Emosiku Mengaburkan Penilaianku

30 Agustus 2023

Oleh Saudara Zhou Ming, Tiongkok

Halo

Huijuan,

aku menerima suratmu. Dalam suratmu, kau menulis bahwa anak-anak kita disingkirkan dari gereja. Awalnya aku tak terima. Aku ingat saat pulang beberapa tahun lalu, Xiaotao dan Xiaomin masih menghadiri pertemuan dan melaksanakan tugas, jadi bagaimana bisa mereka disingkirkan? Meski tak sungguh-sungguh mengejar kebenaran, mereka berdua beriman dengan taat. Apa permintaan pemimpin terlalu berlebihan? Apa penyingkiran ini kesalahan? Aku bahkan menujukan keluhanku kepadamu. Anak-anak kita mengikuti jalan duniawi, hanya sibuk mengejar harta, dan enggan melaksanakan tugas atau makan dan minum firman Tuhan. Aku heran kenapa kau belum bersekutu dengan mereka. Andai aku di rumah, aku pasti bisa lebih banyak membantu dan mendukung mereka, dan aku tak akan membiarkan mereka disingkirkan. Semua pemikiran tersebut memenuhi kepalaku, hingga aku hanya bisa berbaring saat malam tiba, tak bisa tidur, dan dihantui oleh kenangan indah kita saat menyanyikan pujian bagi Tuhan dan makan serta minum firman Tuhan. Aku ingat pernah memberitahumu bahwa aku berharap keluarga kita dapat mengejar kebenaran, diselamatan Tuhan, dan tinggal di kerajaan-Nya, bayangkan betapa indahnya jika itu terwujud. Aku tak menyangka saat pekerjaan Tuhan nyaris selesai, anak-anak kita disingkapkan sebagai orang tak percaya dan disingkirkan dari gereja. Bukankah ini berarti mereka mustahil diselamatkan? Aku makin kesal saat memikirkannya. Saat melihat bencana meluas dan pandemi memburuk, aku mengkhawatirkan masa depan anak-anak kita. Aku bahkan berniat menulis surat kepada pemimpin gereja, bertanya apakah anak-anak kita bisa tetap melayani gereja, demi secercah harapan agar mereka diselamatkan. Setelah lama bertugas di luar kota karena penahanan PKT, aku merasa tak memedulikan mereka dan tak memenuhi tanggung jawabku sebagai ayah. Aku merasa berutang kepada mereka. Huijuan, apa kau tahu bahwa saat hidup dalam keadaan seperti itu, hatiku diselimuti kegelapan dan kesedihan, dan aku tak bisa fokus pada tugasku? Karena sadar bahwa keadaanku salah, aku berdoa pada Tuhan: "Tuhan! Hatiku sakit saat tahu anak-anakku disingkirkan dari gereja. Meski aku tahu ini atas izin-Mu, dan seharusnya aku tunduk, aku tak bisa tinggal diam dan merasa berutang banyak kepada anak-anakku. Tuhan! Mohon beri aku pencerahan agar dapat memahami kebenaran di balik masalah ini dan tak terbelenggu oleh emosiku."

Setelah berdoa, aku membaca firman Tuhan. "Penerapan Ayub sangat terperinci, bukan? Pertama, mari kita bahas tentang bagaimana dia memperlakukan anak-anaknya. Tujuan Ayub adalah tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan dalam segala sesuatu. Dia tidak bersikeras mengambil inisiatif untuk melakukan apa yang tidak Tuhan lakukan, ataupun membuat rencana atau perhitungan apa pun berdasarkan gagasan manusia. Dalam segala hal, dia mematuhi dan menunggu pengaturan dan penataan Tuhan. Ini adalah prinsip umumnya. ... Bagaimana Ayub memperlakukan anak-anaknya? Dia hanya memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, memberitakan Injil dan mempersekutukan kebenaran kepada mereka. Namun, entah mereka mendengarkan dia atau tidak, entah mereka taat atau tidak, Ayub tidak memaksa mereka untuk percaya kepada Tuhan—dia tidak menekan mereka, atau ikut campur dalam hidup mereka. Gagasan dan pendapat mereka berbeda dengan gagasan dan pendapatnya, jadi dia tidak ikut campur dengan apa yang mereka lakukan, dan tidak ikut campur dengan jalan apa yang mereka tempuh. Apakah Ayub jarang berbicara kepada anak-anaknya tentang kepercayaan kepada Tuhan? Dia pasti sudah cukup banyak berbicara kepada mereka tentang hal ini, tetapi mereka tidak mau mendengarkan, dan tidak menerimanya. Bagaimana sikap Ayub terhadap hal itu? Dia berkata, 'Aku telah memenuhi tanggung jawabku; mengenai jalan apa yang mereka tempuh, itu terserah pada apa yang mereka pilih, dan itu terserah pada pengaturan dan penataan Tuhan. Jika Tuhan tidak bekerja, atau menggerakkan mereka, aku tidak akan berusaha memaksa mereka.' Oleh karena itu, Ayub tidak berdoa untuk mereka di hadapan Tuhan, atau mencucurkan air mata kesedihan untuk mereka, atau berpuasa untuk mereka atau menderita dengan cara apa pun. Dia tidak melakukan hal-hal ini. Mengapa Ayub tidak melakukan satu pun dari hal-hal ini? Karena tak satu pun dari hal ini yang merupakan cara untuk tunduk pada aturan dan pengaturan Tuhan; semua hal ini berasal dari gagasan manusia dan merupakan cara yang secara aktif memaksakan jalan seseorang. ... Cara penerapannya benar; dalam setiap cara yang dia terapkan, dalam sudut pandang, sikap dan keadaan yang digunakannya untuk memperlakukan segala sesuatu, dia selalu dalam situasi dan keadaan yang tunduk, menunggu, mencari, dan memperoleh pemahaman. Sikap ini sangat penting. Jika orang tidak pernah memiliki sikap seperti ini dalam apa pun yang mereka lakukan, dan memiliki gagasan pribadi yang sangat kuat serta menempatkan motif dan keuntungan pribadi di atas segalanya, apakah itu berarti mereka benar-benar tunduk? (Tidak.) Dalam diri orang-orang semacam itu, tidak terlihat adanya sikap yang sungguh-sungguh tunduk; mereka tidak mampu mencapai ketundukan sejati" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip Penerapan Ketundukan kepada Tuhan"). Setelah membaca firman Tuhan yang menyingkapkan pengalaman Ayub, aku merasa hina dan malu. Ternyata Ayub tak mengandalkan emosinya saat menangani anak-anaknya, dan dia mampu bersikap rasional. Meski Ayub berharap anak-anaknya percaya pada Tuhan dan menjauhi kejahatan agar tak terlalu banyak berdosa dan terjerumus ke dalam kehancuran, saat melihat anak-anaknya tak menyembah Tuhan dan hidup dalam pesta pora, dia tak memaksa mereka berubah atau mendorong mereka melewati jalan tertentu. Ayub hanya tunduk pada rencana Tuhan dan menahan diri agar tak berdosa terhadap Tuhan. Kemudian, saat anak-anaknya tewas tertindih, Ayub tak menyalahkan Tuhan. Aku tahu bahwa saat menangani anak-anaknya, Ayub menghormati dan mematuhi Tuhan. Namun, saat aku tahu putraku meninggalkan gereja demi mengejar keduniawian dan putriku disingkirkan, aku fokus pada kasih sayang dagingku untuk keluargaku. Aku memikirkan cara agar mereka mendapatkan berkat. Terlepas dari ketulusan iman atau upaya mereka mengejar kebenaran, aku hanya ingin mereka tetap tinggal di gereja. Aku bahkan ingin meminta pemimpin memberikan kesempatan, membiarkan mereka tetap melayani gereja dalam bentuk apa pun. Jika menyangkut anak-anakku, aku ingin menerapkan metode manusiawi untuk memperbaiki situasi. Aku tak tunduk pada kedaulatan maupun rencana Tuhan. Terutama saat tahu bahwa anak-anakku dilabeli sebagai orang tak percaya, bukan hanya tak mencari kebenaran untuk memahami esensi mereka, tapi aku juga salah paham dan meragukan keadilan pemimpin dalam menangani masalah ini, dan akibatnya aku kehilangan semangat bertugas. Hatiku hanya dipenuhi anak-anakku; tak ada tempat untuk Tuhan. Aku mengingat persyaratan ketetapan administratif Tuhan. "Kerabat yang tidak beriman (anak, suami atau istrimu, saudara perempuanmu atau orangtuamu, dan lain sebagainya) tidak boleh dipaksa masuk ke gereja. Rumah Tuhan tidak kekurangan jemaat, dan tidak perlu menambah jemaatnya dengan orang yang tidak ada gunanya. Semua orang yang tidak dengan senang hati percaya tidak boleh dibawa masuk ke dalam gereja. Ketetapan ini ditujukan kepada semua orang. Engkau harus memeriksa, mengawasi, dan mengingatkan satu sama lain tentang masalah ini, dan tak seorang pun yang boleh melanggarnya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Sepuluh Ketetapan Administratif yang Harus Ditaati Umat Pilihan Tuhan pada Zaman Kerajaan"). Aku ingat kau menuliskan dalam suratmu bahwa anggota lain telah memberikan banyak dukungan, tapi mereka sendiri yang memilih untuk tak bertobat, abai membaca firman Tuhan, dan berhenti menghadiri pertemuan. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang tak percaya, tapi aku mengabaikan firman Tuhan dan memercayai emosiku demi mempertahankan mereka di gereja. Aku sangat suka memberontak. Aku tak bisa terus mengandalkan emosiku. Untuk menangani anak-anak kita, aku harus seperti Ayub, yaitu mencari kebenaran dan tunduk pada rencana Tuhan. Inilah nalar yang seharusnya kumiliki.

Setelahnya, aku memikirkan orang-orang yang disingkapkan dan diusir selama beberapa tahun terakhir. Saat melihat pemberitahuan penyingkiran dari rumah Tuhan, aku tak memiliki gagasan apa pun. Aku tahu bahwa Tuhan itu benar dan di rumah-Nya, kebenaran memegang kekuasaan tertinggi dan tak ada yang dirugikan. Namun, saat melihat anak-anak kita disingkirkan, kenapa aku tak tunduk pada Tuhan atau memuji kebenaran-Nya, tapi justru mengandalkan emosiku dan meragukan keadilan gereja dalam menangani masalah ini? Aku melanjutkan membaca firman Tuhan. "Apa yang menggambarkan emosi? Tentu saja bukan sesuatu yang positif. Emosi adalah fokus pada hubungan fisik dan memuaskan kesukaan daging. Sikap pilih kasih, berdalih untuk orang lain, sangat menyayangi, memanjakan, dan menuruti kehendak, semuanya itu termasuk dalam emosi. Ada orang-orang sangat mementingkan emosi, mereka bereaksi terhadap apa pun yang terjadi pada mereka berdasarkan emosi; dalam hati, mereka tahu betul ini salah, tetapi tetap tidak mampu bersikap objektif, apalagi bertindak sesuai prinsip. Ketika orang selalu dikuasai oleh emosi, apakah mereka mampu menerapkan kebenaran? Ini sangatlah sulit. Ketidakmampuan banyak orang untuk menerapkan kebenaran adalah disebabkan karena emosi; mereka menganggap emosi sebagai hal yang sangat penting, mereka menempatkannya di posisi pertama. Apakah mereka orang yang mencintai kebenaran? Tentu saja tidak. Apakah artinya emosi, pada dasarnya? Emosi adalah semacam watak yang rusak. Perwujudan emosi dapat digambarkan dengan beberapa kata: pilih kasih, terlalu protektif, pemeliharaan hubungan fisik, memihak; inilah yang disebut emosi. Apa akibatnya jika orang memiliki emosi dan hidup berdasarkan emosi? Mengapa Tuhan paling membenci emosi manusia? Sebagian orang, karena selalu dikendalikan oleh emosi, menjadi tak mampu menerapkan kebenaran, dan meskipun mereka ingin menaati Tuhan, mereka tak mampu melakukannya. Jadi, mereka menderita secara emosional. Dan ada banyak orang yang memahami kebenaran tetapi tak mampu menerapkannya. Ini juga karena mereka dikendalikan oleh emosi. Semua orang yang mengejar kebenaran ingin menyingkirkan emosi mereka, tetapi melakukannya bukanlah hal yang mudah. Tidaklah cukup hanya dengan bebas dari kendali emosi—ini melibatkan natur dan watak seseorang. Ketika orang menghabiskan sepanjang waktu merindukan keluarganya, dan memikirkan mereka siang dan malam, dan tidak mau lagi melaksanakan tugasnya dengan benar, apakah ini masalah? Ketika orang diam-diam tertarik kepada seseorang, dan orang ini menjadi satu-satunya yang ada di hatinya, dan ini memengaruhi pelaksanaan tugasnya, apakah ini masalah? Ketika orang memuja dan mengagumi orang tertentu, dan tidak mendengarkan orang lain—hanya orang itu—dan bahkan firman Tuhan pun tidak dia dengarkan, dan dia berada di bawah kendali orang itu, apakah ini masalah? Ada orang yang di dalam hatinya mengidolakan orang tertentu. Baginya, orang ini tidak boleh dicela atau dikritik; jika ada yang menjelek-jelekkan idolanya, dia menjadi sangat marah. Dia tak pernah gagal membela idolanya, mengatakan yang berkebalikan dari apa yang dikatakan. Dia tak pernah bisa membiarkan idolanya itu 'difitnah'. Dan dia berusaha sekuat tenaga untuk melindungi nama baik idolanya, mengatakan bahwa yang salah adalah benar, tidak membiarkan orang mengatakan yang sebenarnya, tidak membiarkan orang menyingkapkan idolanya. Dia memihak idolanya—ini artinya orang itu dikendalikan oleh emosinya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa yang Dimaksud dengan Kenyataan Kebenaran?"). Dari firman Tuhan tersebut aku paham bahwa emosi adalah milik watak rusak yang jahat, dan dengan bergantung pada emosi, kau bukan hanya tak bisa memandang segala hal atau orang secara adil, tapi kau akan memiliki bias dan sikap pilih kasih, dan kau akan melanggar prinsip demi melindungi hubungan dagingmu. Sama seperti diriku saat tahu bahwa Xiaotao dan Xiaomin disingkirkan, aku tak mencari tahu kehendak Tuhan, pelajaran yang harus kuambil, maupun aspek kebenaran yang harus kumasuki. Aku justru berpikir bahwa pemimpin bertindak tanpa prinsip. Aku khawatir anak-anak kita dirugikan dan aku ingin menindaklanjutinya dengan menulis surat kepada pemimpin, meminta agar mereka dimaafkan dan diizinkan untuk tetap melakukan tugas di gereja. Aku sadar bahwa bertindak emosional atas nama anak-anakku adalah wujud bias dan pilih kasih, serta tindakan tak berprinsip. Setelah bertahun-tahun beriman, aku tahu bahwa gereja memiliki prinsip untuk menyingkirkan anggotanya dan itu dilakukan karena keseluruhan perilaku seseorang, bukan karena kekeliruan sesaat. Saat seseorang enggan bertobat setelah menerima bantuan dan persekutuan ekstensif, lalu akhirnya dilabeli sebagai penjahat atau orang tak percaya, maka orang tersebut akan ditangani sesuai prinsip, dan setelah disetujui oleh setidaknya 80% anggota gereja, barulah orang tersebut disingkirkan. Ini adil dan sejalan dengan kebenaran. Aku memikirkan putra kita dan pertanyaanku padanya tentang dirinya yang bertugas jauh dari rumah. Dia jawab, "Kulakukan itu karena merindukan Ayah." Aku sadar bahwa tak ada tempat untuk Tuhan di hatinya, dia tak mencintai kebenaran, dan dia melakukan tugas bukan untuk mengejar kebenaran. Saat dia sadar bahwa rumah Tuhan terus bersekutu tentang kebenaran dan tak bisa memuaskan hasratnya, dia ingin berhenti dari tugas. Para pemimpin sering bersekutu dengannya, tapi dia tak pernah menyimak. Dia bermain gim saat sampai di rumah, bukan membaca firman Tuhan. Dia orang tak percaya. Sama halnya dengan putri kita, dia beriman selama lebih dari satu dekade, tapi jarang makan dan minum Firman Tuhan dan sudut pandangnya sama seperti orang tak percaya. Dia memang sesekali melakukan tugasnya, tapi jika tugas itu tak sesuai dengan gagasannya atau berimbas kepada minatnya, maka dia menolak. Dia tak memiliki iman yang benar pada Tuhan, dan, esensinya, dia juga orang tak percaya. Aku ingat Tuhan pernah berfirman: "Ketika seseorang benar-benar dianggap Tuhan telah menarik diri dari-Nya, itu bukan sekadar masalah bahwa orang itu telah meninggalkan rumah-Nya, atau tidak terlihat lagi, atau telah dikeluarkan dari gereja. Sebenarnya, jika seseorang tidak membaca firman Tuhan, maka sebesar apa pun imannya, dan entah dia mengaku dirinya orang yang percaya kepada Tuhan atau tidak, itu membuktikan bahwa di dalam hatinya, dia tidak mengakui bahwa Tuhan itu ada, dan tidak mengakui bahwa firman-Nya adalah kebenaran. Bagi Tuhan, orang itu telah menarik diri dan tidak lagi dianggap sebagai orang percaya. Mereka yang tidak membaca firman Tuhan adalah salah satu jenis orang yang telah menarik diri. ... Ada jenis lainnya: mereka yang tidak mau melaksanakan tugas. Apa pun tuntutan rumah Tuhan terhadap mereka, jenis pekerjaan apa pun yang gereja berikan kepada mereka, tugas apa pun yang gereja ingin mereka laksanakan, entah itu besar atau kecil, bahkan dalam hal yang begitu sederhana seperti meminta mereka untuk sesekali menyampaikan pesan—mereka tidak mau melakukannya. Mereka, yang menyatakan diri percaya kepada Tuhan, bahkan tak mampu melaksanakan tugas-tugas yang mampu dilakukan oleh orang tidak percaya; ini adalah penolakan untuk menerima kebenaran dan penolakan untuk melaksanakan tugas. Bagaimanapun saudara-saudari menasihati mereka, mereka menolaknya dan tidak menerimanya; ketika gereja mengatur tugas tertentu untuk mereka laksanakan, mereka mengabaikannya dan membuat banyak alasan. Ini adalah jenis orang yang tidak mau melaksanakan tugas. Bagi Tuhan, orang semacam itu telah menarik diri. Penarikan diri mereka bukanlah masalah rumah Tuhan telah mengeluarkan atau mengusir mereka; sebaliknya, merekalah yang tidak lagi memiliki iman yang sejati—mereka sendirilah yang tidak mengakui diri mereka orang yang percaya kepada Tuhan" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Dua Belas). "Siapakah Iblis, siapakah setan-setan, dan siapa lagi musuh Tuhan kalau bukan para penentang yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukankah mereka adalah orang-orang yang tidak taat kepada Tuhan? Bukankah mereka adalah orang-orang yang mengaku beriman, tetapi tidak memiliki kebenaran? Bukankah mereka adalah orang-orang yang hanya berupaya untuk memperoleh berkat tetapi tidak mampu menjadi kesaksian bagi Tuhan? Engkau masih bergaul dengan setan-setan itu sekarang dan memiliki hati nurani dan kasih terhadap mereka, tetapi dalam hal ini, bukankah engkau sedang menawarkan niat baikmu kepada Iblis? Bukankah engkau sedang bersekutu dengan setan-setan? Jika orang pada zaman sekarang masih tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, dan terus secara membabi buta menjadi penuh kasih dan penyayang tanpa berniat mencari kehendak Tuhan atau mampu dengan cara apa pun menyimpan maksud-maksud Tuhan sebagai milik mereka, maka akhir hidup mereka akan menjadi lebih buruk" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama").

Huijuan, setelah membaca firman Tuhan tersebut, aku baru sadar bahwa diriku luar biasa bodoh. Aku ingin menggunakan cara manusiawi agar anak-anak kita tetap berada di gereja, berpikir bahwa mereka dapat diselamatkan jika terus melayani gereja. Namun, berdasarkan firman Tuhan, aku sadar bahwa pemikiranku sangat absurd. Sungguh, semua orang yang percaya pada Tuhan, tapi tak membaca firman-Nya atau melakukan tugas tak akan dianggap sebagai orang yang percaya oleh Tuhan meskipun mereka belum disingkirkan, karena di mata Tuhan, mereka telah menjauh. Aku membandingkannya dengan perilaku anak-anak kita. Setelah bertahun-tahun beriman, Xiaotao masih mengikuti tren duniawi dan tak membaca firman Tuhan maupun melakukan tugas. Aku sadar bahwa dia sama sekali tak mencintai kebenaran dan sejatinya muak dengan kebenaran, serta merupakan orang tak percaya. Xiaomin telah beriman bertahun-tahun, tapi tak pernah fokus membaca firman Tuhan, dan karena kondisi itu, seharusnya dia sudah disingkirkan sebagai orang tak percaya. Rumah Tuhan tak butuh orang-orang seperti mereka untuk menambah jumlah anggota dan juga pelayanan dari orang tak percaya. Meskipun gereja tak menyingkirkan mereka, Tuhan tak akan menganggap mereka sebagai orang percaya. Seharusnya aku bersikap bijaksana, mengikuti Tuhan dengan berpedoman pada prinsip dan kebenaran, serta tunduk pada kedaulatan Tuhan. Namun, aku justru mengandalkan emosi saat menangani anak-anak kita, dan tanpa mengetahui fakta, aku mencurigai bahwa pemimpin menyingkirkan mereka dengan semena-mena dan aku ingin orang-orang tak percaya ini bertahan dan menambah jumlah anggota gereja. Aku selalu melindungi hubungan dagingku. Bukankah itu berarti aku bergaul dengan iblis dan menunjukkan niat baik serta kasih terhadap Iblis, seperti yang disingkapkan Tuhan? Aku tak bisa membedakan benar dan salah, berasosiasi dengan iblis, dan pada dasarnya menentang Tuhan. Dengan kesadaran ini, aku pun paham bahwa penyingkiran Xiaotao dan Xiaomin sangat sejalan dengan firman Tuhan, prinsip kebenaran.

Aku juga heran kenapa aku merasa sangat bersalah dan malu saat anak-anak kita disingkirkan, dan kenapa aku merasa gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai ayah, bahkan berpikir bahwa seandainya aku dapat lebih sering pulang, bersekutu, dan membantu mereka, maka keadaannya tak akan seperti ini. Huijuan, apa keadaanmu sama sepertiku? Setelah itu, aku membaca firman Tuhan yang membedah dan menyingkap pola pikir tradisional, dan aku sadar bahwa selama ini aku dipengaruhi oleh gagasan tradisional "Membesarkan seorang anak tanpa mengajarinya adalah kesalahan sang ayah". Firman Tuhan berbunyi, "'Membesarkan seorang anak tanpa mengajarinya adalah kesalahan sang ayah'. Kalimat macam apakah ini? Apa yang salah dengan kalimat ini? Kalimat ini mengandung arti bahwa jika seorang anak tidak taat atau kekanak-kanakan, itu adalah karena kelalaian ayahnya, dan itu karena orang tuanya tidak mendidiknya dengan baik. Namun, apakah itu yang sebenarnya terjadi? (Tidak.) Ada orang tua yang mengikuti aturan dan berusaha keras untuk menjadi orang yang baik, tetapi putra mereka akhirnya menjadi penjahat dan putri mereka akhirnya menjadi pelacur. Jika seorang ayah kemudian marah dan berkata, '"Membesarkan seorang anak tanpa mengajarinya adalah kesalahan sang ayah"—aku terlalu memanjakannya!' benarkah perkataan itu? (Tidak.) Apa yang salah dengan perkataan itu? Jika engkau mampu memahami apa yang salah dengan perkataan itu, ini membuktikan bahwa engkau memahami kebenaran dan dapat memahami di mana letak kesalahan perkataan ini. Jika engkau tidak memahami kebenaran dalam hal ini, maka engkau tidak mampu membicarakan masalah ini dengan jelas" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Satu)). "Pertama, kita harus menjelaskan bahwa pepatah, 'Anak-anak yang tidak mengikuti jalan yang benar ada hubungannya dengan orang tuanya', adalah tidak benar. Siapa pun mereka, diri seseorang adalah jalan yang dia tempuh. Ini tidak diragukan lagi, bukan? (Ya.) Jalan yang ditempuh seseorang menentukan siapa dirinya. Jalan yang ditempuhnya dan orang macam apa dirinya adalah urusan orang itu sendiri, itu ditentukan, bersifat bawaan, dan berhubungan dengan natur orang tersebut. Jadi, apa peran ajaran orang tua kepada seseorang? Apakah hal itu membuat perbedaan pada natur orang? (Tidak.) Apa yang diajarkan kepada orang-orang oleh ayah dan ibu mereka tidak membuat perbedaan pada natur mereka; itu tidak menentukan jalan apa yang akan mereka tempuh. Apa yang mampu orang tua ajarkan? Mereka hanya dapat mengajari anak-anak mereka perilaku sederhana tertentu untuk kehidupan sehari-hari, beberapa pemikiran dan prinsip berperilaku yang relatif sederhana; hal-hal inilah yang ada hubungannya dengan orang tua. Sebelum anak-anak mereka tumbuh dewasa, orang tua melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan: mereka mengajari anak-anak mereka untuk menempuh jalan yang benar, belajar dengan giat, berusaha dan menjadi sukses ketika mereka dewasa, tidak melakukan hal-hal buruk, tidak menjadi orang jahat. Tanggung jawab orang tua juga termasuk memastikan anak-anak mereka mengikuti norma-norma perilaku, mengajari mereka bersikap sopan dan menyapa orang yang lebih tua, mengajari mereka hal-hal tertentu yang berkaitan dengan perilaku. Pengaruh orang tua mencakup menjaga anak-anak mereka dan mengajari mereka prinsip-prinsip dasar perilaku tertentu—tetapi temperamen seseorang bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan oleh orang tua. Beberapa orang tua bersifat apatis dan tidak melakukan apa pun dengan tergesa-gesa—sedangkan temperamen anak mereka tidak sabar, mereka tidak bisa tinggal lama di mana pun, dan pada usia muda sekitar 14 atau 15 tahun, mereka mulai menentukan hidup mereka sendiri. Mereka memutuskan apa yang mereka lakukan, mereka tidak membutuhkan orang tua mereka, dan mereka sangat mandiri. Apakah mereka diajari hal ini oleh ayah dan ibu mereka? Tidak. Oleh karena itu, temperamen, watak seseorang, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan esensi mereka, dan jalan yang mereka pilih di masa depan, tak satu pun dari hal-hal ini yang memiliki kaitan apa pun dengan orang tua mereka. ... Ada orang tua yang percaya kepada Tuhan dan mengajari anak-anak mereka untuk percaya kepada Tuhan—tetapi apa pun yang orang tua mereka katakan, anak-anak mereka menolaknya dan tidak ada yang dapat dilakukan oleh orang tua itu. Ada orang tua yang tidak percaya kepada Tuhan dan anak-anak mereka percaya kepada Tuhan atas inisiatif anak-anak mereka sendiri. Setelah mereka percaya kepada Tuhan, anak-anak itu mulai mengikuti-Nya, mengorbankan diri mereka untuk-Nya, mampu menerima kebenaran dan mendapatkan perkenanan-Nya, dan dengan demikian nasib mereka pun berubah. Apakah itu hasil didikan orang tua? Sama sekali tidak. Ini berkaitan dengan penentuan Tuhan dari semula dan pemilihan-Nya. Ada masalah dengan pepatah 'Membesarkan seorang anak tanpa mengajarinya adalah kesalahan sang ayah'. Meskipun orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka, bukan mereka yang menentukan nasib anak-anak mereka; itu ditentukan oleh natur mereka. Dapatkah pendidikan menyelesaikan masalah dengan natur seseorang? Tidak bisa, sama sekali tidak. Jalan yang ditempuh seseorang dalam hidupnya bukan ditentukan oleh orang tuanya, tetapi ditentukan oleh Tuhan. Seperti kata pepatah, 'Nasib manusia ditentukan oleh Surga'. Inilah yang telah diperoleh umat manusia dari pengalaman. Engkau tidak dapat melihat jalan apa yang akan ditempuh seseorang sebelum mereka dewasa; begitu mereka menjadi orang dewasa, mereka memiliki pikiran mereka sendiri, mereka dapat memahami segala sesuatu, dan karena itu mereka memilih akan menjadi apa mereka dalam kelompok orang tertentu. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka ingin bekerja di pemerintahan, yang lain ingin menjadi pengacara, atau penulis; masing-masing membuat pilihan mereka sendiri. Semua orang memiliki gagasan tertentu. Tak seorang pun berkata, 'Aku akan menunggu orang tuaku untuk mengajariku, aku akan menjadi apa pun yang mereka ajarkan kepadaku.' Tak seorang pun sebodoh itu. Setelah mereka dewasa, pikiran orang menjadi aktif; perlahan tetapi pasti, pikiran mereka menjadi dewasa, dan jalan serta tujuan di depan mereka menjadi makin jelas; pada saat ini, orang macam apa mereka dan di kelompok etnis mana mereka berada, secara berangsur-angsur muncul ke permukaan, muncul sedikit demi sedikit. Sejak saat ini dan seterusnya, temperamen setiap orang, seperti halnya watak mereka, jalan yang mereka perjuangkan, dan arah hidup mereka, serta di kelompok etnis mana mereka berada berangsur-angsur menjadi jelas. Didasarkan pada apakah hal ini? Kesimpulannya, hal ini ditentukan oleh Tuhan dan tidak ada hubungannya dengan orang tua mereka—sekarang hal ini jelas bagimu, bukan?" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Satu)). Firman Tuhan benar-benar membedah gagasan tradisional "Membesarkan seorang anak tanpa mengajarinya adalah kesalahan sang ayah". Masa depan anak-anak kita dan jalan yang mereka lewati sepenuhnya tergantung pada natur mereka, yang merupakan bawaan lahir. Semua itu juga ditentukan oleh kedaulatan Tuhan dan tak ada kaitannya dengan pola asuh kita. Pola asuh hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari anak atau sebagian perilaku eksternalnya, bukan naturnya. Begitu pemikiran anak-anak menjadi dewasa, mereka memilih jalan berbeda tergantung natur bawaan lahir mereka, mencari jalan menuju kelompok yang sesuai. Ini telah ditetapkan oleh Tuhan dan tak dapat diubah oleh siapa pun. Namun, aku tak bisa memahami natur atau esensi anak-anak kita jika sudah menyangkut jalan keimanan mereka. Aku bahkan ingin membantu mereka dengan caraku sendiri, agar mereka tetap beriman dan berada di gereja. Berharap pada metodeku sendiri untuk menyelamatkan nasib mereka adalah sebuah kesia-siaan. Aku setengah mati menentang Tuhan. Aku hanyalah makhluk ciptaan-Nya yang tak penting dan tak punya kendali atas nasibku, jadi, bagaimana bisa aku berharap dapat mengendalikan masa depan anak-anakku atau mengubah nasib mereka? Aku sangat congkak dan bebal, serta menilai kemampuanku terlalu tinggi. Aku lantas bertanya, "Kenapa aku berpikir seperti ini?" Aku ingat saat mereka kecil, kita sama-sama memercayai Tuhan dan saat kita menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, kita mengajak mereka ke gereja dan mendorong mereka untuk menjalankan tugas. Aku berpikir keimanan mereka terhadap Tuhan berkaitan dengan pola asuh kita. Jadi, saat tahu bahwa mereka disingkirkan, aku merasa gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai ayah dan berpikir seandainya aku lebih sering hadir untuk membantu dan bersekutu dengan mereka, mungkin mereka tak akan meninggalkan keimanan mereka dan terlena oleh dunia. Berkat firman Tuhan kini aku sadar bahwa pandanganku sangat absurd dan tak sejalan dengan kebenaran. Anak-anak memercayai Tuhan lebih dari satu dekade, membaca firman-Nya, mendengarkan khotbah-khotbah, dan mengetahui bahwa hidup yang benar harus dijalani dengan mengejar kebenaran dan melakukan tugas sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Namun, mereka tak tertarik dengan kebenaran dan saat mereka tak mendapatkan berkat setelah bertahun-tahun beriman, mereka mulai menuruti kedagingan. Mereka mengkhianati Tuhan dan mengikuti tren duniawi meski mengetahui jalan yang benar, dan meski orang lain sering bersekutu dengan mereka serta membantu, mereka keras kepala dan enggan bertobat. Ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar muak dengan kebenaran dan mereka menjunjung kejahatan. Mereka tak termasuk golongan yang akan diselamatkan Tuhan, tapi termasuk golongan iblis di dunia ini. Saat mereka hancur dalam bencana yang akan datang, itu karena mereka mengkhianati Tuhan, dan itu adalah kesalahan mereka sendiri. Aku juga berpikir tentang anggota gereja yang menjadi percaya bukan karena orang tuanya, tapi karena kebetulan, karena rekan kerja, teman, atau bahkan orang asing yang menginjili mereka, dan persekusi orang tua mereka tak bisa menghentikan mereka beriman atau melakukan tugas. Beberapa orang tua mengandalkan emosi untuk terus menginjili anak-anak mereka, tapi anak-anak tak percaya dan bahkan membenci serta menentang orang tua mereka. Beberapa orang tua diusir karena tanpa sungkan mengejar status dan berbagai kejahatan, tapi anak-anak mereka tak terpengaruh dan bahkan bisa memahami esensi orang tua mereka berdasarkan firman Tuhan dan menolaknya. Demikian juga, banyak anak-anak disingkirkan dan diusir, tapi orang tua mereka mampu memahami esensi anak-anaknya berdasarkan firman Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa pilihan untuk melewati jalan yang benar atau salah, berbuat baik atau jahat, mencintai atau membenci kebenaran, dan bahkan akhir nasib manusia sepenuhnya ditentukan oleh natur dan esensi mereka, bukan hasil pola asuh. Orang tua dapat bertanggung jawab dengan membesarkan anak-anak mereka hingga dewasa dan membawa mereka menghadap Tuhan. Namun, jalan yang dipilih oleh anak-anak dan nasib mereka berada di luar kendali orang tua. Anak-anak kita telah memilih untuk melewati jalan yang salah dan upayaku untuk bertanggung jawab sebagai ayah tak akan membawa mereka ke jalan yang benar. Ini tak ada hubungannya dengan pemenuhan tanggung jawabku. Natur mereka adalah muak terhadap kebenaran. Meski aku mendampingi dan menghabiskan seharian bersekutu dengan mereka, semua akan sia-sia. Tanggung jawab kita sebagai orang tua adalah membesarkan dan membawa mereka menghadap Tuhan. Hal yang mereka kejar dan jalan yang meerka ambil tak ada kaitannya dengan peran kita sebagai orang tua. Saat memperlakukan anak-anak kita sesuai dengan firman Tuhan, aku merasa lebih bebas dan tugasku tak terganggu.

Huijuan, inilah yang kuperoleh dari situasi ini. Aku tahu kasih sayangmu terhadap anak-anak kita sangat besar dan semua ini pasti sangat berat bagimu. Entah bagaimana caramu melewati situasi ini. Meski penyingkiran anak-anak kita tak sejalan dengan gagasan kita, pasti ada pelajaran yang bisa diambil dari situasi yang diciptakan Tuhan ini. Kuharap kau dapat mencari kebenaran dalam situasi ini dan menangani masalahnya dengan benar. Kau bisa mengirim surat kepadaku jika kau juga memperoleh sesuatu dari situasi ini. Aku menantikan balasanmu.

Zhou Ming

20 Agustus 2022

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pekerjaan Tuhan Begitu Bijaksana

Shiji Kota Ma’anshan, Provinsi Anhui Selama saya bekerja sebagai pemimpin di gereja, pimpinan saya sering berbagi contoh tentang kegagalan...