Kasih Sayang Tidak Boleh Lebih Utama daripada Prinsip

27 Februari 2023

Oleh Saudari Lin Xi, Amerika

Sekitar enam bulan lalu, aku dan Ruthy menjalankan tugas di sebuah kelompok. Ruthy terpelajar, berkualitas baik, dan cukup terampil. Dia sangat dihargai di kelompok. Tapi aku, ditinjau dari sisi mana pun, aku selalu kurang. Seringkali aku gagal dalam tugas dan ketahuan, tapi Ruthy tak pernah menghina atau memandang rendah aku, dia juga selalu menghibur dan menyemangatiku. Bilamana ada yang dipikirkannya, dia akan datang dan mengobrol denganku, hal itu membuatku terharu dan menganggapnya teman dekat. Meski tahu wataknya agak congkak dan tak bisa menerima saran dengan baik, karena perasaanku terhadapnya, masalah ini tak pernah kubahas dengannya. Bahkan kupikir semua orang punya watak rusak yang tak bisa cepat diperbaiki. Untuk beberapa waktu, aku selalu menemui masalah dalam tugas, dan dengan pemikiranku yang negatif, di saat aku ingin menyerah, Ruthy secara aktif bermitra denganku dan dengan sabar membantuku dengan masalah teknis. Aku melihat tugasku berhasil baik dan akhirnya aku bisa bernapas lega. Dengan membantuku melalui ini, kurasakan simpati Ruthy padaku, dan aku bersyukur sekali kepadanya. Tak lama kemudian, dia menjadi pemimpin. Aku tulus bahagia untuknya dan sering menyemangatinya.

Suatu malam, saat aku bersiap untuk tidur, tiba-tiba Ruthy mengirim pesan mengatakan bahwa dia diberhentikan dan dia sangat sedih. Dari pembicaraan kami, aku mengetahui bahwa dia dilaporkan oleh saudara-saudarinya. Pemimpin sudah membacakan rincian laporannya kepadanya, yang sulit untuk dia terima dan menurutnya melebih-lebihkan fakta. Misalnya, mereka bilang dia haus akan reputasi dan status, dan meski mengaku dia menghargai kedua hal itu, dia menyangkal kalau diartikan dia haus akan itu. Dilaporkan juga kalau dia tidak bisa bekerja sama dengan harmonis atau melakukan kerja nyata, ketika sesuatu tak berjalan sesuai keinginannya, dia kesal dan mengacaukan pekerjaan gereja. Dia mengaku ada masalah dalam tugas, tapi tidak seserius itu. Dia menangis selama menceritakan kesedihannya. Dia juga berkata kalau laporan ini membuatnya seperti orang jahat, berprasangka terhadap semua yang melaporkannya dan pemimpin yang menangani masalah ini, dan menurutnya pemimpin hanya mendengarkan satu pihak. Dia juga berkata, meski ada masalah dalam tugasnya, tak ada yang bersekutu dengannya untuk membantunya, dan pemberhentian dia secara mendadak sangat tidak adil. Makin dibicarakan, dia makin merasa dipersalahkan. Melihatnya begitu sedih, aku merasa agak kesal, sambil menghiburnya dalam hati aku berpikir: "Apakah laporan itu benar berlebihan? Benarkah pemberhentiannya salah?" Tiba-tiba Ruthy mengatakan sesuatu yang membuatku resah. Katanya, "Menurutku, laporan ini seperti tuduhan terbuka revolusi budaya. Mereka hanya menyodorkan tuduhan kepadaku untuk menjatuhkan dan mencoreng mukaku." Aku tersentak kaget. Aku merasa aneh dia berkata demikian. Dilaporkan dan diberhentikan adalah masalah serius, tapi dia tidak merenungkan diri, mencari kebenaran, atau mengambil hikmahnya. Dia bahkan membandingkan laporan dan pemberhentiannya dengan tuduhan terbuka PKC. Dia merasa mereka berusaha menghukumnya. Natur persoalan ini sungguh serius! Segera kuingatkan dia agar tidak bicara seperti itu, dan bahwa dia harus merenungkan diri.

Kemudian aku dengar dari mereka yang dulu mitra kerjanya bahwa sebagai pemimpin, dia tidak melakukan kerja nyata atau rukun bekerja sama, dan dia jarang memerhatikan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Waktu pemimpin menindak lanjuti pekerjaannya dan mendapati masalah, dia bersekutu dengannya dan menanganinya, tetapi dia menentang dan tidak terima, selalu mencari dalih, melemparkan kesalahan, dan berkata itu masalah orang lain, dia bahkan meninggalkan semua tanggung jawabnya. Dengan informasi ini aku jadi yakin bahwa isi laporan itu benar. Lalu aku terpikir tentang bagaimana Ruthy mengatakan bahwa laporan itu persis seperti sesi perjuangan revolusi budaya, dan kutahu seberapa serius permasalahan ini. Dia jelas tidak melakukan kerja nyata dan tidak terima saat ditangani pemimpin. Dia sungguh pemimpin palsu yang pantas diberhentikan. Tapi dia tidak merenungkan diri, dan membandingkan laporan yang sah dengan tuduhan terbuka PKC. Ini tak hanya menolak kebenaran, tapi juga membelokkan fakta dan membalikkan kenyataan! Ini tindakan melawan dan menyebabkan kegemparan, juga fitnah terhadap hal-hal positif. Menyinggung watak Tuhan! Makin kupikirkan aku makin takut. Aku merasa wataknya jahat, dan jika dia terus melawan tanpa merenung atau bertobat, dia akan diusir sesuai prinsip gereja tentang membersihkan orang. Aku memikirkan perlu atau tidak kulaporkan ke pemimpin keadaannya saat itu dan apa yang dia katakan kepadaku. Tapi kemudian kupikir, "Jika pemimpin tahu keadaannya dan mencermatinya dengan perilakunya sebagai pemimpin, lalu memutuskan bahwa dia adalah orang jahat yang tidak menerima kebenaran sama sekali, akankah dia dikeluarkan dari gereja?" Memikirkan hal itu membuatku tak nyaman. Bukan seperti itu yang kuinginkan. Aku juga memikirkan momen-momen kami bersama, betapa baiknya dia kepadaku, bahwa aku seharusnya lebih membantu dan menghiburnya. Jika dia tahu aku yang melaporkan ke pemimpin semua yang dia katakan kepadaku dengan penuh keyakinan, hatinya akan sangat terluka. Dia mengatakan semua itu dengan terbuka kepadaku karena dia percaya, dan aku sungguh tak punya hati kalau melaporkannya ke pemimpin. Aku terus memikirkannya, tak bisa berkata apa-apa. Aku terus berpikir bahwa melakukannya berarti mengkhianati teman, dan lebih tidak berbudi. Maka, aku tidak membahas masalah dia kepada orang lain. Setiap ada waktu, aku kirimi dia pesan, memeriksa keadaannya atau kukirimi dia firman Tuhan. Aku berharap dia bisa mengubah keadaannya yang salah dan secepatnya melakukan tugas dengan baik. Meski melindungi hubungan kami, aku merasa tak tenang. Aku tahu masalahnya cukup serius, tapi aku tak bicara apa-apa. Bukankah aku melindunginya? Perasaanku campur aduk. Dengan tidak bicara, aku merasa dituduh nuraniku, tapi kalau bicara, aku merasa mengecewakan Ruthy. Persoalan ini sungguh mengusik dan aku tak tahu harus berbuat apa. Jadi aku berdoa kepada Tuhan, minta Dia membimbingku memampukanku mengerti kehendak-Nya dan menemukan jalan penerapan.

Suatu hari, aku membaca firman Tuhan. "Engkau semua harus belajar membedakan apa arti perilaku yang baik, dan apa arti menerapkan kebenaran dan mengubah watakmu. Mengubah watakmu berkaitan dengan menerapkan kebenaran, mendengarkan firman Tuhan, menaati-Nya, dan hidup berdasarkan firman-Nya. Jadi, apa yang harus orang lakukan untuk dapat menerapkan firman Tuhan dan hidup berdasarkan firman Tuhan? Misalnya, katakanlah ada dua orang yang berteman dekat. Mereka selama ini telah saling membantu, mereka telah melewati masa-masa sulit bersama, dan mereka rela mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkan satu sama lain. Apakah itu berarti mereka menerapkan kebenaran? Itu adalah persaudaraan, itu adalah menghargai orang lain lebih daripada diri sendiri, itu adalah perilaku yang baik, tetapi itu bukanlah menerapkan kebenaran. Menerapkan kebenaran adalah tentang bertindak berdasarkan firman dan tuntutan Tuhan; itu artinya menaati dan memuaskan Tuhan. Perilaku yang baik hanyalah tentang memelihara hubungan antar pribadi dan menjaga ikatan emosi. Oleh karena itu, persaudaraan, menjaga hubungan baik, membantu, bertoleransi, dan memuaskan satu sama lain, semua ini adalah urusan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan menerapkan kebenaran. Jadi, bagaimana Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan sesamanya? (Tuhan menuntut agar kita memperlakukan satu sama lain berdasarkan prinsip. Jika orang lain melakukan kesalahan, sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran, kita tidak boleh mendengarkan mereka, sekalipun itu adalah ibu atau ayah kita sendiri. Kita harus berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan melindungi kepentingan rumah Tuhan.) (Tuhan menuntut agar saudara-saudari saling membantu. Jika kita melihat orang lain memiliki masalah, kita harus menunjukkannya, mempersekutukannya, dan mencari prinsip kebenaran bersama-sama untuk menyelesaikannya. Hanya dengan melakukan hal ini, barulah kita benar-benar membantu mereka.) Dia ingin perilaku mereka terhadap satu sama lain dibangun di atas dasar prinsip-prinsip kebenaran, seperti apa pun hubungan mereka tersebut. Apa pun yang berada di luar prinsip-prinsip ini tidak bisa dianggap menerapkan kebenaran. Misalnya, seseorang melakukan sesuatu yang merugikan pekerjaan gereja, yang dikritik dan ditentang semua orang. Temannya berkata, 'Engkau tak perlu menyingkapkan dia hanya karena dia melakukan kesalahan! Aku adalah temannya; aku harus terlebih dahulu bersikap pengertian terhadapnya; aku harus toleran terhadapnya dan membantunya. Aku tak boleh mengkritiknya seperti yang kaulakukan. Aku harus menghiburnya, tidak menyakitinya, dan aku akan mengatakan kepadanya bahwa kesalahan itu bukanlah masalah besar. Siapa pun di antaramu yang mengkritiknya dan membuatnya menderita lagi, engkau harus berurusan denganku. Tak seorang pun di antaramu yang lebih dekat dengannya selain diriku. Kami adalah teman baik. Sesama teman harus saling menjaga, dan aku akan membelanya jika perlu.' Apakah ini menerapkan kebenaran? (Tidak, ini adalah falsafah kehidupan.) Mentalitas orang tersebut juga didasarkan pada landasan teoretis lainnya: dia percaya bahwa 'Temanku membantuku selama masa tersulit dan paling menyakitkan dalam hidupku. Semua orang lainnya telah meninggalkanku, hanya dia yang merawat dan menolongku. Sekarang dia berada dalam masalah, dan giliranku untuk membantunya—aku merasa inilah artinya memiliki hati nurani dan memiliki kemanusiaan. Bagaimana engkau bisa menyebut dirimu manusia jika engkau percaya kepada Tuhan tetapi bahkan tidak memiliki sedikit hati nurani ini? Bukankah imanmu kepada Tuhan dan penerapan kebenaranmu hanyalah kata-kata kosong?' Perkataan ini terdengar seolah-olah benar. Kebanyakan orang tidak menyadari yang sebenarnya mengenai perkataan ini—bahkan orang yang mengatakannya pun tidak, yang berpikir bahwa tindakannya itu muncul dari kebenaran. Namun, apakah tindakannya benar? Sesungguhnya, itu tidak benar. Jika diperhatikan dengan lebih saksama, setiap perkataan yang dia ucapkan itu lahir dari etika, moralitas, dan hati nurani. Menurut ukuran etika manusia, orang ini berhati nurani dan bersungguh-sungguh. Membela temannya seperti ini membuatnya menjadi orang yang baik. Namun, adakah yang tahu apa watak dan esensi yang tersembunyi di balik 'orang yang baik' ini? Dia bukanlah orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan. Pertama-tama, ketika sesuatu terjadi, dia tidak memandang situasinya berdasarkan firman Tuhan. Dia tidak mencari kebenaran di dalam firman Tuhan, melainkan memilih untuk memandang masalah itu berdasarkan moralitas dan etika serta standar hidup orang tidak percaya. Dia menganggap kebohongan dan kekeliruan Iblis sebagai kebenaran, dan mengesampingkan firman Tuhan. Dengan melakukan hal ini, dia sedang mencemooh kebenaran dan mengabaikan apa yang dikatakan dalam firman Tuhan. Ini memperlihatkan bahwa dia tidak mencintai kebenaran. Dia menggantikan kebenaran dengan standar hidup Iblis dan dengan gagasan, etika, dan moralitas manusia, dan dia bertindak berdasarkan falsafah Iblis. Dia bahkan berkata dengan yakin bahwa inilah menerapkan kebenaran dan memuaskan kehendak Tuhan, bahwa inilah cara yang benar untuk bertindak. Bukankah dia sebenarnya menggunakan kedok keadilan ini untuk melanggar kebenaran?" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Perilaku yang Baik Bukan Berarti Watak Orang Telah Berubah"). Firman Tuhan menyingkap keadaanku dengan tepat. Aku merenungkan pemikiranku beberapa hari terakhir. Meski kutahu Ruthy tidak terima kebenaran dan diam-diam menyebar kabar negatif dan kebohongan, aku melindunginya dan tidak melaporkannya. Ini semua karena aku dipengaruhi gagasan Iblis seperti "korbankan dirimu demi teman" dan pemikiran bahwa sangat etis mengutamakan kasih sayang dan perbuatan baik dalam bertindak. Sebagai orang tak percaya, di TV dan cerita-cerita aku pernah melihat tokoh-tokoh yang sungguh setia kepada teman mereka dan aku sangat mengagumi mereka. Aku merasa itulah integritas dan cara untuk menjadi orang yang baik. Mereka panutanku. Kukatakan pada diriku kalau aku akan menjadi orang yang menghargai kesetiaan dan persahabatan, kalau orang lain baik kepadaku, aku harus membalasnya dua kali lipat, bahwa aku tak boleh melakukan apa pun yang mengecewakan mereka, atau aku jadi orang yang tak berbudi dan dipandang hina. Setelah menjadi orang percaya, pemikiran seperti ini masih ada dalam diriku. Kalau orang baik atau menunjukkan perhatian kepadaku, aku akan mengingatnya dan apa pun kesulitan atau masalah yang mereka hadapi, aku akan selalu menolong mereka dan tak akan berbuat apa pun yang membahayakan pertemanan kami. Karena aku terikat oleh yang disebut "moral" inilah, Meski tahu Ruthy bermasalah dan aku harus menjunjung tinggi prinsip dengan melaporkannya, aku tak berani maju menerapkan kebenaran. Aku terus berpikir jika aku bicara tentang ucapannya kepadaku yang penuh keyakinan, pasti dia akan sangat kecewa. Falsafah Iblis ini menguasaiku, membuatku tak bisa membedakan benar dan salah, dan membuatku sungguh tak berprinsip. Makin direnungkan, makin aku mengerti betapa bodoh dan bingungnya aku selama itu. Meski percaya Tuhan dan membaca firman-Nya, aku masih mengandalkan falsafah Iblis saat menghadapi masalah. Akhirnya aku mengerti aku sungguh menyedihkan dan sama sekali tidak menerapkan kebenaran!

Aku terus membaca firman Tuhan. "Bagaimana bisa ada kebaikan dalam diri mereka yang tidak mencintai kebenaran? Bagaimana bisa ada kebenaran dalam diri mereka yang hanya mencintai daging? Bukankah kebenaran dan kebaikan keduanya hanya dibicarakan dalam kaitannya dengan kebenaran? Bukankah kebenaran dan kebaikan diperuntukkan bagi mereka yang mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati? Mereka yang tidak mencintai kebenaran dan yang sebenarnya adalah mayat busuk—bukankah semua orang ini menyimpan kejahatan? Mereka yang tidak mampu menghidupi kebenaran—bukankah mereka semua adalah musuh kebenaran? Bagaimana dengan engkau semua?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mereka yang Telah Disempurnakan Bisa Menjalani Hidup yang Bermakna"). "Engkau mungkin sangat ramah dan setia kepada keluarga, sahabat, isteri (atau suami), putra-putri, dan orang tuamu, dan tidak pernah memanfaatkan orang lain, tetapi jika engkau tidak mampu menjadi sesuai dengan Kristus, jika engkau tidak mampu berinteraksi secara harmonis dengan-Nya, maka sekalipun engkau menolong sesamamu dengan semua yang ada padamu atau merawat ayah, ibu, dan anggota keluargamu dengan cermat, Aku akan tetap menyebutmu jahat, dan terlebih lagi, menyebutmu penuh dengan tipu muslihat yang licik" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Tidak Sesuai dengan Kristus Pasti Merupakan Lawan Tuhan"). Dengan membaca firman Tuhan aku mengerti bahwa kebenaran dan kebaikan yang benar bukanlah setia kepada seseorang. Betapa pun baik hati atau setia kepada seorang teman atau anggota keluarga, dianggap baik oleh orang lain atau dipuji masyarakat, kau tak akan disebut benar atau baik. Kebenaran dan kebaikan yang benar mengacu kepada kebenaran, dan hal-hal yang setara dengan kebenaran. Bila sesuatu menimpa dirimu, kemampuan menerapkan kebenaran, berbuat sesuai dengan firman Tuhan, kesampingkan emosi dalam menunjung prinsip, dan lindungi pekerjaan gereja tunjukkan kebenaran dan cinta akan kebenaran, baru akan mendapat perkenanan Tuhan. Aku berpikir dalam Alkitab, di saat kritis, Lot sanggup menukar kedua putrinya demi keselamatan kedua pembawa pesan, dan bagaimana perbuatannya dianggap benar oleh Tuhan. Kupikir, bagaimana setelah menerima pesan dari Tuhan, Nuh menghabiskan waktu 100 tahun lebih membangun bahtera, dan bagaimana saat itu dia mendapat banyak kesusahan, fitnah dan penilaian orang, tapi tetap mengindahkan firman Tuhan dan menyelesaikan pesan dari Tuhan. Itu baru kebenaran. Aku mengerti dengan melakukan kehendak Tuhan, manusia dapat menerapkan sesuai dengan firman-Nya, dan betapa pun menderita atau bahkan harus menyerahkan nyawa, mereka tetap bisa menyelesaikan pesan Tuhan dan melindungi pekerjaan rumah Tuhan. Hanya ini yang bisa disebut kebenaran dan kebaikan. Aku selalu melindungi hubunganku dan kasih sayangku kepada orang lain. Aku tahu Ruthy diam-diam menyebarkan berita negatif dan kebohongan, tapi aku tidak melaporkannya. Aku mengutamakan kasih sayangku padanya dan melindunginya sampai mengorbankan pekerjaan gereja. Aku mengutamakan perasaan dan melanggar kebenaran. Kalau begitu apakah ini kebenaran atau kebaikan? Pada dasarnya, aku melawan Tuhan dan dikutuk oleh Dia. Memikirkan hal ini, aku sadar keseriusan masalahku dan hatiku dicekam ketakutan. Aku tak boleh terus bertindak berdasarkan perasaan. Aku harus berpegang pada kebenaran dan prinsip dengan melaporkan Ruthy. Maka, aku membuat laporan tertulis yang sebenarnya mengenai masalah Ruthy dan mengirimkannya kepada pemimpin.

Tak lama kemudian pemimpin berkata kepadaku, "Masalah Ruthy cukup serius. Sejak diberhentikan dia tidak merenung, tetap melawan dan marah, terus menyebarkan gagasan dan berita negatif, dan belum memperbaiki sikap. Masalahnya harus diungkapkan kembali. Jika dia tak menyadari keseriusan masalah ini, dia bisa terus menyebar berita negatif dan benar-benar mengganggu kehidupan gereja!" Pemimpin juga memintaku berpartisipasi. Aku mendadak merasa gugup dan mulai kembali merasakan konflik: "Jika persekutuan menyingkap masalah Ruthy ini dilakukan di hadapan banyak orang, bagaimana pendapatnya tentangku? Akankah dia membenciku? Akankah dia sakit hati? Akankah dia berpikir aku tak bisa diajak bicara dan mengabaikanku?" Aku tak berani membayangkan peristiwa penyingkapannya dan ingin lari saja. Pemimpin melihat kebimbanganku dan berkata, "Kalau merasa tak nyaman kau tak perlu datang. Pikirkanlah baik-baik." Aku tak berkata apa-apa. Setelah itu, aku merasa resah dan bertanya-tanya, "Kenapa aku begitu takut menghadapi Ruthy? Kenapa aku tak berani menyingkap dia? Aku masih hidup mengikuti perasaan dan ingin melindungi hubunganku." Menyadari hal ini, aku merasa sangat bersalah dan berdoa kepada Tuhan, "Oh Tuhan, tolong aku. Beri aku kekuatan untuk melepaskan diri dari pengaruh gelap Iblis. Aku ingin menerapkan kebenaran."

Setelah berdoa, aku membaca firman Tuhan mengenai keadaanku. "Begitu kebenaran telah menjadi kehidupan di dalam dirimu, saat engkau mengamati ada orang yang menghujat Tuhan, yang tidak takut akan Tuhan, yang ceroboh, dan asal-asalan saat melakukan tugas mereka, atau yang menyela dan mengganggu pekerjaan gereja, engkau akan menanggapinya sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, dan akan mampu mengidentifikasi serta mengungkapkannya bila perlu. Jika kebenaran belum menjadi hidupmu, dan engkau masih hidup dalam watak jahatmu, maka ketika engkau menemukan orang-orang jahat dan setan-setan yang menyebabkan gangguan dan kekacauan pada pekerjaan gereja, engkau akan berpura-pura tidak melihatnya dan menolak untuk mendengarnya; engkau akan mengabaikan mereka, tanpa teguran dari hati nuranimu. Engkau bahkan akan menganggap siapa pun yang menyebabkan gangguan terhadap pekerjaan gereja tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Sebanyak apa pun pekerjaan gereja dan kepentingan rumah Tuhan dirugikan, engkau tidak peduli, tidak menengahi, ataupun merasa bersalah—hal mana membuatmu menjadi seseorang yang tidak berhati nurani atau tidak berakal, orang tidak percaya, pelaku pelayanan. Engkau makan apa yang adalah milik Tuhan, minum apa yang adalah milik Tuhan, dan menikmati semua yang berasal dari Tuhan, tetapi merasa bahwa kerugian apa pun terhadap kepentingan rumah Tuhan tidak ada kaitannya denganmu—hal mana membuatmu menjadi pengkhianat yang tidak tahu berterima kasih. Jika engkau tidak melindungi kepentingan rumah Tuhan, apakah engkau masih bisa disebut manusia? Ini adalah setan yang telah menyusup ke dalam gereja. Engkau berpura-pura percaya kepada Tuhan, berpura-pura menjadi umat pilihan, dan engkau mau mendompleng di rumah Tuhan. Engkau tidak menjalani kehidupan manusia, dan jelas adalah salah satu dari orang tidak percaya. Jika engkau adalah orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, maka meskipun engkau belum memperoleh kebenaran dan hidup, setidaknya engkau akan berdiri di pihak Tuhan dalam berbicara dan bertindak; setidaknya, engkau tidak akan berpangku tangan ketika engkau melihat kepentingan rumah Tuhan dirugikan. Jika engkau merasakan dorongan untuk berpura-pura tidak tahu, engkau akan merasa bersalah dan tidak nyaman, serta akan berkata dalam hatimu, 'Aku tidak boleh diam dan tidak melakukan apa pun, aku harus mengambil sikap dan mengatakan sesuatu, aku harus bertanggung jawab, aku harus menghentikan ini, aku harus menyingkapkan perilaku jahat ini, aku harus menghentikannya sehingga kepentingan rumah Tuhan tidak dirugikan, dan kehidupan bergereja tidak terganggu.' Jika kebenaran telah menjadi hidupmu, engkau tidak hanya akan memiliki keberanian dan tekad ini, juga tidak hanya akan mampu memahami masalah ini sepenuhnya, tetapi engkau juga akan melaksanakan tanggung jawab yang harus kautanggung untuk pekerjaan Tuhan dan untuk kepentingan rumah-Nya, dan dengan demikian tugasmu akan terpenuhi" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). "Di gereja, berdirilah teguh dalam kesaksianmu kepada-Ku, tegakkan kebenaran; benar adalah benar dan salah adalah salah. Jangan mencampuradukkan hitam dan putih. Engkau akan berperang melawan Iblis dan harus sepenuhnya menaklukkannya sehingga Iblis tidak pernah bangkit lagi. Engkau harus mengorbankan segalanya untuk melindungi kesaksian-Ku. Ini akan menjadi tujuan dari tindakanmu—jangan lupakan ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Setelah membaca firman Tuhan, aku sangat tersentuh dan merasa malu sekali. Aku pikirkan kembali perilakuku belakangan itu. Aku orang yang Tuhan singkap: pengkhianat, tidak melindungi pekerjaan gereja, dan meninggalkan kebenaran. Aku tahu Ruthy tidak benar-benar merenung atau bertobat setelah diberhentikan, dia bahkan membenci mereka yang melaporkannya. Aku tahu dia menyebarkan gagasan dan bersikap negatif juga melawan. Dia sudah menyingkapkan natur yang muak dan benci kebenaran; intinya, dia jahat. Jika orang yang mengindahkan kehendak Tuhan dan punya naluri akan kebenaran melihat perilaku seperti ini, mereka akan bertahan melindungi pekerjaan gereja dan menghentikan perbuatan Iblis. Mereka tak akan izinkan kehidupan atau pekerjaan gereja diganggu. Tapi sekalipun tahu secara langsung, aku bimbang, ragu, tak berani menyingkap Ruthy, takut kasih sayang kami rusak. Di saat penting ini, aku tidak memikirkan pekerjaan gereja atau mencari prinsip kebenaran. Aku tetap mengindahkan falsafah Iblis, mengutamakan cinta dan kasih sayang bersamaan dengan Iblis, memihaknya dalam melindungi penjahat. Esensi dari perbuatanku adalah kejahatan. Di hadapan kebenaran, semua tindakanku sungguh tercela. Makin memikirkan firman Tuhan, makin jelas aku melihat masalahku. Aku juga terpikir bagaimana Tuhan memilihku datang ke rumah-Nya, terus membimbing dan menopangku. Dia telah memberiku kesempatan mengejar kebenaran dan diselamatkan, tapi di saat penting ini, akku tak mengindahkan kehendak-Nya dan memilih melindungi Iblis. Aku menipuTuhan dan mengkhianati Dia. Aku sungguh mengecewakan Tuhan! Aku tak boleh lagi mengutamakan perasaanku atau melindungi hubunganku. Tak apa menyinggung perasaan orang; tapi melanggar kebenaran dan menyinggung Tuhan menunjukkan tidak adanya kemanusiaan! Aku ingat firman Tuhan berkata: "Hubunganmu dengan orang lain tidak dibangun di dalam daging, melainkan di atas dasar kasih Tuhan. Hampir tidak ada interaksi daging, tetapi di dalam roh ada persekutuan dan ada saling mengasihi, saling menghibur, dan saling membekali. Semua ini dilakukan di atas dasar hati yang memuaskan Tuhan. Hubungan ini tidak dipertahankan dengan mengandalkan falsafah hidup manusia, tetapi terbentuk secara alami melalui memikul beban bagi Tuhan. Hubungan ini tidak membutuhkan upaya manusia. Engkau hanya perlu melakukan penerapan sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Sangatlah Penting untuk Membangun Hubungan yang Normal dengan Tuhan"). Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa hubungan antarpribadi tak boleh dijalankan dengan falsafah duniawi. Tetapi, manusia harus hidup sesuai firman Tuhan. Saling bersekutu tentang masalah jalan masuk kehidupan, membantu dan mendukung satu sama lain, dapat bersekutu, membantu, mengawasi, dan mengingatkan orang lain saat mereka melanggar prinsip atau salah jalan, dan dapat menyingkap dan menghentikan mereka yang mengganggu pekerjaan gereja—orang harus berinteraksi berdasarkan prinsip-prinsip ini. Menghadapi masalah Ruthy aku mengutamakan perasaan dan kesetiaanku kepadanya. Ini tak logis dan tak sejalan dengan kebenaran. Itu adalah perbuatan orang tak percaya. Aku tak lagi merasakan konflik dan berani menerapkan kebenaran.

Aku lanjut membaca beberapa firman Tuhan yang menyingkap bahaya gagasan budaya tradisional seperti "korbankan dirimu demi teman," dan perasaanku jauh lebih cerah. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Terlahir di negeri yang najis seperti itu, manusia telah dirusak teramat parah oleh masyarakat, dia telah dipengaruhi oleh etika feodal, dan telah diajar di 'institusi pendidikan tinggi.' Pemikiran terbelakang, moralitas yang rusak, pandangan hidup yang jahat, falsafah hidup yang menjijikkan, keberadaan diri yang sepenuhnya tak berguna, dan adat-istiadat serta gaya hidup yang bejat—semua ini telah sedemikian parahnya memasuki hati manusia, dan telah sangat merusak dan menyerang hati nuraninya. Akibatnya, manusia menjadi semakin jauh dari Tuhan, dan semakin menentang-Nya. Watak manusia menjadi lebih jahat hari demi hari, dan tidak seorang pun yang akan rela mengorbankan segalanya untuk Tuhan, tidak seorang pun yang akan rela taat kepada Tuhan, dan terlebih lagi, tidak seorang pun yang akan rela mencari penampakan Tuhan. Sebaliknya, di bawah wilayah kekuasaan Iblis, manusia tidak melakukan apa pun selain mengejar kesenangan, menyerahkan diri mereka pada kerusakan daging dalam kubangan lumpur" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memiliki Watak yang Tidak Berubah Berarti Memusuhi Tuhan"). "Iblis telah mengarang dan menciptakan banyak cerita rakyat atau kisah-kisah yang muncul dalam buku sejarah, membuat orang memiliki kesan mendalam terhadap tokoh-tokoh budaya tradisional atau takhayul. Misalnya, di Tiongkok ada 'Delapan Dewa Menyeberangi Samudra', 'Perjalanan ke Barat', 'Kaisar Langit', 'Nezha Menaklukkan Raja Naga', dan 'Pelantikan Para Dewa'. Bukankah semua ini telah berakar secara mendalam dalam pikiran manusia? Bahkan jika beberapa orang di antaramu tidak mengetahui seluruh rinciannya, engkau masih mengetahui kisahnya secara umum, dan konten secara umum inilah yang melekat dalam hati dan pikiranmu sehingga engkau tidak bisa melupakannya. Ini adalah berbagai gagasan atau legenda yang Iblis persiapkan sejak lama bagi manusia, dan yang telah disebarluaskan pada waktu berbeda. Hal-hal ini secara langsung membahayakan dan mengikis jiwa manusia dan menempatkan orang di bawah mantra demi mantra. Ini berarti, begitu engkau menerima budaya tradisional, kisah, atau hal-hal takhayul seperti ini, begitu hal-hal ini tertanam dalam pikiranmu, dan begitu semua ini melekat dalam hatimu, itu seperti engkau telah dimantrai—engkau menjadi terjerat dan terpengaruh oleh jebakan budaya ini, oleh gagasan dan kisah-kisah tradisional ini. Semua itu memengaruhi kehidupanmu, pandanganmu tentang kehidupan, dan penilaianmu mengenai berbagai hal. Bahkan lebih dari itu, semua itu memengaruhi pengejaranmu akan jalan yang benar dalam kehidupan: ini benar-benar mantra yang jahat. Meski berusaha sekuat tenaga, engkau tak dapat mengenyahkannya; engkau menebangnya, tetapi tak dapat menumbangkannya; engkau memukulnya, tetapi tak dapat merobohkannya. Lebih jauh lagi, setelah orang tanpa sadar berada di bawah mantra semacam ini, mereka tanpa sadar mulai menyembah Iblis, menumbuhkan citra Iblis dalam hati mereka. Dengan kata lain, mereka menetapkan Iblis sebagai berhala mereka, sebagai objek yang mereka sembah dan kagumi, bahkan sampai menganggapnya sebagai Tuhan. Tanpa disadari, hal-hal ini berada dalam hati orang, mengendalikan perkataan dan perbuatan mereka. Selain itu, pada awalnya engkau menganggap kisah-kisah dan legenda ini salah, tetapi kemudian engkau tanpa sadar mengakui keberadaannya, membuatnya menjadi tokoh-tokoh nyata dan mengubah semua itu menjadi objek yang sungguh-sungguh ada dan nyata. Dalam ketidaktahuanmu, engkau tanpa sadar menerima gagasan ini dan keberadaan hal-hal ini. Engkau juga tanpa sadar menerima setan, Iblis, dan berhala ke dalam rumahmu sendiri dan ke dalam hatimu sendiri—ini benar-benar sebuah mantra" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Dengan membaca firman Tuhan aku mengerti bahwa kata-kata yang diwariskan oleh yang konon disebut orang kudus atau orang bijak dan gagasannya disampaikan dalam kisah-kisah klasik yang mempengaruhi generasi turun-temurun semuanya berasal dari Iblis. Iblis menggunakan kata-kata dan gagasan ini untuk mengendalikan manusia. Gagasan ini sudah mengakar dalam hati manusia dan pengaruhnya sungguh besar. Gagasan bahwa orang harus mengorbankan diri demi teman; secara lahiriah dipuji sebagai perbuatan menghargai kesetiaan, seakan membahayakan nyawa demi teman adalah perbuatan terhormat. Begitu orang menerima gagasan seperti ini, mereka harus membantu teman, tak peduli mereka berbuat benar atau salah, bahkan sampai membahayakan nyawa untuk membantu teman. Hal ini tak berprinsip dan tak membedakan benar-salah. Sekalipun teman mereka berbuat salah, mereka harus lindungi, sampai membahayakan nyawa sendiri, dan ini dipandang benar dan setia. Pada kenyataannya, ini hal yang tak masuk akal dan mengandalkan hawa nafsu untuk bertindak. Aku tak lagi berpikir menghargai kesetiaan adalah sesuatu yang luhur. Tetapi, aku merasa orang dengan mental seperti ini patut dikasihani dan menyedihkan. Nyawa mereka tak berharga dan kematian mereka tak berarti. Aku berpikir betapa aku sungguh terluka oleh hal ini. Untuk melindungi perasaan antarpribadi, aku secara sadar tidak menerapkan kebenaran. Bahkan mengira aku setia dan punya kemanusiaan yang bagus. Sungguh bodohnya aku. Gagasan yang dipandang tinggi oleh Iblis ini adalah racun. Mereka membuatku tak tahu benar dan salah, tak dapat membedakan hal-hal yang positif dan negatif. Mereka membuat sempit dan menjerat pikiranku. Mereka mencegahku memiliki hubungan antarpribadi yang wajar. Aku ingat firman Tuhan berkata, "Sumber penyebab watak rusak yang muncul dalam diri manusia adalah tipu daya, perusakan, dan racun Iblis. Manusia telah diikat dan dikendalikan oleh Iblis, dan manusia mengalami kerugian yang mengerikan yang telah Iblis sebabkan pada pemikiran, moralitas, wawasan, dan akalnya. Justru karena semua hal mendasar manusia ini telah dirusak oleh Iblis, dan manusia menjadi sama sekali tidak sama seperti ketika Tuhan menciptakan mereka pada mulanya, maka manusia pun menentang Tuhan dan tidak mampu menerima kebenaran" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memiliki Watak yang Tidak Berubah Berarti Memusuhi Tuhan"). Sebelumnya, aku hanya percaya teori bahwa aku telah sangat dirusak oleh Iblis sehingga kehilangan nilai kemanusiaan, tapi aku sungguh tak paham seperti apa wujud kerusakan manusia itu sendiri. Kini aku sedikit lebih paham. Racun Iblis dan gagasan budaya tradisi sudah menjadi natur manusia. Mereka telah menginjak-injak dan merusak pikiran manusia dan manusia telah kehilangan kemanusiaan dan pemikirannya yang wajar. Semua pemikirannya menentang Tuhan dan melanggar kebenaran. Tanpa kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa dalam pekerjaan penyelamatan-Nya yang mengambil falsafah duniawi, racun Iblis, dan esensi budaya tradisi ini, dan membedahnya satu per satu, bagaimana mungkin aku bisa memahami hal-hal ini? Aku hanya akan makin dirusak dan dirugikan oleh Iblis. Aku lebih merasakankan lagi bahwa firman Tuhan saja yang adalah kebenaran, dan hanya firman Tuhan yang dapat mengubah dan menyelamatkan manusia. Firman Tuhan sungguh berharga. Budaya tradisi dan falsafah Iblis merusak dan membahayakan manusia. Hanya dengan mencari kebenaran dalam firman Tuhan, dan melihat segala sesuatu dan bertindak sesuai firman Tuhan akal dan kemanusiaan seseorang dapat menjadi makin wajar.

Beberapa hari kemudian, pemimpin mengundang Ruthy. Aku utarakan semua permasalahan yang kulihat padanya tanpa keraguan. Aku merasa tenang saat menyingkap dia. Aku tahu perbuatan ini sejalan dengan kebenaran dan prinsip, dan apa pun pendapatnya tentangku setelahnya, atau jika dia tak mau melihatku lagi, karena menerapkan kebenaran, aku merasa tenang dan tak akan menyesali perbuatanku.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait