Setelah Putraku yang Masih Muda Jatuh Sakit

10 Agustus 2024

Oleh Saudara Yang Le, Tiongkok

Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Manusia memiliki nalar yang rendah, mereka memiliki terlalu banyak tuntutan terhadap Tuhan dan meminta terlalu banyak kepada-Nya, mereka bahkan tidak memiliki sedikit pun nalar. Manusia selalu menuntut agar Tuhan melakukan ini atau itu dan tidak mampu tunduk sepenuhnya kepada-Nya atau menyembah-Nya. Sebaliknya, mereka mengajukan tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal kepada Tuhan berdasarkan preferensi mereka sendiri .... Nalar manusia sangatlah rendah, bukan? Orang-orang ini bukan saja tidak mampu tunduk sepenuhnya pada pengaturan dan penataan Tuhan ataupun menerima semua yang berasal dari Tuhan, tetapi sebaliknya, mereka membebankan tuntutan tambahan terhadap Tuhan. Bagaimana mungkin orang-orang dengan tuntutan seperti itu bisa setia kepada Tuhan? Bagaimana mereka dapat tunduk pada penataan Tuhan? Bagaimana mereka dapat mengasihi Tuhan? Semua orang memiliki tuntutan tentang bagaimana seharusnya Tuhan mengasihi mereka, menoleransi mereka, menjaga mereka, melindungi mereka dan memelihara mereka, tetapi tak seorang pun dari mereka yang memiliki tuntutan tentang bagaimana mereka sendiri harus mengasihi Tuhan, memikirkan Tuhan, memperhatikan Tuhan, memuaskan Tuhan, memiliki Tuhan di dalam hati mereka dan menyembah Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Sebelumnya, ketika aku membaca bagian firman Tuhan ini, aku tidak membandingkannya dengan diriku sendiri. Kupikir Tuhan sedang membicarakan orang-orang percaya yang hanya mencari roti untuk memuaskan rasa lapar, bahwa hanya orang-orang seperti inilah yang akan terus-menerus menuntut Tuhan dan meminta kasih karunia serta berkat dari-Nya. Adapun diriku, aku sudah makan dan minum begitu banyak firman Tuhan; aku tahu bahwa aku adalah makhluk ciptaan dan aku harus menempati posisi makhluk ciptaan; aku tahu bahwa entah Tuhan telah memberkatiku atau tidak dan entah Dia mengatur keadaan yang menguntungkan atau merugikan, aku harus tunduk pada penataan serta pengaturan-Nya. Dengan pemahaman dan aspirasi seperti ini, kupikir aku mampu untuk tunduk kepada Tuhan dan aku tidak menuntut apa pun dari-Nya. Kali ini, penyakit putrakulah yang akhirnya membuatku melihat dengan jelas tingkat pertumbuhanku yang sesungguhnya dan fakta tentang kerusakanku.

Pada bulan September 2015, putraku kembali dari rumah neneknya, dan neneknya berkata bahwa berat badannya sudah naik. Kuperhatikan, kelopak mata putraku agak bengkak. Tampak ada yang tidak beres dengan kelopak matanya. Aku meminta putraku untuk melepaskan baju dan celananya agar aku bisa memeriksanya. Kakinya terlihat agak bengkak dan mengilap. Saat kutekan, kakinya menjadi cekung, dan itu tidak langsung pulih layaknya manusia normal. Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu yang sering kali dikatakan orang-orang tua: "Anak laki-laki takut kakinya bengkak, sementara anak perempuan takut kepalanya bengkak." Artinya, jika kaki anak laki-laki bengkak, dia pasti terkena penyakit yang cukup parah. Ada firasat buruk di hatiku; putraku pasti terkena penyakit parah. Keesokan harinya, kami membawa putra kami ke rumah sakit nefrologi provinsi. Dokter berkata bahwa dia mungkin menderita sindrom nefrotik. Dengan penyakit seperti ini, kadar albumin di tubuhnya sangatlah rendah, sementara kadar kreatininnya terlalu tinggi. Penderita penyakit ini akan menjadi makin lemah, dan jika kondisinya memburuk, penyakitnya akan berkembang menjadi uremia. Aku ingat bahwa dalam pengobatan Tiongkok, dikatakan bahwa ginjal adalah fondasi bawaan manusia. Jika ada masalah pada ginjal, itu berpengaruh langsung pada kesehatan anak. Jika penyakit ini tak bisa disembuhkan, putraku tidak akan mampu bersekolah selayaknya anak-anak normal, dan menikah pun akan menjadi masalah baginya. Aku sangat khawatir saat memikirkan hal ini, dan aku