dengan suamiku. Aku tahu ada seorang pemimpin palsu di gereja, tetapi aku tidak segera memecatnya. Mengenai antikristus yang terungkap, aku juga enggan meluangkan waktu untuk bersekutu dengan saudara-saudari tentang cara mengenalinya. Aku bahkan membuat alasan dengan mengatakan bahwa antikristus ini terlalu licik untuk kutangani, dan melalaikan tugasku. Hal ini memungkinkan antikristus untuk menyesatkan saudara-saudari di gereja. Demi pernikahan dan keluargaku, aku memperlakukan pekerjaan penting seperti pemilihan pemimpin dan pekerja, pemecatan pemimpin palsu, serta penanganan antikristus, ini dengan sikap yang tidak menghormati dan tidak peduli. Hal ini merusak pekerjaan gereja dan menyebabkan kerugian bagi kehidupan saudara-saudari. Aku telah begitu egois dan tercela! Dalam hal apa aku telah berperilaku seperti seseorang yang memiliki kemanusiaan? Jadi aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, mengakui dosaku, "Ya Tuhan, dalam mengejar kebahagiaan pernikahan, aku telah gagal melaksanakan tugasku dengan baik dan aku telah melakukan pelanggaran. Sesuai dengan watak-Mu yang benar, aku pantas dihukum. Namun, Engkau tidak memperlakukanku sesuai dengan pelanggaranku, dan Engkau tetap memberiku kesempatan untuk melaksanakan tugasku. Mulai sekarang, aku mau melaksanakan tugasku dengan hati yang takut akan Engkau."

Beberapa waktu kemudian, suamiku mendengar bahwa ada lebih banyak orang percaya yang telah ditangkap, sehingga dia makin gencar menganiayaku. Suatu kali, untuk menghentikanku percaya kepada Tuhan, dia membakar semua pakaianku. Aku sangat marah. Tak lama setelah itu, polisi datang ke rumahku untuk menangkapku dengan tuduhan berkhotbah secara ilegal, tetapi saat itu aku tidak berada di rumah dan berhasil menghindari musibah. Oleh karena hal ini, aku tidak berani pulang ke rumah selama lima bulan. Suamiku menghubungi kerabatku, berusaha mencariku, dan untuk menekanku agar pulang, dia bahkan melaporkan sepupu perempuanku, yang juga percaya kepada Tuhan. Aku terkejut mendengar hal ini. Aku tidak pernah berpikir suamiku akan melakukan hal seperti itu. Aku merasa dia benar-benar menakutkan dan jahat. Jika dia tega melaporkan sepupuku, akankah dia juga melaporkanku? Aku mengingat kembali pengorbanan yang telah kulakukan untuk mempertahankan pernikahan kami, aku merasa semua itu tidak sepadan. Namun saat aku memikirkan bagaimana aku tidak bisa pulang dan keluargaku akan hancur seperti ini, serta bagaimana pernikahan bahagia yang selalu kukejar akan lenyap, aku masih begitu merasa sakit. Aku datang ke hadapan Tuhan dalam doa, berharap Dia membimbingku keluar dari keadaan yang salah ini.

Setelah itu, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Orang yang sudah menikah selalu menganggap pernikahan sebagai peristiwa besar dalam hidup dan menganggapnya sangat penting. Oleh karena itu, mereka memercayakan seluruh kebahagiaan hidup mereka pada kehidupan pernikahan mereka dan kepada pasangan mereka, meyakini bahwa mengejar kebahagiaan pernikahan adalah satu-satunya tujuan yang harus dikejar dalam hidup ini. Itulah sebabnya banyak orang mengerahkan upaya yang sangat besar, membayar harga yang sangat mahal, dan melakukan pengorbanan yang sangat besar demi kebahagiaan pernikahan. ... Bahkan ada orang-orang yang, setelah mereka percaya kepada Tuhan, menerima tugas dan amanat yang diberikan kepada mereka oleh rumah Tuhan, tetapi demi mempertahankan kebahagiaan dan kepuasan pernikahannya, mereka masih jauh dalam hal melaksanakan tugas mereka. Mereka seharusnya pergi ke tempat yang jauh untuk memberitakan Injil, pulang ke rumah seminggu sekali atau sesekali, atau mereka bisa meninggalkan rumah dan melaksanakan tugas mereka penuh waktu sesuai dengan berbagai kualitas dan kondisi mereka, tetapi mereka takut pasangan mereka tidak akan puas dengan mereka, bahwa pernikahan mereka tidak akan bahagia, atau mereka akan kehilangan pernikahan mereka sepenuhnya, dan demi mempertahankan kebahagiaan pernikahannya, mereka mengorbankan banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan tugas mereka. Terutama jika mendengar pasangan mereka mengeluh atau terdengar tidak puas atau berkeluh kesah, mereka menjadi lebih berhati-hati untuk mempertahankan pernikahan mereka. Mereka melakukan segala cara untuk memuaskan pasangan mereka dan bekerja keras untuk membuat pernikahan mereka bahagia agar tidak hancur. Tentu saja, yang jauh lebih serius daripada ini adalah bahwa ada orang-orang yang menolak panggilan rumah Tuhan dan tidak mau melaksanakan tugas mereka demi mempertahankan kebahagiaan pernikahan mereka. Ketika mereka harus meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas mereka, karena mereka tidak sanggup berpisah dengan pasangannya atau karena orang tua pasangan mereka menentang kepercayaan mereka kepada Tuhan dan tidak menyetujui mereka meninggalkan pekerjaan dan meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas mereka, mereka berkompromi dan meninggalkan tugas mereka, dan malah memilih untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan dan keutuhan pernikahan mereka. Demi mempertahankan kebahagiaan pernikahan dan keutuhan pernikahan mereka, serta mencegah agar pernikahan mereka tidak hancur dan berakhir, mereka memilih hanya untuk memenuhi tanggung jawab dan kewajiban dalam kehidupan pernikahan dan meninggalkan misi sebagai makhluk ciptaan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (10)"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku. Sejak kecil aku telah dipengaruhi oleh nilai-nilai keluarga, memercayai bahwa kebahagiaan hidup seorang wanita tergantung dari apakah pernikahannya bahagia dan apakah suaminya mencintainya. Aku telah menganggap mengejar keluarga bahagia sebagai tujuan hidupku. Aku hidup dengan pikiran-pikiran Iblis seperti "Hidup itu berharga, tetapi kasih jauh lebih berharga," dan "Semoga aku mendapatkan hati yang setia padaku, dan semoga kita tidak pernah berpisah hingga akhir hayat." Aku menjadikan suamiku orang terpenting dalam hidupku, dan mempercayakan kebahagiaan seumur hidupku kepadanya. Sebelum menemukan Tuhan, aku sepenuhnya mengabdikan diriku kepada suami dan keluargaku demi mengejar pernikahan yang bahagia. Setelah aku menemukan Tuhan, suamiku, yang dipengaruhi oleh rumor tak berdasar yang disebarkan oleh PKT, mulai menganiayaku, melarangku percaya kepada Tuhan, bahkan dia mengancamku dengan perceraian dan menggunakan kekerasan terhadapku. Agar tidak kehilangan pernikahan kami, aku terus menderita dalam diam dan berkompromi, bahkan ketika dia bersikap dingin dan mengejekku, aku tetap berusaha untuk menyenangkannya, meluangkan lebih banyak waktu mengurus rumah tangga dan mengabaikan tugas-tugas yang seharusnya kulaksanakan. Terutama saat aku menjadi seorang pengkhotbah, aku jelas menyadari bahwa tugas ini sangat penting, dan bahwa itu melibatkan pekerjaan di beberapa gereja, tetapi aku khawatir pernikahan kami akan hancur, jadi aku sering pulang untuk menjaga hubunganku dengan suamiku, dan aku tidak bisa sepenuhnya mencurahkan diri pada tugasku. Ketika antikristus dan pemimpin palsu muncul di gereja-gereja, aku gagal menangani mereka tepat waktu karena aku mencoba mempertahankan keluargaku, dan ini menunda pekerjaan gereja. Untuk mempertahankan hubunganku dengan suamiku demi menyelamatkan pernikahan kami, aku sama sekali mengabaikan tanggung jawab dan tugasku serta melakukan pelanggaran yang serius. Aku melihat betapa keras kepala dan egoisnya diriku. Setelah merenung, aku benar-benar mulai membenci diriku sendiri.

Kemudian, aku membaca beberapa bagian dari firman Tuhan: "Tuhan telah menetapkan pernikahan untukmu hanya agar engkau dapat belajar memenuhi tanggung jawabmu, belajar hidup dengan damai bersama orang lain dan turut berbagi kehidupan bersama, dan mengalami seperti apa hidup bersama pasanganmu dan belajar bagaimana menangani semua hal yang kauhadapi bersama-sama, membuat hidupmu lebih kaya dan berbeda. Namun, Dia tidak menjerumuskanmu ke dalam pernikahan dan, tentu saja, Dia tidak menjerumuskanmu kepada pasanganmu untuk dijadikan budaknya. Engkau bukanlah budak pasanganmu, dan pasanganmu juga bukan tuanmu. Engkau semua setara. Engkau hanya memiliki tanggung jawab sebagai istri atau suami terhadap pasanganmu, dan jika engkau memenuhi tanggung jawab ini, Tuhan akan menganggapmu sebagai istri atau suami yang memuaskan. Tidak ada apa pun yang dimiliki pasanganmu yang tidak kaumiliki, dan engkau tidak lebih buruk daripada pasanganmu. Jika engkau percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran, mampu melaksanakan tugasmu, sering menghadiri pertemuan, mendoa-bacakan firman Tuhan, dan datang ke hadapan Tuhan, maka inilah hal-hal yang Tuhan terima dan itulah yang seharusnya dilakukan oleh makhluk ciptaan dan kehidupan normal yang seharusnya dijalani makhluk ciptaan. Itu bukanlah hal yang memalukan, dan engkau juga tidak boleh merasa berutang apa pun kepada pasanganmu karena engkau menjalani kehidupan seperti ini—engkau tidak berutang apa pun kepadanya. Jika engkau mau, engkau memiliki kewajiban untuk memberikan kesaksian tentang pekerjaan Tuhan kepada pasanganmu. Namun, jika dia tidak percaya kepada Tuhan, dan dia tidak menempuh jalan yang sama seperti dirimu, maka engkau tidak perlu dan tidak berkewajiban memberitahukan informasi apa pun atau menjelaskan apa pun kepadanya tentang kepercayaanmu atau jalan yang kautempuh, dan dia juga tidak berhak untuk mengetahuinya. Merupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendukung, mendorong, dan membelamu. Jika dia tidak mampu melakukan hal ini, itu berarti dia tidak memiliki kemanusiaan. Mengapa? Karena engkau menempuh jalan yang benar, dan karena engkau menempuh jalan yang benar, sehingga keluargamu dan pasanganmu diberkati dan menikmati kasih karunia Tuhan bersamamu. Sudah sepantasnya bagi pasanganmu untuk bersyukur atas hal ini, dan bukan mendiskriminasimu atau menindasmu karena kepercayaanmu atau karena engkau dianiaya. Dia tidak boleh merasa bahwa engkau harus melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan hal-hal lainnya, atau bahwa engkau berutang sesuatu kepadanya. Engkau tidak berutang kepadanya secara emosional, rohani, atau apa pun—dialah yang berutang kepadamu. Karena kepercayaanmu kepada Tuhan, dia menikmati kasih karunia dan berkat tambahan dari Tuhan, dan dia memperoleh hal-hal ini secara melimpah. Apa maksud-Ku dengan 'dia memperoleh hal-hal ini secara melimpah'? Maksud-Ku adalah, orang semacam itu tidak pantas memperoleh hal-hal itu dan tidak seharusnya memperoleh hal-hal tersebut. Mengapa dia tidak pantas memperolehnya? Karena dia tidak mengikuti Tuhan atau mengakui Tuhan, jadi kasih karunia yang dia nikmati datang karena kepercayaanmu kepada Tuhan. Dia mendapat manfaat bersamamu dan menikmati berkat bersamamu, dan sudah sepantasnya baginya untuk berterima kasih kepadamu. ... Mereka yang tidak percaya kepada Tuhan tetap tidak puas, dan mereka bahkan menekan dan menindas mereka yang percaya kepada Tuhan. Penganiayaan yang dilakukan oleh negara dan masyarakat sudah menjadi bencana bagi mereka, tetapi anggota keluarga mereka malah bertindak lebih jauh dan makin menekan. Jika, dalam keadaan seperti itu, engkau masih menganggap bahwa engkau sedang mengecewakan suamimu dan bersedia menjadi budak pernikahanmu, maka itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya kaulakukan. Meskipun dia tidak mendukung kepercayaanmu kepada Tuhan, itu tidak menjadi masalah; meskipun dia tidak membela kepercayaanmu kepada Tuhan, itu juga tidak menjadi masalah. Dia bebas untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Namun, dia tidak boleh memperlakukanmu sebagai budak karena engkau percaya kepada Tuhan. Engkau bukan seorang budak, engkau adalah seorang manusia, orang yang bermartabat dan jujur. Setidaknya, engkau adalah makhluk ciptaan di hadapan Tuhan, dan bukan budak siapa pun. Jika engkau harus menjadi budak, engkau hanya boleh menjadi budak kebenaran, budak bagi Tuhan, dan bukan budak bagi siapa pun, apalagi menjadikan pasanganmu sebagai tuanmu. Dalam hubungan jasmaniah, selain orang tuamu, yang paling dekat denganmu di dunia ini adalah pasanganmu. Namun, karena engkau percaya kepada Tuhan, dia memperlakukanmu seperti musuh dan menyerang serta menganiayamu. Dia tidak mau mengizinkanmu untuk menghadiri pertemuan. Jika dia mendengar gosip, dia pulang ke rumah untuk memarahi dan menganiayamu. Meskipun engkau sedang berdoa atau membaca firman Tuhan di rumah dan sama sekali tidak memengaruhi kehidupan normalnya, dia akan tetap memarahi dan menentangmu, dan bahkan memukulimu. Katakan kepada-Ku, orang macam apa ini? Bukankah dia adalah setan? Inikah orang yang paling dekat denganmu? Apakah orang semacam ini pantas untuk membuatmu memenuhi tanggung jawabmu terhadapnya? (Tidak.) Tidak, dia tidak pantas! Jadi, ada orang-orang yang berada dalam pernikahan semacam ini masih mematuhi pasangan mereka, rela mengorbankan segalanya, mengorbankan waktu yang seharusnya mereka manfaatkan untuk melaksanakan tugas, mengorbankan kesempatan untuk melaksanakan tugas mereka, dan bahkan mengorbankan kesempatan untuk memperoleh keselamatan. Mereka tidak boleh melakukan hal-hal ini, dan setidaknya mereka harus melepaskan gagasan-gagasan semacam itu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan telah menetapkan pernikahan agar manusia belajar memenuhi tanggung jawab dan mengalami kehidupan yang berkelimpahan, bukan untuk menjadi budak pernikahan. Ada prinsip yang harus dipegang saat memenuhi tanggung jawab dalam pernikahan. Jika pasangan memiliki kemanusiaan yang baik dan mendukung iman kita kepada Tuhan, maka kita bisa memenuhi tanggung jawab dalam kerangka pernikahan. Namun, jika pasangan itu menghalangi iman kita kepada Tuhan bahkan menganiaya atau mengecam kita, maka ini adalah Iblis yang sedang menunjukkan dirinya, dan esensinya adalah membenci Tuhan. Dalam situasi ini, kita tidak perlu memenuhi tanggung jawab tersebut. Jika seseorang tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat dan tetap ingin mempertahankan pasangan yang seperti itu, maka orang itu sungguh bodoh dan tidak berpengetahuan! Imanku kepada Tuhan dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan itu sesuai dengan perkenanan Tuhan dan merupakan hal yang paling adil, tetapi suamiku bukan hanya tidak mendukungku, melainkan juga memperlakukanku sebagai musuh, memukuliku, memarahiku, dan mengancamku dengan perceraian untuk menekanku agar meninggalkan imanku kepada Tuhan. Fakta ini jelas mengungkapkan bahwa suamiku membenci Tuhan dan esensinya adalah setan. Dia tahu betul bahwa PKT sedang mengejarku dan aku bisa ditangkap kapan saja jika aku pulang, tetapi dia melaporkan sepupuku untuk mencoba mendesakku agar pulang. Dia tidak peduli dengan hidup atau matiku! Dia sungguh egois dan jahat! Belakangan, aku menyadari bahwa dahulu, saat dia memperlakukanku dengan baik, itu karena aku bisa merawat keluarga kami dan ibunya, yang menguntungkan baginya; kalau tidak, dia pasti sudah menceraikanku sejak lama. Dia tidak benar-benar mencintaiku, dan di matanya, aku hanyalah alat untuk mencapai tujuannya. Namun, aku selalu menganggapnya sebagai sandaranku dan mempercayakan semua kebahagiaanku kepadanya. Aku bahkan mengesampingkan tugasku demi mempertahankan dirinya dan menyenangkannya. Saat memikirkan hal ini, aku menyadari bahwa aku telah tertipu, dan aku melihat betapa butanya aku selama ini! Sekarang aku menyadari dengan jelas bahwa esensi suamiku adalah esensi setan yang membenci Tuhan. Bagaimana mungkin aku menemukan kebahagiaan dengan seseorang yang membenci Tuhan? Aku bukan hanya tidak akan menemukan kebahagiaan bersamanya, melainkan juga akan lebih banyak menderita kerugian karena dirinya. Aku tidak bisa terus dikekang olehnya. Aku harus giat mengejar kebenaran dan berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan tugasku.

Setelah itu, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Jika menyangkut pernikahan, keretakan apa pun yang muncul atau akibat apa pun yang timbul, entah pernikahan itu berlanjut atau tidak, entah engkau memulai kehidupan yang baru dalam pernikahanmu atau tidak, atau apakah pernikahanmu berakhir saat itu juga atau tidak, pernikahanmu bukan tempat tujuanmu, dan begitu pula pasanganmu. Dia hanya ditakdirkan oleh Tuhan untuk muncul dalam kehidupan dan hidupmu untuk memainkan peran mendampingimu di jalan hidupmu. Jika dia mampu mendampingimu sampai akhir, maka tidak ada yang lebih baik daripada itu, dan engkau harus bersyukur kepada Tuhan atas kasih karunia-Nya. Jika ada masalah dalam pernikahan, entah muncul keretakan atau terjadi sesuatu yang tidak kaukehendaki, dan pada akhirnya pernikahanmu berakhir, itu bukan berarti engkau tidak lagi punya tempat tujuan, bahwa hidupmu sekarang dilemparkan ke dalam kegelapan, atau tidak ada terang, dan masa depan. Bisa jadi berakhirnya pernikahanmu adalah awal dari kehidupan yang lebih indah. Semua ini berada di tangan Tuhan, dan Tuhanlah yang mengatur dan menatanya. Bisa jadi berakhirnya pernikahanmu memberimu pemahaman yang makin dalam tentang pernikahan, penghargaan yang lebih dalam terhadap pernikahan, dan pengertian yang lebih dalam. Tentu saja, mungkin bagimu, berakhirnya pernikahanmu merupakan titik balik yang penting dalam tujuan dan arah hidupmu serta jalan yang kautempuh. Akibat yang ditimbulkan perpisahan bagimu bukanlah kenangan yang suram, apalagi kenangan yang menyakitkan, juga bukan pengalaman dan hasil yang negatif, justru itu akan memberimu pengalaman positif dan aktif yang tidak mungkin kaudapatkan jika engkau masih menikah. Jika pernikahanmu terus berlanjut, mungkin engkau akan selalu menjalani kehidupan yang biasa dan membosankan ini hingga akhir hayatmu. Namun, jika pernikahanmu berakhir dalam perceraian, hal tersebut belum tentu merupakan hal yang buruk. Sebelumnya engkau dikekang oleh kebahagiaan dan tanggung jawab pernikahanmu, serta oleh emosi atau cara hidupmu yang selalu mengkhawatirkan pasanganmu, selalu ingin mengurusnya, memperhatikannya, memedulikannya, dan mencemaskan dirinya. Namun, mulai dari saat pernikahanmu berakhir, semua keadaan hidupmu, tujuan hidupmu, dan pengejaran hidupmu mengalami perubahan yang menyeluruh, dan harus diakui bahwa perubahan ini terjadi padamu dengan berakhirnya pernikahanmu. Bisa jadi bahwa hasil, perubahan, dan transisi inilah yang Tuhan kehendaki untuk kauperoleh dari pernikahan yang telah Dia tetapkan bagimu, dan itulah yang Tuhan kehendaki untuk kauperoleh dengan membimbingmu untuk mengakhiri pernikahanmu. Meskipun engkau telah terluka dan telah menempuh jalan yang berliku-liku, dan meskipun engkau telah melakukan beberapa pengorbanan dan kompromi yang tidak perlu di dalam kerangka pernikahan, apa yang kauterima pada akhirnya tidak dapat diperoleh di dalam kehidupan pernikahan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). Setelah membaca firman Tuhan, hatiku merasa diterangi. Tuhan telah menetapkan pernikahan bagi manusia, tetapi pernikahan bukanlah tempat tujuan bagi manusia. Apakah pernikahan seseorang bahagia dan memuaskan, ataukah hancur dan berakhir, ini tidak ada hubungannya dengan apakah orang tersebut akan memiliki tempat tujuan yang baik, juga tidak menentukan kebahagiaan hidup mereka. Namun, aku menganggap pernikahan sebagai tempat tujuanku dan suamiku sebagai sandaranku, sehingga ketika melihat pernikahanku berantakan dan sekadar ada, aku merasa tidak lagi memiliki tempat tujuan atau sandaran. Hatiku terasa sesak, aku merasa kesepian dan tak berdaya, dan aku tidak tahu bagaimana menghadapi hidupku ke depannya. Kini, aku mulai menyadari bahwa pandanganku tidak selaras dengan kebenaran. Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa runtuhnya pernikahan seseorang tidak berarti orang itu tidak memiliki masa depan atau hidupnya akan suram; itu bisa jadi awal dari kehidupan yang lebih indah. Dahulu, demi mempertahankan pernikahan yang bahagia, aku melakukan semua pekerjaan di dalam maupun di luar rumah, dan menghabiskan hari-hariku bekerja hingga punggungku nyeri, dan aku juga harus bisa membaca suasana hati suamiku. Namun, yang lebih buruk adalah aku tidak dapat sepenuhnya mengabdikan diri pada tugas-tugasku. Aku hanya melakukannya setengah hati, dan ini menunda pekerjaan gereja. Aku sering merasa gelisah, seolah ada batu yang menekan hatiku, dan aku hidup dalam keadaan penuh rasa sakit dan kelelahan. Pengejaran akan kebahagiaan pernikahan hanya membawa lebih banyak penindasan dan penderitaan rohani bagiku. Dalam beberapa bulan terakhir, aku tidak bisa pulang karena penganiayaan dari PKT, dan ketika aku memantapkan hatiku untuk melaksanakan tugasku, tubuhku tidak merasa begitu lelah, dan hatiku terasa jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Ketika aku menenangkan diri untuk makan dan minum firman Tuhan serta menjalani kehidupan bergereja bersama saudara-saudari, aku mampu memahami beberapa kebenaran, dan hatiku dipenuhi sukacita. Hal ini benar-benar bermanfaat bagi hidupku. Sekarang, meskipun aku tidak ditemani dan diperhatikan oleh suamiku, ketika menghadapi kesulitan dan rasa sakit, aku berdoa kepada Tuhan, dan dengan bimbingan firman Tuhan, aku merasa Tuhan berada di sisiku, dan Dialah sandaran sejatiku. Setelah memahami hal-hal ini, aku tidak lagi khawatir tentang mempertahankan pernikahanku, dan hatiku yang telah begitu lama tertekan mulai merasa terbebaskan. Kemudian, aku terus melaksanakan tugasku di daerah lain dan tidak kembali ke rumah.

Tiga tahun kemudian, suatu hari aku merencanakan untuk bertemu dengan seorang saudari di taman, dan saudara ipar suamiku melihatku di jalan. Dia sangat terkejut dan berkata bahwa dia telah mencariku. Istrinya terkena kanker dan bisa meninggal kapan saja, dan dia terus mendesakku untuk datang ke rumahnya. Aku memikirkan bagaimana suamiku sering menelepon putri kami untuk menanyakan keberadaanku, dia juga pergi ke rumah ibuku untuk mencariku, dan dia terus menghubungi kerabat-kerabat untuk mencoba menemukanku. Jika aku pergi ke rumah saudarinya, dia akan segera mengetahuinya. Bagaimana jika suamiku melihatku dan memohon agar aku tetap tinggal di rumah? Aku memikirkan ibu mertuaku yang sudah tua, dan jika saudarinya meninggal, hidupnya akan menjadi cukup sulit. Bagaimanapun kami telah menikah selama bertahun-tahun, dan aku telah pergi hampir tiga tahun, jadi akankah dia masih menganiayaku seperti sebelumnya? Setelah memikirkannya, aku masih merasa bimbang, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, memohon agar Dia membimbing dan menuntunku. Setelah berdoa, aku teringat pada satu bagian firman Tuhan: "Bagaimana setan bisa menjadi manusia? Ini tidak mungkin. Meminta si naga merah yang sangat besar untuk meletakkan pisau jagalnya adalah hal yang mustahil; itu sudah menjadi naturnya. Para setan dan Iblis termasuk dalam kelompok yang sama, hanya berbeda dalam signifikansinya. Caramu memandang si naga merah yang sangat besar haruslah menjadi caramu memandang setan; ini benar. Jika engkau memandang setan dengan cara berbeda dari caramu memandang Iblis dan si naga merah yang sangat besar, ini membuktikan bahwa engkau masih belum memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang setan; jika engkau masih menganggap mereka manusia, yakin bahwa mereka memiliki kemanusiaan, bahwa mereka memiliki sesuatu yang terpuji, bahwa mereka dapat diselamatkan, dan engkau masih memberi mereka kesempatan, itu berarti engkau bodoh, engkau telah kembali jatuh ke dalam tipu muslihat mereka, dan engkau harus membayar harga untuk ini" (Firman, Jilid 7, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (15)"). Setan selalu tetaplah setan dan tidak akan pernah menjadi manusia. Suamiku membenci serta menentang Tuhan, dan esensinya adalah setan. Aku tidak bisa bersimpati dengan suamiku karena dia hanya akan menyakitiku. Apa pun yang terjadi, aku tidak bisa kembali. Kemudian, aku memikirkan maksud Tuhan yang mendesak. Tuhan berharap bahwa lebih banyak orang bisa datang ke hadapan-Nya dan menerima keselamatan-Nya secepat mungkin, jadi di masa kritis ini, aku harus melakukan yang terbaik untuk bekerja sama dalam pekerjaan penginjilan. Aku menyesal karena tidak melaksanakan tugasku di masa lalu karena aku mengejar kebahagiaan pernikahan. Sekarang aku harus menebusnya dan setia dalam tugasku untuk membalas kasih Tuhan. Untuk selanjutnya, aku mendedikasikan diriku pada pekerjaan penyiraman petobat baru dan aku merasa tenang serta damai. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkanku dari penderitaan pernikahan.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait