Apakah Mengejar Berkat Sesuai dengan Kehendak Tuhan?

24 November 2022

Oleh Saudara Claude Inggris

Pada tahun 2018, aku mendapat keberuntungan menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Aku sangat gembira bisa menyambut kedatangan Tuhan kembali. Tak lama kemudian, aku mulai belajar cara membagikan Injil, tapi karena bekerja di siang hari dan pulang dalam keadaan lelah di malam hari, aku sangat sulit fokus pada tugasku. Aku ingin meninggalkan pekerjaanku dan membagikan Injil secara penuh waktu, tapi keadaan nyataku tak memungkinkan untuk itu. Aku membesarkan lima anak, dan jika tak menyekolahkan mereka, pemerintah akan menganggapku tak layak merawat mereka, lalu mereka akan diambil dariku. Ada banyak tekanan dalam hidupku, tapi aku tahu sebagai makhluk ciptaan, sebesar apa pun kesulitanku, aku harus melakukan tugasku.

Tahun 2019, aku menjadi pemimpin gereja dan hari-hariku makin sibuk. Aku memutuskan mengurangi hari kerjaku dari enam hari menjadi empat hari seminggu. Kupikir mungkin Tuhan akan memberkatiku untuk pengorbananku. Meskipun tak berbisnis sebanyak dulu karena pengurangan jam kerjaku, hidupku tak terlalu terpengaruh karena semuanya berjalan lancar, dan kami tak punya masalah kesehatan atau mengalami kesulitan. Aku merasa hidupku damai karena itulah yang layak kudapatkan atas pengorbanan antusiasku untuk Tuhan. Aku sangat senang punya lebih banyak waktu untuk melakukan tugas. Namun, semua itu berubah pada tahun 2021, setelah pandemi merebak.

Pendapatan salon yang kujalankan anjlok drastis karena pandemi. Volume bisnis tak cukup untuk membayar sewa. Jadi, aku harus pindah ke toko yang lebih murah, tapi itu membutuhkan renovasi. Aku menemukan tukang bangunan untuk mengerjakannya, tapi setelah beberapa minggu dia bilang proyekku akan butuh banyak waktu, dia punya banyak hal untuk dilakukan dan tak punya cukup staf, jadi dia harus berhenti bekerja denganku. Tetangga dan pelangganku tahu apa yang terjadi dan bilang jika pekerjaan di toko baru belum selesai, aku akan membayar sewa di dua tempat sekaligus, itu akan sangat mahal, juga bagaimana itu bisa terjadi kepadaku, padahal aku orang percaya? Awalnya kuberi tahu mereka, dengan percaya diri, bahwa semuanya tergantung aturan dan pengaturan Tuhan, dan aku tak boleh mengeluh. Setelah itu aku menemukan tukang yang bekerja dengan grup konstruksi lain, tapi dia melepas proyekku juga, karena masalah kesehatan. Waktu berlalu dan toko masih belum diperbaiki. Selama tiga bulan berturut-turut, aku membayar sewa di dua toko sekaligus. Tak lama kemudian, sebuah pipa mulai bocor di toko baru dan langit-langitnya harus dirobohkan untuk menemukan kebocorannya. Perubahan di toko itu telah menelan biaya total 3.000 paun. Aku sangat kesal dan juga bingung. Mengapa hal seperti itu terjadi kepadaku—mengapa aku harus mengeluarkan begitu banyak uang? Selama ini kupikir Tuhan akan membantuku menemukan tukang bangunan yang baik. Namun, ternyata tukang itu meninggalkan pekerjaannya begitu saja saat sedang memasang pemanas, lalu pipanya mulai bocor, menghancurkan setengah dari renovasi pemanas yang telah dia lakukan. Selama masa itu, aku juga terjangkit virus corona. Aku mulai mengeluh: Mengapa Tuhan membiarkan hal semacam itu terjadi kepadaku? Aku melakukan tugas di gereja, mengurangi waktuku bekerja dan mencari uang untuk hal itu, jadi mengapa aku menghadapi begitu banyak kesulitan? Hatiku penuh dengan keluhan.

Aku tak terlalu teliti dalam tugasku setelah itu. Aku masih melakukan tugas, tapi tak mencurahkan hatiku sama sekali. Aku disibukkan dengan mencari cara menyelesaikan masalah di tokoku. Ini sangat dilematis bagiku, dan akibatnya aku tak terlalu fokus dalam pertemuan. Dulu aku selalu membuat ringkasan setelah pertemuan, tapi tak ingin melakukannya lagi. Dulu aku juga bisa mengorbankan waktu tidurku untuk bersekutu dengan orang lain dan membantu memecahkan masalah, tapi kini saat mereka mencari bantuanku, aku tak ingin menjawab telepon. Aku dulu mencari tahu apa saudara-saudara dalam keadaan baik atau tidak, apa ada kesulitan dalam tugas mereka, dan mempersekutukan firman Tuhan berdasarkan kesulitan yang mereka hadapi, tapi aku tak ingin melakukan pekerjaan itu lagi. Aku menjadi makin ceroboh dalam tugasku. Suatu hari, seorang pemimpin tingkat atas memberitahuku bahwa aku harus memikul tanggung jawabku, mengatur pertemuan untuk semua anggota gereja baru, dan menyirami mereka dengan benar, agar tak seorang pun terlepas. Aku sangat menentang pengaturannya. Aku tak akan punya banyak waktu untuk menangani urusan di rumah jika melakukan itu. Aku ingin menghabiskan waktu luangku dengan keluarga dan teman-temanku, untuk lebih memanjakan daging. Keadaanku terus memburuk, bahkan tak ingin melakukan masa teduh, membaca firman Tuhan. Sebelumnya, aku bangun pagi untuk membaca firman Tuhan dan mendengarkan pembacaannya di siang hari, tapi kini aku tak ingin bangun di pagi hari atau membaca firman Tuhan, karena tak diberkati sebagai imbalan atas usahaku dan telah melewati begitu banyak rintangan. Aku tak tahu harus bersekutu apa dalam pertemuan. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, jadi setidaknya aku bisa mempertahankan posisiku di gereja. Aku juga mulai licik dalam tugasku. Saat seseorang menyanyakan situasi kepadaku, aku akan bilang telah menyelesaikan sesuatu yang jelas-jelas belum kulakukan, menipu saudara-saudariku. Sikapku itu sepenuhnya karena Tuhan tak memberkatiku, justru membiarkanku menghadapi kesulitan-kesulitan itu. Aku tak menunjukkan rasa hormat kepada Tuhan, apalagi menyembah Dia.

Aku berada dalam kondisi yang mengerikan, jadi aku memberi tahu pemimpin tentang yang kualami. Dia menyuruhku membaca kutipan firman Tuhan ini: "Sementara menjalani ujian, wajar bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang kehendak Tuhan atau jalan penerapan mereka. Namun dalam hal apa pun, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, jangan menyangkal Tuhan. Walaupun Ayub lemah dan mengutuki hari kelahirannya sendiri, dia tidak menyangkal bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia dikaruniakan oleh Yahweh dan Yahweh-lah juga yang bisa mengambil semuanya itu. Bagaimanapun dia diuji, dia tetap mempertahankan keyakinannya ini. Dalam pengalamanmu, pemurnian apa pun yang engkau alami melalui firman Tuhan, yang Tuhan kehendaki dari manusia, singkatnya, adalah iman dan kasih mereka kepada-Nya. Yang Dia sempurnakan dengan bekerja dengan cara ini adalah iman, kasih dan aspirasi manusia. Tuhan melakukan pekerjaan penyempurnaan dalam diri manusia, dan mereka tidak bisa melihatnya, tidak bisa merasakannya; dalam situasi inilah imanmu dibutuhkan. Iman manusia dibutuhkan ketika sesuatu tidak bisa terlihat oleh mata telanjang, dan imanmu dibutuhkan ketika engkau tidak bisa melepaskan gagasanmu sendiri. Ketika engkau tidak memiliki kejelasan tentang pekerjaan Tuhan, yang dibutuhkan darimu adalah memiliki iman dan engkau harus berdiri teguh dan menjadi saksi" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Membaca firman Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku sama sekali tak memahami niat Tuhan dalam hal yang menimpaku. Aku merasa putus asa dan tandus, bahkan punya keraguan tentang kedaulatan Tuhan. Namun, aku terus mengeklaim diriku pengikut Tuhan yang taat. Saat bisnisku berjalan baik dan aku sehat, kupikir Tuhan telah sangat memberkatiku dan aku bisa lebih berkorban untuk Dia. Saat menghadapi masalah, mengalami kesulitan dalam hidup, aku mulai menyalahkan Tuhan. Bagaimana itu bisa disebut iman? Saat Ayub kehilangan semua harta keluarga dan anak-anaknya, dia tak menyalahkan Tuhan, justru memuji nama-Nya. Saat istrinya mencoba menggoyahkan imannya, dia mencelanya sebagai wanita bodoh, dengan mengatakan, "Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Ayub tak bertransaksi atau menuntut dalam imannya kepada Tuhan. Entah dia menikmati berkat atau mengalami bencana, dia tunduk kepada Tuhan. Ayub punya iman yang tulus kepada Tuhan. Aku merasa tak bisa menandingi dia. Melihat satu demi satu kesulitan muncul dalam hidupku, aku merasakan ketidakpuasan. Orang-orang yang kukenal bertanya mengapa hal seperti itu terjadi kepadaku yang adalah orang percaya, dan meskipun mengeklaim semuanya baik, lama kelamaan hatiku mulai bimbang, dan aku mulai meragukan kuasa Tuhan. Melalui pengalaman Ayub, aku sadar bahwa ini adalah Iblis yang menyerangku melalui ucapan orang lain, mencoba membuatku menyangkal dan menyalahkan Tuhan. Aku sama sekali tak punya kesaksian dalam pengalaman itu—aku menjadi bahan tertawaan Iblis. Aku sangat malu dan menyesal atas tindakanku.

Aku membaca kutipan firman Tuhan lagi di kemudian waktu. "Dalam pengalaman hidup manusia, mereka sering memikirkan diri mereka sendiri, aku telah menyerahkan keluarga dan karierku untuk Tuhan, lalu, apa yang telah Dia berikan kepadaku? Aku harus menghitungnya, dan memastikan—sudahkah aku menerima berkat baru-baru ini? Aku telah memberikan banyak hal selama waktu ini, aku telah berlari dan berlari, dan telah banyak menderita—apakah Tuhan memberiku janji-janji sebagai imbalannya? Apakah Dia mengingat perbuatan baikku? Akan seperti apakah akhir hidupku? Bisakah aku menerima berkat-berkat Tuhan? ... Setiap orang selalu membuat perhitungan semacam itu dalam hati mereka, dan mereka mengajukan tuntutan kepada Tuhan yang mengandung motivasi, ambisi, dan mentalitas bertransaksi mereka. Dengan kata lain, dalam hatinya, manusia terus-menerus menguji Tuhan, selalu menyusun rencana tentang Tuhan, dan selalu memperdebatkan kasus untuk akhir pribadinya sendiri dengan Tuhan, dan mencoba untuk mengeluarkan pernyataan dari Tuhan, melihat apakah Tuhan dapat memberikan kepadanya apa yang dia inginkan atau tidak. Pada saat yang sama ketika mengejar Tuhan, manusia tidak memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan. Manusia telah selalu berusaha membuat kesepakatan dengan Tuhan, mengajukan tuntutan kepada-Nya tanpa henti, dan bahkan menekan-Nya di setiap langkah, berusaha meminta lebih banyak setelah diberi sedikit, seperti kata pepatah: diberi hati minta jantung. Pada saat bersamaan saat mencoba bertransaksi dengan Tuhan, manusia juga berdebat dengan-Nya, dan bahkan ada orang-orang yang, ketika ujian menimpa mereka atau mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi tertentu, sering kali menjadi lemah, pasif serta kendur dalam pekerjaan mereka, dan penuh keluhan akan Tuhan. Dari waktu saat manusia pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dia telah menganggap Tuhan berlimpah ruah, sama seperti pisau Swiss Army, dan dia menganggap dirinya sendiri sebagai kreditur terbesar Tuhan, seolah-olah berusaha mendapatkan berkat dan janji dari Tuhan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, sementara tanggung jawab Tuhan adalah melindungi dan memelihara manusia, serta membekalinya. Seperti inilah pemahaman dasar tentang 'percaya kepada Tuhan' dari semua orang yang percaya kepada Tuhan, dan seperti inilah pemahaman terdalam mereka tentang konsep kepercayaan kepada Tuhan. Dari natur dan esensi manusia hingga pengejaran subjektifnya, tidak ada satu pun yang berhubungan dengan sikap takut akan Tuhan. Tujuan manusia percaya kepada Tuhan tidak mungkin ada kaitannya dengan penyembahan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah mempertimbangkan atau memahami bahwa kepercayaan kepada Tuhan membutuhkan takut akan Tuhan dan menyembah Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, hakikat manusia mudah terlihat. Apakah hakikat ini? Hati manusia itu jahat, menyimpan pengkhianatan dan kecurangan, tidak mencintai keadilan dan kebenaran, dan hal yang positif, dan hati manusia hina dan serakah. Hati manusia benar-benar tertutup bagi Tuhan; manusia sama sekali tidak memberikan hatinya kepada Tuhan. Tuhan tidak pernah melihat hati manusia yang sejati, dan Dia juga tidak pernah disembah oleh manusia. Seberapa pun besarnya harga yang Tuhan bayar, atau seberapa pun banyaknya pekerjaan yang Dia lakukan, atau seberapa pun banyaknya Dia membekali manusia, manusia tetap buta dan sama sekali tidak peduli terhadap semua itu. Manusia tidak pernah memberikan hatinya kepada Tuhan, dia hanya ingin memikirkan hatinya sendiri, membuat keputusannya sendiri—intinya adalah manusia tidak mau mengikuti jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, ataupun taat pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan dia juga tidak mau menyembah Tuhan sebagai Tuhan. Seperti itulah keadaan manusia saat ini" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). "Bagaimanapun mereka diuji, kesetiaan mereka yang memiliki Tuhan di dalam hatinya tetap tidak berubah; tetapi bagi mereka yang tidak memiliki Tuhan di dalam hatinya, begitu pekerjaan Tuhan tidak menguntungkan bagi dagingnya, mereka berubah pandangan tentang Tuhan dan bahkan meninggalkan Tuhan. Itulah orang-orang yang tidak akan tetap bertahan sampai pada akhirnya, yang hanya mencari berkat Tuhan tanpa memiliki kerinduan untuk mengorbankan diri kepada Tuhan dan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Orang-orang hina semacam itu semuanya akan dibuang ketika pekerjaan Tuhan berakhir, dan sama sekali tidak layak dikasihani. Mereka yang tidak memiliki kemanusiaan tidak mampu bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ketika situasinya aman dan terjamin, atau ketika mereka bisa mendapatkan keuntungan, mereka taat sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi begitu keinginan mereka tidak terkabul atau akhirnya ditolak, mereka langsung memberontak. Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka di masa lalu sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan. Jika setan-setan ini tidak diusir keluar, setan-setan yang bisa membunuh tanpa ragu ini, bukankah mereka akan menjadi bahaya yang tersembunyi?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia"). Firman Tuhan menunjukkan kepadaku apa yang tersembunyi jauh di dalam hatiku. Aku tak percaya kepada Tuhan untuk tunduk dan menyembah Dia, tapi untuk menikmati kasih karunia dan berkat-Nya. Mengurangi waktuku untuk bekerja dan mendapatkan uang agar bisa melakukan tugas hanyalah agar aku lebih diberkati. Semua pengorbananku hanya untuk mencoba membuat kesepakatan dengan Tuhan, bukan karena iman dan kasih yang tulus. Saat masalah pertama kali muncul dalam hidupku, aku tetap kukuh dalam tugasku karena kupikir kesulitan itu akan berlalu, lalu Tuhan akan lebih banyak memberkatiku. Namun, kesulitan terus berlanjut. Aku mengalami masalah di toko baru dan kehilangan banyak uang. Aku tak punya motivasi melakukan tugasku lagi dan mulai menyalahkan Tuhan. Tanpa berkat Tuhan, aku tak ingin terus bekerja keras untuk Tuhan seperti sebelumnya. Aku hanya ingin lebih memikirkan kenyamananku sendiri. Sudut pandangku tentang berbagai hal terus diserang kesulitan yang kualami, dan menghadapi kesulitan ini, aku gagal mencari kehendak Tuhan, atau bagaimana menerapkan kebenaran dan berdiri teguh. Sebaliknya, aku mencoba mencari cara menyelesaikan kesulitan keuanganku sendiri, bahkan mengacaukan tugasku dan tak bertanggung jawab. Tuhan tak punya tempat di hatiku. Dari sikapku terhadap tugasku dan terhadap Tuhan, aku melihat bahwa aku bukan pengikut Tuhan yang sejati. Aku selalu mengaku mengasihi Tuhan, tapi menyalahkan Tuhan saat menghadapi kesulitan dalam hidup. Aku berdebat dan mencoba bergumul dengan-Nya, seperti yang Tuhan firmankan: "Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka di masa lalu sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan." Perilakuku persis seperti yang Tuhan nyatakan dalam firman-Nya. Aku hanya melakukan tugasku dengan baik saat Tuhan memberkatiku. Aku bertingkah seolah-olah aku semacam kreditur, menuntut yang kuinginkan dari Tuhan. Namun nyatanya, Tuhan memberiku kehidupan—Dia memberiku segalanya. Dia telah memberiku lebih dari cukup. Mengapa aku masih ingin mencela Tuhan, berargumen dan berdebat dengan-Nya? Aku juga melawan Dia dengan tak melakukan tugas dengan baik. Aku merasa makin malu saat merenungkan ini. Jika aku tak bertobat kepada Tuhan, bukankah Tuhan akan membenci dan menyingkirkan orang sepertiku? Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Tuhan, aku tak punya hati nurani. Aku sudah menikmati begitu banyak kasih karunia-Mu, tapi terus saja menuntut-Mu, tiada habisnya. Saat keinginanku tak terpenuhi, aku menjadi negatif dan mengeluh. Tuhan, aku telah melihat wajah asliku dan membenci diriku. Tolong aku agar bisa mengubah pengejaran keliruku ini."

Aku membaca ini dalam firman Tuhan setelah itu: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). "Semua manusia yang rusak hidup untuk diri mereka sendiri. Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri—inilah ringkasan dari natur manusia. Orang percaya kepada Tuhan demi diri mereka sendiri; ketika mereka meninggalkan segala sesuatu dan mengorbankan diri mereka untuk Tuhan, tujuannya adalah untuk diberkati, dan ketika mereka setia kepada-Nya, tujuannya adalah untuk mendapatkan upah. Singkatnya, semua itu dilakukan dengan tujuan untuk diberkati, diberi upah, dan masuk ke dalam kerajaan surga. Di tengah masyarakat, orang bekerja untuk keuntungan diri mereka sendiri, dan di rumah Tuhan, mereka melaksanakan tugas dengan tujuan untuk diberkati. Demi mendapatkan berkat, orang meninggalkan segalanya dan mampu menanggung banyak penderitaan: tidak ada bukti yang lebih kuat mengenai natur Iblis dalam diri manusia dibandingkan hal ini" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Membaca firman Tuhan menunjukkan betapa egois dan hinanya aku. Aku dikendalikan oleh gagasan "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri." Kupikir apa pun yang kulakukan, aku harus mendapat manfaat dari situ, dan aku tak ingin melakukan apa pun yang tak menguntungkanku. Falsafah dan pemikiran semacam ini tertanam kuat di hatiku dan membuatku selalu hidup untuk diriku sendiri. Bahkan iman dan pengorbananku untuk Tuhan hanya demi satu tujuan—agar diberkati. Aku menipu Tuhan. Aku adalah orang yang sangat egois dan licik. Aku terus mengejar kepentingan pribadiku, serta cara mendapatkan kasih karunia dan berkat Tuhan. Saat kulihat Tuhan tak memberkatiku seperti yang kubayangkan, aku menjadi sengsara dan penuh keluhan. Apa kehendak Tuhan dalam situasi itu? Aku tak mencari atau merenungkan itu, juga tak peduli. Aku hanya fokus pada kepentingan dagingku. Bukankah aku kehilangan kesempatan mendapatkan kebenaran? Tuhan telah menjadi daging di akhir zaman untuk datang menyelamatkan kita. Dia telah mengucapkan begitu banyak kata, mencurahkan darah, keringat, dan air mata-Nya untuk kita agar lewat kata-kata dan kebenaran ini, kita bisa lepas dari dosa dan kejahatan, bebas dari kerusakan dan gangguan Iblis. Namun, aku tak mengejar kebenaran—aku tak memikirkannya. Aku serakah akan kenyamanan daging, mempertimbangkan dan memperhitungkan itu. Jika aku terus bertingkah seperti itu, apa yang akan Tuhan lakukan dengan orang sepertiku? Aku akan berakhir disingkirkan, dilenyapkan. Aku berdoa dalam hati, "Tuhan, tolong selamatkan aku. Tolong izinkan aku untuk mengenal diriku sendiri dan menemukan jalan penerapan." Aku berdoa seperti ini setiap hari.

Kemudian aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Engkau mungkin berpikir bahwa percaya kepada Tuhan adalah tentang penderitaan atau melakukan segala macam hal bagi-Nya; engkau mungkin berpikir bahwa tujuan percaya kepada Tuhan adalah agar dagingmu merasakan kedamaian, atau agar segala sesuatu dalam hidupmu berjalan lancar, atau agar engkau merasa nyaman dan tenang dalam segala hal. Namun, tak satu pun dari hal-hal ini merupakan tujuan yang harus manusia capai dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan. Jika engkau percaya demi tujuan-tujuan ini, berarti sudut pandangmu itu salah dan sama sekali tidak mungkin bagimu untuk disempurnakan. Tindakan Tuhan, watak Tuhan yang benar, hikmat-Nya, firman-Nya, keajaiban-Nya serta diri-Nya yang tak terselami, semua itulah yang harus manusia pahami. Engkau harus menggunakan pemahaman ini untuk menyingkirkan dari dalam hatimu semua tuntutan, harapan dan gagasan pribadimu. Hanya dengan menyingkirkan hal-hal ini, engkau bisa memenuhi syarat yang dituntut oleh Tuhan, dan hanya dengan melakukan ini, engkau bisa memiliki hidup dan memuaskan Tuhan. Tujuan percaya kepada Tuhan adalah untuk memuaskan-Nya dan hidup dalam watak yang Dia inginkan, sehingga tindakan dan kemuliaan-Nya dapat terwujud lewat sekelompok orang yang tidak layak ini. Inilah cara pandang yang benar untuk percaya kepada Tuhan, dan ini juga merupakan tujuan yang harus engkau capai" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). "Tidak ada hubungan antara tugas manusia dan apakah dia diberkati atau dikutuk. Tugas adalah apa yang manusia harus penuhi; itu adalah panggilan surgawinya, dan seharusnya tidak bergantung pada imbalan jasa, kondisi, atau nalar. Baru setelah itulah dia bisa dikatakan melakukan tugasnya. Diberkati adalah ketika orang disempurnakan dan menikmati berkat Tuhan setelah mengalami penghakiman. Dikutuk adalah ketika wataknya tidak berubah setelah mereka mengalami hajaran dan penghakiman, itu adalah ketika mereka tidak mengalami proses disempurnakan tetapi dihukum. Namun terlepas dari apakah mereka diberkati atau dikutuk, makhluk ciptaan harus memenuhi tugasnya, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan melakukan apa yang mampu dilakukannya; inilah yang setidaknya harus dilakukan oleh orang yang mengejar Tuhan. Engkau tidak seharusnya melakukan tugasmu hanya untuk diberkati, dan engkau tidak seharusnya menolak untuk bertindak karena takut dikutuk. Kuberitahukan satu hal kepadamu: pelaksanaan tugas manusia adalah apa yang harus dia lakukan, dan jika dia tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka ini adalah pemberontakannya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perbedaan antara Pelayanan Tuhan yang Berinkarnasi dan Tugas Manusia"). Aku berkali-kali mengaku punya iman sejati kepada Tuhan, tapi kusadar itu hanya imajinasiku. Iman yang kumiliki persis seperti yang dikatakan Paulus dalam 2 Timotius 4:7–8: "Aku sudah melakukan pertandingan yang baik. Aku sudah menyelesaikan perlombaanku, aku sudah menjaga imanku: Mulai dari sekarang sudah tersedia bagiku mahkota kebenaran." Paulus menunggu mahkota kebenaran setelah pelayanannya untuk Tuhan, dan itulah tujuanku dalam imanku juga—untuk diberkati. Firman Tuhan memberitahuku arti iman dan pengejaran yang tepat yang harus kumiliki dalam imanku. Aku merasa siap mengubah jalan salah yang kulalui sebelumnya, karena itu hanya akan membuatku makin bejat dan menjadikanku musuh Tuhan. Aku seperti anak yang tak benar-benar berbakti kepada orang tuanya, tapi hanya menginginkan sesuatu dari mereka. Anak seperti itu tak akan disayangi orang tuanya, justru hanya akan membuat mereka menderita. Motivasi dan perspektifku dalam imanku sangat memalukan. Balasan seperti apa yang kuharapkan dari Tuhan? Aku sudah menikmati begitu banyak kasih karunia dan berkat-Nya, mendapatkan begitu banyak makanan dari kebenaran dalam firman-Nya, serta pemeliharaan dan perlindungan-Nya, belum lagi udara yang kuhirup, sinar matahari yang kurasakan, makanan untuk hidup. Ini semua sudah disediakan oleh Tuhan. Bahkan hidupku diberikan kepadaku oleh Tuhan. Bagaimana aku harus membalas kasih Pencipta kita? Meskipun kuberikan setiap serat jiwaku, aku tak akan pernah bisa membalas Dia. Walau begitu, aku tetap menyalahkan Tuhan, berargumen, dan mencoba bergumul dengan-Nya. Aku tak punya kemanusiaan, tak punya kesadaran diri. Aku mengikuti Tuhan dan melakukan tugasku, yang adalah tanggung jawabku, hal paling mendasar yang harus kulakukan. Itu juga kesempatan dari Tuhan untuk mengejar kebenaran dan mendapatkan penyelamatan. Jika tak melakukan tugasku, aku tak akan bisa mendapatkan kebenaran atau mengubah watak rusakku. Syukur kepada Tuhan! Kini aku sadar melakukan tugas adalah yang wajib dilakukan makhluk ciptaan, tanggung jawab manusia. Melakukan tugas seharusnya bukan kesepakatan yang kubuat dengan Tuhan. Aku juga mengerti, apa pun kesulitan yang kuhadapi, entah aku sakit atau bisnisku tak berjalan dengan baik, aku harus menerimanya, dan tak boleh mengeluh. Inilah nalar dan sikap yang harus kumiliki sebagai makhluk ciptaan. Aku bersyukur kepada Tuhan karena mengizinkanku punya pemahaman ini. Kini aku tak menghasilkan banyak uang dan kualitas hidupku berkurang, tapi aku lebih hemat dari sebelumnya—tak menghabiskan banyak uang. Aku masih bisa bertahan. Aku tak bisa membiarkan masalah kesehatan dan persoalan dalam hidup memengaruhi sikapku terhadap tugas. Aku terus menawarkan bantuan kepada saudara-saudari, berusaha sebaik mungkin menyelesaikan semua pekerjaan dalam tugasku. Mengalami situasi ini menunjukkan kepadaku betapa egois dan kejinya aku, dan memberiku pemahaman tentang sudut pandangku yang salah dalam iman dan pengejaranku. Ini semua tercapai berkat bimbingan firman Tuhan.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Mengapa Aku Begitu Congkak

Oleh Saudari Cheng Xin, Korea Suatu hari pimpinan gereja melaporkan masalah kepadaku. Kata mereka, Saudari Zhang, yang menangani pekerjaan...