Setelah Aku Mengetahui Kematian Ibuku
Ayahku jatuh sakit dan meninggal sebelum aku berusia satu tahun. Ibuku harus melakukan dua pekerjaan untuk membesarkan kami berlima. Dia bekerja setiap hari dari subuh hingga senja dan menjadi ibu sekaligus ayah bagi kami. Hatiku sedih dan aku bersumpah dalam hati, "Saat sudah dewasa nanti, aku akan merawat Ibu agar dia bisa hidup tanpa rasa khawatir." Untuk mengurangi beban ibuku, aku membantu melakukan pekerjaan rumah sepulang sekolah, tetapi ibuku sangat menyayangiku hingga dia tidak menginginkan hal itu dan hanya ingin aku belajar dengan giat. Aku berkata padanya, "Kau sangat lelah. Bukankah hidupmu akan sedikit lebih mudah jika aku membantumu?" Ibuku menjawab, "Tidak masalah jika aku lelah. Saat kalian sudah dewasa dan merawatku, bukankah aku akan menjalani kehidupan yang nyaman? Lihatlah sepupumu, ibunya meninggal di usia muda dan ayahnya membesarkannya seorang diri. Setelah sepupumu menikah, dia mengurus segalanya untuk ayahnya—makanan, pakaian, dan semua yang dia butuhkan. Bukankah ayahnya hidup dengan nyaman?" Suatu kali, sepupuku berkata kepadaku, "Burung gagak tahu cara memberi makan orang tuanya. Ayahku menanggung segala macam kesulitan untuk membesarkanku. Jika aku tidak merawatnya, bukankah aku sama saja dengan seekor binatang buas?" Kemudian, kupikir saat sudah dewasa nanti, aku ingin menjadi seperti sepupuku dan merawat ibuku. Setelah aku menikah, meskipun aku tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan yang bagus, aku melakukan semua yang kubisa untuk membantu ibuku secara materi, dan aku sering mengajaknya ke rumahku untuk merawatnya. Semua tetanggaku memujiku dengan mengatakan, "Meskipun putrinya tinggal jauh, dia melakukan yang terbaik untuk merawat ibunya." Hal ini membuatku merasa sangat senang. Sebagai seorang anak, aku merasa bahwa inilah tindakan yang harus kulakukan dan hanya dengan melakukan hal inilah aku dapat membalas kebaikan ibuku.
Pada tahun 1999, aku menerima pekerjaan baru dari Tuhan. Melalui firman Tuhan, aku memahami maksud Tuhan yang mendesak untuk menyelamatkan manusia dan bergabung untuk memberitakan Injil. Menjelang akhir tahun 2003, aku ditangkap ketika sedang memberitakan Injil. Setelah dibebaskan, aku terpaksa meninggalkan rumah untuk bekerja dan menyewa tempat untuk menghindari polisi yang membuntuti dan mengawasiku. Kemudian aku mendengar bahwa polisi pergi ke desaku secara diam-diam untuk mencariku tiga kali dalam enam bulan, menanyakan di mana aku menyewa tempat. Sejak saat itu, aku hidup seperti gelandangan dan tidak bisa mengajak ibuku ke rumah serta merawatnya seperti dahulu. Aku merasa sangat berutang kepada ibuku. Terutama ketika aku mendengar bahwa dia telah dianiaya oleh kakak iparku saat dia sakit, aku merasa hancur serta kesal, dan bahkan menyesal telah pergi untuk memberitakan Injil. "Andai saja aku tidak memberitakan Injil, aku tidak akan ditangkap, dan aku tidak perlu meninggalkan rumah. Dengan begitu, aku akan bisa berada di sisi ibuku untuk merawatnya." Aku menyadari bahwa keadaanku salah, dan bahwa memberitakan Injil adalah tanggung jawab serta misiku. Bukankah menyesal karena telah memberitakan Injil dan melaksanakan tugasku merupakan perwujudan dari mengkhianati Tuhan? Dalam sebuah pertemuan, aku memberi tahu pemimpin tentang keadaanku dan pemimpin itu menunjukkan kepadaku sebuah bagian dari firman Tuhan: "Mereka semua hidup dalam keadaan perasaan—sehingga Tuhan tidak menghindarkan seorang pun dari antara mereka, dan menyingkapkan rahasia yang tersembunyi dalam hati seluruh umat manusia. Mengapa sulit sekali bagi manusia memisahkan diri dari perasaan mereka? Apakah melakukan hal ini melampaui standar hati nurani? Bisakah hati nurani menyelesaikan kehendak Tuhan? Bisakah perasaan membantu manusia mengatasi kesulitan? Di mata Tuhan, perasaan adalah musuh-Nya—bukankah ini sudah dinyatakan dengan jelas dalam firman Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 28"). Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa aku memang menjalani hidup dalam perasaanku, dan perasaan itu telah menipuku sehingga aku tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku memberitakan Injil agar orang-orang dapat datang ke hadapan Tuhan dan menerima keselamatan dari-Nya. Inilah hal yang adil dan tugas yang harus kulaksanakan. Sejak zaman dahulu, bukankah sudah ada banyak orang percaya sejati yang telah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti dan mengorbankan diri bagi Tuhan? Contohnya adalah Petrus. Ketika Tuhan Yesus memanggilnya, dia langsung menjatuhkan jalanya dan mengikut Tuhan. Setelah menyadari hal ini, aku makin yakin. Aku bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan baik serta memuaskan Tuhan, dan karena itu, aku pergi untuk memberitakan Injil lagi.
Pada musim gugur tahun 2015, seorang saudari di gereja memberitahuku bahwa ibuku telah meninggal. Aku merasa hancur dan kesal saat mendengar ini. Aku berusaha untuk tidak menangis dan berpikir, "Bagaimana mungkin ibuku meninggal? Apakah dia mengalami depresi dan sakit karena aku tidak berada di sisinya dan dia merindukanku serta mengkhawatirkanku? Jika bukan karena penganiayaan oleh PKT, aku bisa saja berada di sampingnya untuk lebih banyak merawatnya, membuatnya nyaman di tahun-tahun terakhirnya, dan mungkin dia akan hidup beberapa tahun lagi." Makin aku memikirkannya, makin aku merasa tertekan. Saat aku meninggalkan rumah saudari itu, air mata mengalir di wajahku. Ibuku sangat menderita untuk membesarkanku tetapi saat dia sudah tua dan sakit, aku tidak bisa bersamanya untuk merawatnya, dan aku bahkan tidak bisa bersamanya di saat-saat terakhirnya. Saat memikirkan hal ini, aku menangis tersedu-sedu dan hatiku terasa sangat sakit. Aku menyeka air mataku serta mengendarai sepedaku, dan saat bersepeda, adegan-adegan bagaimana ibuku berjuang untuk membesarkanku terputar di benakku seperti sebuah film. Aku merasa sangat berutang kepada ibuku dan dia telah meninggal sebelum aku memiliki kesempatan untuk menjadi putri yang berbakti. Aku bahkan tidak bisa bersamanya di saat-saat terakhirnya. Akankah orang lain mengatakan bahwa aku adalah putri yang buruk dan tidak tahu berterima kasih? Ketika aku kembali ke kediaman tuan rumah, aku terlalu tertekan hingga tak bisa makan. Saudari yang menjadi tuan rumah menghiburku dengan berkata, "Umur setiap orang ada di tangan Tuhan. Saat seseorang dilahirkan dan saat mereka meninggal sudah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan terlalu sedih. Berdoalah lebih banyak kepada Tuhan." Aku tidak merasa begitu sakit dan kesal setelah dia mengatakan hal ini, tetapi hatiku masih tidak tenang saat melaksanakan tugasku, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk menuntunku keluar dari keadaan negatif ini. Setelah berdoa, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Tuhan menciptakan dunia ini dan menghadirkan manusia, makhluk hidup yang mendapat anugerah kehidupan dari Tuhan, ke dunia. Selanjutnya, manusia memiliki orang tua dan kerabat dan tidak sendirian lagi. Sejak pertama kali manusia melihat dunia lahiriah ini, dia telah ditakdirkan untuk berada dalam penentuan Tuhan dari semula. Napas kehidupan dari Tuhanlah yang menyokong setiap makhluk hidup sepanjang masa pertumbuhannya hingga dewasa. Selama proses ini, tak seorang pun merasa bahwa manusia bertumbuh dewasa di bawah pemeliharaan Tuhan; melainkan, mereka meyakini bahwa manusia bertumbuh dewasa di bawah pemeliharaan yang penuh kasih dari orang tuanya, dan bahwa naluri kehidupannya sendirilah yang mengatur proses pertumbuhannya. Anggapan ini ada karena manusia tidak memahami siapa yang menganugerahkan kehidupannya dan dari mana kehidupan itu berasal, apalagi cara naluri kehidupan menciptakan keajaiban" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Melalui firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu, dan Dia menganugerahkan kehidupan kepada manusia. Dari luar, kelihatannya ibuku yang telah membesarkanku, tetapi jika bukan karena pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, aku tidak akan pernah bisa bertahan hidup sampai sekarang. Aku teringat akan bagaimana putriku mengidap penyakit mematikan pada usia lima tahun. Aku sangat berduka dan ingin menyumbangkan organ tubuhku kepadanya. Dokter mengatakan, "Tidak ada gunanya. Mengobati penyakit ini tidak akan menyelamatkan hidupnya. Dia mengidap penyakit mematikan dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya." Tuhan telah menetapkan kehidupan serta kematian kita sejak lama, dan tidak ada yang dapat mengubahnya. Waktu kematian ibuku juga berada di tangan Tuhan dan ditetapkan oleh-Nya, tetapi aku percaya bahwa dia meninggal karena depresi dan penyakit yang disebabkan oleh kerinduan dan kekhawatirannya tentangku. Aku tidak mengakui kedaulatan Tuhan! Terutama saat memikirkan bagaimana ibuku berjuang untuk membesarkanku hingga dewasa setelah ayahku meninggal, dan bagaimana dia beranjak tua, sakit, dan aku tidak bisa merawatnya, aku merasa berutang kepadanya, dan hatiku tidak tenang dalam melaksanakan tugasku. Sebenarnya, kehidupan manusia berasal dari Tuhan dan semua yang kunikmati adalah anugerah dari Tuhan. Aku tidak merasa berutang budi kepada Tuhan karena tidak melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi justru selalu merasa berutang kepada ibuku, sampai-sampai aku menyesal telah melaksanakan tugasku. Aku benar-benar tidak layak disebut manusia!
Kemudian, aku membaca firman Tuhan di mana Dia bersekutu tentang "orang tuamu bukanlah pemberi utangmu," dan pandanganku mengalami perubahan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Mari kita melihat hal tentang orang tuamu melahirkan dirimu. Siapa yang memilih mereka untuk melahirkanmu: engkaukah atau orang tuamu? Siapa yang memilih siapa? Jika engkau melihatnya dari sudut pandang Tuhan, jawabannya: bukan keduanya. Bukan engkau, juga bukan orang tuamu yang memilih mereka untuk melahirkanmu. Jika melihatnya dari sumbernya, hal ini telah ditetapkan oleh Tuhan. Kita akan mengesampingkan topik ini untuk saat ini, karena mudah bagi orang untuk memahaminya. Dari sudut pandangmu, engkau secara pasif dilahirkan oleh orang tuamu, tanpa punya pilihan apa pun dalam hal ini. Dari sudut pandang orang tuamu, mereka melahirkanmu atas kemauan mereka sendiri, bukan? Dengan kata lain, dengan mengesampingkan penetapan Tuhan, dalam hal melahirkan dirimu, orang tuamulah yang berkuasa dalam hal ini. Mereka memilih untuk melahirkanmu, dan merekalah yang menjadi penentu keputusan. Engkau tidak memilih mereka untuk melahirkanmu, engkau secara pasif dilahirkan dari mereka, dan engkau tidak punya pilihan dalam hal ini. Jadi, karena orang tuamu yang berkuasa dalam hal ini, dan mereka memilih untuk melahirkanmu, mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membesarkanmu, merawatmu hingga menjadi dewasa, membekalimu dengan pendidikan, dengan makanan, pakaian, dan uang. Ini adalah tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan ini adalah hal yang sudah seharusnya mereka lakukan. Sedangkan engkau, engkau selalu pasif selama periode mereka membesarkanmu, engkau tidak berhak untuk memilih, engkau harus dibesarkan oleh mereka. Karena engkau masih kecil, engkau tidak punya kemampuan untuk membesarkan dirimu sendiri, engkau tidak punya pilihan selain secara pasif dibesarkan oleh orang tuamu. Engkau dibesarkan dengan cara yang dipilih oleh orang tuamu, jika mereka memberimu makanan dan minuman yang enak, maka makanan dan minuman enaklah yang kaumakan. Jika orang tuamu memberimu lingkungan hidup di mana engkau harus bertahan hidup dengan hanya memiliki sekam dan tanaman liar, maka engkau harus bertahan hidup dengan hanya memiliki sekam dan tanaman liar. Bagaimanapun juga, ketika engkau dibesarkan, engkau pasif, dan orang tuamu sedang memenuhi tanggung jawab mereka. Sama halnya ketika orang tuamu menanam bunga. Karena mereka ingin merawat bunga tersebut, mereka harus memupuknya, menyiraminya, dan memastikannya mendapatkan sinar matahari. Jadi, mengenai manusia, entah orang tuamu membesarkanmu dengan cermat, atau merawatmu dengan baik atau tidak, bagaimanapun juga, mereka hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. Apa pun alasan mereka membesarkanmu, itu adalah tanggung jawab mereka—karena mereka telah melahirkanmu, mereka harus bertanggung jawab atas dirimu. Berdasarkan hal ini, dapatkah semua yang orang tuamu lakukan bagimu dianggap sebagai kebaikan? Tidak bisa, bukan? (Ya.) Bahwa orang tuamu memenuhi tanggung jawab mereka terhadapmu, itu tidak dianggap sebagai kebaikan, jadi jika mereka memenuhi tanggung jawab mereka terhadap bunga atau tanaman, menyirami dan memupuknya, apakah itu dianggap sebagai kebaikan? (Tidak.) Ini, terlebih lagi, tidak dapat dianggap sebagai kebaikan. Bunga dan tanaman tumbuh lebih subur di luar ruangan. Jika tumbuhan ditanam di tanah, mendapatkan angin, sinar matahari, dan air hujan, tumbuhan itu akan tumbuh subur. Tumbuhan yang ditanam di pot dalam ruangan tidak akan tumbuh sesubur di luar ruangan, tetapi di mana pun tumbuhan itu berada, tumbuhan itu hidup, bukan? Di mana pun tumbuhan berada, itu sudah ditetapkan oleh Tuhan. Engkau adalah makhluk hidup, dan Tuhan bertanggung jawab atas setiap kehidupan, memungkinkannya untuk bertahan hidup, dan mengikuti hukum yang harus dipatuhi oleh semua makhluk hidup. Namun, sebagai seorang manusia, engkau hidup di lingkungan tempat orang tuamu membesarkanmu, jadi engkau harus bertumbuh dan berada di lingkungan tersebut. Dalam skala besar, engkau hidup di lingkungan itu karena penetapan Tuhan; dalam skala kecil, engkau hidup di lingkungan itu karena orang tuamu membesarkanmu, bukan? Bagaimanapun juga, dengan membesarkanmu, orang tuamu sedang memenuhi suatu tanggung jawab dan kewajiban. Membesarkanmu menjadi orang dewasa adalah kewajiban dan tanggung jawab mereka, dan ini tidak dapat disebut kebaikan. Jika ini tidak dapat disebut kebaikan, bukankah ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kaunikmati? (Ya.) Ini adalah semacam hak yang sudah seharusnya kaunikmati. Engkau sudah seharusnya dibesarkan oleh orang tuamu, karena sebelum engkau mencapai usia dewasa, peranmu adalah sebagai seorang anak yang sedang dibesarkan. Jadi, orang tuamu hanyalah memenuhi semacam tanggung jawab terhadapmu, dan engkau hanya menerimanya, tetapi tentu saja engkau bukan sedang menerima kasih sayang atau kebaikan dari mereka. ... Membesarkanmu adalah tanggung jawab orang tuamu. Mereka memilih untuk melahirkanmu, jadi mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk membesarkanmu. Dengan membesarkanmu hingga menjadi dewasa, mereka sedang memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. Engkau tidak berutang apa pun kepada mereka, jadi engkau tidak perlu membalas mereka. Engkau tidak perlu membalas mereka. Ini jelas memperlihatkan bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu, dan engkau tidak perlu melakukan apa pun untuk mereka sebagai imbalan atas kebaikan mereka. Jika keadaanmu memungkinkan, engkau dapat memenuhi sedikit tanggung jawabmu terhadap mereka, maka lakukanlah itu. Jika lingkunganmu dan keadaan objektifmu tidak memungkinkanmu untuk memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka, maka engkau tidak perlu terlalu memikirkannya, dan engkau tidak perlu menganggap dirimu berutang kepada mereka, karena orang tuamu bukanlah krediturmu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Firman Tuhan memungkinkanku untuk memahami bahwa Tuhan mengatur dan berdaulat atas setiap orang yang datang ke dunia ini. Kelahiranku ke dalam keluarga ini juga telah ditetapkan oleh Tuhan. Sebesar apa pun penderitaan yang ditanggung ibuku untuk membesarkanku, ini adalah tanggung jawabnya dan aku tidak boleh menganggapnya sebagai kebaikan. Seperti yang difirmankan Tuhan: "Karena orang tuamu yang berkuasa dalam hal ini, dan mereka memilih untuk melahirkanmu, mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membesarkanmu, merawatmu hingga menjadi dewasa, membekalimu dengan pendidikan, dengan makanan, pakaian, dan uang. Ini adalah tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan ini adalah hal yang sudah seharusnya mereka lakukan". Namun, aku tidak memahami kebenaran dan tidak melihat segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan. Aku selalu percaya bahwa, setelah ayahku meninggal, ibuku menjadi ibu sekaligus ayah, hidup hemat agar aku bisa bersekolah, berjuang untuk membesarkanku hingga dewasa, dan tanpa perawatan serta pengasuhan yang penuh perhatian dari ibuku, aku tidak akan menjadi orang seperti diriku hari ini. Aku menganggap perawatan ibuku sebagai kebaikan dan selalu ingin membalasnya untuk kebaikannya ini. Saat aku mendengar bahwa ibuku meninggal, aku merasa sangat tertekan dan merasa bahwa aku tidak merawatnya dengan baik. Aku bahkan tidak bisa bersamanya di saat-saat terakhirnya sehingga aku merasa menjadi putri yang buruk. Aku merasa hanya berutang budi padanya dan tidak berminat untuk melaksanakan tugasku. Jika aku terus hidup dalam rasa berutang kepada ibuku dan tidak dapat melaksanakan tugasku, maka aku benar-benar tidak memiliki hati nurani atau kemanusiaan. Saat aku memikirkan kematian ibuku, bahkan jika aku bisa bersamanya di akhir hidupnya, aku tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya. Bahkan jika orang lain memujiku sebagai putri yang baik, apa artinya itu?
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan. Tuhan berfirman: "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, gagasan tradisional di benak orang Tionghoa adalah mereka yakin bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Orang yang pikirannya dipenuhi hal-hal seperti itu akan beranggapan, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicela oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak punya hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah memahami begitu banyak kebenaran yang Tuhan nyatakan—pernahkah Tuhan menuntut orang untuk berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya; orang-orang ini jugalah yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut untuk manusia lakukan. ... Iblis menggunakan budaya tradisional dan gagasan moralitas semacam ini untuk mengikat pemikiran, pikiran, dan hatimu, membuatmu tak mampu menerima firman Tuhan; engkau telah dikuasai oleh hal-hal dari Iblis ini, dan dibuat tak mampu untuk menerima firman Tuhan. Ketika engkau ingin menerapkan firman Tuhan, hal-hal ini menyebabkan gangguan di dalam dirimu, dan menyebabkanmu menentang kebenaran dan tuntutan Tuhan, membuatmu tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu budaya tradisional ini. Setelah berjuang selama beberapa waktu, engkau berkompromi: engkau lebih memilih untuk menganggap gagasan tradisional tentang moralitas adalah benar dan sesuai dengan kebenaran dan karena itu engkau menolak atau meninggalkan firman Tuhan. Engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran dan engkau sama sekali tidak berpikir bagaimana agar engkau diselamatkan, merasa engkau masih hidup di dunia ini, dan hanya bisa bertahan hidup jika engkau mengandalkan orang-orang ini. Karena tidak mampu menanggung kritikan masyarakat, engkau lebih suka memilih melepaskan kebenaran dan firman Tuhan, menyerahkan dirimu kepada gagasan tradisional tentang moralitas dan pengaruh Iblis, lebih memilih untuk menyinggung Tuhan dan tidak menerapkan kebenaran. Bukankah manusia begitu menyedihkan? Apakah mereka tidak butuh diselamatkan oleh Tuhan?" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). "Ada pepatah di dunia orang tidak percaya yang berbunyi: 'Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya'. Ada juga pepatah yang ini: 'Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas'. Betapa terdengar muluk-muluknya semua pepatah ini! Sebenarnya, fenomena yang disebutkan dalam pepatah pertama, bahwa gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya, memang benar-benar ada, ini adalah fakta. Namun, hal tersebut hanyalah fenomena di dunia binatang, semacam aturan yang telah Tuhan tetapkan bagi berbagai makhluk hidup yang dipatuhi oleh segala jenis makhluk hidup, termasuk manusia. Fakta bahwa semua jenis makhluk hidup mematuhi aturan ini makin menunjukkan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada makhluk hidup yang dapat melanggar aturan ini, dan tidak ada makhluk hidup yang mampu melampauinya. ... Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya memperlihatkan dengan tepat bahwa dunia binatang mematuhi aturan semacam ini. Semua jenis makhluk hidup memiliki naluri ini. Begitu keturunan dilahirkan, mereka dirawat dan diasuh oleh induk betina atau binatang jantan dari spesies tersebut sampai mereka menjadi dewasa. Semua jenis makhluk hidup mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada keturunan mereka, dengan sungguh-sungguh dan patuh membesarkan generasi berikutnya. Inilah yang terlebih lagi harus manusia lakukan. Manusia sendiri menyebut dirinya binatang yang lebih tinggi. Jika mereka tidak mampu mematuhi aturan ini, dan tidak memiliki naluri ini, berarti manusia lebih rendah daripada binatang, bukan? Oleh karena itu, sebanyak apa pun orang tuamu mengasuhmu saat mereka membesarkanmu, dan sebanyak apa pun mereka memenuhi tanggung jawab mereka kepadamu, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan dalam lingkup kemampuan manusia ciptaan—ini adalah naluri mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami hal ini: Alasan aku sangat kesakitan adalah karena aku telah dipengaruhi oleh ide dan pandangan seperti "Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas" dan "Membesarkan anak-anak untuk membantumu di hari tua". Kupikir berbakti kepada orang tua itu sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, serta tidak melakukan hal ini adalah pengkhianatan dan membuat orang lebih rendah daripada binatang buas. Aku sedang dalam pelarian dan tidak bisa merawat ibuku di rumah, jadi hati nuraniku merasa bersalah dan aku merasa berutang kepadanya. Aku juga takut orang-orang akan mengatakan bahwa aku tidak memiliki hati nurani dan merupakan putri yang buruk, jadi aku merasakan sakit itu serta tidak dapat melaksanakan tugasku dengan tenang, dan kemudian aku hancur berkeping-keping saat mendengar bahwa ibuku telah meninggal. Aku menyadari bahwa aku telah ditanamkan ide-ide budaya tradisional ini serta menganggap berbakti kepada orang tuaku lebih penting daripada melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan aku bahkan menyesal telah memberitakan Injil serta melaksanakan tugasku—bukankah ini merupakan perwujudan dari pengkhianatan terhadap Tuhan? Aku ditangkap oleh polisi karena memberitakan Injil, sehingga aku tidak bisa kembali ke rumah. Namun, alih-alih membenci PKT, aku justru menyalahkan Tuhan karena aku percaya bahwa hal ini terjadi karena aku memberitakan Injil. Pemahamanku benar-benar terbalik dan aku tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Semua yang kumiliki berasal dari Tuhan. Tuhan telah merawat dan melindungiku selama bertahun-tahun sehingga aku memiliki kesempatan untuk memberitakan Injil serta melaksanakan tugasku, mengejar kebenaran, dan diselamatkan oleh Tuhan. Aku bukan hanya tidak bersyukur kepada Tuhan, melainkan aku juga telah salah paham serta menyalahkan-Nya, dan bahkan menyesal telah melaksanakan tugasku. Aku benar-benar tidak memiliki hati nurani! Baru saat itulah aku memahami bahwa ide dan pandangan seperti "Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas" dan "Membesarkan anak-anak untuk membantumu di hari tua" adalah keliru, dan bahwa itu adalah cara Iblis menyesatkan serta merusak manusia. Aku tidak ingin menjalani hidup berdasarkan ide dan pandangan Iblis lagi, tetapi ingin memandang orang dan segala sesuatu serta berperilaku dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan.
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Pertama-tama, kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat bekerja sama dalam pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). "Sebagai anak, engkau harus mengerti bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu. Ada banyak hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini. Semuanya adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh makhluk ciptaan yang telah dipercayakan kepadamu oleh Tuhan Sang Pencipta dan tidak ada kaitannya dengan membalas kebaikan orang tuamu. Menunjukkan bakti kepada orang tuamu, membalas budi dan kebaikan mereka. Semua ini tidak ada kaitannya dengan misi hidupmu. Dapat juga dikatakan bahwa tidaklah wajib bagimu untuk menunjukkan baktimu kepada orang tuamu, membalas budi, atau memenuhi tanggung jawabmu kepada mereka. Sederhananya, engkau dapat melakukannya dan memenuhi sedikit tanggung jawabmu jika keadaanmu memungkinkan; apabila tidak memungkinkan, engkau tidak perlu memaksakan diri untuk melakukannya. Ketika engkau tidak mampu memenuhi tanggung jawab berbakti kepada orang tuamu, itu bukan sesuatu yang mengerikan, ini hanya akan sedikit bertentangan dengan hati nuranimu, moralitas manusia, dan gagasan manusia. Namun setidaknya, hal ini tidak bertentangan dengan kebenaran, dan Tuhan tidak akan menghukummu karenanya. Setelah engkau memahami kebenaran, hati nuranimu tidak akan menuduhmu dalam hal ini" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Melalui firman Tuhan, aku mulai memahami bagaimana seharusnya anak-anak memperlakukan orang tua mereka. Ibuku bukanlah pemberi utangku. Aku datang ke dunia ini dengan sebuah misi yang harus kupenuhi, yaitu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Andai saja situasi dan kondisi memungkinkan, aku bisa merawat dan berbakti kepada Ibu serta memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai seorang anak. Jika situasi tidak memungkinkan, aku tidak perlu memaksakannya. Selain itu, bukan karena aku tidak ingin berbakti kepada ibuku, itu karena aku dianiaya dan dikejar oleh PKT sehingga aku tidak bisa pulang untuk merawatnya. Itu bukan berarti aku tidak berbakti dan aku tidak perlu peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentangku. Yang paling penting adalah aku harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan serta melaksanakan tugasku dengan baik. Dengan memahami hal ini, aku tidak lagi merasa terkekang dan dapat mencurahkan segenap hati dalam melaksanakan tugasku. Penghakiman dan penyingkapan firman Tuhan-lah yang memampukanku untuk memahami beberapa pandanganku yang keliru, memahami bagaimana memperlakukan ibuku dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, tidak lagi merasa berutang kepada ibuku, serta dapat menenangkan hatiku dan melaksanakan tugasku.
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.