Apakah “Bersikaplah Tegas terhadap Diri Sendiri dan Toleran terhadap Orang Lain” Benar-benar Suatu Kebajikan?

30 Oktober 2024

Oleh Saudari Li Jia, Tiongkok

Sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa aku harus bersikap toleran dan murah hati kepada orang lain, menghargai perasaan mereka dan memahami kesulitan mereka. Aku lebih suka menyusahkan diriku sendiri daripada menyusahkan orang lain karena menurutku, itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang murah hati dan berkarakter baik. Kemudian, ketika aku mulai mengawasi produksi video, aku merasa bahwa sebagai ketua tim, aku harus menunjukkan teladan dan unjuk kepemimpinan, aku punya standar yang sangat tinggi untuk diriku sendiri, dan merasa aku tidak boleh terlalu menuntut dan ketat terhadap anggota tim lainnya, ini adalah hal yang baik yang harus kulakukan. Semua orang akan merasa bahwa aku memiliki kemanusiaan yang hebat, berpengertian dan akan memiliki kesan yang baik tentangku. Jadi, aku secara pribadi melakukan pekerjaan sejauh kemampuanku untuk grup, dan jika pekerjaan yang ditugaskan kepada orang lain terlalu berat dan mereka tidak bersedia melakukannya, aku akan melakukannya sendiri. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menekan orang lain agar mereka tidak berkata bahwa tuntutanku terlalu tinggi dan aku terlalu ketat. Meskipun terkadang kupikir aku menangani terlalu banyak pekerjaan dan itu terlalu sulit, aku akan tetap bergumul melawan dagingku dan melakukan pekerjaan semampuku agar orang lain tidak memiliki opini buruk tentang diriku.

Kemudian, beberapa anggota baru bergabung dengan grup kami, mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan tersebut dan tidak memiliki keterampilan profesional, jadi aku harus memeriksa semua video yang mereka produksi. Terkadang mereka juga mencariku untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. Hanya pekerjaan ini saja sudah memenuhi seluruh jadwalku, tapi aku punya pekerjaan lain yang harus kulakukan selain itu. Dalam waktu singkat, tugas mulai menumpuk, dan aku benar-benar kewalahan dengan pekerjaan setiap hari. Terkadang ketika mereka memintaku untuk membantu mereka menyelesaikan masalah yang sangat mendasar, aku berpikir: "Kalian dapat dengan mudah menyelesaikan masalah ini sendiri melalui diskusi, kenapa kalian harus datang kepadaku untuk membereskan semuanya?" Namun, kemudian kupikir: "Karena mereka memang bertanya kepadaku, jika aku menolak permintaan mereka, sepertinya aku tidak bertanggung jawab! Bagaimanapun, mereka juga butuh waktu untuk mendiskusikan masalah ini. Lupakan saja, kurasa aku bisa meluangkan waktu untuk menanganinya sendiri." Dan karena itu, aku setuju. Setelah itu, aku menyadari bahwa seorang saudari baru saja menyerahkan pekerjaannya kepadaku karena malas dan takut bertanggung jawab. Awalnya aku berpikir untuk bersekutu bersamanya, tapi kemudian aku khawatir dia akan mengira aku menuntut terlalu banyak, jadi aku mempertimbangkan lagi. Terkadang ketika aku memperhatikan sepertinya orang lain tidak punya banyak pekerjaan sedangkan aku mempunyai beberapa urusan mendesak yang harus kuselesaikan dan merasa kewalahan, aku ingin mendelegasikan beberapa pekerjaan agar kami bisa lebih cepat dari jadwal. Namun, setelah memikirkannya, aku tidak bisa meminta pada mereka. Aku berpikir dalam hati: "Jika aku menambah beban kerja mereka, bukankah mereka akan berpikir aku terlalu menuntut dan tidak memberi mereka waktu senggang? Lupakan saja, lebih baik kulakukan sendiri." Namun, saat melakukan pekerjaan, aku merasa itu agak tak adil. Terutama saat kulihat mereka bersantai saat aku bekerja, aku merasa lebih kesal dan menyalahkan mereka karena mereka tidak merasa terbeban. Entah bagaimana, mereka tidak melihat betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Namun, aku hanya mengomel dalam hati dan tidak mengatakan apa pun dengan lantang, khawatir jika aku mengatakan sesuatu, aku akan terlihat punya kemanusiaan yang buruk dan tidak bermurah hati. Jadi, sesibuk apa pun, aku berusaha melakukan sebanyak mungkin sendiri. Terkadang, saat aku menugaskan pekerjaan berdasarkan jadwal grup, jika mereka merespons dengan baik, itu akan baik-baik saja, tapi jika mereka terlihat tidak senang atau mengeluh, aku akan merasa ragu untuk menugaskan pekerjaan kepada mereka dan akulah yang akan bekerja sepanjang malam untuk menyelesaikan semuanya sendiri. Sebenarnya, sambil bekerja aku merasa ini tak adil dan aku jadi penuh kebencian. Aku merasa itu jelas merupakan pekerjaan mereka, tapi aku harus meluangkan waktu ekstra untuk menyelesaikannya dan terkadang begitu sibuk sehingga aku tidak punya waktu untuk saat teduh. Namun, aku tidak berani mengungkapkan keluhan ini dengan lantang. Jadi, aku hanya pasrah menghibur diri dengan mengatakan: "Bersikap murah hati dan tenggang rasa, peduli pada orang lain dan tidak terlalu picik adalah yang terbaik, kalau tidak, karakterku terlihat