37. Tuhan Ada di Sisiku

Oleh Guozi, Amerika Serikat

Aku dilahirkan dalam keluarga Kristen, dan ketika aku berusia satu tahun, ibuku menerima Tuhan yang Mahakuasa—pekerjaan baru dari Tuhan Yesus yang datang kembali—meskipun nenekku sangat menentangnya. Aku ingat ketika aku masih kecil, nenekku sangat sering berkata kepadaku, "Jika kau merasa tidak sehat atau tidak dapat membuat pekerjaan rumahmu, berdoa saja kepada Tuhan Yesus. Dia akan memberimu kecerdasan dan hikmat, dan Dia akan menjagamu agar tetap aman." Namun, ibuku sering mengatakan kepadaku, "Tuhan menciptakan dunia ini dan Dia menciptakan umat manusia. Dia selalu bersama kita. Ingatlah untuk berdoa kepada Tuhan yang Mahakuasa ketika kau menghadapi masalah apa pun dan Dia akan menjagamu serta melindungimu." Dua suara yang berbeda ini kerap terdengar di telingaku. Suatu kali aku bertanya kepada ibuku dengan bimbang, "Nenek ingin aku berdoa kepada Tuhan Yesus dan ibu ingin aku berdoa kepada Tuhan yang Mahakuasa. Siapa yang harus kudengarkan?" Dia berkata, "Sebenarnya, Tuhan Yesus dan Tuhan yang Mahakuasa adalah Tuhan yang sama. Hanya saja waktunya berbeda, nama yang digunakan Tuhan berbeda, dan pekerjaan yang dilakukan-Nya juga berbeda. Tuhan Yesus melakukan pekerjaan Zaman Kasih Karunia, dan Tuhan yang Mahakuasa melakukan pekerjaan Zaman Kerajaan. Dia mengubah cara kerja-Nya di setiap zaman, dan Dia juga mengubah nama-Nya. Tetapi tidak masalah bagaimana nama-Nya dan pekerjaan-Nya dapat berubah, esensi-Nya tetap tidak berubah. Misalnya, hari ini kau mengenakan baju warna merah untuk pergi ke sekolah dan besok kau akan mengenakan baju warna biru untuk pergi ke restoran—meskipun kau mengenakan pakaian yang berbeda, dan melakukan hal yang berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda pula, kau tetaplah kau. Tetapi ketika zaman baru Tuhan tiba, kita harus mengikuti perkembangan pekerjaan baru-Nya. Itulah sebabnya kita harus berdoa kepada Tuhan yang Mahakuasa sekarang." Meskipun aku mendengarkan penjelasan ibuku, aku tetap merasa sangat bingung dan masih memiliki sikap yang agak bimbang terhadap pekerjaan baru dari Tuhan yang Mahakuasa.

Pada bulan Agustus 2014, aku pergi ke Amerika Serikat untuk belajar di luar negeri. Ibuku juga datang beberapa bulan kemudian dan menghubungi Gereja Tuhan yang Mahakuasa di AS. Sejak saat itu, sedikit demi sedikit aku mulai memahami keberadaan Tuhan yang Mahakuasa. Ketika aku baru saja tiba di AS untuk studiku, aku merasa sangat sulit beradaptasi dengan kehidupan di sini, terutama tinggal di rumah orang lain sendirian saja. Aku benar-benar penakut, karena itu aku takut tidur sendirian. Ibuku memberitahuku, "Kita harus percaya bahwa otoritas Tuhan itu unik. Para iblis dan setan juga berada di bawah otoritas-Nya, jadi apabila kau merasa takut di malam hari, berdoa saja kepada Tuhan. Selama kau memiliki Tuhan di dalam hatimu, Iblis tidak dapat mendekatimu." Setiap kali aku mendengarkan ibuku memberikan persekutuan, aku merasa jauh lebih damai dan tenang.

Pada bulan Desember 2015 aku mulai menghadiri pertemuan-pertemuan di Gereja Tuhan yang Mahakuasa, tetapi karena aku belum memiliki banyak pemahaman tentang perkara iman, sering kali aku harus memaksakan diriku sendiri untuk hadir. Setelah mengalami dua peristiwa, barulah aku pada akhirnya mulai memahami secara nyata keberadaan Tuhan yang sebenarnya, di mana setelah itu aku dapat menegaskan dari lubuk hatiku bahwa Tuhan yang Mahakuasa adalah satu-satunya Tuhan yang benar, dan bahwa Dia selalu ada di sisiku ...

Waktu itu hari Jumat sore dan hanya ada satu kelas seni yang tersisa sebelum sekolah untuk hari itu selesai dan aku bisa pulang. Seorang teman sekelas tiba-tiba berkata kepadaku, "Ayo kita membolos dari kelas terakhir dan pergi ke pusat kota untuk makan dan jalan-jalan di pertokoan. Kudengar ada restoran baru makanan laut yang benar-benar enak." Mendengar hal ini, aku menjadi tergoda—aku tidak punya apa pun untuk makan siang dan aku benar-benar lapar. Perutku berbunyi, nyaris seolah sedang mendesakku untuk bergegas ke restoran makanan laut itu. Namun aku masih ragu. "Aku tidak pernah membolos dari kelas," pikirku. "Bagaimana jika aku tertangkap?" Tetapi kemudian aku berpikir, "Xiaoli dari kelas kami bahkan membolos pada kelas-kelas yang penting dan telah melakukannya begitu banyak kali tanpa ketahuan, jadi aku juga tidak akan tertangkap." Karena itu aku setuju untuk pergi dengan teman sekelasku dan meminta guru seniku untuk memaafkan ketidakhadiranku, dengan mengatakan bahwa aku harus pergi ke dokter sore itu dan perlu pulang lebih awal. Kemudian teman sekelasku dan aku naik taksi ke pusat kota untuk jalan-jalan di pertokoan dan makan, dan aku belum pulang ke rumah sampai jam delapan atau sembilan malam itu. Setelah pulang, aku mendapat surat dari seorang guru yang bertanggung jawab atas siswa internasional yang memintaku untuk membawa dokumentasi dari kunjunganku ke dokter saat masuk ke sekolah nanti. Melihat hal itu aku panik, dan buru-buru mendiskusikannya dengan teman-teman sekelasku. Salah seorang mengatakan, "Kau tidak perlu memberikan dokumentasi apa pun kepada guru. Itu sifatnya pribadi." Aku merasa bahwa apa yang dikatakannya benar, tetapi karena akulah yang salah dalam hal ini, aku merasa malu untuk marah dan berdebat demi kepentinganku sendiri. Karena itu aku meminta induk semangku untuk membantuku memikirkan jalan keluar dari masalah itu. Dia mengatakan kepadaku untuk pergi ke guru yang bertanggung jawab atas hal itu dan mengakui kesalahanku. Setelah mendengarkan apa yang dikatakannya, hatiku menjadi sangat bingung—aku tidak tahu apakah aku harus mengakui kesalahan atau melanjutkan tipu muslihatku. Aku membolak-balikkan badan di ranjang malam itu, tidak bisa tidur. Aku ingin mengakui kesalahanku, tetapi aku takut apa yang akan dipikirkan oleh guru dan teman sekelasku, takut bahwa citra positif yang biasanya kupertahankan akan musnah dalam sekejap mata. Di tengah-tengah kepedihanku, aku datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa dan mendapatkan jawaban, dan kemudian aku membaca bagian firman Tuhan ini, "Tetapi orang-orang yang curang tidak bertindak seperti ini. Mereka hidup berdasarkan filsafat Iblis dan natur serta substansi mereka yang licik. Mereka harus berhati-hati dalam segala hal yang mereka lakukan agar jangan sampai orang lain memanfaatkan mereka; dalam segala hal yang mereka lakukan, mereka harus menggunakan metode mereka sendiri, serta manipulasi mereka yang curang dan serong, untuk menutupi wajah mereka yang sebenarnya, karena ketakutan bahwa cepat atau lambat mereka akan memperlihatkan sifat mereka yang sesungguhnya—dan ketika mereka benar-benar menunjukkan warna aslinya, mereka mencoba untuk memutarbalikkan keadaan. Ketika mereka untuk mencoba memutarbalikkan keadaan, terkadang hal itu tidak mudah, dan ketika mereka tidak bisa melakukannya, mereka mulai menjadi cemas. Mereka takut orang lain akan melihat sifat mereka yang sesungguhnya; ketika hal itu terjadi, mereka merasa telah mempermalukan diri mereka sendiri, dan kemudian mereka harus memikirkan cara mengatakan sesuatu untuk mengendalikan situasi. ... Dalam benak mereka, mereka selalu berpikir tentang bagaimana mencegahmu salah paham terhadap mereka, bagaimana membuatmu mendengarkan apa yang sedang mereka katakan dan melihat apa yang mereka lakukan dengan cara yang akan mencapai tujuan dari motif mereka. Karena itu mereka memikirkannya berulang kali dalam benak mereka. Ketika mereka tidak bisa tidur di malam hari, mereka memikirkan hal itu; pada siang hari, jika mereka tidak bisa makan, mereka pasti sedang memikirkan hal itu; selama berdiskusi dengan orang lain mereka mempertimbangkan hal itu. Mereka selalu menggunakan kedok, agar kau tidak berpikir mereka adalah orang seperti itu, agar kau berpikir mereka baik, atau agar kau tidak berpikir hal itulah yang mereka maksudkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Pengamalan Paling Mendasar untuk Menjadi Orang Jujur"). Satu demi satu, masing-masing dari firman Tuhan itu menyingkapkan pikiran batinku, seolah-olah secercah cahaya secara tiba-tiba bersinar di sisi gelap dari hatiku, menyingkapkan hatiku terhadap cahaya itu, membuatku merasa sangat malu dan tidak memiliki tempat untuk bersembunyi. "Benar!" pikirku. "Aku membolos dari kelas dan berbohong, dan sesudah itu aku bukan saja tidak mengambil inisiatif untuk mengakui kesalahanku, tetapi malah memutar otak memikirkan cara untuk menutupi kebohonganku, untuk menutupi kebenaran. Aku tidak sedikit pun merasakan penyesalan atau rasa bersalah. Aku bahkan merasa bahwa guru yang bertanggung jawab atas siswa internasional itu seharusnya mengurus urusannya sendiri saja. Oh! Perilaku semacam ini memberontak terhadap Tuhan dan menjijikkan Tuhan! Tak satu pun dari pikiran atau perbuatanku sedikit saja sesuai dengan tuntutan Tuhan—bukan ini cara orang yang percaya kepada Tuhan berperilaku! Tidak, aku tidak boleh menyelesaikan masalahku dengan cara seperti yang dilakukan oleh orang-orang tidak percaya. Aku harus menyatakan penyesalan kepada Tuhan dan bertindak sesuai dengan tuntutan-Nya. Aku harus berbicara dengan jujur dan menjadi orang yang jujur."

Jadi, ketika masuk sekolah hari berikutnya, aku pergi kepada guru dan mengakui kesalahanku membolos dari kelas. Aku sangat terkejut ketika guru yang bertugas tidak mengkritikku sama sekali, tetapi sebaliknya mengatakan bahwa aku sangat jujur dan bahwa adalah baik untuk bisa mengakui kesalahan! Namun tetap harus ada hukuman untuk membolos dari kelas, jadi guru melakukan penahanan padaku selama satu periode setelah kelas bubar, agar aku bisa merenungkan apa yang telah kulakukan. Meskipun aku menerima hukuman yang sangat ringan untuk membolos dari kelas dan berbohong, aku merasa bahwa ini adalah Tuhan yang melindungiku. Kemudian, aku bersekutu dengan saudariku di gereja tentang peristiwa ini di sebuah pertemuan. Setelah mendengarkan kisahku, dia membaca bagian firman Tuhan ini untukku: "Jika engkau percaya pada kedaulatan Tuhan, maka engkau harus percaya bahwa peristiwa yang terjadi setiap hari, baik atau buruk, semua itu tidak terjadi secara acak. Itu bukannya seseorang dengan sengaja bersikap keras kepadamu atau menyasar dirimu; semua ini diatur oleh Tuhan. Mengapa Tuhan mengatur semua hal ini? Bukan untuk mengungkapkan dirimu yang sebenarnya atau menelanjangimu; menelanjangimu bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah menyempurnakanmu dan menyelamatkanmu. Bagaimana Tuhan melakukannya? Dia memulai dengan membuatmu menyadari watakmu sendiri yang rusak, natur dan esensimu, kekuranganmu, dan kelemahanmu. Dengan mengetahui hal-hal ini dan memahaminya dengan jelas barulah engkau dapat mengejar kebenaran dan secara berangsur-angsur membuang watakmu yang rusak. Ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepadamu" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Memperoleh Kebenaran, Orang Harus Belajar dari Orang-Orang, Peristiwa dan Hal-Hal di Sekitar Mereka"). Melalui persekutuan tentang Firman Tuhan, aku mulai memahami mengapa tidak sesuatu pun terjadi meskipun teman sekelasku telah berkali-kali membolos dari kelas, tetapi aku langsung ketahuan oleh guru itu pada pertama kalinya: Itu sungguh adalah kedaulatan Tuhan. Tuhan mengatur lingkungan dengan cara yang nyata untuk menyingkapkan aku, mendidikku, dan mendisiplinkan aku; hal itu dilakukan agar aku dapat memahami natur Iblisku sendiri dan mengenali watak rusakku yang suka berbohong dan menipu, dan dengan demikian mengejar kebenaran, menjadi orang yang jujur, dan hidup dalam gambar manusia sejati. Ini adalah perbuatan Tuhan yang mengasihi dan menyelamatkanku! Di masa lalu, semua orang memujiku karena menjadi anak yang baik, dan aku juga selalu berpikir memang demikian halnya. Namun melalui pengungkapan fakta-fakta dan setelah dihakimi dan disingkapkan oleh firman Tuhan, aku akhirnya menyadari kebengkokan dan kelicikan dari naturku sendiri. Aku bisa tanpa tahu malu berbohong dan menipu, dan tingkat pertumbuhanku sangat kecil; di sepanjang waktu dan di segala tempat, aku bisa bergaul dengan orang-orang tidak percaya dan hidup dalam watakku yang rusak, dengan demikian mempermalukan nama Tuhan. Guru melakukan penahanan padaku—meskipun aku sedikit menderita dalam daging, hal itu membuatku mengingat pelajaran ini, dan aku tidak akan pernah berbohong atau menipu lagi di masa depan. Kalau saja aku berhasil membolos dari kelas tanpa mendapatkan hukuman saat itu, aku pasti akan ingin melakukannya lagi ketika di kemudian hari diperhadapkan pada ujian dan godaan. Kemudian, aku hanya akan berbohong dan berbohong lagi, menjadi semakin dan semakin licin dan licik, dan pada akhirnya aku akan benar-benar dirampas oleh Iblis. Pada saat itu Tuhan bahkan tidak akan mengakuiku lagi karena Dia mengasihi dan menyelamatkan orang-orang yang jujur dan membenci serta menyingkirkan orang-orang yang curang. Pada saat itu aku akhirnya melihat dengan jelas betapa besar harm yang ditimbulkan oleh kebohongan, dan aku juga melihat betapa genting dan pentingnya untuk menjadi orang yang jujur!

Kami mengikuti ujian matematika tidak lama setelah itu. Ketika aku mengulangi pelajaranku lagi malam sebelumnya, aku mendapati bahwa masih ada banyak topik yang belum kukuasai. Ketika memikirkan bahwa ujian itu diadakan pada hari berikutnya, aku menjadi benar-benar cemas. Karena nilai semester itu sangat penting untuk masuk ke universitas, mereka akan melihat nilaiku dari tahun itu, dan jika aku gagal dalam matematika, semua kerja kerasku di masa lalu akan sia-sia saja. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa tertekan. Keesokan harinya, hanya beberapa menit sebelum ujian, aku tiba-tiba menyadari bahwa aku lupa membawa buku catatan tempat aku telah menuliskan semua rumus. Aku benar-benar terhempas dalam kebingungan. Aku secara diam-diam telah menulis banyak contoh soal di buku catatan itu, tetapi sekarang karena buku itu hilang, aku pasti akan gagal dalam ujian. Berpegang pada secercah harapan, aku melihat ke semua tempat, berharap bahwa aku secara tidak sengaja telah menjatuhkannya ke suatu tempat di lantai. Sementara menengok ke atas dan ke bawah, aku melihat jawaban-jawaban pada kertas ujian siswa yang duduk di sebelahku. Aku bersukacita atas keberuntungan yang tiba-tiba ini, rasanya seolah aku mendadak telah melihat secercah harapan. Aku mencuri pandang secara diam-diam pada guru dan melihat bahwa dia sedang asyik dengan pekerjaannya di depan komputer. Aku kemudian dengan cepat melewati semua soal ujian matematika itu dan selanjutnya menepuk siswa di sebelahku, memberi isyarat kepadanya untuk membandingkan jawaban kami. Meskipun aku mengatakan aku ingin membandingkan jawaban, sesungguhnya aku ingin menyalin jawaban-jawabannya ke dalam kertas ujianku sendiri. Dengan perasaan gelisah sepanjang waktu, aku secara diam-diam menyelesaikan seluruh ujian matematika tersebut dengan cara ini.

Aku pikir pada akhirnya aku telah mengatasi mata pelajaran yang paling tidak aku kuasai dan berencana untuk bersenang-senang begitu liburan dimulai. Akan tetapi, sungguh mengejutkanku, beberapa hari kemudian sekolah mengadakan pertemuan untuk orangtua dan wali, dan induk semangku mewakili aku untuk mengambil raporku. Dia mengatakan aku mendapatkan nilai bagus dalam semua pelajaran, tetapi nilai matematikaku belum dimasukkan bersama nilai-nilai lainnya karena sekolah mencurigai kemungkinan adanya masalah integritas akademik. Ketika aku mendengar hal ini, hatiku langsung anjlok—aku khawatir dan bingung, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku berpikir dalam diriku berulang kali, "Masalah dengan integritas akademik? Mungkinkah mereka telah mengetahui aku menyalin jawaban teman sekelasku? Jika itu masalahnya, apa yang harus kulakukan? Mencontek adalah masalah yang sangat serius dan bahkan dapat memengaruhi peluangku untuk masuk ke universitas. Namun saat ini, sekolah hanya mencurigai hal itu, jadi aku masih punya harapan. Semuanya akan baik-baik saja asalkan aku bisa memberikan keterangan yang jelas, tetapi bagaimana aku harus menjelaskan hal ini? Aku memang benar-benar mencontek. Mungkin aku sebaiknya pergi untuk mengakuinya?" Aku memikirkan hal ini berulang kali dalam benakku. Teman-teman sekelasku menyarankan agar aku jangan sekali-kali mengakuinya dalam keadaan apa pun, agar aku sebaiknya mengemukakan alasan apa saja dan keluar dari masalah itu dengan cara mengelabui. Namun kemudian aku berpikir, "Bukan itu yang seharusnya dilakukan oleh orang yang percaya kepada Tuhan. Jadi apa yang akan kulakukan?" Kebetulan ada pertemuan gereja malam itu, jadi aku membuka diri kepada saudari-saudariku dalam persekutuan tentang situasi yang sedang kuhadapi. Salah seorang saudariku memintaku membaca sebuah bagian dari firman Tuhan: "Pada saat ini, orang telah mendengarkan banyak khotbah tentang kebenaran dan telah mengalami banyak sekali pekerjaan Tuhan. Akan tetapi, karena adanya gangguan dan halangan yang ditimbulkan oleh banyak faktor dan berbagai keadaan, kebanyakan orang tidak mampu untuk berhasil dalam melakukan kebenaran maupun sanggup memuaskan Tuhan. Orang telah menjadi semakin malas, dan semakin kurang kepercayaan diri. ... Dia hanya ingin mengaruniakan kebenaran ini kepada mereka, dan menanamkan jalan-Nya dalam diri mereka, dan kemudian mengatur berbagai keadaan untuk menguji mereka dengan berbagai cara. Tujuan-Nya adalah menggunakan firman ini, kebenaran ini, dan pekerjaan-Nya, serta membuahkan hasil akhir yang melaluinya manusia menjadi mampu untuk takut akan Dia dan menjauhi kejahatan. Kebanyakan orang telah Kulihat sekadar menerima firman Tuhan dan menganggapnya sebagai doktrin, huruf-huruf biasa yang tertulis di atas kertas, peraturan yang harus ditaati. Dalam tindakan dan perkataan mereka, atau saat menghadapi ujian, mereka tidak menganggap jalan Tuhan sebagai jalan yang harus mereka pegang teguh. Ini khususnya benar ketika orang dihadapkan pada ujian-ujian besar; Aku belum melihat ada orang semacam itu, yang melakukan pengamalan dengan rasa takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Bagaimana Mengetahui Watak Tuhan dan Hasil yang Akan Dicapai Pekerjaan-Nya"). Aku merasakan teguran dalam hatiku setelah membaca firman ini. Meskipun aku telah sedikit memahami kebenaran mengenai menjadi orang yang jujur dan belum lama ini mengalami didikan dan pendisiplinan Tuhan dalam perkara tersebut, begitu aku menghadapi ujian yang lain, aku masih belum mampu menerapkan kebenaran. Aku tahu dengan sangat jelas bahwa mencontek itu salah, tetapi demi nilaiku sendiri, aku sepenuhnya melupakan kebenaran Tuhan yang menuntut kita agar menjadi orang yang jujur. Bukan saja aku tidak menjadi kesaksian, tetapi aku juga telah mempermalukan Tuhan. Aku tidak bisa tidur malam itu, memikirkan hal itu berulang kali dalam pikiranku. Aku akhirnya memutuskan untuk menjadi orang yang jujur dan tidak lagi mempermalukan nama Tuhan demi membela kepentingan pribadiku sendiri. Begitu aku sampai pada keputusan itu, aku melompat dari tempat tidur, menyalakan komputer, dan menulis kritik-diri, mengakui kesalahanku. Keesokan paginya, aku sampai di sekolah pagi-pagi sekali dan menyerahkan kritik-diriku kepada guruku, meminta maaf kepadanya atas perbuatanku, dan menjamin bahwa di masa depan aku tidak akan pernah lagi terlibat dalam kecurangan apa pun. Aku menguatkan diri untuk menerima nilai nol untuk matematika dan bersedia menerima hukuman apa pun yang diberikan sekolah kepadaku. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa guru itu benar-benar memutuskan untuk mengizinkan aku mengikuti ujian lagi. Pada saat itu, aku mau tak mau mengungkapkan rasa syukur dan pujianku kepada Tuhan dari lubuk hatiku yang terdalam: Syukur kepada Tuhan karena menunjukkan belas kasihan kepadaku! Hal ini memperlihatkan kepadaku bahwa Tuhan menyelidiki hati manusia yang paling dalam, dan ketika aku mengesampingkan kepentingan pribadiku dan menerapkan kebenaran dengan menjadi orang yang jujur, Tuhan membuka jalan keluar bagiku dan membuat guru mengizinkanku untuk mengulangi ujian itu lagi. Aku sungguh-sungguh merasa bahwa Tuhan ada di sisiku, mengamati setiap gerakan yang kulakukan, dan mengatur semua orang, peristiwa, hal-hal dan lingkungan di sekitarku sehingga aku secara pribadi dapat mengalami keberadaan-Nya yang nyata. Kasih Tuhan bagiku sungguh nyata!

Yang lebih mengejutkan lagi adalah, beberapa hari kemudian, ada pertemuan sekolah untuk memberikan piagam penghargaan bagi para siswa dengan hasil terbaik untuk semester itu. Ketika guru mengumumkan namaku, kupikir itu adalah sebuah kesalahan. Ketika beberapa teman sekelasku memberitahuku, barulah aku menyadari bahwa aku benar-benar menerima piagam penghargaan. Semua teman sekelasku benar-benar terkejut, merasa heran bagaimana aku bisa mendapatkan piagam penghargaan setelah aku mencontek dalam ujian matematikaku. Aku diam-diam berseru dalam hati, "Ini semua adalah perbuatan Tuhan! Aku tahu bahwa piagam ini bukan untuk nilaiku, tetapi ini adalah Tuhan yang sedang memberiku penghargaan karena aku menerapkan menjadi orang yang jujur." Hal ini semakin menegaskan padaku bahwa Tuhan benar-benar ada di sisiku sepanjang waktu dan mengawasiku setiap saat. Segala sesuatu yang Tuhan atur bagiku selalu memberikan hasil yang terbaik.

Sekarang aku semakin menikmati pertemuan dan pembacaan firman Tuhan. Meskipun aku masih memperlihatkan watakku yang rusak dalam kehidupan, tidak masalah apa pun yang aku alami, aku selalu dapat bersekutu dengan saudari-saudariku dan mencari kebenaran dari firman Tuhan untuk menyelesaikan masalahku. Melalui bekerja sama dengan cara-cara yang nyata, aku telah mulai memahami semakin banyak kebenaran, dan aku menerapkan kebenaran itu dengan kekuatan yang semakin dan semakin besar. Aku merasa bahwa Tuhan ada di sisiku, dan bahwa Dia dapat menyingkapkanku kapan saja melalui beraneka macam orang, peristiwa, dan hal, dan Dia juga menggunakan firman-Nya untuk memimpin dan membimbingku masuk ke dalam kebenaran. Aku sekarang merasa bahwa hubunganku dengan Tuhan menjadi semakin dekat, dan aku sepenuhnya yakin bahwa Tuhan yang Mahakuasa adalah Tuhan yang benar, dan bahwa di sepanjang waktu dan di segala tempat, Dialah Tuhan yang terus berjaga-jaga di sisiku, dan yang memerhatikan serta melindungiku!

Sebelumnya: 36. Kedatangan kembali Anak yang Hilang

Selanjutnya: 38. Jenis Keselamatan yang Lain

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

9. Kasih yang Berbeda

Oleh Chengxin, BrasiliaSebuah kesempatan yang tak terduga pada tahun 2011 memungkinkan aku untuk datang ke Brasilia dari Tiongkok. Ketika...

2. Jalan menuju Penyucian

Oleh Saudara Allie, AmerikaAku dibaptis dalam nama Tuhan Yesus pada tahun 1990, dan pada tahun 1998, aku telah menjadi rekan kerja sebuah...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini