Jalan untuk Melepaskan Topeng

21 Januari 2022

Oleh Saudari Tong Xin, Korea

Aku terpilih sebagai pemimpin tim penyiraman awal tahun ini, bertanggung jawab atas pekerjaan penyiraman beberapa tim. Pada waktu itu kupikir, terpilih untuk kedudukan itu berarti aku pasti memiliki kualitas dan kemampuan tertentu, bahwa aku lebih baik daripada orang lain dalam pemahaman akan kebenaran dan jalan masuk kehidupan. Aku merasa harus memperlengkapi diriku dengan kebenaran dan melakukan tugasku dengan baik dan sungguh-sungguh, sehingga semua orang akan melihat bahwa aku cakap melakukan tugas itu.

Awalnya,aku tidak familier dengan pekerjaan itu, jadi ketika masalah-masalah yang tidak familier muncul aku selalu bertanya kepada pemimpin atau saudara-saudari yang bekerja bersamaku tentang masalah-masalah tersebut. Kupikir karena aku baru dalam tugas itu, semua orang akan mengerti bahwa akan ada beberapa hal yang tidak kuketahui dan melakukan lebih banyak pencarian bisa membantuku bertumbuh lebih cepat, maka aku akan meninggalkan kesan yang baik kepada semua orang, dan mereka akan berpikir aku sangat bersungguh-sungguh. Namun, aku terus menghadapi banyak masalah dan kemudian aku ragu untuk bertanya. Aku sudah melakukan tugas itu selama beberapa waktu saat itu, jadi apa yang akan semua orang pikirkan tentang diriku jika aku selalu banyak bertanya? Akankah mereka pikir kualitasku tidak terlalu bagus, bahwa aku bahkan tak mampu menyelesaikan masalah sederhana, dan tak mampu melakukan tugas itu sebagai pemimpin tim? Jadi, jika aku menghadapi masalah setelah itu, aku selalu berpikir tentang apakah aku harus bertanya kepada mereka atau tidak, apakah masuk akal untuk bertanya atau tidak. Aku khawatir pemikiranku akan tampak sederhana. Jika aku merasa beberapa masalah tidak rumit, aku tidak mau bertanya, tetapi berusaha menyelesaikannya sendiri. Jadi, makin banyak masalah yang menumpuk dan beberapa masalah tidak diselesaikan tepat waktu. Ini membuatku makin khawatir: "Apakah semua orang akan berpikir aku tidak layak menjadi pemimpin tim?" Selama pertemuan, khususnya ketika seorang pemimpin berada di sana, ketika aku mempersekutukan firman Tuhan, aku selalu khawatir: "Apakah persekutuanku praktis? Apakah pemahamanku murni?" Aku selalu mengamati reaksi semua orang setelah persekutuanku, dan jika seseorang memperluas pembahasan berdasarkan persekutuanku, itu berarti persekutuanku telah memicu respons, bahwa itu mengandung terang, itu memperlihatkan bahwa aku memiliki pemahaman yang murni tentang firman Tuhan dan mampu menangani tugas itu. Namun, aku akan merasa tidak enak jika tak seorang pun yang merespons ketika aku selesai. Setelah beberapa waktu, tugasku mulai terasa sangat melelahkan. Aku selalu disibukkan dengan semua yang kukatakan dan aku tidak bisa santai. Aku ingin melaksanakan tugas dengan baik, tetapi aku selalu gelisah, dan tidak bertumbuh atau belajar apa pun. Aku telah kehilangan niat awalku.

Aku datang ke hadapan Tuhan dalam doa dan pencarian, dan membaca satu bagian firman-Nya. "Manusia sendiri adalah objek ciptaan. Mampukah objek ciptaan mencapai kemahakuasaan? Mampukah mereka mencapai kesempurnaan dan keadaan tanpa cela? Mampukah mereka mencapai kemahiran dalam segala sesuatu, memahami segala sesuatu, dan mencapai segala sesuatu? Mereka tidak mampu. Namun, di dalam diri manusia, terdapat suatu kelemahan. Begitu mereka mempelajari sebuah keterampilan atau profesi, manusia merasa bahwa mereka mampu, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki status dan nilai, dan bahwa mereka adalah para profesional. Sejauh mana pun 'kemampuan' yang mereka pikir mereka miliki, mereka semua ingin mengemas diri sendiri, menyamar sebagai tokoh yang luhur, serta tampil sempurna dan tanpa cela, tanpa kekurangan sedikit pun; di mata orang lain, mereka ingin dianggap hebat, kuat, penuh kemampuan, dan mampu mencapai apa pun. Mereka merasa bahwa jika mereka mencari pertolongan orang lain dalam suatu masalah, mereka akan terlihat tidak mampu, lemah, dan kurang cerdas, serta orang-orang akan memandang rendah mereka. Karena alasan ini, mereka selalu ingin berpura-pura. Beberapa orang, ketika disuruh melakukan sesuatu, berkata mereka tahu bagaimana melakukannya, padahal sebenarnya mereka tidak tahu. Setelah itu, diam-diam, mereka mencari tahu tentang hal tersebut dan mencoba mempelajari bagaimana melakukannya, tetapi setelah mempelajarinya selama beberapa hari, mereka tetap tidak memahaminya; mereka sama sekali tidak mengerti. Ketika ditanya bagaimana mereka melakukannya, mereka terus berpura-pura agar tidak menyingkapkan kesalahan dan kelemahan mereka, sebaliknya mereka berkata bahwa mereka akan segera selesai. Watak macam apa ini? Orang semacam ini sangat congkak, mereka telah kehilangan akal! Mereka tidak ingin menjadi orang biasa, orang normal, atau manusia biasa. Mereka hanya ingin menjadi manusia super atau orang yang memiliki kemampuan atau kekuatan khusus. Ini sebuah masalah besar! Mengenai kelemahan, kekurangan, ketidaktahuan, kebodohan, dan kurangnya pemahaman dalam kemanusiaan yang normal, mereka akan menyembunyikannya rapat-rapat, dan tidak membiarkan orang lain melihatnya, dan kemudian terus menyamarkan diri. ... Orang-orang semacam itu selalu hidup dalam angan-angan, bukan? Bukankah mereka sedang bermimpi? Mereka tidak mengenal diri mereka sendiri, mereka juga tidak tahu bagaimana hidup dalam kemanusiaan yang normal. Mereka tidak pernah sekali pun bertindak seperti manusia yang nyata. Dalam berperilaku, jika orang memilih jalan semacam ini—selalu hidup dalam angan-angan alih-alih hidup dalam kenyataan, selalu ingin terbang—maka mereka pasti akan menemui masalah. Jalan dalam kehidupan yang kaupilih itu tidak benar" ("Lima Keadaan Manusia Sebelum Mereka Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan Mereka kepada Tuhan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Merenungkan hal ini memberiku sedikit pemahaman tentang keadaanku. Aku menilai diriku terlalu tinggi, merasa bahwa sejak terpilih sebagai pemimpin tim penyiraman, itu berarti aku memiliki kualitas dan kemampuan kerja tertentu. Saat memandang diriku seperti itu, aku mulai memedulikan apa yang orang lain pikirkan tentang diriku, dan ingin sesegera mungkin membuktikan bahwa aku mampu melakukan tugas itu. Jadi, ketika aku menghadapi lebih banyak masalah dan kesulitan, aku tidak bisa begitu saja membahasnya, tetapi aku selalu khawatir orang akan melihat diriku yang sebenarnya, mengatakan kualitasku buruk dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Aku mulai memakai topeng, tetap diam ketika masalah muncul dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Itu berarti ada banyak masalah dalam tugasku yang tak terselesaikan, yang menunda pekerjaan kami dan memengaruhi keadaanku sendiri. Aku kehilangan kejernihan dalam pemikiranku, dan mulai merasa bingung dengan hal-hal yang dahulu kupahami. Aku selalu meragukan persekutuanku dalam pertemuan, takut orang akan memandang rendah diriku jika persekutuanku tidak baik. Aku merasa terkekang dalam segala hal. Aku menyadari bahwa akulah sepenuhnya yang harus disalahkan. Aku sangat congkak dan tak bernalar, dan tak mampu menghadapi kekuranganku sendiri dengan benar. Aku selalu berpura-pura agar orang lain mengagumiku. Tugas itu adalah kesempatan yang diberikan kepadaku oleh rumah Tuhan untuk melatih diriku sendiri dan itu bukan berarti aku memahami kebenaran atau dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Aku hanya memiliki sedikit kapasitas untuk menerima kebenaran, tetapi ada banyak hal yang tidak mampu kupahami dan tidak memiliki pengalaman pribadi sedikit pun. Tak ada yang istimewa tentang diriku, tetapi aku memandang diriku terlalu tinggi, berpura-pura menjadi lebih unggul, seseorang yang memahami kebenaran. Aku terlalu melebih-lebihkan diriku sendiri! Sekarang, aku bersikap rendah hati dan aku bertanya jika memang diperlukan, yang merupakan satu-satunya jalan penerapan yang realistis dan masuk akal.

Aku membaca satu bagian firman Tuhan yang memberikan beberapa pendekatan praktis. Tuhan berfirman: "Engkau harus mencari kebenaran untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul, apa pun masalahnya, dan sama sekali tidak menyamarkan dirimu atau mengenakan kedok di hadapan orang lain. Kekuranganmu, kelemahanmu, kesalahanmu, watakmu yang rusak—terbukalah sepenuhnya mengenai semua itu, dan bersekutulah tentang semuanya itu. Jangan menyembunyikannya di dalam hati. Belajar untuk bersikap terbuka adalah langkah awal untuk masuk ke dalam kebenaran, dan inilah rintangan pertama, yang paling sulit untuk diatasi. Begitu engkau berhasil mengatasinya, masuk ke dalam kebenaran menjadi mudah. Mengambil langkah ini menandakan bahwa engkau sedang membuka hatimu dan menunjukkan semua yang kaumiliki, baik atau buruk, positif atau negatif; menelanjangi dirimu agar dilihat oleh orang lain dan oleh Tuhan; tidak menyembunyikan apa pun dari Tuhan, tidak menutupi apa pun, tidak menyamarkan apa pun, bebas dari kecurangan dan tipu muslihat, dan juga bersikap terbuka serta jujur dengan orang lain. Dengan cara ini, engkau hidup dalam terang, dan bukan saja Tuhan akan memeriksamu, tetapi orang lain juga akan bisa melihat bahwa engkau bertindak dengan prinisp dan dengan suatu tingkat keterbukaan. Engkau tidak perlu menutupi apa pun juga, melakukan perubahan, atau menggunakan cara apa pun demi reputasi, harga diri, serta statusmu sendiri, dan ini juga berlaku untuk kesalahan apa pun yang telah kaubuat; pekerjaan sia-sia seperti itu tidak diperlukan. Jika engkau tidak melakukan hal-hal itu, engkau akan hidup dengan mudah serta tanpa merasa lelah, dan sepenuhnya berada dalam terang. Hanya orang seperti itulah yang dapat memperoleh pujian dari Tuhan" ("Hanya Mereka yang Menerapkan Kebenaran yang Takut akan Tuhan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Merenungkan hal ini membantuku menyadari bahwa untuk melakukan tugasku dengan bebas, tanpa kecemasan, langkah pertama adalah belajar untuk terbuka tentang kekuranganku dan berhenti memakai topeng. Aku harus menerapkan kebenaran dan menjadi orang yang jujur. Aku melihat diriku hanyalah manusia rusak yang hampir tidak memahami kebenaran, jadi tentu saja aku pasti tidak memahami banyak kebenaran. Itu sangat normal. Tidak perlu berpura-pura dan menutupi apa pun untuk menjaga citraku. Satu-satunya cara untuk santai dalam tugasku adalah dengan melepaskan harga diriku, serta membuka diri dan mencari ketika ada pertanyaan. Dengan pemikiran ini, hatiku menjadi terang dan mulai berfokus menerapkan hal itu. Jika aku tidak yakin tentang sesuatu, aku secara proaktif bertanya tentang hal itu, dan ketika mengemukakan pendapatku, aku mengatakan apa yang benar-benar kupikirkan dan hanya mempersekutukan apa yang kuketahui. Ketika aku menerapkan hal ini, secara perlahan aku mulai memahami hal-hal yang tak pernah kupahami sebelumnya, dan mampu menemukan dan menangani kekeliruan dalam tugasku. Aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang masalah pribadiku. Kemudian aku secara pribadi mengalami bahwa dipandang sebagaimana adanya diriku adalah hal yang baik, bahwa itu membantu untuk memahami prinsip-prinsip kebenaran dan menemukan kekuranganmu sendiri. Aku merasa jauh lebih bebas pada saat ini dan setelah itu aku mampu melakukan tugasku dengan normal.

Tak lama kemudian, kelompok-kelompok yang menjadi tanggung jawabku memiliki kehidupan bergereja yang sangat baik, dan saudara-saudari mau bersekutu denganku tentang masalah mereka. Namun tanpa sadar, aku mulai kembali berfokus pada apa yang orang pikirkan tentang diriku. Suatu kali di pertemuan rekan sekerja, seorang pemimpin mengemukakan beberapa masalah di gereja dan menanyakan pendapat kami. Kupikir, "Begitu banyak saudara-saudari di sini, dan jika aku mampu mengemukakan beberapa wawasan yang unik, itu akan memperlihatkan betapa cakapnya diriku." Namun setelah lama memikirkannya, aku tak mampu memahaminya. Pada saat itu, pemimpin menanyakan pendapatku. Aku tergagap cukup lama, lalu hanya memberikan saran yang ambigu. Tak lama kemudian, dua saudari lainnya mengemukakan pemikiran mereka, dan saran mereka berkebalikan dengan saranku. Yang mereka katakan benar-benar masuk akal, dan pemimpin setuju dengan mereka. Aku langsung merasa tidak nyaman, berpikir bahwa aku tak hanya gagal membuat diriku terlihat pandai, tetapi aku malah terlihat bodoh. Apa yang akan pemimpin pikirkan tentang diriku? Akankah dia berpikir bahwa aku tak memiliki wawasan tentang hal yang begitu sederhana, bahwa aku sama sekali tidak bertumbuh? Selama beberapa hari selanjutnya, beberapa masalah muncul dalam kelompok yang menjadi tanggung jawabku. Aku tidak memahaminya, jadi seharusnya aku segera mencari bantuan. Namun kemudian kupikir, jika aku menanyakan semua pertanyaan itu, bukankah itu akan merusak citra baik yang telah kubangun? Di sisi lain, aku tahu masalah yang belum terselesaikan akan menghambat pekerjaan kami, jadi aku memikirkan strategi darurat: aku akan membagi pertanyaanku dan bertanya kepada orang yang berbeda, sehingga masalah-masalah itu akan terselesaikan tetapi aku takkan terlihat terlalu banyak bertanya dan tidak tahu apa pun Saat aku menyembunyikan diri dengan cara ini, keadaanku makin memburuk. Pemikiranku menjadi lebih kabur dan aku mulai bergumul dalam banyak hal. Lalu aku merenung, dan menyadari bahwa karena aku tidak memiliki wawasan tentang segala sesuatu yang dahulu kulakukan, itu pasti karena ada masalah dengan keadaanku. Jadi, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, "Ya Tuhan, jelas sekali aku punya masalah, tetapi aku tidak berani bersikap jujur dan terbuka tentang kekuranganku. Aku selalu ingin berpura-pura hebat. Mengapa begitu sulit untuk bertanya jika aku tidak mengerti? Bibirku hanya terkatup rapat dan melakukan tugasku dengan cara ini melelahkan. Kumohon bimbing aku untuk mengetahui kerusakanku dan untuk berubah."

Setelah itu aku membaca beberapa bagian dari firman Tuhan yang menyingkapkan keadaanku yang sebenarnya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Melakukan kesalahan atau berpura-pura: mana yang berkaitan dengan watak? (Berpura-pura.) Berpura-pura berkaitan dengan watak yang congkak, itu berkaitan dengan kejahatan dan pengkhianatan, dan berpura-pura dipandang rendah oleh orang lain, dan dipandang rendah oleh Tuhan. ... Jika engkau tidak berusaha berpura-pura atau berdalih, semua orang akan berkata bahwa engkau jujur dan bijak. Dan apa yang membuatmu bijak? Semua orang melakukan kesalahan. Semua orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Dan sebenarnya, semua orang memiliki watak rusak yang sama. Jangan menganggap dirimu lebih mulia, lebih sempurna, dan lebih baik daripada orang lain; itu berarti bersikap sama sekali tidak masuk akal. Setelah watak rusak orang dan esensi serta sifat asli dari kerusakan manusia jelas bagimu, engkau tidak akan terkejut dengan kesalahanmu sendiri, engkau juga tidak akan menekan orang lain ketika mereka melakukan kesalahan, tetapi akan memperlakukan kedua hal ini dengan tepat. Hanya dengan cara demikianlah engkau akan berwawasan luas dan tidak melakukan hal-hal bodoh, yang akan membuatmu menjadi seseorang yang bijak. Orang yang tidak bijak selalu berkutat dengan kesalahan kecilnya sambil bersikap licik di baliklayar. Ini menjijikkan untuk dilihat. Sebenarnya, apa yang kaulakukan segera terlihat oleh orang lain, tetapi engkau masih terang-terangan berpura-pura. Bagi orang lain, ini terlihat seperti pertunjukan badut. Bukankah ini bodoh? Benar-benar bodoh. Orang bodoh tidak memiliki hikmat. Sebanyak apa pun khotbah yang mereka dengar, mereka tetap tidak memahami kebenaran atau melihat apa pun sebagaimana adanya. Mereka selalu bersikap congkak, berpikir bahwa mereka berbeda dari orang lain, berpikir bahwa mereka lebih berharga—di mana ini bodoh. Orang bodoh tidak memiliki pemahaman rohani, bukan? Hal-hal di mana engkau bodoh dan tidak bijak adalah hal-hal di mana engkau tidak memiliki pemahaman rohani, dan tidak memahami kebenaran. Akan selalu seperti itu" ("Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). "Watak macam apakah yang sebenarnya dimunculkan ketika orang selalu mengemas dirinya, selalu menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya, selalu berpura-pura agar orang lain menghormati mereka dan tidak dapat melihat kesalahan atau kekurangan mereka, ketika mereka selalu berusaha menampilkan sisi terbaik dan sisi paling sempurna mereka kepada orang-orang? Ini adalah kecongkakan, kepalsuan, kemunafikan, ini adalah watak Iblis, ini adalah sesuatu yang jahat. Sebagai contoh, lihatlah anggota rezim jahat: sebanyak apa pun mereka bertengkar, berseteru, atau membunuh di balik layar, tak seorang pun yang diperbolehkan untuk melaporkan atau menyingkapkan hal ini. Selain itu, mereka melakukan segala yang mereka bisa untuk menutupinya. Di depan umum, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya, mengatakan betapa mereka mengasihi rakyat, betapa baik, mulia dan benarnya mereka. Ini adalah natur Iblis. Apa ciri yang menonjol dari aspek natur Iblis ini? (Tipu muslihat dan tipu daya.) Dan apa tujuan dari tipu muslihat dan tipu daya ini? Untuk menipu orang, untuk menghalangi orang agar tidak melihat esensi dan jati diri mereka yang sebenarnya, dan dengan demikian mencapai tujuan untuk memperkuat kekuasaan mereka. Rakyat jelata mungkin tidak memiliki kekuasaan dan status semacam itu, tetapi mereka juga ingin membuat orang lain memiliki pendapat yang baik tentang diri mereka, dan agar orang memiliki penilaian yang tinggi terhadap mereka, serta memberi mereka status yang tinggi di dalam hati orang. Inilah yang dimaksud dengan watak yang rusak. Orang-orang yang tidak mengenali hal-hal ini tidak pernah membicarakan tentang kesalahan, kekurangan, dan keadaan rusak mereka sendiri, juga tidak pernah membicarakan tentang mengenal diri sendiri. Apa yang mereka katakan? 'Aku sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun. Engkau semua tidak tahu apa yang sedang kupikirkan ketika aku melakukan sesuatu, apa yang kupertimbangkan, apa yang mungkin kulakukan!' Apakah ini adalah sikap yang congkak? Apa ciri utama dari watak yang congkak? Apa tujuan yang ingin mereka capai? (Untuk membuat orang-orang menghormati mereka.) Tujuan membuat orang-orang menghormati mereka adalah untuk memberi mereka status dalam benak orang-orang ini" ("Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku bisa memahami bahwa dibanding melakukan kesalahan, menyamar itu lebih buruk. Tak seorang pun yang sempurna, jadi menghadapi masalah dan melakukan kesalahan dalam tugas adalah sama sekali normal, tetapi apa yang ada di baliknya adalah watak jahat yang congkak, licik, dan jahat. Selalu menyembunyikan kekuranganmu, hanya mengizinkan orang melihat sisi baikmu agar mereka menghormati dan mengagumimu adalah hal yang lebih Tuhan benci. Orang yang benar-benar bijak dapat menghadapi kekurangannya dengan baik, dan menggunakannya untuk melengkapi kekurangan mereka. Ini adalah kesempatan untuk bertumbuh. Namun, orang bebal yang bodoh yang tidak punya kesadaran diri tidak pernah bisa menerima kekurangan mereka sendiri. Mereka hanya berpura-pura, yang berarti masalah tidak pernah terselesaikan dan mereka tidak pernah bertumbuh dalam hidup. Mengingat kembali perilakuku, aku menyadari bahwa aku adalah salah satu dari orang bodoh yang congkak yang disingkapkan oleh Tuhan. Ketika aku mulai melakukan tugasku dengan baik, aku merasa kemampuanku cukup baik, dan aku siap menjadi pemimpin tim. Aku mampu menyelesaikan masalah, jadi sebenarnya aku meninggikan diriku sendiri, dan menilai diriku terlalu tinggi. Jadi, ketika menemukan hal-hal yang aku tidak tahu cara menanganinya, aku berhati-hati dan ragu-ragu, khawatir aku akan mengatakan hal yang keliru dan merusak citraku yang baik. Dan aku memutuskan untuk lebih sedikit berpendapat dan bertanya. Bahkan ketika aku mencari bantuan, aku selalu memilih pertanyaan yang lebih sulit untuk memperlihatkan kemampuanku, tidak ingin semua orang melihat kekuranganku Aku bahkan membagi pertanyaan di antara orang-orang agar aku tidak akan diremehkan. Aku benar-benar congkak dan licik tanpa kesadaran diri sedikit pun, berpura-pura dengan berbagai cara agar orang selalu menghormatiku Aku sangat bodoh, menjijikkan bagi Tuhan dan manusia. Aku menyembunyikan kekuranganku untuk melindungi reputasi dan statusku, meninggalkan masalah yang tak terselesaikan dalam tugasku. Berarti aku menunda pekerjaan rumah Tuhan. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Aku begitu hina dan jahat. Aku bisa mempertahankan kedudukanku untuk jangka pendek dengan berpura-pura, tetapi Tuhan memeriksa segalanya, dan cepat atau lambat, aku pasti akan disingkirkan oleh Tuhan karena menipu-Nya, karena menunda pekerjaan gereja. Antikristus sangat menghargai status dan bahkan tega mengorbankan kepentingan rumah Tuhan untuk status mereka sendiri. Apa perbedaan antara watak dan perspektifku tentang pengejaran, dan watak dan perspektif antikristus? Jika benar-benar direnungkan, apa gunanya kedudukan itu bagiku? Itu membuatku tidak mau mengakui atau menghadapi kekuranganku, dan aku kehilangan nalarku. Aku tidak mau mencari ketika aku menghadapi masalah, tetapi berpura-pura dan menjadi makin licik. Aku akan berakhir di jalan antikristus, menjijikkan bagi Tuhan dan disingkirkan. Itu akan merugikan pekerjaan rumah Tuhan dan menghancurkanku. Pada saat itu aku menyadari betapa berbahayanya menempuh jalan itu. Itu adalah peringatan bahwa aku tidak boleh lagi melakukan tugasku seperti itu.

Aku membaca lebih banyak firman Tuhan dengan jalan penerapan, dan itu bahkan lebih membebaskan bagiku. Tuhan berfirman: "Beberapa orang dipromosikan dan dibina oleh gereja; ini adalah kesempatan besar. Dapat dikatakan bahwa mereka telah ditinggikan dan dianugerahi kasih karunia oleh Tuhan. Lalu, bagaimana seharusnya mereka melaksanakan tugas mereka? Prinsip pertama yang harus mereka patuhi adalah memahami kebenaran. Jika mereka tidak memahami kebenaran, mereka harus mencari kebenaran, dan jika setelah mencari, mereka tetap tidak memahami kebenaran, mereka dapat mencari seseorang untuk bertanya dan bersekutu dengannya; mereka harus belajar bagaimana bekerja secara harmonis dengan orang lain, mengajukan lebih banyak pertanyaan, lebih banyak mencari. Hanya dengan cara demikianlah mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah dengan tepat, dan menjadi bermanfaat bagi umat pilihan Tuhan dan pekerjaan gereja. Karena engkau baru pada tahap promosi dan pembinaan, engkau tidak memahami segalanya. Jadi, jangan berpura-pura bahwa engkau paham; ini adalah cara yang bodoh dalam melakukan segala sesuatu. Jika engkau tidak paham, engkau dapat bertanya kepada orang lain, atau bersekutu dengan orang lain, atau bertanya kepada Yang di Atas—tidak ada yang memalukan tentang semua ini. Sekalipun engkau tidak bertanya, Yang di Atas tahu engkau bukan siapa-siapa, bahwa engkau tidak memiliki apa-apa. Yang seharusnya kaulakukan adalah mencari dan bersekutu. Inilah nalar yang seharusnya ditemukan dalam kemanusiaan yang normal, dan prinsip yang harus diikuti oleh para pemimpin dan pekerja. Tidak ada yang memalukan dalam melakukan hal-hal ini. Sekarang setelah engkau menjadi seorang pemimpin, jika engkau selalu merasa adalah memalukan untuk masih tidak memahami prinsip, dan selalu bertanya kepada orang lain dan Yang di Atas—dan jika, sebagai akibatnya, engkau berpura-pura memahami prinsip, bahwa engkau tahu, bahwa engkau mampu melakukan pekerjaan ini, bahwa engkau cakap dalam pekerjaan ini, dan tidak membutuhkan petunjuk dan persekutuan orang lain, tidak membutuhkan perbekalan dan dukungan orang lain, maka ini berbahaya; cepat atau lambat engkau akan digantikan karena ini bertentangan dengan syarat promosi dan pembinaan oleh rumah Tuhan. Engkau percaya bahwa dirimu mampu, tetapi engkau harus menyadari bahwa pada kenyataannya, engkau tidak mampu melakukan apa pun, dan baru pada tahap pembelajaran dan pelatihan. Inilah nalar yang seharusnya kaumiliki. Mencari dan bersekutu: inilah yang seharusnya kauterapkan" ("Mengenali Para Pemimpin Palsu (5)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Aku merenungkan hal ini dan memahami bahwa rumah Tuhan mempromosikan dan membina orang adalah untuk memberi mereka kesempatan melakukan penerapan. Itu bukan berarti mereka memahami kebenaran, mampu menyelesaikan masalah apapun, dan layak dipakai Tuhan. Dalam penerapannya, mereka akan menghadapi berbagai macam masalah nyata, dan jika mereka terus mencari dan bersekutu, secara perlahan mereka akan mulai memahami berbagai aspek dari prinsip. Kemudian mereka mampu memecahkan masalah dan melakukan tugasnya dengan baik. Aku tahu aku harus menghadapi kekuranganku dengan benar dan mengenal diriku sendiri, mencari lebih banyak kebenaran, lebih banyak berdiskusi dan bersekutu dengan orang lain ketika sesuatu terjadi, dan melakukan yang terbaik. Kemudian, meskipun suatu hari menjadi jelas bahwa aku sebenarnya tidak memiliki kualitas, dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu, setidaknya hati nuraniku selalu bersih. Setelah merenungkan hal itu, aku benar-benar merasa lega. Aku tidak perlu terus berpura-pura dan memakai topeng, melainkan aku harus bersikap jujur serta menghadapi kekurangan dan kelemahanku dengan benar.

Dalam diskusi tim kami setelah itu, aku berusaha untuk dengan jujur mengemukakan pendapatku sendiri. Pada awalnya aku agak ragu, takut mengatakan hal yang keliru dan terlihat sebagai orang yang memiliki pemahaman yang dangkal dan kualitas yang buruk. Khususnya ketika ada masalah yang aku benar-benar tidak yakin, pendapat yang kukemukakan tidak terlalu jelas. Jantungku akan mulai berdegup kencang: "Apakah semua orang akan melihat diriku yang sebenarnya?" Namun, aku akan mengingatkan diriku sendiri bahwa itu adalah levelku yang sebenarnya, dan tidak masalah jika mereka memandang rendah diriku. Yang penting adalah menjadi orang jujur di hadapan Tuhan, dan mengemukakan pendapatku serta berpartisipasi dalam diskusi adalah tugasku. Itulah satu-satunya cara hidup yang damai. Setelah itu, jika ada pertanyaan dalam tugasku, aku berinisiatif meminta pendapat orang lain Sesekali aku masih khawatir dipandang rendah. Namun, ketika berpikir bahwa menyembunyikan kekuranganku untuk melindungi harga diriku mungkin akan merugikan pekerjaan rumah Tuhan, aku selalu berupaya untuk berpaling dari dorongan itu dan mencari pertolongan. Ketika aku melakukan hal itu, aku mulai memahami hal-hal yang belum pernah kupahami sebelumnya dan aku merasa lebih tenang, lebih damai. Terkadang, saudara-saudari memiliki pemahaman yang lebih akurat daripada diriku, dan aku mulai bertanya-tanya apakah semua orang berpikir aku tidak mampu memahaminya. Namun aku paham, itu bukan cara pandang yang benar. Aku harus belajar dari kekuatan orang lain untuk melengkapi kelemahanku. Bukankah itu suatu karunia? Aku tidak merasa bingung ketika memikirkannya seperti itu, dan seiring waktu, aku mulai merasa makin bebas. Aku bersyukur atas bimbingan Tuhan yang membuatku mengalami betapa bebas dan sukacitanya bersikap jujur, dan sekarang aku memiliki iman yang lebih besar untuk menerapkan firman Tuhan.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Tinggalkan Balasan