Jalan Penuh Liku Seorang Tentara Saat Memberitakan Injil

25 Februari 2024

Oleh Saudara Ayden, Myanmar

Pada tahun 2021, tak lama setelah aku menerima Injil Tuhan pada akhir zaman, aku mulai memberitakan Injil. Suatu hari, aku mengundang lebih dari 20 rekanku untuk mendengarkan khotbah. Dengan membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa dan bersekutu serta bersaksi tentang pekerjaan-Nya pada akhir zaman, akhirnya mereka semua menerima Tuhan Yang Mahakuasa. Aku sangat senang, dan aku memiliki iman untuk terus memberitakan Injil.

Tak lama setelah aku mulai memberitakan Injil, pemimpin peletonku mulai menganiayaku. Katanya, aku telah terlalu ekstrem dengan kepercayaanku kepada Tuhan, dan dia juga mengatakan hal ini di hadapan pasukan: "Aku bermaksud membinamu untuk menjadi pemimpin pasukan, tapi kini kau percaya kepada Tuhan dan tidak mendengarkanku—kau akan menyesal! Kelak, sekalipun orangtuamu meninggal, aku tak akan mengizinkanmu cuti." Setelah mendengar perkataan pemimpin peleton, beberapa rekanku juga mengolok-olokku: "Semua orang percaya kepada Budha; dengan percaya kepada Tuhan, kau sedang menghina iman kami." Ketika diejek dan diolok-olok banyak orang, aku mulai merasa sedikit lemah, dan aku buru-buru pergi. Aku menemukan sebuah tempat sunyi, berlutut, dan berdoa kepada Tuhan: "Tuhan, pemimpin peleton mencaci dan mengolok-olokku, dan rekan-rekanku mengejekku. Aku sangat lemah; kiranya Engkau memberiku iman dan kekuatan. Aku tahu bahwa aku sedang diuji, dan aku tak boleh membiarkannya memengaruhi atau menghalangiku dalam tugasku." Segera setelah ini, pasukan garis depan pergi berperang, dan pasukan tetap mengawasi barak. Suatu malam, aku sedang bersiap pergi menyirami petobat baru, tapi aku teringat bahwa kami dilarang keluar baru-baru ini, dan siapa pun yang ketahuan menyelinap keluar akan dihukum. Mereka akan dipukuli dan dimarahi atau diikat di luar semalaman. Aku khawatir jika pemimpin peleton tahu bahwa aku keluar, dia pasti akan memarahi, memukuli, dan kembali mempermalukanku. Memikirkan ini, aku tak berani keluar dan menyirami petobat baru. Kusampaikan pemikiranku kepada Carter, yang adalah mitraku. Carter menjawab: "Kau sangat memedulikan reputasimu. Tuhan telah mengatur lingkungan ini untuk melihat bagaimana kita mengalaminya, untuk melihat apakah kita mampu memetik pelajaran. Kau harus lebih sering berdoa kepada Tuhan dan lebih merenungkan dirimu sendiri. Jika kau dikuasai oleh keangkuhan dan harga diri dan berhenti melaksanakan tugasmu karena tidak mampu menghadapi olokan orang lain, masalah macam apa ini? Jika kau tidak pergi menyirami semua petobat baru di desa, bukankah itu berarti kau menganggap enteng tugasmu dan tidak bertanggung jawab?" Dia juga mengirimiku satu bagian firman Tuhan. "Caramu memandang amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus dihukum. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling menyedihkan. Dalam hal ini, engkau lebih disesalkan daripada Yudas dan harus dikutuk. Manusia harus mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana memperlakukan apa yang Tuhan percayakan kepada mereka dan, setidaknya, mereka harus memahami bahwa amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah peninggian dan kemurahan khusus dari Tuhan, dan semua ini adalah hal-hal yang paling mulia. Segala sesuatu yang lain dapat ditinggalkan. Meskipun seseorang harus mengorbankan nyawanya sendiri, dia tetap harus memenuhi amanat Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). Dengan membaca bagian firman Tuhan ini, aku memahami bahwa sikap yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas sangatlah penting. Tuhan mengangkatku dan memberiku kesempatan untuk melaksanakan tugasku, jadi aku harus bertahan pada tugasku dan berupaya sebaik mungkin untuk menyelesaikannya. Aku adalah makhluk ciptaan, dan telah makan dan minum banyak sekali firman Tuhan dan memahami kehendak Tuhan dan tuntutan-Nya, dan kini aku berhenti melaksanakan tugasku saat menghadapi beberapa kesulitan. Aku telah mengkhianati Tuhan. Aku memikirkan rakyat jelata di sini yang setiap saat dapat menghadapi perang, yang selalu dalam keadaan cemas setiap hari. Tuhan menempatkanku pada lingkungan ini untuk mengizinkanku memberitakan Injil kepada orang-orang ini tanpa menunda-nunda, menyirami petobat baru dengan baik, agar mereka dapat membangun dasar di atas jalan yang benar dan memperoleh keselamatan, dan menerima perlindungan Tuhan di tengah bencana. Tuhan berharap melihat kesetiaanku dan berharap aku bisa memiliki iman dan tetap teguh dalam kesaksianku, dan tidak ingin melihatku mundur saat melaksanakan tugasku, tetapi aku tak tahan jika dipermalukan, dan menganggap enteng tugasku dan tidak bertanggung jawab. Ini pengkhianatan terhadap Tuhan, lebih parah dari pengkhianatan Yudas, dan aku pantas dikutuk. Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa apa pun keadaannya, sebesar apa pun penderitaanku atau sebanyak apa pun aku dipermalukan, dan sekalipun mengorbankan nyawaku, aku harus menyelesaikan semua yang telah Tuhan percayakan kepadaku. Ini adalah tanggung jawab dan tugas yang harus kulaksanakan. Setelah itu, aku bermitra dengan dua saudara untuk memberitakan Injil dan menyirami petobat baru. Ada 27 orang yang menerima Tuhan dalam satu bulan, dan setelahnya, mereka diserahkan kepada gereja. Aku sangat bersyukur atas bimbingan Tuhan, dan merasa tenang di hatiku.

Setelahnya, pasukan kami pindah, dan aku dipindahkan ke tempat baru. Ada petobat baru yang tidak tahu bahwa pemimpin peleton menganiaya orang yang percaya kepada Tuhan, sehingga mereka mencoba memberitakan Injil kepadanya, dan pemimpin peleton mulai menyelidiki siapa yang memberitakan Injil kepada penduduk desa. Aku merasa takut: "Akankah pengabaran Injilku kepada penduduk desa akan terbongkar? Akankah pemimpin pasukan menangkapku dan menjebloskanku ke penjara? Maka aku pasti akan menderita dan dipermalukan. Sebaiknya aku menunggu beberapa waktu sampai ada tugas yang lebih lama untuk melanjutkan pengabaran Injil. Dengan demikian, aku tidak akan tertangkap; Aku tak mau lagi dipermalukan." Jadi, aku tidak keluar memberitakan Injil selama tiga hari. Meskipun aku menghadiri pertemuan secara daring setiap malam, aku merasa hampa di dalam. Aku tidak merasa setenang saat aku melaksanakan tugasku sebelumnya.

Setelah itu, salah seorang saudariku mengetahui keadaanku dan mengirimiku satu bagian firman Tuhan. "Engkau semua yakin dirimu memiliki ketulusan dan kesetiaan paling besar kepada-Ku. Engkau semua menganggap dirimu begitu baik hati, penuh belas kasihan, dan telah sangat berbakti kepada-Ku. Engkau semua berpikir bahwa engkau telah berbuat cukup banyak untuk-Ku. Namun pernahkah engkau semua membandingkan keyakinan ini dengan perilakumu sendiri? Kukatakan bahwa engkau sangat angkuh, sangat serakah, sangat asal-asalan; tipu daya yang kaupakai untuk membodohi-Ku sangat cerdik, dan engkau memiliki banyak niat dan cara yang keji. Kesetiaanmu terlalu kecil, kesungguhanmu terlalu remeh, dan hati nuranimu bahkan sangat kurang. ... Saat melakukan tugasmu, engkau memikirkan kepentinganmu sendiri, keselamatanmu sendiri, anggota keluargamu. Apa yang pernah kaulakukan yang adalah untuk-Ku? Kapan engkau pernah memikirkan-Ku? Kapan engkau pernah mengabdikan dirimu, berapa pun harganya, untuk-Ku dan pekerjaan-Ku? Mana bukti kesesuaianmu dengan-Ku? Mana kenyataan kesetiaanmu kepada-Ku? Mana kenyataan ketaatanmu kepada-Ku?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Harus Mencari Cara agar Sesuai dengan Kristus"). Aku membaca firman Tuhan dan merenungkan diriku. Sebelumnya, kukira aku sudah cukup setia dan mengorbankan diriku untuk Tuhan. Setelah aku percaya kepada Tuhan, aku selalu memberitakan Injil, dan tetap menginjil sekalipun berada di garis depan. Suatu hari, aku pulang dari menyirami petobat baru, dan komandanku mengira aku sebagai musuh dan bersiap menembakku. Untungnya, salah seorang saudaraku segera menyadari bahwa itu adalah aku, sehingga dia tidak menarik pelatuknya. Aku yakin bahwa memberitakan Injil dan mengorbankan diriku untuk Tuhan dengan cara seperti ini, serta banyak menderita sembari mendapatkan beberapa orang telah memperlihatkan bahwa aku setia kepada Tuhan, dan Dia pasti puas. Namun sebenarnya, aku sama sekali tidak setia. Saat melaksanakan tugas, hal pertama yang kupikirkan adalah reputasi dan kepentinganku sendiri. Aku takut pemimpin peletonku akan memukuli, mencaci, dan mempermalukanku jika dia dia tahu aku keluar untuk memberitakan Injil; aku takut kehilangan reputasiku. Jadi, aku berhenti melaksanakan tugasku dan tidak lagi memberitakan Injil atau menyirami petobat baru. Pemimpin peleton menyelidiki siapa yang memberitakan Injil kepada penduduk desa, dan aku takut dia akan mengetahui bahwa akulah pelakunya dan mereka akan menangkap dan memenjarakanku, jadi, aku berhenti melaksanakan tugasku. Saat menghadapi keadaan seperti itu berulang kali, yang kupikirkan hanyalah reputasiku. Setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan reputasiku atau mempermalukanku, aku akan meninggalkan tugasku dan berhenti melaksanakannya. Aku sadar bahwa meskipun aku ingin mengorbankan diriku untuk Tuhan, setiap kali kepentinganku terganggu, aku memilih untuk melindungi diriku dan sama sekali tidak membela pekerjaan gereja. Aku tidak bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugasku, dan aku tak punya hati nurani atau nalar. Kini, akhirnya aku sadar bahwa aku tidak setia, bahwa aku tidak cukup tulus terhadap Tuhan, dan bahwa aku terlalu egois dan hina!

Pada saat itu, aku membaca satu bagian firman Tuhan dan sangat terinspirasi. "Mengabarkan Injil adalah tugas dan kewajiban semua orang. Kapan pun itu, apa pun yang kita dengar, atau apa pun yang kita lihat, atau perlakuan seperti apa pun yang kita hadapi, kita harus selalu menjunjung tinggi tanggung jawab untuk mengabarkan Injil ini. Dalam keadaan apa pun kita tidak boleh menyerah dalam melaksanakan tugas ini karena hal-hal negatif atau kelemahan. Tugas mengabarkan Injil bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi penuh dengan bahaya. Ketika engkau semua mengabarkan Injil, engkau tidak akan berhadapan dengan para malaikat, atau makhluk ruang angkasa, atau robot. Engkau semua hanya akan menghadapi manusia yang rusak, setan-setan yang hidup, binatang buas—mereka semua adalah manusia yang bertahan hidup di alam semesta yang jahat ini, di dunia yang jahat ini, yang telah dirusak sedemikian dalam oleh Iblis, dan menentang Tuhan. Oleh karena itu, selama proses mengabarkan Injil, tentunya akan ada berbagai macam bahaya, apalagi fitnahan yang picik, ejekan, dan kesalahpahaman, yang biasa terjadi. Jika engkau sungguh-sungguh menganggap mengabarkan Injil sebagai suatu tanggung jawab, sebagai suatu kewajiban, dan sebagai tugasmu, maka engkau akan mampu memandang hal-hal ini dengan benar dan bahkan menanganinya dengan tepat. Engkau tidak akan melepaskan tanggung jawab dan kewajibanmu, engkau juga tidak akan menyimpang dari niat awalmu untuk mengabarkan Injil dan bersaksi bagi Tuhan karena hal-hal ini, dan engkau tidak akan pernah mengesampingkan tanggung jawab ini, karena ini adalah tugasmu. Bagaimana seharusnya tugas ini dipahami? Pahamilah tugas ini sebagai nilai dan kewajiban utama hidup manusia. Mengabarkan kabar baik tentang pekerjaan Tuhan pada akhir zaman dan Injil tentang pekerjaan Tuhan adalah nilai hidup manusia" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Semua Orang Percaya Terikat Secara Moral pada Tugas untuk Menyebarkan Injil"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa memberitakan Injil tidaklah selalu mulus. Karena kita berurusan dengan manusia yang rusak, kita pasti akan menghadapi berbagai bahaya saat memberitakan Injil, seperti dipukuli, dicaci, dipermalukan, dicemooh, dan difitnah—ini tak bisa dihindari. Memberitakan Injil adalah tugas yang tidak boleh dilalaikan oleh semua yang percaya kepada Tuhan. Apa pun penganiayaan yang menimpa mereka, dan tidak soal bagaimana orang lain mengolok-olok atau mengejek mereka, orang tidak boleh berhenti melaksanakan tugasnya, dan ketika saat genting datang, orang hanya akan di ingat oleh Tuhan, jika mereka melakukan tugas dengan baik. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadaku adalah yang terpenting, dan aku harus melepaskan keangkuhan dan harga diriku serta terus memberitakan Injil dan bersaksi bagi Tuhan, membawa lebih banyak orang ke hadapan Tuhan dan memenuhi tanggung jawabku. Inilah cara terbaik untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis. Tidak soal bagaimana pemimpin peleton mencaci dan mempermalukanku, tidak soal bagaimana rekan-rekanku mengejekku, dan sekalipun mereka akan mengikatku di pohon dan menggantungku, aku harus tetap memberitakan Injil dan bersaksi bagi Tuhan.

Kemudian, pasukan kami dipindahkan lagi ke tempat lain, dan tidak mungkin bagiku untuk keluar dan memberitakan Injil, jadi aku memberitakan Injil secara daring dengan beberapa saudaraku di ketentaraan. Aku membuat grup di ponselku dan menambahkan beberapa saudara ini ke dalam grup. Di luar dugaan, pemimpin peleton mengambil ponselku saat aku tak memperhatikan, dan dia berkata kepadaku: "Jika kau membuktikan bahwa kau tidak percaya kepada Tuhan dalam bentuk janji tertulis, aku akan mengembalikan ponselmu." Kujawab: "Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi mengapa kau menyita ponselku?" Pemimpin peleton menjawab: "Kau sudah terlalu ekstrem dengan kepercayaanmu kepada Tuhan. Kepercayaan penduduk Wa ada pada partainya—percaya kepada Tuhan itu ilegal!" Saat mengatakan ini, dia mengambil sekop dan memukuliku. Keesokan harinya, pemimpin peleton menemukan riwayat percakapan antara aku dan saudara-saudaraku di dalam ponselku, juga menemukan firman Tuhan sekaligus film dan video gereja. Dia melaporkan temuan ini kepada atasannya di kantor pusat. Komandan bertanya kepadaku: "Di mana kau menerima Tuhan Yang Mahakuasa? Apa jabatanmu di gereja? Kepada siapa kau memberitakan Injil? Ada berapa banyak orang percaya di antara pasukan kita?" Saat mereka bertanya kepadaku, aku takut, dan tubuhku bergetar sedikit. Kupikir: "Jika kukatakan yang sebenarnya, maka aku mengkhianati Tuhan seperti Yudas, tetapi jika tidak, maka komandan dan yang lainnya akan bertanya kepada saudara-saudara ini, siapa yang memberitakan Injil kepada mereka, dan jika mereka menjawab akulah orangnya, nasibku pasti akan jauh lebih buruk." Aku terus berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku, memohon agar Dia membimbingku dan memberikanku kekuatan untuk tetap teguh dalam kesaksianku, jadi, entah bagaimana aku dipermalukan atau entah seberapa menderitanya diriku, aku tidak akan mengkhianati saudara-saudariku seperti Yudas. Lalu, kujawab: "Kepercayaanku kepada Tuhan Yang Mahakuasa berarti berkumpul dan memuji Tuhan." Aku tidak menjawab pertanyaan apa pun dari mereka setelah itu.

Akhirnya, mereka memulangkanku dan memenjarakanku. Mereka merantai kakiku bersama tiga orang lainnya. Saat kami makan, tidur, dan pergi ke toilet, kami melakukannya berempat sekaligus, dan juga sulit untuk berjalan. Hatiku agak melemah: "Aku telah dipenjara, diborgol, dan dibelenggu. Jika rekan-rekanku yang tidak percaya melihatku, apa yang akan mereka pikirkan? Akankah mereka juga berkata bahwa aku sudah terlalu ekstrem dengan kepercayaanku kepada Tuhan?" Saat memikirkan hal-hal ini, aku merasa malu dan merasa reputasiku telah rusak. Rasanya aku hampir mengalami gangguan mental. Aku ingin Tuhan menolongku agar bebas dari lingkungan ini, dan aku tidak mau lagi dipermalukan seperti ini. Aku harus diborgol saat pergi makan, dan tentara lainnya mengejekku: "Mengapa kau tidak meminta Tuhanmu melepaskan borgolmu?" Aku makan dengan kepala tertunduk, tak berani menengadah, dan aku berdoa dalam hatiku: "Tuhan, aku menderita. Tingkat pertumbuhanku terlalu rendah. Kumohon agar Engkau membimbingku dan memberiku iman serta kekuatan agar aku mampu menghadapi penghinaan dari orang lain." Setelah berdoa, aku merasa bahwa aku makin kuat, dan aku teringat lagu pujian yang berjudul "Sebuah Pilihan Tanpa Penyesalan":

1 Ketika penangkapan dan penganiayaan terhadap orang Kristen oleh Iblis meningkat luar biasa, ketika kota penuh dengan kengerian, dan aku melarikan diri ke mana saja aku bisa, ketika hak asasi manusia dirampas begitu saja, ketika satu-satunya temanku adalah malam panjang penuh derita, imanku dalam Tuhan takkan goyah, takkan pernah kukhianati Sang Pencipta, satu-satunya Tuhan yang sejati. Tuhan Mahakuasa yang sejati, hatiku milik-Mu. Penjara hanya bisa mengendalikan tubuhku. Penjara tak bisa menghentikan langkahku dalam mengikuti-Mu. Penderitaan menyakitkan, jalan tak rata, dengan bimbingan firman-Mu, hatiku tanpa rasa takut, dengan penyertaan kasih-Mu, hatiku terpuaskan.

2 Ketika penyiksaan Iblis yang kejam semakin meningkat, ketika rasa sakit menderaku lagi dan lagi, ketika kesakitan daging hampir mencapai batasnya, di saat akhir, ketika nyawaku hendak diambil, aku tak akan menyerah kepada si naga merah besar, aku tidak akan pernah menjadi Yudas, tanda aib bagi Tuhan. Tuhan Mahakuasa yang sejati, aku akan setia kepada-Mu sampai mati. Iblis hanya bisa menyiksa dan menghancurkan tubuhku. Ia tak dapat menghancurkan iman dan kasihku kepada-Mu. Hidup dan mati selamanya akan ada di bawah kekuasaan-Mu. Aku akan meninggalkan segala sesuatu untuk bersaksi bagi-Mu. Jika aku dapat bersaksi tentang-Mu dan membuat malu Iblis, aku akan mati tanpa penyesalan.

Betapa aku merasa terhormat bisa mengikuti Kristus dan berusaha mengasihi Tuhan dalam hidup ini! Dengan hati dan jiwa, aku akan membalas kasih Tuhan; aku mau meninggalkan segala sesuatu untuk bersaksi tentang Tuhan. Seumur hidupku, memberikan seluruh diriku kepada Tuhan adalah pilihan yang tak akan kusesali.

—Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru

Pujian ini memberikanku iman. Bagaimanapun orang lain memperlakukanku, aku tak boleh mengkhianati Tuhan. Mengikut Tuhan adalah sebuah pilihan yang tidak akan kusesali seumur hidupku. Aku harus melepaskan reputasiku dan mempertaruhkan segalanya untuk tetap teguh dalam kesaksianku untuk Tuhan.

Dahulu, aku selalu merasa bahwa dianiaya sebagai orang percaya adalah hal yang memalukan, tetapi kemudian, aku teringat satu bagian firman Tuhan yang membalikkan pandanganku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau adalah makhluk ciptaan—engkau tentu saja harus menyembah Tuhan dan mengejar kehidupan yang bermakna. Jika engkau semua tidak menyembah Tuhan tetapi hidup dalam dagingmu yang kotor, lalu bukankah engkau hanyalah binatang buas yang mengenakan pakaian manusia? Karena engkau adalah manusia, engkau harus mengorbankan dirimu bagi Tuhan dan menanggung semua penderitaan! Engkau harus dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu menerima sedikit penderitaan yang engkau alami sekarang dan menjalani kehidupan yang bermakna, seperti Ayub dan Petrus. Di dunia ini, manusia mengenakan pakaian setan, makan makanan dari setan, serta bekerja dan melayani di bawah kendali iblis, menjadi sangat terinjak-injak dalam kotorannya. Jika engkau tidak memahami makna kehidupan atau mendapatkan jalan yang benar, lalu apa artinya hidup seperti ini? Engkau semua adalah orang-orang yang mengejar jalan yang benar dan yang mencari peningkatan. Engkau semua adalah orang-orang yang bangkit di negara si naga merah yang sangat besar, mereka yang Tuhan sebut orang benar. Bukankah itu kehidupan yang paling bermakna?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (2)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa setan yang menangkap dan menganiaya orang Kristen adalah musuh Tuhan, dan pemerintah yang diktator melarang orang untuk percaya dan mengikut Tuhan, hanya mengizinkan mereka menyembah Budha dan presiden dan percaya pada Partai Kesatuan Negara Bagian Wa. Mereka membuat orang mengandalkan diri mereka sendiri untuk menciptakan masa depan yang baik, dan mengubah nasib mereka melalui pendidikan dan menghasilkan uang. Memberitakan Injil Tuhan di tempat seperti ini akan berujung penganiayaan dan rintangan. Di sini, mereka yang percaya kepada Tuhan dan memberitakan Injil akan menghadapi penganiayaan, ejekan, pukulan, dan omelan, dan bahkan dipenjarakan. Namun, ini adalah penganiayaan karena kebenaran—penderitaan yang bermakna. Jika, saat aku disiksa, diejek, dan dipermalukan, aku merasa telah kehilangan reputasi dan tak mampu menatap mata mereka, berarti sudut pandangku atas segala sesuatu tidak benar. Aku adalah makhluk ciptaan, dan percaya dan menyembah Tuhan adalah sesuatu yang sangat wajar dan dibenarkan. Memberitakan Injil dan bersaksi bagi Tuhan adalah misi dan tanggung jawab yang diberikan kepada kita oleh Sang Pencipta, dan itu juga adalah sesuatu yang paling benar di antara manusia. Menjadi sasaran penganiayaan pada saat memberitakan Injil bukanlah hal yang memalukan—ini berarti dianiaya karena kebenaran. Itu seperti Ayub dan Petrus. Saat Ayub menghadapi pencobaan, harta benda keluarganya dirampas penyamun, anak-anaknya meninggal, dan dia dipenuhi barah di sekujur tubuhnya. Orang tidak percaya mengejeknya, berkata bahwa Tuhan yang dia percayai adalah palsu, dan bahkan istrinya menyuruhnya untuk meninggalkan Tuhan dan mati, tetapi dia tetap berdoa kepada Tuhan, memuji nama-Nya dan tetap teguh dalam kesaksiannya bagi Dia. Petrus juga menjadi sasaran penganiayaan saat memberitakan Injil, dan pada akhirnya, dia disalib terbalik, tetapi dia tidak merasa bahwa ini adalah hal yang memalukan. Sebaliknya, dia merasa bahwa dia adalah bagian dari manusia yang rusak dan tak layak disalib seperti Tuhan Yesus, jadi, dia memilih disalibkan terbalik, menjadi kesaksian bagi Tuhan yang berkumandang dan jelas. Hidup mereka adalah hidup yang paling bermakna; disebut orang benar oleh Tuhan adalah kehormatan terbesar. Aku juga memahami kehendak Tuhan. Aku terlalu memedulikan reputasiku, dan aku tidak berani melaksanakan tugasku karena merasa takut akan dipermalukan. Dalam mengatur lingkungan seperti ini untukku, Tuhan sedang memampukanku untuk mengenali dan membereskan watak Iblisku sendiri Dan meluruskan sudut pandangku yang keliru terhadap segala sesuatu di dalam lingkungan ini. Itu untuk menyempurnakan dan menyelamatkanku, dan itu juga memperlihatkan kepadaku bahwa pemerintah rakyat Wa adalah setan yang membenci kebenaran dan menentang Tuhan, dan bagaimanapun mereka menganiaya dan menghalangiku, aku tidak boleh tunduk kepada mereka. Tuhan berkuasa atas dunia ini dan manusia, dan nasibku berada di tangan-Nya. Tidak ada pemerintahan negara yang mampu mengubah nasib atau masa depanku. Aku tidak perlu khawatir. Sesulit apa pun itu, aku akan selalu mengikut Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi Dia. Setelah menyadari hal ini, aku merasa percaya kepada Tuhan dan semua penderitaan itu sepadan. Aku tidak lagi takut orang lain mengejek dan mengolok-olokku, dan saat keluar mengambil makanan, aku tak merasa malu memandang orang lain. Aku sering berdoa kepada Tuhan dan merasa bahwa Dia menemaniku, dan setiap hari, aku lebih bahagia daripada sebelumnya.

Setelah setengah bulan dalam penjara, aku didapati terjangkit COVID-19, jadi mereka memindahkanku ke kantor pusat brigade untuk dikarantina. Saat aku dalam perjalanan ke kantor pusat, mereka memperlakukanku jauh lebih buruk daripada pembunuh. Mereka memasang tiga belenggu di kakiku. Pemimpin peletonku dan yang lainnya semuanya mengejekku: "Bukankah kau percaya kepada Tuhan? Lalu mengapa bisa kau terjangkit COVID-19? Kau bilang Tuhan itu ada, tetapi sebenarnya Tuhan itu sama sekali tidak ada di dunia." Saat mendengar perkataan mereka, aku tidak merasa lemah. Bagaimanapun pemimpin peleton dan yang lainnya mengejekku, dan bagaimanapun orang memandangku, aku mau tunduk. Lalu, pemimpin peleton berkata bahwa dia akan memenjarakanku di bagian keamanan. Rasa takut memenuhi hatiku, karena bagian keamanan sangat ketat, dan aku juga khawatir diolok-olok di dalam penjara. Selain itu, jika aku di dalam penjara, maka aku tidak bisa pulang. Pada masa-masa itu, aku dikunci di dalam sebuah ruangan. Aku tidak memegang ponselku, dan aku tidak bisa membaca firman Tuhan. Ada sebuah gitar di sana, dan yang bisa kulakukan hanyalah memainkan gitar dan menyanyikan lagu pujian. Aku sangat ingin membaca firman Tuhan, dan aku berdoa kepada-Nya, memohon agar Dia memberiku jalan keluar. Beberapa hari kemudian, aku meminjam ponsel saudaraku, Ivan dan menonton film berjudul Kisahku, Kisah Kita. Saudara-saudara di film itu ditangkap oleh Partai Komunis Tiongkok karena percaya kepada Tuhan dan memberitakan Injil. Mereka dianiaya dan disiksa secara kejam, dan banyak orang mengolok-olok mereka. Mereka dihukum penjara dan dikurung selama beberapa tahun; ada yang ditahan selama lebih dari 10 tahun. Mereka sama sekali tidak mendapatkan kebebasan, dan mereka dipaksa bekerja setiap hari, tetapi di dalam penjara, mereka masih bisa berdoa kepada Tuhan, dan membagikan firman Tuhan satu sama lain. Mereka memiliki sikap tunduk kepada Tuhan dan tahu bahwa mereka sedang menempuh jalan yang benar dalam hidup. Mereka semua percaya dan tetap teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan. Aku sangat tersentuh saat mendengar mereka membaca firman Tuhan. Aku sangat mengagumi mereka. Mereka sangat menderita dan masih bisa teguh dalam imannya, mengikut Tuhan dan tidak pernah mundur. Namun, saat aku diolok-olok, dipukuli, dan dicaci oleh orang lain, aku tidak tahan. Aku takut dipenjara, dan kehilangan tekadku segera setelah aku sedikit menderita, ingin Tuhan membantuku terbebas dari lingkungan seperti ini. Aku merasa berutang kepada Tuhan, dan aku berharap Tuhan memberiku satu kesempatan lagi. Berapa tahun pun aku dipenjara, dan betapapun aku sangat dipermalukan, aku akan tunduk dan menghadapinya. Setelah aku dikarantina selama lebih dari 10 hari, itu kebetulan bertepatan pada waktu pulangnya mereka dari garis depan untuk mengambil cuti bulanan terjadwal. Yang tak kuduga adalah ketentaraan juga mengizinkanku untuk cuti. Satu rekan yang tidak percaya berkata: "Lihat, Ayden melakukan kesalahan dan dia harus masuk kamp kerja paksa, tetapi ternyata liburannya datang lebih cepat." Aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Kukira aku akan dipenjara selama beberapa tahun, dan aku tak menduga aku bisa berlibur dan pulang ke rumah. Aku melihat perbuatan Tuhan yang ajaib, dan melihat kemahakuasaan dan kekuasaan-Nya. Sebelum aku berangkat, komandan berkata kepadaku agar tidak memberitakan Injil saat aku pulang. Kupikir: "Saat aku memberitakan Injil di ketentaraan, kau mengendalikan dan memukuliku. Kini saat aku akan pulang, aku punya peluang bagus untuk bersaksi bagi Tuhan—bagaimana bisa aku melewatkannya? Aku akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk memberitakan Injil; aku tak akan mengizinkan satu pun perkataanmu memengaruhiku." Sesampainya di rumah, aku mulai mengumpulkan saudara-saudariku untuk pergi ke desa dan memberitakan Injil. Pada waktu itu, ada enam orang yang menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Lebih dari 10 hari setelah aku kembali ke ketentaraan, pemimpin peleton memindahkanku ke posisi penjaga di pos pemeriksaan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Sebelumnya, aku sangat sibuk di ketentaraan, dan tak punya banyak waktu untuk memberitakan Injil. Setelah berada di posisi ini, aku tidak lagi terlalu sibuk, dan punya lebih banyak waktu memberitakan Injil. Meskipun penganiayaan ketentaraan tidak pernah berhenti, aku tetap pantang mundur memberitakan Injil dan bersaksi tentang Tuhan, dan membawa lebih banyak orang ke hadapan Tuhan untuk memperoleh keselamatan-Nya.

Selama memberitakan Injil, meskipun aku banyak menderita, diolok-olok, dipukuli, dan dicaci, dan juga dipenjara, aku melihat kerusakanku dan kekuranganku sendiri, juga kasih Tuhan. Apa pun keadaan yang kuhadapi, selalu ada firman Tuhan yang membimbingku, membuatku melepaskan keangkuhan dan reputasiku, dan memiliki iman dan kekuatan untuk melanjutkan. Semua pengalaman ini memperlihatku secara langsung bahwa menderita dan dianiaya demi memberitakan Injil adalah sesuatu yang bermakna. Untuk mengikut Tuhan, mengorbankan diri untuk Tuhan, dan melaksanakan tugas adalah kehidupan paling bermakna yang bisa orang miliki.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait