Di Balik Keruntuhan Sebuah Keluarga

16 Desember 2024

Pada bulan Mei 2012, aku dan suamiku menerima pekerjaan dari Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Kami bersama-sama membaca firman Tuhan serta menyanyikan lagu-lagu pujian untuk memuji Tuhan sepanjang waktu, dan aku merasa sangat bahagia serta puas. Tidak lama kemudian, aku mengambil tugas di gereja dan aku sering kali pergi untuk menghadiri pertemuan dan membagikan Injil. Suamiku sangat mendukungku. Namun kemudian, karena ditindas Partai Komunis, keluargaku mulai berusaha mencegahku menerapkan imanku dan sejak saat itu, kehidupan kami yang tadinya harmonis dan damai sepenuhnya hancur.

Suatu hari, kakak laki-lakiku menelepon kami dan berkata dia telah melihat di berita bahwa pemerintah dengan serius menindak orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, menangkap mereka, dan kemudian menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka. Dia berkata, "Jika satu orang adalah orang percaya, maka generasi mereka di masa depan juga terkena imbasnya. Anak-anak mereka tidak bisa masuk ke universitas, maka prospek mereka untuk bekerja atau memiliki masa depan yang bagus akan rusak. Kau tidak bisa terus mengikuti agama ini." Suamiku bekerja di sekolah, dan saat dia mendengar apa yang dikatakan oleh kakakku, dia berbicara kepadaku dengan khawatir, "Iman adalah sesuatu yang baik, tetapi Partai Komunis itu menangkap orang percaya seperti orang gila. Bahkan masa depan anak-anak kita akan terkena imbasnya. Aku tidak ingin mengikuti agama ini lagi, dan kau harus berhenti menghadiri pertemuan. Jika kau ingin mengikuti Tuhan, lakukan saja dengan diam-diam di rumah." Kujawab, "Bisakah aku bahkan disebut orang percaya jika aku tidak pergi ke pertemuan? Bisakah aku mempelajari kebenaran dengan cara itu? Memercayai Tuhan dan mengejar kebenaran—itulah jalan yang benar dalam kehidupan. Aku harus pergi ke pertemuan." Melihat aku tidak akan menyerah, dia mengambil bangku dan senter, lalu menghancurkannya karena marah. Keesokan harinya, sepulang dari sekolahnya, dia memberitahuku, "Kami mengadakan rapat di sekolah hari ini. Komite Pusat telah menerbitkan dokumen resmi yang mengatakan bahwa orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dianggap sebagai penjahat politik dan menjadi sasaran utama penindakan keras berskala nasional. Para guru dan keluarga mereka tidak diperbolehkan untuk memiliki agama, dan siapa pun yang didapati beragama akan diusir dan masuk ke dalam daftar orang yang dilarang bekerja. Anak-anak mereka tidak akan diperbolehkan masuk ke perguruan tinggi—tidak ada sekolah yang akan menerima mereka. Kau tidak bisa terus mengikuti agamamu. Jika seseorang mengetahuinya dan melaporkanmu, aku akan kehilangan pekerjaanku dan masa depan anak-anak kita akan terancam. Ini akan menghancurkan keluarga kita." Saat mendengarnya mengatakan ini, kupikir bahwa kami membutuhkan gaji suamiku untuk menutupi pengeluaran keluarga kami. Jika dia benar-benar dipecat karena imanku, bagaimana kami bisa bertahan hidup? Dan bukankah anak-anak kami akan membenciku seandainya mereka tidak bisa masuk ke universitas atau mendapatkan pekerjaan? Pemikiran-pemikiran ini benar-benar membuatku kesal, jadi aku berseru kepada Tuhan di dalam hatiku, memohon kepada-Nya untuk membimbingku agar memahami maksud-Nya. Aku memikirkan sesuatu dari firman Tuhan setelah berdoa: "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: meskipun manusia selalu terburu-buru dan menyibukkan diri mewakili dirinya sendiri, dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau mampu mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau akan tetap menjadi makhluk ciptaan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). Setelah memikirkan hal ini, aku bisa melihat bahwa nasib manusia sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apa pun pekerjaan yang mungkin dimiliki suamiku dan jenis masa depan yang dimiliki anak-anak kami, semuanya tergantung pada aturan dan penataan Tuhan—hal-hal itu tidak tergantung pada siapa pun. Aku tidak bisa melepaskan imanku untuk melindungi pekerjaan atau masa depan mereka. Aku merasa siap untuk meninggalkan masa depan kami di tangan Tuhan dan tunduk pada penataan-Nya. Aku tidak terlalu merasa khawatir saat memikirkannya dengan cara itu, dan aku terus menghadiri pertemuan dan melaksanakan tugasku seperti biasanya.

Lalu, pada suatu hari di bulan Juli 2013, aku ditangkap bersama dengan beberapa saudari lainnya saat kami berada di sebuah pertemuan. Malam itu, Kapten Zhao dari kantor polisi menginterogasiku, menuntut untuk tahu, "Siapa yang membawamu pada agama ini? Siapa pemimpin gerejamu?" Aku tidak menanggapi. Lalu, dia melanjutkan, "Dahulu, suamimu adalah guruku. Katakan padaku semuanya tentang gereja dan aku akan membiarkanmu pulang karena dahulu suamimu adalah guruku." Aku menyadari ini adalah salah satu tipuan Iblis untuk berusaha membuatku menjual saudara-saudari dan mengkhianati Tuhan. Aku tidak bisa tertipu. Aku berdoa dalam hati kepada Tuhan berkali-kali, memohon kepada-Nya untuk mengawasiku, dan membantuku untuk tetap teguh dalam kesaksianku. Setelah itu, aku hanya mengabaikan kapten Zhao, entah apa pun yang dia tanyakan kepadaku. Dia akhirnya membawaku kembali ke ruang tahanan. Keesokan paginya, seorang petugas dari Biro Keamanan Umum kota datang untuk menginterogasiku. Aku terkejut karena melihat bahwa dia adalah sepupuku. Melihat bahwa itu aku, matanya melotot dengan marah dan dia berkata sambil menunjukku, "Sungguh mengejutkan! Kau beragama? Kapan kau mulai percaya? Siapa yang membuatmu percaya?" Aku mengabaikannya. Dia mengatakan beberapa hal lainnya yang menghujat Tuhan, dan kemudian melanjutkan, "Pemerintah nasional menerbitkan dokumen resmi beberapa tahun lalu yang mengatakan bahwa jika ada yang didapati percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tiga generasi dari keturuan mereka akan terlibat. Putra sulungmu baru saja lulus dari perguruan tinggi dan sedang mencari pekerjaan, dan putra bungsumu akan masuk ke perguruan tinggi. Kau harus memikirkan masa depan anak-anakmu. Partai Komunis sangat kuat—bersikeras untuk percaya di tengah situasi seperti itu bagaikan telur yang berusaha untuk menghancurkan batu. Kau harus meninggalkan imanmu!" Setelah mendengar semua ini, aku berpikir bahwa dengan terus menerapkan imanku tentunya akan berimbas pada masa depan anak-anakku. Aku sudah membayar mahal untuk pendidikan mereka—bukankah darah, keringat, dan air mata selama bertahun-tahun akan sia-sia jika pada akhirnya mereka benar-benar tidak bisa mendapatkan pekerjaan? Ini adalah pemikiran yang sangat menyedihkan untukku. Aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk mengawasi hatiku, dan membimbingku untuk memahami maksud-Nya, untuk mengetahui apa yang harus kulakukan. Lalu, aku memikirkan bagian dari firman Tuhan: "Dari saat engkau lahir dengan menangis ke dalam dunia ini, engkau mulai melakukan tugasmu. Oleh karena rencana Tuhan dan oleh karena penentuan-Nya dari semula, engkau melakukan peranmu dan memulai perjalanan hidupmu. Apa pun latar belakangmu, dan apa pun perjalanan yang ada di hadapanmu, tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan penataan Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, sebab hanya Dia yang mengatur segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan tersebut. ... Hati dan roh manusia berada di tangan Tuhan, segala sesuatu dalam kehidupannya berada dalam pengamatan mata Tuhan. Entah engkau memercayainya atau tidak, setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Dari firman Tuhan, aku bisa melihat bahwa segala sesuatunya mutlak berada di tangan Tuhan, jadi bukankah itu termasuk masa depan dan nasib anak-anakku? Seberapa besar penderitaan seseorang dalam hidupnya dan jenis pekerjaan apa yang dia lakukan semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Aku tidak boleh terlalu mencemaskan hal-hal itu. Dan seberapa hebatnya pendidikan dan pekerjaan seseorang di dunia, itu tidak berarti bahwa mereka akan memiliki masa depan dan nasib yang bagus. Tanpa memercayai Tuhan, tanpa menerima penyelamatan dari-Nya, seseorang akan mati begitu saja saat bencana datang, dan mereka tidak akan memiliki masa depan untuk dibicarakan. Datang ke hadapan Tuhan, menerima kebenaran, dan diselamatkan oleh Tuhan adalah satu-satunya cara untuk benar-benar memiliki masa depan. Jadi, kukatakan kepada sepupuku, "Apa pun masa depan anak-anakku itu adalah nasib mereka—itu tidak tergantung pada siapa pun. Kepercayaanku kepada Tuhan dan pengejaran kebenaran adalah jalan yang benar dan aku sepenuhnya mantap dengan itu. Tidak perlu repot-repot memberiku nasihat!" Dia tidak menanggapi saat dia melihat betapa gigihnya aku dalam mempertahankan imanku. Mereka menahanku di sana selama satu hari satu malam, lalu mereka memulangkanku.

Begitu aku kembali ke rumah, suamiku mengambil kursi dan akan memukulku dengan itu, tetapi putra sulung kami menahannya. Suamiku menyumpahiku dan berkata, "Karena imanmu, aku sudah sepenuhnya dipermalukan, dan cepat atau lambat, masa depan anak-anak kita akan dimusnahkan olehmu. Jika kau tetap mempertahankan iman ini, aku akan memukulmu sampai mati!" Melihatnya dalam keadaan ini, kupikir dalam hati bahwa ternyata ikatan kami sebagai pasangan begitu lemah untuk menghadapi kesukaran nyata apa pun. Saat aku ditangkap karena imanku dan itu berimbas pada kepentingan dan reputasinya sendiri, dia mengancam akan memukulku. Bagaimana bisa cinta antara suami dan istri seperti itu? Adik perempuanku berada di rumah kami saat itu, dan dia ikut-ikutan, "Tidak bisakah kau melepaskan imanmu? Jika kau terus seperti ini, kau akan memusnahkan masa depan anak-anakmu!" Kuberitahu mereka, "Yang kulakukan hanyalah menghadiri pertemuan dan membaca firman Tuhan. Inilah jalan yang benar untuk kutempuh dalam hidup—aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Bagaimana mungkin itu membahayakan masa depan anak-anakku? Partai Komunis itu yang menindas orang percaya dan bahkan tidak mengecualikan keluarga mereka. Jika anak-anak kami tidak bisa menemukan pekerjaan di masa depan, itu karena Partai Komunis. Mengapa kau tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah?" Lalu, adik laki-lakiku menelepon suamiku dan berkata, "Jika kakakku tetap mengikuti agama itu, patahkan saja kakinya. Lihat saja bagaimana dia bisa pergi ke pertemuan itu." Dan istrinya berkata dengan kejam, "Pukul dia sampai mati jika dia terus seperti itu. Pihak keluarga kami tidak akan mencoba menuntut balas darimu." Hatiku mendadak terasa dingin. Kupikir keluargaku akan memahamiku. Tidak pernah kubayangkan bahwa mereka akan mendengarkan Partai Komunis, bahwa mereka akan menjadi begitu tak berperasaan hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, dan bahkan tidak akan peduli seandainya aku hidup atau mati untuk mencegahku dari menerapkan imanku. Di mana kemanusiaan mereka? Keesokan harinya, kakakku menelepon suamiku dan berkata, "Jika adikku tetap mempertahankan agamanya, kami akan memutuskan hubungan dengannya. Aku akan mendukungmu jika kau ingin bercerai. Jangan memberikan apa pun padanya dan usir dia. Lihat bagaimana dia bisa bertahan hidup sesudahnya." Sekitar tengah hari, sepupuku datang dengan mobil polisi dan memberi tahu suamiku untuk mengawasiku dan mencegahku menerapkan imanku, jika tidak, seluruh keluarga akan terlibat. Suamiku berkata kepadaku, "Demi anak-anak kita dan keluarga ini, hari ini kau harus menatap mata sepupumu dan membuat pernyataan bahwa kau akan meninggalkan imanmu." Kukatakan kepadanya, "Mengikuti Tuhan adalah benar dan tepat. Aku tidak akan meninggalkan imanku." Melihat bahwa dia tidak bisa membuatku menyerah, dia berkata dengan marah, "Jika kau bersikeras untuk memercayai Tuhan dan mengabaikan masa depan anak-anak kita, aku akan menceraikanmu." Dia mengambil surat perjanjian cerai dan menyuruhku untuk menandatanganinya. Perjanjian itu mengatakan bahwa aku akan pergi, tanpa membawa apa pun. Kami berdua bekerja sangat keras untuk membangun rumah kami—bagaimana aku akan hidup jika aku pergi dengan tangan kosong? Namun kemudian, aku memikirkan lagi bagaimana Tuhan telah menentukan seberapa besar penderitaan yang akan dialami orang dalam hidupnya, dan bagaimana pun juga, aku tidak bisa berhenti memercayai Tuhan, serta aku harus mempertahankan imanku dan terus mengejar kebenaran. Aku baru saja akan menandatanganinya, dan kemudian suamiku melihat bahwa aku tidak berniat untuk menyerah, jadi dia berkata, "Kalau begitu, jangan bercerai. Jika kau ingin menjadi orang percaya, aku tidak bisa menghentikanmu. Lakukanlah." Itulah yang dikatakannya, tetapi kenyataannya, dia makin mengendalikanku. Di rumah, dia tidak akan membiarkanku mengucapkan kata "Tuhan," dan dia akan memukulku tiap kali aku mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. Dia tidak lagi pergi berlibur ke mana pun, tetapi hanya tinggal di rumah untuk mengawasiku. Saat dia melihatku membaca firman Tuhan, dia merebut kitab firman Tuhan dariku, dan berkata, "Jika aku melihat ini sekali lagi, akan kubakar buku ini!" Untuk sementara waktu, aku tidak bisa pergi untuk menghadiri pertemuan, berhubungan dengan saudara-saudari, atau membaca firman Tuhan di rumah. Aku sepenuhnya tidak memiliki kebebasan.

Suatu malam, aku menyelinap ke kamar tidur kami untuk membaca firman Tuhan saat suamiku tiba-tiba menyerbu masuk dan berkata dengan sangat agresif, "Kau masih berani membacanya! Jika kau ditangkap lagi, keluargaku dan masa depan anak-anak kita akan tamat! Partai Komunis benar-benar mampu melakukan apa pun." Kukatakan kepadanya, "Aku hanya membaca firman Tuhan. Bagaimana itu bisa berimbas pada masa depan anak-anak kita dan dirimu?" Secara mengejutkan, dia berlari dan melingkarkan kedua tangannya di leherku, meremas dan berkata, "Aku hanya akan mencekikmu dan menyudahi semua ini." Aku tidak begitu kuat untuk membebaskan diriku dan aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tidak melepaskanku hingga aku berhenti bernapas dan bahkan tidak bergerak. Aku terengah-engah dan merasakan kepedihan emosional yang amat besar. Aku merasa menjadi orang percaya di Tiongkok dan menempuh jalan yang benar itu begitu sulit. Aku ditangkap oleh Partai Komunis, keluargaku menghalangi jalanku, aku tidak bisa melaksanakan tugas lagi, dan sekarang hakku untuk membaca firman Tuhan telah dirampas. Apa makna yang tersisa dalam hidupku? Aku merasa lebih baik mati saja. Aku mengambil pisau cukur suamiku, berencana untuk menyayat pergelangan tanganku dan bunuh diri. Lalu, bagian firman Tuhan ini tiba-tiba muncul di benakku: "Sekarang ini, sebagian besar orang tidak memiliki pengetahuan itu. Mereka percaya bahwa penderitaan tidak ada nilainya, mereka dijauhi oleh dunia, kehidupan rumah tangga mereka bermasalah, mereka tidak dikasihi Tuhan, dan prospek mereka suram. Penderitaan sebagian orang mencapai titik ekstrem, dan pikiran mereka mengarah kepada kematian. Ini bukanlah kasih kepada Tuhan yang sejati; orang-orang seperti itu adalah pengecut, mereka tidak memiliki ketekunan, mereka lemah dan tidak berdaya! Tuhan benar-benar ingin manusia mengasihi-Nya, tetapi makin manusia mengasihi-Nya, makin besar penderitaan manusia, dan makin manusia mengasihi-Nya, makin besar ujiannya. ... Maka, selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Berkat firman Tuhan yang membangunkanku pada saat yang tepat, aku tidak mengambil tindakan yang bodoh itu. Aku ingin membunuh diriku karena aku menderita dan tersiksa, tidak mampu menanggung penganiayaan ini. Betapa pengecutnya aku. Aku sangat tidak beriman dan aku sama sekali tidak memiliki kesaksian. Tuhan berharap agar manusia tidak kehilangan iman mereka kepada-Nya saat mengalami penderitaan dan kesukaran, sehingga mereka bisa memberikan kesaksian bagi-Nya. Bagaimana bisa aku memberikan kesaksian jika aku mati? Bukankah aku akan menjadi bahan tertawaan Iblis? Setelah menyadari ini, aku bertekad bahwa bagaimana pun suami dan kerabatku menganiayaku dan berusaha untuk menjauhkanku dari imanku di masa depan, sebesar apa pun penderitaan yang harus kualami, asalkan aku masih memiliki satu tarikan napas yang tersisa, aku akan menjalani hidupku dengan baik dan mengikuti Tuhan hingga akhir. Namun karena aku diawasi oleh polisi dan dikekang oleh keluargaku setelah penangkapanku, aku tidak mampu menjalani kehidupan yang baik di gereja selama tiga tahun. Aku harus menyelinap ke rumah ayahku untuk diam-diam membaca firman Tuhan di sana. Lalu pada musim panas 2016, aku akhirnya bisa menghubungi saudara-saudariku. Aku mampu melanjutkan kehidupan bergereja dan mengemban tugas lagi.

Kemudian, suamiku masih terus menganiayaku. Aku ingat suatu kali setelah aku pulang dari pertemuan, dia membawaku ke rumah kakakku, di mana aku melihat kakakku ada di sana bersama dua saudaraku lainnya dan istri mereka—mereka semua menatapku dengan marah. Aku tahu mereka akan mencoba memaksaku untuk meninggalkan imanku lagi, jadi aku berdoa dalam hati, memohon kepada Tuhan agar membimbingku sehingga apa pun yang mereka lakukan kepadaku, aku tidak akan tertahan oleh mereka. Kakak sulungku memelototiku dan berkata, "Partai Komunis itu ateis. Mereka telah menekan keyakinan agama selama bertahun-tahun dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Memercayai Tuhan di bawah kekuasaan Partai pasti akan membuatmu tertangkap, dan seluruh keluarga juga akan terkena dampaknya. Bukankah kau sedang mencari masalah?" Kakak iparku menambahkan, "Putraku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi serta harus mengisi pemeriksaan latar belakang politik, dan mereka bertanya tentang anggota keluarga yang beragama. Polisi menemukan catatanmu yang memercayai Tuhan Yang Mahakuasa dan mereka tidak membiarkan putraku lulus. Aku harus menggunakan koneksiku dan mengirim hadiah-hadiah. Itu membutuhkan banyak sekali usaha, dan dia nyaris saja tidak lolos. Di Tiongkok, jika seseorang percaya kepada Tuhan, seluruh keluarga mereka akan terseret ke dalamnya. Kau harus meninggalkan imanmu!" Lalu, adikku berkata, "Tidak bisakah kau memikirkan keluarga kita, masa depan anak-anakmu? Berhentilah percaya kepada Tuhan! Apa yang akan terjadi jika kau meninggalkan imanmu? Apa itu akan membunuhmu?" Jadi kuberitahu mereka, "Apa kau tahu apa itu masa depan yang bagus? Kau pikir dengan memiliki pekerjaan yang bagus, makanan yang enak, dan pakaian yang bagus artinya memiliki masa depan yang bagus? Bencana terus berkembang tiap saat dan siapa pun yang bukan orang percaya akan terjerumus ke dalamnya. Hanya mereka yang percaya kepada Tuhan dan diselamatkan oleh-Nya yang akan bertahan hidup, dan hanya mereka yang akan memiliki masa depan serta nasib yang bagus." Suamiku menanggapi, "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya—aku hanya bisa melihat apa yang ada di depanku. Ini adalah kebijakan Partai Komunis saat ini—jika kau adalah orang percaya, mereka akan menangkapmu, mengambil pekerjaanmu, dan keluarga ini juga akan terlibat. Selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang mampu mengubah kebijakan mereka, dan mereka jauh lebih kuat dari kita! Tinggalkan saja imanmu! Di sini di depan semua orang, katakan kau akan meninggalkannya." Begitu dia selesai berbicara, semua orang mulai mengatakan ini dan itu, mendesakku untuk tidak memercayai Tuhan lagi. Dahulu kami adalah keluarga yang besar dan bahagia, tetapi penindasan Partai Komunis telah mengubah hal-hal menjadi berantakan. Suamiku terus-menerus memukulku serta meneriakiku, dan kami tidak memiliki satu pun hari yang damai. Kapan ini akan berakhir? Aku menjadi makin kesal, jadi aku berdoa kepada Tuhan, dan kemudian memikirkan bagian dari firman Tuhan ini: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas seumur hidupmu demi kesenangan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna. Jika engkau menjalani kehidupan yang vulgar dan tidak mengejar tujuan apa pun, bukankah engkau menyia-nyiakan hidupmu? Apa yang dapat engkau peroleh dari kehidupan semacam itu? Engkau harus meninggalkan seluruh kenikmatan daging demi satu kebenaran, dan jangan membuang seluruh kebenaran demi sedikit kenikmatan. Orang-orang seperti ini tidak memiliki integritas atau martabat; keberadaan mereka tidak ada artinya!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan membantuku untuk memahami maksud-Nya. Aku dengan tegas mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasku—aku berada di jalan yang mengejar kebenaran. Anggota keluargaku mengejar uang dan reputasi. Kami berada di jalan yang berbeda, dan tidak terelakkan bahwa keluarga kami akan tercerai-berai. Aku harus menerima penderitaan itu untuk memperoleh kebenaran. Ini ada artinya. Aku tidak bisa meninggalkan imanku demi keluargaku. Jadi kukatakan kepada mereka, "Aku yakin bahwa Tuhan Yang Mahakuasa adalah Tuhan yang benar, Juruselamat yang datang untuk menyelamatkan umat manusia. Mustahil aku akan meninggalkan imanku!" Mereka semua pergi saat mereka menyadari tidak ada cara untuk mengubah pikiranku.

Saat aku kembali ke rumah dari pertemuan pada suatu malam, suamiku bersandar dan tergeletak di atas meja, mabuk, dan menangis. Dia berkata, "Setiap hari kau keluar menghadiri pertemuan. Jika kau ditangkap lagi, tidak ada yang tahu kapan rumah kita akan hancur karenamu." Lalu, dia dengan marah membalikkan meja, menarik pakaianku dengan satu tangan, lalu memukulku dengan tangan satunya. Bahkan sebelum aku sempat menarik napas, dia dengan kasar membantingku ke lantai kamar mandi, memukul kepalaku dengan keras, dan berkata dengan kejam, "Tinggalkan imanmu! Aku siap untuk mempertaruhkan semuanya malam ini—aku akan memukulmu sampai mati. Ngomong-ngomong, keluargamu sendiri tidak peduli seandainya kau hidup atau mati!" Aku merasa pusing dan penglihatanku buram karena dipukul. Dia menyeretku ke ujung tangga dan mendorongku ke bawah, lalu berkata, "Jika kau mati, akan kubakar saja tubuhmu dan kubuang abumu ke sungai!" Aku sangat takut saat mendengarkannya mengatakan itu—aku berkali-kali berdoa kepada Tuhan. Berkat perlindungan dari Tuhan, aku mampu meraih tali di pegangan tangga pada detik-detik terakhir, yang menyelamatkanku sehingga aku tidak jatuh ke bawah tangga. Lalu, putra bungsu kami datang dan berkata kepada suamiku, "Apa kau sudah gila karena minum-minum? Ibu tidak melakukan kesalahan apa pun dalam imannya. Mengapa kau memukulnya?" Tanggapan suamiku adalah, "Aku tidak ingin memukulnya, tetapi jika dia ditangkap lagi, kau dan kakakmu akan tamat. Aku tidak memiliki pilihan lain." Dengan adanya putraku di sampingku, suamiku tidak berani terus memukulku, tetapi dia mengangkat meja kaca dan menghancurkannya ke dinding, membuat seluruh ruangan penuh dengan pecahan kaca.

Kemudian, aku membaca firman Tuhan ini: "Orang percaya dan orang tidak percaya sama sekali tidak sesuai; sebaliknya mereka saling bertentangan satu sama lain" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Aku memikirkan hal itu, dan kutahu di dalam hatiku bahwa meskipun suamiku pada awalnya percaya kepada Tuhan, itu hanya karena dia ingin menerima berkat. Dia bukanlah orang percaya sejati. Saat dia mendengar bahwa memiliki iman bisa memengaruhi prospek masa depan dirinya dan anak-anak kami, dia benar-benar berubah drastis. Dia bukan hanya meninggalkan imannya, melainkan juga berusaha mencegahku memercayai Tuhan. Saat dia tidak bisa menghentikanku, dia melakukan kekerasan padaku dan mulai memperlakukanku seperti musuh karena kepercayaanku berimbas pada kepentingan pribadinya. Aku menyadari bahwa dalam esensinya, suamiku membenci kebenaran dan membenci Tuhan. Dia mengikuti Partai Komunis untuk melindungi kehidupannya sendiri; dia mengejar masa depan dan kepentingan duniawi. Aku memercayai Tuhan dan mengejar kebenaran, menempuh jalan yang benar dalam kehidupan—kami berada di dua jalan yang berbeda. Suamiku dan keluargaku yang lainnya menganiayaku seperti itu karena imanku, itu dengan jelas menunjukkan kepadaku bahwa mereka memiliki esensi natur yang jahat, bahwa mereka melawan Tuhan. Suamiku telah pergi ke pertemuan dan dia tahu bahwa Tuhan Yang Mahakuasa adalah Tuhan yang sejati. Aku telah membagikan Injil dengan kerabatku dan membacakan cukup banyak firman Tuhan kepada mereka. Tidak satu pun dari mereka menjadi orang percaya, dan di saat imanku membahayakan kepentingan mereka, mereka mengikuti Partai Komunis, menganiayaku, dan berbicara tentang memutuskan hubungan denganku. Orang tersayang macam apa mereka itu? Mereka sepenuhnya antek-antek Iblis, memihak Partai Komunis, dan menentang Tuhan. Tuhan sekarang telah menjadi daging dan mengungkapkan kebenaran, menyingkapkan esensi natur dari tiap jenis orang, dan juga menunjukkan kepadaku bahwa aku menempuh jalan yang berbeda dari keluargaku—orang percaya dan orang tidak percaya adalah jenis orang yang berbeda. Aku tidak merasa begitu terkekang oleh mereka saat aku menyadari semua itu dan aku merasa bebas.

Lalu, aku membaca bagian dari firman Tuhan ini: "Selama ribuan tahun, negeri ini telah menjadi negeri yang najis. Negeri ini tak tertahankan kotornya, penuh kesengsaraan, hantu merajalela di mana-mana, menipu dan menyesatkan, membuat tuduhan tak berdasar, dengan buas dan kejam, menginjak-injak kota hantu ini, dan meninggalkannya penuh dengan mayat; bau busuk menyelimuti negeri ini dan memenuhi udara dengan pekatnya, dan tempat ini dijaga ketat. Siapa yang bisa melihat dunia di balik langit? Iblis mengikat erat seluruh tubuh manusia, ia menutupi kedua matanya dan membungkam mulutnya rapat-rapat. Raja Iblis telah mengamuk selama beberapa ribu tahun sampai sekarang, di mana ia terus mengawasi kota hantu ini dengan saksama, seakan-akan ini adalah istana setan yang tak bisa ditembus; sementara itu, gerombolan anjing penjaga ini menatap dengan mata liar penuh ketakutan kalau-kalau Tuhan akan menangkap mereka saat tidak waspada dan memusnahkan mereka semua, sehingga mereka tidak lagi memiliki tempat untuk merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin penduduk kota hantu seperti ini pernah melihat Tuhan? Pernahkah mereka menikmati keindahan dan kasih Tuhan? Pemahaman apa yang mereka miliki tentang masalah dunia manusia? Siapakah di antara mereka yang mampu memahami maksud-maksud Tuhan yang penuh hasrat? Maka, tidaklah mengherankan bahwa inkarnasi Tuhan tetap sepenuhnya tersembunyi bagi mereka: di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang tanpa mengedipkan matanya, menoleransi keberadaan Tuhan yang penuh kasih, baik, dan juga kudus? Bagaimana mungkin ia akan menghargai dan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para antek ini! Mereka membalas kebaikan dengan kebencian, sejak dahulu mereka mulai memperlakukan Tuhan sebagai musuh, mereka menyiksa Tuhan, mereka luar biasa buasnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah sama sekali kehilangan hati nurani, mereka sepenuhnya mengabaikan hati nuraninya, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar tidak sadar. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Firman Tuhan begitu nyata. Partai Komunis yang berkuasa adalah Iblis, setan yang memegang kekuasaan. Dia membenci Tuhan dan tidak bisa membiarkan orang memiliki iman serta mengikuti Tuhan. Dia ingin menjadi satu-satunya yang diikuti dan disembah oleh orang. Partai Komunis berpura-pura mengibarkan bendera kebebasan beragama, tetapi dengan liar menindas dan menangkap orang percaya secara diam-diam, serta melibatkan keluarga mereka. Partai itu bahkan merekayasa rumor dan kebohongan untuk menyesatkan orang yang tidak mengetahui kebenaran, untuk membuat orang Tionghoa bangkit dan menentang orang beriman. Begitu banyak orang yang telah dipermainkan serta dieksploitasi oleh Partai Komunis, dan mereka mengikuti Partai itu dalam menyangkal serta menentang Tuhan serta menindas orang percaya. Mereka semua akan menemui kehancuran mereka bersama dengan Partai Komunis—mereka akan dihukum dan dilenyapkan oleh Tuhan. Dahulu kami memiliki keluarga yang bahagia, tetapi karena penindasan dan penangkapan oleh Partai Komunis, mereka menjadi takut akan terkena masalah, dan juga mulai menindasku, menjadi alat Iblis. Aku dengan jelas melihat esensi jahat dari Partai Komunis yang membenci kebenaran serta membenci Tuhan, dan aku juga melihat bahwa hanya Tuhan yang memiliki kasih yang sejati terhadap manusia. Firman Tuhanlah yang membimbingku dari waktu ke waktu, memberiku iman, dan memungkinkanku untuk memahami kebenaran, untuk mengenali tipu daya Iblis yang sesungguhnya. Suamiku masih berusaha untuk menghalangi imanku, tetapi aku tidak akan tertahan olehnya lagi. Aku terus pergi ke pertemuan serta melaksanakan tugasku, dan aku bahkan lebih meneguhkan tekadku untuk mengikuti Tuhan. Aku bersyukur kepada Tuhan dari hatiku!

Selanjutnya: Setelah Mimpiku Hancur

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait