69. Mengapa Aku Tidak Mau Memikul Beban?
Pada Oktober 2021, aku menjadi pengawas pekerjaan video. Aku bekerja sama dengan Saudara Leo dan Saudari Claire. Mereka telah melaksanakan tugas ini lebih lama dan jauh lebih berpengalaman daripadaku, dan mereka bertanggung jawab menindaklanjuti dan menangani banyak pekerjaan. Aku baru saja mulai melaksanakan tugas ini dan ada banyak aspek pekerjaan yang tidak kupahami, jadi tentu saja aku hanya mengambil tugas-tugas yang ringan. Kupikir selama tidak ada masalah dengan pekerjaanku, semuanya akan baik-baik saja, yang lain bisa membantu dan menangani pekerjaan lainnya. Dengan demikian, aku tak perlu banyak khawatir dan tak seorang pun akan meminta pertanggungjawabanku. Secara bertahap, aku menjadi makin sedikit memikul beban, dan akhirnya aku hanya sedikit sekali memahami dan terlibat dalam pekerjaan kedua orang itu. Setiap kali kami mendiskusikan pekerjaan, aku tidak mengutarakan pendapatku, dan di waktu luangku, aku bersantai dan menonton video sekuler. Aku merasa melaksanakan tugasku dengan cara seperti ini bukan masalah.
Suatu hari, sekitar tengah hari, seorang pemimpin tiba-tiba menemuiku dan memberitahuku bahwa Leo dan Claire akan melaksanakan tugas di tempat lain, dan aku harus memikul lebih banyak tanggung jawab, berusaha lebih keras, serta mengambil alih pekerjaan video. Perubahan mendadak ini membuatku terkejut. Aku belum lama melaksanakan tugas ini, dan ada sangat banyak pekerjaan yang harus ditindaklanjuti, bukankah ini tekanan yang besar? Pekerjaan yang mereka pegang sangat rumit dan butuh perhatian yang terus-menerus. Itu akan berarti aku harus mencari bahan untuk membimbing mereka yang tak punya keterampilan. Leo dan Claire cukup terampil dan biasanya sangat sibuk. Karena aku baru mulai, aku pasti harus mencurahkan lebih banyak waktu. Apakah aku masih akan punya waktu senggang? Jika tak mampu memikul tanggung jawab ini dan menunda pekerjaan, bukankah itu berarti aku melakukan pelanggaran? Menurutku, akan lebih baik jika pemimpin mencari orang yang lebih cocok untuk tanggung jawab ini. Melihatku diam, pemimpin menanyakan pendapatku. Aku merasa sangat menentang dan tidak ingin bicara. Setelah kami selesai mendiskusikan pekerjaan, aku langsung pergi. Saat memikirkan semua masalah dan kesulitan yang harus kutanggung seorang diri, aku merasa sangat tertekan dan merasa hari-hari di depanku pasti akan sangat sulit. Dilihat dari mana pun, aku tetap merasa tak mampu melaksanakan pekerjaan ini. Pemimpin kemudian mengirimiku pesan yang menanyakan keadaanku, yang kujawab dengan cepat: "Kurasa aku tidak dapat menerima pekerjaan ini. Mungkin kau bisa menemukan seseorang yang lebih cocok?" Pemimpin lalu bertanya: "Atas dasar apa kau menilai dirimu tidak cocok?" Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum mencoba dan tidak tahu apakah aku mampu melaksanakan tugas itu. Namun, memikirkan tekanan pekerjaan dan penderitaan fisik yang harus kutanggung membuatku merasa ingin menolaknya. Bukankah ini berarti aku melalaikan tanggung jawab dan menolak tugasku? Kemudian aku ingat bahwa semua hal yang kuhadapi setiap hari adalah atas seizin Tuhan dan bahwa aku harus tunduk. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, kedua rekan sekerjaku akan dipindahkan dan hanya akan ada aku seorang diri yang menangani semua pekerjaan. Aku merasa ingin menentangnya dan tidak mau tunduk. Aku tahu keadaan semacam ini salah, tetapi aku tidak memahami kehendak-Mu. Kumohon cerahkan dan tuntunlah aku agar aku mengenal diriku sendiri dan tunduk."
Beberapa waktu kemudian, seorang saudari mengirimiku satu bagian firman Tuhan yang benar-benar menggambarkan keadaanku. Tuhan berfirman: "Apa sajakah perwujudan orang jujur itu? Pertama, mereka tidak meragukan firman Tuhan. Itu adalah salah satu perwujudan orang yang jujur. Selain ini, perwujudan yang terpenting adalah mencari dan menerapkan kebenaran dalam segala hal—ini adalah perwujudan yang krusial. Engkau berkata bahwa engkau adalah orang yang jujur, tetapi engkau selalu mengesampingkan firman Tuhan dan hanya berbuat sekehendak hatimu. Seperti itukah perwujudan orang yang jujur? Engkau berkata, 'Meskipun kualitas kemampuanku buruk, aku memiliki hati yang jujur.' Namun, ketika sebuah tugas diberikan kepadamu, engkau takut menderita dan dimintai pertanggungjawaban jika tidak melaksanakannya dengan baik, sehingga engkau membuat alasan untuk melalaikan tugasmu atau menyarankan agar orang lain saja yang melakukannya. Seperti inikah perwujudan orang yang jujur? Tentu bukan. Jadi, bagaimanakah seharusnya perilaku orang jujur? Mereka harus tunduk pada pengaturan Tuhan, loyal melaksanakan tugas yang sudah seharusnya mereka laksanakan, dan berusaha memenuhi maksud Tuhan. Ini terwujud dengan sendirinya dalam beberapa tindakan: Pertama, engkau menerima tugasmu dengan hati yang jujur, tidak memikirkan kepentingan dagingmu, tidak setengah hati dalam melakukannya, dan tidak berencana licik demi keuntunganmu sendiri. Tindakan-tindakan tersebut adalah perwujudan kejujuran. Tindakan lainnya adalah engkau mengerahkan segenap hati dan kekuatanmu agar dapat melaksanakan tugasmu dengan baik, melakukan segala sesuatu dengan benar, dan mengerahkan hati dan kasihmu pada tugasmu agar dapat memuaskan Tuhan. Perwujudan inilah yang seharusnya ditunjukkan oleh orang jujur dalam melaksanakan tugas mereka. Jika engkau tidak menerapkan apa yang kauketahui dan pahami, dan jika engkau hanya menggunakan 50 atau 60 persen dari upayamu, berarti engkau tidak mengerahkan segenap hati dan kekuatanmu untuk tugasmu. Sebaliknya engkau sedang bersikap licik dan malas. Apakah orang yang melaksanakan tugasnya dengan cara seperti ini jujur? Sama sekali tidak. Tuhan tidak memakai orang yang licik dan pandai menipu seperti itu; mereka harus disingkirkan. Tuhan hanya menggunakan orang yang jujur untuk melaksanakan tugas. Bahkan orang-orang yang berjerih payah yang loyal pun harus jujur. Orang-orang yang selalu asal-asalan, licik dan mencari cara untuk bermalas-malasan semuanya adalah orang yang licik, dan semuanya adalah setan. Tak seorang pun dari mereka benar-benar percaya kepada Tuhan, dan mereka semua akan disingkirkan. Ada orang-orang yang beranggapan, 'Menjadi orang jujur itu hanyalah berarti mengatakan yang sebenarnya dan tidak berbohong. Menjadi orang jujur itu sebenarnya mudah.' Bagaimana pandanganmu terhadap pernyataan ini? Apakah menjadi orang jujur sedemikian terbatas cakupannya? Sama sekali tidak. Engkau harus mengungkapkan isi hatimu dan menyerahkannya kepada Tuhan; inilah sikap yang harus dimiliki orang jujur. Itulah sebabnya hati yang jujur itu sangat berharga. Mengapa sangat berharga? Karena hati yang jujur mampu mengendalikan perilakumu dan mengubah keadaanmu. Hati yang jujur mampu menuntunmu untuk membuat pilihan yang benar, untuk tunduk kepada Tuhan dan memperoleh perkenanan-Nya. Hati yang seperti ini sangat berharga. Jika engkau memiliki hati yang jujur seperti ini, maka engkau harus hidup seperti itu, dengan cara itulah engkau harus berperilaku, dan dengan cara itulah engkau harus mendedikasikan dirimu" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Firman Tuhan membuatku merasa sangat malu. Ketika dihadapkan dengan tugas, orang jujur tidak mengkhawatirkan risiko yang mungkin akan muncul dalam pelaksanaan tugas mereka, apalagi melalaikan atau menolak tugas mereka karena takut menderita. Sebaliknya, mereka memulainya dengan menerima dan mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk tugas tersebut. Hanya inilah sikap yang jujur itu. Kemudian aku memikirkan sikapku terhadap tugasku. Begitu mendengar dua rekan sekerjaku akan dipindahkan, aku khawatir beban kerjaku akan bertambah, kekhawatiranku menjadi berlipat ganda, dan tekanan yang kurasakan akan meningkat. Jika pekerjaan itu tidak dilaksanakan dengan baik, aku harus bertanggung jawab, jadi aku coba memakai alasan bahwa aku tidak mampu untuk melalaikan tanggung jawabku. Aku sangat licik dan tak punya hati nurani. Aku ingat bagaimana dalam doaku, aku selalu berjanji untuk memikirkan beban Tuhan, tapi saat itu benar-benar terjadi, aku justru memikirkan dagingku, tidak menerapkan kebenaran, dan menggunakan kata-kata kosong untuk menipu Tuhan. Jika aku benar-benar memikirkan kehendak Tuhan, tahu bahwa aku tak mampu melakukan pekerjaan itu, dan tak bisa menemukan orang lain yang cocok, aku seharusnya mengasah keterampilanku dan bekerja sama dengan orang lain agar pekerjaan video tidak terpengaruh. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh orang yang punya hati nurani dan kemanusiaan. Jika pada akhirnya aku benar-benar tak mampu melakukan tugas tersebut dan akhirnya dipindahkan atau diberhentikan, aku harus tunduk pada pengaturan Tuhan. Hanya menerapkan dengan cara inilah yang rasional. Memikirkannya seperti ini membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Kemudian, aku membaca satu bagian firman Tuhan yang memberiku pemahaman tentang sikapku terhadap tugasku. Tuhan berfirman: "Semua orang yang tidak mengejar kebenaran melaksanakan tugas mereka dengan pola pikir yang tidak bertanggung jawab. 'Jika ada yang memimpin, aku akan ikut; ke mana pun mereka memimpinku, ke sanalah aku pergi. Aku akan melakukan apa pun yang mereka perintahkan. Sedangkan jika aku diminta untuk mengambil tanggung jawab dan memedulikan orang, atau menanggung lebih banyak kesulitan untuk melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu dengan segenap hati dan kekuatanku─aku tidak mau melakukannya.' Orang-orang ini tidak mau membayar harganya. Mereka hanya bersedia mengerahkan kemampuan mereka, tetapi tidak mau mengambil tanggung jawab. Ini bukanlah sikap orang yang benar-benar melaksanakan tugasnya. Orang harus belajar mengerahkan segenap hati mereka untuk melaksanakan tugas mereka, dan orang yang memiliki hati nurani mampu melakukannya. Jika orang tak pernah mengerahkan segenap hati mereka untuk melaksanakan tugas mereka, itu artinya mereka tidak memiliki hati nurani, dan orang yang tidak berhati nurani tidak mampu memperoleh kebenaran. Mengapa Kukatakan mereka tidak mampu memperoleh kebenaran? Karena mereka tidak tahu cara berdoa kepada Tuhan dan mencari pencerahan Roh Kudus, juga tidak tahu bagaimana memperhatikan maksud Tuhan, tidak tahu bagaimana mengerahkan segenap hati mereka untuk merenungkan firman Tuhan, juga tidak tahu bagaimana mencari kebenaran, bagaimana berusaha untuk memahami tuntutan Tuhan dan keinginan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan tidak mampu mencari kebenaran. Apakah engkau semua mengalami keadaan ketika, apa pun yang terjadi, atau tugas seperti apa pun yang kaulaksanakan, engkau mampu untuk sering kali menenangkan dirimu di hadapan Tuhan, dan mengerahkan segenap hatimu untuk merenungkan firman-Nya, dan mencari kebenaran, dan memikirkan bagaimana engkau harus melaksanakan tugas itu agar sesuai dengan maksud Tuhan dan memikirkan kebenaran mana yang harus kaumiliki agar dapat melaksanakan tugas itu dengan memuaskan? Apakah engkau sering kali mencari kebenaran dengan cara seperti ini? (Tidak.) Mengerahkan segenap hati untuk melaksanakan tugasmu dan mampu mengambil tanggung jawab mengharuskanmu untuk menderita dan membayar harga—tidaklah cukup untuk hanya membicarakan tentang hal-hal ini. Jika engkau tidak mengerahkan segenap hatimu untuk tugasmu, sebaliknya, selalu ingin bekerja keras, maka tugasmu tentu tidak akan terlaksana dengan baik. Engkau hanya akan melaksanakan tugasmu dengan asal-asalan, dan tidak lebih dari itu, dan engkau tidak akan tahu apakah engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik atau tidak. Jika engkau mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakan tugasmu, engkau akan secara berangsur memahami kebenaran; jika engkau tidak melaksanakan tugasmu, engkau tidak akan memahami kebenaran. Ketika engkau mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakan tugasmu dan mengejar kebenaran, engkau akan secara berangsur mampu memahami maksud Tuhan, mengetahui kerusakan dan kekuranganmu sendiri, dan menguasai semua keadaanmu yang beraneka ragam. Jika engkau hanya berfokus mengerahkan upayamu, tetapi engkau tidak mengerahkan segenap hatimu untuk merenungkan dirimu sendiri, engkau tidak akan mampu mengenali keadaan dirimu yang sebenarnya serta berbagai reaksi dan penyingkapan kerusakan yang kauperlihatkan di berbagai lingkungan. Jika engkau tidak tahu apa akibatnya jika masalah tidak diselesaikan, engkau akan berada dalam banyak masalah. Inilah sebabnya, tidak baik percaya kepada Tuhan dengan cara yang bingung seperti itu. Engkau harus hidup di hadapan Tuhan kapan pun dan di mana pun; apa pun yang menimpamu, engkau harus selalu mencari kebenaran, dan sementara mencari kebenaran, engkau juga harus merenungkan dirimu sendiri dan mengetahui masalah apa yang ada di dalam keadaanmu, segeralah mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Hanya dengan cara demikianlah, engkau dapat melaksanakan tugasmu dengan baik dan tidak menunda pekerjaan. Engkau bukan saja akan mampu melaksanakan tugasmu dengan baik, tetapi yang terpenting adalah engkau juga akan memiliki jalan masuk kehidupan dan mampu membereskan watak rusakmu. Hanya dengan cara demikianlah, engkau dapat masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Jika yang sering kaurenungkan dalam hatimu bukanlah hal-hal yang berkaitan dengan tugasmu, atau hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran, dan engkau malah terjerat dalam hal-hal lahiriah, merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan daging, maka akan mampukah engkau memahami kebenaran? Akan mampukah engkau melaksanakan tugasmu dengan baik dan hidup di hadapan Tuhan? Tentu saja tidak. Orang semacam ini tidak dapat diselamatkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya Orang Jujur yang Mampu Hidup dalam Keserupaan dengan Manusia Sejati"). Tuhan benar-benar menggambarkan diriku dalam penyingkapan-Nya tentang sikap semacam ini. Saat mulai melaksanakan tugas ini, aku tidak mengambil tanggung jawab apa pun. Kulihat rekan sekerjaku lebih berpengalaman daripadaku, jadi aku langsung mundur dan merasa semuanya baik-baik saja asalkan aku bisa memastikan tidak ada yang salah dengan pekerjaanku sendiri. Jika melakukannya seperti ini, aku akan terlihat terhormat dan tak perlu melelahkan diriku, jadi aku hanya berfokus pada pekerjaanku sendiri dan tak pernah memikirkan pekerjaan yang mereka tangani, aku juga tidak menganggap serius masalah atau kesulitan yang muncul dalam pekerjaan. Saat pemimpin bertanya mengapa pekerjaan kelompok kami sangat tidak efisien, aku tak punya jawabannya. Sikap seperti ini sama dengan sikap orang tidak percaya dalam memperlakukan pekerjaan mereka. Dalam hal apa aku mengindahkan kehendak Tuhan dalam tugasku? Saat masalah muncul dalam pekerjaan, aku tidak mencari kebenaran atau merangkum penyimpangan yang terjadi, dan aku juga tidak memikirkan cara untuk meningkatkan efisiensi. Aku selalu merasa asalkan rekan sekerjaku bisa menanganinya, aku bisa sedikit bersantai. Setiap kali ada waktu, aku memanjakan dagingku atau menonton video sekuler. Aku menjadi makin tak bermoral dan makin jauh dari Tuhan. Aku sadar bahwa aku tidak tekun dalam tugasku. Aku hanya memperlakukannya seperti pekerjaan. Bagaimana aku bisa melakukan tugasku dengan baik dengan cara ini? Pada saat inilah, aku akhirnya sadar bahwa pengaturan Tuhanlah yang telah menyebabkan "sandaran"-ku pergi untuk memberiku kesempatan berlatih, belajar merasakan kepedulian, aktif memikul tanggung jawab, mengandalkan Tuhan dalam kesulitan, dan mencari prinsip-prinsip kebenaran. Yang lebih penting lagi, ini memungkinkanku untuk menyadari bahwa sikapku yang malas dan tidak bertanggung jawab terhadap tugas sangat menjijikkan bagi Tuhan. Kini, tekanan pekerjaan akan memaksaku untuk lebih tekun dalam tugasku, dan memaksaku untuk berupaya melakukan tugas dengan baik. Setelah memahami kehendak Tuhan, aku bersedia tunduk pada situasi ini. Selama beberapa hari berikutnya, aku secara sadar berupaya lebih keras dalam pekerjaanku. Begitu menemukan masalah dalam pekerjaan video, aku mencatatnya dan berusaha menyelesaikannya. Aku membuat rencana belajar dan berusaha mengambil alih pekerjaan secepat mungkin. Setelah bisa menyesuaikan diri, aku punya lebih banyak waktu untuk pekerjaanku, dan merasa lebih damai setiap harinya.
Beberapa waktu kemudian, aku bermitra dengan saudari lain. Awalnya, aku masih berkeinginan untuk lebih bertanggung jawab, tapi tak lama kemudian, kulihat saudari itu sangat terampil dan punya lebih banyak keahlian profesional daripadaku, jadi aku menyerahkan beberapa tugas kepadanya, lalu tidak melibatkan diriku lebih jauh. Terkadang, untuk menjaga reputasiku, aku berpartisipasi dalam diskusi, tapi tidak mau memberi saran, kupikir: "Melihatmu mampu menangani banyak hal, aku tak perlu khawatir dan aku bisa bersantai untuk sementara waktu." Pemimpinku memperingatkanku agar lebih memedulikan pekerjaan, dan selama beberapa hari setelah pemimpin mengatakannya, aku lebih memedulikan pekerjaan, tapi tak lama kemudian, aku kembali malas seperti sebelumnya. Terkadang, saudara-saudari mengirimi kami pesan tentang masalah rumit yang muncul dalam pekerjaan yang harus segera ditangani, tapi begitu melihat bahwa masalah itu adalah pekerjaan yang sebagian besar ditindaklanjuti saudariku, aku tak mau repot. Aku sengaja menandai pesan itu sebagai pesan yang belum dibaca dan berpura-pura tidak melihatnya, berpikir saudariku bisa mengatasinya nanti. Meskipun aku merasa sikapku tidak bertanggung jawab, karena kemajuan pekerjaan berjalan dengan normal, aku tidak terlalu memikirkannya. Beberapa bulan kemudian, kami diberi tanggung jawab atas bagian pekerjaan video yang berbeda. Kali ini, tidak ada yang membantuku dan aku tahu bahwa aku pasti akan menghadapi banyak kesulitan dan masalah. Namun, saat teringat bagaimana aku kurang bertanggung jawab dalam tugasku, dan bahwa ini mungkin adalah hal yang baik bagiku, kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku harus mulai dengan tunduk. Namun, setelah benar-benar memulainya, aku mendapati ada lebih banyak hal yang harus kutindaklanjuti, dan pekerjaan sedemikian banyak yang harus kutangani setiap harinya terasa tak ada habisnya. Selain itu, keterampilan profesionalku tidak bagus dan makin banyak masalah tersingkap dengan sendirinya. Setiap video yang kami buat menerima saran, dan aku harus memikirkan cara untuk menanggapi masing-masing saran. Lambat laun, semangat kecil yang kumiliki habis, dan aku sering bertanya-tanya dalam hatiku, "Aku sudah berusaha keras, tapi masih ada begitu banyak masalah, mungkin akan lebih baik jika pemimpin menemukan seseorang yang lebih cocok." Tak lama kemudian, sejumlah video kami secara berturut-turut dikembalikan untuk dikerjakan ulang, dan aku merasa makin tertekan. Aku tak lagi ingin menyelesaikan masalah rumit yang kuhadapi dan makin merindukan masa-masa saat aku bekerja sama dengan orang lain dalam tugasku, saat aku bisa dengan gembira bersembunyi di belakang mereka, dan tak perlu mendapat tekanan sebanyak ini. Aku merasa tidak bersemangat untuk melaksanakan tugasku, langkahku terasa berat saat berjalan. Saat itulah aku sadar tidak boleh terus melaksanakan tugasku dalam keadaan seperti ini, jadi aku berdoa kepada Tuhan. Saat mencari, aku tiba-tiba teringat Nuh. Dia mengalami banyak kesulitan dan kegagalan saat membangun bahtera, tetapi tak pernah menyerah, dan terus bekerja selama 120 tahun, sampai akhirnya menyelesaikan bahtera tersebut, dan melaksanakan amanat Tuhan. Namun, saat menghadapi sedikit kesulitan, aku ingin melepaskan beban dan melarikan diri. Bukankah aku bersikap pengecut? Memikirkan ini, aku mampu sedikit menenangkan diriku dan mampu menghadapi masalah pekerjaanku dengan baik.
Selama saat teduhku, aku membaca bagian firman Tuhan ini: "Semua pemimpin palsu tidak pernah melakukan pekerjaan nyata, dan mereka bertindak seolah-olah peran kepemimpinan mereka adalah sebuah jabatan resmi, menikmati manfaat dari status mereka. Tugas dan pekerjaan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemimpin diperlakukan mereka sebagai beban, sebagai gangguan. Di dalam hatinya, mereka penuh dengan penentangan terhadap pekerjaan gereja: jika engkau menyuruh mereka mengawasi pekerjaan dan mencari tahu masalah yang ada dalam pekerjaan tersebut yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan, mereka akan melakukannya dengan penuh keengganan. Ini adalah pekerjaan yang sudah seharusnya dilakukan oleh para pemimpin dan pekerja, ini adalah pekerjaan mereka. Jika engkau tidak melakukannya—jika engkau tidak bersedia melakukannya—mengapa engkau masih ingin menjadi pemimpin atau pekerja? Apakah engkau melaksanakan tugasmu agar engkau memikirkan maksud-maksud Tuhan, atau agar engkau menjadi seorang pejabat dan menikmati manfaat dari statusmu tersebut? Bukankah tidak tahu malu menjadi seorang pemimpin jika hanya ingin memiliki jabatan resmi? Tidak ada orang karakternya lebih rendah dari mereka—orang-orang ini tidak punya harga diri, mereka tidak punya rasa malu. Jika engkau ingin menikmati kenyamanan daging, kembalilah segera ke dunia dan berjuanglah, raihlah, dan rebutlah semampumu. Tak seorang pun akan ikut campur. Rumah Tuhan adalah tempat bagi umat pilihan Tuhan untuk melaksanakan tugas mereka dan menyembah-Nya; itu adalah tempat bagi orang-orang untuk mengejar kebenaran dan diselamatkan. Rumah Tuhan bukanlah tempat bagi siapa pun untuk menikmati kenyamanan daging, dan terlebih lagi, rumah Tuhan bukanlah tempat yang memungkinkan orang untuk hidup nyaman dalam kemewahan. ... Ada orang-orang yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan atau tugas apa pun yang mereka laksanakan dengan berhasil, itu terlalu berat bagi mereka, mereka tidak mampu memenuhi satu pun dari kewajiban atau tanggung jawab yang seharusnya orang lakukan. Bukankah mereka itu sampah? Apakah mereka masih layak disebut manusia? Kecuali orang-orang bodoh, cacat mental, dan mereka yang menderita berbagai gangguan fisik, adakah orang hidup yang tidak diharuskan melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka? Namun, orang seperti ini selalu licik dan bermain kotor, dan tidak ingin memenuhi tanggung jawab mereka; kesimpulannya mereka tidak ingin berperilaku seperti manusia normal. Tuhan memberi mereka kesempatan untuk menjadi manusia, dan Dia memberi mereka kualitas dan karunia, tetapi mereka tidak mampu memanfaatkan semua ini dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa pun, tetapi ingin menikmati kenikmatan di setiap kesempatan. Apakah orang seperti itu pantas disebut manusia? Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada mereka—entah itu penting atau biasa, sulit atau sederhana—mereka selalu asal-asalan, selalu malas dan licik. Ketika muncul masalah, mereka mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab mereka kepada orang lain; mereka tidak memikul tanggung jawab, ingin tetap hidup dalam kehidupan parasit mereka. Bukankah mereka sampah yang tidak berguna? Di tengah masyarakat, siapa yang tidak perlu bergantung pada diri mereka sendiri untuk bertahan hidup? Setelah orang tumbuh dewasa, mereka harus mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Orang tua mereka telah memenuhi tanggung jawab mereka. Meskipun orang tua mereka bersedia mendukung mereka, mereka akan merasa tidak nyaman akan hal itu, dan seharusnya dapat mengakui, 'Orang tuaku telah menyelesaikan pekerjaan mereka membesarkan anak-anak. Aku sudah dewasa, tubuhku sehat dan kuat—aku harus bisa hidup mandiri.' Bukankah ini nalar minimum yang harus orang dewasa miliki? Jika orang benar-benar bernalar, mereka tidak boleh terus merengek kepada orang tua mereka; mereka pasti takut ditertawakan orang lain, takut dipermalukan. Jadi, apakah orang yang menyukai kemudahan dan benci bekerja memiliki nalar? (Tidak.) Mereka selalu menginginkan sesuatu tanpa usaha; mereka tidak pernah ingin memikul tanggung jawab apa pun, ingin ada permen yang jatuh dari langit dan langsung masuk ke mulut mereka; mereka selalu ingin makan tiga kali sehari, ingin ada orang yang melayani mereka, dan senang makan dan minum enak tanpa sedikit pun bekerja. Bukankah ini pola pikir parasit? Dan apakah orang yang adalah parasit memiliki hati nurani dan nalar? Apakah mereka memiliki martabat dan integritas? Sama sekali tidak; mereka semua para pendompleng yang tidak berguna, mereka semua binatang buas yang tidak berhati nurani ataupun bernalar. Tak seorang pun dari mereka layak untuk tetap berada di rumah Tuhan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja (8)"). Firman Tuhan mendorongku untuk merenungkan bahwa: memantau dan memahami masalah dalam pekerjaan, serta mencari kebenaran untuk menyelesaikannya adalah tugas pemimpin dan pekerja, tetapi pemimpin palsu menganggapnya sebagai beban. Ini memperlihatkan bahwa mereka di sini bukan untuk melaksanakan tugas, melainkan untuk menikmati manfaat dari kedudukan mereka. Aku sadar bahwa perilakuku juga seperti ini. Aku seharusnya mau memikul tanggung jawab dan menyelesaikan masalah dan kesulitan yang muncul, aku seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk mencari kebenaran dan melengkapi kekuranganku, yang akan memungkinkanku untuk maju lebih cepat. Namun, aku ingin menolak tugasku karena ada terlalu banyak kesulitan. Sebagai pengawas, aku tidak melakukan pekerjaan nyata atau tidak menyelesaikan masalah nyata. Bukankah ini berarti aku mendambakan manfaat dari statusku? Saat mengingat kembali perilakuku, meskipun aku mungkin terlihat bekerja saat memiliki rekan sekerja, pekerjaan itu sebenarnya dibagi di antara kami, dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku tidak sebanyak mereka. Tugasku mudah, jadi aku merasa sangat santai. Saat kedua rekan sekerjaku dipindahkan, tekanan pekerjaan benar-benar menumpuk, aku harus menderita untuk memikul tanggung jawabku, jadi aku bersikap menentang, bahkan ingin mengkhianati Tuhan dan menolak tugasku. Kemudian, meskipun aku memperbaiki keadaanku dengan makan dan minum firman Tuhan, saat bermitra dengan seorang saudari yang lebih berpengalaman, aku kembali mengambil tanggung jawab yang lebih sedikit, lalu menghabiskan hari-hariku melaksanakan tugasku dengan santai, tak mau membuat diriku khawatir. Saat aku diminta untuk bertanggung jawab penuh atas pekerjaan video kali ini dan kesulitan meningkat, aku kembali ingin melarikan diri. Aku sadar bahwa sikapku terhadap tugas sangat licik dan aku siap melarikan diri begitu melihat kesulitan fisik atau tanggung jawab. Aku selalu ingin menangani pekerjaan yang mudah dan bebas stres, padahal sebenarnya, semua pekerjaan mengandung kesulitan tertentu, dan jika aku tidak membereskan watak rusakku, aku tidak akan mampu melaksanakan tugas apa pun dengan benar. Kusadari bahwa pada dasarnya aku muak akan kebenaran dan tidak menyukai hal-hal positif. Tujuanku bukanlah untuk melaksanakan tugas, melainkan untuk menikmati berkat. Pada akhirnya, iman seperti ini sia-sia! Terutama saat membaca dalam firman Tuhan: "Mereka selalu menginginkan sesuatu tanpa usaha; mereka tidak pernah ingin memikul tanggung jawab apa pun, ingin ada permen yang jatuh dari langit dan langsung masuk ke mulut mereka; mereka selalu ingin makan tiga kali sehari, ingin ada orang yang melayani mereka, dan senang makan dan minum enak tanpa sedikit pun bekerja. Bukankah ini pola pikir parasit?" Aku persis seperti orang yang Tuhan singkapkan, aku hanya ingin menuai, tapi tak pernah menabur, dan menikmati hasil kerja orang lain. Bukankah aku hanya sampah? Makin memikirkannya, makin aku merasa mual akan diriku. Dahulu, orang yang paling kubenci adalah pendompleng yang masih hidup dari orang tua mereka, orang dewasa yang tidak meninggalkan rumah, yang memanfaatkan orang tua mereka, dan yang tidak memikul tanggung jawab. Mereka tidak berguna. Namun, apa bedanya perilakuku saat ini dengan perilaku mereka? Saat mencela diri, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, akhirnya aku sadar bahwa aku benar-benar egois dan tidak tulus dalam tugasku. Aku hanya memikirkan dagingku dan ingin menjadi parasit. Aku sangat takut karena memiliki pikiran yang rusak seperti ini. Ada sangat banyak pekerjaan di gereja yang butuh kerja sama mendesak, tetapi aku tidak berusaha membuat kemajuan atau memikul beban. Aku sampah."
Aku terus merenungkan diriku. Mengapa aku selalu ingin melarikan diri dan menolak tugasku setiap kali tekanan dan kesulitan memuncak dalam pekerjaanku? Apa sebenarnya sumber penyebab dari semua ini? Dalam pencarianku, aku membaca firman Tuhan: "Sekarang ini, engkau tidak percaya pada firman yang Kuucapkan, dan engkau tidak menghiraukannya; ketika tiba saatnya pekerjaan ini disebarluaskan, dan engkau menyaksikan seluruhnya, engkau akan menyesal, dan saat itulah engkau akan tercengang. Ada berbagai berkat, tetapi engkau tidak tahu cara menikmatinya, dan ada kebenaran, tetapi engkau tidak mengejarnya. Bukankah engkau menghina dirimu sendiri? Sekarang ini, sekalipun langkah pekerjaan Tuhan berikutnya belum dimulai, tidak ada tuntutan tambahan yang diminta darimu dan apa yang harus kauhidupi. Ada begitu banyak pekerjaan dan begitu banyak kebenaran; apakah semua itu tidak layak engkau ketahui? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan tidak mampu membangkitkan rohmu? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan tidak mampu membuatmu membenci diri sendiri? Apakah engkau puas hidup di bawah pengaruh Iblis, dengan kedamaian dan sukacita, dan sedikit kenyamanan daging? Bukankah engkau yang paling hina dari semua orang? Tidak ada yang lebih bodoh selain mereka yang telah melihat keselamatan tetapi tidak berupaya mendapatkannya; mereka inilah orang-orang yang mengenyangkan daging mereka sendiri dan menikmati Iblis. Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! Engkau hidup seperti babi—apa bedanya antara engkau, babi, dan anjing? Bukankah mereka yang tidak mengejar kebenaran, melainkan mengasihi daging, adalah binatang buas? Bukankah mereka yang mati, tanpa roh, adalah mayat berjalan? Berapa banyak firman yang telah disampaikan di antara engkau sekalian? Apakah hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan di antaramu? Berapa banyak yang telah Kuberikan di antaramu? Lalu mengapa engkau tidak mendapatkannya? Apa yang harus engkau keluhkan? Bukankah engkau tidak mendapatkan apa-apa karena engkau terlalu mengasihi daging? Dan bukankah ini karena pikiranmu yang terlalu muluk-muluk? Bukankah karena engkau terlalu bodoh? Jika engkau tidak mampu memperoleh berkat-berkat ini, dapatkah engkau menyalahkan Tuhan karena tidak menyelamatkanmu? Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Dari firman Tuhan yang keras ini, aku merasakan betapa Tuhan sangat muak dan antipati terhadap orang-orang yang mendambakan kenyamanan, bahwa bagi-Nya, mereka hanyalah binatang. Mereka pemalas, tak mau bekerja untuk mengalami kemajuan, suka bermalas-malasan, dan pada akhirnya, mereka tidak melaksanakan tugas dengan benar dan tidak memperoleh kebenaran. Mereka adalah sampah. Seperti inilah diriku. Aku senang jika tugasku berjalan lancar, dan asalkan aku memiliki tugas dan tidak diberhentikan atau disingkirkan, semuanya baik-baik saja. Namun, begitu menghadapi kesulitan yang mengharuskanku menderita atau membayar mahal, aku mundur. Aku hanya ingin memilih pekerjaan yang sederhana dan mudah, serta menjunjung prinsip hidup Iblis "Nikmatilah hidup selagi masih hidup" dan "Perlakukan dirimu dengan baik". Karena dikuasai oleh pemikiran dan pandangan ini, aku selalu mendambakan kenyamanan dan merasa kesal setiap kali pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku menumpuk, khawatir itu akan mengurangi waktu luangku. Saat harus mempelajari lebih banyak keterampilan, aku tidak benar-benar membayar harga. Akibatnya, setelah beberapa saat, keterampilanku tidak mengalami banyak kemajuan dan tak mampu menangani pekerjaan itu. Terkadang, aku bahkan melalaikan tugasku dan menonton video sekuler dengan dalih mempelajari keterampilan, membuat jiwaku menjadi makin gelap. Sebagai pengawas, saat muncul masalah dalam pekerjaan, aku seharusnya aktif menindaklanjuti dan menyelesaikannya, tetapi begitu melihat masalahnya sedikit rumit, aku malah menggunakan tipu muslihat untuk mengabaikannya, menunda kemajuan pekerjaan. Yang lebih parah, aku selalu ingin mencari orang untuk menggantikanku dan meringankan tekanan yang kurasakan. Aku tahu membuat video sangat penting, tetapi aku ingin memuaskan dagingku dan melarikan diri di setiap momen genting, sama sekali tidak mau bertanggung jawab. Aku sama seperti anak kecil yang telah dibesarkan hingga dewasa oleh orang tuanya, tetapi saat tiba waktunya untuk berkorban bagi keluarganya, dia justru takut menderita dan tak mau bertanggung jawab. Orang seperti ini tak punya hati nurani dan tak tahu berterima kasih. Aku memikirkan perilakuku yang selama ini sama seperti itu. Tuhan telah membimbingku sampai saat ini dan juga telah beranugerah kepadaku, mengizinkanku melaksanakan tugas sepenting itu, tetapi aku selalu takut menderita dan hanya memikirkan dagingku. Aku sama sekali tak punya hati nurani! Aku selalu mengeluhkan kesukaran dalam tugasku dan benci kehilangan kenyamanan fisik. Aku bukan saja kehilangan kesempatanku untuk memperoleh kebenaran, tetapi aku juga mengacaukan tugasku dan hanya menghasilkan pelanggaran. Akhirnya, aku pasti akan ditolak dan disingkirkan oleh Tuhan!
Aku mulai mencari jalan penerapan. Aku membaca firman Tuhan: "Misalkan gereja memberimu pekerjaan untuk kaulaksanakan, dan engkau berkata, 'Entah pekerjaan itu akan memungkinkanku untuk mendapatkan perhatian atau tidak—karena pekerjaan itu diberikan kepadaku, aku akan melakukannya dengan baik. Aku akan menerima tanggung jawab ini. Jika aku ditugaskan untuk menjadi penyambut tamu, aku akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk menyambut orang-orang dengan baik; aku akan melayani saudara-saudari dengan baik, dan berusaha sebaik mungkin menjaga keselamatan semua orang. Jika aku ditugaskan untuk mengabarkan Injil, aku akan memperlengkapi diriku dengan kebenaran dan mengabarkan Injil dengan penuh kasih dan melaksanakan tugasku dengan baik. Jika aku ditugaskan untuk belajar bahasa asing, aku akan mempelajarinya dengan rajin dan berupaya keras, dan mempelajarinya dengan baik secepat mungkin, dalam waktu satu atau dua tahun agar aku dapat bersaksi tentang Tuhan kepada orang asing. Jika aku diminta untuk menulis artikel kesaksian, aku akan melatih diriku dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya dan memandang segala sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran; aku akan belajar tentang bahasa, dan meskipun aku mungkin tak mampu menulis artikel dengan prosa yang indah, setidaknya aku akan dapat menyampaikan kesaksian pengalamanku dengan jelas, mempersekutukan kebenaran dengan jelas, dan memberikan kesaksian yang nyata bagi Tuhan, sampai sedemikian rupa hingga ketika orang membaca artikelku, mereka merasa terdidik dalam kerohanian mereka dan memperoleh manfaat. Pekerjaan apa pun yang gereja tugaskan kepadaku, aku akan melaksanakannya dengan segenap hati dan kekuatanku. Jika ada sesuatu yang tidak kupahami atau muncul masalah, aku akan berdoa kepada Tuhan, mencari kebenaran, menyelesaikan masalah berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, dan melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Apa pun tugasku, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakannya dengan baik dan memuaskan Tuhan. Untuk apa pun yang dapat kucapai, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memikul semua tanggung jawab yang harus kutanggung, dan setidaknya, aku tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan nalarku, atau bersikap asal-asalan, atau bersikap licik dan licin, atau menikmati hasil jerih payah orang lain. Semua yang kulakukan akan memenuhi standar hati nurani.' Ini adalah standar minimum manusia dalam berperilaku, dan orang yang melaksanakan tugas mereka dengan cara seperti itu dapat dianggap memenuhi syarat sebagai orang yang berhati nurani dan berakal sehat. Engkau setidaknya harus memiliki hati nurani yang bersih dalam melaksanakan tugasmu, dan engkau harus merasa bahwa setidaknya engkau layak mendapatkan makan tiga kali sehari dan bukan mendapatkannya tanpa mengerjakan apa pun. Ini disebut rasa tanggung jawab. Entah kualitasmu tinggi atau rendah, dan entah engkau memahami kebenaran atau tidak, engkau harus memiliki sikap ini: 'Karena pekerjaan ini diberikan kepadaku untuk kulaksanakan, aku harus memperlakukannya dengan serius; aku harus menganggapnya penting dan melaksanakannya dengan baik, dengan segenap hati dan kekuatanku. Tentang apakah aku dapat melaksanakannya dengan sempurna atau tidak, aku tidak bisa memberikan jaminan, tetapi sikapku adalah, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk memastikan pekerjaan itu dilaksanakan dengan baik, dan aku pasti tidak akan bersikap asal-asalan terhadap pekerjaan itu. Jika muncul masalah dalam pekerjaan, aku harus bertanggung jawab, dan memastikan aku memetik pelajaran darinya dan melaksanakan tugasku dengan baik.' Inilah sikap yang benar. Apakah engkau semua memiliki sikap seperti itu?" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja (8)"). Firman Tuhan sangat menginspirasiku. Karena gereja menjadikanku penanggung jawab pekerjaan ini, aku harus memikul semua tanggung jawab yang mampu dipikul orang dewasa. Setinggi apa pun kualitasku, secakap apa pun aku dalam pekerjaanku, atau sebanyak apa pun kesulitan yang kuhadapi dalam tugasku, aku tak boleh mundur, aku harus terus maju dan mengerahkan segenap kemampuanku untuk pekerjaan ini. Beberapa waktu kemudian, setiap kali kami selesai membuat video dan menerima saran orang lain, meskipun itu masalah yang tak kusadari atau tidak kuketahui cara menanganinya, aku selalu aktif mencari jalan untuk menyelesaikannya atau berusaha mencari orang yang lebih berpengalaman yang bisa kutanya. Lambat laun, aku menjadi lebih memahami keterampilan ini dan lebih memahami prinsip. Sebelumnya, setiap kali ada masalah rumit, aku terbiasa menyerahkannya kepada salah satu rekan sekerjaku untuk ditanganinya, tidak segera membalas pesan di grup obrolan, dan bermalas-malasan. Sekarang, aku mampu secara aktif mengambil tanggung jawab dan memikul lebih banyak beban dalam tugasku. Meskipun selalu ada kesulitan saat kami bekerja sama, karena aku berfokus mengandalkan Tuhan, dan berdiskusi dengan semua orang, jalan yang harus kami ambil menjadi makin jelas.
Setelah mengalami hal ini, barulah aku sadar betapa egois dan liciknya aku, betapa aku licik dan malas dalam tugasku, tak mau memikul tanggung jawab. Setelah memperbaiki sikapku, bersedia mengindahkan beban Tuhan, dan mengerahkan seluruh kemampuan untuk bekerja sama, aku melihat kepemimpinan dan bimbingan Tuhan, mendapatkan iman di dalam diriku, dan aku mau berlatih menjadi seseorang yang berakal sehat dan bertanggung jawab, yang melaksanakan tugasnya.