Satu Cobaan Demi Cobaan Lain

07 Desember 2024

Suatu pagi di bulan April 2009, sekitar pukul 9 pagi, saat baru saja melangkah ke luar jalan setelah sebuah pertemuan, aku dan Saudari Ding Ning dikepung oleh delapan pria. Tanpa sepatah kata pun, mereka langsung menarik tangan kami ke belakang punggung kami dan merampas tas kami serta uang gereja sejumlah lebih dari 40.000 RMB. Aku benar-benar terkejut dan sebelum sempat bereaksi, aku sudah digiring masuk ke dalam kendaraan mereka. Tak lama kemudian, aku mendengar seorang wanita berkata, "Para tersangka sudah kami amankan." Barulah saat itu aku menyadari bahwa kami telah ditangkap oleh polisi. Aku merasa marah karena mereka telah merampas sejumlah besar dana gereja kami dan berpikir, "Para polisi ini menangkap kami dan merampas uang kami begitu saja di siang bolong, di mana aturan hukumnya?" Aku merasa agak takut dan jantungku berdegup kencang, jadi aku terus berdoa kepada Tuhan. Aku meminta Tuhan melindungi hatiku agar entah bagaimana para polisi itu menyiksa dan menginterogasiku, aku tidak akan mengkhianati Tuhan seperti Yudas dan dapat berdiri teguh dalam kesaksianku untuk-Nya. Setelah berdoa, aku merasakan ketenangan menyelimuti diriku.

Para polisi membawa kami ke tempat terpencil dan memisahkan kami untuk diinterogasi. Ruang interogasi itu terasa suram dan menyeramkan dan para polisi di dalamnya tampak bengis dan menyeramkan. Salah satu polisi memulai interogasi dengan bertanya, "Apakah kau seorang pemimpin gereja? Apa hubunganmu dengan Ding Ning? Bagaimana kalian bertemu? Apakah dia atasanmu?" Aku menjawab, "Aku bukan pemimpin dan aku tidak tahu siapa 'Ding Ning' yang kau maksud." Hal itu membuatnya marah dan dia menampar wajahku serta menendangku dua kali, lalu dia berteriak, "Sepertinya aku harus menggunakan cara keras agar kau mau mengaku." Setelah mengatakan itu, dia mulai meninju wajahku berulang kali. Aku tidak ingat berapa kali dia memukulku—darah mengucur dari bibirku, wajahku bengkak hingga tidak bisa dikenali dan rasa sakit yang luar biasa langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Namun dia tidak berhenti, bahkan terus menghujani kepalaku dengan pukulan, meninggalkan benjolan yang terasa sangat menyakitkan di dahiku. Aku berpikir dalam hati, "Mereka memukuliku tanpa belas kasihan. Bagaimana jika aku terkena gegar otak karena dipukuli dengan brutal seperti ini? Bagaimana jika mereka memukulku sampai aku mengalami kerusakan otak serius? Bagaimana aku bisa terus percaya pada Tuhan setelah itu?" Makin aku memikirkannya, makin aku takut. Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar melindungi hatiku. Setelah berdoa, aku teringat pada bagian firman Tuhan ini: "Siapakah dari seluruh umat manusia yang tidak diperhatikan di mata Yang Mahakuasa? Siapakah yang tidak hidup menurut apa yang telah ditentukan dari semula oleh Yang Mahakuasa? Apakah kehidupan dan kematian manusia terjadi karena pilihannya sendiri? Apakah manusia mengendalikan nasibnya sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 11"). Tuhan adalah Sang Pencipta dan Dia memerintah atas segala sesuatu. Hidupku ada di tangan-Nya dan bukan Iblis yang menentukan apakah aku akan lumpuh atau dipukuli sampai mengalami kerusakan otak. Aku bersedia menyerahkan hidupku ke dalam tangan Tuhan. Setelah menyadari hal ini, aku merasa sedikit lebih tenang dan berpikir, "Setan-setan ini sebaiknya menyerah jika mengira bisa mendapatkan informasi apa pun dariku. Aku tidak akan pernah menyerah kepada mereka!"

Setelah itu, para polisi membawaku ke sebuah hotel dan melanjutkan interogasi. Seorang polisi wanita dengan suara melengking mencecarku dengan pertanyaan, "Siapa namamu? Kau sudah tinggal bersama berapa banyak keluarga tuan rumah? Siapa saja yang kau kenal? Di mana gerejamu menyimpan dananya?" Ketika aku tidak menjawab, dia maju ke hadapanku, menampar wajahku dua kali dan memaksaku melepas sepatu kemudian menginjak jari-jari kakiku dengan sepatu kulitnya. Rasa sakit yang luar biasa langsung menjalar ke seluruh tubuhku dan jerit kesakitan tak bisa kutahan lagi. Dia menginjak-injak jari kakiku yang berdarah sambil berkata, "Kalau kau tidak kuat menahan sakit ini, katakan saja apa yang ingin kami dengar!" Rasa sakit itu benar-benar tak tertahankan, jadi aku berseru kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka tidak akan berhenti menyiksaku. Aku takut tidak mampu lagi menahan siksaan mereka. Tolong bimbing aku." Setelah berdoa, tiba-tiba aku teringat bahwa Tuhan adalah perisaiku, dan bersama Tuhan yang memimpin jalanku, apa yang perlu kutakuti? Tidak peduli bagaimana polisi menyiksaku, aku tidak akan mengkhianati Tuhan atau mengorbankan gereja. Melihat aku masih tidak mau bicara, polisi lain memborgol tanganku ke belakang punggung dan secara paksa menarik tanganku ke atas saat dia menginterogasiku. Aku langsung merasa kesakitan seolah sendiku bergeser, dan tak lama kemudian, punggung tanganku mulai membengkak parah. Polisi lain mengancamku, "Kalau kau tetap tidak mau bicara, kami akan menelanjangimu, menggantungkan tanda di lehermu dan menaruhmu di atas mobil patroli lalu mengarakmu keliling kota. Kita lihat apakah kau masih punya harga diri setelah itu!" Mendengar ini, aku menjadi sangat cemas dan berpikir, "Setan-setan ini benar-benar jahat dan sepertinya mereka akan melakukan apa saja. Jika mereka benar-benar menelanjangiku dan mengarakku keliling kota, bagaimana aku bisa muncul di depan umum dan melanjutkan hidupku setelah itu?" Di saat aku merasa sangat lemah dan tertekan, aku teringat pada lagu pujian dari firman Tuhan: "Tuhan telah menjadi daging kali ini untuk melakukan pekerjaan yang belum Dia selesaikan, untuk menghakimi zaman ini dan mengakhirinya, untuk menyelamatkan manusia dari lautan penderitaan, untuk sepenuhnya menaklukkan umat manusia, dan untuk mengubah watak hidup mereka. Banyak sudah malam-malam tanpa tidur yang telah diderita Tuhan untuk membebaskan manusia dari penderitaan dan dari kekuatan gelap yang hitam seperti malam, dan demi pekerjaan umat manusia. Dia telah turun dari tempat yang tertinggi ke tempat yang terendah untuk hidup di neraka manusia dan menghabiskan hari-hari-Nya bersama manusia. Tuhan tak pernah mengeluhkan keburukan di antara manusia, ataupun menuntut manusia secara berlebihan; sebaliknya, Tuhan telah menanggung penghinaan terbesar sementara melaksanakan pekerjaan-Nya. Agar seluruh umat manusia dapat menemukan istirahat lebih cepat, Dia telah menanggung penghinaan dan menderita ketidakadilan untuk datang ke bumi, dan secara pribadi masuk ke dalam 'neraka' dan 'dunia orang mati,' ke dalam sarang harimau, untuk menyelamatkan manusia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, hatiku sangat tersentuh. Tuhan itu kudus—untuk menyelamatkan umat manusia yang telah dirusak begitu dalam oleh Iblis, Dia datang dua kali dalam daging. Dia pertama kali datang untuk menebus umat manusia dan disalibkan, menanggung penderitaan yang tak terbayangkan. Di akhir zaman, Dia datang lagi dalam daging ke Tiongkok dan mengalami penganiayaan serta perburuan oleh PKT termasuk kecaman, fitnahan, dan penolakan dari dunia keagamaan, semua ini untuk menyelamatkan manusia dengan sepenuhnya dari dosa-dosa mereka. Tuhan dengan diam-diam menanggung semua ini dan terus menyatakan kebenaran serta melaksanakan pekerjaan untuk menyelamatkan kita—kasih-Nya kepada kita sungguh luar biasa. Aku cukup beruntung dapat menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman dan menikmati pembekalan firman Tuhan, jadi aku tahu aku harus membalas kasih Tuhan. Setelah menyadari hal ini, aku tahu bahwa semua rasa sakit dan penghinaan itu punya arti dan nilai—yaitu menanggung penganiayaan demi kebenaran. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Ya Tuhan! Tidak soal bagaimana para polisi menghinaku, aku akan tetap berdiri teguh dalam kesaksianku demi menyenangkan-Mu!" Setelah berdoa, aku merasa tidak terlalu takut lagi. Setelah itu, seperti apa pun para polisi mengancamku, aku tidak mengucapkan sepatah kata pun dan mereka tidak punya pilihan selain pergi.

Beberapa hari kemudian, ketika para polisi menyimpulkan bahwa mereka tidak akan mampu mendapatkan informasi apa pun dariku, mereka mengirimku ke pusat penahanan. Begitu aku tiba, seorang polisi wanita dengan sengaja menghinaku dengan memerintahkanku untuk melepaskan semua pakaianku dan berputar-putar, juga jongkok dengan tangan di belakang kepala dan melakukan lompat katak. Empat puluh dua hari kemudian, aku dijatuhi dakwaan palsu yaitu "menggunakan kultus keagamaan untuk merongrong penegakan hukum" dan dihukum satu setengah tahun menjalani pendidikan ulang dengan menjadi buruh. Sungguh akan sangat sulit untuk melewati lebih dari satu tahun tanpa membaca firman Tuhan, berkumpul, bersekutu dan melaksanakan tugasku, begitulah pikirku. Aku pun berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Ya Tuhan! Aku tidak tahu siksaan apa yang menantiku nantinya dan apakah aku akan sanggup menanggungnya. Tolong bimbing aku untuk memahami kehendak-Mu, agar aku dapat tetap kuat dalam lingkungan ini." Setelah berdoa, aku teringat pada bagian firman Tuhan ini: "Jangan berkecil hati, jangan lemah, dan Aku akan menjadikan segalanya jelas bagimu. Jalan menuju kerajaan tidaklah mulus; tidak ada yang sesederhana itu! Engkau ingin memperoleh berkat dengan mudah, bukan? Sekarang, semua orang akan mengalami ujian pahit yang harus dihadapi. Tanpa ujian semacam itu, hati yang mengasihi-Ku tidak akan tumbuh lebih kuat, dan engkau tidak akan memiliki kasih yang sejati bagi-Ku. Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus melewatinya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang. Ujian merupakan berkat dari-Ku, dan berapa banyak dari antaramu sering datang ke hadapan-Ku dan berlutut untuk meminta berkat-Ku? Anak-anak bodoh! Engkau selalu mengira bahwa beberapa kata kemujuran merupakan berkat-Ku, tetapi tidak mengira bahwa kepahitan merupakan salah satu berkat-Ku. Mereka yang berbagi dalam kepahitan-Ku pasti akan berbagi juga dalam kemanisan-Ku. Itulah janji-Ku dan berkat-Ku untukmu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Firman Tuhan membantuku menyadari bahwa lingkungan ini akan membantu menyempurnakan imanku dan memperkuat kehendakku untuk menanggung penderitaan. Hanya dengan melalui penderitaan aku dapat lebih banyak berdoa dan makin bergantung pada Tuhan serta mendekat kepada-Nya. Meskipun aku tidak akan bisa membaca firman Tuhan atau berkumpul dan bersekutu dengan saudara-saudari selama satu setengah tahun ke depan, Tuhan akan tetap bersamaku, maka aku harus bergantung pada Tuhan serta berdiri teguh dalam kesaksianku untuk mempermalukan Iblis. Setelah mulai memahami maksud Tuhan, aku merasakan iman dan kekuatan yang diperbarui. Selama berada di kamp kerja paksa, aku sering berdoa kepada Tuhan dan merenungkan firman-Nya. Berkat bimbingan firman Tuhan, aku berhasil melalui panjangnya hari-hari penahananku.

Setelah dibebaskan, aku mulai melaksanakan tugasku kembali, tetapi pada Oktober 2013, aku kembali ditangkap. Hari itu, sekitar pukul empat sore, aku baru saja kembali dari menyebarkan Injil dan baru turun dari bus, ketika aku disergap oleh tiga orang dan ditahan. Salah satu dari mereka berkata, "Sudah sekian tahun berlalu, masihkah kau mengenaliku? Bagaimana jika kau ikut naik mobil bersama kami?" Aku langsung panik dan berpikir, "Celakalah aku. Sekarang polisi sudah menangkapku, mereka pasti tidak akan melepaskanku begitu saja." Mereka memaksaku masuk ke mobil patroli. Dua polisi duduk di kedua sisiku, memegangi tanganku agar aku tidak bisa bergerak. Setelah itu, aku dibawa ke pusat cuci otak dan dijaga sepanjang waktu oleh dua "pengawal". Di tempat itu, dari pukul 7.30 pagi hingga 7.00 malam, untuk membuatku mengkhianati Tuhan, aku dipaksa untuk menonton video yang menghujat Tuhan dan menjelek-jelekkan gereja, serta video yang mengagung-agungkan PKT. Para pengawal mengawasiku 24 jam sehari, dan aku tidak diizinkan berdoa atau bahkan menutup pintu saat ke kamar mandi. Jam-jam panjang pencucian otak dan pengawasan yang terus-menerus membuatku merasa tertekan—aku merasa cemas dan gelisah setiap hari, serta takut bahwa jika aku lengah, aku akan masuk ke dalam jebakan Iblis. Aku terus-menerus berdoa kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk melindungi hatiku.

Suatu hari, Chen, orang yang mengawasi pencucian otak, membawakanku salinan "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia" dan berkata, "Ini adalah kitab gerejamu—apakah kau masih berpikir ini adalah firman Tuhan? Ini jelas-jelas ditulis oleh manusia biasa." Aku mengambil kitab firman Tuhan dan berpikir, "Setiap firman Tuhan adalah kebenaran; kalian para setan tidak percaya pada Tuhan, jadi bagaimana mungkin kau bisa memahami firman-Nya?" Aku membuka kitab itu dan melihat bagian berikut ini: "Iman dan kasih yang terbesar dituntut dari kita dalam tahap pekerjaan ini. Kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil, karena tahap pekerjaan ini berbeda dari semua pekerjaan sebelumnya: yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman orang-orang, yang tidak dapat dilihat dan diraba. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan menjadi hidup" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (8)"). Saat membaca firman ini, aku merasakan dorongan dan penghiburan dari Tuhan. Pekerjaan Tuhan di akhir zaman adalah pekerjaan firman. Dia mengatur berbagai situasi agar orang dapat mengalami firman-Nya, memungkinkan firman tersebut menjadi bagian dari diri mereka, menjadi hidup mereka. Inilah cara Tuhan menyelamatkan dan menyempurnakan umat manusia. Aku teringat bagaimana firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan untuk mengatasi perlakuan kejam setan-setan saat aku dianiaya dan disiksa pada kali pertama aku ditangkap. Sekarang, dalam penangkapan ini, ketika aku merasa tersiksa, menderita, dan tertindas karena terus-menerus diawasi dan dicuci otaknya dengan ajaran sesat dan kebohongan, Tuhan mengatur agar seorang polisi menunjukkan kepadaku salinan firman-Nya, yang memberiku iman dan kekuatan. Meskipun cobaan yang sarat bahaya menimpaku di dalam penjara yang mengerikan ini, aku benar-benar tidak merasa sendirian, karena aku tahu Tuhan selalu melindungiku dan menggunakan firman-Nya untuk membimbingku. Setelah itu, tidak peduli seberapa keras para polisi itu mencoba mencuci otakku dengan ajaran sesat dan kebohongan dari Iblis, aku secara sadar menenangkan pikiranku di hadapan Tuhan, berdoa, serta bergantung kepada-Nya agar aku tidak terjatuh ke dalam tipu daya Iblis. Seorang polisi menunjukkan foto seorang saudari dan bertanya apakah aku mengenalnya. Ketika aku tidak menjawab, dia mencoba mengintimidasi dan menipuku dengan berkata, "Yang lain sudah menyerahkanmu. Mereka memberi tahu kami bahwa kau seorang pemimpin, tetapi kau di sini masih mencoba melindungi mereka. Mereka semua sudah mengaku dan dipulangkan. Kau begitu bodoh karena tidak mau berbicara dan kau akan dipenjara dalam waktu lama! Makin cepat kau mulai berbicara, makin cepat kami bisa memulangkanmu." Aku terkejut mendengarnya, kupikir, "Ada yang mengkhianatiku? Berarti para polisi itu pasti tahu semua tentangku! Jika aku tidak mulai bicara, mungkin aku benar-benar akan dipenjara dalam waktu lama. Mungkin, aku bisa memberi tahu mereka beberapa detail yang tidak penting, supaya jika aku benar-benar harus masuk penjara, setidaknya aku bisa mendapatkan hukuman yang lebih ringan dan tidak harus terlalu menderita." Namun kemudian aku berpikir, "Jika aku memberi tahu mereka detail-detail tersebut, bukankah aku akan mengkhianati Tuhan dan menyerahkan saudara-saudariku? Itu tidak boleh, aku tidak bisa memberi tahu mereka apa pun!" Saat itu juga, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Di kemudian hari, Aku akan membalas tiap-tiap orang sesuai perbuatannya. Aku telah menyampaikan apa yang harus dikatakan, karena inilah sesungguhnya pekerjaan yang Kulakukan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Orang Jahat Pasti akan Dihukum"). Firman Tuhan membantuku memahami bagaimana Dia memperlakukan orang menurut perbuatan mereka. Jika aku menyerahkan saudara-saudariku, aku akan bertindak seperti Yudas yang memalukan dan Tuhan akan mengutuk serta menghukumku. Jika orang lain menyerahkanku, merekalah yang berbuat jahat, tetapi aku tidak bisa mengkhianati Tuhan atau menyerahkan saudara-saudari lainnya. Aku teringat bagaimana seorang saudari telah ditangkap, disiksa dengan brutal, dan dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun, tetapi dia tidak pernah menyerah kepada Iblis dan terus melaksanakan tugasnya ketika dia dibebaskan. Meskipun mengalami penderitaan, dia tetap teguh dalam kesaksiannya dan Tuhan berkenan kepadanya. Ada juga Petrus yang, di Zaman Kasih Karunia, disalibkan terbalik setelah ditangkap dan memberi kesaksian tentang kasihnya kepada Tuhan. Saat mengingat cerita-cerita ini, aku merasa sangat dikuatkan dan hatiku dipenuhi dengan iman serta kekuatan. Diam-diam aku bertekad: Entah berapa lama pun aku harus berada di penjara, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan atau menyerahkan saudara-saudariku!

Setelah itu, mereka terus menginterogasiku, bertanya, "Siapa saja yang kau hubungi? Siapa pemimpin atasmu? Di mana mereka tinggal?" Ketika aku tidak menjawab, mereka menyuruhku berdiri menghadap tembok dan menjalani sif per dua jam, ada dua polisi yang ditugaskan pada setiap sifnya untuk memastikan aku tidak tertidur selama 24 jam. Jika mereka melihatku terkantuk-kantuk, mereka akan berteriak, "Jangan coba-coba memejamkan mata atau berdoa kepada Tuhanmu!" Setelah berdiri sepanjang hari, kakiku sangat bengkak hingga kulitnya meregang dan mengkilap serta tidak lagi muat ke dalam sepatu, sehingga aku harus bertelanjang kaki. Punggungku juga sangat nyeri hingga aku merasa seakan ada yang patah. Mereka menyiksaku dengan cara ini selama tujuh hari tujuh malam. Aku benar-benar kelelahan baik secara fisik maupun mental dan tubuhku sudah mencapai batas kemampuannya, jadi aku diam-diam berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia memberiku iman dan kekuatan untuk mengatasi kekejaman dari Iblis-Iblis ini. Setelah berdoa, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Firman Tuhan memenuhi diriku dengan iman. Tidak peduli seberapa keras polisi menyiksaku, mereka tidak bisa mengendalikan hatiku. Selama aku masih hidup dan bernapas, aku akan tetap teguh dalam kesaksianku untuk mempermalukan Iblis. Kemudian, salah seorang polisi membawa sebuah lembar pernyataan yang isinya menghujat Tuhan dan memintaku menandatanganinya. Ketika aku tidak menandatanganinya, mereka menampar wajahku berkali-kali dan dengan bengis membentak, "Kau hanya sepotong daging di atas talenan dan kami bisa mencincangmu sesuka kami. Setiap hari saat kau tidak menandatangani dan tidak memberi tahu apa yang kami inginkan, itulah hari di mana kau akan menerima semua ini. Kami punya delapan belas cara penyiksaan berbeda di sini untuk 'menghiburmu'. Kami bisa membunuhmu dan tidak ada yang akan tahu!" Setelah berkata demikian, mereka mulai menendang dan memukulku. Mereka memukuliku selama lebih dari 10 menit—aku merasa limbung, wajahku bengkak, kepalaku berdenyut, telingaku berdenging keras, dan darah mengalir dari mulutku. Wajahku terasa sangat sakit seperti luka bakar baru yang ditaburi garam. Aku khawatir bahwa jika mereka terus memukuliku seperti itu, aku pasti akan mati. Tepat saat itu, aku teringat pada satu bagian dari firman Tuhan: "Ketika manusia siap mengorbankan nyawa mereka, semuanya menjadi tidak penting, dan tidak ada orang yang bisa mengalahkannya. Apakah yang lebih penting daripada nyawa?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 36"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Hidup dan matiku ada di tangan Tuhan, dan tanpa seizin-Nya, Iblis tidak dapat mengambil nyawaku. Bahkan sekalipun aku disiksa sampai mati, itu adalah seizin Tuhan. Aku siap untuk tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan, dan akan tetap teguh dalam kesaksianku untuk menyenangkan-Nya, sekalipun itu artinya aku mati.

Setelah itu, mereka terus-menerus mengancam dan memaksaku untuk menandatangani sebuah pernyataan yang menghujat Tuhan. Ketika aku tidak mau menandatanganinya, mereka memaksaku duduk jongkok sambil memukul kaki dan punggungku dengan batang logam. Di waktu lain, seorang polisi menghantam punggungku dengan sangat keras hingga terasa seperti ada yang patah dan aku menangis tanpa bisa menahan diri. Dia kemudian menyalakan sebatang rokok dan meniupkan asapnya ke mataku sambil memaksaku untuk tetap membuka mata. Ada rasa terbakar yang menyakitkan di mataku, dan air mata serta ingus mengalir deras dari mata serta hidungku. Aku tak bisa berhenti batuk karena asapnya dan berusaha memalingkan kepalaku untuk menghindar, tetapi polisi itu menjambak rambutku untuk menahan kepalaku tetap di tempat dan terus meniupkan asap. Sambil tertawa seperti orang gila, dia berkata, "Bagaimana rasanya? Jika kau tidak tahan, cukup tandatangani saja kertasnya dan beri tahu kami apa yang kau tahu. Jika kau tidak bicara, kau akan menyesal. Besok aku akan kembali membeli rokok dan mengasapimu lagi." Pada saat rokok itu habis, pakaianku sudah basah kuyup oleh keringat. Polisi itu kemudian memaksaku kembali ke posisi berjongkok, tetapi aku sudah benar-benar kelelahan, seluruh tubuhku gemetar dan aku sangat lemah hingga rasanya aku bisa pingsan kapan saja. Mereka terus menyiksaku dengan cara itu selama dua jam berikutnya. Kemudian, mereka meniupkan asap rokok ke wajahku dengan dua batang rokok lainnya—aku merasakan penderitaan yang sangat luar biasa, ada rasa berat yang menekan di dada dan perutku dan jariku menjadi kaku dan tertekuk. Mereka meraih tanganku dan mencoba memaksaku menandatangani dokumen itu, tetapi dalam hati aku berdoa kepada Tuhan dan tidak membiarkan mereka menggerakkan tanganku sedikit pun. Pada akhirnya, aku tidak menandatangani dokumen yang menghujat Tuhan itu, tetapi para polisi itu belum puas—untuk memaksaku menandatangani, salah seorang polisi menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke dinding, membuat kepalaku benjol sangat besar. Setelah itu, dia memukul wajahku dengan keras, menendang kaki dan perutku, yang membuatku pusing dan seluruh tubuhku menjadi mati rasa. Setelah polisi itu lelah memukuliku, dia mengambil tongkat listrik dan mulai menyetrum wajahku, dadaku, dan bagian tubuhku lainnya. Seluruh tubuhku terasa seperti terhunjam tusukan jarum-jarum. Aku terus berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk memenuhiku dengan iman dan kekuatan untuk tetap teguh. Sambil menyetrumku, polisi itu mengancam dengan bengis, "Aku akan menyiksamu sampai organ dalam tubuhmu rusak. Saat kau keluar dari sini, tubuhmu akan dipenuhi penyakit dan mati perlahan!" Makin banyak polisi ini berbicara, makin aku membenci mereka. Aku teringat pada firman Tuhan, yang mengatakan: "Bagaimana mungkin si setan ini, yang penuh dengan kemarahan, membiarkan Tuhan memegang kendali atas pengadilan kerajaannya di bumi? Bagaimana mungkin dia dengan rela tunduk pada kekuatan-Nya yang lebih unggul? Wajah aslinya yang mengerikan sudah tersingkap apa adanya, sehingga manusia tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis, dan itu benar-benar sulit untuk dibicarakan. Bukankah itulah esensi si setan? Memiliki jiwa yang buruk, tetapi tetap menganggap dirinya sangat indah. Gerombolan kaki tangan dalam kejahatan ini! Mereka turun ke alam fana untuk menikmati kesenangan dan menyebabkan keributan, mengaduk-aduk segala sesuatu sedemikian rupa sehingga dunia menjadi tempat yang berubah-ubah dan tidak konstan serta hati manusia dipenuhi dengan kepanikan dan kegelisahan, dan mereka telah mempermainkan manusia sedemikian rupa sehingga penampilannya telah menjadi seperti binatang buas yang tidak manusiawi, sangat buruk, di mana jejak terakhir dari manusia yang awalnya kudus telah hilang. Selain itu, mereka bahkan ingin mendapatkan kekuasaan berdaulat di bumi. Mereka merintangi pekerjaan Tuhan sedemikian rupa sehingga itu hampir tidak bisa maju sedikit pun, dan mereka menutup manusia serapat tembok yang terbuat dari tembaga dan besi. Setelah melakukan begitu banyak dosa yang serius dan menyebabkan begitu banyak bencana, apakah mereka masih mengharapkan sesuatu selain hajaran?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (7)"). PKT adalah setan yang membenci dan menentang Tuhan. Makin mereka menyiksaku, makin jelas aku melihat betapa buruk dan menjijikkannya mereka sebenarnya. Aku membenci mereka dengan segenap jiwaku, memberontak terhadap mereka dan merasa makin termotivasi untuk mengikuti dan memuaskan Tuhan. Setelah itu, polisi itu mencoba mengintimidasiku lagi dengan berkata, "Meski kau tidak berbicara, kau tetap akan dihukum dan dikirim ke penjara selama sepuluh tahun lebih!" Aku marah dan berpikir, "Jika aku harus masuk penjara, biarkan saja. Tidak peduli berapa tahun aku dijatuhi hukuman, aku tidak akan pernah menyerah pada kalian, setan-setan!" Akhirnya, mereka tidak dapat memperoleh informasi apa pun dariku dan pada bulan Juli 2014, mereka menjatuhiku tuduhan palsu "menggunakan kultus keagamaan untuk merongrong penegakan hukum" dan menghukumku empat tahun penjara.

Ketika mengingat kembali dua kali penangkapan dan pemenjaraanku, saat itu PKT menggunakan berbagai metode untuk mencoba memaksaku mengkhianati Tuhan, termasuk penyiksaan kejam, intimidasi, pencucian otak, dan pelecehan. Dalam setiap cobaan itu, jika bukan karena perlindungan Tuhan dan iman serta kekuatan yang tertanam dalam diriku melalui firman-Nya, aku pasti sudah mati disiksa oleh para polisi itu sejak lama. Melalui cobaan-cobaan ini, aku mengalami kasih Tuhan secara langsung dan menyaksikan otoritas serta kuasa firman-Nya. Firman Tuhanlah yang membimbingku melewati masa-masa aniaya ini. Tidak soal bagaimana PKT menganiayaku, aku akan terus mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasku untuk membalas kasih Tuhan.

Selanjutnya: Kebangkitan dari Penjara

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Saat Ibu Dipenjara

Oleh Saudari Zhou Jie, Tiongkok Usiaku 15 tahun saat aku dan ibuku melarikan diri dari rumah. Aku ingat kami pergi larut malam pada tahun...