Aku Menemukan Kehidupan yang Benar-Benar Bahagia
Oleh Saudari Elizabeth, RusiaAku dibesarkan di keluarga pedesaan biasa. Meskipun kami sama sekali tidak berkecukupan, aku tetap sangat...
Kami menyambut semua pencari yang merindukan penampakan Tuhan!
Pada tahun 2012, aku dan istriku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman. Kami sering berkumpul dan membaca firman Tuhan bersama, dan setiap hari terasa bahagia dan memuaskan. Dua tahun kemudian, aku terpilih sebagai pemimpin gereja. Karena aku sibuk dengan tugasku dan sedikit waktu di rumah, istriku menjadi agak tidak puas, mengatakan bahwa aku tidak mengurus keluarga dan tidak peduli padanya. Meskipun tahu bahwa melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan itu sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, aku juga merasa apa yang dikatakan istriku masuk akal, bahwa aku juga harus memenuhi tanggung jawabku sebagai suami dan merawat istri serta anakku dengan baik agar kami dapat memiliki pernikahan yang bahagia dan keluarga yang sempurna. Jadi, ketika aku di rumah, aku berusaha keras melakukan hal itu. Terkadang aku tidak bisa merawat istriku karena tugasku terlalu padat, dan setelahnya, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menebusnya. Aku sering memasak makanan enak untuk istriku, karena aku takut ketidakpuasannya akan memengaruhi hubungan kami. Kemudian, aku menjadi pemberita Injil, dan waktu untuk bersama istriku di rumah menjadi makin sedikit. Terkadang, aku pergi selama beberapa hari berturut-turut karena padatnya tugasku, dan istriku akan mengeluhkanku. Meskipun aku tidak menunda tugasku karena ini, dalam hatiku, aku selalu merasa bersalah terhadap istriku. Jadi sebelum pergi, aku akan menyiapkan makanan untuknya lebih awal, dan ketika pulang, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi permintaannya atau membawanya keluar. Aku pikir dengan cara ini, aku bisa menjadi suami yang baik dan pernikahan kami akan bahagia.
Kemudian, istriku menjadi sepenuhnya berfokus pada mengejar uang dan kesenangan jasmani, dan dia menghabiskan hari-harinya dengan bermalas-malasan, makan, minum, dan bersenang-senang dengan teman-teman. Dia bukan hanya mengabaikan keluarga, tetapi juga sering pergi ke bar. Saat melihat istriku makin lama makin bejat, aku mulai khawatir, "Dia menghabiskan begitu banyak waktu dengan orang-orang ini. Bagaimana jika dia tidak bisa menahan godaan dan mengkhianati aku? Bukankah keluarga yang telah kubangun dengan susah payah akan hancur?" Aku sering berbicara dari hati ke hati dengan istriku dan membacakan firman Tuhan kepadanya, berharap dia akan menjauhi tempat-tempat bermasalah itu. Istriku akan berkata setuju, tetapi kemudian tidak berubah sama sekali. Lambat laun, aku dan istriku makin jarang mengobrol, dan ketika dia pulang, dia akan mengabaikanku. Aku sering khawatir, "Apakah istriku sudah mengkhianati aku?" Khususnya, ketika setiap hari aku pulang dan melihat rumah dalam keadaan kosong, aku selalu merasakan kesepian di hatiku. Aku berpikir bahwa ikatan antara aku dan istriku, yang dibangun selama bertahun-tahun, akan segera putus, dan hatiku dipenuhi dengan rasa sakit dan penderitaan. Tepat ketika aku sangat terperangkap dalam penderitaan, tidak dapat melepaskan diri, suatu hari di bulan Agustus 2020, aku menerima surat dari pemimpin, mengatakan bahwa rekanku, Saudara Wang Qiang, telah ditangkap oleh polisi, bahwa polisi sedang memeriksa rekaman pengawasan, dan bahwa aku harus segera meninggalkan rumah lalu bersembunyi. Ketika dihadapkan pada berita mendadak ini, aku awalnya tidak tahu harus berbuat apa. Aku bayangkan jika pergi, aku tidak akan dapat merawat istri dan anakku lagi, dan bahwa keluarga bisa berantakan. Ini membuat hatiku sangat pedih. Namun jika tidak pergi, aku akan menghadapi penangkapan dan penyiksaan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dua bulan kemudian, aku menerima surat dari keluargaku, mengabarkan bahwa beberapa hari lalu, tujuh petugas polisi telah menggerebek rumahku untuk menangkapku, dan karena mereka tidak menemukanku, mereka menangkap kakak perempuan istriku. Dengan mempertimbangkan keselamatanku, aku harus pergi ke tempat lain untuk bersembunyi dan melaksanakan tugasku.
Suatu hari di bulan Juli 2023, aku menerima surat dari rumah, mengabarkan bahwa karena istriku merasa aku sudah pergi selama tiga tahun, dia berencana untuk mengajukan gugatan cerai dan menikah dengan orang lain. Meskipun sudah berkali-kali aku merasa istriku mungkin tidak akan menungguku lagi, ketika benar-benar menghadapi situasi ini, aku masih tidak punya banyak keberanian. Aku berpikir, "Setelah pernikahan kami bubar, bukankah rumah tangga yang telah kubangun dengan susah payah selama bertahun-tahun ini akan lenyap? Aku sudah menikah dengan istriku selama sebelas tahun, dan kami memiliki seorang putri yang cantik. Kami telah menjalani begitu banyak masa bahagia dan menyenangkan bersama, tetapi jika kami bercerai, bagaimana aku akan menjalani hidupku seorang diri?" Malam itu, aku berbaring di tempat tidur tidak bisa tidur, dan ketika membayangkan bagaimana anakku nantinya juga akan menderita, hatiku dipenuhi dengan rasa sakit dan penderitaan, dan muncul pikiran untuk pulang demi menyelamatkan pernikahanku. Namun, aku sedang diburu oleh polisi, dan selama dua tahun terakhir, polisi telah datang untuk mengintai rumahku beberapa kali, dan ponsel istriku juga sedang dipantau oleh polisi. Jika aku gegabah pulang, bukan hanya aku akan ditangkap, tetapi juga akan menyebabkan masalah bagi gereja. Terlebih lagi, aku sedang melaksanakan tugasku, jadi jika aku pergi begitu saja, aku akan meninggalkan tugas dan mengkhianati Tuhan. Atas pertimbangan nalar, aku tahu aku tidak bisa pulang, tetapi tidak pulang berarti bubarnya pernikahanku. Dalam kepedihanku, aku menulis surat kepada istriku memintanya untuk tetap bersama, berharap dia bisa memahami kesulitanku. Bahkan setelah menulis surat itu, aku tahu bahwa mungkin kata-kata tulusku tidak akan berpengaruh pada istriku. Aku merasakan sakit yang luar biasa di hatiku, jadi aku datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa.
Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Jangan pernah kaulupakan bahwa engkau adalah makhluk ciptaan, bahwa Tuhanlah yang telah menuntunmu menjalani hidup hingga saat ini, bahwa Tuhanlah yang telah memberikan pernikahan kepadamu, yang telah memberimu keluarga, dan bahwa Tuhanlah yang telah memberimu tanggung jawab yang harus kaupenuhi dalam kerangka pernikahan, dan bahwa bukan engkau yang memilih pernikahan, bukan berarti engkau bisa tiba-tiba menikah, atau bahwa engkau mampu mempertahankan kebahagiaan pernikahanmu dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu sendiri. Sekarang, sudahkah Aku menjelaskan hal ini dengan gamblang? (Ya.) Apakah engkau mengerti apa yang harus kaulakukan? Apakah sekarang jalannya sudah jelas bagimu? (Ya.) Jika tidak ada konflik atau pertentangan antara tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi dalam pernikahan dan tugas serta misimu sebagai makhluk ciptaan, maka dalam keadaan seperti itu, bagaimanapun caranya, engkau harus memenuhi tanggung jawabmu dalam kerangka pernikahan, dan engkau harus memenuhi tanggung jawabmu dengan baik, memikul tanggung jawab yang seharusnya kaupikul, dan tidak berusaha melalaikannya. Engkau harus bertanggung jawab terhadap pasanganmu, dan engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan pasanganmu, perasaannya, dan segala sesuatu tentangnya. Namun, jika ada pertentangan antara tanggung jawab dan kewajiban yang kaupikul dalam kerangka pernikahan dengan misi dan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, maka yang harus kaulepaskan bukanlah tugas atau misimu, melainkan tanggung jawabmu dalam kerangka pernikahan. Inilah yang Tuhan harapkan darimu, ini adalah amanat Tuhan untukmu dan, tentu saja, inilah yang Tuhan tuntut dari setiap laki-laki dan perempuan. Hanya jika engkau mampu melakukan hal ini, barulah engkau akan mengejar kebenaran dan mengikuti Tuhan. Jika engkau tidak mampu melakukan hal ini dan tidak mampu melakukan penerapan dengan cara seperti ini, maka engkau hanyalah orang yang percaya di bibir saja, engkau tidak mengikuti Tuhan dengan hati yang tulus, dan engkau bukanlah orang yang mengejar kebenaran. ... Ada orang-orang yang berpikir, 'Oh, bagaimana pasanganku bisa hidup tanpaku? Bukankah pernikahan kami akan hancur jika aku tidak berada di sana? Akankah pernikahan kami berakhir? Apa yang akan kulakukan di masa depan?' Haruskah engkau memikirkan tentang masa depan? Apa yang harus paling kaupikirkan? Jika engkau ingin menjadi orang yang mengejar kebenaran, maka hal yang harus paling kaupikirkan adalah bagaimana melepaskan apa yang Tuhan minta untuk kaulepaskan dan bagaimana mencapai apa yang Tuhan minta untuk kaucapai. Jika kelak engkau tidak menikah dan tidak memiliki pasangan di sisimu, di masa yang akan datang, engkau tetap dapat hidup hingga usia tua dan tetap menjalani hidup dengan baik. Namun, jika engkau melepaskan kesempatan ini, itu sama saja dengan melepaskan tugasmu dan misi yang Tuhan percayakan kepadamu. Bagi Tuhan, itu berarti engkau bukan orang yang mengejar kebenaran, bukan orang yang benar-benar menginginkan Tuhan, ataupun orang yang mengejar keselamatan. Jika engkau secara aktif ingin melepaskan kesempatan dan hakmu untuk memperoleh keselamatan dan misimu dan engkau malah memilih pernikahan, engkau memutuskan untuk tetap bersatu sebagai suami dan istri, engkau memutuskan untuk mendampingi dan memuaskan pasanganmu, dan engkau memilih untuk menjaga pernikahanmu tetap utuh, kemudian pada akhirnya engkau akan mendapatkan beberapa hal dan kehilangan beberapa hal. Engkau mengerti apa yang akan hilang darimu, bukan?" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (10)"). "Tuhan telah memberimu kehidupan yang stabil dan pasangan hidup hanya agar engkau dapat hidup lebih baik dan memiliki seseorang untuk menjagamu, memiliki seseorang di sisimu, bukan agar engkau dapat melupakan Tuhan dan melupakan firman-Nya atau meninggalkan kewajibanmu untuk melaksanakan tugasmu dan meninggalkan tujuan hidupmu untuk mengejar keselamatan setelah engkau memiliki pasangan, dan kemudian hidup bagi pasanganmu. Jika engkau benar-benar bertindak seperti ini, jika engkau benar-benar hidup dengan cara seperti ini, Kuharap engkau akan mengubah arah sesegera mungkin. Sepenting apa pun seseorang bagimu, atau sepenting apa pun dia bagi hidupmu, penghidupanmu, atau jalan hidupmu, dia bukanlah tempat tujuanmu karena dia hanyalah manusia yang rusak. Tuhan telah mengatur pasanganmu yang sekarang untukmu, dan engkau dapat hidup bersama dengannya. Jika Tuhan mengubah suasana hati-Nya dan mengatur orang lain untukmu, engkau tetap bisa menjalani hidup dengan baik. Jadi, pasanganmu saat ini bukanlah satu-satunya milikmu, juga bukan tempat tujuanmu. Hanya Tuhanlah yang kepada-Nya kaupercayakan tempat tujuanmu, dan hanya Tuhanlah yang kepada-Nya tempat tujuan manusia dipercayakan. Engkau tetap mampu bertahan dan hidup jika engkau meninggalkan orang tuamu, dan tentu saja engkau tetap mampu menjalani hidup dengan baik jika engkau meninggalkan pasanganmu. Orang tuamu bukanlah tempat tujuanmu, demikian pula pasanganmu. Hanya karena engkau memiliki pasangan, seseorang yang kepadanya kaupercayakan roh, jiwa, dan tubuhmu, engkau tidak boleh melupakan hal terpenting dalam hidup. Jika engkau melupakan Tuhan, melupakan apa yang telah Dia percayakan kepadamu, melupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh makhluk ciptaan, dan melupakan identitasmu, maka engkau akan sepenuhnya kehilangan hati nurani dan nalar" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa pernikahan, keluarga, dan anak-anak, semuanya adalah karunia dari Tuhan, dan bahwa Tuhan memberikan ini kepada manusia agar mereka tidak merasa kesepian, juga supaya suami istri dapat saling merawat dan menemani agar kehidupannya lebih baik, tetapi bukan agar manusia memperlakukan pasangan mereka sebagai tempat tujuan hidup mereka, atau memperlakukan rumah tangga dengan cara merawatnya sebagai tujuan hidupnya. Pemikiran dan pandangan ini salah. Namun, aku tidak memahami kebenaran, dan menganggap bahwa pasangan hidupku adalah tempat tujuanku, dan tujuan hidup yang harus kukejar adalah pernikahan yang bahagia. Karena aku kekurangan kasih sayang orang tua dan kehangatan keluarga ketika aku masih kecil, ketika aku dewasa, aku mendambakan kehangatan dan kebahagiaan keluarga. Setelah menikahi istriku, aku merasakan kasih sayang istriku kepadaku dan merasakan kebahagiaan serta sukacita dari anakku, dan aku menjadi makin yakin bahwa memiliki keluarga yang sempurna adalah hal yang luar biasa. Jadi, ketika aku mendengar bahwa istriku ingin mengajukan gugatan cerai, hatiku hancur, dan aku merasa seolah-olah tidak bisa melanjutkan hidup tanpa pernikahan dan keluargaku. Aku bahkan berpikir untuk meninggalkan tugasku demi menyelamatkan pernikahanku. Baru saat itulah aku menyadari bahwa di dalam hati, aku lebih mementingkan pernikahan daripada Tuhan. Kenyataannya, Tuhan telah memberiku sebuah pernikahan dan keluarga, aku juga memiliki tanggung jawab dalam keluarga, tetapi maksud Tuhan bukanlah agar aku meninggalkan tugasku setelah menikah. Tidak peduli sampai kapan pun, aku harus mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan—inilah yang harus kulakukan, dan inilah yang terpenting. Aku teringat betapa banyak misionaris Barat, yang demi menyebarluaskan Injil Tuhan, secara aktif melepaskan pernikahan, pekerjaan, dan kehidupan mereka yang nyaman, dan melakukan perjalanan ribuan kilometer ke Tiongkok untuk memberitakan Injil, dan bagaimana karena mereka, Injil Tuhan Yesus menyebar di Tiongkok. Namun, apa yang telah kulakukan untuk Tuhan? Ketika istriku mengatakan dia ingin bercerai, yang pertama kali kupikirkan pertamaku adalah setelah bercerai, tanpa adanya keluarga, anakku akan menderita, aku tidak akan lagi menikmati kehangatan dan kebahagiaan dari sebuah keluarga, dan aku harus hidup sendiri di masa mendatang. Hatiku dipenuhi dengan rasa sakit dan kesedihan, dan aku terpikir untuk meninggalkan tugasku untuk pulang lalu menyelamatkan pernikahanku. Aku sadar bahwa semua yang kupikirkan hanyalah kepentingan pribadiku sendiri, dan aku sama sekali tidak memperhatikan maksud Tuhan. Dibandingkan dengan para misionaris Barat itu, aku benar-benar tidak memiliki hati nurani dan egois, dan tidak layak menerima semua bimbingan serta pemeliharaan Tuhan yang kudapatkan selama bertahun-tahun ini. Saat menyadari ini, aku merasa bersalah, dan tidak seharusnya aku merasa khawatir atau gelisah tentang hidup sendirian di masa mendatang. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana melaksanakan tugasku dengan baik. Kemudian aku memusatkan perhatian pada tugasku.
Pada pertengahan bulan Agustus 2023, ibu mertuaku menyuratiku, dia berkata saudara iparku sudah bertanya kepada seseorang di biro kehakiman dan tidak dapat menemukan informasi apa pun bahwa aku ada di daftar pencarian orang, dan asalkan aku meninggalkan daerah tempat tinggalku, aku tidak akan berada dalam bahaya besar, dan dia bertanya apakah aku bersedia pergi ke tempatnya. Saat itu, dia berada di provinsi lain, dan istriku juga ada di sana. Aku berpikir, "Karena aku tidak dicari polisi, dan akan baik-baik saja asalkan pindah ke tempat lain, dapatkah aku kembali kepada istri dan anakku? Dengan demikian, rumah tanggaku tidak akan bubar, dan anakku akan dapat menikmati kehangatan keluarga." Aku tiba-tiba teringat bahwa aku telah berdoa kepada Tuhan akan menjunjung tinggi tugasku. Namun karena perkembangan ini, aku ingin meninggalkan tugasku lalu pulang demi menyelamatkan pernikahanku. Melakukan hal itu berarti menipu Tuhan. Pada saat yang sama, dalam hati aku menyadari bahwa ada maksud baik Tuhan di balik surat ibu mertuaku yang kuterima hari itu, dan ini adalah ujian bagiku, untuk melihat apa yang akan kupilih. Aku harus memilih untuk memuaskan Tuhan dan mengutamakan tugas-tugasku, dan tidak boleh menjadi bahan tertawaan bagi Iblis. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku merasa lemah dalam situasi ini, dan aku ingin pulang untuk menyelamatkan pernikahanku, tetapi aku tahu, aku tidak bisa meninggalkan tugasku, apalagi mengkhianati-Mu. Tuhan, tolong bimbing aku untuk tetap teguh dalam kesaksianku."
Kemudian, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Manusia hidup dalam dunia materi. Engkau mungkin mengikuti Tuhan, tetapi engkau tidak pernah melihat atau menghargai bagaimana Tuhan menyediakan bagimu, mengasihimu, dan memperhatikanmu. Jadi, apa yang engkau lihat? Engkau melihat saudara sedarahmu yang mengasihi atau menyayangimu. Engkau melihat hal-hal yang bermanfaat bagi dagingmu, engkau memedulikan orang-orang dan hal-hal yang engkau kasihi. Inilah yang disebut 'ketidakegoisan' manusia. Namun, orang-orang yang 'tidak egois' semacam itu, tidak pernah peduli tentang Tuhan yang memberi kehidupan kepada mereka. Berbeda dengan Tuhan, ketidakegoisan manusia menjadi egois dan tercela. Ketidakegoisan yang manusia percayai adalah kosong dan tidak realistis, tercemar, tidak sesuai dengan Tuhan, dan tidak berhubungan dengan Tuhan. Ketidakegoisan manusia adalah untuk dirinya sendiri, sementara ketidakegoisan Tuhan adalah penyingkapan sejati dari esensi-Nya. Justru karena ketidakegoisan Tuhan-lah manusia terus menerima penyediaan tetap dari-Nya. Engkau semua mungkin tidak terlalu terpengaruh oleh topik yang Aku bahas pada hari ini dan sekadar mengangguk setuju, tetapi ketika engkau mencoba untuk menghargai hati Tuhan dalam hatimu, tanpa disadari engkau akan menemukan bahwa di antara semua orang, semua masalah, dan semua hal yang dapat engkau rasakan di dunia ini, hanya ketidakegoisan Tuhan-lah yang nyata dan konkret, karena hanya kasih Tuhan kepadamu yang tidak bersyarat dan tidak bercacat cela. Selain Tuhan, ketidakegoisan orang lain, semuanya palsu, dangkal, dan tidak asli, memiliki tujuan, niat tertentu, mengandung kompromi, dan tidak dapat bertahan dalam ujian. Engkau bahkan bisa mengatakan bahwa ketidakegoisan itu kotor dan hina. Apakah engkau semua setuju dengan perkataan-perkataan ini?" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri I"). Setiap kalimat firman Tuhan menusuk hatiku, terutama firman Tuhan ini: "Manusia hidup dalam dunia materi. Engkau mungkin mengikuti Tuhan, tetapi engkau tidak pernah melihat atau menghargai bagaimana Tuhan menyediakan bagimu, mengasihimu, dan memperhatikanmu. Jadi, apa yang engkau lihat? Engkau melihat saudara sedarahmu yang mengasihi ... engkau memedulikan orang-orang dan hal-hal yang engkau kasihi." Apa yang Tuhan firmankan adalah kebenaran. Sejak aku diburu oleh pasukan polisi PKT, saudara-saudari telah menerimaku, dan bahkan dengan risiko bahaya, mereka mengatur untuk memindahkanku dengan mobil ke tempat lain. Ini semua adalah kasih Tuhan. Khususnya ketika aku baru saja meninggalkan rumah, aku sering memikirkan istri dan anakku, dan hatiku dipenuhi dengan rasa sakit dan kelemahan. Firman Tuhanlah yang terus-menerus menyirami dan mencerahkanku, memungkinkanku untuk memahami kebenaran dan memiliki iman untuk terus berjalan. Selama beberapa tahun terakhir saat melaksanakan tugasku, Tuhan juga mengatur berbagai orang, peristiwa, dan hal-hal bagiku, memungkinkanku untuk mengalami firman Tuhan, dan menebus kekuranganku. Aku telah menerima begitu banyak dari Tuhan. Namun, ketika menerima surat dari rumah yang mengatakan bahwa aku tidak dicari dan bahwa tidak akan terlalu berbahaya bagiku untuk pergi ke tempat lain, hal pertama yang kupikirkan adalah istri dan putriku, dan aku berpikir bahwa selama aku kembali kepada istriku, aku bisa menyelamatkan pernikahan kami. Jadi aku tidak bisa menahan rasa gembiraku, dan ingin segera kembali ke keluargaku. Ini membuktikan bahwa aku mengasihi istri dan putriku, dan bahwa tidak ada tempat bagi Tuhan di hatiku. Ketika memikirkan betapa besarnya kasih Tuhan bagiku, dan betapa aku hampir tidak memberikan apa pun kepada Tuhan sebagai balasan, aku merasa sangat bersalah dan menyesal di dalam hatiku. Rasa berutang budi menyebabkan aku menangis tak terkendali, dan aku membenci diriku sendiri karena begitu egois dan tidak memiliki kemanusiaan. Kasih Tuhan bagi umat manusia itu tulus, tanpa pamrih, dan kudus, tanpa cela atau meminta imbalan apa pun. Namun, kasih manusia itu selalu transaksional dan tidak murni, serta penuh kepura-puraan, dan kita bisa menggambarkannya sebagai egois. Sama seperti ketika aku ingin pulang untuk menyelamatkan pernikahanku, ada niat pribadi di balik ini. Aku khawatir akan hidup kesepian setelah pernikahanku kandas, dan bahwa aku tidak akan pernah lagi menikmati kehangatan serta sukacita yang diberikan keluarga kepadaku. Itulah sebabnya aku terus ingin kembali dan menyelamatkan pernikahanku. Istriku ingin bercerai juga didasari kepedulian akan masa depannya. Ketika aku di rumah, istriku sering berkata, "Jika bukan karena kau perhatian padaku dan memperlakukanku dengan baik, aku pasti sudah meninggalkanmu sejak lama." Ini telah menjadi kenyataan. Karena aku tidak selalu bisa berada di sisinya, dia akhirnya akan meninggalkanku. Cinta istriku padaku tidak pernah nyata. Cintanya bersyarat. Pada saat yang sama, aku juga berpikir, "Istriku tidak mengejar kebenaran dan malah berfokus pada tren duniawi dan kekayaan. Dia sering berbicara negatif di depanku, menghalangiku, dan meminta kesenangan materi padaku. Sebenarnya, istriku adalah pengikut yang bukan orang percaya. Dia mengejar kekayaan dan kesenangan serta menempuh jalan duniawi. Sementara itu, aku ingin mengikut Tuhan dan menempuh jalan pengejaran kebenaran. Kami ditakdirkan tidak cocok, dan jika kami memaksakan diri untuk bersama, bukan hanya tidak akan ada kebahagiaan, melainkan juga akan memberikan penderitaan tanpa akhir bagiku." Masih jelas teringat perdebatan dan pertengkaran dengan istriku sebelum aku meninggalkan rumah. Jika aku memilih untuk pulang, pernikahan kami mungkin akan terselamatkan, tetapi aku akan berakhir sama seperti tiga tahun sebelumnya, terperangkap dalam perasaan-perasaan daging, tanpa berpikir untuk mengejar kebenaran atau melaksanakan tugasku, apalagi diselamatkan. Selain itu, aku selalu khawatir tentang bagaimana putriku akan terluka oleh perceraian, atau bagaimana dia akan menderita lebih banyak kesulitan di masa mendatang. Namun, sebenarnya, hal-hal ini bukan aku yang menentukan, karena orang tua hanya dapat menawarkan bantuan dan perhatian kepada anak-anaknya secara jasmani dan materi, tetapi bagaimana jadinya hidup seorang anak, penderitaan apa yang akan mereka alami, dan berkat apa yang akan mereka terima, telah ditetapkan dan diatur oleh Tuhan. Aku selalu khawatir anakku akan menderita setelah perceraian, dan ini adalah tanda kurangnya imanku pada kedaulatan Tuhan. Aku bersedia menyerahkan putriku ke tangan Tuhan. Kemudian, aku mendengar dari ibu mertuaku bahwa putriku baik-baik saja, dan bahwa dia telah belajar lebih dari selusin lagu pujian dan bisa menari untuk memuji Tuhan. Aku menyadari bahwa kekhawatiranku tidak beralasan. Aku berdoa kepada Tuhan, berjanji bahwa aku tidak akan terkekang oleh pernikahanku, dan akan mengejar kebenaran serta melaksanakan tugasku dengan benar. Pada bulan Oktober 2023, aku mengetahui bahwa istriku telah digolongkan pengikut yang bukan orang percaya dan dikeluarkan dari gereja, tetapi aku merasa cukup tenang, dan aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah menjagaku dari meninggalkan tugasku karena dia.
Setelah itu, mau tak mau aku pun merenung, "Mengapa aku selalu menjadikan pernikahan dan keluarga bahagia sebagai tujuan hidupku, dan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan hal-hal ini? Apa akar masalah ini?" Aku memperoleh beberapa pemahaman setelah membaca satu bagian dari firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Pengaruh berbahaya 'semangat luhur nasionalisme' selama ribuan tahun telah berakar kuat dalam hati manusia, demikian juga pemikiran feodal yang mengikat dan membelenggu manusia, tanpa sedikit pun kebebasan, tanpa kemauan untuk bercita-cita atau bertahan, tanpa hasrat untuk maju, malah sebaliknya, tetap negatif dan mundur, terkurung dalam mentalitas budak, dan seterusnya—faktor-faktor objektif ini telah membubuhkan suatu corak tak terhapuskan yang kotor dan buruk pada pandangan ideologis, cita-cita, moralitas, dan watak manusia. Manusia, sepertinya, sedang hidup dalam dunia gelap terorisme, di mana tak seorang pun di antara mereka berusaha untuk menerobos, dan tak seorang pun di antara mereka berpikir untuk berpindah ke dunia yang ideal; sebaliknya, mereka puas dengan keadaan mereka, menghabiskan hari-hari mereka dengan melahirkan dan membesarkan anak, membanting tulang, berpeluh, sibuk melakukan tugas rumah tangga, memimpikan keluarga yang nyaman dan bahagia, dan memimpikan kasih sayang dalam pernikahan, anak-anak yang berbakti, dan sukacita di usia senja saat mereka menjalani kehidupan mereka dengan damai .... Selama puluhan, ribuan, bahkan puluhan ribu tahun hingga saat ini, orang telah menghabiskan waktu mereka dengan cara ini, tanpa ada yang menciptakan kehidupan yang sempurna, semuanya hanya bertujuan saling membantai di dunia yang gelap ini, berlomba-lomba mengejar ketenaran, keberuntungan, dan saling menjatuhkan. Siapakah yang pernah mencari maksud-maksud Tuhan? Adakah yang pernah mengindahkan pekerjaan Tuhan? Semua bagian dari manusia yang dipenuhi dengan pengaruh kegelapan telah lama menjadi natur manusia, sehingga cukup sulit untuk melaksanakan pekerjaan Tuhan, dan orang-orang bahkan kurang punya hati untuk memperhatikan apa yang telah dipercayakan Tuhan kepada mereka pada zaman sekarang" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (3)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa aku telah dipengaruhi oleh racun budaya tradisional yang ditanamkan oleh Iblis, dengan gagasan seperti cinta kasih suami dan istri, pernikahan yang bahagia, keluarga yang harmonis, dan memiliki anak menjadi tujuan yang kukejar, tanpa mengetahui mengapa manusia hidup atau cara menjalani hidup yang bermakna dan bernilai. Aku ingat ketika masih muda, karena orang tuaku tidak memberiku lingkungan keluarga yang hangat, aku merasa itu menyedihkan, dan menganggap kebersamaan keluarga sebagai simbol kebahagiaan. Setelah menikah, aku menikmati perhatian dan kepedulian istriku, serta kebahagiaan yang dibawa oleh rumah tangga dan putriku, jadi aku ingin mencurahkan seluruh hidupku untuk melestarikan kebahagiaan pernikahanku. Setelah menemukan Tuhan, aku melaksanakan tugasku jauh dari rumah, tetapi hatiku ada di rumah, dan aku merindukan segera pulang untuk bersatu kembali dengan istri dan anakku, lalu melaksanakan tugasku dengan seenaknya saja. Terkadang, aku sangat sibuk dengan tugasku sehingga mengabaikan istriku, dan kemudian ketika pulang, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menebusnya, entah apa pun yang istriku ingin makan, beli, atau datangi, bahkan jika permintaannya tidak masuk akal, aku berusaha sebaik mungkin untuk memenuhinya. Aku mencoba segala macam cara untuk menyenangkannya. Meskipun terkadang aku menderita, aku takut jika tidak memuaskannya itu akan memengaruhi pernikahan kami. Kemudian, ketika aku menjadi pemberita Injil, aku menjadi lebih sibuk, dan istriku menjadi tidak puas denganku, dia juga sering bertengkar denganku. Aku mencoba mencari cara untuk menghiburnya sebelum kembali ke tugasku, menganggap bahwa asalkan aku bisa mempertahankan pernikahan kami, sekalipun aku harus menanggung beberapa kesulitan, itu adalah hal yang sepadan. Kemudian, karena penangkapan polisi, aku tidak bisa pulang selama tiga tahun, dan istriku ingin mengajukan gugatan cerai, dan aku khawatir bahwa jika kami bercerai, rumah tangga yang telah kubangun dengan susah payah akan hilang, jadi aku ingin pulang untuk menyelamatkan pernikahanku. Aku bahkan beberapa kali hampir meninggalkan tugasku dan mengkhianati Tuhan. Ketika kuingat-ingat lagi, aku memang benar-benar dalam bahaya. Sekarang aku akhirnya bisa melihat dengan jelas bahwa gagasan dan pandangan tentang pernikahan yang bahagia dan keluarga yang harmonis telah mengikatku, membuatku memandang pernikahan dan keluarga lebih penting daripada tugas sebagai makhluk ciptaan, yang menyebabkan aku tidak masuk ke dalam banyak kenyataan kebenaran dalam tujuh atau delapan tahun kepercayaanku kepada Tuhan, dan membuang banyak waktu. Dahulu, seberapa pun sibuknya tugasku, atau seberapa pun larutnya aku mengerjakannya, aku akan menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan mencoba segala cara yang mungkin untuk menyenangkan istriku, dengan maksud berusaha menyelamatkan pernikahanku, tetapi pada akhirnya, istriku tetap meninggalkanku. Kebaikan istriku kepadaku sepenuhnya karena usaha yang kucurahkan dan harga yang kubayar untuknya, juga karena aku bahkan sampai merendahkan integritas dan martabatku demi menyenangkannya. Namun sekarang, karena istriku tidak bisa menikmati kebaikan yang kutunjukkan padanya, dia menjadi ingin bercerai agar bisa menemukan orang lain. Pernikahan kami sepenuhnya transaksional. Ketika ada sesuatu yang bisa didapatkan, ada kasih sayang dan hal-hal manis di antara kami, tetapi ketika tidak ada lagi nilai yang bisa dieksploitasi, aku disingkirkan. Di mana kebahagiaan dalam hal ini? Saat mengingat kembali hal-hal ini, aku menyadari bahwa semua kerja keras dan pengorbananku selama bertahun-tahun tidak dapat memberiku kasih sayang sejati atau kebahagiaan, malah sebagai balasannya, aku hanya mendapatkan sakit hati dan penderitaan. Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa gagasan kasih sayang suami dan istri serta pernikahan yang bahagia hanyalah peluru berlapis gula yang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia, yang tidak lain hanyalah kebohongan dan penipuan. Harga yang kubayar selama bertahun-tahun mengejar kebahagiaan pernikahan begitu besar dan sama sekali tidak sepadan! Aku percaya kepada Tuhan tetapi tidak mengejar kebenaran, dan sebaliknya, aku hanya mencari kebahagiaan pernikahan. Dalam hal ini, aku jatuh ke dalam tipu daya Iblis. Aku menghabiskan seluruh waktu dan energiku untuk mencoba menyenangkan istriku serta mempertahankan pernikahan kami, yang menyebabkan aku tidak mendapatkan kebenaran yang seharusnya kudapatkan, juga tidak melaksanakan tugasku dengan baik. Ini bukan hanya menunda pertumbuhan kehidupanku tetapi juga mengecewakan harapan Tuhan. Aku benar-benar bodoh!
Kemudian, aku membaca firman Tuhan, dan aku mulai memperoleh beberapa pemahaman tentang apa yang seharusnya manusia kejar dalam hidup. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau adalah makhluk ciptaan—engkau tentu saja harus menyembah Tuhan dan mengejar kehidupan yang bermakna. Jika engkau tidak menyembah Tuhan tetapi hidup dalam dagingmu yang kotor, lalu bukankah engkau hanyalah binatang buas yang mengenakan pakaian manusia? Karena engkau adalah manusia, engkau harus mengorbankan dirimu bagi Tuhan dan menanggung semua penderitaan! Engkau harus dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu menerima sedikit penderitaan yang engkau alami sekarang dan menjalani kehidupan yang bermakna, seperti Ayub dan Petrus" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (2)"). "Manusia harus berupaya hidup dalam kehidupan yang bermakna dan tidak boleh puas dengan keadaannya saat ini. Untuk hidup dalam citra Petrus, ia harus memiliki pemahaman dan pengalaman Petrus. Manusia harus mengejar hal-hal yang lebih tinggi dan lebih mendalam. Ia harus mengejar kasih kepada Tuhan yang lebih dalam dan lebih murni, dan kehidupan yang memiliki nilai dan makna. Hanya inilah sesungguhnya kehidupan; hanya dengan demikian manusia akan sama seperti Petrus. Engkau harus berfokus untuk secara proaktif memasuki sisi positif dan engkau tidak boleh pasif dan membiarkan dirimu kembali mundur demi kenyamanan sesaat sembari mengabaikan kebenaran yang lebih mendalam, lebih terperinci, dan lebih nyata. Engkau harus memiliki kasih yang nyata, dan engkau harus menemukan segala cara yang mungkin untuk membebaskan dirimu dari kehidupan yang bejat dan tanpa beban ini, yang tidak ada bedanya dengan kehidupan binatang. Engkau harus hidup dalam kehidupan yang bermakna, kehidupan yang bernilai, dan engkau tidak boleh membodohi dirimu sendiri, atau memperlakukan hidupmu seperti mainan untuk dipermainkan. Bagi semua orang yang memiliki tekad dan yang mengasihi Tuhan, tidak ada kebenaran yang tidak dapat dicapai, dan tidak ada keadilan yang tidak dapat mereka tegakkan. Bagaimana seharusnya engkau menjalani hidupmu? Bagaimana seharusnya engkau mengasihi Tuhan, dan mencurahkan kasih ini untuk memuaskan maksud-Nya? Tidak ada hal yang lebih besar dalam hidupmu. Di atas segalanya, engkau harus memiliki tekad dan ketekunan seperti ini, janganlah seperti orang-orang yang lemah tak berdaya. Engkau harus belajar bagaimana mengalami kehidupan yang berarti dan mengalami kebenaran yang bermakna, dan tidak seharusnya memperlakukan dirimu sendiri dengan sikap asal-asalan seperti itu. Tanpa kausadari, hidupmu akan berlalu; setelah itu, masih akan adakah kesempatan seperti ini bagimu untuk mengasihi Tuhan? Bisakah manusia mengasihi Tuhan setelah dia mati? Engkau harus memiliki tekad dan hati nurani yang sama seperti Petrus; hidupmu harus bermakna, dan jangan bermain-main dengan dirimu sendiri. Sebagai manusia, dan sebagai orang yang mengejar Tuhan, engkau harus mampu mempertimbangkan dan menyikapi hidupmu dengan saksama—pertimbangkan bagaimana engkau harus mempersembahkan diri bagi Tuhan, bagaimana engkau harus memiliki iman yang lebih bermakna kepada Tuhan, dan karena engkau mengasihi Tuhan, bagaimana engkau harus mengasihi-Nya dengan cara yang lebih murni, lebih indah, dan lebih baik" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan sangat jelas. Sebagai orang percaya, kita harus berusaha mengasihi dan menyembah Tuhan. Hanya dengan hidup seperti Ayub dan Petrus maka hidup kita akan bermakna. Aku teringat bagaimana Petrus, di masa mudanya, dengan sepenuh hati mengejar Tuhan, tetapi orang tua Petrus berharap dia akan berprestasi dan menjadi pejabat. Namun, Petrus tidak menjadikan harapan orang tuanya sebagai tujuannya, ia juga tidak peduli apakah pilihannya akan memengaruhi hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, dia mengabdikan dirinya untuk berusaha mengasihi dan mengenal Tuhan, dan pada akhirnya, dia disalibkan terbalik demi Tuhan, menjadi teladan dalam mengasihi Tuhan. Lalu ada Ayub. Dalam ujian, dia kehilangan semua lembu, domba, dan anak-anaknya, serta tubuhnya menjadi penuh barah, dan istrinya berkata, "Kutukilah Tuhan dan matilah!" Ketika Ayub mendengar istrinya mengatakan ini, dia tetap berpegang pada imannya kepada Tuhan, dan dia menegur istrinya dengan keras, menyebutnya wanita bodoh. Dia tetap teguh dalam kesaksiannya bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis. Dari pengalaman Ayub dan Petrus, aku melihat bahwa hanya dengan berusaha mengenal dan mengasihi Tuhan, dan dengan melaksanakan tugas kita dengan baik serta tetap teguh dalam kesaksian kita, kita dapat menerima perkenanan Tuhan. Inilah satu-satunya cara untuk menjalani hidup yang paling bermakna. Kemudian, aku menenangkan hatiku dan mencurahkan diriku pada tugasku, dan pada saat yang sama, aku berlatih menulis artikel kesaksian pengalaman. Kemudian, aku mengetahui bahwa salah satu artikel pengalamanku telah diubah menjadi video. Karena dapat menggunakan pengalamanku untuk memberi kesaksian bagi Tuhan, aku sangat tersentuh, dan aku makin merasakan bahwa yang paling bermakna hanyalah mengejar kebenaran serta memberi kesaksian bagi Tuhan, dan hanya ini yang dapat membawa kebahagiaan serta sukacita sejati. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!
Pada bulan Februari 2024, aku menerima surat dari orang tuaku, yang mengatakan bahwa istriku telah mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Setelah menerima berita ini, aku merasa cukup tenang, dan aku tidak merasa tertekan atau sedih tentang istriku yang menceraikanku. Sebaliknya, aku merasa terbebaskan. Sekarang aku bisa meletakkan beban-beban ini dan sepenuh hati mengikut Tuhan. Ini adalah keselamatan Tuhan bagiku, dan aku bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa dari lubuk hatiku!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.
Oleh Saudari Elizabeth, RusiaAku dibesarkan di keluarga pedesaan biasa. Meskipun kami sama sekali tidak berkecukupan, aku tetap sangat...
Saat aku masih kecil, keluargaku sangat miskin. Ayahku hanya mendapat poin kerja dari tim produksi dan tidak peduli dengan urusan rumah...
Saat aku masih sekolah, aku suka mendengarkan lagu dan membaca puisi kuno. Sebagian besar karya-karya ini bertemakan cinta. Aku dibentuk...
Nenekku memberitakan Injil Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman kepadaku ketika aku berusia 18 tahun. Dengan membaca firman Tuhan Yang...