berpikir, "Putraku baru berumur 14 tahun; perjalanannya masih panjang. Benarkah dia akan selalu menderita penyakit? Bagaimana seorang anak seusianya bisa menanggung ini? Aku tak bisa membiarkan putraku sakit seperti ini; sekalipun kami harus menjual rumah dan tanah kami, aku harus memastikan bahwa dia sembuh." Aku menunggu hasil diagnosis putraku dengan cemas di rumah sakit. Aku berdoa kepada Tuhan tanpa henti di dalam hatiku. Saat sedang berdoa, aku teringat bahwa kemarin seharusnya aku menjadi tuan rumah untuk acara pertemuan. Bukankah aku menunda tugasku? Aku merasa sangat tertegur, saat memikirkan bahwa tidak seharusnya aku membiarkan tugasku sebagai tuan rumah untuk acara pertemuan terganggu karena aku merawat putraku yang sedang sakit. Istriku ada di rumah sakit untuk merawat putraku, jadi aku pulang ke rumah terlebih dahulu dan menjadi tuan rumah untuk acara pertemuan sekaligus bekerja.

Belakangan, putraku didiagnosis menderita sindrom nefrotik. Ketika mendengar kabar itu, aku merasa seperti tersambar petir di siang bolong. Inilah yang paling kutakutkan, dan sekarang ini telah menjadi kenyataan. Ke depannya, putraku tidak akan mampu bersekolah dengan normal, dan dia hanya bisa tinggal di rumah sakit. Bagaimana anak muda seperti dia harus menanggung semua ini? Saat merenungkan hal ini, aku tak bisa menahan air mataku. Di hari-hari itu, hatiku terasa sangat berat, dan aku hanya bisa berpikir, "Sejak menerima pekerjaan Tuhan, aku belum pernah memohon kepada Tuhan mengenai masalah daging. Alangkah baiknya jika kali ini Tuhan dapat bermurah hati kepadaku dengan memungkinkan putraku untuk pulih sepenuhnya." Aku sangat ingin berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia menghilangkan penyakit putraku, tetapi aku tahu bahwa pekerjaan Tuhan pada akhir zaman adalah pekerjaan penghakiman dan hajaran, ujian serta pemurnian; itu dilakukan untuk membersihkan watak rusak manusia. Mengajukan permohonan seperti itu kepada Tuhan tidaklah sesuai dengan maksud-Nya. Namun, begitu aku memikirkan penyakit putraku, aku masih berharap bahwa Tuhan akan bermurah hati kepadanya karena "ketundukanku". Jika itu terjadi, putraku tidak perlu menanggung rasa sakit seperti ini. Aku terus berharap selama beberapa waktu, tetapi kondisi putraku tampak belum membaik. Meskipun dari luar aku tidak menunda tugasku, hatiku terasa sangat berat. Untuk mengatasi rasa sakitku, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan, mencari-Nya, serta makan dan minum firman-Nya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Setelah membaca firman Tuhan, hatiku serasa ditusuk dalam-dalam. Tuhan telah mengungkapkan dengan tepat sudut pandangku tentang mengejar berkat dalam kepercayaanku kepada Tuhan. Setelah putraku dipastikan menderita sindrom nefrotik, dari luar, aku tampak berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak menuntut Tuhan saat berdoa, tetapi di dalam hati, aku berharap Tuhan akan berbelas kasihan terhadapku karena "ketundukanku" dan akan menyingkirkan penyakit putraku. Ketika Tuhan tidak memenuhi tuntutanku, hatiku terasa sakit, dan aku tidak mencari pelajaran yang seharusnya kupetik dari peristiwa yang telah terjadi padaku. Apa bedanya aku dengan orang-orang yang beragama itu? Yang telah kukejar dalam kepercayaanku masih mencari roti untuk memuaskan rasa lapar, yang sama sekali tidak sesuai dengan maksud Tuhan. Setelah merenungkannya, aku merasa sangat malu serta membenci diriku sendiri karena tidak mengejar kebenaran dan karena menuntut hal-hal ini kepada Tuhan. Aku benar-benar tidak bernalar sama sekali. Aku berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku, "Ya Tuhan! Aku bersedia memercayakan penyakit putraku kepada-Mu dan tunduk pada penataan serta pengaturan-Mu. Tolong beri aku rasa tanggung jawab dan beri aku iman agar aku mampu melaksanakan tugasku dengan baik dan memuaskan-Mu." Setelah berdoa, hatiku terasa sedikit lebih damai dan tenang.

Pada bulan Maret 2016, aku mengemban tugas kepemimpinan gereja. Beberapa bulan kemudian, penyakit putraku kambuh lagi. Dia tidak bisa mengeluarkan sebagian urinnya, sehingga menyebabkan edema di seluruh tubuhnya. Tentu saja aku merasa hancur saat melihatnya. Seorang anak yang baik seperti dia entah bagaimana menjadi seperti ini. Jika dia sering kambuh seperti ini, kapan dia bisa sembuh? Aku berpikir, "Mungkin ini karena aku belum cukup melaksanakan tugasku. Jika aku mengerahkan lebih banyak upaya, mungkinkah kondisinya akan sedikit membaik?" Jadi, aku mengerahkan lebih banyak upaya dalam melaksanakan tugasku. Tak kusangka, putraku mulai membaik sedikit demi sedikit. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan dan melakukan tugasku dengan lebih tekun, memperoleh hasil dalam berbagai tugas. Waktu telah berlalu, dan di musim gugur tahun 2016, kondisi putraku tiba-tiba memburuk. Urin yang dia keluarkan setiap harinya makin sedikit, dan hampir seluruh cairan tersebut menumpuk di dalam tubuhnya. Tubuhnya sangat bengkak sampai-sampai wajahnya berubah bentuk dan matanya menyipit. Penampilannya tak bisa dikenali. Kakinya tampak seperti kaki gajah, kulitnya mengilap terang, dan dia hampir tak bisa bangun dari tempat tidur. Ketika kami sedang melaksanakan tugas kami di luar, dia hanya bisa menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Saat kami hendak membawanya ke rumah sakit, dia berkata dengan bijaksana, "Penyakitku tak kunjung membaik; tidak ada gunanya kita pergi. Pergilah, lakukan saja apa pun yang harus kalian lakukan." Kuharap aku bisa menanggung seluruh rasa sakit itu untuknya, tetapi tak ada yang bisa kulakukan. Tanpa sadar, aku mengeluh kepada Tuhan, dan berpikir, "Ya Tuhan! Aku bukanlah Ayub, juga bukan Petrus; tingkat pertumbuhanku tidak terlalu tinggi. Terlebih lagi, selama ini, aku tidak pernah berhenti melaksanakan tugasku. Mengapa putraku tidak kunjung sembuh? Sekalipun tidak bisa langsung sembuh, tidak masalah bagiku asalkan penyakitnya tidak terus memburuk." Saat merenungkan ini, aku menyadari kalau aku mengeluh bahwa Tuhan itu tidak adil. Merasa sangat gelisah, aku pun segera berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Aku tahu tak seharusnya aku mengeluh kepada-Mu seperti ini, tetapi aku benar-benar tidak bisa melalui masalah ini, dan aku tak tahu pelajaran apa yang harus kupetik. Tolong bimbing aku dalam masalah ini."

Setelah berdoa, aku membaca satu bagian firman Tuhan: "Keadilan itu bukan berarti pantas atau masuk akal; keadilan bukanlah egalitarianisme, juga bukan perkara mengalokasikan kepadamu apa yang pantas engkau terima sesuai dengan berapa banyak pekerjaan yang telah kauselesaikan, atau memberimu upah untuk pekerjaan apa pun yang telah kaukerjakan, atau memberi kepadamu hakmu sesuai dengan upaya yang telah kaukeluarkan. Ini bukanlah keadilan. Itu hanyalah pantas dan masuk akal. Sangat sedikit orang yang mampu mengenal watak Tuhan yang adil. Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: apakah ini adil? Sebenarnya, ini adil. Mengapa ini disebut adil? Bagaimana manusia memandang keadilan? Jika sesuatu selaras dengan gagasan-gagasan manusia, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil; tetapi, jika mereka tidak melihat bahwa hal itu selaras dengan gagasan-gagasan mereka—jika hal itu adalah sesuatu yang tak mampu mereka pahami—maka menjadi sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Jika Tuhan memusnahkan Ayub pada waktu itu, orang pasti tidak akan mengatakan bahwa Dia adil. Sebenarnya, entah manusia telah dirusak atau tidak, dan entah mereka telah dirusak sedemikian dalam atau tidak, apakah Tuhan harus membenarkan diri-Nya ketika Dia memusnahkan mereka? Haruskah Dia menjelaskan kepada manusia atas dasar apa Dia melakukannya? Haruskah Tuhan memberi tahu manusia aturan-aturan yang telah Dia tetapkan? Tidak perlu. Di mata Tuhan, orang yang rusak dan cenderung menentang Tuhan, sama sekali tidak layak; namun bagaimanapun cara Tuhan menangani mereka, itu akan tepat, dan semuanya adalah pengaturan Tuhan. ... Esensi Tuhan adalah keadilan. Walaupun tidak mudah untuk memahami apa yang Dia lakukan, semua yang Dia lakukan itu adil; hanya saja orang-orang tidak memahaminya. Ketika Tuhan menyerahkan Petrus kepada Iblis, bagaimana Petrus meresponinya? 'Umat manusia tak mampu memahami apa yang Kaulakukan, tetapi semua yang Kaulakukan mengandung maksud baik-Mu; ada keadilan di dalam semua itu. Bagaimana mungkin aku tidak memuji kebijaksanaan dan perbuatan-Mu?' Engkau sekarang harus mengerti bahwa alasan Tuhan tidak menghancurkan Iblis pada saat penyelamatan-Nya bagi manusia adalah agar manusia dapat melihat dengan jelas bagaimana Iblis telah merusak mereka dan sejauh mana Iblis telah merusak mereka, serta bagaimana Tuhan memurnikan dan menyelamatkan mereka. Pada akhirnya, seelah orang memahami kebenaran dan dengan jelas menyadari wajah Iblis yang menjijikkan, serta menyadari dosa besar yang Iblis lakukan dengan merusak mereka, Tuhan akan menghancurkan Iblis, memperlihatkan keadilan-Nya kepada mereka. Waktu yang Tuhan tentukan untuk menghancurkan Iblis dipenuhi dengan watak dan kebijaksanaan Tuhan. Segala sesuatu yang Tuhan lakukan adalah adil. Walaupun manusia mungkin tidak mampu memahami keadilan Tuhan, mereka tak boleh membuat penilaian sesuka hati mereka. Jika sesuatu yang Dia lakukan tampak tidak masuk akal bagi manusia, atau jika mereka memiliki gagasan apa pun tentang hal itu, dan hal itu membuat mereka mengatakan bahwa Dia tidak adil, maka merekalah yang sangat tidak masuk akal" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa watak benar Tuhan tidak seperti yang kupikirkan, yaitu adil, masuk akal, dan egaliter. Kupikir selama orang-orang mampu melaksanakan beberapa tugas, Tuhan seharusnya menganugerahkan kemurahan hati kepada mereka, dan makin tinggi harga yang dapat dibayarkan orang dalam melaksanakan tugasnya, makin banyak berkat yang seharusnya Tuhan berikan kepada mereka. Ini adalah pandangan transaksional duniawi dan pada dasarnya tidak sesuai dengan kebenaran. Esensi Tuhan adalah benar. Segala hal yang Dia lakukan adalah penyingkapan yang alami akan watak benar-Nya. Aku teringat akan bagaimana Ayub takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan serta merupakan orang yang sempurna di mata Tuhan. Menurut gagasan manusia, seharusnya dia tidak perlu menghadapi pencobaan Iblis, tetapi Tuhan mengizinkan hal seperti itu terjadi padanya. Meskipun tidak sesuai dengan gagasan manusia, pencobaan ini menyempurnakan iman Ayub. Aku menyadari bahwa terlepas dari apakah Tuhan memberkati orang atau mengambil sesuatu dari mereka, apakah Dia membiarkan mereka menghadapi ujian dan menyingkapkan mereka atau menyempurnakan mereka, semua ini adalah penyingkapan esensi Tuhan yang benar, dan semua orang harus tunduk kepadanya serta menerimanya. Orang-orang tidak boleh menggunakan tindakan mengorbankan diri mereka sebagai modal untuk memberi tahu Tuhan apa yang harus dilakukan. Namun, aku tidak memahami kebenaran Tuhan. Saat aku sedikit mengorbankan diri dalam tugasku dan melihat bahwa kondisi putraku membaik, aku percaya bahwa Tuhan itu benar, dan aku melaksanakan tugasku dengan semangat. Ketika penyakit putraku kambuh dan kondisinya menjadi makin parah, aku mengeluhkan Tuhan dan berpikir bahwa ujian yang Dia berikan kepadaku terlalu sulit. Aku mulai bernegosiasi dengan Tuhan dan melawan-Nya. Ini menunjukkan bahwa definisiku tentang kebenaran Tuhan didasarkan pada apakah kerja keras dan tindakanku yang mengorbankan diri dapat memberiku kasih karunia dan berkat atau tidak; itu penuh dengan transaksi dan pertukaran. Bukankah aku telah menuntut Tuhan berdasarkan gagasanku sendiri? Aku sama sekali tidak sedang melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan aku sama sekali tidak memiliki hati nurani serta nalar yang seharusnya makhluk ciptaan miliki. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Aku ingin menjadi orang yang memiliki hati nurani dan nalar serta melaksanakan tugasku dengan baik untuk memuaskan-Mu. Mengapa aku salah memahami-Mu dan mengeluhkan-Mu setiap kali aku menghadapi segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku? Tuhan, tolong bimbing aku agar dapat memahami diriku sendiri dalam hal ini."

Belakangan, aku membaca dua bagian firman Tuhan: "Dari waktu saat manusia pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dia telah menganggap Tuhan berlimpah ruah, sama seperti pisau Swiss Army, dan dia menganggap dirinya sendiri sebagai kreditur terbesar Tuhan, seolah-olah berusaha mendapatkan berkat dan janji dari Tuhan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, sementara tanggung jawab Tuhan adalah melindungi dan memelihara manusia, serta membekalinya. Seperti inilah pemahaman dasar tentang 'percaya kepada Tuhan' dari semua orang yang percaya kepada Tuhan, dan seperti inilah pemahaman terdalam mereka tentang konsep kepercayaan kepada Tuhan. Dari esensi natur manusia hingga pengejaran subjektifnya, tidak ada satu pun yang berhubungan dengan sikap takut akan Tuhan. Tujuan manusia percaya kepada Tuhan tidak mungkin ada kaitannya dengan penyembahan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah mempertimbangkan atau memahami bahwa kepercayaan kepada Tuhan membutuhkan takut akan Tuhan dan menyembah Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). "Apa masalahnya jika manusia selalu mengajukan tuntutan terhadap Tuhan? Dan apa masalahnya jika mereka selalu memiliki gagasan tentang Tuhan? Apakah yang terkandung dalam natur manusia? Aku telah mendapati bahwa apa pun yang terjadi pada mereka, atau apa pun yang mereka hadapi, manusia selalu melindungi kepentingan mereka sendiri dan mengkhawatirkan daging mereka sendiri, dan mereka selalu mencari alasan atau dalih yang menguntungkan mereka. Mereka tidak mencari atau menerima kebenaran sedikit pun, dan semua yang mereka lakukan adalah untuk memperjuangkan daging mereka sendiri dan membuat rencana demi prospek mereka sendiri. Mereka semua memohon kasih karunia dari Tuhan, ingin mendapatkan keuntungan apa pun yang bisa mereka peroleh. Mengapa manusia mengajukan begitu banyak tuntutan terhadap Tuhan? Ini membuktikan bahwa natur manusia adalah tamak, dan bahwa di mata Tuhan, mereka sama sekali tidak memiliki nalar. Dalam semua yang manusia lakukan—baik pada saat mereka berdoa atau menyampaikan persekutuan atau berkhotbah—pengejaran, pemikiran, dan aspirasi mereka, semua hal ini adalah tuntutan terhadap Tuhan dan upaya untuk memohon sesuatu dari-Nya, semuanya dilakukan manusia dengan harapan mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Ada orang-orang yang berkata 'seperti inilah natur manusia,' dan perkataan ini benar! Selain itu, manusia mengajukan terlalu banyak tuntutan terhadap Tuhan dan memiliki terlalu banyak keinginan berlebihan yang membuktikan bahwa manusia benar-benar tidak memiliki hati nurani dan nalar. Mereka semua menuntut dan memohon sesuatu demi kepentingan mereka sendiri, atau mencoba berdebat dan mencari alasan untuk diri mereka sendiri—mereka melakukan semua ini demi diri mereka sendiri. Dalam banyak hal, dapat terlihat bahwa apa yang manusia lakukan sama sekali tidak bernalar, yang merupakan bukti penuh bahwa logika Iblis 'Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri' sudah menjadi natur manusia. Menunjukkan masalah apa ketika manusia mengajukan terlalu banyak tuntutan terhadap Tuhan? Ini menunjukkan bahwa manusia telah dirusak Iblis sampai titik tertentu, dan bahwa dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka sama sekali tidak memperlakukan Dia sebagai Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Manusia Mengajukan Terlalu Banyak Tuntutan Terhadap Tuhan"). Setelah membaca firman ini, hatiku serasa ditusuk dalam-dalam. Akulah tepatnya jenis orang yang telah Tuhan singkapkan; aku telah menganggap diriku sebagai kreditur Tuhan dan tidak menganggap-Nya sebagai Sang Pencipta. Jika mengingat kembali saat aku percaya kepada Tuhan, setelah menikmati kasih karunia dan berkat Tuhan, aku percaya bahwa selama orang berdoa dan memohon kepada Tuhan saat menghadapi kesulitan, Dia akan mengabulkan permohonan mereka, karena tak ada yang lebih besar daripada kasih Tuhan kepada manusia. Setelah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman, aku mulai mengerti dari firman Tuhan bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta, dan orang tidak boleh mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal dengan meminta-Nya untuk menganugerahkan kasih karunia dan berkat kepada mereka. Namun, sudut pandang di dalam diriku tentang memperoleh berkat masih belum berubah. Contohnya adalah penyakit putraku. Pada awalnya, aku mampu memercayakan penyakit itu kepada Tuhan, dan setelah melihat bahwa kondisi putraku sedikit membaik, aku berpikir bahwa Tuhan benar-benar memedulikan kami. Kipikir jika aku terus melaksanakan tugasku dan Tuhan melihatku mengorbankan diri, mungkin putraku akan sembuh. Karena dikendalikan oleh niat semacam ini, aku sangat bersemangat ketika melaksanakan tugasku. Namun, saat tindakanku yang mengorbankan diri tidak membuahkan hasil yang kuinginkan dan penyakit putraku menjadi makin parah, aku hanya bisa mengeluhkan Tuhan. Aku beranggapan bahwa seharusnya aku mendapatkan penghargaan karena telah melaksanakan beberapa tugas dan membayarkan sedikit harga, dan kupikir ini membuatku memenuhi syarat untuk bertransaksi dengan Tuhan. Aku menyadari bahwa aku telah percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku demi memperoleh berkat serta manfaat, bukan hanya untuk memuaskan Tuhan. Naturku benar-benar sangat egois! Sebagai contoh, tindakan anak-anak yang berbakti kepada orang tua sangatlah wajar dan benar, dan anak-anak tidak boleh hanya berbakti ketika orang tua mereka mengumpulkan kekayaan untuk mereka. Sebagai makhluk ciptaan, percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya bahkan lebih wajar dan benar, tetapi aku selalu menyimpan niat dan tuntutanku sendiri di dalam diriku, menipu Tuhan dalam segala hal yang kulakukan. Kepercayaan seperti itu tak akan pernah bisa menerima pujian Tuhan. Aku merasa sangat hina dan malu. Yang kuinginkan hanyalah kembali kepada Tuhan, menempati posisi makhluk ciptaan, dan meluruskan pikiranku, tidak lagi menuntut ataupun mengeluh kepada Tuhan dan memercayakan putraku kepada-Nya.

Di akhir tahun 2018, aku harus pulang ke rumah karena risiko keamanan. Pada saat itu, karena telah mengonsumsi obat yang mengandung hormon untuk waktu yang terlalu lama, putraku didiagnosis menderita osteonekrosis pada caput femoris (ONFH). Dia tidak dapat meluruskan pinggangnya saat berjalan dan hanya bisa berjalan dengan merangkak. Meskipun aku tahu bahwa istriku ada di sana untuk merawat putraku dan tak ada yang perlu kubantu di rumah, kondisi putraku tetap saja membuatku merasa sangat menderita, dan aku berpikir, "Penyakit lama putraku saja masih belum sembuh, dan sekarang dia terkena penyakit yang baru; apa yang harus kulakukan?" Makin aku memikirkannya, makin aku merasa sedih, dan aku berharap agar Tuhan menciptakan keajaiban yang akan membuat kondisi putraku membaik sesegera mungkin. Samar-samar aku merasa diriku menuntut Tuhan lagi, jadi aku berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku, meminta-Nya untuk melindungiku agar aku dapat berdiri teguh pada posisiku sebagai makhluk ciptaan dan tunduk pada keadaan ini. Setelah berdoa, aku mengemas beberapa pakaian dan meninggalkan rumah.

Selama aku jauh dari rumah, terkadang aku memikirkan putraku, dan ini menyebabkan tugasku terganggu, jadi aku berdoa kepada Tuhan serta makan dan minum firman-Nya. Aku membaca firman Tuhan yang berbunyi: "Selain melahirkan dan membesarkan anak, tanggung jawab orang tua dalam hidup anak-anak mereka hanyalah menyediakan bagi mereka lingkungan formal untuk bertumbuh, karena Tidak ada hal lain selain ketetapan Sang Pencipta yang berhubungan dengan nasib seseorang. Tidak seorang pun dapat mengendalikan masa depan seperti apa yang akan orang miliki; itu telah ditentukan jauh sebelumnya, dan bahkan orang tua tidak bisa mengubah nasib seseorang" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa Tuhan mengatur nasib setiap manusia dan berdaulat atasnya. Di masa hidup setiap orang, ada penderitaan yang harus mereka tanggung, dan tak ada orang lain yang bisa menanggungnya untuk mereka. Adapun putraku, yang bisa kulakukan hanyalah membesarkannya hingga dia dewasa dan memenuhi tanggung jawabku. Mengenai kesukaran apa yang harus ditanggungnya semasa hidupnya dan akan menjadi seperti apa hidupnya, semua ini ada di tangan Tuhan. Aku tak bisa menentukan ataupun mengubahnya. Di masa lalu, saat berada di rumah, aku merawat putraku sebentar dan mengingatkannya untuk mengonsumsi obatnya tepat waktu, tetapi tetap saja dia didiagnosis menderita ONFH. Perawatan dan pendampinganku tak dapat mengubah penderitaan seperti apa yang harus ditanggung putraku. Sekalipun aku tinggal di sisi putraku, yang bisa kulakukan hanyalah menemaninya dan memberinya sedikit kenyamanan; aku sama sekali tidak bisa menentukan apakah penyakitnya akan memburuk atau membaik. Aku harus memercayakan putraku kepada Tuhan; satu-satunya hal yang tepat untuk kulakukan adalah membiarkan Tuhan mengaturnya dan berdaulat atasnya. Setelah memikirkan hal ini, aku bisa merasa sedikit lebih lepas dan dapat melaksanakan tugasku dengan pikiran yang damai.

Belakangan, istriku berkata bahwa putraku kembali ke rumah sakit. Ketika mendengar bahwa penyakit putraku kambuh lagi, aku sangat sedih, dan aku berdoa kepada Tuhan, berkata bahwa aku bersedia memercayakan putraku kepada-Nya serta membiarkan-Nya mengatur dan berdaulat atas segala sesuatunya. Yang harus kulakukan hanyalah tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan serta melaksanakan tugasku dengan baik. Saat aku berdoa kepada Tuhan dengan cara seperti ini, tak lagi menuntut-Nya, aku merasa sangat damai dan tenang, dan aku mampu mencurahkan segenap hatiku pada tugasku.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait