Aku Tidak Akan Pernah Mengeluh Tentang Nasibku Lagi

31 Mei 2024

Oleh Saudari Yi Xin, Tiongkok

Aku terlahir dalam sebuah keluarga petani biasa, dan orang tuaku mengandalkan bercocok tanam untuk bertahan hidup. Ada satu keluarga berada di desa kami, dan mereka memiliki rumah yang indah dan besar. Anak-anaknya kerap memakai pakaian baru dan makan makanan enak. Aku sungguh iri kepada mereka. Kupikir, aku harus belajar dengan baik, masuk ke universitas yang bagus nantinya, dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dengan demikian, aku akan menonjol di antara yang lain, dan orang lain akan mengagumiku dan iri kepadaku. Namun, saat SMA kelas satu, aku didiagonis menderita lupus eritematosus sistemik. Itu adalah penyakit autoimun reumatik yang tidak dapat disembuhkan. Aku harus minum obat seumur hidup. Pada saat itu, aku sangat tertekan, dan aku tidak tahu mengapa aku menderita penyakit ini. Aku mencurahkan seluruh tenagaku untuk belajar. Nilai-nilaiku sering kali termasuk yang terbaik di kelas, dan kupikir jika aku bisa masuk ke universitas idaman, aku akan bisa memperbaiki nasibku. Namun, di luar dugaan, sekitar dua puluh hari sebelum ujian sekolah menengah atas, aku mengalami demam tinggi yang tidak kunjung reda, dan aku harus dirawat di rumah sakit, sehingga memengaruhi hasil ujianku. Pada akhirnya, aku tidak berhasil masuk ke universitas idaman, dan hanya masuk ke perguruan tinggi vokasi biasa. Namun, aku tidak mau menyerah pada nasibku, dan setelah memasuki perguruan tinggi itu, aku mendaftar untuk kelas persiapan ujian masuk universitas. Namun, baru setengah tahun aku mengikuti kelas, penyakitku bertambah parah. Aku sering mengalami demam ringan, sendi-sendi tangan dan kakiku bengkak dan nyeri, bahkan naik tangga pun sulit. Adakalanya aku bahkan tidak bisa membawa termosku. Pada akhirnya, aku tidak punya pilihan selain putus sekolah dan pulang ke rumah. Teman-teman lain seusiaku dalam keadaan sehat dan sedang berusaha meraih cita-cita mereka. Aku hanya bisa memandang langit dan menghela napas, sambil berpikir, "Mengapa takdir begitu tidak adil kepadaku? Mengapa aku diberi kesulitan yang begitu besar?" Aku sering menyalahkan semua orang dan segala sesuatu, bahkan terkadang aku memikirkan kematian. Namun, melihat orang tuaku menyibukkan diri mereka demi diriku, aku tidak tega untuk bertindak berdasarkan pemikiran itu. Aku hanya bisa menghitung hari demi hari yang berlalu tanpa daya.

Kemudian, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Kesehatanku telah pulih dengan cukup baik, dan aku bisa menjalani kehidupan normal. Pemimpin mengatur agar aku membuat video-video. Saat itu, aku cukup bersemangat, dan secara aktif mempelajari cara memproduksi video. Kemudian, aku diangkat menjadi pengawas, dan aku sangat gembira. Aku menjadi makin aktif saat melaksanakan tugasku. Terkadang aku mengalami demam ringan, tetapi aku tetap melaksanakan tugasku. Belakangan, mengingat kondisi kesehatanku, pemimpin mengatur agar aku pulang ke rumah dan melaksanakan tugas apa pun yang dapat kulaksanakan di sana. Aku merasa agak bingung. Tampaknya aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk dipersiapkan, dan kupikir, "Bukankah itu semua karena penyakit mengerikan ini? Aku benar-benar diberi nasib buruk." Setelah itu, aku melaksanakan tugas berbasis teks di gereja. Aku sering berpikir, "Aku hanya melaksanakan tugas berbasis teks. Aku tidak bisa menonjol atau menjadi sorotan." Aku sangat tertekan. Melihat para pemimpin sering pergi ke berbagai lokasi pertemuan untuk mempersekutukan firman Tuhan dan menyelesaikan masalah, terlihat sangat mengesankan dan berhasil, aku berpikir, "Andai aku bisa memahami lebih banyak tentang kebenaran dan menyelesaikan masalah dengan keadaan saudara-saudari, mungkin semua orang juga akan memilihku sebagai pemimpin." Jadi, setiap kali aku pergi ke pertemuan, aku memperhatikan keadaan saudara-saudari. Saat pulang ke rumah, aku mencari beberapa firman Tuhan, lalu mempersekutukan firman-firman ini dengan saudara-saudari pada pertemuan berikutnya. Melihat semua orang mendengarkan persekutuanku dengan cermat, tentu saja aku sangat bahagia. Saat semuanya mulai berjalan dengan baik, aku jatuh dari sepeda dalam perjalanan menuju sebuah pertemuan. Kakiku terluka parah sehingga aku tidak bisa berjalan, dan terpaksa tinggal di rumah untuk memulihkan diri. Aku sangat bingung dan berpikir, "Aku sudah cukup aktif dalam tugasku akhir-akhir ini. Bagaimana hal seperti ini bisa tiba-tiba terjadi kepadaku? Mengapa aku sangat tidak beruntung?" Yang membuatku lebih kesal lagi adalah gereja akan segera mengadakan pemilihan. Kupikir aku bisa terpilih, tetapi pemimpin berkata kepadaku, "Para pemimpin bertanggung jawab atas semua pekerjaan gereja. Mengingat kondisi kesehatanmu yang buruk, aku khawatir kau akan kelelahan. Lebih baik kau tetap melaksanakan tugas berbasis teks." Mendengar ucapan pemimpin, aku merasa seperti disiram dengan seember air dingin, dan hatiku menjadi dingin. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa menjadi pemimpin. Setelah itu, saat aku pergi ke pertemuan, aku tidak memiliki semangat seperti sebelumnya. Aku tidak mau berusaha memikirkan masalah saudara-saudari. Pemimpin yang baru terpilih saat itu, Chen Fang, seumuran denganku, dan aku sangat iri kepadanya. Dia dalam keadaan sehat dan dapat dipilih sebagai seorang pemimpin, sementara aku hanya bisa melaksanakan sedikit tugas berbasis teks. Aku mengeluh dalam hati, sambil berpikir, "Aku ingin mengorbankan diri dengan tekun demi Tuhan. Mengapa tubuhku sangat lemah? Aku memiliki hati, tetapi tidak memiliki kekuatan. Aku benar-benar diberi nasib buruk." Merasa bingung, aku berpikir, "Meskipun tidak bisa menjadi pemimpin, jika aku meraih prestasi dalam tugas berbasis teksku, bukankah saudara-saudari akan tetap mengagumiku?" Mengingat hal ini, aku dengan bersemangat memeriksa manuskrip-manuskrip. Namun, pada akhir tahun, kakiku sangat sakit sehingga aku tak bisa berjalan. Ternyata aku menderita nekrosis avaskular. Tak lama kemudian, terjadi penangkapan di gereja, dan aku tidak bisa keluar untuk menghubungi saudara-saudari. Aku sangat tertekan, dan berpikir, "Mengapa aku diberi nasib yang buruk seperti ini? Dahulu, aku ingin mengandalkan belajar untuk mengubah nasibku, tetapi itu tidak berjalan sesuai rencana. Kupikir setelah percaya kepada Tuhan, aku akan bisa mendapatkan nasib yang baik, tetapi segala sesuatu tetap tidak berjalan dengan baik bagiku. Saat ini, penyakitku menjadi parah, dan aku tidak dapat melaksanakan tugasku karena keadaan yang berbahaya. Momen kejayaanku tidak akan pernah tiba. Sudah nasibku untuk menderita!" Wajahku berlinang air mata sepanjang hari, dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa terus melanjutkan hidup. Pada saat itu, terpikir olehku bahwa aku bisa menulis artikel, tetapi begitu aku memikirkan nasibku dan bagaimana semua upayaku akan sia-sia, aku tidak lagi berminat untuk menulis, dan sepanjang hari aku merasa tertekan.

Suatu hari, seorang saudari yang tinggal di dekat rumahku membawakan beberapa firman Tuhan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan dan berdoa kepada-Nya, "Tuhan, terima kasih atas belas kasihan-Mu. Selama ini aku hidup dalam keadaan tertekan. Aku berpikir nasibku buruk, jadi aku tidak mencari kebenaran atau memetik pelajaran. Ya Tuhan, aku sungguh telah memberontak!" Belakangan, aku membaca dua bagian firman Tuhan dan mulai memahami keadaanku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Sumber penyebab munculnya emosi negatif depresi berbeda pada setiap orang. Salah satu penyebab orang merasa depresi adalah karena keyakinan mereka yang terus-menerus akan nasib buruk mereka sendiri. Bukankah ini adalah salah satu penyebabnya? (Ya.) Ketika masih kecil, mereka tinggal di pedesaan atau di daerah miskin, keluarga mereka miskin, dan selain beberapa perabotan sederhana, tidak ada apa pun yang berharga di rumah mereka. Mereka mungkin memiliki satu atau dua setel pakaian yang harus mereka kenakan sekalipun pakaian tersebut sudah berlubang, dan mereka tak pernah mampu membeli makanan berkualitas baik, melainkan harus menunggu Tahun Baru atau hari-hari besar untuk bisa makan daging. Terkadang mereka kelaparan dan tidak memiliki pakaian yang cukup untuk membuat tubuh mereka tetap hangat dan makan semangkuk besar daging hanyalah angan-angan, dan bahkan menemukan sepotong buah untuk dimakan pun sulit bagi mereka. Tinggal di lingkungan seperti itu, mereka merasa berbeda dari orang lain yang tinggal di kota besar, yang orang tuanya berkecukupan, yang dapat makan makanan apa pun yang mereka inginkan, dan mengenakan pakaian apa pun yang mereka inginkan, yang mendapatkan semua yang mereka inginkan pada saat itu juga, dan yang berpengetahuan luas dalam berbagai hal. Mereka selalu berpikir, 'Nasib mereka begitu baik, mengapa nasibku begitu buruk?' Mereka selalu ingin terlihat menonjol dan mengubah nasib mereka. Namun, orang tidak dapat semudah itu mengubah nasibnya. Ketika orang dilahirkan dalam keadaan seperti itu, meskipun mereka berusaha, sebanyak apakah mereka dapat mengubah nasib mereka, dan sebaik apakah mereka dapat mengubahnya? Setelah mereka dewasa, mereka dihadang oleh rintangan di tengah masyarakat mana pun, mereka ditindas di mana pun mereka berada, sehingga mereka selalu merasa sangat tidak beruntung. Mereka berpikir, 'Mengapa aku sangat sial? Mengapa aku selalu bertemu dengan orang-orang jahat? Hidupku sulit ketika aku masih kecil, dan nasibku memang seburuk itu. Kini, setelah aku dewasa, nasibku tetap sangat buruk. Aku selalu ingin menunjukkan apa yang mampu kulakukan, tetapi aku tak pernah mendapat kesempatan. Jika aku tak pernah mendapat kesempatan, itu sudah nasibku. Aku hanya ingin bekerja keras dan mendapatkan cukup uang untuk menjalani kehidupan yang baik. Mengapa bahkan itu pun tak mampu kulakukan? Mengapa begitu sulit untuk bisa menjalani kehidupan yang baik? Aku tak perlu menjalani kehidupan yang lebih unggul daripada orang lain. Aku ingin setidaknya menjalani kehidupan sebagai penduduk kota dan tidak dipandang rendah oleh orang lain, dan tidak menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga. Setidaknya ketika orang memanggilku, mereka tidak akan berteriak, "Hei kau, kemarilah!" Setidaknya mereka akan memanggilku dengan menyebut namaku dan menyapaku dengan hormat. Namun, bahkan menikmati sapaan hormat pun aku tidak bisa. Mengapa nasibku begitu kejam? Kapan ini akan berakhir?' Sebelum orang seperti itu percaya kepada Tuhan, dia menganggap nasibnya kejam. Setelah dia mulai percaya kepada Tuhan dan memahami bahwa ini adalah jalan yang benar, dia kemudian berpikir, 'Semua penderitaanku di masa lalu layak kualami. Semua itu diatur dan dilakukan oleh Tuhan, dan Tuhan melakukannya dengan baik. Jika aku tidak menderita seperti itu, aku pasti tidak akan percaya kepada Tuhan. Kini, setelah aku percaya kepada Tuhan, jika aku mampu menerima kebenaran, nasibku tentunya akan menjadi lebih baik. Sekarang, aku dapat menjalani kehidupan yang setara di gereja bersama saudara-saudariku, dan orang memanggilku "Saudara" atau "Saudari", dan aku disapa dengan hormat. Kini, aku menikmati rasanya dihormati oleh orang lain.' Tampaknya seakan-akan nasibnya telah berubah, dan tampaknya, dia tidak lagi menderita dan tidak lagi bernasib buruk. Begitu dia mulai percaya kepada Tuhan, dia bertekad untuk melaksanakan tugasnya di rumah Tuhan dengan baik, dia menjadi mampu menanggung kesukaran dan bekerja keras, mampu menanggung lebih daripada siapa pun dalam hal apa pun, dan dia berusaha keras mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari sebagian besar orang. Dia bahkan mengira bahwa dia mungkin akan dipilih menjadi pemimpin gereja, penanggung jawab, atau pemimpin tim, dan bukankah itu berarti dia membawa kehormatan bagi leluhur dan keluarganya? Bukankah dengan demikian dia telah mengubah nasibnya? Namun, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya dan dia menjadi sedih, dan berpikir, 'Aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan aku sangat akrab dengan saudara-saudariku, tetapi mengapa setiap kali tiba waktunya untuk memilih pemimpin, penanggung jawab, atau pemimpin tim, aku tidak pernah mendapat giliran? Apakah karena penampilanku sangat sederhana, atau karena kinerjaku kurang baik, sehingga tak seorang pun melihatku? Setiap kali diadakan pemungutan suara, kupikir mungkin ada secercah harapan bagiku, dan aku bahkan akan merasa senang jika terpilih sebagai pemimpin tim. Aku begitu penuh semangat untuk membalas kasih Tuhan, tetapi akhirnya aku malah kecewa setiap kali diadakan pemungutan suara karena aku selalu tidak terpilih. Mengapa aku selalu tidak terpilih? Mungkinkah karena aku hanya mampu menjadi orang yang biasa-biasa saja, orang pada umumnya, orang yang tidak menonjol seumur hidupku? Jika kuingat kembali masa kecilku, masa mudaku, dan usia paruh bayaku, jalan yang selama ini kutempuh selalu sangat biasa-biasa saja dan aku belum pernah melakukan sesuatu yang penting. Bukan karena aku tidak memiliki ambisi, atau karena kualitasku terlalu rendah, dan bukan karena aku kurang berusaha atau karena aku tak sanggup menanggung kesukaran. Aku memiliki tekad dan tujuan, dan bahkan aku dapat dikatakan memiliki ambisi. Jadi, mengapa aku tak pernah terlihat paling menonjol? Kesimpulannya, aku benar-benar memiliki nasib yang buruk dan aku ditakdirkan untuk menderita, dan beginilah cara Tuhan mengatur segala sesuatu untukku.' Makin memikirkannya, makin dia menganggap dirinya bernasib buruk. ... Apa pun yang terjadi, dia selalu mengaitkannya dengan nasib buruk yang dimilikinya; dia selalu berupaya keras memikirkan gagasan tentang nasib buruk yang dimiliknya ini, dia berusaha memiliki pemahaman dan penghargaan yang lebih mendalam tentang nasib buruk ini dan, saat dia terus memikirkannya, emosinya menjadi jauh lebih depresi. Ketika dia melakukan kesalahan kecil dalam pelaksanaan tugasnya, dia berpikir, 'Oh, bagaimana aku bisa melaksanakan tugasku dengan baik jika nasibku seburuk ini?' Di pertemuan, saat saudara-saudarinya menyampaikan persekutuan, dia merenungkannya berulang kali, tetapi tidak memahaminya, dan dia berpikir. 'Oh, bagaimana aku mampu memahami sesuatu jika nasibku seburuk ini?' Setiap kali dia melihat seseorang yang berbicara lebih baik daripada dirinya, yang membahas pemahamannya dengan cara yang lebih jelas dan mencerahkan dibandingkan dirinya, ia merasa makin depresi. Ketika dia melihat seseorang yang mampu menanggung kesukaran dan membayar harga, yang membuahkan hasil dalam pelaksanaan tugasnya, yang menerima persetujuan dari saudara-saudarinya dan dipromosikan, dia merasa tidak bahagia di dalam hatinya. Ketika dia melihat seseorang menjadi pemimpin atau pekerja, dia merasa makin depresi, dan bahkan saat dia melihat seseorang yang menyanyi dan menari dengan lebih baik daripada dirinya, dan merasa dirinya lebih buruk dibandingkan orang tersebut, dia menjadi depresi. Apa pun orang, peristiwa, atau hal-hal yang dia jumpai, atau apa pun situasi yang dihadapinya, dia selalu menanggapi semuanya dengan emosi depresinya tersebut. Bahkan ketika dia melihat seseorang mengenakan pakaian yang sedikit lebih indah daripada pakaiannya atau yang gaya rambutnya sedikit lebih bagus, dia selalu merasa sedih, lalu kecemburuan dan iri hati pun muncul di hatinya, sampai akhirnya membuatnya kembali tenggelam dalam emosi depresinya tersebut" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). "Pada akhirnya, karena mereka selalu yakin bahwa mereka bernasib buruk, mereka menjadi putus asa, hidup tanpa tujuan nyata apa pun dan hanya makan dan tidur, menunggu kematian; dan karenanya mereka menjadi makin tidak tertarik untuk mengejar kebenaran, melaksanakan tugas mereka dengan baik, memperoleh keselamatan, dan memenuhi tuntutan Tuhan lainnya, dan bahkan makin menolak hal-hal ini. Mereka menjadikan nasib buruk sebagai alasan dan landasan bahwa tidak mengejar kebenaran dan tidak mampu memperoleh keselamatan adalah hal yang sudah sewajarnya. Mereka tidak menganalisis watak rusak atau emosi negatif mereka sendiri dalam situasi yang mereka hadapi agar mampu memahami dan membereskan watak rusak mereka, sebaliknya mereka malah menggunakan pandangan mereka tentang memiliki nasib buruk dalam cara mereka menanggapi setiap orang, peristiwa dan hal yang mereka jumpai dan alami, sehingga mengakibatkan mereka makin terjerumus dalam emosi depresi mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Yang Tuhan ungkapkan adalah keadaanku yang sebenarnya. Aku selalu berpikir bahwa aku memiliki nasib yang buruk dan kejam, dan karena itu, aku sering hidup dalam perasaan tertekan. Ketika aku masih muda, aku melihat bahwa aku dilahirkan dalam keluarga biasa, dan ingin mengandalkan belajar untuk mengubah nasibku, tetapi sayangnya, saat SMA kelas satu, aku didiagnosis menderita lupus eritematosus. Penyakitku kambuh tepat sebelum ujian sekolah menengah atas, sehingga aku tidak berhasil masuk ke universitas idaman. Kemudian, aku harus putus sekolah dan pulang ke rumah karena kondisi kesehatanku yang parah. Melihat bahwa aku tidak punya cara untuk mengandalkan pengetahuan demi mengubah nasibku, hatiku sangat sedih, dan aku sering mengeluh bahwa nasib tidak adil kepadaku. Setelah percaya kepada Tuhan, aku selalu dengan enggan melaksanakan tugas berbasis teks di belakang layar, dan aku ingin terpilih sebagai pemimpin dengan secara aktif membereskan keadaan saudara-saudari. Namun, mengingat kondisi kesehatanku, saudara-saudari tidak memilihku. Aku makin merasa telah diberi nasib buruk dan tidak lagi aktif dalam pertemuan seperti sebelumnya. Berdasarkan situasiku, gereja mengatur agar aku tinggal di rumah keluarga tuan rumahku dan memeriksa naskah. Aku masih ingin meraih prestasi dan membuat orang-orang mengagumiku, tetapi kondisi kesehatanku tiba-tiba memburuk, dan nekrosis avaskular membuatku tidak bisa keluar untuk melaksanakan tugasku. Aku menjadi makin tertekan. Kupikir semua hal yang kulakukan tidak berjalan dengan baik, dan sudah nasibku untuk menderita. Aku hidup dalam perasaan tertekan dan menyerah pada diriku sendiri, tidak ingin lagi mengejar kebenaran, bahkan tidak ingin menulis artikel lagi. Aku percaya aku telah diberi nasib buruk dan tidak ada gunanya terus melanjutkan. Pandanganku terhadap berbagai hal sama seperti pandangan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Saat menghadapi kesulitan, aku menyimpulkan bahwa nasibku buruk, dan aku ingin melawan takdir dalam segala hal yang kulakukan. Ketika kalah bertarung, aku mengeluh bahwa aku telah diberi nasib buruk. Aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi tidak memiliki ketundukan sejati kepada-Nya. Aku tidak mencari kebenaran untuk menyelesaikan masalahku sendiri, hanya hidup dalam keadaan tertekan dan menyalahkan Tuhan. Bagaimana aku bisa menyebut diriku orang yang percaya kepada Tuhan?

Kemudian, aku membaca dua bagian firman Tuhan lagi dan mengetahui bahwa tidak ada yang namanya nasib baik atau buruk. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Pengaturan Tuhan tentang bagaimana nasib seseorang, entah itu baik atau buruk, tidak boleh dipandang atau diukur dengan menggunakan mata manusia atau mata seorang peramal, juga tidak boleh diukur berdasarkan seberapa banyak kekayaan dan kejayaan yang orang itu nikmati sepanjang hidupnya, atau seberapa banyak penderitaan yang dia alami, atau seberapa berhasil dirinya dalam mengejar prospek, ketenaran, dan kekayaan. Namun, justru inilah kesalahan serius yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya bernasib buruk, dan inilah cara mengukur nasib yang digunakan oleh kebanyakan orang. Bagaimana kebanyakan orang mengukur nasib mereka sendiri? Bagaimana orang dunia mengukur apakah nasib seseorang itu baik atau buruk? Mereka terutama mengukurnya berdasarkan apakah kehidupan seseorang itu berjalan lancar atau tidak, apakah dia mampu menikmati kekayaan dan kejayaan atau tidak, apakah dia mampu memiliki gaya hidup yang lebih unggul atau tidak daripada orang lain, seberapa banyak dia menderita dan seberapa banyak yang dia nikmati sepanjang hidupnya, berapa lama dia hidup, karier apa yang dia miliki, apakah kehidupannya dipenuhi kerja keras ataukah nyaman dan mudah—hal-hal ini dan banyak hal lainnya inilah yang mereka gunakan untuk mengukur apakah nasib seseorang itu baik atau buruk. Bukankah engkau semua juga mengukurnya dengan cara seperti ini? (Ya.) Jadi, sebagian besar dari antaramu, ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu, ketika mengalami masa-masa yang sulit, atau ketika engkau tak mampu menikmati gaya hidup yang unggul, engkau juga akan menganggap dirimu bernasib buruk, dan engkau akan tenggelam dalam perasaan depresi" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). "Tuhan sudah sejak lama menentukan nasib manusia, dan itu tidak dapat diubah. 'Nasib baik' dan 'nasib buruk' ini berbeda pada setiap orang, dan itu tergantung pada lingkungan, pada bagaimana orang merasakannya dan apa yang mereka kejar. Itulah sebabnya nasib orang itu tidak baik dan juga tidak buruk. Engkau mungkin menjalani kehidupan yang sangat sulit, tetapi engkau mungkin berpikir, 'Aku tak ingin menjalani kehidupan yang mewah. Aku sudah bahagia jika memiliki cukup makanan dan cukup pakaian. Semua orang menderita selama hidup mereka. Orang dunia berkata, "Kau tidak dapat melihat pelangi kecuali turun hujan," jadi menderita itu ada manfaatnya. Penderitaanku ini tidak terlalu buruk, dan nasibku juga tidak buruk. Surga di atas telah memberiku sedikit penderitaan, beberapa ujian, dan kesengsaraan. Itu karena Dia sangat menghargaiku. Ini adalah nasib yang baik!' Ada orang-orang yang berpikir bahwa menderita adalah hal yang buruk, bahwa menderita berarti mereka bernasib buruk, dan hanya jika hidup mereka tanpa penderitaan, nyaman dan mudah, barulah itu berarti mereka bernasib baik. Orang-orang tidak percaya menyebut ini 'soal pendapat masing-masing'. Bagaimana orang-orang yang percaya kepada Tuhan memandang masalah 'nasib' ini? Apakah kita membahas tentang memiliki 'nasib yang baik' atau 'nasib yang buruk'? (Tidak.) Kita tidak membahas hal-hal seperti ini. Katakanlah engkau bernasib baik karena engkau percaya kepada Tuhan, maka jika engkau tidak mengikuti jalan yang benar dalam kepercayaanmu, jika engkau dihukum, disingkapkan dan disingkirkan, apakah itu berarti engkau bernasib baik atau bernasib buruk? Jika engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau tidak mungkin disingkapkan atau disingkirkan. Orang tidak percaya dan orang-orang beragama tidak membahas tentang menyingkapkan orang atau mengenali yang sebenarnya tentang orang-orang, dan mereka tidak membahas tentang pemberhentian atau penyingkiran orang. Itu seharusnya berarti bahwa orang bernasib baik jika mereka mampu percaya kepada Tuhan, tetapi jika mereka pada akhirnya dihukum, apakah itu berarti mereka bernasib buruk? Pada suatu saat nasib mereka baik, lalu pada saat berikutnya nasib mereka buruk—jadi yang mana nasib mereka? Apakah seseorang bernasib baik atau buruk, itu bukanlah sesuatu yang dapat dinilai, manusia tidak dapat menilai hal ini. Semua ini dilakukan oleh Tuhan dan semua yang Tuhan atur adalah baik. Hanya saja perjalanan nasib setiap orang, atau lingkungan mereka, serta orang-orang, peristiwa dan hal-hal yang mereka temui, dan jalan hidup yang mereka alami selama hidup mereka semuanya berbeda; hal-hal yang dialami setiap orang berbeda. Lingkungan hidup setiap orang dan lingkungan tempatnya bertumbuh, kedua hal yang diatur bagi mereka oleh Tuhan ini, semuanya berbeda. Hal-hal yang setiap orang alami selama hidupnya semuanya berbeda. Tidak ada yang namanya nasib baik atau nasib buruk—Tuhan-lah yang mengatur semua itu, dan semua itu dilakukan oleh Tuhan. Jika kita memandang hal ini dari sudut pandang bahwa semuanya dilakukan oleh Tuhan, segala sesuatu yang Tuhan lakukan itu baik dan benar; hanya saja dari sudut pandang kesukaan, perasaan, dan pilihan manusia, ada orang-orang yang memilih untuk menjalani kehidupan yang nyaman, memilih untuk mengejar ketenaran dan kekayaan, reputasi yang baik, kemakmuran di dunia ini dan kesuksesan dalam hidup ini. Mereka yakin bahwa inilah yang dimaksud dengan bernasib baik, dan yang dimaksud bernasib buruk adalah jika orang seumur hidupnya biasa-biasa saja dan tidak berhasil, selalu hidup sebagai masyarakat kelas bawah. Seperti inilah yang dilihat dari sudut pandang orang tidak percaya dan orang-orang dunia yang mengejar hal-hal duniawi dan mengejar kehidupan di dunia ini, dan dari sinilah muncul gagasan tentang nasib yang baik dan nasib yang buruk. Gagasan tentang nasib baik dan nasib buruk hanya muncul dari pemahaman manusia yang sempit dan persepsi mereka yang dangkal tentang nasib, dan dari penilaian orang tentang seberapa banyak penderitaan jasmani yang mereka alami, dan seberapa banyak kenikmatan, ketenaran, dan kekayaan yang mereka peroleh, dan seterusnya. Sebenarnya, jika kita melihatnya dari sudut pandang pengaturan dan kedaulatan Tuhan atas nasib manusia, tidak ada penafsiran tentang nasib baik atau nasib buruk. Bukankah ini akurat? (Ya.) Jika engkau memandang nasib manusia dari sudut pandang kedaulatan Tuhan, maka semua yang Tuhan lakukan adalah baik, dan itu adalah yang dibutuhkan oleh masing-masing orang. Ini karena sebab dan akibat berperan dalam kehidupan di masa lalu dan di masa sekarang, semua itu ditentukan sejak semula oleh Tuhan, Tuhan berdaulat atas semua itu, dan Tuhan merencanakan serta mengatur semua itu—manusia tidak punya pilihan. Jika kita melihatnya dari sudut pandang ini, manusia tidak seharusnya menilai nasib mereka sendiri itu baik atau buruk, bukan?" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Setelah membaca firman Tuhan, akhirnya aku menyadari bahwa dari sudut pandang Tuhan, tidak ada yang namanya nasib baik atau buruk. Semua yang Tuhan lakukan itu baik. Tuhan memegang kedaulatan dan mengatur nasib setiap orang. Standar manusia dalam menilai apakah nasib mereka baik atau buruk didasarkan pada seberapa banyak penderitaan yang mereka alami dalam hidup mereka, seberapa banyak kejayaan dan kekayaan yang mereka nikmati, serta sesukses apa mereka dalam mengejar ketenaran, keuntungan, dan prospek masa depan. Ini berasal dari sudut pandang keinginan daging manusia dan sama sekali tidak sejalan dengan maksud Tuhan. Inilah yang kuyakini. Kupikir mereka yang dalam keadaan sehat, yang dapat mencapai ketenaran dan keuntungan, serta menikmati kejayaan dan kekayaan adalah orang-orang yang bernasib baik, sedangkan mereka yang menderita penyakit, hidup dalam kemiskinan, dan menghabiskan seluruh hidup mereka dalam keadaan biasa-biasa saja tanpa dikagumi oleh siapa pun adalah orang-orang yang bernasib buruk. Jadi, karena aku selalu terserang penyakit, dan aku ingin mengejar ketenaran, kuntungan, serta prospek masa depan, tetapi tidak pernah berhasil, kukira aku memiliki nasib buruk. Pandanganku terhadap berbagai hal sama seperti orang tidak percaya. Itu adalah pandangan orang tidak percaya. Sebagian orang dalam keadaan sehat dan menghabiskan seluruh hidup mereka dengan gigih berjuang demi uang, ketenaran, keuntungan, dan status. Sekalipun keinginan mereka terpenuhi, mereka tidak mengetahui nilai atau makna hidup. Sebagian orang menghabiskan hari-hari mereka dengan merasa hampa, sementara yang lain mencari berbagai macam rangsangan. Ada yang tenggelam dalam memanjakan diri, ada pula yang malah memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Apakah orang-orang ini memiliki nasib yang sangat baik? Apakah mereka sungguh bahagia dan gembira? Aku berpikir meskipun beberapa saudara-saudari berasal dari keluarga biasa dan belum diangkat menjadi pemimpin atau pengawas di rumah Tuhan, mereka masih melaksanakan tugas mereka dan memahami beberapa kebenaran. Beberapa dari mereka bahkan menulis artikel yang memberi kesaksian tentang Tuhan. Nasib mereka tidak buruk. Meskipun aku tersiksa oleh penyakit, aku sering berdoa kepada Tuhan karena hal ini, dan hatiku tidak berani menjauhi-Nya. Selain itu, selama ini, aku jadi memahami beberapa kebenaran melalui tugas berbasis teksku. Semua ini bermanfaat bagi jalan masuk kehidupanku. Lagi pula, naturku sangat congkak, serta hasratku akan reputasi dan status sangat kuat, jadi tidak diangkat untuk melaksanakan tugas-tugas penting itu adalah cara Tuhan untuk melindungiku. Yang lebih penting adalah jika aku tidak menderita penyakit ini, aku pasti akan mencurahkan segenap hatiku untuk mengejar uang, ketenaran, dan keuntungan di dunia, aku akan hidup di bawah kuasa Iblis, menanggung bahaya dan tipu dayanya, serta benar-benar terperangkap olehnya, dan aku tidak akan menerima keselamatan Tuhan pada akhir zaman. Sebenarnya, banyak hal yang kuperoleh dari penyakit ini, tetapi aku selalu mengeluh bahwa aku diberi nasib buruk. Berkat sudah ada di sekitarku selama ini, dan aku tidak menyadarinya! Aku memikirkan firman Tuhan yang mengatakan: "Ada sebagian orang yang mulai percaya kepada Tuhan dikarenakan penyakit. Penyakit ini adalah kasih karunia Tuhan bagimu; tanpanya, engkau tidak akan percaya kepada Tuhan, dan jika engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau tidak akan sampai sejauh ini—maka, kasih karunia ini adalah kasih Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Kini, aku telah mengalami firman-firman Tuhan ini secara langsung. Aku tidak akan lagi mengeluh bahwa aku bernasib buruk karena penyakitku.

Aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Sudah mengertikah engkau apakah pemikiran dan pandangan orang yang selalu menganggap dirinya bernasib buruk itu benar atau salah? (Salah.) Yang jelas, orang-orang ini mengalami emosi depresi karena mereka terperosok dalam keekstreman. ... Mereka memandang masalah dan orang-orang dari sudut pandang yang ekstrem dan keliru ini, sehingga mereka berulang kali hidup, memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak di bawah dampak dan pengaruh emosi negatif ini. Pada akhirnya, bagaimanapun cara mereka menjalani hidup, mereka terlihat begitu lelah sampai-sampai tak mampu membangkitkan semangat mereka dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan dan dalam mengejar kebenaran. Pilihan apa pun yang mereka ambil tentang cara mereka menjalani hidup, mereka tak mampu melaksanakan tugas mereka dengan positif dan aktif, dan sekalipun mereka telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, mereka tak pernah berfokus melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati dan jiwa mereka atau melaksanakan tugas mereka dengan memuaskan, dan tentu saja, mereka terlebih lagi tak pernah berfokus mengejar kebenaran, atau melakukan penerapan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Mengapa? Kesimpulannya, itu karena mereka selalu menganggap diri mereka bernasib buruk, dan ini membuat mereka mengalami perasaan depresi yang mendalam. Mereka menjadi sangat putus asa, tak berdaya, bagaikan mayat hidup, tanpa daya hidup, tidak memperlihatkan perilaku yang positif atau optimistis, dan terutama tidak memiliki tekad atau stamina untuk mengabdikan kesetiaan yang seharusnya mampu mereka curahkan dalam tugas, tanggung jawab dan kewajiban mereka. Sebaliknya, mereka berjuang dengan enggan dari hari ke hari dengan sikap yang asal-asalan, tanpa tujuan, dan kacau, bahkan tanpa sadar menjalani setiap harinya begitu saja. Mereka tidak tahu berapa lama mereka akan terus kacau seperti itu. Pada akhirnya, tidak ada jalan lain bagi mereka selain menegur diri mereka sendiri, dengan berkata, 'Oh, aku hanya akan terus kacau seperti ini selama aku bisa! Jika suatu hari aku tak sanggup lagi, dan gereja ingin memberhentikanku dan menyingkirkanku, biarlah mereka menyingkirkanku. Itu karena aku bernasib buruk!' Lihatlah, bahkan apa yang mereka katakan pun begitu mengecewakan. Emosi depresi ini bukan sekadar suasana hati yang sederhana, tetapi yang terlebih penting adalah, emosi ini berdampak buruk pada pemikiran, hati, dan pengejaran orang. Jika engkau tak mampu membalikkan perasaan depresimu secara cepat dan tepat waktu, itu bukan saja akan memengaruhi seluruh hidupmu, tetapi itu juga akan menghancurkan hidupmu dan membawamu menuju kematian. Sekalipun engkau benar-benar percaya kepada Tuhan, engkau tak akan mampu memperoleh kebenaran dan keselamatan, dan pada akhirnya, engkau akan binasa. Itulah sebabnya, mereka yang yakin dirinya bernasib buruk harus sadar sekarang; selalu memikirkan apakah nasib mereka baik atau buruk, selalu mengejar nasib tertentu, selalu mengkhawatirkan nasib mereka—ini bukanlah hal yang baik. Jika engkau selalu sangat serius memikirkan nasibmu, saat engkau menghadapi sedikit gangguan atau kekecewaan, atau ketika kegagalan, kemunduran, atau rasa malu kaualami, engkau akan segera meyakini bahwa ini disebabkan oleh nasib burukmu sendiri, dan kesialanmu sendiri. Jadi, engkau akan berulang kali mengingatkan dirimu sendiri bahwa engkau adalah orang yang bernasib buruk, bahwa engkau tidak bernasib baik seperti orang lain, dan engkau akan berulang kali membenamkan diri dalam depresi, diliputi, dibelenggu, dan diperangkap oleh emosi negatif depresi, tanpa mampu melepaskan diri darinya. Sangat menakutkan dan berbahaya jika ini yang terjadi. Meskipun emosi depresi ini mungkin tidak membuatmu menjadi lebih congkak atau licik, atau membuatmu memperlihatkan watak yang jahat dan keras kepala, atau watak rusak lainnya yang seperti itu; meskipun itu mungkin tidak akan membuatmu mencapai taraf di mana engkau memperlihatkan watak rusak tertentu dan menentang Tuhan, atau engkau memperlihatkan watak rusak tertentu dan melanggar prinsip-prinsip kebenaran, atau engkau menyebabkan gangguan dan kekacauan, atau melakukan kejahatan, tetapi pada dasarnya, emosi depresi ini adalah perwujudan paling serius dari ketidakpuasan orang akan kenyataan yang terjadi. Pada dasarnya, perwujudan ketidakpuasan akan kenyataan yang terjadi adalah juga ketidakpuasan akan kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Dan apa akibatnya jika orang tidak puas akan kedaulatan dan pengaturan Tuhan? Akibatnya tentu sangat serius dan setidaknya akan menyebabkanmu memberontak dan menentang Tuhan, dan membuatmu tak mampu menerima firman dan perbekalan Tuhan, dan membuatmu tak mampu memahami dan tak mau mendengarkan ajaran, nasihat, peringatan, dan teguran Tuhan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Firman Tuhan membuatku menyadari bahwa akibat dari selalu terjebak dalam perasaan negatif berupa pesimisme dan depresi sangatlah buruk. Hal itu bukan hanya membuat orang tidak dapat memandang dengan benar hal-hal yang terjadi kepada mereka, tetapi juga membuat mereka tidak tertarik untuk melaksanakan tugas mereka dan mengejar kebenaran, dan akhirnya mereka kehilangan kesempatan untuk diselamatkan. Yang lebih serius lagi adalah perasaan tertekan seperti ini merupakan ketidakpuasan terhadap kenyataan dan kedaulatan serta pengaturan Tuhan. Esensinya adalah mengeluh kepada Tuhan dan diam-diam memberontak terhadap-Nya. Natur ini sangat serius. Nilai sekolah menengah atas ku kurang bagus karena penyakitku kambuh, dan aku juga putus sekolah serta pulang ke rumah karena penyakitku. Oleh karena itu, aku sangat menderita, menyalahkan semua orang dan segalanya. Setelah percaya kepada Tuhan, penyakitku membuatku tidak dapat naik pangkat dan dipersiapkan, dan aku selalu berpikir bahwa aku diberi nasib buruk, menyalahkan Tuhan karena memberiku tubuh ini. Aku juga asal-asalan saat melaksanakan tugasku, tanpa keinginan untuk bekerja sama secara aktif. Aku selalu terjebak dalam pandangan salah bahwa aku bernasib buruk, dan aku menjadi makin tertekan, selalu mengeluh kepada Tuhan dan salah memahami-Nya. Jika aku tidak mengubah diri, pada akhirnya aku hanya akan kehilangan peluang untuk diselamatkan karena menentang Tuhan. Pemikiran dan pandangan keliru seperti ini sangat beracun. Membuat orang menghadapi persoalan yang menimpa mereka tanpa sikap tunduk, dan pada akhirnya mereka hanya bisa dibodohi dan dicelakai oleh Iblis. Menyadari ini, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku selalu mengeluh bahwa aku diberi nasib buruk dan hidup dalam perasaan negatif tertekan ini. Ini adalah pemberontakan diam-diam terhadap-Mu. Aku menentang-Mu. Tuhan, aku tidak ingin terus seperti ini. Bimbinglah aku."

Setelah itu, aku membaca firman Tuhan dan mengetahui cara memandang nasibku dengan benar. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Bagaimana seharusnya sikap orang terhadap nasib? Engkau harus mematuhi pengaturan Sang Pencipta, secara aktif dan sungguh-sungguh mencari tujuan dan maksud Sang Pencipta dalam pengaturan-Nya atas semua hal ini dan memperoleh pemahaman akan kebenaran, menjalankan fungsimu semaksimal mungkin dalam kehidupan yang telah Tuhan atur bagimu, melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagai makhluk ciptaan, dan menjadikan hidupmu lebih bermakna dan lebih bernilai, sampai akhirnya Sang Pencipta berkenan akan engkau dan mengingatmu. Tentu saja, yang jauh lebih baik adalah engkau akan memperoleh keselamatan melalui pencarian dan upayamu yang sungguh-sungguh—ini tentunya adalah hasil yang terbaik. Bagaimanapun juga, dalam hal nasib, sikap paling tepat yang harus manusia ciptaan miliki bukanlah sikap yang menghakimi dan mendefinisikan secara sembarangan, atau menggunakan cara-cara ekstrem untuk menanganinya. Tentu saja, terlebih dari itu, orang tidak boleh berusaha menentang, memilih, atau mengubah nasibnya, melainkan mereka harus menggunakan hati mereka untuk menghargainya, serta mencari, mengeksplorasi dan mematuhinya, sebelum menghadapinya secara positif. Akhirnya, di lingkungan dan perjalanan hidup yang Tuhan tetapkan bagimu dalam kehidupan ini, engkau harus mencari cara berperilaku yang sesuai dengan apa yang Tuhan ajarkan kepadamu, mencari jalan yang Tuhan tuntut untuk kautempuh, dan mengalami nasib yang telah Tuhan atur bagimu dengan cara ini, dan pada akhirnya, engkau akan diberkati. Saat engkau mengalami nasib yang telah Sang Pencipta atur bagimu dengan cara ini, yang akan kauhargai bukan saja duka, kesedihan, air mata, rasa sakit, perasaan frustasi, dan kegagalan, tetapi, yang lebih penting dari itu, engkau akan mengalami sukacita, kedamaian, dan penghiburan, serta pencerahan dan penerangan kebenaran yang Tuhan karuniakan kepadamu. Selain itu, saat engkau tersesat dalam perjalanan hidupmu, saat engkau dihadapkan dengan perasaan frustasi dan kegagalan, dan saat engkau harus membuat pilihan, engkau akan mengalami bimbingan Sang Pencipta, dan pada akhirnya, engkau akan memperoleh pemahaman, pengalaman dan penghargaan tentang bagaimana menjalani kehidupan yang paling bermakna. Dengan demikian, engkau tidak akan pernah lagi tersesat, engkau tidak akan pernah lagi selalu berada dalam keadaan cemas, dan tentu saja, engkau tidak akan pernah lagi mengeluh bahwa engkau bernasib buruk, dan terlebih lagi, engkau tidak akan tenggelam dalam emosi depresi karena merasa nasibmu buruk. Jika engkau memiliki sikap seperti ini dan engkau menggunakan cara ini untuk menghadapi nasib yang telah Tuhan atur bagimu, maka kemanusiaanmu bukan saja akan menjadi normal, engkau bukan saja akan memiliki kemanusiaan yang normal, dan memiliki cara berpikir, pandangan dan prinsip manusia normal dalam caramu memandang segala sesuatu, tetapi engkau juga tentu saja akan memiliki pandangan dan pemahaman tentang makna hidup yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang tidak percaya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa apa pun nasib yang Tuhan atur untuk kita, kita harus selalu tunduk kepada penataan dan pengaturan-Nya. Inilah alasan yang harus dimiliki makhluk ciptaan. Terlepas dari nasib kita, yang terpenting adalah kita bisa mengejar kebenaran, memenuhi tugas kita sebagai makhluk ciptaan, serta menjalani kehidupan yang bernilai dan bermakna. Dengan Ayub, ketika Tuhan pertama kali menganugerahinya dengan hewan ternak yang berlimpah, kekayaan harta benda, dan anak-anak yang rupawan, orang-orang mengira dia bernasib baik. Namun, Ayub tidak melihat hal-hal ini sebagai kesenangan, dan hanya berfokus pada menempuh jalan takut akan Tuhan dan menghindari kejahatan. Belakangan, dia menghadapi ujian. Semua harta bendanya hilang dalam semalam, anak-anaknya meninggal, dan seluruh tubuhnya juga dipenuhi luka. Di mata orang-orang, dia mengalami kemalangan besar. Namun, Ayub tidak melihat hal-hal yang menimpanya dari sudut pandang manusia, dan dia juga tidak memberontak serta menentang. Sebaliknya, dia menerima segala sesuatu dari Tuhan, mencari maksud Tuhan, dan mengagungkan nama-Nya yang kudus, pada akhirnya berdiri teguh dalam kesaksiannya. Tuhan menampakkan diri-Nya kepada Ayub, dan Ayub melihat-Nya. Hatinya memperoleh kedamaian dan kegembiraan, dan pada akhirnya, dia meninggal di usia tua. Namun, saat menyangkut nasibku, aku selalu ingin mengubahnya dan berjuang agar terbebas darinya. Aku tidak secara tekun mencari atau menghadapinya dengan sikap positif, dan oleh karena itu, aku hidup dalam derita yang tak tertahankan. Aku memikirkan firman Tuhan yang mengatakan: "Apa penyebab kesakitan ini? Apakah karena kedaulatan Tuhan, ataukah karena seseorang dilahirkan tidak beruntung? Jelaslah bahwa keduanya tidak benar. Pada dasarnya, ini disebabkan oleh jalan yang orang ambil, cara-cara yang mereka pilih untuk menjalani hidup mereka" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Aku menyadari bahwa aku sangat menderita karena ada masalah dengan jalan pengejaranku. Sebelum aku percaya kepada Tuhan, aku ingin mengandalkan ilmu pengetahuan untuk mengubah nasibku. Aku berjuang untuk bisa menonjol di antara orang-orang serta menjalani kehidupan yang nyaman dan kaya. Setelah percaya kepada Tuhan, aku masih mengejar reputasi dan status dalam tugasku, ingin dijunjung tinggi oleh orang lain. Ketika penyakitku membuat keinginanku tidak dapat terpenuhi, aku mengeluh bahwa aku diberi nasib buruk, dan hidup dalam perasaan tertekan. Keinginanku akan reputasi dan status begitu kuat. Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri, "Apakah nasib seseorang benar-benar baik, dan apakah hidup benar-benar bernilai hanya karena seseorang memperoleh reputasi dan status?" Aku memikirkan bagaimana gereja telah menyingkapkan dan menyingkirkan banyak orang. Meskipun beberapa orang diangkat untuk melaksanakan tugas kepemimpinan, sebagian dari mereka tidak mengejar kebenaran, dengan keras kepala mengejar reputasi dan status, serta meninggikan diri dan bersaksi tentang diri mereka sendiri di dekat saudara-saudari. Mereka tidak terima diri mereka dipangkas, dan pada akhirnya mereka disingkapkan serta disingkirkan. Aku menyadari bahwa jika orang-orang tidak mengejar kebenaran dan tidak melaksanakan tugas mereka dengan rendah hati, meskipun mereka diangkat dan dipersiapkan, dijunjung tinggi oleh banyak orang, mereka tidak akan mendapatkan perkenanan Tuhan dan pada akhirnya akan disingkapkan serta disingkirkan. Aku memikirkan bagaimana, pada awalnya, aku mulai percaya kepada Tuhan karena penyakitku. Aku menikmati perbekalan firman Tuhan dan jadi memahami beberapa kebenaran. Setiap kali aku jatuh sakit dan hidup dalam kenegatifanku, Tuhan menggunakan firman-Nya untuk mencerahkan dan membimbingku serta mengizinkanku untuk terus hidup. Tuhan sungguh telah memberiku begitu banyak hal. Namun, aku tidak berpikir untuk membalas kasih-Nya dan tetap melaksanakan tugasku dengan rendah hati. Yang kuinginkan hanyalah reputasi serta statusku sendiri, dan aku tidak tulus terhadap Tuhan. Aku sungguh telah memberontak! Aku hanya bisa menitikkan air mata penyesalan dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku sungguh telah memberontak. Aku selalu mengejar reputasi dan status serta belum menempuh jalan yang benar. Aku sungguh tidak layak untuk Engkau pilih. Tuhan, aku hanya ingin sepenuhnya percaya dan tunduk kepada-Mu, melaksanakan tugasku dengan rendah hati." Setelah memahami hal ini, aku tidak lagi merasa tertekan.

Pada saat itu, aku tidak dapat menghubungi saudara-saudariku, jadi aku terus membaca firman Tuhan setiap hari, berdoa kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta berlatih menulis khotbah. Terkadang, kesehatanku agak memburuk dan persendianku sangat sakit sehingga aku tidak dapat bergerak ataupun berdiri. Tanpa disadari, aku menjadi agak tertekan, terutama saat aku melihat video saudara-saudari bernyanyi, menari, dan memuji Tuhan. Aku sangat iri dan berpikir, "Saudara-saudari itu sehat, dan mereka bisa bernyanyi, menari, serta memuji Tuhan. Pasti sangat menyenangkan! Aku bahkan tidak bisa berdiri." Aku menyadari bahwa keadaanku salah, dan dalam diam aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk melindungi hatiku. Aku memikirkan firman Tuhan yang mengatakan: "Fungsinya tidak sama. Ada satu tubuh. Masing-masing melakukan tugasnya, masing-masing berada di tempatnya dan melakukan yang terbaik—untuk setiap percikan api ada satu kilatan cahaya—dan mencari kedewasaan dalam hidup. Dengan demikian, Aku akan puas" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 21"). Tuhan mengatur tugas yang berbeda-beda bagi setiap orang. Saudara-saudari itu bernyanyi, menari, serta memuji Tuhan, dan aku melaksanakan tugas berbasis teks serta bersaksi tentang Dia. Setiap tugas memiliki fungsi masing-masing. Selama seseorang melaksanakan tugasnya dengan kemampuan terbaik, Tuhan akan berkenan. Setelah memikirkan ini, hatiku terasa jauh lebih bebas. Kini, aku tidak lagi percaya bahwa aku diberi nasib buruk. Aku hanya ingin tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, mengejar kebenaran dengan tepat, serta melaksanakan tugasku dengan baik. Aku mampu keluar dari pandangan keliru bahwa aku bernasib buruk, dan semua itu berkat bimbingan firman Tuhan.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Memilih Antara Sekolah dan Tugas

Oleh Saudari Lu Yang, TiongkokSejauh yang kuingat, orang tuaku tak pernah akur. Mereka selalu bertengkar, dan terkadang ayah akan memukul...