Aku Menemukan Kehidupan yang Benar-Benar Bahagia

20 Juni 2024

Oleh Saudari Elizabeth, Rusia

Aku dibesarkan di keluarga pedesaan biasa. Meskipun kami sama sekali tidak berkecukupan, aku tetap sangat bahagia. Ibuku memiliki kepribadian yang ceria; dia bernatur baik serta terampil, dan menjaga rumah tetap rapi. Ayahku sangat menyayangi dan memperhatikan ibuku, dan mereka tetap bersama dalam suka dan duka selama lebih dari 60 tahun. Seingatku, tak pernah aku melihat mereka berdebat. Saat aku dewasa, aku berharap bisa menemukan seorang pria yang menjaga keluarganya seperti ayahku. Aku mendapatkan suami yang baik, seperti yang kuharapkan. Kami pergi bekerja dan pulang bersama, serta berbagi pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak. Suamiku juga sangat perhatian terhadapku. Terutama selama beberapa tahun ketika kesehatanku agak buruk, saat aku jatuh sakit, dia bahkan lebih cemas dibandingkan aku. Dia menemaniku ke rumah sakit dan merawatku dengan sebaik-baiknya. Selama bertahun-tahun menikah, kami jarang berselisih, dan kami bisa saling memaafkan. Aku juga dengan rajin mengurus keluargaku, memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang istri. Aku merasa bahwa aku memiliki pernikahan yang bahagia, bahwa aku adalah wanita paling bahagia di dunia. Aku juga berulang kali bermimpi untuk tetap dekat dengan suamiku seperti ini selamanya, dan kami menjadi pasangan seumur hidup.

Pada tahun 2017, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Aku sangat yakin bahwa mengikuti Tuhan adalah jalan hidup yang benar dan aku memiliki semangat yang besar, menerima tugas apa pun yang diatur gereja untukku dan tunduk padanya. Pada awalnya, aku tidak sibuk dengan tugasku dan itu tidak memengaruhi kehidupan keluargaku, dan suamiku mendukung imanku kepada Tuhan. Pada tahun 2020, aku menjadi seorang pemimpin gereja, dan tugasku menjadi jauh lebih sibuk. Setiap hari, aku berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam, dan suamiku terpaksa menangani semua urusan besar maupun kecil di rumah. Dia mulai keberatan karena aku percaya kepada Tuhan, bahkan menyindirku dengan berkata, "Kau bahkan lebih sibuk setelah pensiun dibandingkan saat kau masih bekerja!" Untuk menyenangkan suamiku, aku menggunakan pagi dan sore hariku untuk menyiapkan makanan baginya. Aku ingat bahwa suatu ketika, ibu suamiku jatuh sakit serta dirawat di rumah sakit, dan suamiku menemaninya di sana selama lebih dari 20 hari. Dia sangat lelah sehingga muncul lingkaran hitam di bawah matanya, dan berat badannya turun banyak. Aku membawakan makanan untuk mereka setiap pagi, dan suamiku tidak tampak senang melihatku. Melihatnya begitu kelelahan membuat hatiku sedih. Aku berpikir, "Andai aku bisa melaksanakan tugas yang lebih sederhana seperti yang kulaksanakan sebelumnya, maka aku dan suamiku bisa bergantian menjaga ibu mertuaku, dan dia tidak perlu terlalu lelah. Aku belum memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang istri." Suatu hari, setelah ibu mertuaku keluar dari rumah sakit, aku pulang terlalu larut malam. Ketika suamiku melihatku, dia berkata dengan nada marah, "Dia sudah sakit selama itu dan kau tidak merawatnya, malah membuatku memaksakan diri sampai kelelahan. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Kita tak bisa terus seperti ini." Menghadapi kritikan suamiku, aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku berlari ke kamar dan mulai menangis. Aku berpikir, "Sejak aku mulai melaksanakan tugas kepemimpinan, ada banyak pekerjaan di gereja, dan aku bahkan tidak dapat merawat ibu mertuaku ketika dia jatuh sakit. Pantas saja suamiku merasa tidak senang denganku. Jika terus seperti ini, dia akan menjadi makin tidak puas, dan juga akan bertengkar denganku. Lalu, bukankah pernikahan yang telah kuupayakan selama bertahun-tahun ini bisa menjadi berantakan? Tanpa pernikahanku, aku tidak punya rumah." Malam itu, aku gelisah, tidak bisa tidur, dan aku berpikir, "Di satu sisi adalah pernikahanku, dan di sisi lain adalah tugasku; mana yang harus kupilih? Lebih baik aku mundur dari jabatanku sebagai pemimpin dan melaksanakan tugas yang lebih sederhana saja."

Keesokan harinya, aku bertemu saudari yang bekerja sama denganku dan berbicara dengannya tentang hal yang terjadi di rumah, juga tentang pikiranku serta tekanan batin yang kurasakan. Saudari itu mempersekutukan beberapa bagian firman Tuhan denganku dan salah satu bagiannya memberi kesan yang mendalam. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dalam setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan di dalam diri manusia, di luarnya pekerjaan itu terlihat seperti interaksi antara manusia, seolah-olah itu lahir karena pengaturan manusia atau dari gangguan manusia. Namun di balik layar, setiap langkah pekerjaan, dan semua yang terjadi, adalah pertaruhan yang Iblis buat di hadapan Tuhan, dan menuntut orang-orang untuk berdiri teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan. Misalnya, ketika Ayub diuji: di balik layar, Iblis bertaruh dengan Tuhan, dan yang terjadi kepada Ayub adalah perbuatan manusia, dan gangguan manusia. Di balik setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan di dalam dirimu adalah pertaruhan antara Iblis dengan Tuhan—di balik semua itu ada peperangan. ... Ketika Tuhan dan Iblis berperang di alam roh, bagaimanakah seharusnya engkau memuaskan Tuhan, dan bagaimana engkau harus berdiri teguh dalam kesaksianmu bagi-Nya? Engkau harus tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirimu adalah ujian yang besar dan itulah saatnya Tuhan ingin engkau menjadi kesaksian" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Dengan merenungi firman Tuhan, aku memahami bahwa segala hal, besar dan kecil, yang terjadi setiap hari, adalah bagian dari pengaturan dan penataan Tuhan. Semua hal ini adalah bagian dari peperangan rohani dan Tuhan ingin manusia berdiri teguh dalam kesaksian mereka. Dengan percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku hari ini, aku menempuh jalan hidup yang benar, dan itu adalah hal yang diperkenan oleh Tuhan. Namun, Iblis menimbulkan gangguan dan hambatan di mana-mana. Karena suamiku tidak percaya kepada Tuhan, dia adalah bagian dari Iblis. Dia hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Saat aku sedang melaksanakan tugasku dan tidak dapat menangani urusan keluarga, sehingga secara tidak sengaja menyinggung kepentingan suamiku, dia mulai mengomel, menghambat dan mengganggu tugasku. Aku khawatir pernikahanku jadi retak, jadi aku ingin mundur dari tugasku sebagai pemimpin, dan melaksanakan tugas yang lebih sederhana agar bisa mengurus keluargaku dengan lebih mudah. Aku tidak berdiri teguh dalam kesaksianku dan hampir tertipu oleh Iblis. Aku tidak boleh terus mundur dari tugasku seperti ini, jadi aku membuang gagasan untuk mengundurkan diri.

Suatu hari, aku pulang terlalu larut malam dan suamiku memarahiku sekali lagi, "Oh, kau sudah datang untuk menginap di 'hotel'-mu malam ini. Sepertinya kau bahkan tidak ingin hidup bersamaku lagi." Melihat suamiku seperti ini, dalam hati aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar memberiku iman dan kekuatan untuk berdiri teguh dalam kesaksianku bagi-Nya. Setelah suamiku melampiaskan amarahnya, aku berkata kepadanya, "Aku sudah cukup berkorban demi keluarga ini selama lebih dari 30 tahun terakhir. Lihatlah rekan-rekanku; setelah pensiun, mereka entah bermain mahyong, menari, atau bepergian ke mana-mana. Mereka menghabiskan banyak uang dan tak pernah ada di rumah. Sekarang, aku percaya kepada Tuhan, menempuh jalan yang benar, dan mencurahkan sebagian waktuku, tetapi kau masih menentangnya, memancing keributan denganku setiap hari. Jika kau tidak mau bersamaku lagi, silakan ajukan perceraian besok. Jika kau ingin tetap bersamaku, berhentilah menggangguku; aku punya kebebasan untuk melakukan apa yang kupilih." Dia hanya berdiri di sana, tampak terkejut, dan tidak berkata apa-apa lagi. Keesokan paginya, aku bertanya kepadanya, "Jadi, bagaimana menurutmu? Jawab aku, kita tetap sebagai suami istri atau tidak?" Mendengarku mengatakan ini, suamiku mengarahkan jarinya ke dahiku dan berkata, "Oh, apa yang harus kulakukan denganmu?" Saat itu, aku sangat gembira. Setelah itu, aku tidak memedulikan omelan suamiku, dan perlahan-lahan, omelannya mulai berkurang dibandingkan sebelumnya.

Pada bulan Mei 2022, aku terpilih menjadi pengkhotbah dan ditugaskan untuk mengurus pekerjaan di beberapa gereja. Naik pangkat seharusnya merupakan hal yang menggembirakan, tetapi hatiku terasa sangat berat dan aku berpikir, "Selama beberapa tahun terakhir, aku telah menjadi pemimpin gereja, dan meskipun aku sibuk dengan pekerjaan gereja, aku masih bisa meluangkan waktu untuk tugas-tugas rumah tangga pada pagi dan malam hari. Kini aku akan menjadi pengkhotbah, dan bukan hanya aku akan sibuk, aku juga harus meninggalkan rumah dan hidup terpisah dari suamiku karena letak beberapa gerejanya cukup jauh. Bagaimana dia akan menerima ini? Bukankah itu berarti bahwa aku dengan sukarela melepaskan pernikahanku? Jika pernikahanku hancur dan aku sendirian nantinya, bagaimana aku bisa bertahan? Tidak lama lagi, usiaku 60 tahun; jika aku jatuh sakit di kemudian hari, tak akan ada seorang pun yang membuatkan makanan atau mengambilkan air untukku. Bagaimana aku bisa hidup seperti itu?" Makin kupikirkan, aku makin sedih, dan air mata mengalir tak terkendali di wajahku. Aku sangat ingin memuaskan Tuhan, tetapi bagian doktrin yang telah kupahami sebelumnya tidak berpengaruh apa pun, dan betapa pun aku berusaha, aku tidak dapat menerapkannya. Akhirnya, aku menolak tugas itu dengan alasan bahwa tingkat pertumbuhanku terlalu rendah dan aku tidak memiliki kenyataan kebenaran. Selama beberapa hari sesudahnya, aku sangat bingung dan merasa berutang budi kepada Tuhan, sambil berpikir, "Gereja telah membinaku selama beberapa tahun dan aku telah menjadi pemimpin gereja selama ini. Aku sudah sering bersekutu dengan saudara-saudari tentang kebenaran untuk tunduk kepada Tuhan, tetapi saat aku dibutuhkan untuk tugas ini, aku bersikap seperti pengecut dan memilih pernikahan serta keluargaku. Aku telah menjadi bahan tertawaan Iblis; bagaimana aku bisa menyebut diriku sebagai pengikut Tuhan? Aku benar-benar tidak berguna!" Aku sangat ingin mencari kebenaran dan menyelesaikan watakku yang rusak, dan aku membaca satu bagian firman Tuhan: "Siapa yang dapat sungguh-sungguh dan sepenuhnya mengorbankan diri mereka sendiri bagi-Ku dan mempersembahkan seluruh keberadaan mereka bagi-Ku? Engkau semua setengah hati; pikiranmu berputar-putar, memikirkan rumah, dunia luar, makanan dan pakaian. Walaupun engkau berada di sini di hadapan-Ku, melakukan segala sesuatu bagi-Ku, jauh di lubuk hatimu engkau masih sedang memikirkan istrimu, anak-anakmu, dan orang tuamu di rumah. Apakah semua ini adalah hartamu? Mengapa engkau tidak memercayakannya ke dalam tangan-Ku? Apakah engkau tidak memiliki iman yang cukup kepada-Ku? Atau apakah engkau takut Aku akan membuat pengaturan yang tidak pantas bagimu? Mengapa engkau selalu mengkhawatirkan keluarga lahiriahmu? Engkau selalu merindukan orang-orang yang engkau kasihi! Apakah Aku memiliki posisi khusus di hatimu? Engkau masih berbicara tentang membiarkan-Ku berkuasa dalam dirimu dan memenuhi seluruh keberadaanmu—ini semua adalah kebohongan yang menipu! Berapa banyak dari antaramu yang memiliki komitmen terhadap gereja dengan sepenuh hati? Dan siapa di antaramu yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi bertindak demi kerajaan zaman sekarang? Renungkanlah dengan saksama akan hal ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 59"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, rasanya seperti Tuhan sedang menghakimiku tepat di hadapanku. Yang Dia ungkapkan adalah keadaanku yang sebenarnya. Aku tampak melaksanakan tugasku di gereja, cukup sibuk dengan berbagai hal setiap hari, tetapi di lubuk hatiku, aku selalu memikirkan tentang keluargaku. Terkadang, saat aku sedang menghadiri pertemuan di luar, aku khawatir apakah suamiku sudah makan atau belum. Ketika aku melihat dia sangat kelelahan karena merawat ibunya di rumah sakit, aku ingin melaksanakan tugas yang lebih sederhana saja untuk meringankan sebagian bebannya. Saat aku sibuk dengan tugasku dan itu membuat suamiku tidak senang, aku ingin mundur dari tugas pemimpin. Aku berharap dapat melakukan dua hal sekaligus, mengurus keluargaku sekaligus melaksanakan tugasku. Bukankah aku hanya seseorang yang tidak bertindak dengan sepenuh hati? Aku mungkin telah berseru, "Tuhan memegang kedaulatan atas segalanya," tetapi kenyataannya, aku sama sekali tidak memiliki iman sejati kepada Tuhan dan tidak berani menyerahkan segalanya ke tangan-Nya. Ketika gereja mengangkatku menjadi seorang pengkhotbah, aku sama sekali tidak mempertimbangkan kebutuhan pekerjaan gereja, dan aku hanya memikirkan pernikahanku sendiri, khawatir bahwa hidup terpisah dari suamiku dapat membuat pernikahan kami hancur dan kemudian aku tidak lagi memiliki keluarga. Sebenarnya, mempertahankan pernikahanku bukanlah sesuatu yang dapat kukendalikan. Jika pernikahanku ditakdirkan untuk menjadi berantakan, sekalipun aku berada di rumah setiap hari, pernikahanku pasti akan menjadi berantakan. Aku punya seorang teman yang mengikuti suaminya ke mana pun dia pergi, dan keduanya hampir tidak dapat dipisahkan. Namun, suaminya tetap saja menjalin hubungan dengan wanita lain tepat di depan matanya, dan akhirnya mereka bercerai. Ada juga beberapa pasangan suami istri yang tinggal terpisah karena pekerjaan dan hanya bertemu beberapa kali dalam setahun, tetapi pernikahan mereka tetap langgeng. Menyadari hal ini, aku rela memercayakan pernikahanku kepada Tuhan. Aku datang ke hadirat Tuhan dan berdoa, "Tuhan, terima kasih Engkau telah merancang keadaan ini untuk menyingkapkan kerusakanku. Aku menyadari bahwa aku tidak mencintai kebenaran dan naturku sangat egois. Aku hanya mempertimbangkan kepentingan dagingku sendiri, hanya ingin menjaga pernikahanku tetap utuh. Tuhan, aku bersedia untuk mengandalkan-Mu dan merelakan pernikahanku! Jika aku memiliki kesempatan lagi untuk meninggalkan rumah dan melaksanakan tugasku di kemudian hari, aku bersedia memilih tugasku dan memuaskan-Mu."

Beberapa bulan berlalu dan aku kembali terpilih menjadi seorang pengkhotbah. Pada saat itu, aku sangat emosional dan berpikir, "Di masa lalu, aku selalu melukai dan mengecewakan Tuhan, dan aku telah berutang banyak kepada-Nya dalam tugasku, tetapi Dia masih memberiku kesempatan untuk bertobat. Kali ini, aku akan memuaskan-Nya." Namun, saat aku memikirkan bagaimana aku harus meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasku, aku masih merasakan banyak pertentangan batin. Aku berdoa kepada Tuhan dan memikirkan satu bagian firman-Nya yang telah kubaca sebelumnya: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas hidupmu demi kesenangan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna. Jika engkau menjalani kehidupan yang vulgar dan tidak mengejar tujuan apa pun, bukankah engkau menyia-nyiakan hidupmu? Apa yang dapat engkau peroleh dari kehidupan semacam itu? Engkau harus meninggalkan seluruh kenikmatan daging demi satu kebenaran, dan jangan membuang seluruh kebenaran demi sedikit kenikmatan. Orang-orang seperti ini tidak memiliki integritas atau martabat; keberadaan mereka tidak ada artinya!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Selama paruh pertama hidupku, aku hidup sepenuhnya demi kepentingan dagingku, menyibukkan diriku dengan berbagai hal. Aku hanya mengejar kebahagiaan keluarga dan kedamaian daging. Hidup seperti itu tidak bernilai dan bermakna sama sekali, dan pada akhirnya, aku hanya akan mati dengan tangan kosong serta penuh penyesalan. Tuhan memilihku untuk datang ke rumah Tuhan dan memberiku kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan kehidupan, tetapi aku tidak bersyukur dan tidak memberikan segenap hatiku kepada-Nya, menolak tugasku demi mempertahankan pernikahanku, dan melakukan pelanggaran di hadirat Tuhan. Kali ini, Tuhan telah bermurah hati kepadaku sekali lagi, memberiku kesempatan untuk menjadi seorang pengkhotbah. Aku tidak bisa menolak tugasku lagi hanya karena aku khawatir pernikahanku bisa hancur; tidak ada integritas, martabat, atau nilai jika hidup seperti itu. Aku telah memilih untuk percaya dan mengikuti Tuhan, jadi aku harus membiarkan Dia mengatur segalanya. Meninggalkan apa pun adalah hal yang sepadan demi mendapatkan kebenaran. Sekalipun pernikahanku menjadi berantakan setelah aku meninggalkan rumah, kali ini aku tetap melaksanakan tugasku dengan baik dan hidup demi Tuhan.

Tidak lama setelah aku meninggalkan rumah demi tugasku, aku memikirkan suamiku setiap kali ada waktu luang, dan aku tidak melaksanakan tugasku dengan segenap hati. Aku tahu aku masih belum benar-benar merelakan pernikahanku. Kemudian, saat aku melihat persekutuan Tuhan tentang kebenaran mengenai pernikahan, rasanya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai, dan aku membacanya dengan cermat. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Banyak orang yang menggantungkan kebahagiaan hidup mereka pada pernikahan mereka, dan tujuan mereka dalam mengejar kebahagiaan adalah mengejar kebahagiaan dan kesempurnaan pernikahan. Mereka menganggap bahwa jika pernikahan mereka adalah pernikahan yang bahagia dan mereka bahagia dengan pasangannya, maka mereka akan memiliki kehidupan yang bahagia, sehingga mereka menganggap kebahagiaan pernikahan mereka sebagai misi seumur hidup yang harus dicapai melalui upaya yang tiada henti. ... Dalam hati orang-orang semacam itu, kebahagiaan pernikahan lebih penting daripada apa pun juga, dan tanpanya, mereka merasa seakan-akan mereka tidak memiliki jiwa sama sekali. Mereka meyakini, 'Kasih adalah hal yang terpenting untuk pernikahan yang bahagia. Kami memiliki pernikahan yang bahagia dan mampu bertahan sampai sejauh ini hanya karena aku mencintai istriku dan dia mencintaiku. Jika aku kehilangan kasih ini dan kasih ini berakhir karena kepercayaanku kepada Tuhan dan karena aku melaksanakan tugasku, bukankah itu berarti kebahagiaan pernikahanku sudah berakhir dan lenyap, serta aku tidak akan bisa lagi menikmati kebahagiaan pernikahan ini? Tanpa kebahagiaan pernikahan, apa yang akan terjadi pada kami? Seperti apa jadinya hidup istriku tanpa kasihku? Apa yang akan terjadi padaku jika aku kehilangan kasih istriku? Dapatkah melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dan menyelesaikan misi manusia di hadapan Tuhan menutupi kerugian ini?' Mereka tidak tahu, mereka tidak punya jawabannya, dan mereka tidak memahami aspek kebenaran ini. Oleh karena itu, ketika rumah Tuhan mengharuskan mereka yang mengejar kebahagiaan pernikahan di atas segalanya untuk meninggalkan rumah mereka dan pergi ke tempat yang jauh untuk memberitakan Injil dan melaksanakan tugasnya, mereka sering kali merasa frustrasi, tak berdaya, dan bahkan tidak nyaman dengan kenyataan bahwa mereka mungkin akan segera kehilangan kebahagiaan pernikahan mereka. Ada orang-orang yang meninggalkan atau tidak mau melaksanakan tugasnya demi mempertahankan kebahagiaan pernikahannya, dan bahkan ada orang-orang yang menolak pengaturan penting dari rumah Tuhan. Ada juga orang-orang yang, untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan mereka, sering kali berusaha mengetahui perasaan pasangan mereka. Jika pasangan mereka merasa sedikit tidak puas atau bahkan memperlihatkan sedikit ketidaksenangan atau ketidakpuasan terhadap kepercayaan mereka kepada Tuhan, terhadap jalan kepercayaan kepada Tuhan yang telah mereka tempuh, dan terhadap pelaksanaan tugas mereka, mereka segera berbalik dan berkompromi. Untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan, mereka sering kali berkompromi dengan pasangan mereka, sekalipun itu berarti melepaskan kesempatan untuk melaksanakan tugas mereka, dan mengorbankan waktu untuk pertemuan, membaca firman Tuhan, dan bersaat teduh untuk memperlihatkan kepada pasangannya bahwa mereka berada di rumah, untuk menjaga agar pasangannya tidak merasa sendirian dan kesepian, dan untuk membuat pasangannya merasakan kasihnya; mereka lebih suka melakukan hal ini daripada kehilangan atau tanpa memiliki kasih pasangan mereka. Ini karena mereka merasa, jika mereka melepaskan kasih pasangannya demi kepercayaan atau jalan kepercayaan kepada Tuhan yang telah mereka tempuh, ini berarti mereka telah menelantarkan kebahagiaan perkawinannya dan mereka tidak akan dapat lagi merasakan kebahagiaan pernikahan itu, dan kemudian mereka akan menjadi orang yang kesepian, memilukan, dan menyedihkan. Apa artinya menjadi seseorang yang menyedihkan dan memilukan? Itu berarti seseorang yang tidak memiliki kasih atau pujaan hati. Meskipun orang-orang ini memahami beberapa doktrin dan pentingnya Tuhan melakukan pekerjaan penyelamatan-Nya dan, tentu saja, mereka memahami bahwa mereka harus melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, karena mereka menyerahkan kebahagiaan mereka kepada pasangannya dan mereka juga, tentu saja, membuat kebahagiaan mereka bergantung pada kebahagiaan perkawinan mereka, meskipun mereka memahami dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan, mereka tetap tidak mampu melepaskan pengejaran mereka akan kebahagiaan pernikahan. Mereka secara keliru memandang kebahagiaan pernikahan sebagai misi yang harus mereka kejar dalam kehidupan ini, dan secara keliru memandang pengejaran akan kebahagiaan pernikahan sebagai misi yang harus diselesaikan oleh makhluk ciptaan. Bukankah ini sebuah kesalahan? (Ya.)" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). Tuhan menyingkapkan beberapa perilaku manusia dalam mengejar kebahagiaan pernikahan. Setelah menikah, untuk menjaga kasih sayang antara suami dan istri, orang-orang melakukan berbagai hal demi menyanjung dan menyenangkan pasangan mereka. Atau, untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan, mereka mengorbankan diri dan melakukan sejumlah pengorbanan, bahkan ada beberapa yang memilih melepaskan kesempatan untuk melaksanakan tugas mereka demi pernikahan yang bahagia, menganggap upaya mengejar kebahagiaan pernikahan sebagai misi mereka. Yang Tuhan ungkapkan adalah keadaanku yang sebenarnya; itu adalah gambaran sebenarnya dari apa yang telah kukejar sepanjang hidupku. Setelah menikah, aku melihat bahwa suamiku mengutamakan keluarga dan sangat perhatian terhadapku, jadi kupikir aku telah menemukan cinta sejati dan memiliki pernikahan seperti itu merupakan karunia dari Surga. Oleh karena itu, aku memercayakan kebahagiaan seumur hidup pada suamiku, menjadikan upaya mengejar kebahagiaan pernikahan sebagai misi hidupku. Untuk mempertahankan pernikahan yang bahagia, aku bekerja keras untuk memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang istri. Aku menyiapkan tiga hidangan berbeda untuk suamiku setiap hari dan menangani pekerjaan rumah untuk menyenangkannya. Saat aku menjadi seorang pemimpin dan sibuk dengan pekerjaan gereja, tidak mampu memikirkan keluargaku, suamiku tidak menyukai hal ini. Aku merasa bersalah dan mencela diriku sendiri, berpikir bahwa aku berutang pada suamiku dan tidak memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang istri. Setelah suamiku menegurku, aku khawatir keluargaku jadi berantakan, dan aku ingin mundur serta melepaskan tugasku demi mempertahankan hubunganku dengan suamiku. Saat aku terpilih menjadi seorang pengkhotbah, aku hanya memikirkan pernikahanku dan keluargaku, bukan hanya tidak bersyukur kepada Tuhan, tetapi juga lebih memilih melepaskan kesempatan untuk melaksanakan tugasku demi kebahagiaan pernikahan. Aku hidup berdasarkan pemikiran keliru yang ditanamkan Iblis kepadaku, seperti, "Suami dan istri harus saling mencintai hingga maut memisahkan mereka." Aku menganggap upaya mengejar kebahagiaan pernikahan sebagai hal yang positif, percaya bahwa jika pasangan suami istri bisa mencapai ulang tahun pernikahan yang ke-25 atau ke-50, itu adalah sesuatu yang patut dikagumi. Ketika aku masih muda, orang tuaku sangat saling mencintai dan selalu berada di sisi satu sama lain, jadi aku sangat menginginkan pernikahan yang bahagia saat aku menjadi dewasa. Saat keinginanku terwujud, aku sangat menghargainya, menganggap kebahagiaan pernikahan sebagai tujuan hidupku, dan bahkan menganggapnya lebih penting daripada melaksanakan tugasku serta memperoleh kebenaran, yang menyebabkan aku menyimpang dari tuntutan Tuhan.

Aku membaca lebih banyak firman Tuhan. "Tuhan telah menakdirkan pernikahan untukmu dan memberimu pasangan hidup. Engkau masuk ke dalam pernikahan, tetapi identitas dan statusmu di hadapan Tuhan tidak berubah—engkau tetaplah dirimu. Jika engkau adalah seorang perempuan, maka engkau tetap seorang perempuan di hadapan Tuhan; jika engkau adalah seorang laki-laki, maka engkau tetap seorang laki-laki di hadapan Tuhan. Namun, engkau berdua punya satu kesamaan, yaitu, apakah engkau adalah laki-laki atau perempuan, engkau semua adalah makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Di dalam kerangka pernikahan, engkau berdua saling menoleransi dan saling mencintai, engkau saling membantu dan saling mendukung, dan ini artinya memenuhi tanggung jawabmu. Namun di hadapan Tuhan, tanggung jawab yang harus kaupenuhi dan misi yang harus kauselesaikan tidak dapat digantikan dengan tanggung jawab yang kaupenuhi terhadap pasanganmu. Oleh karena itu, jika ada konflik antara tanggung jawabmu terhadap pasanganmu dan tugas yang harus kaulaksanakan sebagai makhluk ciptaan di hadapan Tuhan, yang harus kaupilih adalah melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dan tidak memenuhi tanggung jawabmu terhadap pasanganmu. Inilah arah dan tujuan yang harus kaupilih dan, tentu saja, ini juga merupakan misi yang harus kauselesaikan. ... Di dalam kerangka pernikahan, tindakan pihak mana pun yang mengejar kebahagiaan pernikahan dengan cara apa pun atau melakukan pengorbanan apa pun, tidak akan diingat oleh Tuhan. Sebaik apa pun atau sesempurna apa pun engkau memenuhi kewajiban dan tanggung jawabmu terhadap pasanganmu, atau sebesar apa pun engkau memenuhi harapan pasanganmu—dengan kata lain, sebaik apa pun atau sesempurna apa pun engkau mempertahankan kebahagiaan pernikahanmu atau betapapun patut ditirunya pernikahan tersebut—hal ini bukan berarti bahwa engkau telah memenuhi misi sebagai makhluk ciptaan, juga tidak membuktikan bahwa engkau adalah makhluk ciptaan yang memenuhi standar. Mungkin engkau adalah seorang istri yang sempurna atau seorang suami yang sempurna, tetapi hal itu masih terbatas pada kerangka pernikahan. Sang Pencipta menilai orang seperti apa dirimu berdasarkan bagaimana engkau melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan di hadapan-Nya, seperti apa jalan yang kautempuh, bagaimana pandanganmu tentang kehidupan, apa yang kaukejar dalam hidup, dan bagaimana engkau menyelesaikan misi sebagai makhluk ciptaan. Tuhan menggunakan hal-hal ini untuk menilai jalan yang kautempuh sebagai makhluk ciptaan dan tempat tujuanmu kelak. Dia tidak menilai hal-hal ini berdasarkan bagaimana engkau memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu sebagai istri atau suami, dan juga tidak menilai berdasarkan apakah kasihmu kepada pasanganmu menyenangkan Dia atau tidak" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). Ketika Tuhan menilai apakah manusia merupakan makhluk ciptaan yang memenuhi syarat, Dia memperhatikan jalan apa yang mereka tempuh dan apakah mereka melaksanakan tugas mereka dengan baik sebagai makhluk ciptaan atau tidak, bukan melihat apakah keluarga mereka harmonis dan bahagia atau tidak. Ketika ada konflik antara pekerjaan rumah Tuhan dan kepentingan keluarga, hendaknya seseorang mengutamakan kepentingan rumah Tuhan, melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai makhluk ciptaan, dan menyelesaikan amanat Tuhan. Ini adalah tanggung jawab wajib dari makhluk ciptaan. Jika seseorang tidak melakukan tugasnya demi kebahagiaan pernikahan, dia telah gagal memenuhi tanggung jawabnya dan tidak pantas untuk disebut sebagai manusia. Dalam struktur pernikahan, aku harus memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang istri, tetapi aku adalah makhluk ciptaan di atas segalanya, dan melaksanakan tugasku dengan baik sebagai makhluk ciptaan adalah misi hidupku yang sebenarnya. Ketika ada konflik di antara keduanya, aku harus memilih untuk melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Kini, aku memahami bahwa mengejar kebahagiaan pernikahan tidak membuatku memperoleh keselamatan dan itu bukan kehidupan sejati; aku harus mengutamakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah membimbingku untuk membuat pilihan yang benar.

Aku terus membaca firman Tuhan. "Memintamu melepaskan pengejaran akan kebahagiaan pernikahan bukan berarti memintamu untuk meninggalkan pernikahan atau bercerai secara resmi, melainkan itu berarti memintamu untuk memenuhi misimu sebagai makhluk ciptaan dan melaksanakan tugas yang harus kaulaksanakan secara benar dengan dasar pemikiran memenuhi tanggung jawab yang seharusnya kaupenuhi dalam pernikahan. Tentu saja, jika pengejaranmu akan kebahagiaan pernikahan memengaruhi, menghambat, atau bahkan merusak pelaksanaan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak hanya harus meninggalkan pengejaranmu akan kebahagiaan pernikahan, tetapi juga meninggalkan seluruh pernikahanmu. Apa tujuan akhir dan makna mempersekutukan hal-hal ini? Tujuan akhir dan maknanya adalah agar kebahagiaan pernikahan tidak menghalangi langkahmu, mengikat tanganmu, membutakan matamu, mengganggu pandanganmu, mengacaukan dan menyibukkan pikiranmu; agar pengejaran akan kebahagiaan pernikahan tidak memenuhi jalan hidupmu dan mengisi hidupmu, dan supaya engkau memperlakukan tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi dalam pernikahan dengan benar dan membuat pilihan yang benar dalam hal tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi. Cara yang lebih baik untuk melakukan penerapan adalah dengan mencurahkan lebih banyak waktu dan tenaga pada tugasmu, melaksanakan tugas yang harus kaulaksanakan, dan menyelesaikan misi yang Tuhan percayakan kepadamu. Jangan pernah kaulupakan bahwa engkau adalah makhluk ciptaan, bahwa Tuhanlah yang telah menuntunmu menjalani hidup hingga saat ini, bahwa Tuhanlah yang telah memberikan pernikahan kepadamu, yang telah memberimu keluarga, dan bahwa Tuhanlah yang telah memberimu tanggung jawab yang harus kaupenuhi dalam kerangka pernikahan, dan bahwa bukan engkau yang memilih pernikahan, bukan berarti engkau bisa tiba-tiba menikah, atau bahwa engkau mampu mempertahankan kebahagiaan pernikahanmu dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu sendiri. Sekarang, sudahkah Aku menjelaskan hal ini dengan gamblang? (Ya.)" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (10)"). Dengan meminta kita untuk berhenti mengejar kebahagiaan pernikahan, Tuhan bukan meminta kita untuk bercerai sebagai formalitas, melainkan untuk melaksanakan tugas kita dengan baik sebagai makhluk ciptaan dengan asumsi memenuhi tanggung jawab kita dalam pernikahan. Jika pernikahan kita memengaruhi atau menghalangi pelaksanaan tugas kita, kita harus merelakannya. Tuhan menunjukkan jalan penerapan yang jelas bagiku. Di masa lalu, aku mengejar kebahagiaan pernikahan, mencurahkan separuh hidupku untuk berusaha keras mewujudkannya, dan bahkan setelah aku mulai percaya kepada Tuhan serta melaksanakan tugasku, aku masih sangat terjebak dalam upaya ini dan tidak mampu melepaskan diri. Aku bahkan menolak tugasku demi mempertahankan pernikahanku, sehingga kehilangan banyak kesempatan untuk memperoleh kebenaran. Aku tidak akan mendapatkan kembali waktuku yang telah hilang. Kini usiaku hampir 60 tahun, aku ingin menggunakan sisa waktuku yang terbatas untuk melaksanakan tugasku. Adapun bagaimana pernikahanku nantinya, bukan aku yang membuat keputusan akhir. Aku harus menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan tunduk pada kedaulatan serta pengaturan-Nya. Setelah itu, aku mencurahkan segenap kemampuanku untuk melaksanakan tugasku. Ketika aku menemukan masalah, aku bersekutu dengan para saudari yang bekerja sama denganku untuk menyelesaikannya, dan ketika aku menghadapi kesulitan, aku meminta bimbingan dari para pemimpin tingkat atas. Setelah beberapa waktu, aku mencapai hasil dalam pekerjaanku. Aku menggunakan waktu pagi dan malam hari untuk saat teduh, dan saat aku menghadapi keadaan yang tidak benar, aku segera mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Tanpa kusadari, aku telah memperlengkapi diriku dengan sejumlah kebenaran. Saat aku tinggal di rumah, aku sibuk dengan pekerjaan gereja pada siang hari serta menangani urusan keluarga pada pagi dan malam hari, bahkan waktu untuk saat teduhku pun terbatas. Namun kini, aku akhirnya merasakan pentingnya meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas, dan aku punya lebih banyak waktu untuk memperlengkapi diri serta mendapatkan kebenaran. Kini, aku memahami bahwa mengejar kebahagiaan pernikahan bukanlah misiku dan tidak akan membuatku memperoleh keselamatan. Aku hanya akan benar-benar hidup jika aku terus melaksanakan tugasku dengan baik sebagai makhluk ciptaan.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Cara Menyelesaikan Keegoisan

Oleh Saudari Zhang Jing, CekoTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Standar apa yang digunakan untuk menilai apakah perbuatan seseorang itu baik...