buruk." Kemudian, saudara-saudari di timku berkata aku bertanggung jawab, mampu menderita dan membayar harga, pengasih dan tenggang rasa terhadap orang lain. Setelah mendengar penilaian ini, aku merasa meskipun aku telah mengalami penderitaan, itu semua layak untuk mendapatkan pujian setinggi ini dari semua orang. Namun, karena aku tidak bertindak berdasarkan prinsip, selalu menuruti keinginan orang lain dan menugaskan pekerjaan dengan cara yang tidak masuk akal, pekerjaan mulai menumpuk dan kemajuan kami sebagai sebuah tim lambat. Ada saudara-saudari yang malas, tak bermotivasi, dan hanya puas melakukan pekerjaan mereka. Yang lain tidak berdoa atau mencari prinsip-prinsip kebenaran saat mereka menghadapi masalah, lebih suka mengandalkanku dan menungguku untuk membereskan masalah mereka, yang menyebabkan mereka gagal mengalami kemajuan dalam keterampilan mereka.

Suatu hari, pengawas kami datang untuk memeriksa pekerjaan kami dan menemukan bahwa penugasan kerja tidak dilakukan semestinya. Dia berkata beberapa pekerjaan dapat ditugaskan kepada anggota-anggota tim dan aku harus meluangkan lebih banyak waktu melakukan pekerjaanku sebagai ketua tim, termasuk memeriksa kemajuan kerja dan membereskan masalah keterampilan apa pun yang muncul. Dalam hal ini, semua orang dapat memikul tanggung jawab dan menanggung beban. Aku sadar dia benar dan cara penugasan seperti ini bermanfaat bagi pekerjaan. Namun, kupikir menerapkan dengan cara semacam ini terlalu sulit, jadi aku berdoa, memohon bimbingan Tuhan agar aku dapat memperoleh pemahaman akan watak rusakku. Selama saat teduhku, aku mencari firman Tuhan yang berkaitan dengan keadaanku saat ini. Satu bagian firman sangat mengesankanku: "'Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain', dan juga ungkapan tentang 'Jangan menyimpan uang yang kautemukan' dan 'Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain', adalah salah satu tuntutan budaya tradisional mengenai perilaku moral manusia. Sebenarnya dalam hal ini, entah seseorang dapat mencapai atau melakukan perilaku moral seperti itu atau tidak, itu tetaplah bukan standar atau norma untuk mengukur kemanusiaan orang itu. Mungkin engkau benar-benar mampu bersikap tegas terhadap dirimu sendiri dan toleran terhadap orang lain, dan engkau menuntut dirimu sendiri dengan standar yang sangat tinggi. Engkau mungkin memiliki moral yang sangat baik dan engkau mungkin selalu memikirkan orang lain dan menunjukkan perhatian kepada mereka, tidak bersikap egois dan mengejar kepentinganmu sendiri. Engkau mungkin tampak sangat murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan moral sosial. Kepribadian dan kualitasmu yang luhur mungkin terlihat oleh orang-orang yang dekat denganmu, dan orang-orang yang kautemui dan yang dengannya engkau berinteraksi. Perilakumu mungkin tidak pernah memberi orang lain alasan untuk menyalahkanmu atau mengkritikmu, malah menimbulkan pujian yang berlebihan dan bahkan kekaguman. Orang-orang mungkin menganggapmu sebagai orang yang benar-benar tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain. Namun, ini adalah perilaku yang hanya tampak di luarnya saja. Apakah pemikiran dan keinginan di lubuk hatimu sama dengan perilaku lahiriah ini, dengan tindakan yang kaulakukan secara lahiriah ini? Jawabannya adalah tidak, tidak sama. Alasan engkau mampu bertindak seperti ini adalah karena ada motif di baliknya. Apa sebenarnya motif itu? Dapatkah engkau berkata bahwa motif itu akan terlihat jelas? Tentu saja tidak. Ini membuktikan bahwa motif ini adalah sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang gelap dan jahat. Jadi, mengapa motif ini tersembunyi dan jahat? Ini karena kemanusiaan orang dikuasai dan didorong oleh watak rusak mereka. Semua pemikiran manusia, entah orang mengungkapkannya dan memperlihatkannya atau tidak, tak dapat disangkali bahwa pemikiran mereka dikuasai, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh watak rusak mereka. Akibatnya, motif dan niat orang semuanya licik dan jahat. Entah orang mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain atau tidak, atau entah mereka secara lahiriah mengekspresikan moral ini dengan sempurna atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa moral ini tidak akan memiliki kendali atau pengaruh atas kemanusiaan mereka. Jadi, apa yang mengendalikan kemanusiaan orang? Yang mengendalikan adalah watak rusak mereka, esensi kemanusiaan mereka yang tersembunyi di balik moral 'Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain'—itulah natur mereka yang sebenarnya. Natur orang yang sebenarnya adalah esensi kemanusiaannya. Lalu terdiri dari apakah esensi kemanusiaan mereka? Ini terutama terdiri dari kesukaan mereka, apa yang mereka kejar, pandangan mereka tentang kehidupan dan sistem nilai mereka, serta sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan, dan sebagainya. Hanya hal-hal inilah yang benar-benar merepresentasikan esensi kemanusiaan orang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar orang yang menuntut diri mereka sendiri untuk mematuhi moral 'tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain', terobsesi dengan status. Didorong oleh watak rusak mereka, mereka tak mampu menahan diri untuk mengejar gengsi di antara manusia, keunggulan sosial, dan status di mata orang lain. Semua hal ini berkaitan dengan keinginan mereka akan status, dan semua ini dikejar dengan memakai kedok perilaku moral baik mereka. Dan berasal dari manakah pengejaran mereka ini? Semua itu sepenuhnya berasal dari dan didorong oleh watak rusak mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, entah seseorang mematuhi moral untuk 'tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain' atau tidak, dan entah dia mematuhinya dengan sempurna atau tidak, ini sama sekali tak dapat mengubah esensi kemanusiaan mereka. Dan ini berarti melakukan hal itu sama sekali tidak dapat mengubah pandangan hidup ataupun sistem nilai dirinya, ataupun menuntun sikap dan sudut pandangnya terhadap segala macam orang, peristiwa, dan berbagai hal. Bukankah itu yang terjadi? (Ya.) Semakin seseorang mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain, semakin baik dia dalam berpura-pura, dalam menyamarkan dirinya, dan dalam memperdaya orang lain dengan menggunakan perilaku yang baik dan perkataan yang sedap didengar, dan pada dasarnya dia telah menjadi makin curang dan jahat. Semakin dia menjadi jenis orang seperti ini, kecintaan dan pengejarannya akan status dan kekuasaan menjadi makin mendalam" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)"). Aku melihat bagaimana mereka yang "ketat terhadap diri mereka dan toleran terhadap orang lain" sangat terobsesi dengan status. Mereka selalu berusaha untuk mendapat tempat di hati orang. Orang semacam ini memiliki natur licik dan jahat serta munafik. Karakterisasi ini benar-benar menyakitkan. Aku teringat bagaimana aku telah mengambil alih sebagian besar pekerjaan tim kami selama aku menjabat sebagai ketua tim. Aku selalu memikirkan jadwal, beban kerja, dan kesulitan apa yang orang lain hadapi. Aku sangat peduli dan tenggang rasa terhadap orang lain, memastikan agar mereka selalu merasa senang. Di luarnya, aku mungkin terlihat cukup berpengertian, tapi kenyataannya, aku hanya bertindak seperti itu untuk meningkatkan reputasi dan statusku. Aku selalu khawatir bahwa aku mungkin mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan membuat orang lain kesal dan memberi mereka kesan buruk tentangku. Aku memikul beban yang lebih berat daripada orang lain, mampu menderita dan membayar harga, menunjukkan toleransi, pengertian, dan kemampuan untuk berkompromi, tapi di balik ini adalah pemikiranku bahwa aku lebih baik daripada orang lain, bahwa aku punya tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada orang lain, dan berpengertian serta toleran terhadap mereka. Ini membuat mereka menghormati dan mengandalkanku. Mereka menungguku menyelesaikan masalah mereka dan tidak mampu mengandalkan Tuhan serta mencari kebenaran untuk mencapai penyelesaian. Aku sadar aku telah dirusak oleh Iblis dan penuh dengan watak jahat. Aku sama sekali egois dan tidak murah hati! Ketika saudari itu menyerahkan pekerjaan kepadaku, aku dengan senang hati menerimanya, tapi sebenarnya aku tidak senang, dan saat bekerja, aku membencinya karena dia tidak memikul beban. Aku memiliki banyak pekerjaan dan berada di bawah tekanan yang sangat besar, dan meskipun aku tidak mengatakan apa pun dan bertindak seolah-olah aku tidak egois, dalam hati, aku merasa semuanya tidak adil dan tidak ingin menderita atau memikirkan hal lain. Saat menugaskan pekerjaan, ketika seorang saudari menuruti dagingnya dan tidak mau bekerja terlalu keras, Aku tidak mempersekutukan kebenaran untuk menyelesaikan masalahnya dan malah mengambil alih pekerjaannya. Sebenarnya, aku punya pendapat sendiri tentang dia, aku benci karena kemalasannya membuatku bekerja lebih keras. Setelah merenungkan kembali semuanya, aku sadar bahwa toleransiku terhadap orang lain semuanya palsu, semuanya adalah kepura-puraan, dan aku tidak terlalu senang membantu mereka. Aku jelas-jelas egois, tapi aku bertindak seperti aku benar-benar tidak mementingkan diri sendiri—aku menipu semua orang. Aku hanya punya satu motif dalam tindakanku—aku hanya ingin dipuji, dihormati, dan disanjung oleh orang lain. Betapa munafik dan palsunya diriku! Orang hanya melihat tindakan penipuanku, tapi tidak bisa membaca pemikiranku yang sebenarnya. Mereka semua yakin aku punya kemanusiaan yang baik dan sangat toleran. Bukankah aku sedang menipu dan memperdayakan mereka? Makin aku memikirkannya, makin aku merasa muak dengan diriku. Aku menjalani hidup bertopeng, dan bukan saja aku sangat menderita sendiri, tapi aku juga menunda pekerjaan gereja. Aku merugikan diriku dan orang lain. Aku mulai membenci diriku dan ingin bertobat serta berubah sesegera mungkin.

Kemudian, aku menemukan dua bagian lain dari firman Tuhan yang memberiku perspektif baru tentang keadaanku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Sebagian pemimpin gereja, ketika melihat saudara atau saudari mereka melaksanakan tugas-tugasnya dengan sembrono dan asal-asalan, tidak menegur mereka, walaupun seharusnya mereka menegurnya. Ketika mereka melihat sesuatu yang jelas-jelas merugikan kepentingan rumah Tuhan, mereka pura-pura tidak melihat dan tidak bertanya, dengan alasan agar tidak menyinggung orang lain sedikit pun. Pada kenyataannya, mereka tidak benar-benar memikirkan kelemahan orang lain; sebaliknya, niat mereka adalah untuk memenangkan hati orang. Mereka menyadari hal ini sepenuhnya, berpikir: 'Jika aku terus melakukan hal ini dan tidak membuat siapa pun tersinggung, mereka akan berpikir bahwa aku adalah pemimpin yang baik. Pendapat mereka tentang diriku akan sangat baik. Mereka akan memberiku pengakuan dan menyukaiku.' Sebesar apa pun kerugian yang diakibatkan terhadap kepentingan rumah Tuhan, dan sebesar apa pun umat pilihan Tuhan dihambat dalam jalan masuk mereka ke dalam kehidupan, atau sebesar apa pun kehidupan bergereja mereka terganggu, pemimpin seperti itu bersikeras berpegang pada falsafah Iblis mereka dan tidak menyinggung siapa pun. Tidak pernah ada keinginan untuk menegur diri sendiri di dalam hati mereka. Saat melihat ada orang yang menimbulkan gangguan dan kekacauan, paling-paling, mereka hanya menyinggung masalah ini sepintas lalu, dan kemudian selesai. Mereka tidak mempersekutukan kebenaran, mereka juga tidak menunjukkan esensi masalahnya kepada orang ini, apalagi menganalisis keadaan mereka. Mereka tidak pernah menyampaikan apa yang merupakan kehendak Tuhan. Para pemimpin palsu tidak pernah memaparkan atau menganalisis kesalahan macam apa yang sering orang lakukan, atau watak rusak apa yang sering orang singkapkan. Mereka tidak menyelesaikan masalah nyata apa pun, melainkan selalu menoleransi kesalahan dan perwujudan kerusakan orang, dan tetap tidak peduli selemah atau senegatif apa pun keadaan orang, sekadar mengkhotbahkan kata-kata dan doktrin tertentu, memberikan beberapa nasihat yang asal-asalan, berusaha menghindari konflik. Akibatnya, umat pilihan Tuhan tidak merenungkan dirinya dan berusaha mengenal diri mereka sendiri, mereka tidak mampu membereskan watak rusak yang mereka perlihatkan, dan hidup di tengah kata-kata, doktrin, gagasan dan imajinasi, tanpa memiliki jalan masuk kehidupan. Mereka bahkan yakin di dalam hatinya bahwa, 'Pemimpin bahkan lebih pengertian terhadap kelemahan kita dibanding Tuhan. Tingkat pertumbuhan kita mungkin terlalu rendah untuk mencapai tuntutan Tuhan, tetapi kita hanya perlu memenuhi tuntutan pemimpin kita; dengan menaati pemimpin kita, berarti kita menaati Tuhan. Jika suatu hari Yang di Atas menggantikan pemimpin kita, kita akan menyuarakan keberatan kita; untuk mempertahankan pemimpin kita dan mencegahnya agar tidak digantikan oleh Yang di Atas, kita akan bernegosiasi dengan Yang di Atas dan memaksa-Nya untuk menyetujui tuntutan kita. Beginilah cara kita memperlakukan pemimpin kita dengan adil.' Jika orang memiliki pemikiran seperti itu di dalam hati mereka, jika mereka memiliki hubungan seperti itu dengan pemimpin, dan di dalam hatinya, mereka merasakan ketergantungan, kekaguman, dan pemujaan terhadap pemimpin mereka, maka mereka akan makin meyakini pemimpin ini, perkataan pemimpinlah yang ingin mereka dengarkan, dan mereka tidak akan lagi mencari kebenaran di dalam firman Tuhan. Pemimpin seperti itu telah hampir mengambil tempat Tuhan di hati orang-orang. Jika pemimpin mau mempertahankan hubungan yang seperti itu dengan umat pilihan Tuhan, jika mereka merasakan kenikmatan dari hal itu di dalam hati mereka, dan menganggap bahwa umat pilihan Tuhan sudah seharusnya memperlakukan diri mereka seperti ini, maka tidak ada bedanya antara mereka dan Paulus, dan mereka telah menjejakkan kaki di jalan antikristus. Umat pilihan Tuhan telah ditipu oleh antikristus dan mereka tidak mampu mengenali mereka" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Satu: Mereka Berusaha Memenangkan Hati Orang").

"Engkau semua dapat membandingkan ini dengan beberapa antikristus dan orang jahat di gereja. Agar dapat memperkuat status dan kekuasaan mereka di dalam gereja, dan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik di antara anggota lainnya, mereka mampu menjalani penderitaan dan membayar harga saat melaksanakan tugas mereka, dan mereka bahkan mungkin meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dan menjual semua yang mereka miliki untuk mengorbankan diri mereka bagi Tuhan. Dalam beberapa kasus, harga yang mereka bayar dan penderitaan yang mereka jalani ketika mengorbankan diri mereka untuk Tuhan melampaui apa yang mampu ditanggung oleh orang kebanyakan; mereka mampu mewujudkan semangat penyangkalan diri yang ekstrem agar dapat mempertahankan status mereka. Namun, sebanyak apa pun mereka menderita atau berapa pun harga yang mereka bayar, tak satu pun darinya yang menjaga kesaksian Tuhan atau melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mereka juga tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Tujuan yang mereka kejar hanyalah untuk mendapatkan status, kekuasaan, dan upah dari Tuhan. Semua yang mereka lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Seketat apa pun mereka terhadap diri mereka sendiri dan setoleran apa pun mereka terhadap orang lain, kesudahan akhir seperti apa yang akan mereka peroleh? Apa pendapat Tuhan mengenai diri mereka? Akankah Dia menentukan kesudahan mereka berdasarkan perilaku baik lahiriah yang mereka jalani? Tentu saja tidak. Orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan perilaku dan perwujudan ini, dan karena mereka tak dapat mengenali esensi orang lain yang sebenarnya, mereka akhirnya tertipu oleh orang-orang itu. Sedangkan Tuhan, Dia tidak pernah tertipu oleh manusia. Dia sama sekali tidak akan memuji dan mengingat perilaku moral orang karena mereka mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain. Sebaliknya, Dia akan menghukum mereka karena ambisi mereka dan karena jalan yang telah mereka tempuh dalam mengejar status" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku makin memahami natur dan konsekuensi dari tindakanku. Demi melindungi reputasi dan statusku, aku selalu memikirkan kesulitan orang lain dan melakukan semuanya seorang diri. Sebagai akibatnya, saudara-saudari tidak mampu melaksanakan tugas mereka secara normal. Ada yang menuruti daging mereka dan tidak memikul beban, yang lain terjebak mengagumi dan mengandalkanku, selalu mencariku setiap kali mereka punya masalah, dan tidak mampu mengandalkan Tuhan serta tidak mencari kebenaran untuk menyelesaikan masalah. Tuhan tidak punya tempat di hati mereka. Aku telah melakukan kejahatan! Ketika saudari itu tidak mau memikul beban kerjanya dan menyerahkannya kepadaku, jika saja aku bersekutu bersamanya sebentar dan memungkinkannya untuk melihat natur dan konsekuensi dari keadaannya saat itu, mungkin dia bisa bergumul melawan dagingnya dan mengandalkan Tuhan untuk menyelesaikan masalahnya. Hal ini akan membawa kemajuan dalam hidupnya dan keterampilan profesionalnya akan meningkat. Namun, aku hanya memikirkan reputasi dan statusku sendiri, dan tidak bersekutu atau menasihati saudara-saudari yang terperosok dalam watak rusak mereka. Di luarnya, cara bertindak ini sesuai dengan kepentingan daging manusia, tapi kehidupan mereka tidak mengalami kemajuan dan menjadi makin merosot. Dengan selalu memanjakan orang, aku merugikan mereka! Semua orang gagal mengenali perilakuku dan tertipu olehku dengan berpikir aku adalah orang yang baik dan peduli. Betapa palsunya diriku, aku menipu mereka semua! Di luarnya, aku terlihat memikul beban berat dalam tugasku dan mampu menderita serta membayar harga. Orang menganggapku sebagai orang yang baik, tapi sebenarnya aku sudah dikutuk oleh Tuhan, karena semua tindakanku bukan untuk memuaskan Tuhan, melainkan untuk melindungi statusku dalam hati orang. Aku memang tidak melakukan kejahatan yang terlihat, tapi tidak membawa orang ke dalam kenyataan firman Tuhan, justru membawa mereka ke dalam daging mereka dan ke hadapanku. Aku berusaha untuk menarik orang dan memperlihatkan watak antikristus dalam diriku. Setelah itu, aku sadar bahwa aku berada dalam kondisi yang sangat genting. Aku melaksanakan tugasku berdasarkan nilai-nilai budaya tradisional dan menempuh jalan antikristus.

Kemudian, aku menemukan bagian lain dari firman Tuhan yang memberiku pemahaman lebih lanjut mengenai masalahku: "Kepada kelompok mana pun pernyataan tentang perilaku moral diajukan, semua itu menuntut orang untuk melakukan pengekangan diri—mengekang keinginan dan perilaku tak bermoral mereka sendiri—dan memegang sudut pandang ideologis dan moral yang baik. Sebesar apa pun pengaruh pernyataan ini terhadap manusia, dan entah pengaruh itu positif atau negatif, singkatnya tujuan mereka yang disebut para moralis ini adalah membatasi dan mengatur perilaku moral orang dengan mengajukan pernyataan-pernyataan seperti itu, sehingga orang-orang akan memiliki standar dasar untuk bagaimana mereka harus berperilaku dan bertindak, bagaimana mereka harus memandang orang dan hal-hal, dan bagaimana mereka harus memandang masyarakat dan negara mereka. Dilihat dari sisi positifnya, penemuan pernyataan-pernyataan tentang perilaku moral ini, sampai taraf tertentu, telah berperan dalam membatasi dan mengatur perilaku moral manusia. Namun, dilihat dari fakta-faktanya secara objektif, pernyataan seperti itu telah menuntun orang untuk memiliki beberapa pemikiran dan sudut pandang yang tidak tulus dan penuh kepura-puraan, membuat orang-orang yang dipengaruhi dan ditanamkan oleh budaya tradisional tersebut menjadi makin berbahaya, makin licik, makin ahli dalam berpura-pura, dan makin terkurung dalam pemikiran mereka. Karena pengaruh dan penanaman budaya tradisional, orang secara berangsur menganggap pandangan dan pernyataan budaya tradisional yang salah itu sebagai hal yang positif, dan memuja orang-orang terkemuka dan tokoh-tokoh besar yang menyesatkan orang-orang ini sebagai orang-orang kudus. Ketika orang telah disesatkan, pikiran mereka menjadi kacau, mati rasa, dan bodoh. Mereka tidak tahu apa arti kemanusiaan yang normal, atau apa yang harus dikejar dan dipatuhi oleh orang-orang yang memiliki kemanusiaan yang normal. Mereka tidak tahu bagaimana seharusnya orang hidup di dunia ini atau cara atau aturan kehidupan seperti apa yang harus mereka gunakan, dan terlebih lagi, mereka tidak tahu tujuan sebenarnya dari keberadaan manusia. Karena pengaruh, penanaman, dan bahkan pembatasan dari budaya tradisional, hal-hal positif, tuntutan dan aturan dari Tuhan, telah diberangus. Dalam hal ini, berbagai pernyataan tentang perilaku moral dalam budaya tradisional, sebagian besar, sangat menyesatkan dan memengaruhi pemikiran orang, membatasi pemikiran mereka dan menyesatkan mereka, menjauhkan mereka dari jalan hidup yang benar, dan semakin menjauhkan mereka dari tuntutan Tuhan. Ini berarti, makin dalam engkau dipengaruhi oleh berbagai gagasan dan pandangan tentang perilaku moral dalam budaya tradisional, dan makin lama hal-hal ini tertanam dalam dirimu, engkau akan makin jauh menyimpang dari pemikiran, cita-cita, tujuan yang seharusnya kaucapai, dan aturan keberadaan yang seharusnya dimiliki oleh manusia normal, dan engkau akan makin jauh menyimpang dari standar yang Tuhan tuntut dari manusia. ... Umat pilihan Tuhan harus mengetahui yang sebenarnya mengenai satu fakta: firman Tuhan adalah firman Tuhan, kebenaran adalah kebenaran, dan perkataan manusia adalah perkataan manusia. Kebajikan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan kepercayaan adalah perkataan manusia, dan budaya tradisional adalah perkataan manusia. Perkataan manusia tidak pernah menjadi kebenaran, juga tidak akan pernah menggantikan kebenaran. Ini adalah fakta" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (8)"). Firman Tuhan menyadarkanku bahwa pandangan dan ide yang ditanamkan oleh budaya tradisional dalam diri kita itu konyol dan absurd dan semua itu bertentangan dengan hati nurani dan nalar orang yang normal serta kemanusiaan normal yang dituntut Tuhan untuk dihidupi manusia. Tertipu dan terpengaruh oleh gagasan tradisional "ketat terhadap diriku sendiri dan toleran terhadap orang lain", aku menjadi bingung, keliru dan tak berwawasan. Kupikir hanya dengan bersikap toleran terhadap orang lain, tenggang rasa terhadap mereka dalam segala hal, dan menyusahkan diriku sendiri daripada menyusahkan orang lain, aku akan memperlihatkan karakter yang baik, wawasan yang luas, dan kemurahan hati. Aku tidak boleh menuntut terlalu banyak kepada siapa pun atau bersikap terlalu ketat dan harus menahan diri untuk tidak bersikap picik. Gagasan ini tertanam kuat dalam pikiranku, mengendalikan setiap perkataan dan tindakanku serta memengaruhi caraku berinteraksi dengan orang lain. Setelah memikirkannya, aku sadar bahwa toleransiku terhadap orang lain bukanlah kemurahan hati dari kemanusiaan yang normal, melainkan pemanjaan yang tidak memiliki prinsip atau standar. Sebagai ketua tim, aku seharusnya menugaskan pekerjaan secara wajar berdasarkan jadwal kerja kami secara keseluruhan dan keterampilan masing-masing anggota, sehingga semua orang dapat mengambil bagian, berpeluang untuk berlatih dalam tugas, dan menerapkan keterampilan mereka. Hanya dengan cara inilah kerja tim kami akan berjalan normal dan meningkat. Bagi mereka yang kurang terampil, memiliki kualitas rata-rata dan lambat dalam memperbarui pengetahuan, penugasan kerja harus didasarkan pada tingkat pertumbuhan dan kesulitan mereka yang sebenarnya. Mereka harus diberi pekerjaan yang lebih mudah untuk memastikan mereka mampu melakukan tugas tersebut dan tidak boleh dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Sedangkan bagi mereka yang berkualitas baik, mampu mempelajari hal-hal baru, dan memahami prinsip-prinsip dan keterampilan, mereka dapat diberi lebih banyak pekerjaan, diminta untuk lebih memikirkan pekerjaan mereka dan memikul lebih banyak beban—ini akan memungkinkan mereka untuk maju lebih cepat. Jika mereka menemui kesulitan dan merasa sedikit stres, hal ini wajar dan akan mendorong mereka untuk lebih mengandalkan Tuhan, meningkatkan keterampilan mereka dan membuat kemajuan lebih cepat. Selain itu, jika ada orang yang kesal setelah aku menugaskan pekerjaan kepada mereka, aku dapat berkomunikasi dengan mereka untuk melihat apakah mereka mengalami kesulitan nyata atau hanya mencari kenyamanan dan tidak mau menderita atau membayar harga. Kemudian aku dapat menangani berbagai hal berdasarkan situasi aktual—ini adalah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. Sebenarnya, dalam banyak kesempatan, aku menugaskan pekerjaan secara wajar berdasarkan situasi anggota tim yang sebenarnya. Aku tidak meminta terlalu banyak, tidak bersikap terlalu ketat dan anggota timku mampu menangani tugas mereka. Ketika mereka kadang-kadang malas, tidak mau membayar harga dan tidak berusaha keras untuk sukses, atau takut bertanggung jawab dan menyerahkan pekerjaan kepada orang lain, seharusnya aku bersekutu dan menasihati mereka untuk menyadarkan mereka akan watak rusak mereka. Dalam kasus yang lebih serius aku seharusnya memangkas dan menangani mereka dan tidak boleh terus-menerus memanjakan mereka serta menoleransi perilaku mereka tanpa standar dasar. Hanya dengan melakukan ini aku dapat mempertahankan kemajuan kerja normal tim kami. Kemudian, aku menemukan dua bagian lain dari firman Tuhan yang memberiku lebih banyak pemahaman tentang jalan penerapanku. "Dalam segala hal yang engkau lakukan, engkau harus memeriksa apakah niatmu sudah benar. Jika engkau mampu bertindak sesuai dengan tuntutan Tuhan, hubunganmu dengan Tuhan sudah normal. Inilah standar yang paling minim. Selidikilah niatmu, dan jika engkau menemukan timbulnya niat yang tidak benar, mampu meninggalkannya, dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan, maka engkau akan menjadi orang yang benar di hadapan Tuhan, yang pada gilirannya menunjukkan bahwa hubunganmu dengan Tuhan normal, dan bahwa semua yang engkau lakukan adalah demi Tuhan, dan bukan demi dirimu sendiri. Dalam segala hal yang engkau lakukan dan katakan, engkau harus mampu menetapkan hati yang lurus dan bertindak benar, dan tidak dituntun oleh emosi, maupun bertindak sesuai dengan kehendakmu sendiri. Inilah prinsip yang harus dimiliki orang-orang yang percaya kepada Tuhan dalam menjaga perilakunya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Bagaimana Hubunganmu dengan Tuhan?"). "Jadi, apa sajakah prinsip-prinsip kebenaran yang dituntut oleh Tuhan? Orang harus memahami kelemahan dan kenegatifan orang lain karena mereka sendiri lemah dan negatif, orang haruslah memperhatikan penderitaan dan kesulitan orang lain, dan kemudian menanyakan tentang hal-hal ini, memberikan bantuan dan dukungan, serta membacakan firman Tuhan untuk membantu mereka menyelesaikan masalah sehingga mereka tidak lagi lemah dan mereka dibawa ke hadapan Tuhan. Apakah ini cara menerapkan yang sesuai dengan prinsip? Menerapkan dengan cara seperti ini sesuai dengan prinsip kebenaran. Tentu saja, hubungan semacam ini juga sesuai dengan prinsip. Jika orang dengan sengaja mengganggu dan mengacaukan, atau dengan sengaja bersikap asal-asalan ketika melaksanakan tugas mereka, jika engkau melihat hal ini dan mampu menangani masalah berdasarkan prinsip, dan dapat menunjukkan hal-hal ini kepada mereka, menegur mereka, dan membantu mereka, maka ini sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Jika engkau berpura-pura tidak melihat, atau bersikap toleran terhadap mereka dan menutupi mereka, dan bahkan bertindak terlalu jauh sampai mengatakan hal-hal baik untuk memuji dan mengelu-elukan mereka, menyanjung mereka dengan kata-kata palsu, maka perilaku seperti itu, cara berinteraksi dengan orang dan cara menangani masalah seperti itu, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran dan tidak memiliki dasar dalam firman Tuhan—dalam hal ini, perilaku dan cara berinteraksi dengan orang dan cara menangani masalah ini jelas tidak dapat dibenarkan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja (14)"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku merasa jauh lebih paham. Sebagai orang percaya, aku harus memiliki Tuhan dalam hatiku saat berbicara dan bertindak serta menyerahkan hatiku di hadapan Tuhan untuk diperiksa. Setidaknya, inilah yang harus kulakukan. Selain itu, saat berinteraksi dengan orang lain dan bermitra dalam tugasku, aku harus memiliki maksud yang baik, bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, menahan diri untuk tidak melakukan apa pun yang dapat merusak kepentingan rumah Tuhan dan selalu memikirkan pekerjaan gereja. Aku harus membantu dan mendukung mereka yang negatif, lemah dan menghadapi kesulitan, dan harus bersekutu bersama, membantu, menasihati, atau menyingkapkan siapa pun yang memperlihatkan watak rusaknya atau dengan sengaja mengacaukan dan mengganggu pekerjaan gereja bukannya menoleransi atau membaiki mereka. Saat menugaskan pekerjaan, aku tidak boleh melindungi reputasiku sendiri dan tidak boleh hanya mempertimbangkan daging dan perasaan orang. Aku harus menugaskan pekerjaan secara wajar berdasarkan prinsip dan keadaan tim yang sebenarnya untuk memastikan pekerjaan tidak tertunda. Jalan penerapan ini akan bermanfaat bagi pekerjaan gereja dan semua anggota. Setelah itu, saat berinteraksi dengan saudara-saudari, aku berlatih bersikap jujur, mengatakan perasaanku yang sebenarnya dan berkomunikasi dengan orang saat aku punya masalah. Saat menugaskan pekerjaan, aku akan melakukan berdasarkan situasi orang yang sebenarnya agar semua orang dapat mengambil bagiannya. Aku akan menugaskan anggota untuk menangani masalah yang relatif mudah dan aku hanya akan terlibat jika mereka tidak mampu menyelesaikannya. Jika orang tidak senang dengan penugasan mereka dan tidak mau membayar harga yang lebih mahal, aku akan mempersekutukan kehendak Tuhan bersama mereka, membiarkan mereka merenungkan dan memahami watak rusak mereka dan memperbaiki sikap mereka yang tidak pantas. Jika aku memiliki lebih banyak pekerjaan daripada yang dapat kutangani atau menemui masalah, aku akan berdiskusi dengan orang lain tentang bagaimana menugaskan pekerjaan secara wajar untuk mencegah penundaan dan tidak akan menanggung semuanya sendiri. Semua orang mampu secara proaktif mengambil bagian dalam pekerjaan dan jauh lebih semangat dalam melaksanakan tugasnya, dan kemajuan pekerjaan kami meningkat. Aku merasa jauh lebih tenang. Terkadang aku masih memperlihatkan kerusakanku, tapi aku mampu secara sadar menerapkan berdasarkan firman Tuhan. Hanya dengan bimbingan firman Tuhanlah aku mampu membalikkan keadaan. Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Tinggalkan Balasan