Renungan tentang Sikap Asal-asalan

08 Maret 2025

Pada bulan Desember 2021, aku mulai berlatih tugas memeriksa video. Pada awalnya, aku belajar dan merenungkan dengan sepenuh hati. Setiap kali aku menghadapi sesuatu yang membingungkan, aku mencari solusi dari saudari yang bekerja sama denganku. Dia juga sering mendiskusikan masalah yang dia temukan dalam video denganku. Aku akan merangkum kekurangan dan penyimpanganku setiap kali, kemudian berusaha mencari dan mempelajari prinsip-prinsip yang relevan. Selama diskusi tim tentang prinsip-prinsip, aku mendengarkan dengan saksama persekutuan semua orang dan memikirkan dengan cermat untuk menutupi kekuranganku. Setelah berlatih seperti ini selama beberapa waktu, aku membuat beberapa kemajuan dalam keterampilan khususku dan mampu menangani beberapa tugas. Aku mulai merasa puas, berpikir bahwa aku telah memahami beberapa prinsip. Sejak saat itu, aku jarang mengambil inisiatif untuk belajar. Ketika bersekutu tentang prinsip-prinsip dan mendiskusikan masalah dengan anggota tim lainnya, aku tidak lagi memikirkannya dengan sungguh-sungguh seperti sebelumnya, aku juga tidak fokus untuk merangkum masalah dalam pekerjaan. Caraku melaksanakan tugas menjadi pasif.

Aku ingat bahwa selama suatu periode tertentu, ada beberapa saudara-saudari yang baru dalam tugas mereka, dan ada banyak masalah dalam video yang mereka kirimkan. Aku perlu bersekutu dengan mereka dan memberikan tanggapan satu per satu untuk mengatasi masalah ini. Beberapa pikiran yang menyimpang muncul di hatiku: "Jika aku memeriksa setiap video dengan cermat dan mencari prinsip yang relevan untuk bersekutu dengan mereka, itu akan memakan banyak waktu dan tenaga. Kapan aku bisa menyelesaikan begitu banyak video? Mungkin aku hanya perlu menunjukkan masalah mereka secara singkat dan membiarkan mereka mencari cara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut sendiri. Dengan cara ini, aku bisa menghemat banyak tenaga." Jadi, aku hanya menunjukkan masalah dalam video dan menunjukkan arah umum untuk melakukan perbaikan. Pada kesempatan lain, aku memeriksa sebuah video dan menemukan beberapa masalah di dalamnya. Namun, aku masih tidak yakin, sehingga aku mendiskusikannya dengan saudari yang bekerja sama denganku. Dia mengatakan bahwa dia tidak melihat ada masalah, tetapi aku tetap merasa tidak tenang tentang hal itu. Setelah merenung selama beberapa waktu, aku masih tidak yakin apakah itu masalah. Kemudian aku berpikir untuk bersikap asal-asalan, berpikir, "Mungkin aku hanya perlu membiarkannya seperti itu. Saudari itu lebih memahami prinsip daripada aku. Bahkan dia mengatakan tidak ada masalah, jadi seharusnya tidak ada masalah. Aku tidak perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan hal ini. Lagipula, ini hanya perasaanku. Bagaimana jika aku salah dan malah menunda pekerjaan?" Dengan pikiran seperti itu, aku berhenti merenungkan dan mencari jawabannya. Lalu aku mengirimkan video tersebut apa adanya. Beberapa hari kemudian, pengawas kami menunjukkan bahwa ada beberapa masalah dalam video tersebut dan perlu diperbaiki. Selanjutnya, saudara-saudari kami melaporkan satu per satu bahwa mereka merasa negatif setelah membaca saran kami. Mereka berpikir bahwa ada terlalu banyak masalah dalam video yang mereka buat, dan mereka tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Ketika menghadapi masalah yang terungkap ini, aku merasa benar-benar kebingungan. Namun, aku ingat bahwa orang, peristiwa, dan hal-hal yang aku temui setiap hari diatur oleh Tuhan dan berada di bawah kedaulatan-Nya. Tentu bukan tanpa alasan aku menghadapi keadaan ini. Pasti ada pelajaran untuk aku pelajari, jadi aku berdoa kepada Tuhan dan mencari bimbingan-Nya.

Selama bersaat teduh, aku membaca bagian-bagian firman Tuhan berikut: "Ada sesuatu dalam watak rusak yang membuat orang menangani segala sesuatu dengan sembrono dan tidak bertanggung jawab: Itu adalah sesuatu yang sering orang sebut sebagai keberengsekan. Dalam semua yang mereka lakukan, mereka melakukannya sampai mencapai titik 'itu sepertinya sudah benar' dan 'seperti ini sudah cukup'; ini adalah sikap 'mungkin', 'boleh jadi', dan 'tidak 100%'; mereka melakukan sesuatu dengan sikap asal-asalan, puas dengan melakukan hal yang minimal, dan puas dengan menggertak; mereka merasa bahwa menanggapi segala sesuatu dengan serius atau dengan teliti itu tidak ada gunanya, apalagi mencari prinsip-prinsip kebenaran. Bukankah ini sesuatu yang ada di dalam watak yang rusak? Apakah itu perwujudan dari kemanusiaan yang normal? Tidak. Jika menyebutnya kecongkakan, itu benar, dan menyebutnya tidak bermoral juga sepenuhnya tepat, tetapi kata yang paling sempurna untuk menyebutnya adalah 'berengsek'. Kebanyakan orang memiliki keberengsekan dalam diri mereka, hanya tarafnya saja yang berbeda. Dalam segala hal, mereka ingin melakukan segala sesuatu dengan sikap yang asal-asalan serta ceroboh, dan ada aroma kelicikan dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka menipu orang lain saat ada kesempatan, sebisa mungkin mengambil jalan pintas, sebisa mungkin menghemat waktu. Di dalam hatinya, mereka berpikir, 'Selama aku tidak tersingkap, tidak menyebabkan masalah, dan selama aku tidak dimintai pertanggungjawaban, aku bisa bekerja dengan asal-asalan. Aku tidak perlu melakukannya dengan sangat baik, itu terlalu merepotkan!' Orang semacam itu tidak mau belajar sampai menjadi ahli, dan mereka tidak berupaya keras atau menderita serta membayar harga dalam pembelajaran mereka. Mereka hanya ingin mendapatkan pemahaman yang dangkal tentang suatu pelajaran dan kemudian menyebut diri mereka ahli dalam pelajaran itu, meyakini bahwa mereka telah menguasai semua yang perlu diketahui, lalu mengandalkan ini untuk melakukan apa pun dengan ala kadarnya. Bukankah ini sikap yang orang miliki terhadap orang lain, peristiwa dan hal-hal? Apakah ini sikap yang baik? Tidak. Sederhananya, itu adalah sikap yang 'asal-asalan'. Keberengsekan semacam ini ada dalam diri semua manusia yang rusak. Orang yang memiliki keberengsekan dalam kemanusiaan mereka menganut pandangan dan sikap yang 'asal-asalan' dalam apa pun yang mereka lakukan. Apakah orang-orang seperti itu mampu melaksanakan tugas mereka dengan benar? Tidak. Apakah mereka mampu melakukan segala sesuatu berdasarkan prinsip? Bahkan lebih tidak mungkin lagi" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Dua)). "Bagaimana membedakan orang yang mulia dan orang yang hina? Lihat saja sikap dan tindakan mereka terhadap tugas, dan lihatlah bagaimana mereka memperlakukan segala sesuatu dan berperilaku ketika muncul masalah. Orang yang berintegritas dan bermartabat akan bersikap teliti, bersungguh-sungguh, serta tekun dalam tindakan mereka, dan mereka rela untuk membayar harga. Orang yang tidak berintegritas dan tidak bermartabat akan bersikap ceroboh dan seenaknya dalam tindakan mereka, selalu melakukan tipu muslihat, selalu ingin bersikap asal-asalan. Teknik apa pun yang mereka pelajari, mereka tidak mempelajarinya dengan tekun, mereka tidak mampu mempelajarinya, dan sebanyak apa pun waktu yang mereka habiskan untuk mempelajarinya, mereka tetap saja benar-benar tidak mengerti. Orang-orang seperti ini berkarakter hina" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Dua)). "Mereka menipu orang lain saat ada kesempatan," "Orang yang tidak berintegritas dan tidak bermartabat akan bersikap ceroboh dan seenaknya dalam tindakan mereka," "Orang-orang seperti ini berkarakter hina."setiap kata dalam kalimat-kalimat tersebut menusuk hatiku. Aku merenungkan perilakuku dalam pelaksanaan tugasku. Bukankah kinerjaku persis seperti yang diungkapkan oleh Tuhan? Ketika aku menyadari ada banyak masalah pada video yang dibuat oleh saudara-saudari, aku tidak sungguh-sungguh memikirkan cara membantu mereka menyelesaikan masalah tersebut, atau membimbing mereka untuk memahami kebenaran dan masuk ke dalam prinsip-prinsip. Sebaliknya, pertimbanganku yang utama adalah bagaimana aku bisa menghemat tenagaku. Aku berpikir bahwa jika aku memeriksa setiap video dengan teliti dan merespons secara rinci, itu akan terlalu merepotkan dan menguras banyak pemikiran. Jadi, aku hanya menyebutkan secara singkat masalah-masalah dalam video tersebut, tanpa bersekutu dengan mereka tentang prinsip-prinsip atau menunjukkan solusi praktis. Akibatnya, saudara-saudari merasa negatif setelah membaca saranku. Tidakkah dengan melakukan ini aku menyebabkan kekacauan? Ketika memeriksa video lain, aku merasakan ada beberapa masalah di dalamnya, tetapi aku tidak mau memikirkannya dengan sungguh-sungguh karena aku tidak yakin. Aku bahkan membuat alasan untuk diriku sendiri, aku berpikir bahwa memikirkannya mungkin tidak menghasilkan apa-apa. Saudari yang bekerja sama denganku memahami prinsip-prinsip lebih baik dariku. Bahkan dia mengatakan video itu baik-baik saja, jadi seharusnya tidak ada masalah besar. Aku tidak berusaha sungguh-sungguh dalam mencari jawaban sebelum menyimpulkan bahwa memikirkannya mungkin tidak akan membuahkan hasil. Bukankah aku baru saja bersikap licik dan bermalas-malasan? Aku benar-benar bersikap licik! Sikap ini terhadap tugasku persis yang diungkapkan Tuhan: "Selama aku tidak tersingkap, tidak menyebabkan masalah, dan selama aku tidak dimintai pertanggungjawaban, aku bisa bekerja dengan asal-asalan. Aku tidak perlu melakukannya dengan sangat baik, itu terlalu merepotkan!" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Dua)). Kata-kata itu menggambarkan diriku dengan sempurna. Aku menjalani hari-hariku seperti robot. Aku sudah puas dengan menghindari kesulitan fisik dan hanya asal bekerja. Aku tidak pernah memikirkan kesulitan saudara-saudariku atau apakah caraku melaksanakan tugasku ini efektif. Jika aku bisa melewatinya, aku akan melewatinya, tanpa menunjukkan kesetiaan dalam tugasku. Dengan sikap seperti ini, aku sama sekali tidak dapat dipercaya, Sama seperti yang Tuhan gambarkan, "tanpa integritas dan martabat," dan "orang-orang dengan karakter buruk." Ini sama sekali tidak berlebihan. Aku merasa sangat sedih dan menyesal, sehingga aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, sikapku terhadap tugasku sangatlah seenaknya dan benar-benar tidak bertanggung jawab. Aku tidak ingin menjalani hidup hina seperti ini lagi. Aku mau melawan dagingku, menjadi rajin dan sungguh-sungguh, serta membayar harga untuk menlaksanakan tugasku dengan baik."

Setelah berdoa, aku membaca beberapa firman Tuhan dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang tuntutan-Nya. Tuhan berfirman: "Ketika melaksanakan tugas, seseorang harus belajar menjadi serius, teliti, cermat, dan bertanggung jawab, serta bekerja dengan sungguh-sungguh, langkah demi langkah. Seseorang harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugas itu dengan baik, sampai mereka merasa puas dengan cara mereka melakukannya. Jika seseorang tidak memahami kebenaran, mereka harus mencari prinsip-prinsipnya, lalu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dan berdasarkan tuntutan Tuhan; mereka harus rela mengerahkan lebih banyak upaya untuk menjalankan tugasnya dengan baik, dan tidak pernah melakukannya dengan cara yang asal-asalan. Hanya dengan menerapkan cara ini, barulah seseorang dapat merasakan kedamaian di hatinya, tanpa dihantui perasaan bersalah" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja (5)"). Tuhan menuntut kita untuk berakar kuat dalam tugas kita, menjaga sikap yang penuh kesadaran dan tanggung jawab dalam segala yang kita lakukan, mencari prinsip kebenaran, dan melakukan yang terbaik. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa lagi bekerja secara asal-asalan. Aku harus menerapkan apa yang Tuhan tuntut, memeriksa setiap video dengan cermat, dan memberikan panduan yang rinci serta berdasarkan prinsip pada masalah-masalah yang ada. Meskipun ini akan membutuhkan lebih banyak penderitaan fisik dan pemikiran, jika itu menghasilkan hasil yang lebih baik dalam tugasku, maka itu sepadan. Setelah itu, ketika aku terus memeriksa dan merespons masalah saudara-saudari, aku merenungkan bagaimana cara menyampaikan pikiranku untuk mencapai hasil terbaik. Dengan menerapkan pendekatan ini, aku merasa tidak terlalu lelah, dan aku bisa lebih memasuki prinsip-prinsip tersebut secara lebih mendalam. Namun, karena watakku yang rusak parah dan keinginan berlebihan untuk kenyamanan fisik, aku masih merasa tergoda untuk mencari jalan pintas dan bersikap asal-asalan ketika menghadapi masalah yang rumit.

Pernah, saat memeriksa sebuah video, aku menyadari bahwa ada beberapa masalah yang sulit untuk diatasi. Aku berpikir, "Jika aku memberikan saran, aku harus mempelajari dan meneliti terlebih dahulu untuk menemukan jalan keluarnya. Itu akan merepotkan. Memikirkannya saja sudah membuatku pusing! Jika aku menghabiskan banyak waktu untuk itu tapi tetap tidak menemukan solusinya, bukankan itu usaha yang sia-sia? Lupakan saja. Sekarang aku akan fokus pada video lain dan mengurus ini nanti saat aku punya waktu." Setelah beberapa waktu, pemimpin kami menyadari penurunan efektivitas pekerjaan video kami, dan memeriksa ulang video yang dikirimkan oleh saudara-saudari selama tiga bulan terakhir. Mereka menemukan bahwa ada cukup banyak video yang belum ditangani, dan kami tidak menanganinya dengan segera atau memberikan panduan kepada saudara-saudari untuk memperbaikinya sesuai prinsip, sehingga menyebabkan penundaan yang signifikan dalam pekerjaan video. Ketika melihat hasil ini, aku tercengang. Bukankan semua ini disebabkan oleh caraku melaksanakan tugas yang lalai dan asal-asalan? Aku tidak bisa menggambarkan perasaan di hatiku. Rasanya seperti ada batu yang menekan dadaku, membuatku sesak napas. Kemudian, aku membaca bagian firman Tuhan ini: "Caramu memperlakukan amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus dihukum. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling serius. Dalam hal ini, engkau lebih menyedihkan daripada Yudas dan harus dikutuk" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). Saat membaca firman Tuhan ini, aku merasakan watak Tuhan yang benar. Jika aku melaksanakan tugasku dengan sikap yang santai, selalu asal-asalan, licik, dan bermalas-malasan, itu menunjukkan pengkhianatan serius terhadap Tuhan, dan aku tidak layak berada di hadapan Tuhan dan pantas dikutuk serta dihukum. Aku ketakutan, aku merasa berada dalam posisi berbahaya. Ketika memikirkan pengaturan gereja untukku memeriksa video, harapannya adalah aku akan melaksanakannya dengan segenap hati dan tenagaku serta mengerjakannya dengan baik. Namun, aku telah berlaku licik dalam tugasku dan mencari cara untuk bermalas-malasan. Ketika menghadapi masalah yang tidak kupahami atau sulit untuk dimengerti, aku gagal merenungkannya dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, ketika menghadapi masalah yang membutuhkan usaha dan pemikiran yang besar, aku memilih untuk menghindarinya dan menyisihkan video tersebut, gagal untuk segera melakukan penelitian, belajar, atau mencari prinsip-prinsip yang relevan untuk membimbing anggota tim lainnya. Aku tidak memenuhi tanggung jawabku. Apa yang sudah aku lakukan sepenuhnya menghambat pekerjaan video. Ketika mengingat kembali saat pertama kali aku menerima tugas ini, aku telah bertekad di hadapan Tuhan untuk menghargai kesempatan melaksanakan tugas ini dan setia membalas kasih Tuhan. Namun sekarang, jika aku hanya melakukan sekedarnya, itu kulakukan tanpa rasa tanggung jawab sama sekali. Bukankah ini kelicikan yang terang-terangan terhadap Tuhan? Aku benar-benar mengecewakan Tuhan dan tidak dapat dipercaya! Saat memikirkan hal ini aku menjadi menyesal, mencela diri sendiri, dan makin berutang kepada Tuhan. Aku menangis samnbil berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, tindakanku hanya menghalangi dan mengganggu pekerjaan ini. Aku bersedia bertobat dan memperbaiki sikapku terhadap tugasku. Tolong bimbing aku."

Kemudian, aku mulai merenung. Pada awalnya, aku ingin melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi mengapa semuanya berakhir seperti ini? Saat mencari jawaban, aku menemukan beberapa bagian firman Tuhan: "Orang malas tidak bisa melakukan apa pun. Untuk meringkasnya dalam dua kata, mereka adalah orang yang tidak berguna; mereka memiliki kecacatan kelas dua. Sehebat apa pun kualitas yang dimiliki oleh para pemalas, itu tidak lebih dari sekadar riasan luar; meskipun mereka memiliki kualitas yang bagus, tetapi tidak ada gunanya. Mereka terlalu malas—mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, tetapi mereka tidak melakukannya, dan bahkan sekalipun mereka tahu ada sesuatu yang menjadi masalah, mereka tidak mencari kebenaran untuk menyelesaikannya, dan meskipun mereka tahu kesulitan apa yang harus mereka tanggung agar pekerjaan menjadi efektif, mereka tidak mau menanggung kesulitan yang berharga ini, jadi mereka tidak memperoleh kebenaran apa pun, dan mereka tidak dapat melakukan pekerjaan nyata apa pun. Mereka tidak ingin menanggung kesukaran yang seharusnya orang alami; mereka hanya tahu memanjakan diri dengan kenyamanan, menikmati saat bersenang-senang dan bersantai, serta kenikmatan hidup yang bebas dan santai. Bukankah mereka tidak berguna? Orang yang tidak mampu menanggung kesukaran tidak layak untuk hidup. Mereka yang selalu menjalani hidup sebagai parasit adalah orang-orang yang tidak berhati nurani atau tidak bernalar; mereka adalah binatang buas, dan orang-orang seperti itu bahkan tidak layak untuk berjerih payah. Karena mereka tidak mampu menanggung kesukaran, bahkan ketika mereka berjerih payah, mereka tidak mampu melakukannya dengan benar, dan jika mereka ingin memperoleh kebenaran, bahkan harapan untuk itu makin kecil. Seseorang yang tidak mampu menderita dan tidak mencintai kebenaran adalah orang yang tidak berguna; mereka tidak memenuhi syarat bahkan untuk berjerih payah. Mereka adalah binatang buas, tanpa sedikit pun kemanusiaan. Orang-orang seperti itu harus disingkirkan; hanya ini yang sesuai dengan maksud Tuhan" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja (8)"). "Apakah engkau puas hidup di bawah pengaruh Iblis, dengan kedamaian dan sukacita, dan sedikit kenyamanan daging? Bukankah engkau yang paling hina dari semua orang? Tidak ada yang lebih bodoh selain mereka yang telah melihat keselamatan tetapi tidak berupaya mendapatkannya; mereka inilah orang-orang menikmati daging mereka sendiri dan menikmati Iblis. Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! Engkau hidup seperti babi—apa bedanya antara engkau, babi, dan anjing? Bukankah mereka yang tidak mengejar kebenaran, melainkan mengasihi daging, adalah binatang buas? Bukankah mereka yang mati, tanpa roh, adalah mayat berjalan? Berapa banyak firman yang telah disampaikan di antara engkau sekalian? Apakah hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan di antaramu? Berapa banyak yang telah Kuberikan di antaramu? Lalu mengapa engkau tidak mendapatkannya? Apa yang harus engkau keluhkan? Bukankah engkau tidak mendapatkan apa-apa karena engkau terlalu mengasihi daging? Dan bukankah ini karena pikiranmu yang terlalu muluk-muluk? Bukankah karena engkau terlalu bodoh? Jika engkau tidak mampu memperoleh berkat-berkat ini, dapatkah engkau menyalahkan Tuhan karena tidak menyelamatkanmu? ... Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan engkau tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Di masa lalu, aku tidak pernah mengasosiasikan diriku dengan istilah seperti "sampah" atau "parasit," apalagi membayangkan bahwa di mata Tuhan, perilakuku bisa menyerupai mayat hidup, yang tidak ada bedanya antara babi dan anjing. Kesadaran ini sangat menyakitkan dan menyedihkan. Namun, apa yang firman Tuhan ungkapkan benar-benar seperti perilakuku. Aku telah menjadikan kenikmatan kenyamanan fisik sebagai tujuanku, selalu mencari cara agar dapat hidup dengan mudah dan santai. Ketika menghadapi kesulitan dalam tugasku yang menuntutku untuk mengerahkan usaha dan membayar harga, aku memilih cara licik dan malas. Entah aku mengerjakannya asal-asalan atau mengabaikan video tersebut dan membiarkannya tidak ditangani, melakukan apa saja yang bisa menghemat tenaga. Aku gagal memenuhi tanggung jawabku, sehingga menyebabkan pekerjaan tertunda. Bukankah aku benar-benar sampah dan parasit yang hanya hidup dari hasil kerja orang lain? Aku jatuh ke dalam keadaan ini karena diracuni dan dipengaruhi oleh racun Iblis seperti "Isi harimu dengan kesenangan karena hidup ini singkat," "Nikmatilah kesenangan sekarang pada hari ini," dan "Bersenang-senanglah selagi kau masih hidup." Ideologi beracun ini membuatku mengutamakan kenyamanan fisik di atas segalanya, hanya memastikan bahwa aku tidak lelah atau stres. Mengenai apakah aku memenuhi tanggung jawab dan kewajibanku, atau apakah Tuhan berkenan dengan caraku melaksanakan tugasku, aku sama sekali tidak peduli. Hidup dengan racun ini membuatku makin egois dan merosot, tanpa tekad untuk mengejar hal-hal positif. Meskipun cara ini membuat hidupku terasa lebih mudah, itu tidak menghasilkan pertumbuhan atau keuntungan apa pun. Sebaliknya, hal itu menghambat pekerjaan, yang akhirnya menyebabkan pelanggaran. Perilaku memanjakan diri dalam kenyamanan fisik sama saja menghancurkan diriku!

Kemudian, aku dipilih menjadi seorang pemimpin tim. Pada waktu itu, dua saudari baru saja mulai berlatih membuat video. Selain membuat video sendiri, aku juga harus membimbing pekerjaan mereka dan mengelola pekerjaan kelompok secara keseluruhan. Terkadang, ketika melihat rumitnya masalah dalam beberapa video, aku kembali tergoda untuk mencari jalan pintas. Aku berpikir, "Jika aku mencari prinsip untuk setiap masalah dan merenungkannya, itu akan membutuhkan banyak pemikiran. Kapan aku bisa menyelesaikan semua tugas yang ada di depanku? Hanya memikirkannya saja membuatku merasa lelah. Terlalu merepotkan! Mungkin aku tidak perlu terlalu teliti. Asalkan terlihat cukup baik, itu sudah cukup." Aku menyadari bahwa aku kembali mencari kenyamanan fisik. Dengan mengingat sikap Nuh terhadap tugasnya, aku mencari firman Tuhan yang relevan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Sejak saat Tuhan memercayakan pembangunan bahtera ini kepada Nuh, dia tidak pernah berpikir, 'Kapan Tuhan akan memusnahkan bumi? Kapan Dia akan memberiku tanda bahwa Dia akan melakukannya?' Alih-alih merenungkan hal-hal semacam itu, Nuh dengan sungguh-sungguh menghayati setiap hal yang telah Tuhan firmankan kepadanya, dan kemudian melaksanakan setiap hal tersebut. Setelah menerima apa yang Tuhan percayakan kepadanya, Nuh mulai melaksanakan dan menjalankan pembangunan bahtera yang Tuhan katakan sebagai hal terpenting dalam hidupnya, tanpa sedikit pun berpikir untuk mengabaikannya. Hari-hari berlalu, tahun-tahun berlalu, hari demi hari, tahun demi tahun. Tuhan tidak pernah mengawasi Nuh dan mendorongnya, tetapi di sepanjang waktu ini, Nuh bertekun dalam melakukan tugas penting yang Tuhan percayakan kepadanya. Setiap kata dan frasa yang Tuhan ucapkan telah terukir di hati Nuh seperti firman yang diukir di atas loh batu. Tanpa menghiraukan perubahan di dunia luar, ejekan orang-orang di sekitarnya, kesukaran yang ada, atau kesulitan yang dia hadapi, dia bertekun, dengan sepenuh hati melakukan apa yang telah Tuhan percayakan kepadanya, tidak pernah berputus asa atau berpikir untuk menyerah. Firman Tuhan terukir di hati Nuh, dan itu telah menjadi kenyataan Nuh sehari-hari. ... Dalam hati Nuh, firman Tuhan adalah perintah tertinggi yang harus dia ikuti serta laksanakan, dan itu adalah arah dan tujuannya seumur hidup. Jadi, apa pun yang Tuhan katakan kepadanya, apa pun yang Tuhan minta atau perintahkan kepadanya, Nuh menerima sepenuhnya, dan menghayatinya; dia menganggapnya sebagai hal yang terpenting dalam hidupnya, dan memperlakukannya dengan benar. Dia bukan saja tidak lupa, dia bukan saja menyimpannya di dalam hatinya, tetapi dia juga mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari, menggunakan hidupnya untuk menerima dan melaksanakan amanat Tuhan. Dan dengan cara ini, papan demi papan, bahtera itu dibangun. Setiap tindakan Nuh, setiap harinya, didedikasikan untuk melaksanakan firman dan perintah Tuhan. Mungkin kelihatannya, Nuh tidak sedang melakukan pekerjaan yang sangat penting, tetapi di mata Tuhan, semua yang Nuh lakukan, bahkan setiap langkah yang dia ambil untuk mencapai sesuatu, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh tangannya—semuanya berharga, dan layak untuk dikenang, dan layak diteladani oleh umat manusia ini" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Lampiran Dua (Bagian Satu)). Sikap Nuh terhadap tugasnya membuatku merasa malu. Tidak peduli seberapa sulit membangun bahtera atau apa saja pengorbanan yang diperlukan, Nuh hanya memiliki satu tujuan dalam pikirannya: memenuhi amanat Tuhan untuk menyenangkan-Nya. Untuk mencapai tujuan ini, Nuh sungguh-sungguh menanggung kesulitan dan membayar harga, mengumpulkan semua bahan yang diperlukan dan membangun bahtera itu, bagian demi bagian dengan palu dan pahat, gigih selama 120 tahun. Aku sangat terinspirasi oleh pengalaman Nuh. Aku tidak bisa lagi mencari kenyamanan dan memperlakukan tugasku dengan asal-asalan. Aku harus berdoa dan bergantung pada Tuhan serta meneladani sikap Nuh terhadap tugasnya. Tidak peduli seberapa sulit atau besar harga yang harus dibayar dalam melaksanakan tugasku, aku harus melakukan yang terbaik untuk bekerja sama. Setelah itu, aku membawa keadaanku di hadapan Tuhan dalam doa. Terkadang, ketika aku menemukan banyak masalah dalam beberapa video, aku pertama-tama memikirkannya secara saksama dengan menerapkan prinsip-prinsip, dan mendiskusikannya bersama dengan partner kerjaku, kemudian bersekutu dengan saudara-saudari kami. Ketika menghadapi masalah yang rumit dalam beberapa video, alih-alih mengabaikannya, aku mencari informasi untuk belajar dan mencari terobosan, berusaha sebaik mungkin untuk bersekutu dengan saudara-saudari tentang jalan penerapannya. Dalam mengelola keseluruhan pekerjaan, aku juga berusaha sebaik mungkin untuk mengakomodasi semua aspek, berkomunikasi dengan partner yang bekerja sama denganku untuk mengatasi setiap penyimpangan atau masalah yang kami temui dalam pekerjaan. Setelah beberapa waktu melakukan pekerjaan dengan cara ini, baik aku maupun saudari tersebut mengalami kemajuan. Sebelumnya, aku hanya memiliki pemahaman yang dangkal tentang beberapa prinsip. Namun, melalui persekutuan dengan saudara-saudari, aku mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang masalah-masalah ini, yang membantuku meningkatkan keterampilan yang menjadi spesialisasiku. Aku juga merasakan beban yang lebih besar dalam tugasku dibandingkan sebelumnya. Baru di saat itulah aku menyadari bahwa melalui proses melaksanakan tugas kita, Tuhan mencerahkan dan membimbing kita untuk memahami prinsip-prinsip kebenaran sedikit demi sedikit, memberikan kita beban dan kesempatan untuk mempraktikkannya. Meskipun daging kita mungkin menderita sedikit, pada akhirnya, kita yang memperoleh manfaat darinya. Terima kasih, Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh