Dibebaskan dari Kecemasan akan Penyakitku
Oleh Saudari Jin Xin, TiongkokIbuku mengidap kanker dan meninggal sebelum aku menikah dan ayahku menderita tekanan darah tinggi ketika...
Kami menyambut semua pencari yang merindukan penampakan Tuhan!
Saudari terkasih,
Semoga surat ini sampai kepadamu dengan baik!
Terakhir kali kau menulis untuk menanyakan tentang keuntungan yang kuperoleh dari melaksanakan tugasku di luar rumah selama setahun terakhir. Aku memang mengalami beberapa hal dan memperoleh sedikit pemahaman tentang watak rusakku. Hari ini, aku ingin berbagi pengalaman yang kualami musim panas lalu.
Saat itu, Saudari Mali dan aku bekerja sama dalam tugas penyiraman. Meskipun Mali baru saja memulai tugas ini, dia tekun, bersemangat untuk belajar, dan terbuka untuk mencari bantuan ketika dia menghadapi masalah yang tidak dipahaminya. Pada awalnya, pertanyaan Mali relatif sederhana, dan aku menjawabnya dengan aktif dan mudah. Mali mengagumiku, mengatakan bahwa aku memiliki pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip, yang membuatku cukup senang. Kemudian, ketika Mali menjadi lebih mengenal prinsip-prinsip, dia mengajukan pertanyaan yang tidak sepenuhnya kupahami, dan bahkan ketika aku memiliki beberapa pendapat, aku tidak yakin apakah pendapat itu benar. Aku takut jika jawabanku salah, Mali mungkin akan memandang rendah padaku, dan berpikir bahwa aku bahkan tidak dapat melihat masalah seperti itu dengan jelas, dan tidak memahami kebenaran atau prinsip-prinsip, sehingga aku menjadi cemas setiap kali dia mengajukan pertanyaan. Ada beberapa pertanyaan yang tidak kupahami, jadi aku berpura-pura tidak mendengar karena memakai headphone, berfokus penuh pada komputer dan menggerakkan tetikus seolah-olah aku terlalu asyik dengan pekerjaanku. Saudari-saudari lainnya, yang mengira kalau aku tidak mendengar atau sedang sibuk dengan hal lain, akan menjawab pertanyaan Mali. Saat itu, kupikir aku cukup pintar—Dengan begitu, kekuranganku tidak akan diketahui orang lain, dan aku tidak perlu khawatir kehilangan muka karena memberikan jawaban yang salah. Namun, aku juga merasa sedikit bersalah. Ketika Mali bertanya, dia benar-benar mencari bantuan, tetapi aku sengaja mengabaikannya. Bukankah ini tindakan yang licik? Selain itu, meskipun aku tidak memahami sesuatu, aku harus jujur serta bersekutu dan mencari solusinya bersama dengan orang lain, yang akan menguntungkan pekerjaan dan jalan masukku sendiri. Namun karena takut salah bicara dan kehilangan muka, aku memilih untuk tetap diam.
Saudari, tahukah kamu? Saat itu, aku merasa seperti orang munafik, setiap hari memakai topeng dan tidak berani menunjukkan diriku yang sebenarnya, takut masalahku terungkap dan diremehkan.
Setelah itu, aku juga mengalami kesulitan dalam tugasku, dan ketika petobat baru mengajukan pertanyaan yang tidak kuketahui cara menyelesaikannya, aku merasa cemas. Aku ingin membuka diri dalam persekutuan dan mencari bantuan dari saudara-saudariku, tetapi aku takut jika melakukan hal tersebut, mereka mungkin berpikir aku tidak bisa memecahkan masalah mendasar seperti itu dan tidak memahami kebenaran. Mali sebelumnya memuji pemahamanku tentang prinsip-prinsip, jadi dia mungkin berpikir bahwa dia telah salah menilaiku. Aku tahu jika aku tidak menyampaikannya, masalah para petobat baru itu tidak akan terselesaikan, dan hidup mereka akan menderita! Namun membuka diri tentang kesulitanku terasa sangat sulit. Aku merasa bahwa secara proaktif mengungkapkan kekuranganku akan membuatku terlihat lemah. Akhirnya, aku tidak sanggup menyampaikannya. Karena tidak berani mengungkapkan kesulitanku, masalah para petobat baru menjadi tidak terselesaikan, bahkan ada yang berhenti menghadiri pertemuan, dan aku merasa tidak mampu melaksanakan tugasku. Aku terpuruk ke dalam keadaan negatif, yang sangat menyakitkan. Selama itu, aku sangat ingin bebas membicarakan kesulitan dan keadaanku tanpa ada kekhawatiran. Aku juga bertanya pada diriku sendiri, "Mengapa begitu sulit mengucapkan kebenaran dan tentang fakta-fakta serta bertindak dengan terus-terang?"
Suatu kali, Mali dan aku sedang berdiskusi apakah seorang saudari dapat dibina untuk menyirami para petobat baru, dan aku pun menyampaikan sudut pandangku. Setelah itu, aku merenungkan prinsip-prinsip tersebut dan menyadari bahwa sudut pandangku agak tidak akurat dan mungkin menyesatkan Mali. Aku agak panik dan berpikir, "Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku meralatnya? Jika aku tidak mengatakan apa-apa, Mali tidak akan tahu bahwa aku salah memahami prinsip-prinsip tersebut, dan aku tidak akan kehilangan muka di hadapannya. Namun jika aku melakukan itu, dan akhirnya kami membina orang yang tidak cocok, bukankah itu artinya tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan merugikan saudara-saudari?" Saat itu, aku merasa terjebak dalam dilema yang tidak dapat dibatalkan. Kemudian aku memikirkan firman Tuhan ini: "Mempermalukan dirimu sendiri adalah hal yang baik. Ini membantumu menyadari kekuranganmu sendiri dan kecintaanmu akan keangkuhan. Ini memperlihatkan kepadamu di mana letak masalah dalam dirimu dan membantumu memahami dengan jelas bahwa engkau bukanlah orang yang sempurna. Tidak ada orang yang sempurna dan mempermalukan dirimu sendiri adalah hal yang sangat normal. Semua orang mengalami saat-saat di mana mereka mempermalukan diri mereka sendiri atau merasa malu. Semua orang pernah gagal, mengalami kemunduran, dan memiliki kelemahan. Mempermalukan dirimu sendiri tidaklah buruk. ... Engkau mungkin mempermalukan dirimu sendiri, orang lain mungkin mempermalukan diri mereka sendiri, semua orang mungkin mempermalukan diri mereka sendiri—pada akhirnya, engkau akan mendapati bahwa semua orang sama, semuanya adalah orang biasa, semuanya adalah manusia fana, dan tak seorang pun lebih hebat daripada yang lain, dan tak seorang pun lebih baik daripada yang lain. Setiap orang terkadang mempermalukan dirinya sendiri, jadi tak seorang pun boleh mengolok-olok orang lain. Setelah engkau mengalami banyak kegagalan, engkau akan secara berangsur menjadi dewasa dalam kemanusiaanmu; jadi setiap kali engkau kembali menghadapi hal-hal ini, engkau tidak akan lagi terkekang, dan semua itu tidak akan memengaruhi pelaksanaan normal tugasmu. Kemanusiaanmu akan menjadi normal, dan ketika kemanusiaanmu normal, nalarmu juga akan menjadi normal" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Firman Tuhan membuatku menyadari bahwa tidak ada satu pun dari kita yang sempurna dan bahwa setiap orang memiliki kekurangan. Akan selalu ada saat-saat ketika kita menyimpang atau tampak bodoh dalam hal tindakan dan cara kita memandang masalah. Hal-hal ini sangatlah normal. Namun, aku tidak memandang diriku sebagai orang biasa dan tidak dapat menghadapi kekurangan dan kelemahanku dengan benar. Meskipun aku tidak sepenuhnya memahami prinsip kebenaran dan nasihatku kepada Mali mengandung beberapa penyimpangan dan menyesatkannya, aku enggan untuk dengan jujur mengakui kekuranganku, takut kalau dia akan berpikir bahwa aku tidak memahami kebenaran lalu memandang rendah diriku. Untuk menyelamatkan muka, aku mencoba menutupi masalahku, yang merupakan tindakan tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan gereja dan jalan masuk kehidupan saudara-saudari. Aku benar-benar licik! Saat menyadari ini, aku pun berterus-terang kepada Mali tentang watak rusak yang telah kusingkapkan dalam hal ini, mengoreksi sudut pandang keliru yang sebelumnya kusampaikan, dan kemudian mengusulkan agar kami memilih orang lagi sesuai dengan prinsip. Saudari, meskipun aku kehilangan muka kali ini, dengan bertindak sesuai firman Tuhan, aku tidak memperburuk keadaan, dan hati nuraniku menjadi tenang.
Kemudian, ketika merangkum pekerjaan itu, aku memberanikan diri untuk bersekutu tentang keadaanku dan kesulitan-kesulitan yang kuhadapi dalam pekerjaanku. Para saudari membacakan firman Tuhan kepadaku untuk membantu menyelesaikan keadaanku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Watak macam apakah ketika orang selalu menyamarkan diri, selalu menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya, selalu berpura-pura agar orang lain menghormati mereka dan tidak dapat melihat kesalahan atau kekurangan mereka, ketika mereka selalu berusaha menampilkan sisi terbaik mereka kepada orang-orang? Ini adalah watak yang congkak, palsu, dan munafik, ini adalah watak Iblis, ini adalah sesuatu yang jahat" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). "Antikristus meyakini bahwa jika mereka terlalu banyak bicara, selalu mengungkapkan pandangannya dan bersekutu bersama orang lain, semua orang akan mengetahui yang sebenarnya tentang dirinya; orang akan berpikir bahwa antikristus tidak memiliki wawasan yang mendalam, hanya orang biasa, dan tidak akan menghormatinya. Apa artinya kehilangan rasa hormat bagi antikristus? Itu berarti kehilangan status terhormatnya di hati orang lain, mereka akan terlihat biasa-biasa saja, bodoh, dan tidak penting. Inilah yang ingin dihindari oleh antikristus. Oleh karena itu, ketika antikristus melihat orang lain di gereja selalu terbuka dan mengakui kenegatifannya, pemberontakannya terhadap Tuhan, kesalahan masa lalu, atau penderitaan mendalam yang dirasakan saat ini karena tidak bersikap jujur, antikristus menganggap orang-orang ini bodoh dan naif karena mereka sendiri tidak pernah mengakui hal-hal seperti itu dan menyembunyikan pemikirannya. Ada orang-orang yang jarang berbicara karena kualitas yang buruk atau pemikiran yang sederhana, kurangnya pemikiran yang kompleks, tetapi ketika antikristus jarang berbicara, itu bukan karena alasan yang sama; justru itu adalah masalah watak. Mereka jarang berbicara ketika bertemu dengan orang lain dan tidak siap mengungkapkan pandangannya tentang berbagai hal. Mengapa mereka tidak mengungkapkan pandangannya? Pertama, mereka jelas tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Jika berbicara, mereka mungkin akan membuat kesalahan dan memperlihatkan dirinya yang sebenarnya. Mereka takut diremehkan, jadi mereka berpura-pura diam dan berlagak memiliki wawasan yang mendalam sehingga sulit bagi orang lain untuk menilainya. Dengan begitu, mereka tampak bijaksana dan terhormat. Dengan kedok ini, orang lain tidak berani meremehkan antikristus, sikap mereka yang tampak tenang dan kalem membuat orang lain makin menghormatinya dan tidak berani menyepelekannya. Inilah aspek antikristus yang licik dan jahat. Mereka jarang mengungkapkan pandangannya karena sebagian besar pandangannya tidak sejalan dengan kebenaran, tetapi hanya gagasan dan imajinasi manusia yang tidak layak untuk diungkapkan ke publik. Jadi, mereka tetap diam. Di dalam hati, mereka berharap untuk mendapatkan sedikit wawasan yang bisa mereka sampaikan untuk mendapatkan kekaguman, tetapi karena mereka tidak memiliki pemahaman tersebut, mereka tetap diam dan bersembunyi selama persekutuan tentang kebenaran, mengintai dalam bayangan seperti hantu yang menunggu kesempatan. Ketika mereka mendapati orang lain yang menyampaikan wawasannya, mereka mencari cara untuk mengambil ide tersebut, mengungkapkannya dengan cara lain untuk memamerkan diri. Begitu liciknya antikristus. Apa pun yang dilakukan, mereka berusaha untuk menonjol dan menjadi lebih unggul, dan baru pada saat itulah mereka merasa senang. Jika tidak ada kesempatan, mereka menahan diri terlebih dahulu, dan menyimpan pandangannya untuk diri sendiri. Inilah kelicikan antikristus" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Enam). Aku melihat penyingkapan Tuhan tentang antikristus, bahwa mereka tidak memahami kebenaran dan tidak pernah membuka diri saat berinteraksi dengan orang lain, takut kekurangan dan kelemahan mereka terungkap dan kehilangan status atau citra mereka di hati orang lain, sehingga mereka berpura-pura menjadi orang yang hebat dan berbudi mulia, berusaha keras menyembunyikan dan menyamarkan diri mereka, sehingga sulit bagi orang lain untuk memahami mereka. Mereka bertindak licik dan memiliki watak yang jahat—inilah esensi natur antikristus. Keadaan dan perilakuku sama dengan antikristus, dan aku sering menyamarkan diriku sendiri demi menyelamatkan muka dan melindungi statusku. Saat merenungkan kembali ketika Mali pertama kali datang, dia mengajukan pertanyaan yang relatif sederhana, dan menjawabnya tidak menyingkapkan kekuranganku, sehingga aku dapat menjawab dengan mudah, dan mendapatkan pujian darinya. Seiring Mali menguasai beberapa prinsip, dia mulai mengajukan pertanyaan yang tidak dapat kupahami sepenuhnya. Aku takut jika jawabanku tidak akurat, para saudara-saudari akan mengetahui maksudku dan aku akan kehilangan citra yang mereka miliki tentang diriku. Agar tidak kehilangan muka, aku menggunakan taktik mengelak, pura-pura sibuk atau tidak mendengar pertanyaan untuk menutupi kekuranganku, bahkan berusaha menutupi jika jawabanku menyimpang. Bahkan ketika aku menghadapi kesulitan dalam tugasku dan tidak dapat menyelesaikannya, yang menyebabkan keterlambatan dalam pekerjaan dan aku menjadi pasif serta lemah, aku tetap menghindari untuk membuka diri dan mencari bantuan. Aku khawatir jika saudara-saudari mengetahui kekuranganku, mereka akan berpikir aku tidak memahami kebenaran dan memandang rendah diriku. Kurangnya keterbukaan dalam pekerjaanku, terus-menerus melindungi reputasi dan citraku, dan kepura-puraanku untuk menjadi hebat dan agung, serta menyamarkan diri untuk menyesatkan orang lain—semua itu merupakan perwujudan watak antikristus! Saudari, setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari betapa munafik dan liciknya naturku, dan betapa seriusnya watak antikristus dalam diriku. Aku merasa takut dan jijik terhadap watak rusakku, dan aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku telah terus-menerus menyamarkan diriku sendiri demi menjaga citra dan statusku di hati orang lain, dan aku tidak mempunyai keserupaan dengan manusia, yang membuat Engkau membenciku. Ya Tuhan, kerusakanku begitu dalam. Aku berdoa agar Engkau menyelamatkanku dan menolongku mengenali diriku sendiri serta menyingkirkan watak rusakku."
Suatu hari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan, yang memberiku sedikit pemahaman tentang akar dari watak rusakku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika orang-orang yang lebih tua di keluargamu sering berkata kepadamu, 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya', tujuan mereka adalah agar engkau mementingkan reputasi yang baik, menjalani kehidupan yang membanggakan, dan tidak melakukan hal-hal yang akan menjadi aib bagimu. Lalu, apakah pepatah ini membimbing orang dengan cara yang positif atau negatif? Dapatkah pepatah ini menuntunmu pada kebenaran? Dapatkah pepatah ini menuntunmu untuk memahami kebenaran? (Tidak.) Dapat dikatakan dengan pasti bahwa jawabannya adalah 'Tidak!' Coba renungkan, Tuhan berfirman bahwa manusia itu harus berperilaku jujur. Setelah engkau melanggar, atau melakukan sesuatu yang salah, atau melakukan sesuatu yang memberontak terhadap Tuhan dan menentang kebenaran, engkau harus mengakui kesalahanmu, mengenal dirimu sendiri, dan terus menganalisis dirimu sendiri agar engkau mengalami pertobatan sejati, dan setelah itu, engkau harus bertindak berdasarkan firman Tuhan. Jadi, jika orang berperilaku jujur, apakah tindakan itu bertentangan dengan pepatah 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya'? (Ya.) Mengapa bertentangan? Karena pepatah 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya' dimaksudkan agar orang mementingkan sisi kehidupan mereka yang cerah dan berwarna serta melakukan lebih banyak hal yang akan membuat mereka terlihat baik—alih-alih melakukan hal-hal buruk dan tidak terhormat, atau memperlihatkan sisi buruk mereka—dan menghindarkan diri mereka agar tidak menjalani kehidupan yang tidak memiliki harga diri atau tidak bermartabat. Demi reputasi, demi harga diri dan kehormatannya, orang tidak boleh mengatakan apa pun yang buruk mengenai diri mereka sendiri, apalagi memberi tahu orang lain tentang sisi gelap dan aspek-aspek memalukan dalam dirinya, karena orang haruslah hidup dengan memiliki harga diri dan martabat. Agar memiliki martabat, orang harus memiliki reputasi yang baik, dan untuk memiliki reputasi yang baik, orang harus berpura-pura dan 'mengemas' dirinya. Bukankah ini bertentangan dengan berperilaku jujur? (Ya.) Ketika engkau berperilaku jujur, yang kaulakukan itu sepenuhnya bertentangan dengan pepatah 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya'. ... Namun, jika engkau tidak memahami kebenaran ini, dan tidak memahami maksud Tuhan, pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu akan cenderung mengendalikanmu. Jadi, ketika engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau menutupinya dan berpura-pura, berpikir, 'Aku tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini, dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu tentang hal ini mengatakan apa pun. Jika ada di antaramu yang mengatakannya, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Reputasiku adalah yang utama. Hidup tidak ada gunanya jika bukan demi reputasi, karena reputasi lebih penting daripada apa pun. Jika orang kehilangan reputasinya, berarti dia telah kehilangan seluruh martabatnya. Jadi, kita tidak boleh mengatakan yang sebenarnya, kita harus berpura-pura, kita harus menutupi semuanya, karena jika tidak, kita akan kehilangan reputasi serta martabat kita, dan hidup kita akan menjadi tidak berharga. Jika tak seorang pun menghormati kita, berarti kita hanyalah orang yang tidak berharga, hanya sampah.' Mungkinkah engkau berperilaku jujur jika engkau bertindak dengan cara seperti ini? Mungkinkah engkau mampu sepenuhnya terbuka dan menganalisis dirimu sendiri? (Tidak.) Jelaslah bahwa dengan melakukan hal ini, engkau sedang mematuhi pepatah 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya' yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu. Namun, jika engkau melepaskan pepatah ini demi mengejar serta menerapkan kebenaran, pepatah ini tidak akan lagi memengaruhimu, dan tidak akan lagi menjadi semboyanmu atau prinsipmu dalam melakukan segala sesuatu, dan sebaliknya, apa yang kaulakukan justru akan berkebalikan dengan pepatah 'Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya'. Engkau tidak akan hidup demi reputasimu, atau demi martabatmu, sebaliknya, engkau akan hidup demi mengejar kebenaran, demi dapat berperilaku jujur, dan engkau akan berusaha memuaskan Tuhan serta hidup sebagai makhluk ciptaan yang sejati. Jika engkau mematuhi prinsip ini, engkau akan mampu melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"). Melalui pemaparan firman Tuhan, aku menyadari bahwa aku telah hidup sesuai dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya," yang kujadikan sebagai semboyan hidupku. Sejak kecil, orang tuaku mengajarkan aku bahwa "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya," bahwa "Wajah tak ternilai harganya," dan bahwa "Seseorang tidak boleh kehilangan muka apa pun yang terjadi." Karena dipengaruhi oleh ajaran jangka panjang dan ide-ide keliru dari orang tuaku, aku mulai memandang citra sebagai hal yang paling penting, meyakini bahwa hidup bermartabat dan terhormat berarti mendapatkan nama baik dan memperoleh kekaguman serta pujian dari orang lain. Aku ingat ketika aku masih bersekolah, selama kelas musik, aku diminta untuk bernyanyi di atas panggung. Seorang teman sekelas berkata bahwa aku bernyanyi seolah-olah sedang membaca teks. Aku merasa dipermalukan di depan umum, seolah-olah aku telah ditampar, dan berharap aku bisa menghilang ke dalam celah tanah. Sejak itu, aku tidak pernah bernyanyi lagi, sehingga orang lain tidak akan mengetahui bahwa aku bernyanyi dengan nada sumbang. Setelah aku mulai percaya kepada Tuhan, aku tahu bahwa Tuhan menghargai kejujuran, tetapi aku terus hidup dengan filosofi Iblis bahwa "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya." Aku menimbang tindakan dan kata-kata berdasarkan dampaknya terhadap nama baik serta statusku. Jika itu menyingkapkan kekuranganku dan menyebabkan rasa malu, aku akan berusaha keras untuk menyembunyikan dan menyamarkan diriku, bahkan lebih suka menunda pekerjaan gereja dan merugikan saudara-saudari, daripada kehilangan muka. Aku menjadi licik, suka menipu, dan egois, dan hidup tanpa keserupaan dengan manusia yang sejati. Kesempatan yang Tuhan berikan kepadaku untuk melaksanakan tugas dimaksudkan untuk membantuku mencari kebenaran dan menyelesaikan masalah-masalah nyata. Meskipun aku memiliki banyak kekurangan, jika aku dapat melepaskan kesombonganku, membuka diri, dan mencari persekutuan, aku akan memperoleh beberapa pemahaman dan jalan masuk ke dalam kebenaran, serta makin menguasai prinsip-prinsip untuk melaksanakan tugasku dengan baik. Namun, aku terlalu peduli dengan nama baik dan statusku. Ketika menghadapi kesulitan, aku tidak membuka diri, mencari, atau secara terbuka bersekutu tentang sudut pandangku yang salah, yang mengakibatkan masalah yang tidak terselesaikan, tidak ada kemajuan yang dicapai dalam kebenaran atau prinsip, dan banyak kesempatan yang hilang untuk mendapatkan kebenaran. Aku menghargai nama baikku lebih dari apa pun, dan bahkan tidak mampu mengucapkan satu kejujuran pun demi citraku. Aku hidup tanpa martabat, yang tidak hanya menunda jalan masuk kehidupanku, tetapi juga merugikan pekerjaan gereja. Aku tidak ingin lagi hidup terikat oleh watak rusakku dan bersedia menerapkan kebenaran serta menjadi orang yang jujur.
Kemudian, selama renunganku, aku membaca firman Tuhan dan menemukan jalan penerapannya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau harus mencari kebenaran untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul, apa pun masalahnya, dan sama sekali tidak menyamarkan dirimu atau mengenakan kedok di hadapan orang lain. Kekuranganmu, kelemahanmu, kesalahanmu, watakmu yang rusak—terbukalah sepenuhnya mengenai semua itu, dan bersekutulah tentang semuanya itu. Jangan menyembunyikannya di dalam hati. Belajar untuk membuka dirimu sendiri adalah langkah awal menuju jalan masuk kehidupan, dan inilah rintangan pertama, yang paling sulit untuk diatasi. Begitu engkau berhasil mengatasinya, masuk ke dalam kebenaran menjadi mudah. Apa yang ditunjukkan dari mengambil langkah ini? Ini menunjukkan bahwa engkau sedang membuka hatimu dan menunjukkan semua yang kaumiliki, baik atau buruk, positif atau negatif; menelanjangi dirimu agar dilihat oleh orang lain dan oleh Tuhan; tidak menyembunyikan apa pun dari Tuhan, tidak menutupi apa pun, tidak menyamarkan apa pun, bebas dari kelicikan dan tipu muslihat, dan juga bersikap terbuka serta jujur dengan orang lain. Dengan cara ini, engkau hidup dalam terang, dan bukan saja Tuhan akan memeriksamu, tetapi orang lain akan bisa melihat bahwa engkau bertindak dengan prinsip dan dengan suatu tingkat keterbukaan. Engkau tak perlu menggunakan cara apa pun untuk melindungi reputasi, citra, dan statusmu, engkau juga tak perlu menutupi atau menyamarkan kesalahanmu. Engkau tak perlu terlibat dalam upaya yang sia-sia ini. Jika engkau dapat melepaskan hal-hal ini, engkau akan sangat tenang, engkau akan hidup tanpa kekangan atau rasa sakit, dan akan sepenuhnya hidup dalam terang" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). "Jika engkau ingin berperilaku jujur, jangan menganggap penting harga dirimu; harga diri manusia sama sekali tidak berharga. Diperhadapkan dengan kebenaran, orang harus menyingkapkan dirinya, tidak berpura-pura atau menciptakan citra diri yang palsu. Orang harus mengungkapkan kepada Tuhan pemikirannya yang sebenarnya, kesalahan yang pernah dilakukannya, aspek-aspek dirinya yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran, dan sebagainya, dan juga menceritakan yang sebenarnya tentang hal-hal ini kepada saudara-saudari. Orang tidak boleh hidup demi reputasinya, tetapi harus hidup demi dapat berperilaku jujur, hidup demi mengejar kebenaran, hidup demi menjadi makhluk ciptaan sejati, dan hidup demi memuaskan Tuhan dan diselamatkan. ... Engkau tidak akan hidup demi reputasimu, atau demi martabatmu, sebaliknya, engkau akan hidup demi mengejar kebenaran, demi dapat berperilaku jujur, dan engkau akan berusaha memuaskan Tuhan serta hidup sebagai makhluk ciptaan yang sejati. Jika engkau mematuhi prinsip ini, engkau akan mampu melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"). Firman Tuhan membuatku memahami prinsip-prinsip penerapan tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku. Tuhan menyukai orang-orang yang jujur. Baik saat berinteraksi dengan orang lain maupun saat melaksanakan tugas, kita tidak boleh menyamarkan atau menutupi kekurangan dan kelemahan kita demi nama baik dan status kita. Bahkan jika kita melakukan kesalahan atau tidak mengerti kebenaran dan tidak dapat memahami sesuatu dengan jelas, kita tidak boleh menyembunyikan atau menutupinya. Sebaliknya, kita harus terbuka dan jujur, mengakui apa yang tidak dapat kita pahami dengan jelas, dan berbicara sesuai dengan pemahaman kita. Jika saran atau sudut pandang yang kita tawarkan memiliki penyimpangan, kita harus menghadapinya dengan tenang dan menerima bimbingan dari saudara-saudari, alih-alih hidup demi nama baik kita. Mau membuka diri tentang kesulitan dan kekurangan kita bukanlah hal memalukan, juga bukan tanda kelemahan. Itu adalah perwujudan dari pencarian kebenaran. Dengan menghadapi kekurangan kita dengan benar dan melepaskan kesombongan untuk menerapkan kebenaran kita akan dapat bersikap terus-terang dan memudahkan kita lebih cepat memperoleh jalan masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Setelah membaca firman Tuhan ini, aku merasa memiliki jalan penerapannya. Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku bukanlah orang yang jujur. Aku telah melakukan banyak hal munafik dan licik demi menyelamatkan muka, yang membuat-Mu muak dan jijik. Aku ingin bertobat, mengejar kebenaran, dan menjadi orang yang jujur."
Suatu hari, ketika aku sedang melaksanakan tugasku dengan beberapa saudara-saudari, Mali mengajukan pertanyaan untuk mencari persekutuan. Setelah mendengarkan, aku merasa pertanyaannya agak sulit dan aku tidak yakin apakah pandanganku tepat. Aku mulai kembali merasa gugup, pikirku, "Haruskah kujawab atau tidak? Jika aku tidak menjawab dengan benar, bukankah aku akan kehilangan muka? Mungkin aku harus menunggu saudari-saudari yang lain untuk menjawab." Namun kemudian aku berpikir, "Jika aku terus berdiam diri, mengelak, dan menyamarkan diriku demi menyelamatkan muka, aku akan tetap hidup menurut watak yang rusak." Aku teringat pada bagian firman Tuhan berikut: "Bagaimana pengalamanmu menjadi seorang jujur sekarang ini? Sudahkah engkau mencapai hasil? (Terkadang aku bersikap jujur, tapi terkadang aku lupa melakukannya.) Dapatkah engkau lupa menerapkan kebenaran? Jika engkau lupa menerapkan kebenaran, ini menunjukkan masalah apa? Apakah engkau mencintai kebenaran atau tidak? Jika engkau tidak mencintai kebenaran, akan sulit bagimu untuk masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Engkau semua harus menerapkan kebenaran dan berlatih dengan serius untuk menjadi orang yang jujur. Engkau harus sering merenungkan bagaimana menjadi orang yang jujur dan nalar apa yang seharusnya engkau miliki. Tuhan menuntut manusia untuk jujur, dan mereka harus mengejar kejujuran sebagai hal yang terpenting. Mereka harus jelas dan memahami kebenaran apa yang perlu mereka miliki dan kenyataan apa yang perlu mereka masuki agar menjadi orang yang jujur dan hidup dalam keserupaan dengan Petrus, dan mereka harus menemukan jalan penerapannya. Hanya dengan cara demikian, ada harapan bagi mereka untuk menjadi orang yang jujur dan orang yang Tuhan kasihi" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan untuk Mengatasi Watak yang Rusak"). Aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, mengatakan kepada-Nya bahwa kali ini aku tidak bisa lagi dikekang oleh kesombonganku. Aku harus terbuka dan jujur. Maka kemudian, aku berbicara dan mengutarakan pandangan dan pendapatku. Setelah selesai menyampaikannya, saudari-saudari lainnya menambahkan pemikiran mereka berdasarkan apa yang telah kusampaikan. Melalui persekutuan semua orang, masalah Mali terselesaikan, dan senyum muncul di wajahnya. Saat itu, ketika aku berbicara dalam persekutuan, aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Rasanya seolah-olah akhirnya aku terbebas dari belenggu kesombongan dan keangkuhan dan melangkah maju untuk menjadi orang yang jujur. Kemudian, ketika Mali mengajukan lebih banyak pertanyaan, aku terkadang masih takut membuat kesalahan dan kehilangan muka. Setiap kali menyadari hal ini, aku berdoa memohon pertolongan kepada Tuhan untuk berontak terhadap diriku sendiri, mengesampingkan kesombonganku, dan secara aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan saudari itu. Kadang-kadang sudut pandangku salah, atau ada masalah yang tidak dapat kulihat dengan jelas dan jawabanku tidak akurat, dan para saudari akan menawarkan persekutuan tambahan. Meskipun hal ini terkadang membuatku merasa sedikit malu, mendengarkan persekutuan mereka dengan saksama memperjelas dan meningkatkan pemahamanku. Ketika menghadapi kesulitan atau masalah dalam tugasku, aku juga mencari persekutuan dari saudara-saudariku. Mereka tidak memandang rendah atau meremehkan aku, tetapi dengan sabar mempersekutukan kebenaran untuk membantuku. Aku merasakan kelegaan dan kemudahan yang datang dari menerapkan kejujuran, dan aku merasa jauh lebih baik dengan bersikap seperti ini. Puji Tuhan!
Saudari, itulah pengalamanku. Kuharap kau juga akan menulis kepadaku tentang pengalaman dan pencapaianmu selama setahun terakhir.
Salam hormatku,
Xinjing
10 Juni 2023
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.
Oleh Saudari Jin Xin, TiongkokIbuku mengidap kanker dan meninggal sebelum aku menikah dan ayahku menderita tekanan darah tinggi ketika...
Oleh Saudari Cheng Nuo, TiongkokSaat aku masih kecil, ibuku sering memberitahuku, “Kau harus waspada saat berinteraksi dengan orang lain....
Oleh Saudari Wang Yin, TiongkokBulan Agustus 2015, aku terpilih sebagai pemimpin gereja. Saat itu, gereja punya beberapa surat laporan yang...
Oleh Saudari Ye Yuan, Myanmar Suatu hari ada pemilihan gereja untuk memilih seorang pemimpin penginjilan. Di luar dugaanku, ketika hasilnya...