8. Cara mengenali falsafah dan berbagai kesesatan dan kekeliruan Iblis
Firman Tuhan Yang Mahakuasa pada Akhir Zaman
Tuhan itu sendiri adalah kebenaran, dan Dia memiliki semua kebenaran itu. Tuhan adalah sumber kebenaran. Setiap hal yang positif dan setiap kebenaran berasal dari Tuhan. Dia dapat memutuskan benar dan salahnya segala sesuatu dan semua peristiwa; Dia dapat menilai hal-hal yang telah terjadi, hal-hal yang sedang terjadi sekarang, dan hal-hal di masa depan yang belum diketahui manusia. Tuhanlah satu-satunya Hakim yang dapat menilai benar dan salahnya segala sesuatu, dan ini berarti benar dan salahnya segala sesuatu hanya dapat dinilai oleh Tuhan. Dia mengetahui kriteria untuk segala sesuatu. Dia mampu mengungkapkan kebenaran kapan pun dan di mana pun. Tuhan adalah perwujudan kebenaran, yang berarti bahwa Dia sendirilah yang memiliki esensi kebenaran. Bahkan jika manusia memahami banyak kebenaran dan disempurnakan oleh Tuhan, akankah mereka kemudian berkaitan dengan perwujudan kebenaran? Tidak. Ini adalah kepastian. Ketika manusia disempurnakan, mengenai pekerjaan Tuhan saat ini dan berbagai standar yang Tuhan tuntut dari manusia, mereka akan memiliki penilaian serta metode penerapan yang akurat, dan mereka akan memahami maksud Tuhan sepenuhnya. Mereka dapat membedakan antara apa yang berasal dari Tuhan dan apa yang berasal dari manusia, antara apa yang benar dan apa yang salah. Namun, ada beberapa hal yang tetap tidak dapat dicapai dan tidak jelas bagi manusia, hal-hal yang hanya dapat mereka ketahui setelah Tuhan memberi tahu mereka. Dapatkah manusia mengetahui atau memprediksi hal-hal yang belum diketahui, hal-hal yang belum Tuhan beritahukan kepada mereka? Sama sekali tidak. Lagi pula, sekalipun manusia memperoleh kebenaran dari Tuhan, memiliki kenyataan kebenaran, dan mengetahui esensi dari banyak kebenaran, serta memiliki kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah, akankah mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan menguasai segala sesuatu? Mereka tidak akan memiliki kemampuan ini. Itulah perbedaan antara Tuhan dan manusia. Makhluk ciptaan hanya bisa memperoleh kebenaran dari sumber kebenaran. Dapatkah mereka memperoleh kebenaran dari manusia? Apakah manusia adalah kebenaran? Dapatkah manusia membekali kebenaran? Mereka tidak bisa membekali kebenaran, dan di situlah letak perbedaannya. Engkau hanya bisa menerima kebenaran, tidak bisa membekalinya. Dapatkah engkau disebut sebagai orang yang memiliki kebenaran? Dapatkah engkau disebut sebagai perwujudan kebenaran? Sama sekali tidak. Apa tepatnya esensi dari perwujudan kebenaran? Itu adalah sumber yang membekali kebenaran, sumber yang mengendalikan dan berdaulat atas segala sesuatu, dan itu juga merupakan satu-satunya kriteria serta standar untuk menilai segala sesuatu dan peristiwa. Inilah perwujudan kebenaran.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Tiga)
Dalam pengungkapan-Nya tentang kebenaran, Tuhan mengungkapkan watak dan esensi-Nya; pengungkapan-Nya akan kebenaran tidak didasarkan pada berbagai hal positif dan pernyataan yang diyakini manusia yang dirangkum oleh umat manusia. Firman Tuhan tetaplah firman Tuhan; firman Tuhan adalah kebenaran. Firman merupakan satu-satunya dasar dan hukum yang dengannya umat manusia ada, dan semua yang disebut ajaran-ajaran yang berasal dari manusia itu keliru, absurd, dan dikutuk oleh Tuhan. Ajaran-ajaran itu tidak berkenan kepada-Nya, dan terlebih lagi, semua itu bukanlah asal-usul atau dasar perkataan-Nya. Tuhan mengungkapkan watak dan esensi-Nya melalui firman-Nya. Semua firman yang diungkapkan oleh Tuhan adalah kebenaran, karena Dia memiliki esensi Tuhan, dan Dia adalah kenyataan dari segala hal yang positif. Seperti apa pun cara umat manusia yang rusak ini menempatkan atau mendefinisikan firman Tuhan, atau seperti apa pun cara mereka memandang atau memahaminya, firman Tuhan adalah kebenaran yang kekal, dan ini adalah fakta yang tidak pernah berubah. Sebanyak apa pun firman Tuhan telah diucapkan, dan sebanyak apa pun umat manusia yang rusak dan jahat ini mengutuk dan menolaknya, ada fakta yang selamanya tetap tidak berubah: firman Tuhan selamanya adalah kebenaran, dan manusia tidak akan pernah bisa mengubahnya. Pada akhirnya, manusia harus mengakui bahwa firman Tuhan adalah kebenaran, dan bahwa budaya tradisional dan pengetahuan ilmiah umat manusia yang berharga tidak akan pernah bisa menjadi hal yang positif, dan bahwa semua itu tidak akan pernah bisa menjadi kebenaran. Ini mutlak. Budaya tradisional dan strategi bertahan hidup umat manusia tidak akan menjadi kebenaran karena perubahan atau dengan berlalunya waktu, demikian pula firman Tuhan tidak akan menjadi perkataan manusia karena kutukan atau kealpaan umat manusia. Kebenaran tetaplah kebenaran; esensi ini tidak akan pernah berubah. Fakta apakah yang ada di sini? Yaitu bahwa semua pepatah umum yang dirangkum umat manusia berasal dari Iblis, dan imajinasi dan gagasan manusia, atau semua itu muncul dari sifat pemarah manusia dan watak manusia yang rusak, dan semua itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang positif. Di sisi lain, firman Tuhan merupakan pengungkapan dari esensi dan identitas Tuhan. Apa alasannya Dia mengungkapkan firman ini? Mengapa Kukatakan bahwa firman adalah kebenaran? Alasannya adalah karena Tuhan berdaulat atas semua hukum, aturan, sumber, esensi, kenyataan, dan misteri dari segala sesuatu. Semua itu berada dalam genggaman tangan-Nya. Oleh karena itu, hanya Tuhan yang mengetahui aturan, kenyataan, fakta, dan misteri segala sesuatu. Tuhan tahu asal-usul segala sesuatu, dan Tuhan tahu persis apa sumber dari segala sesuatu. Hanya definisi untuk segala sesuatu yang terdapat dalam firman Tuhan-lah yang paling akurat, dan hanya firman Tuhan-lah yang menjadi standar dan prinsip bagi hidup manusia, serta kebenaran dan standar yang dapat digunakan manusia untuk hidup, sedangkan hukum dan teori Iblis yang telah manusia andalkan untuk hidup, sejak dirusak oleh Iblis, bertentangan dengan fakta bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, sekaligus bertentangan dengan fakta bahwa Dia berdaulat atas hukum dan aturan segala sesuatu. Semua teori Iblis manusia muncul dari gagasan dan imajinasi manusia, dan semua itu berasal dari Iblis. Peran seperti apa yang Iblis mainkan? Pertama, dia menampilkan dirinya sebagai kebenaran. Lalu, dia mengganggu, menghancurkan, dan menginjak-injak semua hukum dan aturan yang digunakan Tuhan untuk menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, yang berasal dari Iblis teramat cocok dengan esensi Iblis, dan dipenuhi dengan tujuan jahat Iblis, dengan kepalsuan dan kepura-puraan, serta dengan ambisi Iblis yang tidak pernah berubah. Apakah manusia yang rusak mampu membedakan falsafah dan teori dari Iblis ini atau tidak, dan sebanyak apa pun orang menggembar-gemborkan, menganjurkan, dan mengikuti hal-hal ini, dan sudah berapa tahun dan berapa abad pun manusia yang rusak mengagumi, memuja, dan mengkhotbahkannya, semua itu tidak akan menjadi kebenaran. Karena esensi, asal-usul, dan sumbernya adalah Iblis yang memusuhi Tuhan dan kebenaran, hal-hal ini tidak akan pernah menjadi kebenaran. Semua ini akan selalu menjadi hal-hal negatif. Ketika tidak ada kebenaran yang dapat dibandingkan dengannya, hal-hal tersebut mungkin dianggap sebagai hal-hal yang baik dan positif, tetapi ketika kebenaran digunakan untuk menyingkapkan dan menelaahnya, hal-hal tersebut tidak sempurna, tidak tahan uji, dan merupakan hal-hal yang cepat-cepat dikutuk dan ditolak. Kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan justru sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan yang normal dari manusia yang Tuhan ciptakan, sedangkan hal-hal yang ditanamkan Iblis dalam diri manusia justru bertentangan dengan kebutuhan dari kemanusiaan normal umat manusia. Mereka membuat orang normal menjadi tidak normal dan menjadi ekstrem, berpikiran sempit, congkak, bodoh, jahat, keras kepala, kejam, serta bahkan sangat angkuh. Ada suatu titik di mana hal ini menjadi begitu serius sehingga orang menjadi gila dan bahkan tidak tahu siapa diri mereka. Mereka tidak ingin menjadi orang normal atau orang biasa, dan malah bersikeras ingin menjadi manusia super, manusia berkekuatan khusus, atau manusia tingkat tinggi—hal-hal ini telah menyesatkan kemanusiaan dan naluri mereka. Kebenaran membuat manusia mampu hidup secara naluriah berdasarkan aturan dan hukum kemanusiaan yang normal dan semua aturan ini ditetapkan oleh Tuhan, sedangkan apa yang disebut peribahasa umum dan pepatah yang menyesatkan justru malah membuat manusia berbalik melawan nalurinya dan menghindari hukum yang ditetapkan serta dirumuskan oleh Tuhan, bahkan sampai membuat orang menyimpang dari jalan kemanusiaan yang normal dan melakukan beberapa hal ekstrem yang tidak boleh dilakukan atau dipikirkan oleh manusia normal. Hukum-hukum Iblis ini tidak hanya menyesatkan kemanusiaan orang, tetapi juga membuat manusia kehilangan kemanusiaan normal mereka dan naluri kemanusiaan normal mereka.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Satu)
Sejak manusia menemukan ilmu-ilmu sosial, pikiran manusia telah menjadi disibukkan dengan ilmu dan pengetahuan. Kemudian ilmu dan pengetahuan telah menjadi alat yang digunakan untuk memerintah umat manusia, dan tidak ada lagi ruang yang cukup bagi manusia untuk menyembah Tuhan, dan tidak ada lagi suasana yang mendukung penyembahan kepada Tuhan. Kedudukan Tuhan telah turun semakin rendah di hati manusia. Tanpa Tuhan di dalam hati mereka, dunia batin manusia menjadi gelap, tanpa pengharapan dan hampa. Selanjutnya banyak ilmuwan sosial, ahli sejarah, dan politisi telah bermunculan untuk mengungkapkan teori-teori ilmu sosial, teori evolusi manusia, serta teori-teori lainnya yang bertentangan dengan kebenaran bahwa Tuhan menciptakan manusia, untuk memenuhi hati dan pikiran manusia. Dan dengan demikian, mereka yang percaya bahwa Tuhan yang menciptakan segalanya telah menjadi semakin sedikit, dan mereka yang percaya pada teori evolusi menjadi semakin banyak jumlahnya. Semakin lama semakin banyak orang yang memperlakukan catatan tentang pekerjaan Tuhan dan firman-Nya pada zaman Perjanjian Lama sebagai mitos dan legenda. Di dalam hati mereka, orang menjadi acuh tak acuh pada martabat dan kebesaran Tuhan, pada prinsip bahwa Tuhan itu ada dan berkuasa atas segala sesuatu. Kelangsungan hidup umat manusia dan nasib negara-negara serta bangsa-bangsa tidak penting lagi bagi mereka, dan manusia hidup dalam dunia hampa yang hanya mengurusi makan, minum, dan mengejar kesenangan. ... Hanya sedikit orang yang menyadari kewajibannya untuk mencari tempat di mana Tuhan melakukan pekerjaan-Nya saat ini, atau mencari tahu bagaimana Dia mengendalikan dan mengatur tempat tujuan manusia. Dengan demikian, tanpa sepengetahuan manusia, peradaban manusia menjadi semakin tidak mampu memenuhi keinginan manusia, dan bahkan banyak orang yang merasa bahwa, dengan hidup di dunia seperti itu, mereka merasa tidak lebih berbahagia dibandingkan orang-orang yang sudah meninggal. Bahkan orang-orang yang berasal dari negara-negara yang tadinya berperadaban tinggi pun mengutarakan keluhan seperti ini. Karena tanpa bimbingan Tuhan, sekalipun para penguasa dan sosiolog memeras otak mereka untuk melestarikan peradaban manusia, semua itu sia-sia. Tak seorang pun dapat mengisi kehampaan dalam hati manusia, karena tak seorang pun dapat menjadi hidup manusia, dan tidak ada teori sosial yang dapat membebaskan manusia dari masalah kehampaan. Sains, pengetahuan, kebebasan, demokrasi, kesenangan, dan hiburan hanya memberi kepada manusia penghiburan yang sementara. Bahkan memiliki hal-hal ini pun, manusia pasti tetap berbuat dosa dan mengeluh tentang ketidakadilan masyarakat. Memiliki hal-hal ini tidak dapat menghalangi kerinduan dan keinginan manusia untuk menjelajah. Ini karena manusia diciptakan oleh Tuhan dan pengorbanan serta penjelajahan mereka yang tak masuk akal hanya akan makin membuat mereka sedih, dan menyebabkan manusia berada dalam keadaan cemas yang terus-menerus, tidak akan tahu cara menghadapi masa depan umat manusia, atau cara menghadapi jalan yang terbentang di depan, sampai-sampai manusia bahkan menjadi takut pada sains dan ilmu pengetahuan dan bahkan lebih takut lagi pada perasaan yang hampa. Di dunia ini, entah engkau tinggal di negara yang menganut kebebasan atau di negara yang tidak mengakui hak asasi manusia, engkau sama sekali tak dapat meluputkan diri dari nasib umat manusia. Apakah engkau adalah yang memerintah atau yang diperintah, engkau sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari keinginan untuk menyelidiki nasib, misteri, dan tempat tujuan umat manusia, apalagi melepaskan dirimu dari perasaan hampa yang membingungkan. Fenomena semacam ini, yang lazim dialami oleh semua manusia, disebut fenomena sosial oleh para sosiolog, tetapi belum ada satu manusia hebat pun yang mampu memecahkan masalah tersebut. Bagaimanapun juga, manusia, adalah manusia, dan kedudukan serta hidup dari Tuhan tidak dapat digantikan oleh seorang manusia pun. Yang umat manusia butuhkan bukan hanya masyarakat yang adil di mana setiap orang mendapat cukup makanan, kesetaraan, dan kebebasan; yang umat manusia butuhkan adalah keselamatan dari Tuhan dan perbekalan hidup dari-Nya bagi manusia. Hanya setelah manusia menerima perbekalan hidup dari-Nya dan keselamatan-Nya, barulah kebutuhan dan keinginan mereka untuk menjelajah, dan kehampaan dalam hati mereka dapat dibereskan. Jika rakyat suatu negara atau bangsa tidak dapat menerima keselamatan dan pengawasan Tuhan, negara atau bangsa semacam itu akan bergerak menuju kemunduran, menuju kegelapan, dan akibatnya akan dimusnahkan oleh Tuhan.
—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia"
Pengetahuan tentang budaya kuno telah secara diam-diam mencuri manusia dari hadirat Tuhan dan menyerahkannya kepada raja setan dan keturunannya. Empat Buku dan Lima Klasik[a] (buku-buku yang memuat ajaran Konfusius) telah membawa pemikiran dan gagasan manusia ke dalam zaman pemberontakan lainnya, menyebabkan manusia memberikan sanjungan yang jauh lebih besar daripada mereka yang menyusun buku-buku itu, dan sebagai akibatnya memperburuk gagasannya tentang Tuhan. Tanpa sepengetahuan manusia, raja setan dengan kejam mengusir Tuhan dari hati manusia dan kemudian menguasainya sendiri dengan kegembiraan penuh kemenangan. Sejak saat itu, manusia memiliki jiwa yang buruk serta memiliki wajah si raja setan. Kebencian terhadap Tuhan memenuhi dadanya, dan kejahatan raja setan menyebar dalam diri manusia hari demi hari sampai manusia sepenuhnya dikuasai. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan sedikit pun dan tidak mungkin membebaskan diri dari perangkap raja setan. Manusia tidak punya pilihan selain langsung ditawan, menyerah, dan tunduk di hadapannya. Dahulu kala, ketika hati dan jiwa manusia masih dalam masa pertumbuhan, raja setan menanamkan benih tumor ateisme, mengajar manusia berbagai kekeliruan seperti "belajar ilmu pengetahuan dan teknologi; menyadari Empat Modernisasi; tidak ada Tuhan di dunia". Tidak hanya itu, dia berteriak di setiap kesempatan: "Mari kita mengandalkan kerja keras kita untuk membangun tanah air yang indah," meminta semua orang untuk bersiap sejak kanak-kanak untuk memberikan pelayanan setia kepada negara mereka. Manusia, tanpa sadar, dibawa ke hadapannya, di mana dia tanpa ragu mengambil semua pujian (yang berarti mengambil pujian kepada Tuhan karena memegang seluruh umat manusia di tangan-Nya) untuk dirinya sendiri. Dia tidak pernah memiliki rasa malu. Bahkan, dia tanpa tahu malu menangkap umat Tuhan dan menyeret mereka kembali ke dalam rumahnya, di mana dia melompat ke atas meja seperti seekor tikus dan menyuruh manusia untuk menyembahnya sebagai Tuhan. Sungguh penjahat nekat! Dia meneriakkan hal-hal yang memalukan dan mengejutkan, seperti: "Tidak ada yang namanya Tuhan di dunia. Angin berasal dari perubahan menurut hukum alam; hujan turun ketika air menguap, bertemu dengan suhu yang dingin, mengembun menjadi tetesan air yang jatuh ke bumi; gempa bumi adalah goncangan pada permukaan bumi karena adanya perubahan geologis; kekeringan terjadi karena kekeringan di udara yang disebabkan oleh gangguan nukleonik di permukaan matahari. Semua ini adalah fenomena alam. Di manakah, dalam semua ini, perbuatan Tuhan?" Bahkan ada orang-orang yang menyerukan pernyataan seperti berikut ini, pernyataan yang seharusnya tidak boleh diucapkan: "Manusia berevolusi dari kera pada zaman purbakala dan dunia pada zaman sekarang ini berasal dari perubahan masyarakat primitif yang dimulai dari sekitar satu miliar tahun yang lalu. Entah sebuah negara berkembang atau menurun sepenuhnya berada di tangan warga negaranya." Di latar belakangnya, dia membuat manusia menggantungnya di tembok atau menempatkannya di atas meja untuk memberi penghormatan dan memberi persembahan kepadanya. Pada saat yang sama dia berseru, "Tidak ada Tuhan," dia menetapkan dirinya sendiri sebagai Tuhan, dengan begitu saja mendorong Tuhan keluar dari batas-batas bumi, sambil berdiri di posisi Tuhan dan mengambil peran sebagai raja setan. Betapa sangat tidak masuk akal! ...
Dari atas sampai ke bawah dan dari awal sampai akhir, Iblis telah mengganggu pekerjaan Tuhan dan bertindak dalam penentangan terhadap-Nya. Semua pembicaraan tentang "warisan budaya kuno", "pengetahuan tentang budaya kuno" yang berharga, "ajaran Taoisme dan Konfusianisme", "nilai-nilai Konfusius dan ritual feodal" telah membawa manusia ke dalam neraka. Pengetahuan dan teknologi zaman modern yang maju serta industri, pertanian, dan bisnis yang sangat maju, tidak terlihat di mana pun. Sebaliknya, semua itu hanya menekankan pada ritual feodal yang disebarluaskan oleh para "kera-kera" pada zaman kuno untuk dengan sengaja mengganggu, menentang, dan merombak pekerjaan Tuhan. Sampai hari ini, dia tidak saja terus menyengsarakan manusia, tetapi juga ingin menelan[1] manusia sepenuhnya. Penyebaran ajaran moral dan etika feodalisme dan pengetahuan budaya kuno yang diturunkan telah lama menjangkiti umat manusia dan mengubah mereka menjadi setan-setan besar dan kecil. Hanya sedikit dari mereka yang akan dengan senang hati menerima Tuhan, hanya sedikit yang akan dengan penuh sukacita menyambut kedatangan-Nya. Wajah seluruh umat manusia dipenuhi dengan niat membunuh, dan di setiap tempat, napas pembunuhan memenuhi udara. Mereka berusaha mengusir Tuhan dari negeri ini; dengan pisau dan pedang terhunus, mereka mengatur barisan perangnya untuk "membinasakan" Tuhan.
—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (7)"
Catatan kaki:
1. "Menelan" mengacu pada sikap kejam raja setan, yang merampok manusia secara keseluruhan.
a. Empat Buku dan Lima Klasik adalah buku-buku resmi Konfusianisme di Tiongkok.
Terlepas dari tingkat pengetahuanmu saat ini, atau seberapa tinggi gelar dan kualifikasi akademismu, Aku sedang berbicara tentang pandangan manusia terhadap pengetahuan dan pandangan-Ku sendiri mengenai hal tersebut. Apakah engkau semua tahu apa yang Tuhan pikirkan tentang pengetahuan? Seseorang mungkin berkata bahwa Tuhan menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang untuk umat manusia, dan menginginkan mereka memahami lebih banyak ilmu, karena Dia tidak ingin manusia menjadi terbelakang, bodoh dan tidak mampu memahami segala sesuatu. Ini benar, tetapi Tuhan menggunakan semua hal tersebut untuk melakukan pelayanan, tetapi Dia tidak berkenan. Betapa pun mengesankannya di mata manusia, semua hal tersebut bukanlah kebenaran atau pengganti kebenaran. Jadi, Tuhan mengungkapkan kebenaran untuk mengubah manusia dan wataknya. Meskipun firman Tuhan terkadang mampu menyentuh pandangan atau cara memandang pengetahuan seperti Konfusianisme atau ilmu sosial, itu hanya mewakili pandangan tersebut. Memahami makna yang tersirat dalam firman Tuhan, kita seharusnya mengerti bahwa Dia membenci pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tidak hanya berisi kalimat-kalimat dasar dan doktrin sederhana, tetapi juga pemikiran dan pandangan, kekeliruan, dan prasangka manusia, serta racun Iblis. Sebagian pengetahuan bahkan mampu menyesatkan dan merusak manusia—ini adalah racun dan tumor Iblis. Begitu seseorang menerima dan memahami pengetahuan ini, racun Iblis akan berkembang menjadi tumor dalam hatinya. Tumor ini akan menyebar ke seluruh tubuhnya, yang pasti akan mengakibatkan kematian jika mereka tidak dipulihkan oleh firman Tuhan dan diobati oleh kebenaran. Jadi, makin banyak pengetahuan yang diperoleh manusia, makin banyak yang mereka miliki, maka makin kecil kemungkinan mereka untuk percaya pada keberadaan Tuhan. Sebaliknya, mereka sebenarnya akan menyangkal dan menentang-Nya karena pengetahuan adalah sesuatu yang bisa mereka lihat dan sentuh, dan sebagian besar terkait dengan hal-hal dalam hidup mereka. Manusia bisa belajar dan mendapat banyak pengetahuan di sekolah, tetapi mereka buta terhadap sumber pengetahuan dan hubungannya dengan alam rohani. Sebagian besar pengetahuan yang dipelajari dan dikuasai manusia bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan, dengan materialisme filosofis dan evolusi yang secara khusus merupakan kesesatan dan kekeliruan ateisme. Tidak diragukan lagi, ini adalah kumpulan kekeliruan yang menentang Tuhan. Apa yang akan engkau dapatkan jika membaca banyak buku sejarah, karya penulis yang terkenal, atau biografi dari orang-orang hebat, atau mungkin mempelajari aspek ilmiah atau teknologi tertentu? Misalnya, jika mempelajari fisika, engkau akan menguasai beberapa prinsip fisika, teori Newton, atau doktrin-doktrin lainnya, tetapi ketika dipelajari dan diresapi, semua hal ini akan menguasai pikiranmu dan mendominasi cara berpikirmu. Ketika kemudian engkau membaca firman Tuhan, engkau akan berpikir: "Mengapa Tuhan tidak menyebutkan gravitasi? Mengapa luar angkasa tidak dibahas? Mengapa Tuhan tidak berbicara tentang atmosfer bulan atau seberapa banyak oksigen yang ada di bumi? Tuhan harusnya mengungkapkannya karena ini adalah hal-hal yang benar-benar perlu diketahui dan diberitahukan pada umat manusia." Jika engkau menyimpan pemikiran seperti ini dalam hatimu, engkau tidak akan menganggap kebenaran dan firman Tuhan sebagai yang utama, justru engkau akan mengutamakan semua pengetahuan dan teorimu. Beginilah caramu akan memperlakukan firman Tuhan. Bagaimanapun, hal-hal intelektual ini akan memberi gagasan yang salah pada manusia dan membuat mereka menyimpang dari Tuhan. Tidak masalah apakah engkau semua mempercayainya atau tidak, atau apakah engkau semua bisa menerimanya hari ini—akan tiba saatnya engkau semua mengakui semua fakta ini. Apakah engkau semua benar-benar memahami bagaimana pengetahuan dapat membawa orang ke dalam kehancuran, ke dalam neraka? Ada sebagian yang mungkin tidak mau menerima ini karena di antaramu ada yang sangat terpelajar dan berpengetahuan. Aku tidak sedang mengolok-olok engkau semua atau bersikap sarkastis, Aku hanya menyampaikan fakta. Aku juga tidak sedang memintamu untuk menerimanya sekarang ini juga, tetapi Aku memintamu untuk perlahan memahami aspek ini. Pengetahuan membuatmu memakai pikiran dan akalmu untuk menganalisis dan menangani segala sesuatu yang Tuhan lakukan. Ini akan menjadi penghalang dan rintangan bagimu untuk mengenal Tuhan dan mengalami pekerjaan-Nya, dan ini akan membuatmu menyimpang dan menentang Tuhan. Namun, sekarang engkau memiliki pengetahuan, jadi apa yang harus engkau lakukan? Engkau harus membedakan pengetahuan yang praktis dan pengetahuan yang berasal dari Iblis dan termasuk dalam penyesatan dan kekeliruan. Jika engkau hanya menerima pengetahuan yang ateistis dan keliru, itu bisa menghalangi kepercayaanmu pada Tuhan, mengganggu hubungan normalmu dengan-Nya dan penerimaanmu akan kebenaran, serta menghambat jalan masuk kehidupanmu. Engkau perlu mengetahui hal ini dan memang benar untuk melakukannya.
—Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Penerapan Menuju Perubahan Watak Orang"
Pengetahuan, pengalaman, pelajaran, tak satu pun dari hal-hal ini merupakan kebenaran; itu semua sama sekali tidak berkaitan dengan kebenaran. Bahkan hal-hal ini bertentangan dengan kebenaran dan dikutuk oleh Tuhan. Misalnya pengetahuan, apakah sejarah termasuk salah satu bentuk pengetahuan? (Ya.) Bagaimana buku-buku pengetahuan dan sejarah tentang sejarah manusia, sejarah negara atau kelompok etnis tertentu, sejarah modern, sejarah kuno, atau bahkan sejarah tidak resmi tertentu, bisa muncul? (Semua itu ditulis oleh manusia.) Jadi, apakah hal-hal yang ditulis oleh manusia sesuai dengan sejarah yang sebenarnya? Bukankah ide dan pandangan manusia tidak sesuai dengan prinsip, jalan, dan cara Tuhan bertindak? Apakah perkataan yang disampaikan oleh manusia ini berkaitan dengan sejarah yang sebenarnya? (Tidak.) Tidak ada kaitannya. Oleh karena itu, seakurat apa pun catatan yang tertulis dalam buku sejarah, itu semua hanya sebatas pengetahuan. Sefasih apa pun sejarawan, dan selogis serta sejelas apa pun mereka menarasikan sejarah-sejarah ini, bagaimana kesimpulanmu setelah mendengarnya? (Kita akan mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut.) Ya, engkau akan mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, apakah mereka menarasikan sejarah ini hanya untuk menyampaikan peristiwa tersebut kepadamu? Mereka memiliki ide tertentu yang ingin mereka indoktrinasikan dalam dirimu. Lalu, apa fokus dari indoktrinasi mereka? Inilah yang perlu kita analisis dan telaah. Aku akan memberi sebuah contoh agar engkau semua bisa memahami hal yang ingin mereka indoktrinasikan dalam diri orang. Setelah mengulas sejarah dari zaman kuno hingga sekarang, orang-orang pada akhirnya menghasilkan sebuah pepatah; mereka telah mengamati sebuah fakta dari sejarah manusia, yaitu: "Yang menang mendapat mahkota, dan yang kalah tidak mendapat apa-apa." Apakah ini pengetahuan? (Ya.) Pengetahuan ini berasal dari fakta-fakta sejarah. Apakah pepatah ini memiliki keterkaitan dengan jalan dan cara yang Tuhan gunakan untuk memegang kedaulatan atas segala hal? (Tidak.) Sebenarnya, itu berlawanan; itu bertentangan dan tidak sesuai dengan hal-hal tersebut. Jadi, engkau telah diindoktrinasi dengan pepatah ini, dan jika engkau tidak memahami kebenaran, atau jika engkau adalah orang tidak percaya, apa yang mungkin kaupikirkan setelah mendengarnya? Bagaimana engkau memahami pepatah ini? Pertama-tama, sejarawan atau buku-buku sejarah ini mencantumkan semua peristiwa seperti ini, dengan menggunakan bukti yang memadai dan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memperkuat keakuratan pepatah tersebut. Pada awalnya, engkau mungkin hanya mempelajari pepatah ini dari buku, dan sekadar mengetahui pepatah itu saja. Engkau mungkin hanya memahaminya pada satu tingkatan atau hingga taraf tertentu sampai engkau mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, setelah engkau mendengar fakta-fakta sejarah ini, pengakuan dan penerimaanmu terhadap pepatah ini akan menjadi makin dalam. Engkau pasti tidak akan berkata, "Beberapa hal tidak seperti itu adanya." Sebaliknya, engkau akan berkata, "Begitulah adanya; jika melihat sejarah dari zaman kuno hingga sekarang, umat manusia telah berkembang dengan cara ini; yang menang mendapat mahkota, dan yang kalah tidak mendapat apa-apa!" Ketika engkau memahami masalah ini dengan cara seperti itu, bagaimana pandangan dan sikapmu terhadap perilakumu, kariermu, dan kehidupanmu sehari-harimu, serta orang-orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitarmu? Akankah persepsi semacam ini mengubah sikapmu? (Ya.) Pertama-tama, itu akan mengubah sikapmu. Lalu, bagaimana hal itu akan mengubah sikapmu? Akankah hal itu membimbing dan mengubah arah hidup serta metode yang kaugunakan dalam urusan duniawi? Mungkin sebelumnya engkau percaya bahwa "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan" dan "Orang yang baik memiliki kehidupan yang damai". Kini, engkau akan berpikir, "Karena 'yang menang mendapat mahkota, dan yang kalah tidak mendapat apa pun', jika aku ingin menjadi pejabat, aku harus mempertimbangkan si A dengan saksama. Dia tidak sepihak denganku, jadi aku tidak bisa mempromosikannya, sekalipun dia layak dipromosikan." Karena engkau memikirkan segala sesuatu dengan cara ini, sikapmu akan berubah dengan cepat. Bagaimana perubahan ini akan terjadi? Sikapmu akan berubah karena engkau menerima ide dan sudut pandang bahwa "Yang menang mendapat mahkota, dan yang kalah tidak mendapat apa-apa". Mendengar banyak fakta hanya akan meneguhkan benarnya pandangan tentang kehidupan manusia yang nyata ini dalam dirimu. Engkau akan sangat percaya bahwa engkau harus menerapkan sudut pandang ini dalam tindakan dan perilakumu untuk mengejar prospek dan kehidupanmu di masa mendatang. Saat itu, bukankah ide dan sudut pandang ini telah mengubahmu? (Ya.) Dan selain mengubahmu, itu juga akan merusakmu. Begitulah adanya. Pengetahuan semacam ini mengubah dan merusakmu. Jadi, jika dilihat dari akar persoalan ini, seakurat apa pun sejarah ini disajikan, semua itu pada akhirnya dirangkum menjadi pepatah ini, dan engkau diindoktrinasi dengan ide ini. Apakah pengetahuan ini adalah perwujudan kebenaran, atau cara berpikir Iblis? (Cara berpikir Iblis.) Betul. Sudahkah Aku menjelaskan hal ini dengan cukup terperinci? (Ya.) Sekarang jelaslah sudah. Jika engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau tetap tidak akan memahaminya bahkan setelah menjalani dua kehidupan; makin lama engkau hidup, makin engkau merasa bahwa engkau bodoh, dan menganggap bahwa engkau tidak cukup kejam, dan bahwa engkau seharusnya menjadi orang yang lebih kejam, lebih licik, lebih berbahaya, lebih buruk, dan lebih jahat. Engkau akan berpikir, "Jika dia bisa membunuh, aku harus menyalakan api. Jika dia membunuh satu orang, aku harus membunuh 10 orang. Jika dia membunuh tanpa meninggalkan jejak, aku akan melukai orang-orang tanpa mereka sadari; aku bahkan akan membuat keturunan mereka berterima kasih padaku selama tiga generasi!" Inilah pengaruh yang telah ditimbulkan oleh falsafah, pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran Iblis dalam diri umat manusia. Kenyataannya, itu justru penyiksaan dan kerusakan. Oleh karena itu, apa pun pengetahuan yang dikhotbahkan atau disebarkan di dunia ini, itu akan mengindoktrinasikan suatu ide atau sudut pandang dalam dirimu. Jika engkau tidak mampu mengidentifikasinya, engkau akan diracuni. Kesimpulannya, kini satu hal yang pasti: Tidak peduli apakah pengetahuan ini berasal dari orang awam atau dari sumber resmi, apakah pengetahuan itu dikagumi oleh segelintir orang atau banyak orang, tak satu pun dari pengetahuan tersebut berkaitan dengan kebenaran. Kebenaran adalah kenyataan dari semua hal positif. Keakuratannya tidak ditentukan oleh jumlah orang yang mengakuinya. Kenyataan hal-hal positif adalah kebenaran itu sendiri. Tak seorang pun mampu mengubahnya, dan tak seorang pun bisa menyangkalnya. Kebenaran akan selalu menjadi kebenaran.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Tiga)
Mereka yang berasal dari Iblis semuanya hidup bagi diri mereka sendiri. Pandangan hidup dan moto-moto mereka sebagian besar berasal dari pepatah Iblis, seperti "Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya", "Manusia mati demi mendapatkan kekayaan sama seperti burung mati demi mendapatkan makanan", dan kekeliruan lainnya. Semua perkataan yang diucapkan oleh raja-raja setan, orang-orang terkemuka, dan para filsuf ini telah menjadi hidup manusia. Khususnya, kebanyakan dari perkataan Konfusius, yang diagungkan oleh masyarakat Tiongkok sebagai "orang bijak", telah menjadi hidup manusia. Ada juga peribahasa Buddhisme dan Taoisme yang terkenal, serta pepatah klasik yang seringkali dikutip oleh berbagai tokoh ternama. Semuanya ini adalah rangkuman dari falsafah dan natur Iblis. Semua ini juga merupakan gambaran dan penjelasan terbaik tentang natur Iblis. Racun-racun yang telah ditanamkan ke dalam hati manusia ini semuanya berasal dari Iblis, dan tak satu pun dari semua ini yang berasal dari Tuhan. Perkataan jahat seperti itu juga bertentangan langsung dengan firman Tuhan. Sangat jelas bahwa kenyataan dari semua hal positif berasal dari Tuhan, dan semua hal negatif yang meracuni manusia berasal dari Iblis. Oleh karena itu, engkau dapat mengetahui natur seseorang dan milik siapakah mereka dengan cara melihat pandangan dan nilai-nilai hidup mereka. Iblis merusak manusia melalui pendidikan dan pengaruh pemerintah nasional serta melalui orang-orang terkenal dan hebat. Perkataan jahat mereka telah menjadi natur dan hidup manusia. "Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya" adalah pepatah Iblis terkenal yang telah ditanamkan dalam diri semua orang, dan ini telah menjadi hidup manusia. Ada falsafah lain tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang juga seperti ini. Iblis menggunakan budaya tradisional setiap negara untuk mendidik, menyesatkan, dan merusak manusia, menyebabkan manusia jatuh dan ditelan oleh jurang kebinasaan yang tak berdasar, dan pada akhirnya, manusia dimusnahkan oleh Tuhan karena mereka melayani Iblis dan menentang Tuhan. Beberapa orang telah menjabat sebagai pejabat publik di masyarakat selama puluhan tahun, bayangkan menanyakan pertanyaan berikut ini kepada mereka: "Engkau telah sangat sukses dengan jabatan ini, pepatah terkenal apa yang paling kaupegang?" Mereka mungkin berkata, "Satu pepatah yang kumengerti adalah ini: 'Para pejabat tidak akan mempersulit orang yang banyak memberi hadiah; orang tidak akan mencapai apa pun tanpa menjilat dan merayu.'" Ini adalah falsafah Iblis yang mendasari karier mereka. Bukankah perkataan ini merepresentasikan natur orang semacam itu? Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan telah menjadi natur mereka, menjadi pejabat dan sukses dalam karier adalah tujuan mereka. Masih ada banyak racun Iblis dalam hidup manusia, dalam tindak tanduk dan perilaku mereka. Sebagai contoh, falsafah mereka tentang cara berinteraksi dengan orang lain, cara-cara mereka melakukan sesuatu, dan moto hidup mereka semuanya dipenuhi dengan racun si naga merah yang sangat besar, dan semua ini berasal dari Iblis. Dengan demikian, segala sesuatu yang mengalir dalam tulang dan darah manusia adalah hal-hal dari Iblis. Semua pejabat itu, mereka yang memegang tampuk kekuasaan, dan orang-orang yang sukses, memiliki berbagai jalan dan rahasia keberhasilannya sendiri. Bukankah rahasia semacam itu mewakili natur asli mereka dengan tepat? Mereka telah melakukan hal-hal besar di dunia, dan tak seorang pun dapat melihat rencana jahat dan tipu muslihat yang ada di baliknya. Ini menunjukkan betapa berbahaya dan jahatnya natur mereka. Manusia telah dirusak sedemikian dalam oleh Iblis. Racun Iblis mengalir dalam darah setiap orang, dan dapat dikatakan bahwa natur manusia itu rusak, jahat, berlawanan, dan bertentangan dengan Tuhan, dipenuhi dan dibenamkan dalam falsafah dan racun Iblis. Itu seluruhnya telah menjadi esensi natur Iblis. Inilah sebabnya manusia menentang dan berlawanan dengan Tuhan.
—Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"
"Uang membuat dunia berputar" adalah salah satu falsafah Iblis. Falsafah ini tersebar luas di antara semua manusia, di tengah setiap masyarakat; dapat dikatakan bahwa ini adalah sebuah tren. Ini karena pepatah itu telah tertanam di dalam hati setiap orang, yang awalnya tidak menerima pepatah ini, tetapi kemudian diam-diam menerimanya ketika mereka mulai berhubungan dengan kehidupan nyata, dan mulai merasa bahwa kata-kata ini sebetulnya benar. Bukankah ini sebuah proses bagaimana Iblis merusak manusia? Mungkin orang tidak memahami pepatah ini pada tingkat yang sama, tetapi setiap orang memiliki tingkat pemahaman dan pengakuan yang berbeda mengenai pepatah ini berdasarkan pada hal-hal yang terjadi di sekitar mereka dan berdasarkan pengalaman pribadi mereka sendiri. Bukankah ini yang terjadi? Terlepas dari seberapa banyak pengalaman yang dialami seseorang dengan pepatah ini, apa efek negatif yang dapat ditimbulkan pepatah ini dalam hati seseorang? Sesuatu terungkap melalui watak manusia dari orang-orang di dunia ini, termasuk dari setiap orang di antaramu. Apakah sesuatu ini? Sesuatu ini adalah pemujaan orang terhadap uang. Apakah sulit untuk mengeluarkan ini dari hati seseorang? Ini sangat sulit! Tampaknya perusakan manusia oleh Iblis sudah sedemikian dalamnya! Iblis menggunakan uang untuk mencobai manusia dan merusak mereka agar mereka memuja uang dan menghormati hal-hal materi. Lalu bagaimanakah pemujaaan terhadap uang ini terwujud dalam diri manusia? Apakah engkau semua merasa bahwa engkau tidak dapat bertahan hidup di dunia ini tanpa uang, bahwa satu hari saja tanpa uang tak mungkin bagimu? Status orang didasarkan pada berapa banyak uang yang mereka miliki dan begitu pula kehormatan mereka. Punggung orang miskin membungkuk malu, sementara orang kaya menikmati status tinggi mereka. Mereka berdiri tegak dan bangga, berbicara keras-keras dan hidup dengan congkak. Apa yang ditimbulkan oleh pepatah dan tren ini terhadap manusia? Bukankah banyak orang mengorbankan apa pun demi mendapatkan uang? Bukankah banyak orang kehilangan martabat dan kejujuran mereka demi mendapatkan lebih banyak uang? Bukankah banyak orang kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugas mereka dan mengikut Tuhan karena uang? Bukankah kehilangan kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan diselamatkan adalah kerugian terbesar bagi manusia? Bukankah Iblis itu jahat, menggunakan cara dan pepatah ini untuk merusak manusia sampai tingkat seperti itu? Bukankah ini tipu muslihat yang kejam? Ketika engkau berubah dari keberatan dengan pepatah populer ini hingga akhirnya menerimanya sebagai kebenaran, hatimu jatuh sepenuhnya ke dalam cengkeraman Iblis, dan karena itu tanpa kausadari, engkau mulai hidup berdasarkan pepatah itu. Sampai sejauh mana pepatah ini telah memengaruhimu? Engkau mungkin tahu jalan yang benar, dan engkau mungkin mengetahui kebenaran, tetapi engkau tidak berdaya untuk mengejarnya. Engkau mungkin tahu dengan jelas bahwa firman Tuhan adalah kebenaran, tetapi engkau tidak mau membayar harga atau menderita demi memperoleh kebenaran. Sebaliknya, engkau lebih suka mengorbankan masa depan dan takdirmu sendiri untuk menentang Tuhan sampai akhir. Apa pun yang Tuhan firmankan, apa pun yang Tuhan lakukan, baik engkau memahami betapa dalam dan betapa besar kasih Tuhan kepadamu atau tidak, engkau dengan keras kepala bersikeras menempuh jalanmu sendiri dan membayar harga demi pepatah ini. Artinya, pepatah ini telah menyesatkan dan mengendalikan pemikiranmu, pepatah ini telah mengatur perilakumu, dan engkau lebih suka membiarkannya mengatur nasibmu daripada mengesampingkan pengejaranmu akan kekayaan. Bahwa orang dapat bertindak demikian, bahwa mereka dapat dikendalikan dan dimanipulasi oleh perkataan Iblis—bukankah ini berarti mereka telah disesatkan dan dirusak oleh Iblis? Bukankah falsafah dan pola pikir Iblis, serta watak Iblis, telah berakar dalam hatimu? Ketika engkau secara membabi buta mengejar kekayaan, dan meninggalkan pengejaran akan kebenaran, bukankah Iblis telah mencapai tujuannya untuk menyesatkanmu? Inilah yang sebenarnya terjadi. Jadi, bisakah engkau merasakannya ketika engkau disesatkan dan dirusak oleh Iblis? Tidak bisa. Jika engkau tidak dapat melihat Iblis berdiri tepat di hadapanmu, atau engkau tidak merasakan bahwa Iblis sedang melakukan sesuatu di belakangmu, akan mampukah engkau melihat kejahatan Iblis? Dapatkah engkau mengetahui bagaimana Iblis merusak umat manusia? Iblis merusak manusia setiap saat dan di semua tempat. Iblis membuat mustahil bagi manusia untuk membela diri terhadap perusakan ini dan membuat manusia tidak berdaya melawannya. Iblis membuatmu menerima pemikirannya, sudut pandangnya, dan hal-hal jahat yang berasal darinya dalam keadaan engkau tidak mengetahuinya dan ketika engkau tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirimu. Orang menerima hal-hal ini dan menerimanya ini tanpa kecuali. Mereka mencintai dan mempertahankan semua ini seperti harta yang sangat berharga, mereka membiarkan semua ini memanipulasi mereka dan mempermainkan mereka; beginilah cara manusia hidup di bawah kekuasaan Iblis, dan secara tidak sadar menaati Iblis, dan perusakan manusia oleh Iblis menjadi semakin dalam.
—Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik V"
Sekarang ini ada orang-orang yang percaya bahwa "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan" adalah pernyataan yang nyata dan tepat. Apakah orang semacam itu memiliki ketajaman? Apakah mereka memahami kebenaran? Apakah pikiran dan pandangan orang semacam itu bermasalah? Jika seseorang dalam gereja menyebarkan pepatah itu, dia melakukannya dengan motif tertentu dan sedang berusaha untuk menyesatkan orang lain. Dia berusaha menggunakan pepatah "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan" untuk melenyapkan kesangsian dan keraguan orang lain terhadap diri mereka. Secara tersirat, itu berarti bahwa dia ingin agar orang lain percaya bahwa dia dapat bekerja dan bahwa dia adalah orang yang dapat digunakan. Bukankah itu maksud dan tujuan orang itu? Pastilah begitu. Dia berpikir, "Engkau semua tidak pernah memercayaiku dan selalu meragukanku. Suatu hari, engkau mungkin akan menemukan masalah kecil pada diriku dan memberhentikanku. Mana bisa aku bekerja jika hal itu selalu mengganggu pikiranku?" Jadi, orang itu menyebarkan pandangan itu agar rumah Tuhan memercayai dia tanpa ragu dan membiarkan dia bekerja dengan bebas sehingga tujuan mereka tercapai. Jika seseorang benar-benar mengejar kebenaran, dia seharusnya memperlakukan pengawasan rumah Tuhan atas pekerjaannya dengan sepatutnya ketika melihatnya karena dia mengetahui bahwa pengawasan itu adalah perlindungan bagi dirinya sendiri dan, yang lebih penting lagi, juga adalah bentuk tanggung jawab atas pekerjaan rumah Tuhan. Meskipun mungkin dia memperlihatkan kerusakannya, dia dapat berdoa kepada Tuhan dan meminta-Nya untuk memeriksa dan melindunginya, atau bersumpah kepada Tuhan bahwa dia akan menerima hukuman-Nya jika berbuat jahat. Tidakkah itu akan menenangkan batinnya? Mengapa harus menyebarkan kekeliruan untuk menyesatkan orang dan mencapai tujuan pribadi? Ada sejumlah pemimpin dan pekerja yang selalu bersikap menentang terhadap pengawasan umat pilihan Tuhan atau terhadap upaya para pemimpin tingkat atas dan pekerja untuk mempelajari pekerjaan mereka. Apa isi pikiran mereka? "'Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan.' Mengapa engkau semua selalu mengawasiku? Mengapa menggunakanku jika engkau semua tidak memercayaiku?" Jika engkau bertanya kepada mereka tentang pekerjaan mereka atau menanyakan perkembangannya, lalu menanyakan tentang keadaan pribadi mereka, mereka bahkan akan menjadi lebih defensif, "Pekerjaan ini telah dipercayakan kepadaku. Akulah penanggungjawabnya. Mengapa engkau semua ikut campur dalam pekerjaanku?" Meskipun tidak berani mengatakannya secara terus terang, mereka akan menyindir, "Ada pepatah yang berkata, 'Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan.' Mengapa engkau orang yang begitu ragu?" Mereka bahkan akan menuduh dan melabelimu. Dan bagaimana jika engkau tidak memahami kebenaran dan tidak memiliki ketajaman? Setelah mendengar sindiran tadi, engkau akan berkata, "Apakah aku ragu? Jika demikian, aku salah. Aku licik! Engkau benar: Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan." Jika begitu, bukankah engkau telah disesatkan? Apakah pepatah "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan" sesuai dengan kebenaran? Tidak, itu omong kosong! Orang-orang jahat itu berbahaya dan licik. Mereka menyajikan pepatah itu sebagai kebenaran untuk menyesatkan orang-orang yang bingung. Setelah mendengar pepatah tadi, seseorang yang bingung akan benar-benar disesatkan. Dia pun menjadi bingung dan berpikir, "Dia benar. Aku telah berbuat salah kepadanya. Dia sendiri telah berkata, 'Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan.' Bagaimana aku bisa meragukannya? Bukan begini caranya melaksanakan pekerjaan. Aku harus menyemangatinya tanpa menyelisik pekerjaannya. Karena aku menggunakannya, aku perlu memercayainya dan membiarkannya bekerja dengan bebas tanpa mengekangnya. Aku harus memberinya ruang untuk melaksanakan pekerjaannya. Dia memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Bahkan, meskipun dia tidak memilikinya, masih ada Roh Kudus yang bekerja!" Logika macam apa itu? Apakah semua itu sesuai dengan kebenaran? (Tidak.) Semua perkataan berikut ini terdengar tepat. "Kita tidak boleh mengekang orang lain." "Manusia tidak dapat melakukan apa pun. Roh Kuduslah yang melakukan segalanya. Roh Kudus memeriksa segalanya. Kita tidak perlu ragu karena Tuhan sepenuhnya berkuasa." Namun, perkataan macam apakah itu? Tidakkah yang mengatakannya adalah orang-orang bingung? Mereka bahkan tidak dapat menyadari hal sesederhana itu dan malah disesatkan hanya karena satu kalimat. Dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang menganggap perkataan "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan" sebagai kebenaran, dan mereka disesatkan dan terikat olehnya. Mereka terganggu dan terpengaruh olehnya ketika memilih atau menggunakan orang, dan bahkan membiarkan perkataan ini mengendalikan tindakan mereka. Akibatnya, banyak pemimpin dan pekerja selalu mengalami kesulitan dan merasa khawatir setiap kali mereka memeriksa pekerjaan gereja dan mempromosikan serta menggunakan orang. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan hanyalah menghibur diri mereka sendiri dengan perkataan "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan". Setiap kali mereka memeriksa atau menanyakan tentang pekerjaan, mereka berpikir, "'Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan.' Aku harus memercayai saudara-saudariku, dan bagaimanapun juga, Roh Kudus memeriksa orang, jadi aku tak boleh selalu meragukan dan mengawasi orang lain." Mereka telah dipengaruhi oleh perkataan ini, bukan? Apa akibat yang ditimbulkan oleh pengaruh perkataan ini? Pertama, jika seseorang menganut gagasan "Jangan meragukan orang yang kaupekerjakan, dan jangan mempekerjakan orang yang kauragukan", akankah mereka memeriksa dan membimbing pekerjaan orang lain? Akankah mereka mengawasi dan menindaklanjuti pekerjaan orang lain? Jika orang ini memercayai semua orang yang mereka pekerjakan dan tidak pernah memeriksa atau membimbing mereka dalam pekerjaan mereka, dan tidak pernah mengawasi mereka, apakah artinya mereka sedang melakukan tugas mereka dengan loyal? Mampukah mereka melaksanakan pekerjaan gereja dengan cara yang kompeten dan memenuhi amanat Tuhan? Apakah mereka loyal pada amanat Tuhan? Kedua, ini bukan semata-mata kegagalan menaati firman Tuhan dan melaksanakan tugasmu, tetapi ini berarti menjadikan konspirasi Iblis dan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain seolah-olah itu adalah kebenaran, dan mengikuti serta menerapkannya. Engkau sedang menaati Iblis dan hidup menurut falsafah Iblis, bukan? Engkau bukan orang yang tunduk pada Tuhan, apalagi orang yang menaati firman Tuhan. Engkau adalah orang yang bejat. Mengesampingkan firman Tuhan, dan menjadikan perkataan Iblis dan menerapkannya sebagai kebenaran, berarti mengkhianati kebenaran dan Tuhan! Engkau bekerja di rumah Tuhan, tetapi prinsip-prinsip di balik tindakanmu adalah logika Iblis dan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, orang macam apa engkau? Ini adalah orang yang mengkhianati Tuhan dan orang yang sangat mempermalukan Tuhan. Apa esensi dari tindakan ini? Secara terbuka mengutuk Tuhan dan secara terbuka menyangkal kebenaran. Bukankah itu esensinya? (Ya.) Selain tidak mengikuti kehendak Tuhan, engkau membiarkan salah satu pepatah jahat Iblis dan falsafah Iblis tentang cara berinteraksi dengan orang lain merajalela di gereja. Dengan melakukan hal ini, engkau menjadi kaki tangan Iblis, membantu Iblis menjalankan kegiatannya di dalam gereja, serta mengganggu dan mengacaukan pekerjaan gereja. Esensi dari masalah ini sangat serius, bukan?
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, "Lampiran Satu: Apa arti Kebenaran"
Jadi, apa artinya pantang menyerah? Pantang menyerah adalah ketika seseorang gagal, mengalami kemunduran, atau tersesat di jalan yang salah, tetapi tidak mengakuinya. Dia terus saja melangkah maju dengan keras kepala. Dia gagal, tetapi tidak berkecil hati, gagal tetapi tidak mengakui kesalahannya. Tak peduli berapa banyak orang yang menegur atau mengutuknya, dia tidak berubah. Dia bersikeras untuk berjuang, bekerja, serta mengejar ke arahnya sendiri untuk mencapai tujuannya sendiri, dan tidak memikirkan biayanya. Mentalitas seperti itulah yang dimaksud oleh ungkapan tersebut. Apakah mentalitas itu cukup baik untuk menginspirasi orang? Dalam situasi apakah ungkapan "Pantang menyerah" biasanya digunakan? Dalam segala jenis situasi. Ungkapan ini ada di mana pun manusia rusak berada; mentalitas ini ada. Jadi, apa tujuan manusia sejenis Iblis mencetuskan pepatah ini? Tujuannya adalah agar orang tidak akan pernah bisa memahami dirinya sendiri dan tidak mengakui serta menerima kesalahannya sendiri. Tujuan lainnya adalah agar orang tidak melihat sisi dirinya yang rapuh, lemah, dan tidak kompeten, tetapi hanya melihat sisi dirinya yang mampu, kuat, dan gagah berani, agar mereka tidak meremehkan diri sendiri, tetapi merasa bahwa mereka kompeten. Selama engkau berpikir bahwa engkau mampu, maka engkau akan mampu. Selama engkau berpikir bahwa engkau dapat menjadi sukses, tidak akan gagal, dan dapat menjadi yang terhebat dari semua orang, engkau akan dapat mencapai semua itu. Selama memiliki kegigihan, tekad, ambisi, dan keinginan itu, engkau dapat meraih segalanya. Manusia bukanlah makhluk yang lemah; mereka kuat. Orang-orang tidak percaya memiliki pepatah: "Panggungmu sebesar hatimu." Ada orang-orang menyukai pepatah itu begitu mereka mendengarnya: "Wah, jadi artinya, jika aku menginginkan berlian sepuluh karat, aku akan mendapatkannya? Jika aku menginginkan Mercedes Benz, aku akan mendapatkannya?" Akankah yang kau dapatkan sesuai dengan besarnya keinginan hatimu itu? (Tidak.) Pepatah ini adalah kekeliruan. Sederhananya, kecongkakan mereka yang memercayai dan mengakui ungkapan "Pantang menyerah" tiada batasnya. Cara berpikir orang-orang itu secara langsung bertentangan dengan firman Tuhan yang mana? Tuhan menuntut manusia untuk memahami diri sendiri dan berperilaku dengan rendah hati. Manusia memiliki watak-watak rusak; mereka memiliki kekurangan dan watak yang menentang Tuhan. Tidak ada yang sempurna di antara umat manusia. Tidak ada seorang pun yang sempurna; mereka hanyalah orang-orang biasa. Tuhan menasihati orang untuk berperilaku seperti apa? (Berperilaku dengan sederhana dan jujur.) Berperilaku dengan sederhana dan jujur, serta memegang teguh posisi mereka sebagai makhluk ciptaan dengan cara yang rendah hati. Pernahkah Tuhan menuntut manusia untuk pantang menyerah? (Tidak.) Tidak. Jadi, apa yang Tuhan katakan tentang manusia yang mengikuti jalan yang salah atau memperlihatkan watak rusak? (Dia berkata bahwa manusia harus mengakui dan menerimanya.) Akuilah, terimalah, lalu pahamilah itu, mampu berubah, dan terapkanlah kebenaran. Sebaliknya, pantang menyerah menunjukkan bahwa orang itu tidak memahami masalahnya sendiri, tidak memahami kesalahannya, tidak menerima kesalahannya, tidak berubah dalam situasi apa pun, dan tidak bertobat apa pun yang terjadi, apalagi menerima kedaulatan atau penataan Tuhan. Mereka bukan hanya tidak mencari tahu apa tepatnya nasib manusia itu, atau apa itu penataan dan pengaturan Tuhan; mereka bukan hanya tidak mencari hal-hal itu, melainkan justru memegang kendali atas nasib mereka sendiri. Mereka ingin menjadi penentu terakhir. Selain itu, Tuhan menuntut manusia untuk memahami diri mereka sendiri, mengukur dan menilai diri sendiri dengan akurat, serta melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan sebaik-baiknya dengan sikap yang rendah hati dan perilaku yang baik, serta dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa mereka, sedangkan Iblis membuat manusia menggunakan watak congkak mereka sepenuhnya dan memberikan kebebasan penuh pada watak congkak mereka. Hal itu menjadikan mereka manusia yang super, yang hebat, dan bahkan yang memiliki kekuatan yang luar biasa; itu membuat manusia menjadi sesuatu yang mustahil bagi mereka. Jadi, apa itu falsafah Iblis? Menurut falsafah Iblis, sekalipun engkau salah, engkau tidaklah salah; selama engkau memiliki mentalitas tidak mengakui kekalahan, dan selama engkau memiliki mentalitas pantang menyerah, cepat atau lambat, akan tiba waktunya ketika engkau menjadi yang terhebat dari semua orang, dan cepat atau lambat, akan tiba saatnya ketika impian dan tujuanmu akan terwujud. Jadi, bukankah di dalam prinsip pantang menyerah terkandung pesan bahwa engkau akan menggunakan segala cara untuk meraih sesuatu? Untuk meraih tujuanmu, engkau tidak boleh mengakui bahwa engkau dapat gagal, engkau tidak boleh percaya bahwa engkau adalah orang biasa, dan engkau tidak boleh percaya bahwa engkau dapat mengikuti jalan yang salah. Selain itu, engkau harus dengan tidak jujur menggunakan segala macam metode dan siasat rahasia untuk mewujudkan ambisi dan keinginanmu. Apakah prinsip pantang menyerah mengandung pesan agar orang menghadapi nasib mereka dengan sikap menunggu dan tunduk? (Tidak.) Tidak. Manusia bersikeras untuk meletakkan nasib mereka sepenuhnya di tangan mereka sendiri. Mereka ingin mengendalikan nasibnya sendiri. Tidak peduli jalan mana yang akan mereka tempuh, apakah mereka akan diberkati atau tidak, atau gaya hidup seperti apa yang akan mereka jalani, merekalah yang harus menjadi penentu akhir dalam segala hal.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, "Lampiran Satu: Apa arti Kebenaran"
"Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", dan juga ungkapan tentang "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", adalah salah satu tuntutan budaya tradisional mengenai perilaku moral manusia. Sebenarnya dalam hal ini, entah seseorang dapat mencapai atau melakukan perilaku moral seperti itu atau tidak, itu tetaplah bukan standar atau norma untuk mengukur kemanusiaan orang itu. Mungkin engkau benar-benar mampu bersikap tegas terhadap dirimu sendiri dan toleran terhadap orang lain, dan engkau menuntut dirimu sendiri dengan standar yang sangat tinggi. Engkau mungkin memiliki moral yang sangat baik dan engkau mungkin selalu memikirkan orang lain dan menunjukkan perhatian kepada mereka, tidak bersikap egois dan mengejar kepentinganmu sendiri. Engkau mungkin tampak sangat murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan moral sosial. Kepribadian dan kualitasmu yang luhur mungkin terlihat oleh orang-orang yang dekat denganmu, dan orang-orang yang kautemui dan yang dengannya engkau berinteraksi. Perilakumu mungkin tidak pernah memberi orang lain alasan untuk menyalahkanmu atau mengkritikmu, malah menimbulkan pujian yang berlebihan dan bahkan kekaguman. Orang-orang mungkin menganggapmu sebagai orang yang benar-benar tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain. Namun, ini adalah perilaku yang hanya tampak di luarnya saja. Apakah pemikiran dan keinginan di lubuk hatimu sama dengan perilaku lahiriah ini, dengan tindakan yang kaulakukan secara lahiriah ini? Jawabannya adalah tidak, tidak sama. Alasan engkau mampu bertindak seperti ini adalah karena ada motif di baliknya. Apa sebenarnya motif itu? Dapatkah engkau berkata bahwa motif itu akan terlihat jelas? Tentu saja tidak. Ini membuktikan bahwa motif ini adalah sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang gelap dan jahat. Jadi, mengapa motif ini tersembunyi dan jahat? Ini karena kemanusiaan orang dikuasai dan didorong oleh watak rusak mereka. Semua pemikiran kemanusiaan, entah orang mengungkapkannya dan memperlihatkannya atau tidak, tak dapat disangkali bahwa pemikiran mereka dikuasai, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh watak rusak mereka. Akibatnya, motif dan niat orang semuanya licik dan jahat. Entah orang mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain atau tidak, atau entah mereka secara lahiriah mengekspresikan moral ini dengan sempurna atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa moral ini tidak akan memiliki kendali atau pengaruh atas kemanusiaan mereka. Jadi, apa yang mengendalikan kemanusiaan orang? Yang mengendalikan adalah watak rusak mereka, esensi kemanusiaan mereka yang tersembunyi di balik moral "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—itulah natur mereka yang sebenarnya. Natur orang yang sebenarnya adalah esensi kemanusiaannya. Lalu terdiri dari apakah esensi kemanusiaan mereka? Ini terutama terdiri dari kesukaan mereka, apa yang mereka kejar, pandangan mereka tentang kehidupan dan sistem nilai mereka, serta sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan, dan sebagainya. Hanya hal-hal inilah yang benar-benar merepresentasikan esensi kemanusiaan orang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar orang yang menuntut diri mereka sendiri untuk mematuhi moral "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", terobsesi dengan status. Didorong oleh watak rusak mereka, mereka tak mampu menahan diri untuk mengejar gengsi di antara manusia, keunggulan sosial, dan status di mata orang lain. Semua hal ini berkaitan dengan keinginan mereka akan status, dan semua ini dikejar dengan memakai kedok perilaku moral baik mereka. Dan berasal dari manakah pengejaran mereka ini? Semua itu sepenuhnya berasal dari dan didorong oleh watak rusak mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, entah seseorang mematuhi moral untuk "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" atau tidak, dan entah dia mematuhinya dengan sempurna atau tidak, ini sama sekali tak dapat mengubah esensi kemanusiaan mereka. Dan ini berarti melakukan hal itu sama sekali tidak dapat mengubah pandangan hidup ataupun sistem nilai dirinya, ataupun menuntun sikap dan sudut pandangnya terhadap segala macam orang, peristiwa, dan berbagai hal. Bukankah itu yang terjadi? (Ya.) Makin seseorang mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain, makin baik dia dalam berpura-pura, dalam menyamarkan dirinya, dan dalam menyesatkan orang lain dengan menggunakan perilaku yang baik dan perkataan yang sedap didengar, dan pada dasarnya dia telah menjadi makin licik dan jahat. Semakin dia menjadi jenis orang seperti ini, kecintaan dan pengejarannya akan status dan kekuasaan menjadi makin mendalam. Sekalipun di luarnya, perilaku moralnya terlihat sangat hebat, mulia, dan benar, dan sekalipun orang menganggapnya menyenangkan untuk dilihat, pengejaran yang tersembunyi di lubuk hatinya, serta esensi natur dirinya, dan bahkan ambisinya dapat muncul dari dirinya setiap saat. Oleh karena itu, sebaik apa pun perilaku orang itu, itu tak bisa menyembunyikan esensi hakiki kemanusiaannya, atau ambisi dan keinginannya. Itu tidak bisa menyembunyikan esensi natur dirinya yang mengerikan yang tidak mencintai hal-hal positif dan yang muak serta membenci kebenaran. Sebagaimana diperlihatkan oleh fakta-fakta ini, pepatah "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" bukan saja tidak masuk akal—pepatah ini juga menyingkapkan tipe orang ambisius yang berusaha menggunakan pepatah dan perilaku seperti itu untuk menutupi ambisi dan keinginan mereka yang tersembunyi. Engkau semua dapat membandingkan ini dengan beberapa antikristus dan orang jahat di gereja. Agar dapat memperkuat status dan kekuasaan mereka di dalam gereja, dan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik di antara anggota lainnya, mereka mampu menjalani penderitaan dan membayar harga saat melaksanakan tugas mereka, dan mereka bahkan mungkin meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dan menjual semua yang mereka miliki untuk mengorbankan diri mereka bagi Tuhan. Dalam beberapa kasus, harga yang mereka bayar dan penderitaan yang mereka jalani ketika mengorbankan diri mereka untuk Tuhan melampaui apa yang mampu ditanggung oleh orang kebanyakan; mereka mampu mewujudkan semangat penyangkalan diri yang ekstrem agar dapat mempertahankan status mereka. Namun, sebanyak apa pun mereka menderita atau berapa pun harga yang mereka bayar, tak satu pun darinya yang menjaga kesaksian Tuhan atau melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mereka juga tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Tujuan yang mereka kejar hanyalah untuk mendapatkan status, kekuasaan, dan upah dari Tuhan. Semua yang mereka lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Seketat apa pun mereka terhadap diri mereka sendiri dan setoleran apa pun mereka terhadap orang lain, kesudahan akhir seperti apa yang akan mereka peroleh? Apa pendapat Tuhan mengenai diri mereka? Akankah Dia menentukan kesudahan mereka berdasarkan perilaku baik lahiriah yang mereka jalani? Tentu saja tidak. Orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan perilaku dan perwujudan ini, dan karena mereka tak dapat mengenali esensi orang lain yang sebenarnya, mereka akhirnya tertipu oleh orang-orang itu. Sedangkan Tuhan, Dia tidak pernah tertipu oleh manusia. Dia sama sekali tidak akan memuji dan mengingat perilaku moral orang karena mereka mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain. Sebaliknya, Dia akan menghukum mereka karena ambisi mereka dan karena jalan yang telah mereka tempuh dalam mengejar status. Oleh karena itu, mereka yang mengejar kebenaran harus memahami yang sebenarnya tentang standar untuk menilai orang ini. Mereka harus sepenuhnya menolak dan meninggalkan standar yang tidak masuk akal ini, dan memiliki kemampuan mengenali orang berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran. Mereka terutama harus melihat apakah seseorang itu mencintai hal-hal positif atau tidak, apakah dia mampu menerima kebenaran atau tidak, apakah dia mampu tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan atau tidak, dan melihat jalan yang dia pilih dan tempuh, serta menggolongkan orang seperti apa dirinya, dan kemanusiaan seperti apa yang dia miliki berdasarkan firman Tuhan dan prinsip kebenaran. Penyimpangan dan kekeliruan sangat mudah muncul ketika orang menilai orang lain berdasarkan standar "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain". Jika engkau secara keliru mengenali dan memandang seseorang berdasarkan prinsip dan pepatah yang berasal dari manusia, engkau akan melanggar kebenaran dan menentang Tuhan dalam hal itu. Mengapa demikian? Alasannya adalah karena dasar pandanganmu tentang orang akan menjadi salah, dan tidak sesuai dengan firman Tuhan dan kebenaran—bahkan mungkin bertentangan dan berlawanan dengan firman Tuhan dan kebenaran. Tuhan tidak menilai kemanusiaan orang berdasarkan pernyataan tentang perilaku moral, "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", jadi jika engkau tetap bersikeras menilai moralitas orang dan menentukan orang seperti apa diri mereka berdasarkan standar ini, maka engkau telah sepenuhnya melanggar prinsip kebenaran, dan engkau pasti akan melakukan kesalahan, dan menyebabkan beberapa kekeliruan dan penyimpangan. Bukankah demikian? (Ya.)
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)"
Ada prinsip dalam falsafah duniawi tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang berbunyi, "Lindungi pertemananmu dengan tak pernah menunjukkan kesalahan orang lain." Itu berarti untuk menjaga hubungan persahabatan, orang harus tutup mulut tentang masalah teman mereka, meskipun mereka melihatnya dengan jelas—bahwa mereka harus menaati prinsip untuk tidak memukul wajah orang atau mengkritik kekurangan mereka. Mereka harus saling menipu, saling menyembunyikan, saling terlibat dalam persekongkolan; dan meskipun mereka tahu betul orang macam apa orang lain itu, mereka tidak mengatakannya secara langsung, tetapi menggunakan cara-cara licik untuk menjaga hubungan persahabatan mereka. Mengapa orang ingin menjaga hubungan seperti itu? Ini karena orang tidak mau menciptakan musuh di tengah masyarakat atau di dalam kelompoknya, karena melakukan ini berarti dia akan sering menempatkan dirinya dalam situasi berbahaya. Karena engkau tahu seseorang akan menjadi musuhmu dan menyakitimu setelah engkau mengkritik kekurangannya atau menyakiti hatinya, karena engkau tidak ingin menempatkan dirimu dalam situasi seperti itu, engkau menggunakan prinsip falsafah duniawi tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang berbunyi, "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka." Berdasarkan falsafah ini, jika dua orang berada dalam hubungan seperti itu, dapatkah mereka dianggap sebagai sahabat sejati? (Tidak.) Mereka bukan sahabat sejati, apalagi orang kepercayaan dari masing-masing mereka. Jadi, sebenarnya hubungan macam apakah ini? Bukankah ini adalah hubungan sosial yang dangkal? (Ya.) Dalam hubungan sosial semacam itu, orang tidak dapat mengungkapkan perasaan mereka, tidak bisa berbicara dari hati ke hati, tidak dapat mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan. Mereka tidak dapat menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka, atau mengemukakan masalah yang mereka lihat dalam diri orang lain, atau mengucapkan perkataan yang akan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, mereka memilih mengucapkan perkataan yang menyenangkan, untuk menyenangkan hati orang lain. Mereka tidak berani mengatakan yang sebenarnya ataupun menjunjung tinggi prinsip, agar orang lain jangan sampai memusuhi mereka. Ketika tak seorang pun mengancam seseorang, bukankah orang tersebut akan hidup relatif tenang dan damai? Bukankah inilah tujuan orang dalam mengucapkan pepatah, "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka"? (Ya.) Jelas, ini adalah cara hidup yang licik dan menipu yang mengandung unsur kewaspadaan, yang tujuannya adalah untuk melindungi diri sendiri. Orang yang hidup seperti ini tidak memiliki sahabat karib, yang dengannya mereka dapat membicarakan apa pun. Mereka bersikap waspada terhadap satu sama lain, saling memanfaatkan, dan mengungguli, masing-masing mengambil apa yang mereka butuhkan dari hubungan tersebut. Bukankah begitu? Kesimpulannya, tujuan dari "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" adalah untuk menjaga agar tidak menyinggung orang lain dan menciptakan musuh, untuk melindungi diri sendiri dengan tidak menyakiti siapa pun. Ini adalah teknik dan metode yang orang gunakan untuk menjaga dirinya agar tidak dirugikan. Melihat pada beberapa aspek dari esensi pernyataan ini, apakah tuntutan di balik perilaku moral "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" adalah prinsip yang mulia? Apakah ini positif? (Tidak.) Lalu, apa yang prinsip ini ajarkan kepada orang? Prinsip ini mengajarkan bahwa engkau tidak boleh menyinggung atau melukai perasaan siapa pun, jika tidak, engkaulah yang pada akhirnya akan dirugikan; dan selain itu, prinsip ini mengajarkan bahwa engkau tidak boleh memercayai siapa pun. Jika engkau melukai perasaan salah satu dari teman baikmu, persahabatan itu akan mulai berubah secara diam-diam. Mereka akan berubah dari yang tadinya teman baik atau teman dekatmu, menjadi orang asing atau musuhmu. Masalah apa yang dapat diselesaikan dengan mengajari orang bertindak seperti itu? Meskipun, dengan bertindak seperti ini, engkau tidak menciptakan musuh dan bahkan mengurangi beberapa musuh, apakah ini akan membuat orang mengagumi dan memujimu, dan selalu mempertahankan pertemanan denganmu? Apakah ini sepenuhnya memenuhi standar perilaku moral? Paling-paling, ini tak lebih dari sekadar falsafah duniawi tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Dapatkah mematuhi pernyataan dan penerapan ini dianggap sebagai perilaku moral yang baik? Sama sekali tidak. Dengan cara seperti inilah sebagian orang tua mendidik anak-anak mereka. Jika anak mereka dipukuli saat berada di luar rumah, mereka berkata kepada anak itu, "Dasar pengecut. Mengapa kau tidak membalas? Jika dia memukulmu, tendang saja dia!" Apakah ini cara yang benar? (Tidak.) Disebut apakah ini? Ini disebut menghasut. Apa tujuan menghasut? Untuk menghindari kerugian dan mengambil keuntungan dari orang lain. Jika seseorang memukulmu, paling-paling tubuhmu akan terasa sakit selama beberapa hari; jika engkau menendang dia, bukankah akan ada akibat yang lebih serius? Dan siapakah yang telah menyebabkan hal ini? (Para orang tua, dengan hasutan mereka.) Bukankah sifat dari pernyataan "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" sama dengan menghasut? Apakah benar berinteraksi dengan orang lain berdasarkan pernyataan ini? (Tidak.) Tidak, tidak benar. Dilihat dari sudut pandang ini, bukankah ini adalah cara untuk menghasut orang? (Ya, benar.) Apakah pernyataan ini mengajarkan orang untuk bersikap bijaksana ketika berinteraksi dengan orang lain, untuk dapat membedakan orang, untuk memandang orang dan hal-hal dengan cara yang benar, dan untuk berinteraksi dengan orang dengan cara yang bijaksana? Apakah pernyataan ini mengajarkanmu bahwa jika engkau bertemu orang yang baik, orang yang memiliki kemanusiaan, engkau harus memperlakukan mereka dengan tulus, memberi mereka bantuan jika engkau mampu, dan jika engkau tidak mampu, maka engkau harus bersikap sabar dan memperlakukan mereka dengan baik, belajar menoleransi kekurangan mereka, menoleransi kesalahpahaman dan penilaian mereka terhadapmu, dan belajar dari kelebihan dan kualitas baik mereka? Apakah itu yang diajarkan pernyataan ini kepada orang-orang? (Tidak.) Jadi, hasil apa yang diperoleh dari apa yang pepatah ini ajarkan? Apakah itu membuat orang menjadi makin jujur, ataukah makin suka menipu? Pepatah ini mengakibatkan orang menjadi makin suka menipu; hati orang makin menjauh, jarak antar orang makin lebar, dan hubungan orang menjadi rumit; itu sama dengan kerumitan dalam hubungan sosial orang. Komunikasi dari hati ke hati antar orang terputus, dan pola pikir yang saling waspada muncul. Dapatkah hubungan orang-orang tetap normal dengan cara seperti ini? Akankah atmosfer sosial membaik? (Tidak.) Jadi, itulah sebabnya pepatah "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" jelas sekali salah. Mengajari orang untuk melakukan hal ini tidak dapat membuat mereka hidup dalam kemanusiaan yang normal; terlebih lagi, itu tidak dapat membuat orang menjadi terbuka, jujur, atau berterus terang. Pepatah ini sama sekali tidak dapat memberikan sesuatu yang positif.
Pepatah "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" mengacu pada dua tindakan: tindakan pertama menyerang, dan tindakan kedua mengkritik. Dalam interaksi normal orang dengan orang lain, apakah memukul seseorang itu benar ataukah salah? (Salah.) Apakah memukul seseorang merupakan demonstrasi dan perilaku kemanusiaan yang normal dalam interaksi orang dengan orang lain? (Tidak.) Memukul orang tentu saja salah, entah engkau memukul wajah mereka atau memukul bagian tubuh lainnya. Jadi, pernyataan "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka" pada dasarnya salah. Menurut pepatah ini, rupanya memukul wajah seseorang tidak benar, tetapi memukul bagian tubuh lainnya diperbolehkan, karena setelah wajah dipukul, wajah menjadi memerah, bengkak, dan terluka. Hal ini membuat orang tersebut terlihat buruk dan tidak terlihat baik, dan pepatah ini juga mengajarimu cara untuk memperlakukan orang dengan cara yang sangat kasar, keras, dan tercela. Jadi, apakah baik memukul orang di bagian tubuh lainnya? Tidak—itu juga tidak baik. Sebenarnya, fokus dari pepatah ini bukanlah di bagian tubuh mana kita memukul seseorang, melainkan fokusnya adalah kata "memukul" itu sendiri. Saat berinteraksi dengan orang lain, jika engkau selalu memukul orang lain sebagai cara untuk menghadapi dan menangani masalah, caramu itu sendiri salah. Itu dilakukan karena terburu nafsu dan tidak didasarkan pada hati nurani dan nalar kemanusiaan, dan terlebih lagi, itu tentu saja bukan menerapkan kebenaran atau menaati prinsip-prinsip kebenaran. Ada orang yang tidak menyerang martabat orang lain di hadapan mereka—orang-orang ini berhati-hati dengan apa yang mereka katakan dan menahan diri untuk tidak memukul orang lain di wajah, tetapi selalu bertindak tidak jujur di belakang orang, menjabat tangan orang di atas meja tetapi menendang orang ke bawah meja, mengatakan hal-hal yang baik di depan orang-orang tetapi bersekongkol melawan orang-orang tersebut di belakang mereka, mencari-cari kesalahan mereka dan memakai kesalahan itu untuk menyerang mereka, menunggu kesempatan untuk membalas dendam, menjebak dan membuat rencana jahat, menyebarkan kabar bohong, atau merekayasa konflik dan memperalat orang lain untuk menyerang mereka. Apakah cara-cara licik ini jauh lebih jahat daripada memukul wajah seseorang? Bukankah cara-cara ini bahkan lebih kejam daripada memukul wajah seseorang? Bukankah cara-cara ini bahkan lebih berbahaya, kejam, dan tak berperikemanusiaan? (Ya, benar.) Jadi, pernyataan "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka" pada dasarnya sia-sia. Sudut pandang ini sendiri merupakan kesalahan, dengan sedikit kepura-puraan. Ini adalah cara yang munafik, yang membuatnya jauh lebih mengerikan, memuakkan, dan menjijikkan. Sekarang jelas bagi kita bahwa memukul orang itu sendiri dilakukan karena terburu nafsu. Atas dasar apa engkau memukul seseorang? Apakah itu disahkan oleh hukum, atau apakah itu hak yang diberikan Tuhan? Jawabannya bukan salah satu dari kedua hal ini. Jadi, mengapa engkau memukul orang? Jika engkau mampu hidup rukun dengan seseorang secara normal, engkau dapat menggunakan cara yang benar untuk bergaul dan berinteraksi dengan mereka. Jika engkau tidak mampu hidup rukun dengan mereka, engkau dapat berpisah tanpa perlu bertindak dengan terburu nafsu atau mulai bertengkar. Dalam lingkup hati nurani dan nalar kemanusiaan, ini seharusnya menjadi sesuatu yang orang lakukan. Segera setelah engkau bertindak dengan terburu nafsu, meskipun engkau tidak memukul wajah orang tersebut tetapi memukul bagian tubuh lainnya, itu adalah masalah serius. Ini bukan cara berinteraksi yang normal. Dengan cara seperti inilah musuh berinteraksi, ini bukan dengan cara normal orang berinteraksi. Ini berada di luar batas akal kemanusiaan. Apakah kata "mengkritik" dalam ungkapan "jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" baik atau buruk? Apakah kata "mengkritik" ini memiliki kesetaraan dengan menyingkapkan atau mengungkapkan orang yang dimaksud dalam firman Tuhan? (Tidak.) Dari pemahaman-Ku tentang kata "mengkritik" yang ada dalam bahasa manusia ini, arti kata itu bukan seperti itu. Pada dasarnya ini adalah suatu bentuk penyingkapan yang kejam; kata ini berarti menyingkapkan masalah dan kekurangan orang, atau beberapa hal dan perilaku yang tidak diketahui orang lain, atau intrik, gagasan, pandangan tertentu di baliknya. Inilah arti kata "mengkritik" dalam ungkapan "jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka". Jika dua orang hidup rukun dan saling percaya, tanpa penghalang di antara mereka, dan masing-masing dari mereka berharap dapat bermanfaat dan membantu satu sama lain, maka yang terbaik bagi mereka adalah duduk bersama dan menjelaskan masalah satu sama lain dengan keterbukaan dan ketulusan. Inilah yang benar, dan ini tidak mengkritik kekurangan orang lain. Jika engkau menemukan masalah orang lain tetapi melihat bahwa mereka belum mampu menerima saranmu, maka jangan mengatakan apa pun, untuk menghindari pertengkaran atau konflik. Jika engkau ingin membantu mereka, tanyakan pendapat mereka dan tanyakan dahulu kepada mereka, "Kulihat kau punya sedikit masalah, dan aku ingin memberimu beberapa saran. Aku tidak tahu apakah kau akan mampu menerimanya. Jika kau mau, aku akan memberitahumu. Jika kau tidak mau, aku tidak akan mengatakannya." Jika mereka berkata, "Aku memercayaimu. Apa pun yang kaukatakan tentunya adalah hal yang dapat diterima. Aku pun akan dapat menerimanya," itu artinya engkau telah diberi izin, dan setelah itu, barulah engkau boleh menyampaikan masalah mereka satu per satu. Mereka bukan saja akan sepenuhnya menerima apa yang kaukatakan, tetapi juga akan mendapat manfaat darinya, dan engkau berdua akan tetap dapat mempertahankan hubungan yang normal. Bukankah itu artinya memperlakukan satu sama lain dengan ketulusan? (Benar.) Inilah cara yang benar untuk berinteraksi dengan orang lain; ini tidak sama dengan mengkritik kekurangan orang lain. Apa arti jangan "mengkritik kekurangan orang lain", seperti yang dimaksudkan pepatah tersebut? Itu artinya tidak membicarakan kekurangan orang lain, tidak membicarakan masalah mereka yang paling tabu, tidak menyingkapkan esensi masalah mereka, dan tidak mengkritiknya secara terang-terangan. Itu berarti hanya membuat beberapa komentar yang dangkal, mengatakan hal-hal yang dikatakan semua orang secara umum, mengatakan hal-hal yang sudah dapat diketahui oleh orang itu sendiri, dan tidak mengungkapkan kesalahan yang orang itu telah lakukan sebelumnya atau masalah sensitif. Apa manfaatnya bagi orang tersebut jika engkau bertindak dengan cara seperti ini? Mungkin engkau tidak akan menghina mereka atau membuat mereka memusuhimu, tetapi apa yang kaulakukan sama sekali tidak membantu atau bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu, ungkapan "jangan singkapkan kekurangan orang lain" itu sendiri artinya mengelak dan merupakan bentuk tipu muslihat yang hanya akan membuatmu tidak dapat memperlakukan satu sama lain dengan ketulusan. Dapat dikatakan bahwa bertindak dengan cara seperti ini berarti menyimpan niat jahat; ini bukan cara yang benar untuk berinteraksi dengan orang lain. Orang tidak percaya bahkan memandang ungkapan "jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka" sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang sangat bermoral. Ini jelas merupakan cara yang licik dalam berinteraksi dengan orang lain, yang orang gunakan untuk melindungi diri mereka sendiri; ini sama sekali bukan cara berinteraksi yang benar.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (8)"
Pepatah tentang perilaku moral "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan", yang dianjurkan dalam budaya tradisional Tiongkok, adalah sebuah doktrin yang membatasi dan mencerahkan orang. Pepatah ini hanya meredakan perselisihan kecil dan konflik sepele, tetapi sama sekali tidak berpengaruh untuk orang-orang yang menyimpan kebencian mendalam. Apakah orang yang mengajukan tuntutan ini benar-benar memahami kemanusiaan manusia? Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang mengajukan tuntutan ini sama sekali tidak mengerti tentang seberapa besar kemampuan toleransi hati nurani dan akal sehat manusia. Mengajukan teori seperti ini hanyalah agar mereka terlihat bermartabat dan luhur, serta mendapatkan persetujuan dan sanjungan orang. Sebenarnya, mereka tahu betul jika seseorang merusak martabat atau karakter seseorang, merugikan kepentingannya, atau bahkan berdampak pada prospek masa depan dan seluruh hidupnya, maka dari sudut pandang natur manusia, pihak yang dirugikan harus membalas. Sebanyak apa pun hati nurani dan akal sehat yang dia miliki, dia tidak akan membiarkannya begitu saja. Paling-paling, hanya taraf dan cara pembalasannya yang akan berbeda. ...
Mengapa orang mampu melepaskan kebencian? Apa alasan utamanya? Di satu sisi, mereka dipengaruhi oleh pepatah tentang perilaku moral ini—"Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan". Di sisi lain, ada kekhawatiran di benak mereka bahwa jika mereka menyimpan keluhan kecil, selalu membenci orang, dan tidak toleran terhadap orang lain, mereka tidak akan dapat memiliki kedudukan yang stabil di tengah masyarakat, akan dikecam oleh opini publik, dan ditertawakan orang. Jadi, dengan enggan dan tidak rela, mereka harus menelan amarah mereka. Di satu sisi, secara naluriah, manusia yang hidup di dunia ini tidak mampu menanggung semua penindasan, luka yang tak masuk akal, dan perlakuan yang tidak adil seperti ini. Dengan kata lain, kemanusiaan orang tidak memiliki kemampuan untuk menanggung hal-hal ini. Oleh karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi untuk mengajukan tuntutan "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan" kepada siapa pun. Di sisi lain, jelaslah bahwa pemikiran dan pandangan seperti itu juga memengaruhi atau memutarbalikkan pandangan dan sudut pandang orang terhadap hal-hal ini, sehingga mereka tidak mampu memperlakukan hal-hal semacam itu dengan benar dan malah menganggap pepatah seperti "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan" sebagai hal yang benar dan positif. Ketika orang mengalami perlakuan tidak adil, agar dapat menghindari kecaman orang banyak, mereka tidak punya pilihan selain memendam penghinaan dan perlakuan tidak adil yang telah mereka alami, dan menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Meskipun mulut mereka mengatakan hal yang terdengar muluk seperti "'Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan'. Sudahlah, tidak ada gunanya membalas dendam, semua itu sudah berlalu", naluri manusia membuat mereka tak pernah mampu melupakan luka yang telah ditimbulkan oleh peristiwa ini terhadap diri mereka. Dengan kata lain, luka yang telah didapatkan tubuh dan pikiran mereka tidak akan pernah terhapuskan atau memudar. Ketika orang berkata, "Lupakanlah kebencian itu, masalah ini sudah selesai, semua itu sudah berlalu," itu hanyalah kepalsuan yang dibentuk semata-mata oleh paksaan dan pengaruh gagasan dan pandangan seperti "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan". Tentu saja, orang-orang juga dibatasi oleh gagasan dan pandangan semacam itu, hingga mereka berpikir jika mereka tidak berhasil menerapkannya, jika mereka tidak memiliki hati atau kemurahan hati untuk bersikap toleran jika memungkinkan, maka mereka akan dipandang rendah dan dikecam oleh semua orang, dan mereka bahkan akan makin didiskriminasi di tengah masyarakat atau dalam komunitas mereka. Apa akibatnya jika orang didiskriminasi? Didiskriminasi berarti ketika engkau berinteraksi dengan orang dan menjalankan bisnismu, orang akan berkata, "Orang ini berpikiran sempit dan pendendam. Berhati-hatilah saat berurusan dengannya!" Ini secara efektif menjadi rintangan tambahan ketika engkau menjalankan bisnismu di tengah masyarakat. Mengapa ada rintangan tambahan ini? Karena masyarakat secara umum dipengaruhi oleh gagasan dan pandangan seperti "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan". Norma-norma masyarakat secara umum menghormati pemikiran semacam itu, dan seluruh masyarakat dibatasi, dipengaruhi, dan dikendalikan olehnya. Jadi jika engkau tidak mampu menerapkan norma tersebut, akan sulit untuk memiliki kedudukan yang stabil di tengah masyarakat dan bertahan dalam komunitasmu. Oleh karena itu, ada orang-orang yang tidak punya pilihan selain tunduk pada norma-norma sosial semacam itu dan mengikuti pepatah dan pandangan seperti "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan", menjalani kehidupan yang menyedihkan. Berdasarkan fenomena ini, bukankah mereka yang disebut kaum moralis memiliki tujuan dan niat tertentu ketika menganjurkan pepatah tentang gagasan dan pandangan moral ini? Apakah mereka menganjurkannya agar manusia dapat hidup lebih bebas, dan agar tubuh, pikiran, dan jiwa mereka menjadi lebih merdeka? Atau apakah mereka menganjurkannya agar orang dapat hidup lebih bahagia? Tentu saja tidak. Pepatah-pepatah tentang perilaku moral ini sama sekali tidak melayani kebutuhan kemanusiaan normal orang, dan terlebih lagi, pepatah-pepatah ini dianjurkan bukan untuk membuat orang hidup dalam kemanusiaan yang normal. Sebaliknya, pepatah-pepatah ini sepenuhnya mendukung ambisi kelompok penguasa untuk mengendalikan rakyat dan memperkuat kekuasaan mereka sendiri. Pepatah-pepatah ini sebenarnya membantu kelompok penguasa, dan dianjurkan agar mereka dapat mengendalikan tatanan sosial dan norma-norma sosial, menggunakan hal-hal ini untuk mengekang setiap orang, setiap keluarga, setiap individu, setiap komunitas, setiap kelompok, dan masyarakat yang dibentuk oleh berbagai kelompok. Di tengah masyarakat semacam itu, di bawah indoktrinasi, pengaruh, dan penanaman gagasan serta pandangan moral semacam itu, muncul dan terbentuklah gagasan serta pandangan moral yang diterima secara umum oleh masyarakat tersebut. Pembentukan moralitas sosial dan norma-norma sosial ini tidak kondusif lagi untuk kelangsungan hidup manusia, juga tidak kondusif lagi untuk mengembangkan dan memurnikan pemikiran manusia, juga tidak kondusif lagi untuk meningkatkan kemanusiaan orang. Sebaliknya, karena munculnya gagasan dan pandangan moral ini, pemikiran manusia dibatasi dalam jangkauan yang dapat dikendalikan. Jadi, siapakah yang pada akhirnya diuntungkan? Apakah manusia? Ataukah kelompok penguasa? (Kelas penguasa.) Benar, kelas penguasalah yang diuntungkan pada akhirnya. Dengan aturan moral ini sebagai dasar pemikiran dan perilaku moral mereka, manusia lebih mudah diatur, lebih cenderung menjadi warga negara yang patuh, lebih mudah dimanipulasi, lebih mudah dikendalikan oleh berbagai pepatah dari aturan-aturan moral dalam segala sesuatu yang mereka lakukan, dan lebih mudah dikendalikan oleh sistem sosial, moralitas sosial, norma-norma sosial, dan opini publik. Dengan demikian, sampai taraf tertentu, orang-orang yang tunduk pada sistem sosial, lingkungan moral, dan norma-norma sosial yang sama pada dasarnya memiliki gagasan, pandangan, dan dasar yang sama tentang bagaimana mereka harus berperilaku, karena gagasan dan pandangan mereka telah diproses dan distandarisasi oleh mereka yang disebut kaum moralis, pemikir, dan pendidik. Apa arti kata "sama" dalam hal ini? Itu berarti semua orang yang diatur—termasuk pemikiran dan kemanusiaan normal mereka—telah dibaurkan dan dibatasi oleh pepatah-pepatah dari aturan-aturan moral ini. Pemikiran orang dibatasi, termasuk mulut dan otak mereka. Semua orang dipaksa untuk menerima gagasan moral dan pandangan budaya tradisional ini. Di satu sisi, mereka menggunakannya untuk menilai dan membatasi perilaku mereka sendiri, dan di sisi lain, untuk menilai orang lain dan masyarakat ini. Tentu saja, pada saat yang sama, mereka juga dikendalikan oleh opini publik yang berpusat pada pepatah-pepatah dari aturan-aturan moral ini. Jika engkau menganggap caramu melakukan segala sesuatu bertentangan dengan pepatah "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan", engkau akan merasa sangat sedih dan gelisah, dan segera terpikir olehmu bahwa "seandainya aku tak mampu bersikap toleran jika memungkinkan, jika aku sangat picik dan berpikiran sempit seperti orang berotak kerdil, dan aku tidak mampu melepaskan kebencian sekecil apa pun, tetapi menyimpan kebencian itu sepanjang waktu, akankah aku ditertawakan? Akankah aku didiskriminasi oleh rekan kerja dan teman-temanku?" Jadi, engkau harus berpura-pura bersikap sangat murah hati. Jika orang memiliki perilaku ini, apakah itu berarti mereka dikendalikan oleh opini publik? (Ya.) Secara objektif, di lubuk hatimu ada belenggu yang tak terlihat, dengan kata lain, opini publik dan kecaman seluruh masyarakat bagaikan belenggu yang tak terlihat bagimu.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (9)"
Maksud dari pepatah "Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya", adalah bahwa engkau hanya boleh memberikan atau menyediakan hal-hal yang engkau sendiri sukai dan nikmati kepada orang lain. Namun, hal-hal apa sajakah yang disukai dan dicintai oleh orang yang rusak? Hal-hal yang rusak, hal-hal yang tidak masuk akal, dan keinginan yang berlebihan. Jika engkau memberikan dan menyediakan hal-hal yang negatif ini kepada orang-orang, bukankah semua manusia akan menjadi semakin rusak? Hal-hal positif akan menjadi makin berkurang. Bukankah ini yang sebenarnya terjadi? Sebenarnya, umat manusia telah dirusak sedemikian dalamnya. Manusia yang rusak suka mengejar ketenaran, keuntungan, status, dan kenikmatan daging; mereka ingin menjadi orang terkenal, menjadi orang hebat dan manusia super. Mereka menginginkan kehidupan yang nyaman dan enggan bekerja keras; mereka ingin semuanya diberikan kepada mereka tanpa harus bekerja. Sangat sedikit dari mereka yang mencintai kebenaran atau hal-hal yang positif. Jika orang memberikan dan menyediakan kerusakan dan kegemaran mereka kepada orang lain, apa yang akan terjadi? Akibatnya pastilah seperti yang kaubayangkan: manusia hanya akan menjadi makin rusak. Para pendukung gagasan "Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya", menuntut orang-orang untuk menyediakan dan memberikan kerusakan, kegemaran, dan keinginan mereka yang berlebihan kepada orang lain, mendorong orang untuk mengejar kejahatan, kenikmatan, kenaikan jabatan, dan kekayaan. Apakah ini jalan yang benar dalam hidup? Jelas terlihat bahwa pepatah "Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya" adalah pepatah yang sangat bermasalah. Kelemahan dan kekurangan di dalam pepatah ini sangat jelas terlihat; bahkan tidak ada gunanya menganalisis dan memahaminya. Dengan sedikit pemeriksaan, kekeliruan dan ketidakwajarannya terlihat jelas. Namun, ada banyak di antaramu yang mudah diyakinkan dan dipengaruhi oleh pepatah ini dan menerimanya tanpa kearifan. Saat berinteraksi dengan orang lain, engkau sering menggunakan pepatah "jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya" untuk menegur dirimu sendiri dan menasihati orang lain. Dengan melakukan hal ini, engkau menganggap karaktermu sangat luhur, dan menganggap perilakumu sangat bernalar. Namun tanpa kausadari, pepatah ini telah menyingkapkan prinsip yang mendasari tindakanmu dan pendirianmu terhadap masalah. Pada saat yang sama, engkau telah menyesatkan dan menjerumuskan orang lain agar mereka memperlakukan orang dan keadaan dengan pandangan dan sikap yang sama seperti dirimu. Engkau telah bertindak seperti orang yang tidak berpihak kepada siapa pun, dan sepenuhnya mengambil jalan tengah. Engkau berkata, "Apa pun masalahnya, tidak perlu menganggapnya serius. Jangan menyulitkan diri sendiri atau orang lain. Jika engkau menyulitkan orang lain, engkau juga akan menyulitkan dirimu sendiri. Bersikap baik kepada orang lain artinya bersikap baik kepada dirimu sendiri. Jika engkau bersikap keras terhadap orang lain, artinya engkau juga bersikap keras kepada dirimu sendiri. Untuk apa menempatkan dirimu dalam posisi yang sulit? Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya adalah hal terbaik yang dapat kaulakukan untuk dirimu sendiri, dan merupakan hal yang paling penuh toleransi." Sikap ini jelas merupakan sikap yang tidak teliti dalam hal apa pun. Engkau tidak memiliki pendirian atau sudut pandang yang benar tentang masalah apa pun; engkau memiliki pandangan yang bingung tentang segala sesuatu. Engkau tidak teliti dan hanya berpura-pura tidak melihat apa pun. Ketika akhirnya engkau berdiri di hadapan Tuhan dan harus memberi pertanggungjawaban, itu akan menjadi kebingungan besar. Mengapa demikian? Karena engkau selalu berkata bahwa engkau tidak boleh memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya. Ini memberimu kenyamanan dan kenikmatan luar biasa, tetapi pada saat yang sama, ini akan menimbulkan masalah besar bagimu, sehingga membuatmu tidak dapat memiliki pandangan atau pendirian yang jelas dalam banyak hal. Tentu saja, itu juga membuatmu tak mampu memahami dengan jelas apa tuntutan dan standar Tuhan bagimu ketika engkau menghadapi situasi tertentu, atau hasil apa yang seharusnya kaucapai. Hal-hal ini terjadi karena engkau tidak teliti dalam apa pun; itu disebabkan oleh sikap dan pandanganmu yang bingung. Apakah tidak memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya merupakan sikap toleran yang seharusnya kaumiliki terhadap orang dan segala sesuatu? Tidak. Itu hanyalah sebuah teori yang tampak benar, luhur, dan baik di luarnya, tetapi sebenarnya merupakan hal yang sepenuhnya negatif. Terlebih lagi, itu jelas bukanlah prinsip kebenaran yang harus orang patuhi. Tuhan tidak menuntut orang agar tidak memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya, sebaliknya Dia menuntut orang untuk mengerti dengan jelas tentang prinsip-prinsip yang harus mereka patuhi ketika menangani berbagai situasi. Jika itu benar dan sesuai dengan kebenaran dalam firman Tuhan, maka engkau harus berpegang teguh padanya. Dan engkau bukan saja harus berpegang teguh padanya, engkau juga harus menasihati, meyakinkan, dan mempersekutukannya kepada orang lain agar mereka mengerti apa sebenarnya yang merupakan maksud Tuhan, dan apa sebenarnya yang merupakan prinsip kebenaran. Ini adalah tanggung jawab dan kewajibanmu. Tuhan tidak memintamu untuk mengambil jalan tengah, dan Dia terlebih lagi tidak memintamu untuk memamerkan betapa murah hatinya dirimu. Engkau harus berpegang teguh pada hal-hal yang telah Tuhan peringatkan dan ajarkan kepadamu, dan berpegang teguh pada apa yang Tuhan katakan dalam firman-Nya: tuntutan, standar, dan prinsip kebenaran yang harus orang patuhi. Engkau bukan saja harus berpaut dan berpegang teguh pada semua itu untuk selamanya, tetapi engkau juga harus menerapkan prinsip-prinsip kebenaran ini dengan cara menjadi teladan, serta meyakinkan, mengawasi, membantu, dan membimbing orang lain untuk berpegang teguh, mematuhi, dan menerapkan prinsip kebenaran ini dengan cara yang sama seperti yang kaulakukan. Tuhan menuntutmu melakukan hal ini—inilah yang Dia percayakan kepadamu. Engkau tidak dapat hanya menuntut dirimu untuk menerapkannya sembari mengabaikan orang lain. Tuhan menuntut agar engkau mengambil pendirian yang benar terhadap masalah, berpegang teguh pada standar yang benar, dan mengetahui dengan tepat apa standar yang ada dalam firman Tuhan, dan agar engkau mengetahui dengan tepat apa yang merupakan prinsip kebenaran. Meskipun engkau tidak mampu mencapainya, meskipun engkau tidak mau, meskipun engkau tidak menyukainya, meskipun engkau memiliki gagasan tertentu, atau meskipun engkau menentangnya, engkau harus memperlakukannya sebagai tanggung jawabmu, sebagai kewajibanmu. Engkau harus mempersekutukan kepada orang-orang hal-hal positif yang berasal dari Tuhan, hal-hal yang benar dan tepat, dan menggunakannya untuk membantu, memengaruhi, dan membimbing orang lain, sehingga orang dapat memperoleh manfaat dan terdidik dalam kerohanian mereka, dan menempuh jalan yang benar dalam hidup mereka. Ini adalah tanggung jawabmu, dan engkau tidak boleh dengan keras kepala berpaut pada gagasan "Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya" yang telah Iblis tanamkan ke dalam pikiranmu. Di mata Tuhan, pepatah itu hanyalah falsafah duniawi; itu adalah cara berpikir yang mengandung tipu muslihat Iblis; itu bukan jalan yang benar, juga bukan hal yang positif. Yang Tuhan tuntut darimu hanyalah agar engkau menjadi orang yang jujur yang memahami dengan jelas apa yang boleh dan tidak boleh kaulakukan. Dia tidak memintamu untuk menjadi penyenang orang atau orang yang tidak berpihak kepada siapa pun; Dia tidak memintamu untuk mengambil jalan tengah. Hal-hal yang berkaitan dengan prinsip kebenaran, engkau harus mengatakan apa yang perlu dikatakan, dan memahami apa yang perlu dipahami. Jika seseorang tidak memahami sesuatu tetapi engkau memahaminya, dan engkau mampu memberikan petunjuk dan membantunya, maka engkau harus memenuhi tanggung jawab dan kewajiban ini. Engkau tidak boleh hanya berpangku tangan dan menonton, dan terlebih lagi, engkau tidak boleh berpaut pada falsafah yang telah Iblis tanamkan ke dalam pikiranmu seperti jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Apa yang benar dan positif sesungguhnya adalah hal yang benar dan positif meskipun engkau tidak menyukainya, meskipun engkau tidak bersedia melakukannya, tidak mampu melakukan dan mencapainya, menentangnya, atau memiliki gagasan terhadapnya. Esensi kebenaran firman Tuhan tidak akan berubah hanya karena manusia memiliki watak yang rusak dan memiliki emosi, perasaan, keinginan, dan gagasan tertentu. Esensi kebenaran firman Tuhan tidak akan pernah berubah selamanya. Segera setelah engkau mengetahui, memahami, mengalami, dan memperoleh kebenaran firman Tuhan, adalah kewajibanmu untuk mempersekutukan kesaksian pengalamanmu kepada orang lain. Ini akan memungkinkan lebih banyak orang untuk mengerti maksud Tuhan, memahami dan memperoleh kebenaran, memahami tuntutan dan standar Tuhan, dan memahami prinsip-prinsip kebenaran. Dengan melakukannya, orang-orang ini akan memperoleh jalan penerapan ketika mereka menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari dan tidak akan menjadi kacau atau terbelenggu oleh berbagai gagasan dan pandangan Iblis. Pepatah tentang perilaku moral "Jangan memaksa orang lain melakukan apa yang kau sendiri tak ingin melakukannya" sebenarnya adalah rencana licik Iblis untuk mengendalikan pikiran orang. Jika engkau selalu berpaut pada pepatah ini, engkau adalah orang yang hidup berdasarkan falsafah Iblis; orang yang sepenuhnya hidup dalam watak Iblis.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (10)"
Pada zaman atau di kelompok etnis mana pun di mana pepatah ini digunakan, pepatah tentang perilaku moral "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman" ini sangat dijunjung tinggi. Dengan kata lain, pepatah ini relatif sesuai dengan hati nurani dan nalar kemanusiaan. Lebih tepatnya, pepatah ini sesuai dengan konsep "persaudaraan" yang dianut orang dalam hati nurani mereka. Orang yang menghargai persaudaraan akan bersedia mengorbankan dirinya untuk seorang teman. Betapapun sulit dan berbahayanya situasi yang dihadapi temannya, dia akan maju dan bersedia mengorbankan diri untuknya. Ini adalah semangat mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain. Yang ditanamkan oleh pepatah tentang perilaku moral "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman" pada dasarnya adalah untuk menghargai persaudaraan. Standar yang harus dijunjung tinggi oleh kemanusiaan adalah bahwa orang harus menghargai persaudaraan: itulah esensi dari pepatah ini. ...
Apa yang salah dengan gagasan dan pandangan seperti "bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman"? Pertanyaan ini sebenarnya cukup sederhana dan tidak sulit. Tak seorang pun yang hidup di dunia yang melompat keluar dari retakan di bebatuan. Setiap orang memiliki orang tua dan anak, setiap orang memiliki kerabat, tak seorang pun ada seorang diri di dunia ini. Apa maksud-Ku mengatakan hal ini? Maksud-Ku, engkau hidup di dunia ini, dan engkau memiliki kewajibanmu sendiri yang harus kaupenuhi. Pertama, engkau harus menafkahi orang tuamu, dan kedua, engkau harus membesarkan anak-anakmu. Ini adalah tanggung jawabmu dalam keluarga. Di tengah masyarakat, engkau pun memiliki tanggung jawab dan kewajiban sosial yang harus kaupenuhi. Engkau harus memainkan peran di tengah masyarakat, seperti menjadi seorang karyawan, petani, pengusaha, murid atau cendekiawan. Dari keluarga hingga masyarakat, ada banyak tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi. Artinya, selain makanan, pakaian, rumah dan transportasi, engkau memiliki banyak hal yang harus kaulakukan, dan juga ada banyak hal yang seharusnya kaulakukan serta banyak kewajiban yang harus kaupenuhi. Selain menempuh jalan yang benar ini, yakni jalan percaya kepada Tuhan, sebagai individu, engkau memiliki banyak tanggung jawab keluarga dan kewajiban sosial yang harus kaupenuhi. Engkau tidak hidup seorang diri. Tanggung jawab di pundakmu bukan hanya untuk berteman dan bersenang-senang, atau menemukan seseorang yang dapat kauajak bicara dan yang dapat membantumu. Sebagian besar tanggung jawabmu—dan tanggung jawabmu yang terpenting—berkaitan dengan keluargamu dan masyarakat. Hanya jika engkau memenuhi tanggung jawab keluarga dan kewajiban sosialmu dengan baik, barulah kehidupanmu sebagai manusia akan dianggap lengkap dan sempurna. Jadi, tanggung jawab apa sajakah yang harus kaupenuhi dalam keluargamu? Sebagai seorang anak, engkau harus berbakti kepada orang tuamu dan menafkahi mereka. Setiap kali orang tuamu sakit atau mengalami kesulitan, engkau harus melakukan semua yang mampu kaulakukan. Sebagai orang tua, engkau harus berpeluh dan mengerahkan segenap kemampuanmu, bekerja keras dan menanggung kesukaran untuk menafkahi seluruh keluarga, dan memikul tanggung jawab yang berat sebagai orang tua, membesarkan anak-anakmu, mendidik mereka untuk mengikuti jalan yang benar, dan membuat mereka memahami prinsip-prinsip cara berperilaku. Jadi, engkau memiliki banyak tanggung jawab dalam keluargamu. Engkau harus menafkahi orang tuamu dan memikul tanggung jawab membesarkan anak-anakmu. Ada banyak hal semacam itu yang harus kaulakukan. Dan apa tanggung jawabmu di tengah masyarakat? Engkau harus mematuhi hukum dan peraturan, engkau harus memiliki prinsip ketika berinteraksi dengan orang lain, engkau harus berupaya sebaik mungkin saat bekerja, dan mengatur kariermu dengan baik. Delapan puluh atau sembilan puluh persen waktu dan tenagamu harus digunakan untuk hal-hal ini. Dengan kata lain, peran apa pun yang kaumainkan dalam keluargamu atau di tengah masyarakat, jalan apa pun yang kautempuh, apa pun ambisi dan cita-citamu, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk dipikul yang sangat penting bagi mereka secara pribadi, dan yang menghabiskan hampir seluruh waktu dan tenaga mereka. Dari sudut pandang tanggung jawab keluarga dan sosial, apa nilai dirimu sebagai manusia dan apa nilai hidupmu dilahirkan ke dunia ini? Nilai diri dan hidupmu adalah untuk memenuhi tanggung jawab dan misi yang Tuhan berikan kepadamu. Hidupmu bukan milikmu sendiri, dan tentu saja bukan milik orang lain. Hidupmu ada untuk misi dan tanggung jawabmu, dan untuk tanggung jawab, kewajiban, dan misi yang harus kaupenuhi di dunia ini. Hidupmu bukan milik orang tuamu, bukan milik istri (suamimu), dan tentu saja bukan milik anak-anakmu. Terlebih lagi, hidupmu bukanlah milik keturunanmu. Jadi milik siapakah hidupmu? Jika memandangnya dari sudut pandang seorang manusia di dunia, hidupmu adalah milik tanggung jawab dan misi yang Tuhan berikan kepadamu. Namun, dari sudut pandang orang percaya, hidupmu seharusnya menjadi milik Tuhan, karena Dialah yang mengatur dan berdaulat atas segala sesuatu tentang dirimu. Oleh karena itu, sebagai manusia yang hidup di dunia, engkau tidak boleh sembarangan menjanjikan hidupmu kepada orang lain, dan engkau tidak boleh sembarangan mengorbankan nyawamu untuk siapa pun demi persaudaraan. Dengan kata lain, engkau tidak boleh menganggap remeh hidupmu sendiri. Hidupmu tidak berharga bagi siapa pun, khususnya bagi Iblis, bagi masyarakat ini, dan bagi umat manusia yang rusak ini, tetapi bagi orang tua dan kerabatmu, hidupmu adalah yang paling penting, karena ada hubungan yang tidak terpisahkan antara tanggung jawabmu dan kelangsungan hidup mereka. Tentu saja, yang jauh lebih penting lagi adalah, ada hubungan yang tak terpisahkan antara hidupmu dan fakta bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu dan atas seluruh umat manusia. Hidupmu sangat diperlukan di antara banyak kehidupan yang atasnya Tuhan berdaulat. Mungkin engkau tidak menghargai hidupmu setinggi itu, dan mungkin engkau tidak seharusnya menghargai hidupmu setinggi itu, tetapi kenyataannya adalah hidupmu sangat penting bagi orang tua dan kerabatmu, yang dengannya engkau memiliki ikatan yang erat dan hubungan yang tak terpisahkan. Mengapa Kukatakan itu? Karena engkau memiliki tanggung jawab terhadap mereka, mereka juga memiliki tanggung jawab terhadapmu, engkau memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat ini, dan tanggung jawabmu terhadap masyarakat berkaitan dengan peranmu di tengah masyarakat ini. Bagi Tuhan, peran setiap orang dan setiap makhluk hidup sangat diperlukan, dan semuanya merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kedaulatan Tuhan atas manusia, dunia ini, bumi ini, dan alam semesta ini. Di mata Tuhan, meskipun setiap kehidupan jauh lebih tidak penting daripada sebutir pasir, dan bahkan jauh lebih hina daripada seekor semut; tetapi karena setiap manusia adalah nyawa, nyawa yang hidup dan bernapas, maka karena itulah, dalam kedaulatan Tuhan, meskipun peran yang dimainkan orang tersebut tidak penting, dia juga sangat diperlukan. Jadi, dipandang dari aspek-aspek ini, jika seseorang tanpa ragu bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman dan bukan saja berpikir untuk melakukannya, tetapi siap untuk melakukannya setiap saat, menyerahkan nyawanya sendiri tanpa memperhatikan tanggung jawab keluarganya, tanggung jawab sosialnya, dan bahkan misi dan tugas yang diberikan Tuhan di pundaknya, bukankah itu salah? (Ya.) Ini adalah pengkhianatan! Hal paling berharga yang Tuhan anugerahkan kepada manusia adalah napas yang disebut nyawa ini. Jika engkau dengan sembarangan menjanjikan nyawamu kepada seorang teman yang kepadanya engkau mengira dapat memercayakan nyawamu, bukankah ini berarti pengkhianatan terhadap Tuhan? Bukankah ini berarti tidak menghargai nyawamu? Bukankah ini adalah tindakan pemberontakan terhadap Tuhan? Apakah ini adalah tindakan pengkhianatan terhadap Tuhan? (Ya.) Ini jelas sekali melepaskan tanggung jawab yang seharusnya kaupenuhi dalam keluargamu dan di tengah masyarakat, serta melalaikan misi yang telah Tuhan berikan kepadamu. Ini adalah pengkhianatan. Hal terpenting dalam kehidupan seseorang tidak lebih daripada tanggung jawab yang harus orang penuhi dalam hidup ini—tanggung jawab keluarga, tanggung jawab sosial, dan misi yang telah Tuhan berikan kepadamu. Hal yang terpenting adalah tanggung jawab dan misi ini. Jika engkau kehilangan nyawamu karena dengan sembarangan mengorbankannya demi orang lain karena rasa persaudaraan sesaat dan sikap terburu nafsu yang sesaat, apakah tanggung jawabmu masih ada? Lalu bagaimana engkau bisa berbicara tentang misi? Engkau jelas sekali tidak menghargai nyawa yang Tuhan anugerahkan kepadamu sebagai hal yang paling berharga, tetapi sebaliknya dengan sembarangan menjanjikannya kepada orang lain, menyerahkan nyawamu untuk orang lain, sepenuhnya mengabaikan atau meninggalkan tanggung jawabmu kepada keluargamu dan masyarakat, di mana ini tidak bermoral dan tidak adil. Jadi, apa yang sedang berusaha Kusampaikan kepadamu? Jangan dengan sembarangan menyerahkan nyawamu atau menjanjikannya kepada orang lain. Ada orang-orang yang berkata, "Bolehkah aku menjanjikannya kepada orang tuaku? Bagaimana kalau berjanji kepada kekasihku, apakah boleh?" Tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Tuhan menganugerahkan nyawa kepadamu dan membiarkanmu terus hidup agar engkau dapat memenuhi tanggung jawabmu kepada keluarga dan masyarakat dan memenuhi misi yang Tuhan percayakan kepadamu, bukan agar engkau memperlakukan nyawamu sendiri sebagai lelucon dengan menjanjikannya kepada orang lain, memberikannya kepada orang lain, mengorbankannya untuk orang lain, dan mengabdikannya untuk orang lain. Jika seseorang kehilangan nyawanya, dapatkah dia tetap memenuhi tanggung jawab keluarga dan sosial serta misinya? Masih dapatkah itu dilakukan? (Tidak.) Dan ketika tanggung jawab keluarga dan sosial seseorang tidak ada lagi, masih adakah peran sosial yang mereka lakukan? (Tidak.) Ketika peran sosial yang dilakukan seseorang sudah tidak ada lagi, apakah misi orang tersebut masih ada? Tidak ada. Ketika misi dan peran sosial seseorang tidak ada lagi, masih adakah hal-hal yang atasnya Tuhan berdaulat? Tuhan berdaulat atas makhluk bernyawa, atas manusia yang masih hidup, dan ketika tanggung jawab sosial dan kehidupan mereka sudah tidak ada lagi, dan semua peran sosial mereka tidak ada lagi, apakah ini berarti mencoba membuat manusia, yang atasnya Tuhan berdaulat, dan rencana pengelolaan Tuhan, menjadi sia-sia? Jika engkau melakukan hal ini, bukankah itu pengkhianatan? (Ya.) Ini benar-benar pengkhianatan. Nyawamu ada hanya untuk tanggung jawab dan misimu, dan nilai hidupmu hanya dapat tercermin dalam tanggung jawab dan misimu. Selain itu, bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman bukanlah tanggung jawab dan misimu. Sebagai manusia yang dianugerahi nyawa oleh Tuhan, memenuhi tanggung jawab dan misi yang Tuhan percayakan kepadamu adalah hal yang harus kaulakukan. Sedangkan, bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman bukanlah tanggung jawab atau misi yang Tuhan berikan kepadamu. Sebaliknya, itu adalah tindakan yang kaulakukan karena rasa persaudaraan, itu adalah khayalanmu sendiri, pemikiranmu tentang kehidupan yang tidak bertanggung jawab, dan tentu saja, itu juga semacam pemikiran yang Iblis tanamkan dalam diri manusia untuk mencemooh dan menginjak-injak hidup manusia.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (10)"
Di tengah masyarakat ini, prinsip orang dalam menghadapi dunia, cara mereka mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup mereka, dan bahkan sikap serta gagasan mereka terhadap agama dan kepercayaan, serta berbagai gagasan dan pandangan mereka terhadap orang dan hal-hal, semua ini pasti dipengaruhi oleh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga. Sebelum orang memahami kebenaran—berapa pun usia mereka, apa pun jenis kelamin mereka, atau apa pun pekerjaan mereka, atau seperti apa pun sikap mereka terhadap segala sesuatu, entah sikap yang ekstrem atau masuk akal—singkatnya, dalam segala hal, pemikiran dan pandangan orang serta sikap mereka terhadap segala sesuatu sangatlah dipengaruhi oleh keluarga. Artinya, berbagai pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam diri orang akan sangat menentukan sikap orang itu terhadap segala sesuatu dan caranya dalam menangani segala sesuatu, serta pandangannya terhadap kelangsungan hidup, dan bahkan memengaruhi iman mereka. Karena pembelajaran dan pembiasaan serta pengaruh keluarga terhadap orang sangatlah signifikan, keluarga dapat dipastikan menjadi sumber dari cara dan prinsip yang orang gunakan dalam menangani segala sesuatu, serta pandangan mereka tentang kelangsungan hidup, dan pandangan mereka tentang iman. Karena rumah keluarga itu sendiri bukanlah tempat munculnya kebenaran, juga bukan sumber kebenaran, maka praktis hanya ada satu dorongan atau tujuan yang memotivasi keluargamu ketika menanamkan dalam dirimu gagasan, sudut pandang, atau metode untuk mempertahankan kelangsungan hidupmu—yaitu bahwa engkau harus bertindak demi kepentingan terbaikmu. Hal-hal yang dimaksudkan untuk kepentingan terbaikmu ini, dari siapa pun itu berasal, baik dari orang tuamu, kakek nenekmu, atau dari nenek moyangmu—singkatnya, semua itu dimaksudkan untuk memampukanmu membela kepentinganmu sendiri di tengah masyarakat dan di antara orang-orang, untuk menghindarkan dirimu agar tidak ditindas, serta untuk memampukanmu hidup di antara orang-orang dengan cara yang lebih tidak terkekang dan diplomatis, serta dimaksudkan untuk melindungi kepentinganmu sendiri semaksimal mungkin. Pembelajaran dan pembiasaan yang kauterima dari keluargamu dimaksudkan untuk melindungimu, menghindarkan dirimu agar tidak ditindas atau mengalami penghinaan apa pun, dan untuk mengubahmu menjadi orang yang lebih unggul, sekalipun itu berarti menindas atau melukai orang lain, asalkan itu tidak merugikan dirimu sendiri. Ini adalah beberapa hal terpenting yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, dan ini juga merupakan esensi dan tujuan utama yang mendasari semua gagasan yang ditanamkan dalam dirimu. Bukankah benar demikian? (Ya.) Jika kaurenungkan tujuan dan esensi dari semua hal yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu, adakah di antaranya yang sesuai dengan kebenaran? Sekalipun hal-hal ini sesuai dengan etika atau hak dan kepentingan kemanusiaan yang sah, apakah semua itu ada kaitannya dengan kebenaran? Apakah semua itu kebenaran? (Bukan.) Dapat dikatakan dengan pasti bahwa semua itu sama sekali bukan kebenaran. Betapa pun positif dan masuk akalnya, betapa pun manusiawi dan etisnya, manusia memercayai hal-hal yang ditanamkan oleh keluargamu dalam dirimu, semua itu bukanlah kebenaran, juga tidak dapat merepresentasikan kebenaran, dan tentu saja, semua itu tidak dapat menggantikan kebenaran. Jadi, dalam pembahasan tentang keluarga, ini adalah aspek lain yang harus orang lepaskan. Apa aspek ini secara spesifik? Aspek ini adalah pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu. Ini adalah aspek kedua yang harus kaulepaskan dalam pembahasan tentang keluarga. Karena kita sedang membahas pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu, mari kita terlebih dahulu membahas apa sebenarnya pengaruh pembelajaran dan pembiasaan ini. Jika kita membedakannya menurut konsep manusia tentang yang benar dan yang salah, beberapa darinya relatif benar, positif, bagus, dan dapat dipertimbangkan, sementara beberapa di antaranya relatif egois, hina, keji, relatif negatif, dan tidak lebih dari itu. Namun bagaimanapun juga, pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu ini seperti lapisan pakaian pelindung yang secara keseluruhan melindungi kepentingan daging seseorang, menjaga martabatnya di antara orang-orang, dan menghindarkannya agar tidak ditindas orang lain. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, mari kita membahas pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Sebagai contoh, ketika orang-orang yang lebih tua di keluargamu sering berkata kepadamu, "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya", tujuan mereka adalah agar engkau mementingkan reputasi yang baik, menjalani kehidupan yang membanggakan, dan tidak melakukan hal-hal yang akan menjadi aib bagimu. Lalu, apakah pepatah ini membimbing orang dengan cara yang positif atau negatif? Dapatkah pepatah ini menuntunmu pada kebenaran? Dapatkah pepatah ini menuntunmu untuk memahami kebenaran? (Tidak.) Dapat dikatakan dengan pasti bahwa jawabannya adalah "Tidak!" Coba renungkan, Tuhan berfirman bahwa manusia itu harus berperilaku jujur. Setelah engkau melanggar, atau melakukan sesuatu yang salah, atau melakukan sesuatu yang memberontak terhadap Tuhan dan menentang kebenaran, engkau harus mengakui kesalahanmu, mengenal dirimu sendiri, dan terus menganalisis dirimu sendiri agar engkau mengalami pertobatan sejati, dan setelah itu, engkau harus bertindak berdasarkan firman Tuhan. Jadi, jika orang berperilaku jujur, apakah tindakan itu bertentangan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya"? (Ya.) Mengapa bertentangan? Karena pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya" dimaksudkan agar orang mementingkan sisi kehidupan mereka yang cerah dan berwarna serta melakukan lebih banyak hal yang akan membuat mereka terlihat baik—alih-alih melakukan hal-hal buruk dan tidak terhormat, atau memperlihatkan sisi buruk mereka—dan menghindarkan diri mereka agar tidak menjalani kehidupan yang tidak memiliki harga diri atau tidak bermartabat. Demi reputasi, demi harga diri dan kehormatannya, orang tidak boleh mengatakan apa pun yang buruk mengenai diri mereka sendiri, apalagi memberi tahu orang lain tentang sisi gelap dan aspek-aspek memalukan dalam dirinya, karena orang haruslah hidup dengan memiliki harga diri dan martabat. Agar memiliki martabat, orang harus memiliki reputasi yang baik, dan untuk memiliki reputasi yang baik, orang harus berpura-pura dan "mengemas" dirinya. Bukankah ini bertentangan dengan berperilaku jujur? (Ya.) Ketika engkau berperilaku jujur, yang kaulakukan itu sepenuhnya bertentangan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya". Jika engkau ingin berperilaku jujur, jangan menganggap penting harga dirimu; harga diri manusia sama sekali tidak berharga. Diperhadapkan dengan kebenaran, orang harus menyingkapkan dirinya, tidak berpura-pura atau menciptakan citra diri yang palsu. Orang harus mengungkapkan kepada Tuhan pemikirannya yang sebenarnya, kesalahan yang pernah dilakukannya, aspek-aspek dirinya yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran, dan sebagainya, dan juga menceritakan yang sebenarnya tentang hal-hal ini kepada saudara-saudari. Orang tidak boleh hidup demi reputasinya, tetapi harus hidup demi dapat berperilaku jujur, hidup demi mengejar kebenaran, hidup demi menjadi makhluk ciptaan sejati, dan hidup demi memuaskan Tuhan dan diselamatkan. Namun, jika engkau tidak memahami kebenaran ini, dan tidak memahami maksud Tuhan, pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu akan cenderung mengendalikanmu. Jadi, ketika engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau menutupinya dan berpura-pura, berpikir, "Aku tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini, dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu tentang hal ini mengatakan apa pun. Jika ada di antaramu yang mengatakannya, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Reputasiku adalah yang utama. Hidup tidak ada gunanya jika bukan demi reputasi, karena reputasi lebih penting daripada apa pun. Jika orang kehilangan reputasinya, berarti dia telah kehilangan seluruh martabatnya. Jadi, kita tidak boleh mengatakan yang sebenarnya, kita harus berpura-pura, kita harus menutupi semuanya, karena jika tidak, kita akan kehilangan reputasi serta martabat kita, dan hidup kita akan menjadi tidak berharga. Jika tak seorang pun menghormati kita, berarti kita hanyalah orang yang tidak berharga, hanya sampah." Mungkinkah engkau berperilaku jujur jika engkau bertindak dengan cara seperti ini? Mungkinkah engkau mampu sepenuhnya terbuka dan menganalisis dirimu sendiri? (Tidak.) Jelaslah bahwa dengan melakukan hal ini, engkau sedang mematuhi pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya" yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu. Namun, jika engkau melepaskan pepatah ini demi mengejar serta menerapkan kebenaran, pepatah ini tidak akan lagi memengaruhimu, dan tidak akan lagi menjadi semboyanmu atau prinsipmu dalam melakukan segala sesuatu, dan sebaliknya, apa yang kaulakukan justru akan berkebalikan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya". Engkau tidak akan hidup demi reputasimu, atau demi martabatmu, sebaliknya, engkau akan hidup demi mengejar kebenaran, demi dapat berperilaku jujur, dan engkau akan berusaha memuaskan Tuhan serta hidup sebagai makhluk ciptaan yang sejati. Jika engkau mematuhi prinsip ini, engkau akan mampu melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Keluarga menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam diri orang bukan hanya dengan menggunakan satu atau dua pepatah, melainkan dengan menggunakan sejumlah kutipan dan peribahasa terkenal. Sebagai contoh, apakah orang-orang yang lebih tua di keluargamu dan orang tuamu sering menyebutkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang"? (Ya.) Mereka bermaksud mengatakan kepadamu: "Orang harus hidup demi reputasi mereka. Orang tidak perlu mengusahakan hal lain dalam hidup mereka selain membangun reputasi yang baik di antara orang-orang dan menciptakan kesan yang baik. Di mana pun engkau berada, engkau harus bermurah hati dalam memberi salam, berbasa-basi, memberi pujian, dan lebih banyak mengucapkan perkataan yang baik. Jangan menyinggung perasaan orang, sebaliknya engkau harus lebih banyak berbuat baik atau melakukan tindakan yang baik." Pengaruh pembelajaran dan pembiasaan tertentu yang keluarga tanamkan ini memiliki dampak tertentu pada perilaku atau prinsip orang dalam berperilaku, dengan akibat yang tak terhindarkan, yaitu mereka akan sangat mementingkan ketenaran dan keuntungan. Artinya, mereka akan sangat mementingkan reputasi dan gengsi mereka sendiri, kesan yang mereka ciptakan di benak orang lain, dan penilaian orang terhadap semua yang mereka lakukan dan setiap pendapat yang mereka ungkapkan. Ketika engkau sangat mementingkan ketenaran dan keuntungan, tanpa kausadari, engkau tidak akan terlalu mementingkan apakah tugas yang kaulaksanakan sesuai dengan kebenaran dan prinsip atau tidak, apakah engkau sedang memuaskan Tuhan atau tidak, dan apakah engkau sedang melaksanakan tugasmu dengan baik atau tidak. Engkau akan menganggap hal-hal ini kurang penting dan lebih rendah prioritasnya, sedangkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu, menjadi sangat penting bagimu. Pepatah ini membuatmu sangat memperhatikan setiap detail tentang dirimu yang mungkin akan muncul di benak orang-orang. Terutama, ada orang-orang yang sangat memperhatikan apa yang sebenarnya orang pikirkan tentang diri mereka di belakang mereka, sampai-sampai mereka menguping dari balik dinding, mendengarkan dari pintu yang setengah terbuka, dan bahkan mencuri lihat apa yang orang lain tulis tentang mereka. Begitu seseorang menyebut nama mereka, mereka berpikir, "Aku harus segera mendengarkan apa yang mereka katakan tentangku, dan apakah mereka berpendapat baik tentangku atau tidak. Ya ampun, mereka berkata bahwa aku malas dan aku senang makan makanan enak. Kalau begitu, aku harus berubah, kelak aku tidak boleh malas, aku harus rajin." Setelah rajin selama beberapa waktu, mereka berpikir, "Aku sudah mendengarkan apakah ada orang yang menganggapku malas atau tidak, dan belakangan ini, tampaknya tak seorang pun mengatakan bahwa aku malas." Namun, mereka tetap gelisah, jadi mereka dengan santai mengungkit hal ini dalam percakapan dengan orang-orang di sekitar mereka, berkata: "Aku ini agak malas." Dan orang lain menjawab: "Kau tidak malas, sekarang kau jauh lebih rajin dibandingkan sebelumnya." Mendengar hal ini, mereka langsung merasa tenang, sangat gembira, dan terhibur. "Lihatlah, pendapat semua orang tentangku telah berubah. Tampaknya semua orang telah memperhatikan peningkatan dalam perilakuku." Segala sesuatu yang kaulakukan bukanlah demi menerapkan kebenaran, juga bukan demi memuaskan Tuhan, melainkan demi reputasimu sendiri. Dengan demikian, telah menjadi apakah semua hal yang kaulakukan? Semua yang kaulakukan telah menjadi tindakan keagamaan. Telah menjadi apakah dirimu pada dasarnya? Engkau telah menjadi tipe khas orang Farisi. Telah menjadi apakah jalan yang kautempuh? Jalanmu telah menjadi jalan antikristus. Seperti itulah cara Tuhan mendefinisikannya. Jadi, semua yang kaulakukan pada dasarnya telah menjadi ternoda, tidak lagi sama; engkau bukan sedang menerapkan kebenaran atau mengejarnya, melainkan sedang mengejar ketenaran dan keuntungan. Pada akhirnya, di mata Tuhan, pelaksanaan tugasmu dapat didefinisikan dengan dua kata, yaitu tidak memadai. Mengapa? Karena engkau mengabdikan dirimu hanya untuk reputasimu sendiri, bukan untuk apa yang telah Tuhan percayakan kepadamu, atau untuk tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Apa yang kaurasakan dalam hatimu ketika Tuhan memberimu definisi semacam ini? Apakah engkau merasa bahwa kepercayaanmu kepada Tuhan selama bertahun-tahun ini sia-sia? Jadi, apakah itu berarti bahwa engkau selama ini sama sekali tidak mengejar kebenaran? Engkau selama ini tidak mengejar kebenaran, tetapi engkau sangat memperhatikan reputasimu sendiri, dan sumber dari hal ini adalah pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang berasal dari keluargamu. Pepatah manakah yang paling tertanam kuat dalam dirimu? Pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", telah berakar kuat dalam hatimu dan telah menjadi semboyanmu. Pepatah ini telah memengaruhimu dan tertanam dalam dirimu sejak engkau masih muda, dan bahkan setelah dewasa, engkau sering mengulang-ulang pepatah ini untuk memengaruhi generasi selanjutnya dari keluargamu dan orang-orang di sekitarmu. Tentu saja, yang lebih parah lagi, engkau telah menggunakan pepatah ini sebagai cara dan prinsipmu dalam berperilaku serta menangani segala sesuatu, dan bahkan sebagai tujuan serta arah yang kaukejar dalam hidupmu. Karena tujuan dan arahmu keliru, hasil akhirnya pasti akan negatif. Karena segala sesuatu yang kaulakukan pada dasarnya hanya demi reputasimu, dan hanya demi menerapkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Engkau tidak sedang mengejar kebenaran, tetapi engkau sendiri tidak mengetahuinya. Engkau mengira bahwa tidak ada yang salah dengan pepatah ini, karena bukankah orang sudah seharusnya hidup demi reputasi mereka? Seperti kata pepatah, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang." Pepatah ini terdengar sangat positif dan dapat dibenarkan, jadi engkau tanpa sadar menerima pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari pepatah ini dan menganggapnya sebagai hal yang positif. Setelah engkau menganggap pepatah ini sebagai hal yang positif, engkau tanpa sadar mengejarnya dan menerapkannya. Pada saat yang sama, engkau tanpa sadar dan dengan bingung salah menafsirkannya sebagai kebenaran dan sebagai standar kebenaran. Ketika engkau menganggapnya sebagai standar kebenaran, engkau tidak lagi mendengarkan apa yang Tuhan firmankan, engkau juga tidak memahaminya. Engkau dengan membabi buta menerapkan semboyan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", dan bertindak berdasarkannya, dan pada akhirnya yang kaudapatkan dari menerapkannya adalah reputasi yang baik. Engkau telah mendapatkan apa yang ingin kaudapatkan, tetapi dengan melakukannya, engkau telah melanggar serta mengabaikan kebenaran, dan engkau telah kehilangan kesempatan untuk diselamatkan. Mengingat bahwa inilah hasil akhirnya, engkau seharusnya melepaskan dan meninggalkan gagasan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Ini bukanlah sesuatu yang harus kaupegang teguh, juga bukan pepatah atau gagasan yang mengharuskanmu mencurahkan upaya dan tenaga seumur hidup untuk menerapkannya. Gagasan dan pandangan yang telah ditanamkan dan diindoktrinasikan dalam dirimu ini keliru, jadi engkau harus melepaskannya. Alasan mengapa engkau harus melepaskannya bukan hanya karena pepatah ini bukanlah kebenaran, tetapi juga karena pepatah ini akan menyesatkanmu dan pada akhirnya akan menuntunmu menuju kehancuran, jadi akibatnya sangatlah serius. Bagimu, ini bukan sekadar pepatah sederhana, melainkan adalah kanker. Ini adalah cara dan metode yang merusak manusia. Karena di dalam firman Tuhan, di antara semua tuntutan-Nya terhadap manusia, Tuhan tidak pernah meminta orang untuk mengejar reputasi yang baik, atau mencari gengsi, atau membuat orang lain memiliki kesan yang baik tentang mereka, atau untuk mendapatkan penerimaan orang, atau membuat orang memberi mereka acungan jempol, dan Dia juga tidak pernah meminta orang untuk hidup demi ketenaran, atau untuk meninggalkan reputasi yang baik. Tuhan hanya ingin orang untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik serta tunduk kepada-Nya dan kebenaran. Oleh karena itu, bagimu, pepatah ini merupakan sejenis pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu yang harus kaulepaskan.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Ada pengaruh pembelajaran dan pembiasaan lain yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Sebagai contoh, ketika orang tuamu atau orang-orang yang lebih tua menyemangatimu, mereka sering berkata, "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain." Tujuan mereka mengatakan ini adalah mengajarimu untuk menanggung penderitaan, untuk rajin dan tekun, serta tidak takut menderita dalam apa pun yang kaulakukan, karena hanya mereka yang menanggung penderitaan, menahan kesukaran, bekerja keras, dan memiliki semangat juang, yang mampu menjadi unggul dari yang lain. Apa yang dimaksud dengan "unggul dari yang lain"? Itu berarti tidak ditindas, atau dipandang rendah, atau didiskriminasi. Itu berarti memiliki martabat dan status yang tinggi di antara orang-orang, memiliki otoritas untuk berbicara dan didengar, dan memiliki otoritas untuk mengambil keputusan. Itu berarti mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas di antara orang-orang, dan membuat orang lain menghormatimu, mengagumimu, dan iri terhadapmu. Pada dasarnya, itu berarti bahwa derajatmu lebih tinggi di antara seluruh umat manusia. Apa yang dimaksud dengan "derajat yang lebih tinggi"? Itu berarti ada banyak orang yang derajatnya lebih rendah daripadamu dan engkau tidak perlu menerima perlakuan buruk dari mereka—inilah yang dimaksud dengan "unggul dari yang lain". Agar dapat menjadi unggul dari yang lain, engkau harus "menanggung penderitaan yang sangat besar", yang berarti bahwa engkau harus mampu menanggung penderitaan yang tidak sanggup ditanggung orang lain. Jadi, sebelum engkau dapat menjadi unggul dari yang lain, engkau harus mampu menahan tatapan menghina dari orang lain, cibiran, sindiran, fitnah, sikap mereka yang tidak pengertian, bahkan cemoohan mereka, dan sebagainya. Selain penderitaan fisik, engkau juga harus mampu menahan sindiran dan ejekan dari opini publik. Hanya dengan belajar menjadi orang semacam ini, barulah engkau dapat lebih menonjol di antara orang-orang, dan mendapat tempat di tengah masyarakat. Tujuan pepatah ini adalah membuat orang menjadi atasan dan bukan menjadi bawahan, karena menjadi bawahan itu sangat berat—engkau harus menerima perlakuan buruk, engkau merasa tidak berguna, serta engkau kehilangan reputasi dan martabat. Ini juga merupakan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, dengan tujuan agar engkau bertindak demi kepentingan terbaikmu. Keluargamu menanamkan hal ini agar engkau tidak perlu menerima perlakuan buruk dari orang lain, agar engkau memiliki ketenaran dan otoritas, bisa makan enak dan bersenang-senang, dan agar di mana pun engkau berada, tak seorang pun akan berani menindasmu, melainkan engkau dapat bertindak seperti seorang tiran dan menjadi penentu keputusan, dan semua orang akan memperlakukanmu dengan penuh hormat. Di satu sisi, ketika berupaya untuk menjadi yang terunggul, engkau melakukannya demi keuntunganmu sendiri, dan di sisi lain, engkau juga melakukannya untuk meningkatkan status sosial keluargamu dan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu, sehingga orang tua dan anggota keluargamu juga mendapat manfaat dari hubungan mereka denganmu dan tidak menderita perlakuan yang buruk. Jika engkau telah menanggung penderitaan yang sangat besar dan menjadi unggul dari yang lain dengan menjadi pejabat tinggi yang memiliki mobil bagus, rumah mewah dan sekelompok orang yang sibuk di sekitarmu, keluargamu juga akan mendapat manfaat karena memiliki hubungan denganmu, dan anggota keluargamu juga akan mampu mengendarai mobil bagus, makan enak, dan menjalani kehidupan yang mewah. Engkau akan mampu menyantap hidangan yang termahal jika ingin, dan pergi ke mana pun kausuka, dan semua orang selalu siap melakukan apa pun yang kauminta, dan engkau dapat berbuat sekehendak hatimu, dan hidup dengan sikap seenaknya dan congkak tanpa perlu bersikap rendah hati atau hidup dengan penuh rasa malu, dan melakukan apa pun yang kauinginkan sekalipun itu melanggar hukum, serta hidup dengan berani dan semaumu—inilah tujuan keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dengan cara seperti ini, agar engkau tidak diperlakukan dengan tidak adil, dan agar engkau menjadi unggul dari yang lain. Sederhananya, tujuan mereka adalah agar engkau menjadi seseorang yang memimpin orang lain, mengarahkan orang lain, memerintah orang lain, dan untuk mengubahmu menjadi orang yang hanya mampu menindas orang lain dan tidak pernah menjadi korban, dan membuatmu menjadi orang yang memimpin, bukan orang yang dipimpin. Bukankah benar demikian? (Ya.) ... Lalu, apa tuntutan Tuhan terkait hal ini? Apakah Tuhan menuntut manusia untuk menjadi unggul dari yang lain dan bukan menjadi orang menengah, rata-rata, biasa, atau biasa-biasa saja, melainkan menjadi orang yang hebat, terkenal, dan luhur? Inikah yang Tuhan tuntut dari manusia? (Tidak.) Sangat jelas bahwa pepatah yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu bahwa "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain" tidak menuntunmu ke arah yang positif, dan tentu saja pepatah ini juga tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Tujuan keluargamu menganjurkanmu untuk menanggung penderitaan sangatlah keliru, dilandasi oleh kelicikan, sangat tercela dan curang. Tuhan membuat manusia menanggung penderitaan karena mereka memiliki watak yang rusak. Jika orang ingin disucikan dari watak rusak mereka, mereka harus mengalami penderitaan—inilah fakta objektifnya. Selain itu, Tuhan menuntut agar manusia menanggung penderitaan karena inilah yang harus dialami oleh makhluk ciptaan, dan ini juga yang harus ditanggung oleh manusia normal, dan inilah sikap yang harus dimiliki manusia normal. Namun, Tuhan tidak menuntutmu untuk menjadi unggul dari yang lain. Dia hanya menuntutmu untuk menjadi orang biasa, orang normal yang memahami kebenaran, mendengarkan firman-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya itu. Tuhan tidak pernah menuntutmu untuk memberi-Nya kejutan, atau melakukan hal-hal yang menggemparkan, dan Dia juga tidak menginginkanmu menjadi selebritas atau orang hebat. Dia hanya mengharuskanmu untuk menjadi manusia sejati yang normal dan biasa, dan sebanyak apa pun penderitaan yang mampu kautanggung, atau apakah engkau dapat menanggung penderitaan sepenuhnya atau tidak, jika pada akhirnya engkau mampu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, engkau sudah menjadi seseorang yang terbaik dari dirimu. Yang Tuhan inginkan bukanlah agar engkau menjadi unggul dari yang lain, melainkan agar engkau menjadi makhluk ciptaan sejati, menjadi orang yang mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Orang semacam ini bukan orang luar biasa dan hanya orang biasa, orang yang memiliki kemanusiaan, hati nurani dan nalar yang normal, bukan orang yang luhur atau hebat di mata orang tidak percaya atau manusia yang rusak. Kita telah banyak mempersekutukan aspek ini sebelumnya, jadi kita tidak akan membahasnya lebih lanjut saat ini. Pepatah "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain" jelas-jelas merupakan sesuatu yang harus kaulepaskan. Apa tepatnya yang harus kaulepaskan? Kau harus melepaskan arah yang kaukejar yang sesuai dengan pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu. Artinya, engkau harus mengubah arah pengejaranmu. Jangan lakukan apa pun hanya agar engkau menjadi unggul dari yang lain, agar engkau menonjol, dan menjadi orang penting, atau agar engkau dikagumi oleh orang lain. Sebaliknya, engkau harus melepaskan niat, tujuan, dan motif ini, lalu melakukan segala sesuatunya dengan cara yang praktis dan realistis agar engkau dapat menjadi makhluk ciptaan sejati. Apa yang Kumaksud dari "cara yang praktis dan realistis"? Prinsip yang paling dasar adalah engkau harus melakukan segala sesuatu berdasarkan cara dan prinsip yang telah Tuhan ajarkan kepada manusia. Katakanlah apa yang kaulakukan tidak membuat orang terpesona atau terkesan, atau bahkan tidak dipuji atau dihargai oleh siapa pun. Namun, jika ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kaulakukan, engkau harus tetap teguh dan terus melakukannya, memperlakukannya sebagai tugas yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh makhluk ciptaan. Jika engkau melakukannya, engkau akan menjadi makhluk ciptaan yang dapat diterima di mata Tuhan—sesederhana itu. Yang perlu kauubah adalah pengejaranmu dalam hal caramu berperilaku dan cara pandangmu terhadap kehidupan.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Keluarga menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu dan memengaruhimu dengan cara-cara lainnya, misalnya dengan menggunakan pepatah "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan". Anggota keluarga sering mengajarimu: "Bersikap baiklah dan jangan bertengkar dengan orang lain atau menciptakan musuh, karena jika kau memiliki terlalu banyak musuh, kau tidak akan mampu memiliki kedudukan yang kuat dan berpengaruh di tengah masyarakat, dan jika ada terlalu banyak orang yang membencimu dan ingin mencelakaimu, engkau tidak akan aman di tengah masyarakat. Engkau akan selalu terancam, dan kelangsungan hidup, status, keluarga, keselamatan pribadimu, dan bahkan prospek promosi dalam kariermu akan terancam dan dihalangi oleh orang-orang jahat. Jadi, kau harus belajar bahwa 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'. Bersikap baiklah kepada semua orang, jangan merusak hubungan baik, jangan mengatakan apa pun yang tidak bisa kautarik kembali sesudahnya, hindari melukai harga diri orang, dan jangan singkapkan kekurangan mereka. Hindari atau berhentilah mengatakan hal-hal yang tidak ingin didengar orang. Berikan saja pujian, karena memuji seseorang itu tidak ada salahnya. Kau harus belajar menunjukkan kesabaran dan berkompromi baik dalam masalah besar maupun kecil, karena 'Kompromi akan membuat konflik jauh lebih mudah untuk diselesaikan'." Lihatlah bagaimana keluargamu menanamkan dalam dirimu dua gagasan dan pandangan sekaligus. Di satu sisi, mereka berkata bahwa engkau harus bersikap baik kepada orang lain; di sisi lain, mereka ingin engkau bersabar, tidak berbicara sembarangan, dan jika ada sesuatu yang perlu kaukatakan, engkau harus menutup mulutmu sampai tiba di rumah, dan setelah itu barulah engkau memberi tahu keluargamu. Atau yang lebih baik lagi, sama sekali tidak memberi tahu keluargamu, karena dinding pun bertelinga—jika rahasia ini sampai terbongkar, segala sesuatunya tidak akan berjalan baik bagimu. Agar memiliki kedudukan yang kuat dan berpengaruh dan bertahan hidup di tengah masyarakat, orang harus belajar satu hal, yaitu menjadi orang yang tidak berpihak pada siapa pun. Dalam bahasa sehari-hari, engkau harus licin dan licik. Engkau tidak boleh mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu begitu saja, itu namanya bodoh, itu tidak dapat disebut cerdas. Ada seseorang yang berbicara blak-blakan, yang mengatakan apa pun yang dia inginkan. Bayangkan seseorang yang berbicara seperti itu akhirnya membuat atasannya tersinggung. Kemudian, atasan itu mempersulit hidupnya, membatalkan bonusnya, dan selalu mencari kesempatan untuk bertengkar dengannya. Pada akhirnya, dia tidak tahan lagi jika harus terus bekerja. Jika dia berhenti dari pekerjaannya, dia tidak tahu bagaimana dia harus mencari nafkah. Namun, jika tidak berhenti, yang bisa dilakukannya hanyalah bertahan melakukan pekerjaan yang sudah tak tertahankan tersebut. Disebut apa jika engkau mengalami dilema seperti ini? Engkau "terjebak". Lalu, keluarganya menegurnya dengan berkata, "Perlakuan buruk ini pantas kauterima, kau seharusnya ingat bahwa 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'! Salah sendiri menjadi orang yang blak-blakan dan mengatakan apa yang kaupikirkan begitu saja! Kami sudah memberitahumu untuk bersikap bijaksana dan pikirkan dengan saksama sebelum mengatakan apa pun, tetapi kau tidak mau melakukannya, kau malah langsung mengatakannya. Apa kaukira atasanmu akan diam saja jika kau cari gara-gara terhadapnya? Apa kaukira akan semudah itu bertahan hidup di tengah masyarakat? Engkau selalu menganggap bahwa engkau hanya sedang berterus-terang. Kini kau harus menuai akibat yang menyakitkan ini. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu! Kelak sebaiknya kau mengingat pepatah 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'!" Setelah diajarkan pelajaran ini, dia mengingatnya dengan berpikir, "Orang tuaku benar-benar tepat dalam mendidikku. Ini adalah sedikit pengalaman hidup yang sangat berwawasan, hikmat yang sangat berharga, aku tidak boleh terus mengabaikannya. Inilah akibatnya jika aku mengabaikan nasihat orang yang lebih tua, jadi kelak, aku akan mengingat pelajaran ini." Setelah dia percaya kepada Tuhan dan bergabung dengan rumah Tuhan, dia tetap mengingat pepatah "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan", sehingga dia menyapa saudara-saudari setiap kali bertemu dengan mereka, dan berusaha sebaik mungkin untuk mengatakan hal-hal menyenangkan kepada mereka. Ketika pemimpin berkata: "Aku telah menjadi pemimpin selama beberapa waktu, tetapi aku tidak memiliki cukup pengalaman kerja." Dia menyela dengan memberi pujian: "Kau bekerja dengan baik. Jika kau tidak memimpin kami, kami merasa tak punya tempat untuk berpaling." Ketika seseorang berkata: "Aku telah mengenal diriku sendiri, dan kurasa aku adalah orang yang sangat licik." Dia menjawab, "Kau tidak licik, kau sangat jujur, akulah yang licik." Ketika seseorang melontarkan komentar buruk kepadanya, dia berpikir, "Tidak perlu takut akan komentar buruk seperti itu, aku mampu menerima yang jauh lebih buruk dari itu. Seburuk apa pun komentarmu, aku hanya akan berpura-pura tidak mendengarnya, dan aku akan terus memujimu, dan berusaha sebaik mungkin untuk menjilatmu, karena tidak ada salahnya memujimu." Setiap kali seseorang memintanya untuk menyampaikan pendapat atau membuka diri selama persekutuan, dia tidak berbicara terus terang, dan selalu terlihat bersikap riang gembira di depan semua orang. Ketika seseorang bertanya kepadanya: "Mengapa kau selalu begitu riang gembira? Apakah kau sebenarnya serigala berbulu domba?" Dan dia berpikir: "Aku sudah bertahun-tahun menjadi serigala berbulu domba, dan selama ini aku tidak pernah dimanfaatkan orang, jadi bersikap seperti ini telah menjadi prinsip utamaku dalam berinteraksi dengan siapa pun." Bukankah dia orang yang licin bagaikan belut? (Ya.) Ada orang-orang yang menjalani hidup di tengah masyarakat dengan cara seperti ini selama bertahun-tahun, dan terus melakukannya setelah mereka datang ke rumah Tuhan. Mereka tidak pernah mengatakan satu kata pun yang jujur, mereka tidak pernah berbicara dari hati mereka, dan mereka tidak membicarakan pengenalan mereka akan diri mereka sendiri. Sekalipun saudara atau saudari mengungkapkan isi hatinya kepada mereka, mereka tidak berbicara terus terang, dan tak seorang pun dapat mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mereka. Mereka tidak pernah mengungkapkan pikiran atau pandangan mereka, mereka menjaga hubungan yang sangat baik dengan semua orang, dan engkau tidak bisa mengetahui orang seperti apa atau tipe kepribadian seperti apa yang sebenarnya mereka sukai, atau apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang orang lain. Jika ada yang bertanya kepada mereka orang seperti apakah seseorang itu, mereka menjawab, "Dia adalah orang yang sudah percaya selama lebih dari sepuluh tahun, dan dia cukup baik." Tentang siapa pun yang kautanyakan kepada mereka, mereka akan menjawab bahwa orang itu cukup baik atau lumayan baik. Jika seseorang bertanya kepada mereka, "Pernahkah kautemukan kekurangan atau kelemahan pada dirinya?" Mereka akan menjawab, "Aku belum menemukannya sejauh ini, kelak aku akan lebih mengawasinya," tetapi di lubuk hatinya dia berpikir: "Kau sedang memintaku untuk menyinggung perasaan orang itu, yang pasti tidak akan kulakukan! Jika kuberitahukan kepadamu yang sebenarnya dan orang itu mengetahuinya, bukankah dia hanya akan menjadi musuhku? Keluargaku sudah sejak lama menyuruhku untuk tidak menciptakan musuh, aku belum melupakan perkataan mereka. Apa menurutmu aku bodoh? Apa menurutmu aku telah melupakan pembelajaran dan pembiasaan yang kuterima dari keluargaku hanya karena kau telah mempersekutukan dua kalimat kebenaran? Itu tidak akan terjadi! Pepatah 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan' dan 'Kompromi akan membuat konflik jauh lebih mudah untuk diselesaikan', tidak pernah mengecewakanku dan keduanya adalah jimatku. Aku tidak akan membicarakan kelemahan siapa pun, dan jika seseorang memicu kemarahanku, aku akan bersabar terhadapnya. Bukankah kau telah melihat huruf yang tercetak di dahiku? Itu adalah huruf kanji yang berarti 'kesabaran', yang terdiri dari bentuk pisau di atas bentuk hati. Siapa pun yang melontarkan komentar buruk, aku akan bersabar terhadapnya. Siapa pun yang memangkasku, aku akan bersabar terhadapnya. Tujuanku adalah menjaga hubungan baik dengan semua orang, menjaga agar hubungan selalu berada pada taraf ini. Jangan berpaut pada prinsip, jangan begitu bodohnya, jangan bersikap kaku, engkau harus belajar mengalah sesuai keadaan! Menurutmu mengapa kura-kura hidup begitu lama? Karena mereka bersembunyi di dalam tempurungnya setiap kali keadaan menjadi sulit, bukan? Dengan demikian, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan hidup selama ribuan tahun. Begitulah caranya jika ingin berumur panjang, dan begitulah juga cara untuk berinteraksi dengan siapa pun." Engkau tidak mendengar orang-orang semacam itu mengatakan apa pun yang jujur dan tulus, dan sudut pandang mereka yang sebenarnya dan apa yang menjadi batas dari cara mereka berperilaku tidak pernah terungkap. Mereka hanya memikirkan hal-hal ini dan merenungkannya dalam hati mereka, tetapi tak seorang pun tahu tentang hal-hal ini. Di luarnya, orang-orang semacam ini bersikap baik kepada semua orang, terlihat baik hati, dan tidak menyakiti atau merugikan siapa pun. Padahal sebenarnya, mereka benar-benar adalah orang yang tidak berpihak pada siapa pun dan licin bagaikan belut. Orang semacam ini selalu disukai oleh orang-orang tertentu di gereja, karena mereka tidak pernah melakukan kesalahan besar, mereka tidak pernah memberitahukan tentang diri mereka yang sebenarnya, dan penilaian dari para pemimpin gereja dan saudara-saudari adalah bahwa mereka cukup baik kepada semua orang. Mereka suam-suam kuku dalam tugas mereka, mereka hanya melakukan apa yang diminta untuk mereka lakukan. Mereka sangat patuh dan berperilaku baik, mereka tidak pernah melukai orang lain dalam percakapan atau ketika menangani masalah, dan mereka tidak pernah mengambil keuntungan dari siapa pun secara tidak adil. Mereka tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain, dan tidak pernah mengkritik orang di belakang mereka. Namun, tak seorang pun tahu apakah mereka tulus dalam pelaksanaan tugas mereka, dan tak seorang pun tahu apa yang mereka pikirkan tentang orang lain atau apa pendapat mereka tentang orang lain. Setelah memikirkannya dengan saksama, engkau bahkan merasa bahwa orang semacam ini memang sedikit aneh dan sulit dipahami, dan mempertahankan mereka akan menimbulkan masalah. Apa yang harus kaulakukan? Keputusan yang sulit, bukan? Saat mereka melaksanakan tugas, engkau bisa melihat bahwa mereka melakukan urusan mereka, tetapi mereka tidak pernah memedulikan prinsip-prinsip yang telah disampaikan oleh rumah Tuhan kepada mereka. Mereka melakukan apa pun sekehendak hati mereka, bersikap asal-asalan, dan hanya itu, mereka hanya berusaha untuk tidak melakukan kesalahan besar. Akibatnya, engkau tidak bisa menemukan kesalahan apa pun pada diri mereka, atau tidak bisa menemukan cacat apa pun. Sekalipun mereka melakukan segala sesuatu dengan sempurna, apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Apakah mereka ingin melaksanakan tugas mereka? Jika tidak ada ketetapan administratif gereja, atau pengawasan dari pemimpin gereja atau saudara-saudari mereka, mungkinkah mereka akan bergaul dengan orang jahat? Mungkinkah mereka akan melakukan hal-hal buruk dan melakukan kejahatan bersama dengan orang jahat? Hal seperti ini sangat mungkin terjadi, dan mereka mampu melakukannya, hanya saja mereka belum melakukannya. Orang-orang semacam ini adalah jenis orang yang paling menyusahkan, dan mereka adalah ciri khas orang yang licin bagai belut atau serigala tua yang licik. Mereka tidak mendendam terhadap siapa pun. Jika seseorang mengatakan sesuatu yang menyakiti hati mereka, atau menyingkapkan watak rusak mereka yang merendahkan martabat mereka, apa yang mereka pikirkan? "Aku akan memperlihatkan kesabaranku, aku tidak akan membalasmu, tetapi harinya akan tiba ketika kau akan mempermalukan dirimu sendiri!" Ketika orang itu benar-benar mengalami dirinya ditangani atau mempermalukan dirinya sendiri, mereka diam-diam menertawakan orang itu. Mereka siap mengolok-olok orang lain, para pemimpin, dan rumah Tuhan, tetapi mereka tidak mengolok-olok diri mereka sendiri. Mereka benar-benar tidak menyadari masalah atau kelemahan yang mereka sendiri miliki. Orang-orang semacam ini berhati-hati untuk tidak mengungkapkan apa pun yang dapat menyakiti orang lain, atau apa pun yang akan memungkinkan orang lain untuk mengetahui yang sebenarnya tentang diri mereka, meskipun mereka memikirkan hal-hal tersebut dalam hati mereka. Sedangkan mengenai hal-hal yang dapat melumpuhkan atau menyesatkan orang lain, mereka bebas mengungkapkannya dan membiarkan orang lain mengetahuinya. Orang-orang seperti ini adalah yang paling berbahaya dan paling sulit untuk ditangani. Jadi, bagaimana sikap rumah Tuhan terhadap orang-orang seperti ini? Pakai mereka jika mereka dapat dipakai, dan usir mereka jika mereka tidak dapat dipakai—inilah prinsipnya. Mengapa? Alasannya adalah karena orang seperti ini pasti tidak mengejar kebenaran. Mereka adalah pengikut yang bukan orang percaya yang mengolok-olok rumah Tuhan, saudara-saudari, dan para pemimpin ketika muncul masalah. Peran apa mereka mainkan? Apakah peran Iblis dan setan? (Ya.) Ketika mereka bersabar terhadap saudara-saudari mereka, itu bukanlah kesabaran sejati, juga bukan kasih sejati. Mereka melakukannya untuk melindungi diri mereka sendiri dan mencegah munculnya musuh atau hal-hal yang membahayakan diri mereka. Mereka tidak bersabar kepada saudara-saudari untuk melindungi saudara-saudari, mereka tidak melakukannya karena kasih, apalagi melakukannya karena mereka mengejar kebenaran dan karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kebenaran. Sikap mereka sepenuhnya berpusat mengikuti arus dan menyesatkan orang lain. Orang-orang seperti itu tidak berpihak pada siapa pun dan licin bagaikan belut. Mereka tidak menyukai kebenaran dan mereka tidak mengejarnya, sebaliknya mereka hanya mengikuti arus. Jelaslah bahwa pembelajaran dan pembiasaan yang diterima orang-orang semacam ini dari keluarga mereka sangat memengaruhi cara-cara mereka dalam berperilaku dan menangani segala sesuatu. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa cara-cara dan prinsip yang mereka gunakan dalam berinteraksi dengan siapa pun tidak dapat dipisahkan dari esensi kemanusiaan mereka. Selain itu, pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka hanya berfungsi untuk menjadikan tindakan mereka menjadi lebih nyata dan konkret, dan memperlihatkan esensi natur mereka secara lebih sepenuhnya. Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan masalah terpenting tentang hal benar dan salah, dan masalah yang memengaruhi kepentingan rumah Tuhan, jika orang-orang semacam itu mampu mengambil pilihan yang benar dan melepaskan falsafah yang mendasari cara mereka berinteraksi yang tertanam dalam hati mereka, seperti "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan", agar dapat menjunjung tinggi kepentingan rumah Tuhan, mengurangi pelanggaran mereka, dan mengurangi perbuatan jahat mereka di hadapan Tuhan—bagaimana hal ini akan bermanfaat bagi mereka? Setidaknya, ketika di masa depan Tuhan menentukan kesudahan setiap orang, tindakan mereka ini akan meringankan hukuman mereka dan mengurangi hajaran Tuhan terhadap mereka. Dengan menerapkan seperti ini, orang-orang semacam itu tidak akan rugi apa pun, malah akan memperoleh segalanya, bukan? Jika mereka diminta untuk melepaskan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain secara sepenuhnya, itu tidak akan mudah bagi mereka, karena hal ini berkaitan dengan esensi kemanusiaan mereka, dan orang-orang yang licin bagaikan belut dan tidak berpihak pada siapa pun ini sama sekali tidak menerima kebenaran. Tidak sesederhana dan semudah itu bagi mereka untuk melepaskan falsafah Iblis yang telah keluarga mereka tanamkan dalam diri mereka—bahkan mengabaikan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga ini—sulit untuk mereka lakukan karena mereka sendiri adalah penganut obsesif dari falsafah Iblis, dan mereka menyukai cara berinteraksi dengan orang lain yang seperti ini, yang merupakan cara yang sangat individual dan subjektif. Padahal, jika orang-orang semacam itu cerdas—jika mereka melepaskan beberapa dari falsafah ini agar mampu membela kepentingan rumah Tuhan dengan benar, selama kepentingan mereka sendiri tidak terancam atau dirugikan—maka ini sebenarnya adalah hal yang baik bagi mereka, karena ini setidaknya akan meringankan kesalahan mereka, mengurangi hajaran Tuhan terhadap mereka, dan bahkan mereka akan mengalami keadaan yang sebaliknya, yaitu Tuhan bukannya menghajar mereka, melainkan akan memberkati dan mengingat mereka. Betapa luar biasanya jika itu terjadi! Bukankah ini akan menjadi hal yang baik? (Ya.)
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Dengan cara apa lagi keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu? Sebagai contoh, orang tuamu sering memberitahumu: "Jika kau banyak bicara dan gegabah dalam berbicara, cepat atau lambat, kau akan mendapat masalah! Kau harus ingat bahwa 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan'! Apa artinya? Artinya, jika kau terlalu banyak bicara, pada akhirnya kau pasti akan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya kaukatakan. Bagaimanapun keadaannya, jangan gegabah dalam berbicara. Dengarkan dahulu apa yang orang lain katakan sebelum kau mengatakan apa pun. Jika kau menyesuaikan diri dengan kebanyakan orang, kau akan baik-baik saja. Namun, jika kau selalu berusaha menonjol, dan selalu gegabah dalam berbicara serta mengungkapkan sudut pandangmu tanpa tahu apa yang dipikirkan oleh pemimpinmu, atasanmu, atau semua orang di sekitarmu, lalu ternyata pemimpin atau atasanmu tidak sependapat denganmu, mereka akan mempersulit dirimu. Apakah akibatnya akan baik bagimu? Anak bodoh, kelak kau harus berhati-hati. Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan. Ingatlah itu, dan jangan gegabah dalam berbicara! Mulut adalah untuk makan dan bernapas, berbicara manis kepada atasanmu, dan berusaha menyenangkan orang lain. Mulut bukanlah untuk mengatakan yang sebenarnya. Kau harus memilih kata-katamu dengan bijak, kau harus menggunakan trik serta cara tertentu, dan kau harus menggunakan otakmu. Tepat sebelum perkataan keluar dari mulutmu, telanlah perkataanmu itu dan pertimbangkan berulang kali di dalam benakmu, tunggu sampai tiba waktu yang tepat sebelum kau mengucapkannya. Apa yang sebenarnya kaukatakan juga harus tergantung pada situasinya. Jika kau mulai menyampaikan pendapatmu, tetapi kemudian kaulihat bahwa orang-orang tidak menyukainya, atau reaksi mereka tidak terlalu baik, langsung berhentilah dan pikirkan bagaimana mengatakannya dengan cara yang dapat membuat semua orang merasa senang sebelum kaulanjutkan. Itulah yang dilakukan anak yang cerdas. Jika kau melakukannya, kau akan terhindar dari masalah, dan semua orang akan menyukaimu. Dan jika semua orang menyukaimu, bukankah itu akan menguntungkanmu? Bukankah itu akan menciptakan lebih banyak peluang bagimu di masa depan?" Keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu bukan hanya dengan memberitahumu cara untuk memperoleh reputasi yang baik, cara untuk menjadi unggul dari yang lain, dan cara untuk memperoleh kedudukan yang stabil di antara orang-orang, tetapi juga cara untuk menipu orang lain dengan penampilan luarmu dan tidak mengatakan yang sebenarnya, apalagi mengungkapkan apa yang sebenarnya kaupikirkan. Ada orang-orang yang pernah mendapat masalah setelah mengatakan yang sebenarnya, lalu teringat bahwa keluarga mereka memberi tahu mereka pepatah "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan", dan menarik pelajaran darinya. Setelah itu, mereka menjadi makin bersedia menerapkan pepatah ini dan menjadikannya semboyan mereka. Ada orang-orang yang belum pernah mendapat masalah tetapi sungguh-sungguh menerima pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka dalam hal ini dan terus menerapkan pepatah ini dalam keadaan apa pun. Makin mereka menerapkannya, makin mereka merasa bahwa "Orang tua dan kakek nenekku sangat baik kepadaku. Mereka semua tulus kepadaku dan menginginkan yang terbaik untukku. Aku sangat beruntung mereka memberitahuku pepatah 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan' ini, jika tidak, aku pasti akan sering mendapat masalah karena mulut besarku, dan ada begitu banyak orang yang akan mempersulitku, atau memberiku pandangan menghina, atau mencemooh dan mengejekku. Pepatah ini sangat berguna dan bermanfaat!" Mereka memperoleh banyak manfaat nyata dengan menerapkan pepatah ini. Tentu saja, ketika mereka kemudian datang ke hadapan Tuhan, mereka tetap menganggap pepatah ini sebagai hal yang paling berguna dan bermanfaat. Setiap kali seorang saudara atau saudari secara terbuka bersekutu tentang keadaan pribadinya, kerusakannya, atau pengalaman dan pengetahuannya, mereka juga ingin bersekutu dan menjadi orang yang berterus terang dan terbuka, dan mereka juga ingin dengan jujur mengatakan apa yang mereka pikirkan atau ketahui di dalam hati mereka, agar untuk sesaat melegakan keadaan pikiran mereka, yang telah tertahan selama bertahun-tahun, atau agar mendapatkan kebebasan dan kelepasan hingga taraf tertentu. Namun, begitu mereka teringat akan apa yang selalu orang tua mereka ajarkan pada mereka, yaitu, "'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan'. Jangan gegabah dalam berbicara, jadilah orang yang mendengarkan, bukan yang berbicara, dan belajarlah untuk mendengarkan orang lain," mereka menelan apa pun yang ingin mereka katakan. Setelah semua orang selesai berbicara, mereka tidak mengatakan apa pun, dan justru berpikir: "Bagus sekali, untung saja aku tidak mengatakan apa pun kali ini, karena begitu aku mengatakan pendapatku, semua orang mungkin akan memiliki pendapat tentangku, dan aku mungkin akan mengalami kerugian. Tidak mengatakan apa pun sangatlah bagus. Mungkin dengan demikian, semua orang akan terus menganggapku orang yang jujur dan bukan orang yang sangat licik, melainkan hanya orang yang pendiam, sehingga aku bukan orang yang suka berencana licik, atau orang yang sangat rusak, dan terutama bukan orang yang memiliki gagasan tentang Tuhan, melainkan orang yang apa adanya dan terbuka. Bukan hal yang buruk jika orang-orang menganggapku seperti ini, jadi mengapa aku harus mengatakan sesuatu? Aku benar-benar melihat hasilnya dengan mematuhi pepatah 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan' ini, jadi aku akan terus bertindak seperti ini." Mematuhi pepatah ini memberi mereka perasaan yang puas dan menyenangkan, sehingga mereka tetap diam satu kali, dua kali, dan seterusnya sampai suatu hari, ketika mereka memiliki begitu banyak perkataan yang terpendam di dalam diri mereka dan ingin membuka diri kepada saudara-saudari mereka, tetapi mulut mereka terasa seperti tertutup rapat dan terkunci, dan mereka tak mampu mengatakan satu kalimat pun. Karena tak mampu mengatakan apa pun kepada saudara-saudari, mereka memutuskan untuk mencoba berbicara kepada Tuhan, jadi mereka berlutut di hadapan-Nya dan berkata, "Tuhan, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepada-Mu. Aku ...." Namun, meskipun mereka telah memikirkannya masak-masak di dalam hati mereka, mereka tidak tahu bagaimana mengatakannya, mereka tak mampu mengungkapkannya, seolah-olah mereka benar-benar sudah menjadi bisu. Mereka tidak tahu bagaimana memilih kata-kata yang tepat atau bahkan bagaimana merangkai sebuah kalimat. Perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun telah membuat mereka merasa benar-benar terkekang dan menjalani kehidupan yang gelap dan kotor, dan ketika mereka memutuskan untuk mengatakan kepada Tuhan apa yang ada di dalam hati mereka dan mengungkapkan perasaan mereka, mereka kehilangan kata-kata dan tidak tahu harus mulai dari mana, atau bagaimana mengatakannya. Bukankah mereka sangat malang? (Ya.) Lalu, mengapa mereka tidak memiliki apa pun untuk dikatakan kepada Tuhan? Mereka hanya memperkenalkan diri. Mereka ingin mengatakan apa yang ada di dalam hati mereka kepada Tuhan, tetapi mereka tak bisa berkata-kata, dan pada akhirnya mereka hanya berkata: "Tuhan, kumohon berilah aku kata-kata yang harus kukatakan!" Dan Tuhan menjawab: "Ada begitu banyak hal yang seharusnya kaukatakan, tetapi kau tak ingin mengatakannya, dan kau tak mengatakannya ketika kau diberi kesempatan, jadi Aku mengambil kembali semua yang telah Kuberikan kepadamu. Aku tak akan memberikannya kepadamu, kau tidak pantas menerimanya." Setelah itu, barulah mereka merasa bahwa mereka telah kehilangan sangat banyak selama beberapa tahun terakhir ini. Meskipun mereka merasa bahwa mereka telah menjalani kehidupan yang sangat bermartabat, dan menutup diri mereka rapat-rapat serta menyembunyikan diri mereka dengan sempurna, ketika mereka melihat saudara-saudari mereka telah memperoleh keuntungan selama ini, dan ketika mereka melihat saudara-saudari mereka membicarakan pengalaman mereka tanpa ragu dan membuka diri tentang kerusakan mereka, orang-orang ini akhirnya menyadari bahwa mereka sendiri tak mampu mengucapkan satu kalimat pun, dan tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Mereka telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, dan ingin membicarakan pengenalan mereka akan diri mereka sendiri, dan mendiskusikan pengalaman dan pengetahuan firman Tuhan yang mereka dapatkan, mendapatkan sedikit pencerahan dan terang dari Tuhan, dan memperoleh sesuatu. Namun sayangnya, karena mereka terlalu sering berpaut pada pendapat bahwa "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan", dan sering kali diikat serta dikendalikan oleh gagasan ini, mereka telah hidup berdasarkan pepatah ini selama bertahun-tahun, mereka belum pernah menerima pencerahan atau penerangan apa pun dari Tuhan, dan mereka masih miskin, menyedihkan, dan bertangan kosong dalam hal jalan masuk kehidupan. Mereka telah menerapkan pepatah dan gagasan ini dengan sempurna dan menaatinya dengan saksama, tetapi meskipun mereka telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, mereka belum memperoleh kebenaran apa pun, dan mereka tetap miskin dan buta. Tuhan memberi mereka mulut, tetapi mereka tak punya kemampuan sama sekali untuk mempersekutukan kebenaran, juga tak punya kemampuan untuk membicarakan perasaan dan pengetahuan mereka, apalagi memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan saudara-saudari mereka. Yang lebih menyedihkan, mereka bahkan tidak memiliki kemampuan untuk berbicara kepada Tuhan, dan telah kehilangan kemampuan tersebut. Bukankah mereka malang? (Ya.) Mereka malang dan disayangkan. Bukankah engkau tidak suka berbicara? Bukankah engkau selalu takut bahwa orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan? Maka sudah sepatutnya engkau tidak pernah mengatakan apa pun. Engkau menyembunyikan pemikiran terdalammu dan apa yang telah Tuhan berikan kepadamu, menekannya, menyegelnya dan mencegahnya untuk kauutarakan. Engkau selalu takut kehilangan muka, takut merasa terancam, takut orang lain akan mengetahui dirimu yang sebenarnya, dan selalu takut jika engkau tidak akan lagi menjadi orang yang sempurna, jujur, dan baik di mata orang lain, sehingga engkau menutup dirimu, dan tidak mengatakan apa pun tentang pemikiranmu yang sebenarnya. Dan apa yang akhirnya terjadi? Engkau menjadi orang yang benar-benar bisu. Siapa yang merugikanmu seperti itu? Pada dasarnya, pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamulah yang telah merugikanmu. Namun, dari sudut pandang pribadimu sendiri, itu juga karena engkau senang hidup berdasarkan falsafah Iblis, sehingga engkau memilih untuk percaya bahwa pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu itu benar, dan tidak percaya bahwa tuntutan Tuhan terhadapmu adalah hal yang positif. Engkau memilih untuk menganggap pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu sebagai hal yang positif, dan menganggap firman Tuhan, tuntutan-Nya, perbekalan, pertolongan, serta pengajaran-Nya sebagai hal-hal yang harus kauwaspadai, sebagai hal yang negatif. Oleh karena itu, sebanyak apa pun yang Tuhan anugerahkan kepadamu pada mulanya, karena sikap waspadamu dan penolakanmu selama bertahun-tahun ini, hasil akhirnya adalah Tuhan mengambil kembali semuanya dan tidak memberimu apa pun, karena engkau tidak layak menerimanya. Jadi, sebelum itu terjadi, engkau harus melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan pada dirimu dalam hal ini, dan jangan menerima gagasan yang keliru bahwa "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan". Pepatah ini membuatmu makin tertutup, makin berbahaya, dan makin munafik. Pepatah ini sepenuhnya bertolak belakang dan bertentangan dengan tuntutan Tuhan bahwa orang haruslah jujur, dan tuntutan-Nya bahwa orang haruslah berterus terang dan terbuka. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan sebagai pengikut Tuhan, engkau harus bertekad bulat untuk mengejar kebenaran. Dan ketika engkau bertekad bulat untuk mengejar kebenaran, engkau harus bertekad bulat untuk melepaskan apa yang kaubayangkan sebagai pengaruh yang baik dari pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Tidak boleh ada pilihan lain. Apa pun pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, sebaik atau sebermanfaat apa pun hal-hal itu bagimu, sebanyak apa pun hal-hal itu melindungimu, semua itu berasal dari manusia dan Iblis, dan engkau harus melepaskannya. Meskipun firman Tuhan dan tuntutan-Nya terhadap manusia mungkin bertentangan dengan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan, atau bahkan merugikan kepentinganmu serta merampas hak-hakmu, dan sekalipun engkau menganggap bahwa firman dan tuntutan-Nya tidak melindungimu dan justru bertujuan untuk menyingkapkanmu dan membuatmu terlihat seperti orang bodoh, engkau tetap harus menganggapnya sebagai hal yang positif karena semua itu berasal dari Tuhan, semua itu adalah kebenaran, dan engkau harus menerimanya. Jika pembelajaran dan pembiasaan yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu memengaruhi caramu berpikir dan berperilaku, cara pandangmu tentang keberadaan, dan jalan yang kautempuh, engkau harus melepaskannya dan tidak berpegang teguh pada hal-hal tersebut. Sebaliknya, engkau harus mengganti hal-hal itu dengan kebenaran yang sesuai dari Tuhan, dan dalam melakukannya, engkau juga harus terus memahami dan mengenali masalah yang melekat serta esensi dari pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, kemudian bertindak dan melakukan penerapan dengan mengikuti firman Tuhan dengan lebih tepat, lebih nyata dan lebih sungguh-sungguh. Menerima gagasan, pandangan terhadap orang dan hal-hal, serta prinsip-prinsip penerapan yang berasal dari Tuhan merupakan tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh makhluk ciptaan, apa yang harus dilakukan makhluk ciptaan, dan ini juga merupakan gagasan dan pandangan yang harus dimiliki oleh makhluk ciptaan.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Keluarga menanamkan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan jenis lainnya. Sebagai contoh, anggota keluargamu selalu memberitahumu: "Jangan menjadi orang yang terlalu menonjol dari orang banyak, engkau harus mengendalikan dirimu sendiri dan sedikit menahan diri dalam perkataan dan tindakanmu, serta dalam bakat pribadimu, kemampuanmu, IQ-mu, dan sebagainya. Jangan menjadi orang yang menonjol. Seperti kata pepatah, 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak' dan 'Kasau yang mencuat adalah yang pertama membusuk'. Jika engkau ingin melindungi dirimu sendiri, dan memiliki kedudukan yang stabil dan bertahan lama di kelompok tempatmu berada, jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, engkau harus mengendalikan dirimu dan tidak berkeinginan untuk lebih menonjol daripada semua orang. Coba pikirkan penangkal petir, yang merupakan benda pertama yang tersambar petir saat badai, karena petir menyambar titik tertinggi; dan ketika angin bertiup kencang, pohon tertinggilah yang pertama terkena tiupannya dan terbawa angin; dan ketika cuaca dingin, gunung tertinggilah yang pertama membeku. Ini sama halnya dengan manusia. Jika engkau selalu menonjol di antara orang-orang dan menarik perhatian, lalu Partai memperhatikanmu, mereka akan benar-benar mempertimbangkan untuk menghukummu. Jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, jangan terbang sendirian. Engkau harus tetap berada dalam kawanan. Jika tidak, jika terbentuk gerakan protes sosial di sekitarmu, engkau akan menjadi yang pertama dihukum, karena engkau adalah burung yang menjulurkan lehernya. Jangan menjadi pemimpin atau ketua kelompok di gereja. Jika tidak, jika terjadi kerugian atau masalah yang berkaitan dengan pekerjaan di rumah Tuhan, sebagai pemimpin atau pengawas, kau akan menjadi yang pertama dikritik. Jadi, jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, karena burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak. Engkau harus belajar untuk menundukkan kepalamu dan meringkuk seperti kura-kura." Engkau mengingat perkataan orang tuamu ini, dan ketika tiba saatnya untuk memilih pemimpin, engkau tolak jabatan tersebut dengan berkata, "Oh, aku tidak bisa melakukannya! Aku punya keluarga dan anak-anak, aku sangat terikat dengan mereka. Aku tidak bisa menjadi pemimpin. Kalian saja yang melakukannya, jangan pilih aku." Sekalipun engkau tetap terpilih menjadi pemimpin, engkau tetap enggan melakukannya. "Kurasa aku harus mengundurkan diri," katamu. "Kalian saja yang menjadi pemimpin, kuberikan kesempatan ini kepada kalian semua. Silakan kalian ambil alih jabatanku, aku akan mundur." Engkau merenung di dalam hatimu, "Huh! Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak. Makin tinggi kau mendaki, makin keras kau akan jatuh, dan menjadi yang tertinggi terasa sepi. Akan kubiarkan kau menjadi pemimpin, dan setelah kau terpilih, akan tiba hari ketika kau akan mempermalukan dirimu sendiri. Aku tidak pernah mau menjadi pemimpin, aku tidak ingin menaiki tangga, yang artinya aku tidak akan jatuh dari ketinggian. Pikirkanlah, bukankah artinya orang itu diberhentikan sebagai pemimpin? Setelah diberhentikan, dia dikeluarkan. Dia bahkan tidak punya kesempatan untuk menjadi orang percaya biasa. Ini adalah contoh yang sempurna dari pepatah 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak' dan 'Kasau yang mencuat adalah yang pertama membusuk'. Bukankah aku benar? Bukankah orang itu telah dihukum? Orang harus belajar untuk melindungi dirinya sendiri, jika tidak, untuk apa orang punya otak? Jika engkau punya otak, engkau harus menggunakannya untuk melindungi dirimu sendiri. Ada orang-orang yang tidak mengerti masalah ini dengan jelas, tetapi seperti inilah yang terjadi di tengah masyarakat dan di kelompok masyarakat mana pun, yaitu 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak'. Kau akan sangat dihormati saat menjulurkan lehermu, sampai akhirnya kau tertembak. Lalu kau akan menyadari bahwa orang yang menempatkan diri di garis tembak, cepat atau lambat, akan menerima akibatnya." Ini adalah ajaran yang ditanamkan dengan sungguh-sungguh oleh orang tua serta keluargamu, dan juga pernyataan dari pengalaman mereka, inti dari hikmat yang mereka peroleh seumur hidup mereka, yang mereka bisikkan ke telingamu tanpa ragu. Apa yang Kumaksud dengan "bisikkan ke telingamu"? Maksud-Ku, suatu hari, ibumu berkata di telingamu. "Biar kuberitahukan kepadamu, jika ada satu hal yang telah kupelajari dalam hidup ini, hal itu adalah 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak', yang artinya jika orang terlalu menonjol atau terlalu menarik perhatian, kemungkinan besar mereka akan dihukum karenanya. Lihatlah betapa takluk dan polos ayahmu sekarang. Itu karena dia pernah dihukum dalam suatu kampanye penindasan. Ayahmu berbakat dalam kesusastraan, dia mampu menulis dan berpidato, dia terampil dalam kepemimpinan, tetapi dia itu terlalu menonjol di antara banyak orang, dan akhirnya dia dihukum dalam kampanye tersebut. Mengapa sejak saat itu ayahmu tidak pernah membahas tentang menjadi pejabat pemerintahan dan tokoh terkenal? Itu karena kejadian tersebut. Kukatakan ini kepadamu dari hatiku dan aku mengatakan yang sebenarnya. Kau harus mendengar perkataanku dan mengingatnya baik-baik. Jangan lupa, kau harus selalu mengingatnya di mana pun kau berada. Ini adalah hal terbaik yang dapat kuberikan kepadamu sebagai ibumu." Setelah itu, engkau ingat perkataannya, dan setiap kali engkau teringat akan pepatah "Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak", itu mengingatkanmu pada ayahmu, dan setiap kali engkau memikirkan ayahmu, engkau memikirkan pepatah ini. Ayahmu pernah menjadi burung yang menjulurkan lehernya dan tertembak, dan kini penampilannya yang muram dan tidak bersemangat telah meninggalkan kesan mendalam di benakmu. Jadi, setiap kali engkau ingin menjulurkan lehermu, setiap kali engkau ingin mengutarakan apa yang kaupikirkan, setiap kali engkau ingin melaksanakan tugasmu di rumah Tuhan dengan sungguh-sungguh, nasihat tulus ibumu yang kaudengar—"Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak"—terlintas kembali di benakmu. Jadi, sekali lagi engkau mundur dan berpikir, "Aku tidak boleh memperlihatkan bakat atau kemampuan istimewa apa pun. Aku harus menahan diri dan menyembunyikan semua itu. Dan mengenai nasihat Tuhan kepada manusia agar mereka melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati, pikiran dan kekuatan mereka, aku harus menerapkan firman ini secukupnya saja, dan tidak menonjolkan diri dengan berusaha terlalu keras. Jika aku menonjolkan diri dengan berusaha terlalu keras, dan menjulurkan leherku dengan cara memimpin pekerjaan gereja, bagaimana jika ada yang tidak beres dengan pekerjaan rumah Tuhan dan aku dimintai pertanggungjawaban? Bagaimana aku harus memikul tanggung jawab ini? Akankah aku dikeluarkan? Akankah aku menjadi kambing hitam, menjadi burung yang menjulurkan lehernya? Di rumah Tuhan, sulit dikatakan apa akibatnya jika hal seperti ini terjadi. Jadi, apa pun yang kulakukan, aku benar-benar harus menyediakan jalan keluar bagi diriku sendiri, aku benar-benar harus belajar untuk melindungi diriku sendiri, dan memastikan bahwa aku siap menghadapi segala kemungkinan sebelum aku berbicara dan bertindak. Ini adalah tindakan yang paling bijaksana, karena sebagaimana yang ibuku katakan, 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak.'" Pepatah ini tertanam sedemikian dalam di hatimu dan juga sangat memengaruhi kehidupanmu sehari-hari. Tentu saja, yang lebih parah lagi, pepatah ini memengaruhi sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu. Bukankah ada masalah serius di sini? Oleh karena itu, setiap kali engkau melaksanakan tugasmu dan ingin mengorbankan dirimu dengan sungguh-sungguh, dan menggunakan seluruh kekuatanmu dengan segenap hati, pepatah ini—"Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak"—selalu menghentikanmu saat itu juga, dan pada akhirnya, engkau selalu memilih untuk memberi dirimu kelonggaran serta ruang untuk bermanuver, dan hanya melaksanakan tugasmu seadanya setelah memberikan jalan keluar bagi dirimu sendiri. Bukankah yang Kukatakan ini benar? Apakah pembelajaran dan pembiasaan keluargamu dalam hal ini sangat melindungimu agar engkau tidak disingkapkan dan ditangani? Bagimu, pepatah ini adalah semacam jimat, bukan? (Ya.)
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"
Pembelajaran dan pembiasaan keluarga kemungkinan besar mencakup lebih banyak aturan main tentang cara berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh, orang tua sering berkata, "Orang tidak boleh berniat mencelakakan orang lain, tetapi harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu; engkau terlalu bodoh dan mudah percaya." Orang tua sering mengulang perkataan semacam ini, dan bahkan orang-orang yang lebih tua sering mengomelimu dengan berkata, "Jadilah orang yang baik, jangan mencelakakan orang lain, tetapi kau harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu. Semua orang itu jahat. Engkau mungkin melihat ada seseorang yang di luarnya mengatakan hal-hal baik kepadamu, tetapi kau tidak tahu apa yang dia pikirkan. Hati manusia tersembunyi di balik kulitnya, dan ketika menggambar seekor macan, engkau menggambar kulitnya, tetapi sulit untuk menggambar tulang di bawah kulitnya; dalam mengenal seseorang, engkau mungkin mengenal wajahnya, tetapi tidak hatinya." Apakah ada sisi yang benar dalam ungkapan ini? Jika melihat masing-masing darinya secara harfiah, tidak ada yang salah dengan ungkapan semacam ini. Apa yang sebenarnya orang pikirkan di lubuk hatinya, apakah hatinya kejam atau baik, itu tidak dapat diketahui. Adalah mustahil untuk mengenal kedalaman jiwa seseorang. Makna di balik ungkapan-ungkapan ini seolah-olah benar, tetapi ini hanyalah semacam doktrin. Seperti apakah prinsip tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang akhirnya orang peroleh dari kedua ungkapan ini? Prinsip yang orang peroleh adalah "Orang tidak boleh berniat mencelakakan orang lain, tetapi harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu." Inilah yang dikatakan oleh generasi yang lebih tua. Orang tua dan orang-orang yang lebih tua sering mengatakan hal ini, dan mereka selalu menasihatimu dengan berkata, "Berhati-hatilah, jangan bodoh dan mengungkapkan semua yang ada dalam hatimu. Belajarlah untuk bersikap waspada dan menjaga dirimu sendiri. Bahkan terhadap sahabatmu, jangan ungkapkan dirimu yang sebenarnya atau menceritakan isi hatimu. Jangan pertaruhkan hidupmu dengan mengatakannya kepada mereka." Apakah nasihat dari orang tuamu ini benar? (Tidak, karena itu mengajarkan orang cara-cara yang menipu.) Secara teori, nasihat tersebut memiliki tujuan utama yang baik: untuk melindungimu, menghindarkanmu agar tidak terjerumus dalam keadaan berbahaya, melindungimu agar tidak dicelakakan atau ditipu orang lain, melindungi kepentingan jasmanimu, keselamatan pribadimu, dan hidupmu. Tujuannya adalah agar engkau terhindar dari masalah, tuntutan hukum, dan pencobaan, serta memungkinkanmu untuk hidup dengan damai, lancar, dan bahagia setiap harinya. Tujuan utama orang tua dan orang-orang yang lebih tua hanyalah untuk melindungimu. Namun, cara mereka melindungimu, prinsip yang mereka sarankan untuk kauikuti, dan pemikiran yang mereka indoktrinasikan dalam dirimu sama sekali tidak benar. Sekalipun tujuan utama mereka benar, pemikiran yang mereka indoktrinasikan dalam dirimu tanpa sadar menuntunmu untuk bertindak berlebihan. Pemikiran yang mereka indoktrinasikan dalam dirimu menjadi prinsip dan landasan dalam caramu berinteraksi dengan orang lain. Ketika berinteraksi dengan teman sekelasmu, kolega, rekan kerja, atasan, semua jenis orang di tengah masyarakat, dan dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat, pemikiran protektif yang orang tuamu indoktrinasikan ini tanpa sadar telah menjadi jimat dan prinsipmu yang paling dasar setiap kali engkau menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi. Prinsip apakah ini? Yaitu: aku tidak akan mencelakakanmu, tetapi aku harus selalu bersikap waspada terhadapmu agar jangan sampai aku ditipu dan dicurangi olehmu, jangan sampai aku mendapat masalah atau tuntutan hukum, jangan sampai kekayaan keluargaku ludes dan anggota keluargaku kehilangan nyawa, dan jangan sampai aku akhirnya masuk penjara. Hidup di bawah kendali pemikiran dan sudut pandang seperti itu, hidup di tengah kelompok sosial ini dengan sikap seperti ini dalam berinteraksi dengan orang lain, engkau hanya menjadi makin tertekan, makin lelah, dan makin letih, baik pikiran maupun tubuhmu. Selanjutnya, engkau menjadi makin menentang dan muak akan manusia dan dunia ini, makin membenci mereka. Saat membenci orang lain, engkau juga mulai menganggap dirimu makin tidak berarti, merasa engkau tidak menjalani kehidupan layaknya manusia, tetapi sebaliknya, engkau menjalani kehidupan yang melelahkan dan depresi. Agar engkau tidak dicelakakan orang lain, engkau harus selalu bersikap waspada, melakukan dan mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginanmu. Dalam upayamu melindungi kepentinganmu sendiri dan keselamatan pribadimu, engkau mengenakan topeng kepalsuan dalam setiap aspek kehidupanmu dan menyamarkan dirimu, tidak pernah berani mengatakan yang sebenarnya. Dalam keadaan ini, dalam keadaan bertahan hidup ini, batinmu tidak dapat menemukan kelepasan atau kebebasan. Engkau sering membutuhkan seseorang yang tidak akan mencelakakan dirimu dan yang tidak akan pernah mengancam kepentinganmu, seseorang yang kepadanya engkau dapat membagikan pikiran terdalammu dan meluapkan rasa frustrasimu, tanpa perlu bertanggung jawab atas perkataanmu, tanpa takut dia akan mengejek, menghina, dan mencemooh dirimu, atau tanpa takut akan akibat apa pun. Dalam keadaan di mana pemikiran dan sudut pandang bahwa "Orang tidak boleh berniat mencelakakan orang lain, tetapi harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu" menjadi prinsipmu dalam berinteraksi dengan orang lain, batinmu dipenuhi dengan ketakutan dan perasaan tidak aman. Tentu saja, engkau merasa depresi, tak mampu menemukan kebebasan, dan engkau membutuhkan seseorang untuk menghiburmu, seseorang untuk menjadi tempatmu mencurahkan isi hati. Jadi, dinilai dari aspek-aspek ini, meskipun prinsip tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang orang tuamu ajarkan, yakni "Orang tidak boleh berniat mencelakakan orang lain, tetapi harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu", mampu melindungimu, prinsip ini juga merupakan pedang bermata dua. Sementara prinsip ini melindungi kepentingan jasmani dan keselamatan pribadimu hingga taraf tertentu, prinsip ini juga membuatmu merasa depresi dan sengsara, tidak mampu merasa lega, bahkan membuatmu makin membenci manusia dan dunia ini. Pada saat yang sama, di lubuk hatimu, engkau juga mulai sedikit merasa muak karena terlahir di zaman yang jahat seperti ini, di antara sekelompok orang yang sedemikian jahatnya. Engkau tidak mampu memahami mengapa orang harus hidup, mengapa hidup begitu melelahkan, mengapa mereka harus mengenakan topeng dan menyamarkan diri ke mana pun mereka pergi, atau mengapa engkau harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain demi kepentinganmu sendiri. Engkau ingin dapat mengatakan yang sebenarnya, tetapi engkau tidak bisa melakukannya karena takut akan akibatnya. Engkau ingin menjadi orang yang apa adanya, berbicara dan berperilaku secara terbuka, dan menghindarkan dirimu agar tidak menjadi orang yang hina atau orang yang diam-diam melakukan kejahatan dan hal memalukan, hidup terpisah dalam kegelapan, tetapi engkau tidak dapat melakukan satu pun dari hal-hal ini. Mengapa engkau tidak mampu hidup dengan jujur? Saat merenungkan tindakanmu di masa lalu, engkau merasa sedikit jijik. Engkau benci dan muak akan tren jahat ini serta dunia yang jahat ini, dan di saat yang sama, engkau juga sangat membenci dirimu sendiri serta memandang rendah dirimu yang telah menjadi orang semacam ini. Namun, tidak ada yang dapat kaulakukan. Meskipun orang tuamu, melalui perkataan dan tindakan mereka, mewariskan jimat ini kepadamu, itu tetap membuatmu merasa bahwa tidak ada kebahagiaan atau rasa aman di dalam hidupmu. Ketika engkau merasakan tidak adanya kebahagiaan, rasa aman, integritas, dan martabat, engkau mendapati dirimu berterima kasih kepada orang tuamu karena memberimu jimat ini, tetapi engkau juga membenci belenggu yang mereka ikatkan pada dirimu. Engkau tidak mengerti mengapa orang tuamu menyuruhmu untuk berperilaku dengan cara seperti ini, mengapa engkau harus berperilaku seperti ini agar dapat memperoleh kedudukan yang stabil di tengah masyarakat, agar dapat melebur dalam kelompok sosial ini, dan melindungi dirimu sendiri. Meskipun itu adalah semacam jimat, itu juga merupakan semacam belenggu yang membuatmu merasakan cinta sekaligus kebencian di dalam hatimu. Namun, apa yang dapat kaulakukan? Engkau tidak memiliki jalan yang benar dalam hidup ini, tak seorang pun memberitahumu cara untuk menjalani hidup atau cara untuk menangani hal-hal yang terjadi dalam hidupmu, dan tak seorang pun memberitahumu apakah yang kaulakukan itu benar atau salah, atau bagaimana engkau harus menempuh jalan yang terbentang di depanmu. Engkau hanya bisa menjalani hidupmu dengan kebingungan, kebimbangan, penderitaan, dan kegelisahan. Inilah akibat dari falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang orang tua dan keluarga indoktrinasikan dalam dirimu, yang membuatmu tak mampu mewujudkan keinginanmu yang paling sederhana untuk menjadi orang yang apa adanya, yaitu keinginanmu untuk mampu berperilaku dengan jujur, tanpa menggunakan cara-cara semacam itu dalam berinteraksi dengan orang lain. Engkau hanya dapat hidup dengan cara yang hina, berkompromi dan hidup demi reputasimu, membuat dirimu menjadi orang yang sangat keras dalam berwaspada terhadap orang lain, berpura-pura keras, tinggi, dan kuat, berkuasa dan luar biasa agar jangan sampai orang menindas dirimu. Engkau hanya dapat hidup seperti ini berlawanan dengan keinginanmu, yang membuatmu membenci dirimu sendiri, tetapi engkau tidak punya pilihan. Karena engkau tidak memiliki kemampuan atau jalan untuk melepaskan cara dan strategi untuk berinteraksi dengan orang lain ini, engkau hanya dapat membiarkan dirimu dimanipulasi oleh pemikiran yang ditanamkan dalam dirimu oleh keluarga dan orang tuamu. Orang dibodohi dan dikendalikan oleh pemikiran yang diindoktrinasikan oleh keluarga dan orang tua mereka selama proses yang tidak mereka sadari ini, karena mereka tidak memahami kebenaran atau bagaimana mereka seharusnya hidup, sehingga mereka hanya dapat menerimanya begitu saja. Sekalipun hati nurani mereka masih memiliki sedikit perasaan, atau mereka bahkan memiliki sedikit keinginan untuk hidup serupa dengan manusia, untuk bergaul dan bersaing secara adil dengan orang lain, apa pun keinginan mereka, mereka tidak dapat melepaskan diri dari pembelajaran dan pembiasaan serta kendali berbagai pemikiran dan sudut pandang yang berasal dari keluarga mereka, dan pada akhirnya, mereka hanya dapat kembali pada pemikiran dan sudut pandang yang keluarga mereka tanamkan dalam diri mereka bahwa "Orang tidak boleh berniat mencelakakan orang lain, tetapi harus selalu bersikap waspada terhadap orang lain sebab mereka mungkin saja akan mencelakakan dirimu", karena tidak ada jalan lain yang dapat mereka tempuh. Mereka tidak punya pilihan. Semua ini disebabkan karena orang tidak memahami kebenaran dan tidak mampu memperoleh kebenaran.
—Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (14)"
Mengapa budaya-budaya tradisional ini bukan kebenaran? Kesimpulannya, budaya tradisional adalah pemikiran yang muncul setelah manusia dirusak oleh Iblis. Budaya tradisional bukan berasal dari Tuhan. Hal-hal tersebut telah dicemari oleh imajinasi dan gagasan sebagian orang, serta selain itu, budaya tradisional adalah akibat yang muncul oleh perusakan Iblis terhadap manusia. Iblis mengeksploitasi pemikiran, pandangan, dan segala macam pepatah dan argumen manusia yang rusak agar dapat mengikat pemikiran manusia dan merusak pemikiran manusia. Jika Iblis menggunakan beberapa hal yang jelas-jelas absurd, tidak masuk akal, dan salah untuk menyesatkan manusia, manusia pasti akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, mereka akan mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, dan akan menggunakan kemampuan dalam mengenali ini untuk menyangkal dan mengutuk hal-hal tersebut. Dengan demikian, ajaran-ajaran ini tidak akan tahan uji. Namun, Iblis menggunakan beberapa pemikiran dan teori yang sesuai dengan gagasan dan imajinasi manusia, yang menurutnya akan tahan terhadap pemeriksaan ketika diucapkan dengan lantang, untuk mengondisikan, memengaruhi dan ditanamkan ke dalam diri manusia yang membuat manusia dengan mudah disesatkan sehingga pepatah-pepatah tersebut dengan mudah diterima dan disebarluaskan oleh orang dari generasi ke generasi hingga saat ini. Misalnya beberapa kisah tentang pahlawan Tiongkok, seperti kisah patriotik tentang Yue Fei, jenderal keluarga Yang, dan Wen Tianxiang. Mengapa pemikiran-pemikiran ini telah diturunkan hingga saat ini? Dari sudut pandang manusia, pada setiap zaman, pasti ada tipe orang atau tipe penguasa yang selalu menggunakan contoh-contoh dan menggunakan pemikiran-pemikiran ini serta semangat dari tokoh-tokoh tersebut untuk mendidik rakyat, generasi demi generasi, sehingga rakyat dari generasi ke generasi dengan patuh dan taat menerima aturan mereka, dan agar mereka dapat dengan mudah memerintah rakyat dari generasi demi generasi, dan membuat pemerintahan mereka makin stabil. Mereka mendidik rakyat yang mereka pimpin dengan menceritakan tentang pengabdian bodoh Yue Fei dan para jenderal keluarga Yang, serta semangat patriotik Wen Tianxiang dan Qu Yuan, dan memberitahukan kepada mereka satu aturan, yaitu orang harus memiliki loyalitas. Inilah yang harus dimiliki oleh seseorang yang memiliki karakter moral yang luhur. Sampai sejauh mana loyalitas itu? Sampai sejauh "Jika kaisar memerintahkan para pejabatnya untuk mati, mereka tidak punya pilihan selain mati", dan "Rakyat yang setia tidak boleh melayani dua raja". Ini adalah pepatah lain yang mereka hormati. Mereka juga menghormati orang-orang yang mencintai negaranya. Mencintai negara berarti mencintai apa, atau siapa? Mencintai tempatnya? Mencintai orang-orang yang ada di dalamnya? Dan apa yang dimaksud dengan negara? (Para penguasa.) Para penguasa adalah wakil negara. Jika engkau berkata, "Cintaku pada negaraku sebenarnya adalah cinta pada kampung halaman dan orang tuaku. Aku tidak mencintai kalian, para penguasa!" mereka akan marah. Jika engkau berkata, "Cintaku pada negaraku adalah cinta kepada para penguasa, dari lubuk hatiku", mereka akan menerimanya dan menyetujui cinta seperti itu; jika engkau membuat mereka mengerti dan menjelaskan bahwa bukan mereka yang kaucintai, mereka tidak akan menyetujuinya. Siapa yang direpresentasikan oleh para penguasa selama berabad-abad? (Iblis.) Mereka merepresentasikan Iblis, mereka adalah anggota kelompok Iblis, dan mereka adalah para setan. Mereka tidak mungkin mengajar manusia untuk menyembah Tuhan, untuk menyembah Sang Pencipta. Mereka tidak mungkin melakukan hal ini. Sebaliknya, mereka memberi tahu orang-orang bahwa penguasanya adalah putra langit. Apa yang dimaksud dengan "putra langit"? Itu artinya Langit memberikan kuasa kepada seseorang, dan orang tersebut kemudian disebut "putra langit" dan memiliki kuasa untuk memerintah semua manusia di bawah langit. Apakah ini pemikiran yang ditanamkan ke dalam diri rakyat oleh para penguasa? (Ya.) Ketika seseorang menjadi putra langit, itu ditentukan oleh Surga, dan kehendak Surga menyertainya, jadi rakyat harus menerima pemerintahan orang tersebut tanpa syarat, apa pun jenis pemerintahannya. Yang mereka tanamkan ke dalam diri rakyat adalah pemikiran ini, yang membuatmu menerima orang tersebut sebagai putra langit berdasarkan pengakuanmu terhadap keberadaan Surga. Apa tujuan dari membuatmu menerima orang itu sebagai putra langit? Tujuannya bukan untuk membuatmu mengakui bahwa Surga itu ada, atau Tuhan itu ada, atau Sang Pencipta itu ada, melainkan untuk membuatmu mengakui fakta bahwa orang ini adalah putra langit, dan karena dia adalah putra langit yang muncul karena adanya kehendak Surga, rakyat harus menerima pemerintahannya. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang mereka tanamkan. Di balik semua pemikiran yang telah berkembang sejak awal mula umat manusia hingga saat ini—baik yang kita analis adalah frasa atau ungkapan yang mengandung kiasan, maupun peribahasa rakyat dan pepatah umum yang sama sekali tidak mengandung kiasan—ada belenggu Iblis dan penyesatan manusia, serta definisi yang keliru dari manusia yang rusak mengenai pemikiran itu sendiri. Apa pengaruh definisi yang keliru ini terhadap manusia di masa-masa selanjutnya? Pengaruhnya baik, positif, ataukah negatif? (Negatif.) Pada dasarnya, pengaruhnya negatif. Sebagai contoh, misalnya pepatah "Tidur di atas kayu bakar dan merasakan pahitnya empedu", dan "Sembunyikan terang dan kumpulkan kekuatan dalam kegelapan", dan "Menanggung penghinaan dan memikul beban berat", dan "Jangan pernah berkata kalah", serta "Berpura-pura melakukan satu hal sembari melakukan hal lain". Apa pengaruh pepatah ini terhadap manusia di masa selanjutnya? Pengaruhnya adalah, setelah manusia menerima pemikiran-pemikiran dari budaya tradisional ini, generasi demi generasi manusia akan makin menyimpang dari Tuhan, dan makin jauh dari penciptaan dan penyelamatan manusia oleh Tuhan, serta makin jauh dari pekerjaan rencana pengelolaan-Nya. Begitu manusia menerima pandangan keliru dari budaya tradisional ini, mereka makin merasa bahwa nasib manusia seharusnya berada di tangan mereka sendiri, dan bahwa mereka sendirilah yang harus menciptakan kebahagiaan mereka sendiri, dan bahwa kesempatan disediakan bagi orang-orang yang sudah siap, yang menuntun manusia untuk makin menyangkal Tuhan, menyangkal kedaulatan Tuhan, dan hidup di bawah kuasa Iblis. Jika engkau membandingkan apa yang suka dibahas oleh orang-orang pada zaman modern dan apa yang suka dibahas oleh orang-orang pada dua ribu tahun yang lalu, makna pemikiran di balik hal-hal tersebut sebenarnya sama. Hanya saja, orang-orang sekarang ini membahas hal-hal tersebut secara lebih spesifik dan lebih terang-terangan. Mereka tidak hanya menyangkal keberadaan dan kedaulatan Tuhan, tetapi mereka juga makin menentang dan mengutuk Tuhan hingga taraf yang serius.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Satu)
Apa perbedaan penting antara firman Tuhan dan manusia, serta antara kebenaran dan doktrin? Firman Tuhan membuat orang-orang bertumbuh dalam nalar dan hati nurani, membuat orang bertindak berdasarkan prinsip, dan apa yang mereka jalani menjadi makin memiliki kenyataan akan hal-hal positif. Sebaliknya, perkataan manusia, mungkin tampak cocok dengan selera dan gagasan orang, tetapi perkataan-perkataan itu bukan kebenaran, semuanya penuh dengan jebakan, pencobaan, dan kesesatan serta kekeliruan, dan karena itu, jika orang bertindak sesuai dengan perkataan-perkataan ini, apa yang mereka jalani akan makin menyimpang dari Tuhan, dan dari standar Tuhan. Lebih serius lagi, cara hidup manusia akan menjadi makin jahat dan mirip dengan Iblis. Ketika orang hidup dan bertindak sepenuhnya berdasarkan kebohongan dan kekeliruan manusia, ketika mereka sepenuhnya menerima argumen-argumen ini, mereka akan hidup sebagai Iblis. Dan bukankah hidup sebagai Iblis menyiratkan bahwa mereka adalah Iblis? (Ya.) Jadi, mereka telah "berhasil" menjadi Iblis hidup. Ada orang-orang yang berkata, "Aku tidak memercayainya. Aku hanya ingin menjadi orang yang polos dan lugu yang disukai oleh semua orang. Aku ingin menjadi orang yang dianggap baik oleh kebanyakan orang, dan kemudian aku akan melihat apakah tuhan akan menyukaiku atau tidak." Jika engkau tidak percaya apa yang Tuhan katakan, pergi dan selidikilah, serta—lihatlah apakah firman Tuhan adalah kebenaran atau bukan, atau lihatlah apakah gagasan manusia adalah kebenaran atau bukan. Inilah perbedaan esensi antara firman Tuhan dan perkataan manusia. Inilah perbedaan esensial antara kebenaran dan kebohongan serta kekeliruan. Bagaimanapun kebohongan dan kekeliruan manusia tampaknya cocok dengan selera orang, semua itu tidak akan pernah bisa menjadi hidup mereka; sementara itu, semudah apa pun tampaknya firman Tuhan untuk dipahami, sesederhana apa pun firman Tuhan, betapapun bertentangannya itu dengan gagasan manusia, esensinya adalah kebenaran, dan jika apa yang orang lakukan dan jalani sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan, akhirnya, suatu hari, mereka akan menjadi makhluk ciptaan yang memenuhi syarat, dan akan mampu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Sebaliknya, jika orang tidak menerapkan berdasarkan firman Tuhan dan tidak bertindak berdasarkan tuntutan Tuhan, mereka tidak akan dapat menjadi makhluk ciptaan yang memenuhi syarat. Tindakan serta jalan yang mereka tempuh hanya akan dibenci dan ditolak oleh Tuhan; ini adalah fakta.
—Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sepuluh (Bagian Lima)
Banyak orang mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya, tetapi di dalam hatinya, mereka tidak mencintai firman yang Tuhan ucapkan. Mereka tidak tertarik pada kebenaran. Mereka selalu yakin bahwa hidup berdasarkan falsafah Iblis atau berbagai teori duniawi adalah hal yang biasa orang lakukan, bahwa ini adalah cara untuk melindungi diri mereka sendiri, dan bahwa ini adalah cara menjalani hidup yang bermakna di dunia ini. Seperti inikah orang-orang yang percaya kepada Tuhan dan mengikuti Dia? Tidak. Perkataan tokoh-tokoh besar dan ternama terdengar sangat bijaksana dan mudah sekali menyesatkan orang lain. Engkau mungkin menganggap perkataan mereka sebagai kebenaran atau semboyan yang harus dipatuhi. Namun, jika dalam hal firman Tuhan, tuntutan sederhana Tuhan terhadap manusia, seperti menjadi orang jujur, atau menempati tempatmu sendiri dengan patuh dan saksama, melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, serta memiliki perilaku yang stabil dan jujur, engkau tidak mampu untuk menerapkan firman ini dan tidak menganggapnya sebagai kebenaran, maka engkau bukanlah pengikut Tuhan. Engkau menyatakan bahwa engkau menerapkan kebenaran, tetapi jika Tuhan bertanya kepadamu, "Apakah 'kebenaran' yang kauterapkan itu adalah firman Tuhan? Apakah prinsip-prinsip yang kaujunjung tinggi itu berdasarkan firman Tuhan?"—bagaimana engkau akan menjelaskan hal itu? Jika landasanmu bukanlah firman Tuhan, maka itu adalah perkataan Iblis. Engkau sedang hidup dalam perkataan Iblis, tetapi engkau menyatakan bahwa engkau sedang menerapkan kebenaran dan menyenangkan hati Tuhan. Bukankah itu menghujat Tuhan? Sebagai contoh, Tuhan memerintahkan agar orang bertindak jujur, tetapi sebagian orang tidak merenungkan apa sajakah yang harus mereka lakukan untuk menjadi orang jujur, bagaimana bersikap sebagai orang jujur, apa sajakah dari hal-hal yang mereka jalani dan perlihatkan yang tidak jujur, dan apa sajakah dari hal-hal yang mereka jalani dan perlihatkan yang jujur. Alih-alih merenungkan esensi kebenaran di dalam firman Tuhan, mereka justru berpaling pada buku-buku orang tidak percaya. Mereka berpikir, "Perkataan orang-orang tidak percaya juga sangat baik—perkataan itu juga mengajar orang untuk menjadi orang baik! Sebagai contoh, 'Orang yang baik memiliki kehidupan yang damai,' 'Orang jujurlah yang akan bertahan,' 'Memaafkan orang lain bukan sesuatu yang bodoh, itu akan ada manfaatnya di kemudian hari.' Perkataan ini juga benar, dan selaras dengan kebenaran!" Jadi, mereka mematuhi perkataan ini. Orang seperti apa yang bisa mereka hidupi dengan mematuhi pepatah-pepatah dari orang-orang tidak percaya ini? Mampukah mereka hidup dalam kenyataan kebenaran? (Tidak.) Bukankah ada banyak orang yang seperti ini? Mereka memperoleh sedikit pengetahuan; mereka telah membaca beberapa buku dan beberapa karya terkenal; mereka telah mendapatkan wawasan tertentu, serta mendengar beberapa pepatah dan peribahasa rakyat yang terkenal, lalu mereka menganggap semua itu sebagai kebenaran, bertindak dan melaksanakan tugas mereka berdasarkan perkataan-perkataan ini, menerapkannya dalam hidup mereka sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan dan mengira bahwa mereka sedang memuaskan hati Tuhan. Bukankah ini artinya menggantikan kebenaran dengan kepalsuan? Bukankah ini merupakan tipu muslihat? Bagi Tuhan, ini adalah penghujatan! Hal-hal ini terwujud dalam diri setiap orang, dalam jumlah yang tidak sedikit. Mengenai orang yang menganggap perkataan yang menyenangkan dan doktrin yang benar dari manusia sebagai kebenaran yang harus mereka patuhi, sedangkan terhadap firman Tuhan mereka mengesampingkan dan mengabaikannya, tidak mampu menerimanya betapapun seringnya mereka membaca firman Tuhan, atau mereka tidak mampu menganggap firman Tuhan sebagai kebenaran, apakah mereka adalah orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Apakah mereka pengikut Tuhan? (Bukan.) Orang-orang seperti itu hanyalah penganut agama; mereka masih mengikuti Iblis! Mereka menganggap perkataan yang Iblis ucapkan filosofis, menganggapnya sangat mendalam dan klasik. Mereka menganggapnya perkataan terkenal yang paling benar. Mereka mampu melepaskan hal-hal lain, tetapi mereka tidak mampu melepaskan perkataan itu. Melepaskan perkataan itu akan membuat mereka seperti kehilangan landasan hidup, membuat hati mereka terasa seperti hampa. Orang-orang macam apakah mereka? Mereka adalah para pengikut Iblis, dan itulah sebabnya mereka menerima ucapan-ucapan terkenal dari Iblis sebagai kebenaran. Mampukah engkau semua menelaah dan mengenali keadaan dirimu dalam berbagai konteks berbeda? Sebagai contoh, ada orang-orang yang percaya kepada Tuhan dan sering membaca firman-Nya, tetapi ketika sesuatu menimpa mereka, yang selalu mereka ucapkan adalah, "Kata ibuku," "Kata kakekku," "Kata orang terkenal itu," atau "Menurut buku ini dan itu." Mereka tidak pernah berkata, "Firman Tuhan mengatakan demikian," "Tuntutan Tuhan terhadap kita adalah seperti ini," "Tuhan mengatakan hal ini." Mereka tidak pernah mengucapkan kata-kata tersebut. Jadi, apakah mereka sedang mengikuti Tuhan? (Tidak.) Apakah mudah bagi seseorang untuk mengetahui keadaan-keadaan ini? Tidak, tetapi keadaan dalam diri manusia yang seperti ini sangat merugikan mereka. Engkau mungkin telah percaya kepada Tuhan selama tiga, lima, delapan, atau sepuluh tahun, tetapi masih belum tahu bagaimana cara tunduk kepada Tuhan atau menerapkan firman Tuhan. Apa pun yang terjadi padamu, engkau masih menggunakan perkataan Iblis sebagai landasanmu, engkau masih mencari landasan dalam budaya tradisional. Seperti itukah percaya kepada Tuhan? Bukankah engkau sedang mengikuti Iblis? Engkau hidup berdasarkan perkataan Iblis dan berdasarkan watak Iblis dalam dirimu, jadi bukankah engkau sedang menentang Tuhan? Karena engkau tidak menerapkan atau hidup berdasarkan firman Tuhan, tidak mengikuti jejak langkah Tuhan, tak mampu mengindahkan apa pun yang Tuhan firmankan, dan tak mampu tunduk pada apa pun yang Tuhan atur atau tuntut darimu, itu artinya engkau tidak mengikuti Tuhan. Engkau masih mengikuti Iblis. Di manakah Iblis berada? Iblis berada di dalam hati manusia. Falsafah, logika, aturan, dan berbagai perkataan jahat Iblis telah lama berakar di dalam hati manusia. Ini adalah masalah yang paling serius. Jika engkau tak mampu menyelesaikan masalah ini dalam kepercayaanmu kepada Tuhan, engkau tidak akan dapat diselamatkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, engkau semua harus sering memeriksa semua yang kaulakukan, pemikiran dan pandanganmu, dan apa yang mendasarimu melakukan sesuatu dengan menggunakan firman Tuhan sebagai perbandingannya, dan menelaah segala sesuatu yang ada dalam pikiranmu. Engkau harus tahu mana dari hal-hal di dalam dirimu yang merupakan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, pepatah populer, budaya tradisional, dan mana yang berasal dari pengetahuan intelektual. Engkau semua harus mengetahui yang mana dari semua ini yang selalu engkau yakini benar dan sesuai dengan kebenaran, yang engkau patuhi seolah-olah itu adalah kebenaran, dan mana yang kauizinkan untuk menggantikan kebenaran. Engkau harus menganalisis hal-hal ini. Terutama, jika engkau memperlakukan hal-hal yang kauyakini benar dan berharga ini sebagai kebenaran, tidak akan mudah bagimu untuk mengenali hal-hal ini—tetapi jika engkau benar-benar mampu mengenalinya, engkau sudah menerobos sebuah rintangan yang besar. Hal-hal ini adalah penghalang yang membuat orang tidak memahami firman Tuhan, tidak menerapkan kebenaran, dan tidak tunduk kepada Tuhan. Jika engkau menghabiskan sepanjang hari dalam keadaan bingung dan tak tahu apa yang harus kaulakukan, dan tidak memikirkan hal-hal ini ataupun berfokus untuk menyelesaikan masalah ini, maka inilah akar penyakit di dalam hatimu, inilah racun di dalam hatimu. Jika ini tidak disingkirkan, engkau tidak akan mampu untuk benar-benar mengikut Tuhan dan tidak akan mampu menerapkan kebenaran atau tunduk kepada Tuhan, dan tidak akan mungkin bagimu untuk memperoleh keselamatan.
—Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Orang Tidak Dapat Diselamatkan karena Menganut Agama atau karena Melakukan Upacara Keagamaan"
Saat menghadapi situasi apa pun, apakah engkau mengandalkan falsafah Iblis dan menggunakan metode manusia untuk menyelesaikannya, apakah engkau mencari kebenaran dan menyelesaikannya menurut firman Tuhan, atau apakah engkau memilih berkompromi atau mengambil jalan tengah? Pilihanmu menunjukkan apakah engkau orang yang mencintai dan mengejar kebenaran. Jika selalu memilih untuk menyelesaikan masalah dengan mengandalkan falsafah Iblis dan metode manusia, engkau tidak akan mampu memperoleh kebenaran, atau pencerahan, penerangan, dan bimbingan Roh Kudus. Terlebih lagi, gagasan dan kesalahpahaman tentang Tuhan akan muncul dalam dirimu, dan Dia pada akhirnya akan membenci dan menolakmu serta menyingkirkanmu. Tetapi jika engkau dapat mencari kebenaran dalam segala hal dan menyelesaikannya menurut firman Tuhan, engkau akan mampu memperoleh pencerahan, penerangan, dan bimbingan Roh Kudus. Pemahamanmu tentang kebenaran akan makin jelas dan engkau akan makin mengenal Tuhan; dengan cara ini, engkau akan dapat benar-benar tunduk dan mengasihi Tuhan. Setelah menerapkan dan mengalaminya selama kurun waktu tertentu, watakmu yang rusak akan makin dibersihkan. Pemberontakanmu terhadap Tuhan akan berkurang sampai akhirnya engkau mencapai kesesuaian sepenuhnya dengan-Nya. Jika engkau selalu memilih berkompromi atau mengambil jalan tengah, engkau sebenarnya masih mengandalkan falsafah Iblis untuk menangani masalah. Hidup seperti ini tidak akan pernah membuatmu mendapatkan perkenanan Tuhan, engkau hanya akan disingkapkan dan disingkirkan. Jika engkau telah memilih cara yang salah untuk percaya kepada Tuhan, dengan mengikuti cara keagamaan, engkau perlu segera mengubah arah, mengambil langkah mundur, dan memilih cara yang benar. Hanya dengan cara itulah mungkin masih ada harapan bagimu untuk mencapai keselamatan. Jika engkau ingin mendapatkan cara yang benar untuk percaya kepada Tuhan, engkau harus mencari dan menemukannya sendiri. Orang yang memiliki pemahaman rohani akan menemukan jalan yang benar setelah berpengalaman selama jangka waktu tertentu.
—Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengejar Kebenaran Orang Bisa Meluruskan Gagasan dan Kesalahpahaman Mereka tentang Tuhan"
Kesaksian Pengalaman Terkait
Haruskah Kita Hidup Menurut Kebajikan Tradisional?
Jangan Ragukan Orang yang Kaupekerjakan: Benarkah Itu?
Renungan tentang "Jangan Memaksa Orang Lain Melakukan Apa yang Kau Sendiri Tak Ingin Melakukannya"