Pelajaran Menyakitkan dari Bersikap Licik dan Curang

14 Desember 2022

Oleh Saudari Mariana, Italia

Pada tahun 2020, aku menangani pekerjaan desain di gereja, terutama membuat gambar. Setelah beberapa waktu, aku mendapati membuat gambar adalah pekerjaan yang lebih lambat daripada pekerjaan lainnya. Pengawasku juga mengawasi pekerjaan lain, jadi dia tak mengawasi pekerjaan kami dengan saksama. Aku mulai mengendur. Tak seorang pun menindaklanjutiku, jadi aku hanya melaksanakan tugas-tugas rutin. Kupikir asalkan aku tidak menganggur dan menyelesaikan beberapa gambar setiap hari, itu tidak masalah. Lagi pula, itu adalah pekerjaan yang santai. Aku sama sekali tak perlu terburu-buru atau menderita secara fisik. Aku terampil dalam membuat konsep; aku menguasai semua prinsip dan keterampilan profesional. Jadi kupikir, aku pasti dipertahankan dalam tugas itu dan pada akhirnya diselamatkan. Dengan sudut pandang seperti itu, aku tak punya tujuan atau rencana harian dalam tugasku. Aku hanya melakukan sebanyak yang kubisa dan puas dengan berapa pun gambar yang kuselesaikan. Aku tak pernah terlihat menganggur, tapi aku sangat santai. Saat menggambar, aku sangat sulit untuk fokus. Aku segera memeriksa pesan apa pun yang muncul di aplikasi obrolan, menjawab dan menangani segala sesuatu tanpa memikirkan kadar penting atau urgensinya. Tanpa sadar, aku menghabiskan cukup banyak waktu. Terkadang kami mengadakan pertemuan pagi, dan jika kugunakan waktuku dengan baik hari itu, aku mampu menyelesaikan tiga gambar, tetapi aku sudah merasa sangat puas setelah menyelesaikan gambar pertama, berpikir bahwa karena pertemuan pagi sudah menghabiskan setengah hari, membuat dua gambar sudah cukup. Jadi, aku bekerja dengan santai dan hanya menyelesaikan dua gambar. Bukan hanya itu, aku menggunakan waktu luangku untuk menonton berita. Aku tak memikirkan jalan masuk kehidupanku atau masalah apa yang mungkin ada dalam tugasku. Selama masa itu, aku hanya bekerja keras dalam tugasku, tidak berfokus membaca firman Tuhan atau merenungkan diri sendiri. Aku menyingkapkan kerusakan, tetapi tak mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Kupikir aku tak memiliki kesulitan khusus dalam keterampilan profesionalku dalam pekerjaanku dan aku telah menyelesaikan sejumlah desain yang cukup bagus, jadi kinerja tugasku baik.

Beban pekerjaan terus bertambah, tetapi kecepatan menggambar kami terlalu lambat sehingga pekerjaan terhambat. Ada satu desain yang sebenarnya telah tertahan selama sebulan penuh. Saat pengawas tahu dan memeriksa hasil kerja harian kami, dia sadar betapa rendahnya produktivitas kami dan memangkas kami dengan keras karena bersikap malas dan lalai dalam tugas. Dia berkata bahwa kami tidak memiliki perasaan mendesak bahkan saat melihat betapa banyaknya pekerjaan yang tertunda, dan tak seorang pun melaporkannya, dan bahwa kami ceroboh, tak terbeban, dan berlambat-lambat dalam tugas, yang merupakan penghambat bagi pekerjaan penginjilan. Aku sangat terkejut mendengar perkataan pengawas itu. Aku merasa cukup sibuk dan menyelesaikan banyak hal, mengapa hasilnya sangat sedikit saat diperiksa dengan saksama? Bukankah itu menjadikanku parasit yang menggerogoti gereja? Aku pasti diberhentikan dan disingkirkan jika itu berlanjut. Setelah itu, di bawah pemantauan pengawas, efisiensiku dalam tugas sedikit meningkat. Namun, melihat semua desain yang tertunda membuatku cemas. Khususnya, pengawas menindaklanjuti pekerjaan dengan lebih saksama, terkadang mengajukan pertanyaan terperinci dan mencari tahu di bagian mana kami mengalami kesulitan. Saat dia melihat kami bekerja dengan cara yang asal-asalan, dia menegur kami dengan nada bicara yang lebih keras. Aku merasa kesal. Mudah baginya untuk mengkritik, tetapi ini menuntut terlalu banyak. Dia pikir membuat desain itu mudah? Aku sudah bekerja keras. Dia boleh menuntut sesuka hatinya, tetapi aku bukan manusia super! Aku berada dalam keadaan menentang, jadi aku tak ingin menderita lagi atau membayar harga. Upayaku yang tampaknya bekerja dengan cepat hanya agar dilihat pengawas. Aku takut akan dipangkas jika terlalu lambat. Aku merasa seperti diseret dan sangat lelah setiap hari. Aku sering berkhayal tentang betapa hebatnya jika aku bisa menyelesaikan semua gambar dalam sekejap, dan bahkan merasa iri dengan saudari lainnya, menganggap tugas mereka sangat santai, tidak seperti tugasku, yang harus mendesain gambar setiap hari tanpa henti. Itu membosankan dan melelahkan, dan aku pasti dipangkas jika bekerja dengan lambat. Kupikir tugas itu tak bagus. Karena tidak berada dalam keadaan yang benar, aku selalu mengantuk selama beberapa waktu. Aku cukup tidur di malam hari, tetapi pada siang hari aku setengah tertidur. Aku harus mengumpulkan tenagaku untuk mengerjakan desain. Setelah itu, kulihat dua saudari yang bekerja denganku punya masalah dalam pekerjaan mereka. Salah seorang dari mereka tidak memahami prinsip dan mempermasalahkan hal-hal kecil yang menghambat kemajuan kami. Yang satunya selalu bekerja asal-asalan, tetapi aku hanya sambil lalu menunjukkan masalah ini tanpa menindaklanjuti atau memberi tahu pemimpin kami tentang hal itu. Pemimpin tim kami akhirnya mengetahui masalah ini dan menangani mereka, tetapi pada saat itu pekerjaan kami telah tertunda.

Suatu hari, pemimpin tiba-tiba mencariku dan berkata, "Kau bersikap asal-asalan, licik, dan tak bertanggung jawab dalam tugasmu. Kau hanya mengerahkan upaya saat seseorang mendorongmu. Kau tak sungguh-sungguh mengorbankan dirimu untuk Tuhan. Berdasarkan perilakumu, kau diberhentikan. Kau bisa melakukan pekerjaan desain paruh waktu, tetapi tanpa pertobatan, kau tidak akan dibutuhkan kelak." Aku terdiam karena disingkapkan pemimpin. Begitulah sebenarnya caraku melakukan tugas, tetapi keadaan itu terasa begitu tiba-tiba bagiku. Aku tak bisa langsung menerima kenyataan itu. Kuakui bahwa aku telah menunda pekerjaan gereja dan itu benar-benar merugikan. Aku sangat sedih dan penuh penyesalan dan mencela diri, serta bisa merasakan bahwa watak benar Tuhan tidak menoleransi pelanggaran manusia. Tuhan memandang seseorang, Dia tidak melihat sebaik apa perilakunya, sesibuk apa dia terlihat. Dia melihat sikapnya terhadap kebenaran dan tugasnya. Namun, sikapku terhadap tugasku sangat lalai, bekerja asal-asalnya, berlambat-lambat, dan selalu harus didorong orang lain. Aku tidak mengalami perubahan setelah dipangkas dan telah lama membuat Tuhan jijik. Diberhentikan adalah hajaran dan pendisiplinan Tuhan. Akulah yang harus disalahkan—aku menuai apa yang kutabur. Aku merasa siap untuk tunduk, benar-benar merenungkan diri sendiri, dan bertobat demi menebus pelanggaran masa lalu. Namun, yang tak kupahami adalah, pada awalnya aku ingin bekerja dengan baik, jadi mengapa akhirnya aku melaksanakan tugasku dengan cara seperti itu? Mengapa aku bersikap seperti ini? Dalam kebingunganku, aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar mencerahkanku untuk memahami masalahku.

Kemudian dalam perenunganku, aku membaca bagian firman Tuhan ini: "Jika engkau semua melaksanakan tugasmu dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, engkau bahkan tak perlu menghabiskan dahulu lima atau enam tahun sebelum mampu menyampaikan pengalamanmu dan memberikan kesaksian tentang Tuhan, dan berbagai pekerjaan akan terlaksana dengan hasil luar biasa—tetapi engkau tidak bersedia mempertimbangkan maksud Tuhan, engkau juga tidak berupaya ke arah kebenaran. Ada hal-hal tertentu yang engkau semua tidak tahu bagaimana cara melakukannya, jadi Aku memberimu petunjuk yang tepat. Engkau semua tidak perlu berpikir, engkau hanya perlu mendengarkan dan melakukannya. Hanya inilah sedikit tanggung jawab yang harus kaupikul—tetapi bahkan ini pun terlampau sukar bagimu. Di manakah kesetiaanmu? Tidak terlihat di mana pun! Yang engkau semua lakukan hanyalah mengatakan hal-hal yang terdengar menyenangkan. Dalam hatimu, engkau tahu apa yang seharusnya kaulakukan, tetapi engkau sama sekali tidak menerapkan kebenaran. Ini adalah pemberontakan terhadap Tuhan, dan pada dasarnya, ini berarti tidak adanya cinta akan kebenaran. Engkau tahu betul di dalam hatimu bagaimana bertindak sesuai dengan kebenaran—tetapi engkau tidak menerapkannya. Ini adalah masalah serius; engkau memandang kebenaran tanpa menerapkannya. Engkau sama sekali bukan orang yang tunduk kepada Tuhan. Untuk melaksanakan tugas di rumah Tuhan, yang harus kaulakukan paling tidak adalah mencari dan menerapkan kebenaran dan bertindak sesuai prinsip. Jika engkau tidak dapat menerapkan kebenaran dalam pelaksanaan tugasmu, lalu di mana engkau dapat menerapkannya? Dan jika engkau tidak menerapkan kebenaran apa pun, itu berarti engkau adalah pengikut yang bukan orang percaya. Apa sebenarnya tujuanmu, jika engkau tidak menerima kebenaran—apalagi menerapkan kebenaran—dan hanya menjalaninya tanpa tujuan di rumah Tuhan? Apa kauingin menjadikan rumah Tuhan sebagai rumah pensiunmu, atau rumah sedekah? Jika demikian, engkau keliru—rumah Tuhan tidak mengurus para pendompleng, orang-orang tak berguna. Siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang buruk, yang tidak melaksanakan tugasnya dengan senang hati, yang tidak layak untuk melaksanakan suatu tugas, semuanya harus dikeluarkan; semua pengikut yang bukan orang percaya yang sama sekali tidak menerima kebenaran harus disingkirkan. Ada orang-orang yang memahami kebenaran, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam pelaksanaan tugas mereka. Ketika mereka melihat masalah, mereka tidak menyelesaikannya, dan sekalipun mereka tahu bahwa itu adalah tanggung jawab mereka, mereka tidak mengerahkan semua kemampuan mereka. Jika engkau bahkan tidak melaksanakan tanggung jawab yang mampu kaulakukan, lalu nilai atau efek apa yang mungkin terjadi dengan engkau melaksanakan tugasmu? Apakah ada maknanya, percaya kepada Tuhan dengan cara ini? Orang yang memahami kebenaran, tetapi tidak dapat menerapkannya, yang tidak dapat menanggung kesulitan yang seharusnya mereka tanggung—orang seperti itu tidak layak untuk melakukan suatu tugas. Ada orang-orang yang melaksanakan tugas sebenarnya melakukannya hanya untuk diberi makan. Mereka adalah pengemis. Mereka berpikir bahwa jika mereka melakukan beberapa tugas di rumah Tuhan, tempat tinggal dan makanan mereka akan diurus, bahwa mereka akan dipelihara tanpa perlu mencari pekerjaan. Adakah transaksi semacam itu? Rumah Tuhan tidak menyediakan kebutuhan para pemalas. Jika orang yang tidak sedikit pun menerapkan kebenaran, dan yang selalu bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugasnya, berkata bahwa dia percaya kepada Tuhan, akankah Tuhan mengakui orang itu? Semua orang semacam itu adalah pengikut yang bukan orang percaya dan, di mata Tuhan, mereka adalah para pelaku kejahatan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Melaksanakan Tugas dengan Baik, Orang Setidaknya Harus Memiliki Hati Nurani dan Nalar"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku merasa Dia menyingkapkanku berhadapan muka. Dia menggambarkan dengan tepat caraku melaksanakan tugas. Aku merenungkan satu demi satu hal yang telah terjadi. Saat melihat pengawas tak banyak menindaklanjuti pekerjaan, aku mulai mengambil keuntungan, bersikap licin dan licik. Aku tidak kelihatan menganggur, tetapi tidak menyelesaikan banyak pekerjaan. Di waktu luangku, aku tak memikirkan masalah yang ada dalam tugasku atau jalan masuk kehidupanku, tetapi malah menonton berita karena penasaran—tak ada apa pun yang benar di hatiku. Aku sama sekali tak sadar betapa aku menunda kemajuan pekerjaan kami. Setelah dipangkas oleh pengawas kami, aku sedikit meningkatkan efisiensi kerja, tetapi aku memaksakan diriku untuk mengerahkan upaya agar tidak diberhentikan. Aku bersikap menentang dan mengeluh pemeriksaan dan pengawasannya, dan bahkan merasa kesal saat melaksanakan tugasku. Aku merasa itu adalah pekerjaan yang sulit dan tak dihargai. Aku tahu salah seorang saudari yang bekerja denganku hanya bekerja asal-asalan dan menunda pekerjaan, tetapi aku berpura-pura tidak melihat. Aku sadar bahwa aku sama sekali tidak memiliki ketulusan terhadap tugasku. Aku sama sekali tidak menerapkan kebenaran atau memikirkan maksud Tuhan. Aku hanya peduli dengan kenyamanan fisik dan relaksasi. Aku adalah parasit yang mencari makanan gratis dari gereja. Aku tak punya hati nurani atau nalar! Perilakuku tidak ada bedanya dengan pengikut yang bukan orang percaya yang hanya memedulikan makan kenyang dan mendapatkan berkat. Aku melakukan tugasku seperti itu bukan karena aku tidak memahami keterampilan profesional atau tidak memiliki keterampilan yang tepat, tetapi itu karena aku tidak memiliki kemanusiaan dan tidak mengejar kebenaran, dan karena aku mendambakan kenyamanan daging. Aku sama sekali tak layak melakukan tugas di gereja.

Dalam perenunganku, aku membaca firman Tuhan: "Sekarang ini, semua umat pilihan Tuhan sedang berlatih melaksanakan tugas mereka, dan Tuhan menggunakan pelaksanaan tugas orang untuk menyempurnakan sekelompok orang dan menyingkirkan orang-orang lainnya. Jadi, pelaksanaan tugaslah yang menyingkapkan setiap jenis orang, dan setiap jenis orang yang licik, pengikut yang bukan orang percaya, dan orang yang jahat disingkapkan dan disingkirkan dalam pelaksanaan tugas mereka. Mereka yang melaksanakan tugas dengan setia adalah orang yang jujur; mereka yang selalu bersikap asal-asalan adalah orang yang curang, licik, dan mereka adalah pengikut yang bukan orang percaya; dan orang yang menyebabkan kekacauan dan gangguan dalam pelaksanaan tugas mereka adalah orang yang jahat dan antikristus. ... Semua orang tersingkap ketika melaksanakan tugas mereka—begitu orang diberi suatu tugas, tak lama kemudian akan tersingkap apakah dia orang yang jujur atau orang yang licik dan suka menipu, dan apakah dia mencintai kebenaran atau tidak. Mereka yang mencintai kebenaran mampu melaksanakan tugas mereka dengan tulus dan menjunjung tinggi pekerjaan rumah Tuhan; mereka yang tidak mencintai kebenaran sama sekali tidak menjunjung tinggi pekerjaan rumah Tuhan dan tidak bertanggung jawab ketika melaksanakan tugas mereka. Hal ini segera terlihat dengan jelas oleh mereka yang berpandangan jernih. Siapa pun yang melaksanakan tugas mereka dengan buruk bukanlah orang yang mencintai kebenaran atau orang yang jujur; orang-orang semacam itu semuanya akan disingkapkan dan disingkirkan. Untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik, orang harus memiliki rasa tanggung jawab dan rasa terbeban. Dengan demikian, pekerjaan pasti akan dilakukan dengan baik. Satu-satunya yang mengkhawatirkan adalah jika orang tidak memiliki rasa terbeban atau tanggung jawab, jika mereka harus didorong untuk melakukan segala sesuatu, jika mereka selalu bersikap asal-asalan, dan ketika ada masalah yang muncul, mereka berusaha melemparkan kesalahan kepada orang lain, sehingga menyebabkan tertundanya penyelesaian tugas mereka. Jadi, dapatkah pekerjaan itu tetap diselesaikan dengan baik? Dapatkah pelaksanaan tugas mereka membuahkan hasil? Mereka tidak ingin melakukan tugas apa pun yang telah diatur untuk mereka, dan ketika mereka melihat orang lain membutuhkan bantuan dalam pekerjaannya, mereka mengabaikannya. Mereka hanya melakukan sedikit pekerjaan saat diperintahkan, hanya ketika ada tekanan dan mereka tidak punya pilihan. Ini bukan orang yang melaksanakan tugas—ini adalah pekerja upahan! Seorang pekerja upahan bekerja untuk majikannya, melakukan pekerjaan sehari dengan upah sehari, pekerjaan satu jam dengan upah satu jam; mereka menunggu untuk diberi upah. Mereka takut melakukan pekerjaan apa pun yang tidak dilihat oleh majikan mereka, mereka takut tidak diberi upah atas apa pun yang mereka lakukan, mereka hanya bekerja demi penampilan—yang berarti mereka tidak memiliki kesetiaan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya Orang Jujur yang Mampu Hidup dalam Keserupaan dengan Manusia Sejati"). "Percaya kepada Tuhan berarti menempuh jalan yang benar dalam hidup, dan orang harus mengejar kebenaran. Ini adalah hal tentang roh dan hidup, dan ini adalah hal yang berbeda dengan pengejaran akan kekayaan, kemuliaan, dan ketenaran yang dilakukan orang-orang tidak percaya. Keduanya adalah jalan yang sama sekali berbeda. Dalam pekerjaan mereka, orang tidak percaya memikirkan bagaimana mereka dapat melakukan lebih sedikit pekerjaan dan menghasilkan lebih banyak uang, memikirkan tipu muslihat untuk menghasilkan lebih banyak. Mereka berpikir sepanjang hari tentang bagaimana menjadi kaya dan mengumpulkan kekayaan, dan mereka bahkan merencanakan cara-cara tidak bermoral untuk mencapai tujuan mereka. Ini adalah jalan kejahatan, jalan Iblis, dan ini adalah jalan yang ditempuh orang tidak percaya. Jalan yang ditempuh oleh orang yang percaya kepada Tuhan adalah jalan mengejar kebenaran dan memperoleh hidup; ini adalah jalan mengikuti Tuhan dan memperoleh kebenaran" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya Orang Jujur yang Mampu Hidup dalam Keserupaan dengan Manusia Sejati"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa orang tidak percaya bekerja dengan pola pikir pegawai. Mereka menginginkan uang lebih banyak dan bekerja lebih sedikit, atau bahkan ingin dibayar tanpa bekerja. Ketika seseorang memeriksa mereka, mereka berpura-pura bekerja, tetapi mereka licik dan curang saat tidak ada yang melihat. Bagaimanapun keadaan pekerjaannya, mereka tidak memiliki perasaan mendesak yang besar selama mereka dibayar tepat waktu. Aku sadar bahwa aku persis sama. Saat tidak ada tekanan atau kesulitan dalam tugasku, saat tidak harus menderita atau membayar harga, aku merasa tugas itu tidak buruk. Kupikir asalkan tidak menganggur dan mampu menyelesaikan pekerjaan, aku tidak akan disingkirkan, bahwa aku akan layak untuk tinggal di dalam gereja dan akhirnya diselamatkan, sambil menyelam minum air. Aku tidak terlihat malas dan orang lain tidak melihat ada masalah, tetapi aku tidak mengerahkan segenap kemampuanku—aku merasa puas dengan hanya sedikit pekerjaan. Aku menonton informasi yang tidak penting sepanjang waktu, membaca hal-hal remeh untuk mencari tahu hal-hal baru. Aku selalu membuang waktu. Saat pekerjaan kami tertunda, aku bersikap sepertinya itu bukan masalah besar dan dengan tenang melanjutkan pekerjaan seperti biasa. Saat dipangkas dan disingkapkan, aku berupaya lebih keras demi menyelamatkan muka dan tidak diberhentikan, tetapi begitu standarnya dinaikkan, aku bersikap menentang dan mengeluh, ingin beralih ke tugas yang lebih mudah dan lebih santai. Aku terlihat sedang melaksanakan tugasku, tetapi aku hanya menyelesaikan tugas agar dilihat pengawasku. Aku tidak memiliki ketulusan terhadap tugasku atau Tuhan. Aku ingin membayar harga yang murah sebagai imbalan berkat dari Kerajaan surga. Itu artinya berusaha bertransaksi dengan Tuhan. Aku tak pernah menyadari bahwa aku adalah orang yang licin dan licik. Aku telah menikmati semua yang telah Tuhan berikan kepadaku dan makanan dari firman-Nya, tetapi aku hanya mencari kemudahan dan kenyamanan dalam tugasku, melakukan apa pun yang membuatku tidak menderita, tanpa memikirkan pekerjaan gereja atau kehendak Tuhan yang mendesak. Aku tak punya rasa takut kepada Tuhan. Bagaimana itu bisa disebut melaksanakan tugas? Aku jelas-jelas menunda pekerjaan gereja, juga seorang oportunis yang mendompleng gereja. Dalam perenunganku, aku sadar aku sangat egois dan tercela karena menjunjung falsafah iblis, seperti "Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya", "Datang dari jauh untuk menjadi pejabat, hanya demi makanan dan pakaian", dan "Hidup itu singkat; nikmati selagi engkau bisa". Falsafah ini telah menjadi naturku. Hidup berdasarkan hal-hal ini, aku hanya memikirkan kepentingan dagingku sendiri dalam tindakanku. Aku merasa dalam hidup, kita harus bersikap baik kepada diri sendiri, bahwa membuat diri lelah dan bekerja terlalu keras tak sepadan. Hidup bebas dan mudah itu bagus, sedangkan khawatir dan melelahkan diri adalah keadaan yang merugikan. Aku selalu punya sikap itu dalam tugasku, bersikap asal-asalan dan lamban, yang akhirnya menunda pekerjaan gereja dan merusak karakterku sendiri. Aku adalah orang percaya, tetapi tidak menerapkan firman Tuhan, melainkan hidup berdasarkan perkataan Iblis sis setan, menjadi semakin egois, licik, dan bejat. Aku tak punya karakter atau martabat dan tak layak dipercaya. Bahkan untuk orang tidak percaya di tempat kerja, jika mereka memperlakukan segala sesuatu dengan mentalitas oportunistis seperti itu, mungkin mereka bisa lolos untuk sementara waktu, tetapi akhirnya mereka akan ketahuan. Selain itu, aku melaksanakan tugas di gereja, dan Tuhan telah mengetahui tipu daya dan tipu muslihatku yang sebenarnya. Dia tahu aku sebenarnya sama sekali tidak mengorbankan diriku untuk-Nya, tetapi hanya berusaha sekadarnya. Saat itu terpikir olehku—tak heran aku selalu merasa mengantuk dan lesu di tempat kerja dan tidak mampu merasakan hadirat Tuhan. Itu karena aku bersikap licik dan curang, yang membuat Tuhan jijik dan muak. Dia telah lama menyembunyikan wajah-Nya dariku. Tanpa pekerjaan Roh Kudus, aku menjadi sangat mati rasa, jadi sebaik apa pun aku memahami keterampilan profesional atau sebanyak apa pun pengalamanku, aku tidak akan bekerja dengan baik.

Kemudian, aku membaca firman Tuhan lain yang menjelaskan natur bersikap asal-asalan dalam tugas, dan aku juga bisa memahami bahwa watak Tuhan tidak boleh disinggung. Tuhan berfirman: "Caramu memperlakukan amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus dihukum. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling serius. Dalam hal ini, engkau lebih menyedihkan daripada Yudas dan harus dikutuk. Manusia harus mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana memperlakukan apa yang Tuhan percayakan kepada mereka dan, setidaknya, mereka harus memahami bahwa amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah peninggian dan kemurahan khusus dari Tuhan, dan semua ini adalah hal-hal yang paling mulia. Segala sesuatu yang lain dapat ditinggalkan. Meskipun seseorang harus mengorbankan nyawanya sendiri, dia tetap harus memenuhi amanat Tuhan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). "Suatu kali, Aku memberi kepercayaan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Saat Kujelaskan tugas itu kepadanya, dia mencatatnya dengan cermat di buku catatannya. Aku melihat betapa cermatnya dia mencatat; dia tampak merasakan beban untuk pekerjaan itu, dan memiliki sikap yang cermat serta bertanggung jawab. Setelah menjelaskan pekerjaan itu kepadanya, Aku mulai menunggu kabar darinya; dua minggu berlalu, dan tetap saja, dia belum mengirimkan kabar. Jadi, Aku mengambil inisiatif untuk menemuinya, dan bertanya bagaimana perkembangan tugas yang Kuberikan kepadanya. Dia berkata, 'Ya ampun, aku lupa! Katakan sekali lagi apa tugas itu.' Bagaimana perasaanmu setelah mendengar jawaban orang itu? Sikap seperti inilah yang dia miliki saat melakukan suatu pekerjaan. Aku berpikir, 'Orang ini benar-benar tak dapat dipercaya. Cepat pergi dari hadapan-Ku! Aku tak mau melihatmu lagi!' Begitulah yang Kurasakan. Jadi, akan Kuberitahukan kepadamu sebuah fakta: Jangan pernah engkau semua mengaitkan firman Tuhan dengan kebohongan seorang penipu; melakukan hal itu sangat menjijikkan bagi Tuhan. Ada orang-orang yang berkata bahwa ucapan mereka dapat dipercaya, janji mereka pasti akan ditepati. Jika benar demikian, dalam hal firman Tuhan, dapatkah mereka melakukan seperti yang firman itu katakan ketika mereka mendengarnya? Dapatkah mereka melaksanakannya dengan cermat seperti halnya urusan pribadi mereka? Setiap perkataan Tuhan sangatlah penting. Setiap perkataan-Nya bukanlah lelucon. Apa pun yang Dia katakan, orang harus menerapkan dan melaksanakannya. Ketika Tuhan berbicara, apakah Dia berkonsultasi dengan manusia? Tentu saja tidak. Apakah Dia mengajukan pertanyaan pilihan ganda kepadamu? Tentu saja tidak. Jika engkau dapat menyadari bahwa firman dan amanat Tuhan adalah perintah, bahwa manusia harus melakukan apa yang firman Tuhan katakan dan melaksanakannya, berarti engkau berkewajiban untuk menerapkan dan melaksanakannya. Jika engkau menganggap firman Tuhan hanyalah lelucon, hanya ucapan sambil lalu yang boleh dilakukan—boleh juga tidak dilakukan—dengan sesuka hatimu, dan engkau memperlakukannya dengan cara seperti itu, engkau sama sekali tak bernalar dan tak layak disebut manusia. Tuhan tidak akan pernah lagi berbicara kepadamu. Jika orang selalu membuat pilihannya sendiri dalam hal tuntutan Tuhan, perintah dan amanat-Nya, serta memperlakukannya dengan sikap asal-asalan, mereka adalah jenis orang yang Tuhan benci. Dalam hal-hal yang Kuperintahkan dan percayakan kepadamu secara langsung, jika engkau selalu membutuhkan-Ku untuk mengawasimu dan mendorongmu, menindaklanjutimu, selalu membuat-Ku khawatir dan bertanya, mengharuskan-Ku memeriksa semuanya untukmu di setiap kesempatan, berarti engkau harus disingkirkan" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, "Lampiran Tiga: Bagaimana Nuh dan Abraham Menaati Firman Tuhan dan Tunduk kepada-Nya (Bagian Dua)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa apa pun yang Dia katakan dan tuntut harus dilaksanakan, harus dipatuhi oleh makhluk ciptaan. Jika kita tidak menganggap serius firman Tuhan, tetapi selalu harus diawasi dan diingatkan orang lain dalam pekerjaan, atau dengan enggan bekerja sedikit saat seseorang memaksa kita, itu pada dasarnya menipu dan mencurangi Tuhan, yang menjijikkan dan dibenci oleh-Nya. Orang semacam itu tidak pantas mendengar firman Tuhan atau bertahan di gereja, tetapi harus disingkirkan. Aku merasa sangat takut saat merenungkan firman Tuhan, terutama di bagian di mana Dia berkata: "Orang ini benar-benar tak dapat dipercaya. Cepat pergi dari hadapan-Ku! Aku tak mau melihatmu lagi!" Aku merasa menyesal dan bersalah atas pelanggaranku sebelumnya dalam melaksanakan tugasku, air mata pun terus mengalir di wajahku. Mengingat kembali sikapku terhadap tugas, itu sama seperti yang Tuhan singkapkan; sangat santai. Ini adalah masa penting untuk perluasan Injil Kerajaan dan semua saudara-saudari lainnya sangat ingin melaksanakan tugas. Namun, aku mendambakan kenyamanan daging, bersikap santai dan asal-asalan dalam tugasku, puas hanya berjerih payah tanpa berusaha menjadi efisien, yang akibatnya memengaruhi hasil pekerjaanku. Aku adalah pemalas, lalai dalam tugas, bermalas-malasan, hanya memikirkan kepuasan sendiri. Gereja memercayakan pekerjaan yang sangat penting kepadaku, dan aku seharusnya mengerahkan segenap kekuatanku, aku seharusnya telah memenuhi tanggung jawabku. Sebaliknya, aku memperlakukannya sebagai modal, sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk dinafkahi gereja, tanpa menderita atau membayar harga sedikit pun, atau memikirkan bagaimana meningkatkan pekerjaanku. Aku hanya melakukan minimalnya. Aku tidak peduli seberapa lambatnya kemajuanku atau betapa cemasnya Tuhan. Aku hanya memedulikan bagaimana agar tidak membuat diriku lelah. Aku lalai dan teledor dalam tugasku, hanya ingin bekerja sekadarnya, sebisa mungkin berlambat-lambat. Tuhan tidak memiliki tempat di hatiku, dan aku tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan. Bukankah bersikap sangat santai terhadap tugasku membuatku lebih rendah dari seekor anjing? Anjing setia kepada pemiliknya. Entah si pemilik berada di sisi mereka atau tidak, mereka memenuhi tanggung jawab dan menjaga rumah pemiliknya. Berdasarkan caraku berperilaku, aku tidak layak untuk terus melaksanakan sebuah tugas. Aku bertekad bahwa mulai hari itu, aku akan bertobat dan menebus utangku.

Kemudian dalam perenunganku, aku membaca satu bagian firman Tuhan yang memberiku jalan untuk bagaimana melaksanakan tugasku kelak. Firman Tuhan katakan: "Apa yang Nuh pikirkan dalam hatinya setelah Tuhan memerintahkannya untuk membangun sebuah bahtera? Dia berpikir, 'Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada yang lebih penting daripada membangun bahtera, tidak ada yang sama pentingnya dan sama mendesaknya dengan hal ini. Aku telah mendengar perkataan dari hati Sang Pencipta, aku telah merasakan maksud-Nya yang mendesak, jadi aku tidak boleh menunda; aku harus membangun bahtera yang difirmankan dan diminta oleh Tuhan secepat mungkin.' Bagaimana sikap Nuh? Dia tidak berani bersikap lalai. Dan bagaimana dia membangun bahtera? Dengan tidak menundanya. Dia melaksanakan dan mengerjakan setiap detail dari apa yang Tuhan firmankan dan perintahkan dengan cepat, dengan sekuat tenaga, dan tanpa bersikap asal-asalan. Singkatnya, sikap Nuh terhadap perintah Sang Pencipta adalah sikap yang tunduk. Dia tidak bersikap masa bodoh, dan tidak ada sikap yang menentang di dalam hatinya, ataupun sikap yang acuh tak acuh. Sebaliknya, dia dengan tekun berusaha memahami maksud Sang Pencipta saat dia menghafal setiap detailnya. Ketika dia memahami maksud Tuhan yang mendesak, dia memutuskan untuk mempercepat langkahnya untuk menyelesaikan apa yang telah Tuhan berikan kepadanya secepat mungkin. Apa arti 'secepat mungkin' ini? Itu berarti menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya akan memakan waktu satu bulan dalam waktu sesingkat mungkin, menyelesaikannya mungkin tiga atau lima hari sebelum yang dijadwalkan, sama sekali tidak berlambat-lambat, atau tanpa sedikit pun penundaan, melainkan sebisa mungkin mempercepat penyelesaiannya. Tentu saja, sementara melakukan setiap pekerjaan, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk meminimalkan kerugian dan kesalahan, dan tidak melakukan pekerjaan apa pun yang harus diulang; dia juga pasti menyelesaikan setiap tugas dan prosedur sesuai jadwal dan melakukannya dengan baik, menjamin kualitasnya. Inilah perwujudan yang benar saat orang tidak berlambat-lambat. Jadi, apa prasyarat yang membuatnya mampu untuk tidak berlambat-lambat? (Dia telah mendengar perintah Tuhan.) Ya, itulah prasyarat dan konteks untuk ini. Jadi, mengapa Nuh mampu tidak berlambat-lambat? Ada orang-orang yang mengatakan Nuh memiliki ketundukan sejati. Jadi, apa yang dia miliki yang memampukan dia untuk mencapai ketundukan sejati seperti itu? (Dia memperhatikan hati Tuhan.) Benar! Inilah yang dimaksud dengan memiliki hati! Orang yang memiliki hati mampu memperhatikan hati Tuhan; mereka yang tidak memiliki hati bagaikan cangkang kosong, orang bodoh, mereka tidak peduli untuk memperhatikan hati Tuhan. Mentalitas mereka adalah: 'Aku tidak peduli betapa mendesaknya hal ini bagi Tuhan, aku akan melakukannya sesuka hatiku—setidaknya, aku tidak sedang menganggur atau bermalas-malasan.' Sikap seperti ini, kenegatifan seperti ini, sikap yang sama sekali tidak proaktif ini—ini bukanlah orang yang memperhatikan hati Tuhan, mereka juga tidak memahami bagaimana memperhatikan hati Tuhan. Jadi, apakah mereka memiliki iman yang sejati? Tentu saja tidak. Nuh memperhatikan kehendak Tuhan, dia memiliki iman yang sejati, dan dengan demikian dia mampu menyelesaikan amanat Tuhan. Jadi, tidak cukup hanya menerima amanat Tuhan dan bersedia melakukan beberapa upaya. Engkau juga harus memperhatikan maksud Tuhan, mengerahkan segenap kemampuanmu, dan setia—dan ini mengharuskanmu untuk memiliki hati nurani dan nalar; itulah yang seharusnya manusia miliki, dan yang ditemukan dalam diri Nuh" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, "Lampiran Tiga: Bagaimana Nuh dan Abraham Menaati Firman Tuhan dan Tunduk kepada-Nya (Bagian Dua)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa Nuh mendapatkan perkenanan Tuhan karena memiliki iman yang sejati kepada Tuhan dan memikirkan kehendak-Nya. Saat menerima amanat Tuhan, dia memprioritaskan pembangunan bahtera. Dia tidak memikirkan penderitaan fisiknya atau betapa akan sulitnya pekerjaan itu. Pada zaman pra-industri itu, membangun bahtera yang begitu besar pasti membutuhkan banyak upaya fisik dan mental, dan dia juga harus menanggung ejekan orang lain. Dalam keadaan ini, Nuh tetap teguh selama 120 tahun untuk menyelesaikan amanat Tuhan, yang pada akhirnya menghibur hati Tuhan. Nuh benar-benar mengorbankan dirinya untuk Tuhan dan layak mendapatkan kepercayaan Tuhan. Sedangkan aku, tanpa ada yang mendorong dan mengawasiku, aku memanfaatkan kesempatan untuk bersikap malas dan licik, mendambakan kenyamanan daging, berlambat-lambat dalam pekerjaanku, tak pernah peduli tentang seberapa banyak aku telah menghambat pekerjaan. Aku tidak memiliki kemanusiaan dan tidak layak menerima penyelamatan Tuhan. Kini aku tahu bahwa melaksanakan tugas haruslah seperti Nuh membangun bahtera, bahwa harus ada tindakan nyata. Aku harus memanfaatkan setiap detik untuk membuat kemajuan, bekerja lebih efisien. Meskipun tak seorang pun mendorong atau mengawasiku, aku harus bertanggung jawab dan berusaha sebaik mungkin. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi orang yang memiliki hati nurani dan kemanusiaan.

Setelah itu, aku mulai menjadwalkan waktuku. Saat tidak sedang melakukan pekerjaan desain, aku menggunakan waktu luangku untuk membantu tugas lain dan terus memperhatikan keadaanku sendiri. Jadwalku sangat padat setiap hari, tetapi aku merasa sangat tenang dan aku lebih fokus pada tugasku daripada sebelumnya. Terkadang saat pekerjaan hampir selesai dan aku kembali ada keinginan untuk mengendur, atau pembuatan gambar tertunda karena aku tidak mengatur jadwalku dengan baik, aku ingin memanjakan diriku, berpikir aku bukanlah anggota tim itu dan tak seorang pun mendorongku maju, dan selain itu aku membantu pekerjaan lain, jadi sedikit lebih lambat dalam pekerjaan desain bukanlah masalah. Dengan berpikir seperti itu, aku sadar keadaanku tidak benar dan segera mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Ketika orang melaksanakan tugas mereka, mereka sebenarnya sedang melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Jika engkau melakukannya di hadapan Tuhan, jika engkau melaksanakan tugasmu dengan hati yang tulus dan sikap yang jujur, serta tunduk kepada Tuhan, bukankah sikap ini jauh lebih tepat? Jadi, bagaimana seharusnya engkau menerapkan sikap ini dalam kehidupanmu sehari-hari? Engkau harus membuat 'menyembah Tuhan dengan hati dan kejujuran' menjadi kenyataanmu. Setiap kali engkau ingin kendur dan bersikap asal-asalan, setiap kali engkau ingin bertindak dengan cara yang licik dan malas, dan setiap kali engkau teralihkan atau lebih suka bersenang-senang, engkau harus berpikir: 'Dengan berperilaku seperti ini, apakah aku tidak dapat dipercaya? Apakah aku sedang bersikap sepenuh hati dalam melakukan tugasku? Apakah aku sedang bersikap tidak setia dengan melakukan hal ini? Dengan melakukan hal ini, apakah aku gagal untuk hidup sesuai dengan amanat yang telah Tuhan percayakan kepadaku?' Beginilah caranya engkau harus merenungkan dirimu sendiri. Jika engkau akhirnya menyadari bahwa engkau selalu bersikap asal-asalan dalam tugasmu, dan engkau tidak setia, dan bahwa engkau telah menyakiti Tuhan, apa yang harus kaulakukan? Engkau harus berkata, 'Pada saat itu, aku merasa ada sesuatu yang salah di sini, tetapi aku tidak menganggapnya masalah; aku mengabaikannya saja dengan ceroboh. Baru sekarang kusadari bahwa aku sebenarnya telah bersikap asal-asalan, bahwa aku belum memenuhi tanggung jawabku. Aku benar-benar tidak memiliki hati nurani dan nalar!' Engkau telah menemukan masalahnya dan mulai sedikit mengenal dirimu sendiri—jadi sekarang, engkau harus berbalik! Sikapmu dalam melakukan tugasmu salah. Engkau ceroboh dalam melakukannya, seperti halnya dengan pekerjaan tambahan, dan engkau tidak mengerahkan segenap hatimu ke dalamnya. Jika engkau kembali bersikap asal-asalan seperti ini, engkau harus berdoa kepada Tuhan dan membiarkan Dia mendisiplinkan dan menghajar dirimu. Engkau haruslah memiliki keinginan seperti itu dalam melaksanakan tugasmu. Hanya dengan cara demikianlah engkau dapat sungguh-sungguh bertobat. Engkau dapat membalikkan dirimu hanya jika hati nuranimu bersih dan sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu berubah" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Sering Membaca Firman Tuhan dan Merenungkan Kebenaran, Barulah Ada Jalan ke Depan"). Firman Tuhan menjadi semakin jelas tentang jalan penerapan. Tugas adalah amanat yang diberikan Tuhan kepada kita. Entah ada yang mengawasi atau tidak, kita harus menerima pemeriksaan Tuhan dan mengerahkan segenap kemampuan kita. Selalu harus didorong seseorang untuk melakukan sedikit pekerjaan artinya tidak memiliki pengabdian, dan bahkan orang lain menganggap itu memalukan. Aku tidak boleh terus bersikap seperti itu, tetapi aku harus memiliki hati yang takut akan Tuhan dan menerima pemeriksaan-Nya. Aku harus aktif dalam tugasku tanpa perlu didorong orang lain. Saat situasi kedua pekerjaan sangat sibuk dan aku harus membayar harga, aku mengatur jadwal terlebih dahulu dan berupaya sebaik mungkin, berusaha tidak bersikap asal-asalan dalam pekerjaanku. Saat aku bekerja dengan cara seperti itu, setelah beberapa waktu, aku mulai melihat sedikit hasil dalam tugasku. Aku harus mengerahkan lebih banyak upaya daripada sebelumnya dan mengerahkan tenagaku, tetapi aku sama sekali tidak merasa lelah—aku merasa tenang dan damai. Saat mengalami kesulitan dalam tugasku, dengan mencari kebenaran, aku mendapatkan lebih banyak keuntungan. Aku mengalami kemajuan dalam keterampilan profesionalku dan jalan masuk kehidupanku.

Suatu hari pada Juni 2021, pemimpin datang untuk berbicara denganku dan berkata aku ditugaskan kembali ke dalam tim itu. Aku sangat gembira sehingga tak tahu harus berkata apa, lalu bersyukur dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Pengalaman telah memperlihatkan betapa malas, egois, dan kejinya aku. Aku benar-benar membenci diriku sendiri dan kini memahami betapa berharganya kesempatan melakukan tugas. Aku juga memiliki hati yang takut akan Tuhan. Terkadang aku masih merasa malas, lalu aku berdoa kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk memeriksa hatiku. Ketika aku bersikap asal-asalan, licin dan licik, aku memohon kepada Tuhan untuk segera menyingkapkan, menghajar, dan mendisiplinkanku. Sejak menerapkannya, kelicikan dan kecuranganku semakin berkurang dan telah memperoleh hasil yang lebih baik dalam tugasku, yang mana itu membuatku merasa sangat puas. Beberapa waktu kemudian, pemimpin berkata bahwa aku melaksanakan tugasku dengan jauh lebih baik daripada sebelumnya. Aku sangat terharu mendengar perkataannya, serta termotivasi. Aku tahu upayaku masih belum cukup dan harus terus bekerja keras. Aku bersyukur karena Tuhan menghajar dan mendisiplinkanku, yang membantuku mengubah sikapku terhadap tugasku.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh