74. Belajar Tunduk melalui Penderitaan
Di awal 2008, aku melihat ada benjolan tumbuh di belakang telinga putraku. Aku membawa dia ke rumah sakit untuk diperiksa dan dokter berkata bahwa itu adalah tumor, jenis tumor tertentu yang menghancurkan tulang. Itu tidak mengancam nyawa ketika itu, tetapi tidak ada perawatan yang efektif, dan dia berkata itu sangat menyakitkan karena setiap kali kambuh, putraku harus menjalani operasi untuk mengeluarkan tulang yang terinfeksi. Jika tidak, nyawanya bisa dalam bahaya. Mendengar perkataan dokter membuatku sangat terkejut. Aku merasa sangat terpukul. Saat itu aku baru menjadi orang percaya dan kupikir karena aku percaya kepada Tuhan, maka Dia seharusnya menjadi batu karangku. Aku mendorong diriku untuk tetap kuat dalam iman. Aku yakin selama aku bergantung kepada Tuhan, putraku pasti akan sembuh. Operasi putraku akhirnya berhasil dan dia pulih dengan sangat cepat. Hanya tiga hari setelah operasi, dia sudah mulai berlarian di rumah sakit, lalu dipulangkan setelah satu minggu. Setelah itu, aku merasakan motivasi yang lebih besar dalam imanku. Dengan senang hati aku menerima segala tugas yang diberikan gereja kepadaku dan aku selalu menjalankan tugasku, sulit ataupun mudah. Keluargaku tidak mengerti dan orang-orang dekatku selalu bergunjing di belakangku, tetapi aku tidak memasukkan itu ke dalam hati. Aku merasa selama aku bekerja keras dan mengorbankan diri, aku pasti akan diberkati Tuhan.
Lalu suatu hari, putraku mendatangiku, memegangi pinggang dan berkata itu sakit. Melihat rasa sakit di wajahnya memberiku perasaan tidak enak. Aku langsung mengangkat bajunya dan melihat ada benjolan tumbuh di tempat yang dia berkata sakit. Dia berteriak kesakitan saat aku perlahan mengusapnya dan aku tahu penyakitnya kambuh. Aku langsung membawanya ke rumah sakit. Pemeriksaan memastikan penyakitnya kambuh kembali. Aku langsung membayangkan melihat dia setelah operasi pertamanya dipenuhi dengan selang. Dia terlihat lemah dan aku sangat menderita. Aku tidak tahan membayangkan betapa dia harus menanggungnya kali ini. Setiap aku membayangkan betapa dia harus menderita, dan di usia yang begitu muda, aku jadi cemas hingga tidak bisa makan ataupun tidur. Dengan sepenuh hati aku berharap bisa mengambil penyakitnya dan menderita menggantikannya. Dan aku tidak mengerti mengapa Tuhan tidak menjaga dan melindungi keluargaku meski aku telah bekerja sangat keras demi Dia sejak menjadi orang percaya. Di hari itulah seorang saudari di desa kami mendatangiku, dan melalui persekutuannya aku menyadari bahwa putraku jatuh sakit adalah sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi. Aku harus berdoa dan bersandar kepada Tuhan, menjadi saksi bagi Tuhan dengan mengandalkan imanku, dan tetap kuat dalam melaksanakan tugasku. Aku terus pergi ke pertemuan-pertemuan dan aku melaksanakan tugasku dengan lebih bersemangat. Selama pertemuan, aku membagikan pengalamanku ini dengan saudara-saudari. Mereka mengagumiku karena bersikap setia. Mendengar mereka memujiku sedemikian rupa, aku merasa jauh lebih yakin bahwa aku sedang menjadi saksi bagi Tuhan dan bahwa Dia pasti akan memberkati putraku.
Lalu penyakit putraku kambuh untuk kelima kalinya, dan dokter berkata bahwa penyakitnya terlalu sering kambuh, hampir enam bulan sekali, dan itu akan membahayakan nyawanya jika terus seperti itu. Dia menyarankan melakukan kemoterapi dan radiasi untuk melihat apa itu bisa membantu. Ketika mendengar itu, dalam hati aku merasa hancur. Aku merasa sangat menderita hingga mulai bernalar dengan Tuhan: "Aku bekerja keras setiap hari, baik dalam keadaan sulit atau mudah, dan penghakiman atau serangan macam apa pun yang kuhadapi dari orang lain, aku tidak pernah menyangkal-Mu. Aku tetap menjalankan tugasku. Mengapa Engkau tidak melindungi putraku?" Aku juga dipenuhi dengan keluhan. Aku tetap datang ke pertemuan dan melakukan tugasku, tetapi hatiku terasa semakin jauh dari Tuhan. Aku sering mendapati diriku menggenggam buku firman Tuhan, hanya melamun. Aku benar-benar menderita. Aku mencurahkan hatiku kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku merasa sangat menderita saat ini. Aku tahu aku tidak seharusnya menyalahkan-Mu atas masalah kesehatan putraku, tetapi aku tidak memahami kehendak-Mu atau bagaimana aku harus melalui ini. Tuhan, tolong bimbing aku untuk memahami kehendak-Mu." Setelah berdoa, aku merenungkan firman Tuhan ini: "Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: maka Tuhan sudah berlaku benar juga." Lalu aku langsung menemukan kidung pujian firman Tuhan ini: "Keadilan itu bukan berarti adil atau masuk akal; itu bukan egalitarianisme, juga bukan perkara mengalokasikan kepadamu apa yang pantas engkau terima sesuai dengan berapa banyak pekerjaan yang telah kauselesaikan, atau memberimu upah untuk pekerjaan apa pun yang telah kaukerjakan, atau memberi kepadamu hakmu sesuai dengan upaya yang telah kaukeluarkan. Ini bukanlah keadilan. Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: maka Tuhan sudah berlaku benar juga. Mengapa ini disebut kebenaran? Dari sudut pandang manusia, jika sesuatu selaras dengan gagasan-gagasan manusia, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu benar; tetapi, jika mereka tidak melihat bahwa hal itu selaras dengan gagasan-gagasan mereka—jika hal itu adalah sesuatu yang tidak mampu mereka pahami—maka menjadi sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu benar. Esensi Tuhan adalah keadilan. Walaupun tidak mudah untuk memahami apa yang Dia lakukan, semua yang Dia lakukan itu adil; hanya saja orang-orang tidak memahaminya. Ketika Tuhan menyerahkan Petrus kepada Iblis, bagaimana Petrus meresponinya? "Umat manusia tidak mampu memahami apa yang Kaulakukan, tetapi semua yang Kaulakukan mengandung maksud baik-Mu; ada keadilan di dalam semua itu. Bagaimana bisa aku tidak mengucapkan pujian atas perbuatan bijak-Mu?" Segala sesuatu yang Tuhan lakukan adalah benar. Walaupun hal itu mungkin tidak terpahami olehmu, engkau tidak boleh membuat penilaian sesuka hatimu. Jika sesuatu yang Dia lakukan tampak tidak masuk akal bagimu, atau jika engkau memiliki gagasan apa pun tentang hal itu, dan hal itu membuatmu mengatakan bahwa Dia tidak adil, maka engkaulah yang sangat tidak masuk akal. Engkau melihat bahwa Petrus mendapati beberapa hal tidak bisa dipahami, tetapi dia yakin bahwa ada hikmat Tuhan dan ada maksud baik-Nya di dalam hal-hal tersebut. Manusia tidak mampu memahami segala sesuatu; ada begitu banyak hal yang tidak dapat mereka pahami. Jadi, mengenal watak Tuhan bukanlah hal yang mudah." ("Segala Sesuatu yang Tuhan Lakukan adalah Adil" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru"). Begitu aku ulang firman Tuhan berkali-kali dalam pikiranku, hatiku menjadi cerah. Kebenaran Tuhan tidak adil dan masuk akal atau egaliter seperti yang kupikirkan, dan itu bukanlah soal diberi kompensasi atas pekerjaanmu, memetik hasil dari kerja kerasmu. Perbuatan Tuhan tidak terselami bagi manusia, tetapi apa pun yang Dia lakukan atau bagaimanapun Dia memperlakukan seseorang, itu semua benar. Semua itu mengandung hikmat Tuhan. Itu karena esensi-Nya benar. Aku sadar bahwa aku tidak memahami watak benar Tuhan. Aku memiliki gagasan bahwa karena aku percaya kepada Tuhan, Dia harus menjagaku; karena aku mengorbankan diri bagi Tuhan, maka Dia harus memenuhiku dalam segala sesuatu dan membuat jalanku mudah. Aku pikir karena aku percaya kepada Tuhan, seluruh keluargaku harus diberkati. Bukankah aku mencoba membuat kesepakatan dengan Tuhan?
Dengan pikiran ini, aku membuka buku firman Tuhan dan membaca bagian ini: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tidak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan mengungkap semua motif dan harapan berlebih yang aku pegang dalam imanku. Setiap pertanyaan Tuhan membuatku tidak bisa sembunyi. Jika diingat, sejak awal imanku hanya demi mendapatkan berkat. Aku berpikir dengan mengorbankan diri bagi Tuhan dalam keyakinanku, Tuhan akan memberkatiku dengan kehidupan rumah tangga yang damai dan kesehatan untuk putraku. Karena itu aku tetap menjalankan tugas bagaimanapun teman dan keluargaku memfitnahku. Ketika penyakit putraku kambuh lagi, kupikir Tuhan sedang mengujiku untuk melihat apa aku memiliki iman sejati kepada-Nya. Kupikir selama aku bisa menanggung penderitaan dan menjadi saksi bagi Tuhan, Dia pasti akan memberkatiku dan putraku akan membaik. Jadi, ketika dia sakit kembali dan bahkan nyawanya dalam bahaya, harapanku akan berkat dan kasih karunia langsung hancur. Aku mulai mengeluh dan bernalar dengan Tuhan, dan aku menyalahkan Tuhan karena berlaku tidak adil. Aku bahkan kehilangan semangat untuk menjalankan tugasku. Penghakiman dan wahyu dalam firman Tuhan-lah yang menunjukkan kepadaku bahwa semua kerja kerasku hanyalah untuk mendapat berkat dari Tuhan sebagai balasannya, sepenuhnya untuk membuat kesepakatan dengan Tuhan, menipu Tuhan. Aku benar-benar yakin dalam menghadapi kenyataan dan aku melihat bahwa Tuhan benar-benar kudus dan benar. Dia bisa melihat ke dalam hati dan pikiran kita. Jika bukan karena keadaan-keadaan ini, yang satu demi satu terjadi, yang menunjukkan kepadaku bahwa imanku ternoda dan aku memiliki sudut pandang yang keliru tentang pengejaran, aku pasti masih disesatkan oleh perilaku baik lahiriahku. Aku pasti masih mengira bahwa aku sangat saleh dan menjadi saksi bagi Tuhan. Aku menyadari bahwa aku sama sekali tidak mengenal diriku.
Kemudian aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Diperhadapkan dengan keadaan manusia dan sikap manusia terhadap Tuhan, Tuhan telah melakukan pekerjaan baru, yang memungkinkan manusia untuk memiliki pengetahuan serta ketaatan kepada-Nya, dan kasih juga kesaksian. Jadi, manusia harus mengalami pemurnian Tuhan terhadap dirinya, juga penghakiman, penanganan, dan pemangkasan Tuhan terhadap dirinya, karena tanpa itu manusia tidak akan pernah dapat mengenal Tuhan dan tidak pernah akan mampu sungguh-sungguh mengasihi dan menjadi kesaksian bagi-Nya. Pemurnian manusia oleh Tuhan bukanlah semata-mata demi mencapai dampak yang sepihak, tetapi demi mencapai dampak dari berbagai segi. Hanya dengan cara inilah Tuhan melakukan pekerjaan pemurnian dalam diri mereka yang bersedia mencari kebenaran, yaitu agar tekad dan kasih mereka disempurnakan oleh Tuhan. Bagi mereka yang bersedia mencari kebenaran dan yang mendambakan Tuhan, tidak ada hal lain yang lebih bermakna, atau lebih membantu, daripada pemurnian seperti ini. Watak Tuhan tidak semudah itu diketahui atau dipahami oleh manusia, karena Tuhan, bagaimanapun juga, adalah Tuhan. Yang terutama, tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk memiliki watak yang sama dengan manusia, dan karena itu tidaklah mudah bagi manusia untuk mengetahui watak-Nya. Kebenaran tidak dimiliki oleh manusia secara inheren, dan itu tidak mudah dipahami oleh mereka yang telah dirusak Iblis; manusia tidak memiliki kebenaran, dan tidak memiliki tekad untuk melakukan kebenaran, dan jika dia tidak menderita dan tidak dimurnikan atau dihakimi, tekadnya tersebut tidak pernah akan dijadikan sempurna. Bagi semua orang, pemurnian sungguh menyiksa, dan sangat sulit untuk diterima—tetapi, selama pemurnianlah Tuhan menjadikan watak-Nya yang adil dapat dipahami dengan jelas oleh manusia, dan membuat tuntutan-Nya terhadap manusia terbuka, dan memberikan lebih banyak pencerahan, dan lebih banyak pemangkasan dan penanganan yang nyata; lewat pembandingan antara fakta dan kebenaran, Dia memberi kepada manusia pengetahuan yang lebih besar tentang dirinya sendiri dan tentang kebenaran, dan memberi kepada manusia pemahaman yang lebih besar tentang kehendak Tuhan, sehingga manusia dapat memiliki kasih akan Tuhan yang lebih benar dan lebih murni. Itulah tujuan-tujuan Tuhan dalam menjalankan pemurnian" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Pemurnian, Manusia Dapat Memiliki Kasih Sejati"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan menguji dan memurnikan kita, serta mengatur untuk kita mengalami keadaan yang sulit agar supaya menyingkapkan dan mentahirkan kita, sehingga kita bisa melihat kebenaran dari kerusakan kita oleh Iblis dan memperoleh pemahaman akan watak rusak dan pemalsuan dalam iman kita. Setelah itu kita bisa mengejar kebenaran, ditahirkan dan diubahkan, serta mencapai iman yang sejati kepada Tuhan dan ketundukan. Akhirnya, kita bisa diselamatkan oleh Tuhan. Putraku yang berulang kali sakit benar-benar menyingkapkan motivasi yang kusimpan untuk mendapatkan berkat. Dengan merenungkan diri, aku menyadari bahwa aku memikirkan segala yang aku bisa untuk mendapat berkat Tuhan. Aku terlihat sangat antusias dan berfokus pada pengejaran, tetapi motifku yang hina ada di balik itu semua. Aku dikendalikan oleh racun Iblis "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri". Aku terlebih dahulu memikirkan kepentinganku dalam segala sesuatu yang kulakukan dan ketika harapanku hancur, aku menentang Tuhan dan ingin membalas perlakuan-Nya kepadaku. Aku menunjukkan segala macam keburukan. Aku benar-benar egois dan hina! Bagaimana itu bisa disebut beriman kepada Tuhan? Aku hanya menentang dan mencoba menipu-Nya. Menyadari ini, aku bersujud di hadapan Tuhan dalam doa, berkata, "Ya Tuhan, selama ini aku telah menipu-Mu, berpegang pada motifku untuk memperoleh berkat. Aku selalu mencoba membuat kesepakatan dengan-Mu dan sama sekali tidak punya ketulusan. Aku sangat egois dan hina serta tidak punya kemanusiaan! Aku bersedia untuk melepaskan motifku untuk memperoleh berkat, menyerahkan putraku ke tangan-Mu, dan tunduk pada penataan dan pengaturan-Mu. Aku tidak akan mengeluh!" Setelah berdoa aku merasa sangat bebas dan damai.
Beberapa waktu kemudian ketika aku keluar kota untuk menjalankan tugas, suamiku menelepon dan mengatakan bahwa penyakit putra kami telah menyebar. Ada tumor di kepalanya, punggungnya, dan lehernya. Tidak ada lagi harapan untuk bisa mengendalikannya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar dia mengatakan itu. Aku tidak mampu membayangkan kondisi yang dialami putraku dan aku benar-benar tidak bisa menghadapi keadaan ini. Aku berseru kepada Tuhan berulang kali, "Ya Tuhan, saat ini aku sangat lemah. Kumohon berilah aku pencerahan dan tolonglah aku memahami kehendak-Mu." Setelah berdoa, aku membaca bagian firman Tuhan ini: "Bagi manusia, Tuhan melakukan banyak hal yang tidak dapat dipahami dan bahkan tidak masuk akal. Ketika Tuhan ingin mengatur seseorang, pengaturan ini sering bertentangan dengan gagasan manusia dan sukar dipahami olehnya, tetapi justru pertentangan dan kesulitan untuk dipahami inilah yang merupakan ujian dan tes Tuhan bagi manusia. Sementara itu, Abraham mampu menunjukkan ketaatan dalam dirinya kepada Tuhan, yang merupakan keadaan paling mendasar agar dirinya mampu memuaskan tuntutan Tuhan. ... Meskipun, dalam konteks yang berbeda, Tuhan menggunakan cara-cara yang berbeda untuk menguji setiap orang, dalam diri Abraham Tuhan melihat apa yang Dia inginkan, Dia melihat bahwa hati Abraham benar, dan bahwa ketaatannya tanpa syarat. Justru 'tanpa syarat' inilah yang Tuhan inginkan. Orang sering berkata, 'Aku sudah mempersembahkan ini, aku sudah meninggalkan itu—mengapa Tuhan masih belum puas denganku? Mengapa Dia terus membuatku menghadapi ujian? Mengapa Dia terus mengujiku?' Ini menunjukkan satu fakta: Tuhan belum melihat hatimu, dan belum mendapatkan hatimu. Dengan kata lain, Dia belum melihat ketulusan hati seperti ketika Abraham mampu mengangkat pisaunya untuk menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri dan mempersembahkannya kepada Tuhan. Dia belum melihat ketaatanmu yang tanpa syarat, dan belum merasa dihiburkan olehmu. Maka adalah wajar jika Tuhan terus mengujimu" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Aku terus merenungkan firman ini. Ketika Abraham mengorbankan putra satu-satunya kepada Tuhan, dia sama sekali tidak memiliki permintaan apa pun atau memperdebatkan masalahnya. Tanpa keraguan, dia tahu bahwa anaknya diberikan oleh Tuhan dan adalah hal yang benar dan pantas untuk mengembalikannya, seperti yang Tuhan minta. Itulah hati nurani dan nalar yang harus dimiliki makhluk ciptaan. Meski itu sangat menyakitkan baginya, dia masih bisa tunduk pada tuntutan Tuhan. Akhirnya, dia benar-benar mengambil pisau untuk membunuh putranya, yang menunjukkan bahwa iman dan ketaatannya kepada Tuhan itu tulus dan bisa menahan ujian yang sebenarnya. Kemudian ada aku. Aku berkata bahwa aku bersedia untuk tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan serta menyerahkan putraku kepada Tuhan, tetapi dalam hati aku berpegang pada tuntutanku sendiri. Terutama ketika aku dengar kondisinya memburuk dan tidak bisa diobati, menghadapi rasa sakit akan kemungkinan kehilangan dia, aku sadar memiliki banyak tuntutan dalam diriku. Aku tidak mengucapkannya, tetapi dalam hati aku ingin meminta Tuhan untuk menyembuhkannya. Aku sadar bahwa aku tidak masuk akal dan tidak punya ketaatan kepada Tuhan. Faktanya adalah putraku bukanlah milik pribadiku. Tuhan menghembuskan kehidupan kepadanya. Tubuhku hanya perantara kelahirannya. Seluruh hidupnya telah ditentukan sebelumnya, sepenuhnya diatur oleh Tuhan sejak lama. Tuhan telah menentukan seberapa banyak dia menderita, berapa banyak kesulitan yang akan dia hadapi sepanjang hidupnya. Aku harus tunduk pada pengaturan Tuhan. Dengan pemikiran ini, aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, putraku bukanlah milikku. Apakah Engkau akan mengambilnya atau tidak, aku tahu itu adalah kehendak baik-Mu. Aku bersedia tunduk dan menyerahkan hidup putraku di tangan-Mu. Aku tidak akan mengeluh, apa pun yang Engkau lakukan." Setelah berdoa, rasa sakit yang kurasakan mereda. Satu bulan berlalu tanpa terasa. Suatu hari, setelah aku pulang dari sebuah pertemuan, suamiku menelepon dan mengabariku dengan gembira bahwa semua tumor putra kami telah menghilang. Hal itu sudah dipastikan dengan CT scan di rumah sakit. Ketika mendengar kabar itu, aku merasa sangat senang hingga aku menangis. Berulang kali aku berseru dalam hati, "Syukur kepada Tuhan!" Pengalaman khusus ini benar-benar menunjukkan kepadaku kuasa besar Tuhan dan membuatku mengalami firman-Nya ini: "Setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Ini benar-benar menunjukkan kepadaku kemahakuasaaan dan kedaulatan Tuhan, bahwa Dia bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan, dan menyebabkan sesuatu yang tadinya ada menjadi tidak ada. Semuanya diatur oleh tangan Tuhan. Aku ucapkan syukur yang tulus kepada Tuhan!
Setahun kemudian aku mendapat pesan mengejutkan dari suamiku bahwa penyakit putra kami kambuh kembali dan dia berada di rumah sakit untuk kemoterapi. Agak menyakitkan saat mendengar itu, tetapi aku teringat pengalamanku sebelumnya. Aku bersedia tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Secara mengejutkan, putraku dipulangkan tepat dua minggu kemudian dan dia tetap sehat hingga saat ini. Meskipun aku menyalahkan dan salah paham kepada Tuhan tentang penyakit putraku, Dia tidak berfokus pada ketidaktahuanku, melainkan mencerahkan dan membimbingku dengan firman-Nya sehingga aku bisa mengerti kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan dan mengubah pandanganku yang keliru akan beriman hanya demi mencari berkat. Ini benar-benar adalah kasih karunia dan berkat Tuhan untukku! Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!