Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)

Apakah engkau semua ingat apa yang kita persekutukan pada pertemuan terakhir kita? (Tuhan pertama-tama bersekutu tentang perbedaan antara apa yang orang pandang sebagai perilaku yang baik dibandingkan dengan hidup dalam kemanusiaan yang normal seperti yang Tuhan tuntut, dan kemudian bersekutu tentang perilaku moral manusia dalam budaya tradisional dan merangkum dua puluh satu pernyataan tentang perilaku moral manusia.) Dalam pertemuan terakhir kita, aku mempersekutukan dua topik. Pertama, aku menyampaikan beberapa persekutuan tambahan mengenai topik tentang perilaku baik, dan kemudian Aku menyampaikan sedikit persekutuan pendahuluan yang sederhana tentang karakter, perilaku, dan kebajikan manusia, tanpa menjelaskan secara mendetail. Kita telah bersekutu beberapa kali mengenai topik tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, dan Aku telah selesai mempersekutukan semua perilaku baik yang berkaitan dengan mengejar kebenaran yang perlu diungkapkan dan dianalisis. Sebelumnya, Aku juga telah mempersekutukan sedikit tentang beberapa topik mendasar mengenai perilaku moral manusia. Meskipun tidak memberikan penyingkapan atau analisis yang terperinci mengenai pernyataan-pernyataan tentang perilaku moral ini, kita telah menyebutkan berbagai contoh pernyataan tentang perilaku moral manusia—tepatnya ada dua puluh satu. Dua puluh satu contoh ini pada dasarnya adalah berbagai pernyataan yang ditanamkan oleh budaya tradisional Tiongkok ke dalam diri orang, yang didominasi oleh gagasan tentang kebajikan, kebenaran, kesopanan, kebijaksanaan, dan kepercayaan. Sebagai contoh, kita telah membahas berbagai pepatah tentang perilaku moral manusia yang berkaitan dengan kebajikan, kebenaran, kesopanan, kebijaksanaan, dan kepercayaan, serta bagaimana pria, wanita, pejabat, dan anak-anak seharusnya berperilaku, dan sebagainya. Entah dua puluh satu pepatah ini lengkap atau mencakup semua, bagaimanapun juga, semua itu pada dasarnya dapat merepresentasikan esensi dari berbagai tuntutan yang dikemukakan budaya Tiongkok tradisional dalam kaitannya dengan perilaku moral manusia, baik dari sudut pandang ideologis maupun substantif. Setelah kita menyebutkan contoh-contoh ini, apakah engkau semua telah merenungkan dan mempersekutukannya? (Kami telah sedikit mempersekutukan semua itu selama pertemuan kami dan mendapati bahwa adalah mudah untuk secara keliru menganggap beberapa pernyataan ini sebagai kebenaran. Misalnya, "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan", "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman", serta "Berupayalah sebaik mungkin untuk menangani dengan baik apa pun yang dipercayakan orang lain kepadamu", adalah beberapa di antaranya.) Pepatah lainnya termasuk: "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan", "Perkataan seorang pria bermartabat harus dapat dipegang", "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau mengkritik orang lain, jangan mengkritik kekurangan mereka", "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya", dan sebagainya. Jika diamati dengan saksama, engkau akan memahami bahwa kebanyakan orang pada dasarnya mendasarkan perilaku dan penilaian mereka terhadap perilaku moral mereka sendiri dan orang lain pada pernyataan-pernyataan tentang perilaku moral ini. Hal-hal ini ada di dalam hati semua orang sampai taraf tertentu. Satu penyebab utamanya adalah karena lingkungan sosial di mana orang tinggal dan pendidikan yang mereka terima dari pemerintah mereka, penyebab lainnya adalah karena didikan yang mereka terima dari keluarga mereka dan tradisi yang diturunkan dari leluhur mereka. Ada keluarga yang mengajarkan anak-anak mereka agar jangan pernah menyimpan uang yang mereka temukan, keluarga lainnya mengajarkan anak-anak mereka bahwa mereka harus berjiwa patriotik dan bahwa "Tiap orang sama-sama bertanggung jawab atas takdir negara mereka", karena setiap keluarga bergantung pada negara mereka. Ada keluarga yang mengajari anak-anak mereka "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan secara paksa", dan bahwa mereka tidak boleh melupakan dari mana mereka berasal. Ada orang tua yang menggunakan pernyataan yang jelas untuk mengajari anak-anak mereka tentang perilaku moral, sedangkan orang tua lainnya tidak mampu mengungkapkan gagasan mereka tentang perilaku moral dengan jelas, tetapi berfungsi sebagai model bagi anak-anak mereka dan mengajar melalui teladan, memengaruhi dan mendidik generasi selanjutnya melalui perkataan dan tindakan mereka. Perkataan dan tindakan ini dapat mencakup, "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan", "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" serta pernyataan yang terdengar lebih muluk seperti, "Bertumbuhlah seperti bunga bakung dari lumpur tanpa noda", dan sebagainya. Tema dan esensi dari apa yang para orang tua ajarkan kepada anak-anak mereka pada umumnya semuanya termasuk dalam lingkup perilaku moral yang dituntut oleh budaya tradisional Tiongkok. Hal pertama yang guru-guru ajarkan kepada para siswa ketika mereka masuk sekolah adalah bahwa mereka harus bersikap baik kepada orang lain dan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, bahwa mereka tidak boleh menyimpan uang yang mereka temukan dan mereka harus menghormati guru mereka dan menghormati ajaran mereka. Ketika para siswa belajar tentang pepatah Tiongkok kuno atau biografi para pahlawan dari zaman kuno, mereka diajari bahwa, "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman", "Rakyat yang setia tidak boleh melayani dua raja, wanita yang baik tidak boleh menikahi dua suami", "Berusahalah sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas sampai hari kematianmu", "Tiap orang sama-sama bertanggung jawab atas takdir negara mereka", "Tak seorang pun boleh menyimpan barang yang mereka temukan di jalan", dan sebagainya. Semua ini berasal dari budaya tradisional. Bangsa-bangsa juga menganjurkan dan menyebarluasan gagasan-gagasan ini. Sebenarnya, pendidikan nasional menganjurkan hal yang kurang lebih sama dengan pendidikan di keluarga—semuanya berkisar pada gagasan-gagasan dari budaya tradisional. Gagasan-gagasan yang berasal dari budaya tradisional pada dasarnya meliputi semua tuntutan yang berkaitan dengan karakter, kebajikan, perilaku manusia dan sebagainya. Di satu sisi, gagasan-gagasan ini menuntut agar orang memperlihatkan etiket dan tata krama di luarnya, bahwa orang-orang berperilaku dan bersikap dengan cara yang disetujui orang lain, dan bahwa orang memperlihatkan perilaku dan tindakan yang baik untuk dilihat orang lain, sembari menyembunyikan sisi gelap di lubuk hati mereka. Di sisi lain, mereka memperlihatkan sikap, perilaku, dan tindakan yang berkaitan dengan bagaimana orang berperilaku, memperlakukan orang, dan menangani masalah; bagaimana orang memperlakukan teman dan keluarganya; dan bagaimana orang memperlakukan berbagai jenis orang dan hal-hal, sampai ke taraf perilaku moral sehingga memperoleh pujian dan rasa hormat dari orang lain. Tuntutan yang dibebankan budaya tradisional terhadap orang pada dasarnya berkisar pada hal-hal ini. Entah itu adalah gagasan-gagasan yang orang anjurkan pada skala masyarakat yang lebih besar, atau, pada skala yang lebih kecil, pemikiran tentang perilaku moral yang orang anjurkan dan junjung tinggi dalam keluarga, dan tuntutan yang dibebankan terhadap orang berkaitan dengan perilaku mereka—semua ini pada dasarnya termasuk dalam ruang lingkup ini. Jadi, di antara orang, entah itu budaya tradisional Tiongkok, atau budaya tradisional negara lain termasuk budaya barat, gagasan tentang perilaku moral ini semuanya terdiri dari hal-hal yang dapat orang capai dan pikirkan; semua itu adalah hal-hal yang orang mampu terapkan atas dasar hati nurani dan nalar mereka. Setidaknya, ada orang-orang yang mampu memenuhi beberapa perilaku moral yang dituntut dari mereka. Tuntutan-tuntuan ini hanya terbatas pada ruang lingkup karakter moral, temperamen dan kesukaan orang. Jika engkau tidak percaya kepada-Ku, Aku mendorongmu untuk memperhatikan dan melihat manakah dari tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan perilaku moral manusia ini yang menangani watak rusak mereka. Manakah di antara tuntutan-tuntutan ini yang membahas fakta bahwa orang muak akan kebenaran, tidak menyukai kebenaran, dan menentang Tuhan dalam esensi mereka? Manakah dari tuntutan-tuntutan ini yang ada kaitannya dengan kebenaran? Manakah dari tuntutan-tuntutan ini yang dapat dianggap setara dengan kebenaran? (Tak satu pun darinya.) Bagaimanapun orang memandang tuntutan ini, tak satu pun darinya dapat dianggap setara dengan kebenaran. Tak satu pun darinya ada kaitannya dengan kebenaran, tak satu pun darinya yang memiliki kaitan sedikit pun dengan kebenaran. Sampai saat ini, orang yang telah lama percaya kepada Tuhan, yang memiliki beberapa pengalaman, dan yang memahami sedikit kebenaran sudah memiliki sedikit pemahaman yang benar tentang masalah ini; tetapi kebanyakan orang masih hanya memahami doktrin, dan setuju dengan gagasan ini secara teori, sementara gagal mencapai taraf untuk benar-benar memahami kebenaran. Mengapa demikian? Ini karena kebanyakan orang hanya memahami bahwa aspek-aspek budaya tradisional ini tidak sesuai dengan kebenaran dan tidak berkaitan dengan kebenaran dengan membandingkan peraturan-peraturan dari budaya tradisional ini dengan firman dan tuntutan Tuhan. Mereka mungkin sepenuhnya mengakui dengan mulut mereka bahwa hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan kebenaran, tetapi di lubuk hati mereka, apa yang mereka cita-citakan, setujui, sukai, dan terima dengan mudah pada dasarnya adalah gagasan-gagasan yang muncul dari budaya tradisional manusia, yang beberapa di antaranya adalah hal-hal yang dianjurkan dan dipromosikan oleh negara mereka. Orang menganggap hal-hal ini sebagai hal-hal yang positif atau memperlakukannya sebagai kebenaran. Bukankah demikian? (Ya.) Seperti yang dapat kaulihat, aspek-aspek budaya tradisional ini telah mengakar dalam hati manusia, dan tidak dapat disingkirkan dan dicabut dalam waktu singkat.

Meskipun dua puluh satu tuntutan tentang perilaku moral manusia yang telah kita sebutkan hanyalah bagian dari budaya tradisional Tiongkok, sampai taraf tertentu, semua itu dapat berfungsi sebagai representasi dari semua tuntutan yang diajukan oleh budaya tradisional Tiongkok berkenaan dengan perilaku moral manusia. Setiap dua puluh satu pernyataan ini dianggap oleh manusia sebagai hal yang positif, luhur, dan benar, dan orang yakin semua pernyataan ini memampukan mereka untuk hidup dengan bermartabat, dan bahwa semua itu adalah semacam perilaku moral yang patut dikagumi dan dihargai. Untuk sejenak, kita akan mengesampingkan pepatah-pepatah yang relatif dangkal seperti jangan menyimpan uang yang kautemukan atau dapatkan kesenangan dari membantu orang lain, dan sebagai gantinya berbicara tentang perilaku moral yang secara khusus sangat dihargai oleh manusia dan dianggap luhur. Misalnya, pepatah: "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan secara paksa"—cara paling sederhana untuk menyimpulkan arti dari pernyataan ini adalah bahwa orang tidak boleh melupakan dari mana mereka berasal. Jika seseorang memiliki perilaku moral ini, semua orang akan menganggap dia memiliki kepribadian yang sangat luhur dan bahwa dia benar-benar telah "bertumbuh seperti bunga bakung dari lumpur tanpa noda". Orang-orang sangat menghargai pernyataan ini. Fakta bahwa orang sangat menghargai pernyataan ini berarti mereka benar-benar menyetujui dan setuju dengan pernyataan semacam ini. Dan tentu saja, mereka juga sangat mengagumi orang-orang yang mampu menerapkan perilaku moral ini. Ada banyak orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi masih sangat menyetujui hal-hal yang dianjurkan oleh budaya tradisional ini, dan mereka mau menerapkan perilaku baik tersebut. Orang-orang ini tidak memahami kebenaran: mereka menganggap percaya kepada Tuhan berarti menjadi orang yang baik, membantu orang lain, mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, tidak pernah menipu atau merugikan orang lain, tidak mengejar hal-hal duniawi, dan tidak serakah akan kekayaan atau kesenangan. Dalam hatinya, mereka semua setuju bahwa pernyataan "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan secara paksa" adalah benar. Beberapa orang akan berkata: "Jika, sebelum percaya kepada Tuhan, seseorang sudah mematuhi perilaku moral seperti 'Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan secara paksa', jika mereka adalah orang yang hebat dan baik hati yang tidak melupakan dari mana mereka berasal, maka setelah mereka percaya kepada Tuhan, mereka akan segera mampu memperkenan Tuhan. Sangat mudah bagi orang-orang semacam itu untuk masuk ke dalam kerajaan Tuhan—mereka dapat memperoleh berkat-berkat-Nya." Ketika banyak orang menilai dan memandang orang lain, mereka tidak memandang esensi orang lain berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran; melainkan mereka menilai dan memandang orang lain berdasarkan tuntutan budaya tradisional tentang perilaku moral orang. Dari sudut pandang ini, bukankah sangatlah mungkin orang yang tidak memahami kebenaran akan secara keliru menganggap hal-hal yang manusia anggap baik dan benar sebagai kebenaran? Bukankah sangatlah mungkin mereka menganggap orang yang manusia anggap baik sebagai orang yang Tuhan anggap baik? Orang selalu ingin memaksakan gagasan mereka sendiri kepada Tuhan—dengan melakukannya, bukankah mereka sedang melakukan kesalahan prinsip? Bukankah ini menyinggung watak Tuhan? (Ya.) Ini adalah masalah yang sangat serius. Jika orang benar-benar memiliki nalar, mereka seharusnya mencari kebenaran dalam hal-hal yang tidak mampu mereka pahami, mereka harus memahami kehendak Tuhan, dan mereka tidak boleh sembarangan berbicara omong kosong. Dalam standar dan prinsip Tuhan untuk menilai manusia, apakah ada kalimat yang menyatakan: "Orang yang tidak melupakan dari mana mereka berasal adalah orang yang baik dan mereka memiliki ciri orang yang baik"? Pernahkah Tuhan berkata seperti itu? (Tidak.) Dalam tuntutan khusus yang telah Tuhan ajukan bagi manusia, pernahkah Dia berfirman, "Jika engkau miskin, engkau tidak boleh mencuri. Jika engkau kaya, engkau tidak boleh melakukan seks bebas. Ketika engkau dihadapkan dengan intimidasi atau ancaman, engkau tidak boleh tunduk"? Apakah firman Tuhan mengandung tuntutan seperti itu? (Tidak.) Tentu saja tidak. Sangat jelas bahwa pernyataan "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan secara paksa" diucapkan oleh manusia—itu tidak sesuai dengan tuntutan Tuhan terhadap manusia, itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan pada dasarnya itu tidak sama dengan kebenaran. Tuhan tidak pernah menuntut agar makhluk ciptaan jangan melupakan dari mana mereka berasal. Apa yang dimaksud dengan tidak melupakan dari mana engkau berasal? Aku akan memberimu sebuah contoh: jika leluhurmu adalah petani, engkau harus selalu menghargai kenangan mereka. Jika leluhurmu menekuni kerajinan tangan, engkau harus mempertahankan praktik kerajinan tangan itu dan mewariskannya dari generasi ke generasi. Bahkan setelah engkau mulai percaya kepada Tuhan, engkau tidak boleh melupakan hal-hal ini—engkau tidak boleh melupakan ajaran atau keahlian atau apa pun yang diturunkan dari leluhurmu. Jika leluhurmu adalah pengemis, maka engkau harus menyimpan tongkat yang mereka gunakan untuk memukuli anjing. Jika para leluhur itu pernah harus bertahan hidup dengan memakan dedak dan tumbuhan liar, maka keturunan mereka juga harus mencoba memakan dedak dan tumbuhan liar—itu artinya mengenang duka masa lalu untuk menikmati kebahagiaan masa kini, itulah yang dimaksud dengan orang tidak melupakan dari mana dia berasal. Apa pun yang dilakukan leluhurmu, engkau harus mempertahankannya. Engkau tidak boleh melupakan leluhurmu hanya karena engkau terpelajar dan memiliki status. Orang Tionghoa sangat memperhatikan hal-hal ini. Dalam hati mereka, tampaknya hanya orang yang tidak melupakan dari mana mereka berasal yang memiliki berhati nurani dan bernalar, dan hanya orang semacam itu yang dapat berperilaku dengan cara yang terhormat, dan hidup dengan bermartabat. Apakah pandangan ini benar? Apakah ada yang seperti ini dalam firman Tuhan? (Tidak.) Tuhan tidak pernah mengatakan hal semacam ini. Dari contoh ini, kita dapat memahami bahwa meskipun alam kebajikan mungkin dihargai dan dicita-citakan oleh manusia, dan meskipun itu terlihat seperti hal yang positif, sesuatu yang dapat mengatur perilaku moral manusia, dan menghalangi orang agar tidak menempuh jalan kejahatan dan menjadi bejat, dan meskipun itu disebarluaskan di antara orang-orang dan diterima oleh mereka semua sebagai hal yang positif, jika engkau membandingkannya dengan firman Tuhan dan kebenaran, engkau akan memahami bahwa pernyataan dan pemikiran dari budaya tradisional ini sama sekali tidak masuk akal. Engkau akan memahami bahwa semua itu sama sekali tidak layak disebut, bahwa semua itu tidak memiliki kaitan sedikit pun dengan kebenaran, dan bahwa semua itu bahkan jauh dari tuntutan dan kehendak Tuhan. Ketika menganjurkan gagasan dan pandangan ini, dan mengajukan berbagai pernyataan tentang perilaku moral manusia, orang tidak lebih daripada menggunakan hal-hal tertentu yang lebih tinggi daripada alam pemikiran manusia untuk memperlihatkan diri mereka yang bersikap jujur dan baik, untuk memamerkan betapa hebat dan benarnya diri mereka, dan untuk membuat orang memuja mereka. Entah itu di Timur atau Barat, semua orang pada dasarnya berpikiran sama. Gagasan dan titik awal dari tuntutan-tuntutan yang orang ajukan dan kemukakan mengenai perilaku moral manusia, dan tujuan-tujuan yang mereka ingin dicapai melaluinya pada dasarnya adalah sama. Meskipun orang-orang dari Barat tidak memiliki gagasan dan pandangan tertentu seperti "Balaslah kebencian dengan kebaikan" dan "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan" yang ditekankan oleh orang-orang dari Timur dan meskipun mereka tidak memiliki pepatah yang jelas seperti pepatah yang berasal dari budaya tradisional Tiongkok, budaya tradisional mereka sendiri hanya dipenuhi dengan gagasan-gagasan ini. Meskipun hal-hal yang telah kita persekutukan dan bicarakan termasuk dalam budaya tradisional Tiongkok, sampai taraf tertentu, dan dalam esensinya, pernyataan dan tuntutan tentang perilaku moral ini merepresentasikan gagasan-gagasan dominan dari semua manusia yang rusak.

Hari ini, kita terutama telah bersekutu tentang pengaruh negatif seperti apa yang diberikan budaya tradisional kepada orang melalui pernyataan dan tuntutannya yang berkaitan dengan perilaku moral manusia. Setelah memahami hal ini, hal terpenting berikutnya yang harus orang pahami sebenarnya adalah apa tuntutan Tuhan, Tuhan Sang Pencipta, terhadap perilaku moral manusia, apa yang telah Dia katakan secara khusus, dan tuntutan apa yang telah Dia kemukakan. Inilah yang harus manusia pahami. Kini kita telah memahami dengan jelas bahwa budaya tradisional tidak memberikan kesaksian sedikit pun tentang apa tuntutan Tuhan terhadap manusia atau tentang firman yang telah Dia ucapkan, dan bahwa orang tidak mencari kebenaran berkenaan dengan topik ini. Jadi, budaya tradisional adalah yang pertama kali orang pelajari dan menguasai mereka, itu telah masuk ke dalam hati orang, dan itu telah membimbing cara manusia hidup selama ribuan tahun. Inilah cara utama yang telah Iblis gunakan untuk merusak manusia. Setelah menyadari fakta ini dengan jelas, hal terpenting yang harus orang dipahami sekarang adalah apa tuntutan Tuhan Sang Pencipta terhadap manusia ciptaan berkenaan dengan kemanusiaan dan moralitas mereka—atau, dengan kata lain, standar apa yang berkaitan dengan aspek kebenaran ini. Demikian pula halnya, orang harus mulai memahami manakah dari hal-hal berikut ini yang benar: tuntutan yang diajukan oleh budaya tradisional atau apa yang Tuhan tuntut dari manusia. Mereka harus memahami siapakah di antara mereka yang mampu menyucikan dan menyelamatkan manusia, dan membimbing mereka ke jalan yang benar dalam hidup; dan manakah di antara kedua hal itu yang merupakan kekeliruan, yang dapat menyesatkan dan merugikan manusia, dan menjerumuskan mereka ke jalan yang salah, ke dalam kehidupan yang penuh dosa. Setelah orang memiliki kemampuan mengenali hal ini, mereka mampu mengenali bahwa tuntutan Tuhan Sang Pencipta terhadap manusia ditetapkan oleh Surga dan diakui oleh bumi, dan bahwa itu adalah prinsip kebenaran yang harus manusia terapkan. Mengenai pernyataan tentang perilaku moral dan standar penilaian dari budaya tradisional yang memengaruhi pengejaran orang akan kebenaran, dan pandangan mereka tentang orang dan hal-hal, dan perilaku dan tindakan mereka—jika orang dapat memiliki kemampuan untuk mengenalinya sedikit, dan mengetahui yang sebenarnya serta menyadari bahwa semua itu pada dasarnya tidak masuk akal, dan menolaknya dengan segenap hati mereka, maka beberapa dari kebingungan atau masalah yang orang miliki berkenaan dengan perilaku moral dapat dibereskan. Bukankah membereskan hal-hal ini akan mengurangi cukup banyak rintangan dan kesulitan yang orang hadapi di jalan mengejar kebenaran? (Ya.) Jika orang tidak memahami kebenaran, mereka cenderung secara keliru mengakui gagasan-gagasan umum tentang perilaku moral sebagai kebenaran, dan mengejar serta mematuhinya seolah-olah semua itu adalah kebenaran. Hal ini sangat memengaruhi kemampuan orang untuk memahami dan menerapkan kebenaran, serta hasil yang mereka peroleh saat mengejar kebenaran untuk mencapai perubahan watak. Ini adalah sesuatu yang pasti tidak ingin kaulihat; tentu saja, itu adalah sesuatu yang juga tidak ingin Tuhan lihat. Jadi, mengenai pernyataan, gagasan, dan sudut pandang yang dianggap positif tentang perilaku moral yang orang junjung tinggi ini, orang harus terlebih dahulu memahami dan memiliki kemampuan mengenalinya dengan jelas berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran, dan memahami esensi yang sebenarnya mengenai perilaku moral ini, dan dengan demikian membentuk penilaian dan pandangan yang akurat terhadap hal-hal ini di lubuk hati mereka, di mana setelah itu mereka dapat menyelidikinya, sedikit demi sedikit, dan menyingkirkan serta meninggalkannya. Kelak, setiap kali orang melihat pernyataan yang dianggap positif itu bertentangan dengan kebenaran, mereka harus memilih kebenaran terlebih dahulu, dan bukan pernyataan yang dianggap positif dalam gagasan manusia, karena pernyataan yang dianggap positif ini hanyalah pandangan manusia. dan semua itu sebenarnya tidak sesuai dengan kebenaran. Dari sudut mana pun kita berbicara, tujuan utama kita dalam mempersekutukan topik-topik ini hari ini adalah untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang muncul dalam proses orang mengejar kebenaran, terutama ketidakpastian yang muncul dalam pikiran orang berkenaan dengan firman Tuhan dan standar kebenaran. Ketidakpastian ini berarti bahwa ketika engkau sedang menerima dan menerapkan kebenaran, engkau tidak mampu membedakan manakah pepatah tentang perilaku moral yang dianjurkan oleh manusia, dan manakah yang merupakan tuntutan Tuhan atas manusia, dan manakah di antaranya yang merupakan prinsip dan standar yang benar. Orang tidak jelas tentang hal-hal ini. Mengapa demikian? (Karena mereka tidak memahami kebenaran.) Di satu sisi, itu karena mereka tidak memahami kebenaran. Di sisi lain, itu karena mereka tidak memiliki kemampuan mengenali pernyataan-pernyataan tentang perilaku moral yang dibuat oleh budaya tradisional manusia dan mereka masih tidak dapat memahami esensi yang sebenarnya dari pernyataan-pernyataan ini. Akhirnya, dalam keadaan pikiran yang kacau, engkau akan meyakini bahwa hal-hal yang pertama kali kaupelajari, dan yang tertanam dalam pikiranmu, adalah benar; engkau akan meyakini bahwa hal-hal yang secara umum semua orang anggap benar adalah benar. Dan kemudian, engkau akan memilih hal-hal yang kausukai, yang dapat kaucapai, dan yang sesuai dengan selera dan gagasanmu ini; dan engkau akan memperlakukan, berpaut pada, dan mematuhi hal-hal ini seolah-olah semua itu adalah kebenaran. Dan sebagai akibatnya, perilaku dan tingkah laku orang, serta apa yang mereka kejar, pilih, dan pegang teguh, semuanya akan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran—semua itu akan termasuk dalam perilaku manusia dan penampilan moralitas manusia yang berada di luar lingkup kebenaran. Orang memperlakukan dan berpaut pada aspek-aspek budaya tradisional ini seolah-olah semua itu adalah kebenaran, sembari mengesampingkan dan mengabaikan kebenaran tentang tuntutan Tuhan berkenaan dengan perilaku manusia. Sebanyak apa pun perilaku yang orang anggap baik dalam diri seeorang, dia tidak akan pernah mendapatkan perkenanan Tuhan. Ini adalah kasus dari orang yang mengerahkan banyak upaya untuk melakukan hal-hal yang ada di luar lingkup kebenaran. Selain itu, dengan memperlakukan hal-hal yang berasal dari manusia dan yang tidak sesuai dengan kebenaran ini sebagai kebenaran, orang telah tersesat. Orang memahami aspek-aspek budaya tradisional ini terlebih dahulu, dan dengan demikian dikuasai olehnya; hal-hal ini menimbulkan segala macam pandangan keliru dalam diri mereka, dan menyebabkan kesulitan dan gangguan besar bagi orang ketika mereka berusaha untuk memahami dan menerapkan kebenaran. Semua orang yakin bahwa jika mereka memiliki perilaku yang baik, Tuhan akan berkenan kepada mereka, dan mereka akan memenuhi syarat untuk menerima berkat dan janji-Nya, tetapi mampukah mereka menerima penghakiman dan hajaran Tuhan jika mereka memiliki pandangan dan pikiran ini? Seberapa besar hambatan mentalitas semacam itu terhadap penyucian dan penyelamatan manusia? Bukankah imajinasi dan gagasan ini akan membuat orang salah paham, memberontak, dan menentang Tuhan? Bukankah ini yang akan menjadi akibatnya? (Ya.) Aku telah secara panjang lebar mengungkapkan pentingnya mempersekutukan topik ini, ini adalah gagasan yang umum.

Selanjutnya, kita akan menelaah dan menganalisis satu per satu berbagai pepatah budaya tradisional Tiongkok tentang perilaku moral, dan kemudian menarik kesimpulan dari analisis tersebut. Dengan cara ini, setiap orang akan memiliki konfirmasi dan jawaban mendasar tentang pepatah-pepatah ini, dan semua orang setidaknya akan memiliki pemahaman dan pandangan yang relatif akurat tentang pepatah-pepatah ini. Mari kita mulai dengan pepatah pertama: "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Apa yang akan menjadi penjelasan yang akurat tentang pepatah ini? (Jika engkau menemukan sesuatu, engkau tidak boleh menyimpannya dan menganggapnya sebagai milikmu. Ini mengacu pada semacam moralitas dan adat istiadat sosial yang baik.) Apakah ini mudah dicapai? (Itu relatif mudah dicapai.) Bagi kebanyakan orang, ini mudah dicapai—jika engkau menemukan sesuatu, apa pun itu, engkau tidak boleh menganggapnya sebagai milikmu, karena barang itu adalah milik orang lain. Engkau tidak pantas memilikinya, dan engkau harus mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah. Jika engkau tidak dapat menemukan pemiliknya yang sah, engkau harus menyerahkannya kepada pihak berwenang—selain itu, engkau tidak boleh menganggapnya sebagai milikmu. Semua ini ada kaitannya dengan tidak mengingini milik orang lain dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain. Ini adalah tuntutan yang dibebankan pada perilaku moral manusia. Apa tujuan membebankan tuntutan semacam ini pada perilaku moral manusia? Ketika orang memiliki perilaku moral seperti ini, itu memiliki dampak yang baik dan positif pada iklim sosial. Tujuan menanamkan gagasan-gagasan seperti itu ke dalam diri orang adalah untuk menghentikan mereka agar tidak mengambil keuntungan dari orang lain, dan dengan demikian mempertahankan perilaku moral mereka yang baik. Jika semua orang memiliki perilaku moral yang baik seperti ini, iklim sosial akan membaik, dan akan mencapai taraf di mana tak seorang pun boleh menyimpan barang yang mereka temukan di jalan, dan tak seorang pun perlu mengunci pintu rumah mereka di malam hari. Dengan iklim sosial seperti ini, ketertiban umum akan membaik, dan orang dapat hidup lebih damai. Pencurian dan perampokan akan makin berkurang, perkelahian dan pembunuhan untuk membalas dendam makin berkurang; orang yang hidup dalam masyarakat semacam ini akan memiliki rasa aman, dan kesejahteraan secara menyeluruh yang lebih besar. "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" adalah tuntutan yang diajukan terkait perilaku moral masyarakat dalam lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Tuntutan ini bertujuan untuk melindungi iklim sosial dan lingkungan hidup orang. Apakah ini mudah dicapai? Entah orang mampu mencapainya atau tidak, mereka yang mengemukakan gagasan dan tuntutan tentang perilaku moral manusia ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang ideal yang didambakan orang. Pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" tidak ada kaitannya dengan standar perilaku manusia—itu hanyalah tuntutan yang dibebankan pada perilaku moral orang setiap kali mereka menemukan sesuatu di jalan. Pepatah tersebut memiliki sedikit kaitan dengan esensi manusia. Manusia telah mengajukan tuntutan tentang perilaku moral manusia ini selama ribuan tahun. Tentu saja, ketika orang memenuhi tuntutan ini, suatu negara atau masyarakat mungkin mengalami suatu masa di mana kejahatan berkurang, dan bahkan mungkin mencapai titik di mana orang tidak perlu mengunci pintu rumah mereka di malam hari, di mana tak seorang pun boleh menyimpan barang yang mereka temukan di jalan, dan di mana mayoritas orang tidak menyimpan uang yang mereka temukan. Pada masa ini, iklim sosial, ketertiban umum, dan lingkungan hidup semuanya akan relatif stabil dan harmonis, tetapi iklim dan lingkungan masyarakat ini hanya mampu dipertahankan untuk sementara, atau selama suatu masa, atau selama jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, orang hanya mampu mencapai atau berpegang pada perilaku moral semacam ini di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Begitu lingkungan hidup mereka berubah, dan iklim sosial yang lama rusak, sangatlah mungkin moral seperti "jangan menyimpan uang yang kautemukan" akan berubah, seiring dengan perubahan lingkungan sosial, iklim sosial, dan tren sosial. Lihatlah bagaimana, setelah si naga merah yang sangat besar berkuasa, dia memperdaya orang dengan menganjurkan segala macam pepatah untuk memastikan stabilitas masyarakat. Pada tahun 80-an, bahkan ada sebuah lagu populer dengan lirik sebagai berikut: "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah, dan menyerahkannya kepada polisi. Polisi tersebut mengambil satu sen itu, dan mengangguk kepadaku. Aku dengan senang hati berkata, 'Sampai jumpa lagi, Pak!'" Bahkan masalah sepele seperti menyerahkan satu sen pun tampaknya layak untuk disebutkan dan dinyanyikan—sungguh suatu moral sosial dan perilaku yang "luhur"! Namun, benarkah demikian? Orang mampu menyerahkan satu sen yang mereka temukan kepada polisi, tetapi akankah mereka menyerahkan seratus yuan atau seribu yuan? Sulit untuk dikatakan. Jika seseorang melihat emas, perak, atau barang berharga atau sesuatu yang bahkan lebih berharga di jalan, dia tidak akan mampu mengendalikan keserakahannya, monster di dalam dirinya akan dilepaskan, dan dia akan mampu menyakiti dan merugikan orang, menjebak dan menipu orang lain—dia akan mampu secara aktif merampok uang seseorang, dan bahkan membunuh seseorang. Pada waktu itu, apa yang akan tersisa dari budaya tradisional dan moral tradisional baik manusia? Ke manakah perginya standar moral "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" itu? Apa yang diperlihatkan hal ini kepada kita? Entah orang memiliki semangat dan perilaku moral ini atau tidak, tuntutan dan pepatah ini hanyalah sesuatu yang orang bayangkan, inginkan, dan harapkan untuk mereka wujudkan dan capai. Dalam konteks sosial tertentu, dan dalam lingkungan yang sesuai, orang-orang yang memiliki hati nurani dan nalar tertentu dapat bertindak untuk tidak menyimpan uang yang mereka temukan, tetapi ini hanyalah perilaku baik yang sementara, ini tidak dapat menjadi standar perilaku mereka, atau standar hidup mereka. Segera setelah lingkungan masyarakat dan konteks di mana orang-orang itu hidup berubah, prinsip dan perilaku moral yang ideal berdasarkan gagasan manusia ini akan sangat jauh dari orang. Itu tidak akan mampu memuaskan keinginan dan ambisi mereka, dan, tentu saja, itu bahkan akan lebih tidak mampu membatasi perbuatan jahat mereka. Itu hanyalah perilaku baik yang sementara, dan merupakan kualitas moral yang relatif luhur menurut impian manusia. Ketika berbenturan dengan kenyataan dan kepentingan pribadi, ketika itu bertentangan dengan impian orang, moral semacam ini tidak mampu membatasi perilaku orang, atau menuntun perilaku dan pemikiran mereka. Pada akhirnya, orang akan memutuskan untuk menentangnya, mereka akan melanggar gagasan moralitas tradisional ini, dan memilih kepentingan mereka sendiri. Jadi, berkenaan dengan moral "jangan menyimpan uang yang kautemukan", orang mampu menyerahkan satu sen yang mereka temukan kepada polisi. Namun, jika mereka menemukan seribu yuan, sepuluh ribu yuan, atau koin emas, akankah mereka tetap menyerahkannya kepada polisi? Mereka tidak akan mampu. Ketika keuntungan dari menyimpan uang itu melampaui jangkauan yang dapat dicapai oleh moralitas manusia, mereka tidak akan mampu menyerahkannya kepada polisi. Mereka tidak akan mampu mewujudkan moral dari pepatah "jangan menyimpan uang yang kautemukan". Jadi, apakah "tidak menyimpan uang yang kautemukan" merepresentasikan esensi kemanusiaan seseorang? Itu sama sekali tidak dapat merepresentasikan esensi kemanusiaannya. Sangat jelas bahwa tuntutan tentang perilaku moral manusia ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak, dan itu tidak dapat berfungsi sebagai standar untuk perilaku manusia.

Dengan terlebih dahulu melihat apakah seseorang menyimpan uang yang mereka temukan atau tidak menjadi cara yang akurat untuk menilai moral dan karakter mereka? (Tidak.) Mengapa tidak? (Orang tidak mampu untuk benar-benar memenuhi tuntutan itu. Jika mereka menemukan sedikit uang atau sesuatu yang tidak terlalu berharga, mereka akan mampu menyerahkannya, tetapi jika itu adalah sesuatu yang berharga, sangatlah kecil kemungkinan mereka akan mampu menyerahkannya. Jika itu adalah barang yang sangat berharga, akan jauh lebih kecil kemungkinan mereka akan menyerahkannya—mereka bahkan mungkin menyimpannya dengan segala upaya.) Maksudmu, karena orang tidak mampu memenuhi tuntutan "Jangan menyimpan uang yang kautemukan", maka itu tidak dapat berfungsi sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang. Jadi, jika orang mampu memenuhi tuntutan ini, akankah itu dapat dianggap sebagai standar untuk menilai kemanusiaan mereka? (Tidak, itu tidak dapat dianggap sebagai standar.) Mengapa itu tidak dapat dianggap sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang, meskipun orang mampu memenuhinya? (Kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" sebenarnya tidak mencerminkan kualitas kemanusiaannya. Ini tidak ada kaitannya dengan seberapa baik atau seberapa buruk kemanusiaannya, dan ini bukan standar untuk menilai kemanusiaan orang.) Ini adalah salah satu cara untuk memahami masalah ini. Hanya ada sedikit kaitan antara seseorang tidak menyimpan uang yang ditemukannya dan kualitas kemanusiaannya. Jadi, jika engkau bertemu seseorang yang benar-benar mampu untuk tidak menyimpan uang yang ditemukannya, bagaimana engkau akan memandang dirinya? Dapatkah engkau menganggapnya sebagai orang yang memiliki kemanusiaan, orang yang jujur, dan orang yang tunduk kepada Tuhan? Dapatkah engkau menggolongkan tidak menyimpan uang yang kautemukan sebagai standar memiliki kemanusiaan? Kita harus mempersekutukan masalah ini. Siapa yang mau menjelaskannya? (Kemampuan seseorang untuk tidak menyimpan uang yang ditemukannya tidak relevan untuk menentukan esensi kemanusiaan orang itu. Esensi dirinya dinilai berdasarkan kebenaran.) Apa lagi? (Ada orang yang mampu menahan diri untuk tidak menyimpan uang yang mereka temukan, meskipun uang yang mereka temukan itu banyak, atau mereka melakukan banyak perbuatan baik lainnya, tetapi mereka memiliki tujuan dan niat mereka sendiri. Mereka ingin dihargai atas perbuatan baik mereka dan untuk mendapatkan reputasi yang baik, jadi perilaku baik lahiriah mereka tidak dapat menentukan kualitas kemanusiaan mereka.) Ada lagi? (Misalkan seseorang mampu untuk tidak menyimpan uang yang ditemukannya, tetapi dia memperlakukan kebenaran dengan sikap yang menentang, dengan sikap yang muak akan kebenaran. Jika kita menilai dirinya berdasarkan firman Tuhan, dia tidak memiliki kemanusiaan. Jadi, tidaklah akurat menggunakan standar ini untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak.) Beberapa darimu telah menyadari bahwa menggunakan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak adalah keliru—engkau tidak setuju itu digunakan sebagai standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Sudut pandang ini benar. Entah seseorang mampu atau tidak untuk tidak menyimpan uang yang ditemukannya, ini sangat sedikit kaitannya dengan prinsip dari perilakunya dan jalan yang dia pilih. Mengapa Kukatakan ini? Pertama-tama, ketika seseorang tidak menyimpan uang yang ditemukannya, ini hanya merepresentasikan perilaku sesaat. Sulit untuk mengatakan apakah dia tidak menyimpan uang tersebut karena uang yang ditemukannya itu nilainya kecil, atau karena orang lain sedang memperhatikan dirinya, dan dia ingin mendapatkan pujian dan penghargaan dari mereka. Meskipun tindakannya murni, itu hanyalah semacam perilaku baik, dan itu tidak terlalu berkaitan dengan pengejaran dan perilakunya. Paling-paling, hanya dapat dikatakan bahwa orang ini memiliki sedikit perilaku baik dan karakter yang luhur. Meskipun perilaku ini tidak dapat disebut sebagai hal yang negatif, tetapi itu juga tidak dapat digolongkan sebagai hal yang positif, dan seseorang tentu saja tidak dapat dianggap positif hanya karena dia tidak menyimpan uang yang ditemukannya. Ini karena itu tidak ada kaitannya dengan kebenaran, dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan Tuhan terhadap manusia. Beberapa orang berkata: "Bagaimana mungkin itu bukan hal yang positif? Bagaimana mungkin perilaku luhur seperti itu tidak dianggap positif? Jika seseorang tidak bermoral dan tidak memiliki kemanusiaan, akankah dia mampu untuk tidak menyimpan uang yang ditemukannya?" Itu belum tentu cara yang akurat untuk menjelaskannya. Iblis mampu melakukan beberapa hal baik—jadi akankah engkau berkata bahwa itu bukan iblis? Beberapa raja setan melakukan satu atau dua perbuatan baik agar menjadi terkenal dan memperkuat posisi mereka dalam sejarah—jadi akankah engkau menyebut mereka orang yang baik? Engkau tidak dapat menentukan apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak, atau apakah karakternya baik atau buruk, hanya berdasarkan satu hal baik atau buruk yang dilakukannya. Agar suatu penilaian menjadi akurat, engkau harus mendasarkannya pada perilakunya secara keseluruhan, dan pada apakah dia memiliki gagasan dan pandangan yang benar atau tidak. Jika seseorang mampu mengembalikan barang yang sangat berharga yang ditemukannya kepada pemiliknya yang sah, ini hanya memperlihatkan bahwa dia tidak serakah, dan bahwa dia tidak mengingini milik orang lain. Dia memiliki aspek perilaku moral yang baik ini, tetapi apakah ini ada kaitannya dengan perilaku dan sikapnya terhadap hal-hal yang positif? (Tidak.) Sangatlah mungkin ada orang-orang yang tidak akan setuju dengan hal ini, mereka akan menganggap pernyataan ini sedikit subjektif dan tidak akurat. Namun, mempertimbangkan hal ini dari sudut pandang yang berbeda, jika seseorang kehilangan sesuatu yang berguna, bukankah dia akan sangat mengkhawatirkannya? Jadi, bagi orang yang menemukan barang tersebut, apa pun yang temukannya, itu bukan miliknya, oleh karena itu dia tidak boleh menyimpannya. Entah itu adalah barang atau uang, entah itu berharga atau tidak berharga, itu bukanlah miliknya—jadi bukankah adalah kewajiban mereka untuk mengembalikan barang itu kepada pemiliknya yang sah? Bukankah ini yang seharusnya orang lakukan? Apakah nilai dari menganjurkan hal ini? Bukankah ini membesar-besarkan masalah sepele? Bukankah memperlakukan pepatah jangan menyimpan uang yang ditemukan sebagai semacam kualitas moral yang luhur dan mengangkatnya ke alam rohani yang tinggi adalah berlebihan? Apakah perilaku baik yang satu ini bahkan layak disebutkan di antara orang baik? Ada begitu banyak perilaku yang lebih baik dan lebih luhur daripada perilaku ini, jadi pepatah jangan menyimpan uang yang ditemukan tidak layak disebutkan. Namun, jika engkau dengan penuh semangat menyebarluaskan dan menganjurkan perilaku baik ini di antara para pengemis dan pencuri, itu barulah tepat, dan mungkin ada gunanya. Jika suatu negara dengan gencar menganjurkan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan", itu memperlihatkan bahwa orang-orang di sana sudah sangat jahat, bahwa negara itu dikuasai oleh para perampok dan pencuri, dan tidak mampu bersikap waspada terhadap mereka. Jadi, satu-satunya jalan lain mereka adalah dengan menganjurkan dan menyebarluaskan perilaku semacam ini untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebenarnya, perilaku ini telah selalu menjadi kewajiban orang. Misalnya, jika seseorang menemukan lima puluh yuan di jalan dan dengan mudah mengembalikannya ke pemiliknya yang sah, bukankah itu tidak terlalu penting sehingga tidak layak untuk disebutkan? Apakah itu benar-benar perlu dipuji? Apakah perlu untuk membesar-besarkan sesuatu yang sepele, dan memuji orang ini, dan bahkan memujinya karena perilaku moralnya yang luhur dan terhormat, hanya karena dia mengembalikan uang yang hilang kepada pemiliknya? Bukankah mengembalikan uang yang hilang kepada pemiliknya yang sah hanyalah hal yang normal dan wajar untuk dilakukan? Bukankah ini adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki nalar yang normal? Bahkan seorang anak kecil yang tidak memahami moral sosial pun akan mampu melakukan hal ini, jadi perlukah sebenarnya membesar-besarkan hal ini? Apakah perilaku ini benar-benar layak untuk dianggap setara dengan moralitas manusia? Menurut pendapat-Ku, itu tidak dapat dianggap setara dengan moralitas manusia, dan tidak layak dipuji. Itu hanyalah perilaku baik sementara dan tidak ada kaitannya dengan benar-benar menjadi orang yang baik pada tingkat dasar. Tidak menyimpan uang yang ditemukan adalah masalah yang sangat sepele. Itu adalah sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan oleh orang normal mana pun, dan oleh siapa pun yang adalah manusia atau berbicara dalam bahasa manusia. Ini adalah sesuatu yang mampu orang lakukan jika mereka berusaha keras, mereka tidak memerlukan seorang guru atau cendekiawan untuk mengajari mereka melakukan hal itu. Seorang anak berusia tiga tahun mampu melakukan ini, tetapi para cendekiawan dan guru telah memperlakukannya sebagai persyaratan penting dari perilaku moral manusia, dan dengan melakukannya, mereka telah membesar-besarkan sesuatu yang sepele. Meskipun pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" adalah pernyataan yang menilai perilaku moral manusia, tetapi pada dasarnya pernyataan tersebut tidak dianggap setara untuk mengukur apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau moralitas yang luhur. Oleh karena itu, tidaklah tepat dan pantas menggunakan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang.

"Jangan menyimpan uang yang kautemukan" adalah tuntutan budaya tradisional yang paling dangkal tentang perilaku moral. Meskipun semua masyarakat telah menganjurkan dan mengajarkan gagasan semacam ini, karena manusia memiliki watak yang rusak, dan karena maraknya tren jahat manusia, meskipun orang mampu menerapkan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" atau memiliki jenis perilaku moral yang baik ini selama beberapa waktu, itu tidak mengubah fakta bahwa watak rusak orang selalu menguasai pemikiran dan perilaku mereka, sementara juga menguasai dan mengendalikan perilaku dan pengejaran mereka. Perilaku moral baik yang sesaat tidak mampu mengendalikan pengejaran seseorang, dan tentu saja tidak mampu mengubah sanjungan, kekaguman, dan tren jahat yang diikuti seseorang. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, lagu yang orang nyanyikan di masa lalu, "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah," sekarang tidak lebih daripada sebuah lagu anak-anak. Itu telah menjadi kenangan. Orang bahkan tidak mampu memenuhi perilaku dasar yang baik dengan tidak menyimpan uang yang mereka temukan. Orang ingin mengubah pengejaran manusia dan watak yang rusak dengan menganjurkan perilaku moral yang baik, dan mereka berusaha menghentikan kemerosotan manusia dan kemerosotan masyarakat dari hari ke hari, tetapi pada akhirnya mereka gagal mencapai tujuan-tujuan ini. Moral "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" hanya bisa ada di dunia impian manusia. Orang memperlakukan moral ini sebagai semacam impian, sebagai cita-cita untuk dunia yang lebih baik. Moral ini ada di dalam dunia angan-angan manusia. Ini adalah semacam harapan yang manusia tempatkan atas dunia masa depan, tetapi itu tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia dan dengan kemanusiaan manusia yang sebenarnya. Ini bertentangan dengan prinsip perilaku manusia dan jalan yang orang tempuh, serta apa yang mereka kejar, dan apa yang seharusnya mereka miliki dan capai. Ini tidak sesuai dengan perwujudan dan penyingkapan dari kemanusiaan yang normal, dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hubungan antarpribadi dan menangani urusan. Jadi, standar untuk menilai perilaku moral manusia ini selalu tidak berlaku, dari zaman kuno hingga zaman sekarang. Gagasan dan sudut pandang "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" yang dianjurkan manusia ini sangat tidak bermakna, dan kebanyakan orang mengabaikannya, karena itu tidak mampu mengubah arah perilaku mereka, atau pengejaran mereka, dan tentu saja tidak mampu mengubah kebobrokan, keegoisan, kepentingan pribadi orang, atau kecenderungan mereka yang semakin besar untuk segera melakukan kejahatan. Tuntutan yang paling dangkal dari pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" telah menjadi lelucon satir yang lucu. Kini, bahkan anak-anak pun tidak mau menyanyikan, "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah"—lagu itu bahkan sama sekali tidak bermakna. Di dunia yang dipenuhi politisi korup, lagu ini telah menjadi sangat ironis. Kenyataannya, yang orang telah ketahui adalah bahwa seseorang dapat menyerahkan satu sen yang hilang kepada polisi, tetapi jika dia menemukan satu juta yuan, atau sepuluh juta yuan, itu akan langsung masuk ke sakunya. Dari kejadian ini, kita dapat memahami bahwa upaya orang untuk menganjurkan tuntutan tentang perilaku moral ini kepada manusia telah gagal. Ini berarti orang tidak mampu melakukan bahkan perilaku dasar yang baik. Apa artinya tidak mampu melakukan bahkan perilaku dasar yang baik? Ini berarti orang tidak mampu melakukan bahkan hal-hal dasar yang seharusnya mereka lakukan—seperti tidak menyimpan sesuatu yang mereka temukan jika itu adalah milik orang lain. Selain itu, ketika orang melakukan kesalahan, mereka tidak akan mengatakan yang sebenarnya mengenai hal itu, mereka lebih baik mati daripada mengakui kesalahan mereka. Mereka bahkan tidak mampu memenuhi sesuatu yang mendasar seperti tidak berbohong, jadi mereka tentu saja tidak pantas berbicara tentang moralitas. Mereka bahkan tidak ingin memiliki hati nurani dan nalar, jadi bagaimana mereka dapat berbicara tentang moralitas? Para pejabat dan para pemegang kekuasaan memutar otak mereka memikirkan cara untuk memeras dan mengambil lebih banyak keuntungan dari orang lain, dan menyita barang-barang yang bukan milik mereka. Bahkan hukum pun tidak mampu menahan mereka—mengapa demikian? Bagaimana manusia bisa sampai pada titik ini? Semua ini karena watak rusak Iblis dalam diri orang, dan kendali serta dominasi natur Iblis mereka atas diri mereka, yang menimbulkan segala macam perilaku curang dan berbahaya. Orang-orang munafik ini melakukan banyak hal tercela dan tidak tahu malu dengan kedok "melayani rakyat". Bukankah mereka telah kehilangan semua rasa malu? Sekarang ini, ada begitu banyak orang munafik. Di dunia di mana orang jahat merajalela dan orang baik ditindas, doktrin seperti "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" sama sekali tidak mampu membatasi watak rusak manusia, dan itu sama sekali tidak mampu mengubah natur dan esensi mereka, atau jalan yang mereka tempuh.

Sudahkah engkau semua memahami hal-hal yang telah Kusampaikan dalam persekutuan ini dengan topik tentang "Jangan menyimpan uang yang kautemukan"? Apa artinya pepatah ini bagi manusia yang rusak? Bagaimana seharusnya orang memahami moral ini? ("Jangan menyimpan uang yang kautemukan" tidak ada kaitannya dengan perilaku orang atau dengan jalan yang mereka tempuh. Itu tidak mampu mengubah jalan yang manusia tempuh.) Benar, tidaklah pantas bagi orang untuk menilai kemanusiaan seseorang berdasarkan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Pepatah ini tidak boleh digunakan untuk menilai kemanusiaan seseorang, dan juga adalah keliru untuk menggunakannya untuk menilai moral seseorang. Itu tidak lebih daripada perilaku sesaaat manusia. Itu sama sekali tidak boleh digunakan untuk menilai esensi seseorang. Orang-orang yang mengajukan pepatah tentang perilaku moral, "Jangan menyimpan uang yang kautemukan"—yang disebut para cendekiawan dan guru ini—adalah para idealis. Mereka tidak memahami kemanusiaan atau esensi manusia, dan mereka tidak memahami sejauh mana manusia telah menjadi bejat dan rusak. Dengan demikian, pepatah tentang perilaku moral yang mereka kemukakan ini sangat hampa, tidak praktis, dan tidak sesuai dengan keadaan manusia yang sebenarnya. Di satu sisi, pepatah tentang perilaku moral ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan esensi manusia atau dengan berbagai watak rusak yang orang perlihatkan, ataupun dengan gagasan, pandangan, dan perilaku yang mungkin dimunculkan oleh orang-orang yang dikuasai oleh watak rusak. Di sisi lain, tidak menyimpan uang yang ditemukan adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang normal. Sebagai contoh, orang tuamu melahirkan dan membesarkanmu, tetapi ketika engkau masih bodoh dan belum dewasa, yang akan kaulakukan hanyalah meminta makanan dan pakaian dari orang tuamu. Namun, setelah engkau menjadi dewasa dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang segala sesuatu, engkau secara alami tahu bagaimana mengasihi orang tuamu, berusaha agar tidak membuat mereka khawatir atau marah, berusaha agar tidak menambah beban kerja atau penderitaan mereka, dan melakukan semua yang engkau mampu seorang diri. Engkau secara alami mulai memahami hal-hal ini dan tidak memerlukan siapa pun untuk mengajarimu. Engkau adalah manusia, engkau memiliki hati nurani dan nalar, jadi engkau mampu dan seharusnya melakukan hal-hal ini—tak satu pun hari hal-hal ini yang bahkan layak untuk disebutkan. Dengan menganggap pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" setara dengan karakter moral yang luhur, orang membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan terlalu berlebihan; perilaku ini tidak boleh didefinisikan dengan cara seperti itu, bukankah demikian? (Ya.) Apa yang bisa dipelajari dari hal ini? Melakukan apa yang seharusnya orang lakukan dan mampu melakukannya dalam lingkup kemanusiaan yang normal merupakan tanda dari seseorang yang memiliki kemanusiaan yang normal. Ini berarti jika seseorang memiliki nalar biasa, dia mampu melakukan hal-hal yang akan dipikirkan dan disadari oleh orang-orang yang memiliki kemanusiaan yang normal—bukankah ini adalah kejadian yang sangat normal? Jika engkau melakukan sesuatu yang mampu dilakukan oleh manusia normal, dapatkah itu benar-benar disebut perilaku moral yang baik? Apakah perlu untuk menganjurkannya? (Tidak, tidak perlu.) Apakah perilaku moral ini benar-benar dianggap sebagai kemanusiaan yang luhur? Apakah dengan memiliki perilaku moral ini, orang dianggap memiliki kemanusiaan? (Tidak.) Memperlihatkan perilaku seperti itu tidak membuat orang dianggap memiliki kemanusiaan. Jika engkau berkata bahwa seseorang memiliki kemanusiaan, itu berarti sudut pandang dan sikap yang darinya dia memandang masalah relatif positif dan aktif, demikian pula cara dan metodenya dalam menangani masalah. Apa tanda dari kepositifan dan keaktifan? Orang itu akan memiliki hati nurani dan rasa malu. Tanda lain dari kepositifan dan keaktifan adalah rasa keadilan. Mungkin orang ini memiliki beberapa kebiasaan buruk seperti begadang dan bangun kesiangan, suka memilah-milah makanan, atau lebih suka makanan dengan rasa yang kuat, tetapi selain dari kebiasaan buruk ini, dia akan memiliki sifat-sifat baik tertentu. Dia akan memiliki prinsip dan batasan dalam hal perilaku dan tindakannya; dia akan memiliki rasa malu dan rasa keadilan; dan dia akan memiliki lebih banyak sifat positif dan lebih sedikit sifat negatif. Jika dia mampu menerima dan menerapkan kebenaran, itu akan jauh lebih baik dan akan mudah baginya untuk menempuh jalan mengejar kebenaran. Sebaliknya, jika seseorang menyukai kejahatan; mencari ketenaran, keuntungan, dan status; memuja uang; suka hidup mewah; dan menikmati waktu luangnya untuk mencari kesenangan, maka sudut pandang yang darinya dia memandang orang dan hal-hal, dan pandangannya tentang kehidupan dan sistem nilai semuanya akan menjadi negatif dan gelap, dan dia akan kehilangan rasa malu dan rasa keadilan. Orang semacam ini tidak akan memiliki kemanusiaan, dan tentu saja tidak akan mudah baginya untuk menerima kebenaran atau memperoleh keselamatan Tuhan. Ini adalah prinsip sederhana untuk menilai orang. Penilaian terhadap perilaku moral seseorang bukanlah standar yang digunakan untuk menilai apakah dia memiliki kemanusiaan atau tidak. Untuk menilai apakah seseorang itu baik atau buruk, engkau harus menilai dirinya berdasarkan kemanusiaannya, bukan perilaku moralnya. Perilaku moral cenderung dangkal, dan dipengaruhi oleh iklim sosial, latar belakang, dan lingkungan seseorang. Beberapa tindakan dan perwujudan selalu berubah, jadi sulit untuk menentukan kualitas kemanusiaan seseorang hanya berdasarkan perilaku moralnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin sangat menghormati moral sosial, dan mengikuti aturan ke mana pun dia pergi. Dia mungkin memperlihatkan dirinya mampu menahan diri dalam segala hal yang dia lakukan, mematuhi hukum pemerintah, dan menahan diri dari membuat keributan di depan umum atau dari melanggar kepentingan orang lain. Dia mungkin juga bersikap hormat dan membantu, dan memedulikan orang muda dan orang yang sudah lanjut usia. Apakah fakta bahwa orang ini memiliki begitu banyak sifat yang baik berarti dia sedang hidup dalam kemanusiaan yang normal dan bahwa dia adalah orang yang baik? (Tidak.) Seseorang mungkin menerapkan pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dengan sangat baik, dia mungkin secara konsisten mematuhi moral yang dipromosikan dan dianjurkan manusia ini, tetapi bagaimana dengan kemanusiaannya? Fakta bahwa dia menerapkan pepatah tidak menyimpan uang yang ditemukannya tidak menjelaskan apa pun tentang kemanusiaannya—perilaku moral ini tidak dapat digunakan untuk menilai apakah kemanusiaannya baik atau buruk. Jadi, bagaimana seharusnya kemanusiaannya dinilai? Engkau harus melepaskan dia dari kemasan perilaku moral ini, dan menyingkirkan tindakan dan perilaku moral yang dipandang baik oleh manusia, dan itu adalah hal minimal yang dapat dicapai oleh setiap orang yang memiliki kemanusiaan yang normal. Setelah itu, lihatlah perwujudannya yang paling penting, seperti prinsip perilakunya, dan batasan yang tidak akan dia lewati dalam perilakunya, serta sikapnya terhadap kebenaran dan Tuhan. Inilah satu-satunya cara untuk melihat esensi kemanusiaannya, dan natur batinnya. Memandang orang dengan cara seperti ini relatif objektif dan akurat. Sekian dulu pembahasan kita tentang pesan moral: "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Sudahkah engkau semua memahami persekutuan ini? (Ya.) Aku sering kali khawatir engkau semua belum benar-benar memahami apa yang telah Kusampaikan, Aku khawatir engkau hanya memahami sedikit doktrin tentangnya, tetapi masih tidak memahami bagian-bagian yang berkaitan dengan esensinya. Jadi, yang bisa Kulakukan hanyalah menguraikan sedikit lebih lanjut tentang gagasan itu. Aku baru akan merasa tenang jika Aku merasa engkau semua telah mengerti. Bagaimana Aku bisa tahu bahwa engkau semua telah mengerti? Ketika Kulihat ekspresi sukacita di wajahmu, engkau mungkin telah memahami apa yang Kusampaikan. Jika Aku bisa mencapai hal itu, maka berbicara sedikit lebih banyak tentang topik ini akan bermanfaat.

Aku kurang lebih telah menyelesaikan persekutuan-Ku tentang pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Meskipun Aku belum memberitahumu secara langsung bagaimana moral ini bertentangan dengan kebenaran, atau mengapa moral ini tidak dapat dianggap setara dengan kebenaran, atau tuntutan apa yang Tuhan bebankan pada tindakan dan perilaku moral manusia, bukankah Aku telah membahas semua hal ini? (Ya, sudah.) Apakah rumah Tuhan menganjurkan moral seperti "Jangan menyimpan uang yang kautemukan"? (Tidak.) Lalu bagaimana rumah Tuhan memandang pepatah ini? Engkau semua boleh menyampaikan pemahamanmu. ("Jangan menyimpan uang yang kautemukan" hanyalah sesuatu yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang normal, jadi pepatah ini tidak perlu dianjurkan. Selain itu, pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" hanyalah perwujudan dari moralitas manusia, itu tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip perilaku orang, tidak berkaitan dengan pandangan yang mereka miliki tentang pengejaran mereka, tidak berkaitan dengan jalan yang mereka tempuh, ataupun dengan kualitas kemanusiaan mereka.) Apakah perilaku moral merupakan tanda dari kemanusiaan? (Itu bukan tanda dari kemanusiaan. Beberapa aspek perilaku moral hanyalah hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh manusia normal.) Ketika rumah Tuhan berbicara tentang kemanusiaan dan kemampuan mengenali orang, itu dilakukan dalam konteks utama mengejar kebenaran. Secara umum, rumah Tuhan tidak akan menilai bagaimana perilaku moral seseorang—setidaknya, rumah Tuhan tidak akan menilai apakah seseorang mampu atau tidak memenuhi pepatah: "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Rumah Tuhan tidak akan memeriksa hal ini. Sebaliknya, rumah Tuhan akan memeriksa kualitas kemanusiaan orang tersebut, apakah mereka menyukai hal-hal positif dan kebenaran atau tidak, dan sikap seperti apa yang mereka miliki terhadap kebenaran dan Tuhan. Seseorang mungkin tidak menyimpan uang yang ditemukannya saat dia berada dalam masyarakat sekuler, tetapi jika dia sama sekali tidak melindungi kepentingan rumah Tuhan setelah menjadi orang percaya—jika dia mampu mencuri, memboroskan, atau bahkan menjual persembahan ketika dia diberi kesempatan untuk mengelolanya—jika dia mampu melakukan segala macam hal buruk, siapakah dia? (Orang yang jahat.) Dia tidak pernah mengambil sikap untuk melindungi kepentingan rumah Tuhan ketika masalah muncul. Bukankah ada orang-orang semacam ini? (Ada.) Jadi, apakah pantas menggunakan pepatah, "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" untuk menilai kemanusiaannya? Itu pasti tidak pantas. Beberapa orang berkata: "Dahulu dia adalah orang yang baik. Dia memiliki karakter moral yang luhur dan semua orang memuji dirinya. Jadi, mengapa dia berubah setelah datang ke rumah Tuhan?" Benarkah dia telah berubah? Sebenarnya, dia tidak berubah. Dia memiliki sedikit perilaku moral dan perilaku yang baik, tetapi selain dari itu, ini selalu merupakan esensi kemanusiaannya—yang sama sekali belum berubah. Ke mana pun dia pergi, dia selalu berperilaku seperti ini. Hanya saja, sebelumnya orang menilai dia dengan menggunakan standar perilaku moral, bukan menggunakan kebenaran untuk menilai kemanusiaannya. Orang mengira dia mengalami semacam perubahan, tetapi sebenarnya tidak. Beberapa orang berkata, "Dahulu dia tidak seperti itu." Dahulu dia tidak seperti itu karena dia tidak dihadapkan dengan situasi ini sebelumnya dan dia tidak mendapati dirinya dalam lingkungan seperti ini sebelumnya. Selain itu, orang tidak memahami kebenaran, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenalinya. Apa akibat akhir dari orang yang memandang dan menilai orang lain berdasarkan satu perilaku yang baik, dan bukan pada esensi kemanusiaannya? Akibatnya, orang bukan saja tidak akan dapat mengetahui yang sebenarnya mengenai diri orang lain, mereka juga akan dibutakan dan disesatkan oleh perilaku moral baik orang lain yang hanya tampak di luarnya saja. Ketika orang tidak dapat mengetahui yang sebenarnya mengenai diri orang lain, mereka akan menaruh kepercayaan, menganjurkan, dan menugaskan orang yang salah, dan mereka akan disesatkan dan ditipu oleh orang lain. Ada pemimpin dan pekerja yang sering kali melakukan kesalahan ini saat memilih dan menugaskan orang. Mereka dibutakan oleh orang-orang yang secara lahiriah memiliki beberapa perilaku baik dan perilaku moral yang baik, dan mengatur agar mereka melakukan pekerjaan penting atau menyimpan beberapa barang penting. Akibatnya, terjadi kesalahan, dan itu menyebabkan rumah Tuhan mengalami kerugian. Mengapa terjadi kesalahan? Itu terjadi karena para pemimpin dan pekerja tidak mampu memahami natur dan esensi yang sebenarnya dari orang-orang ini. Mengapa mereka tidak memahami natur dan esensi yang sebenarnya dari mereka? Karena para pemimpin dan pekerja ini tidak memahami kebenaran, dan mereka tidak mampu menilai dan tidak memiliki kemampuan mengenali orang. Mereka tidak mampu memahami natur dan esensi yang sebenarnya dari orang, dan mereka tidak mengetahui sikap seperti apa yang orang miliki terhadap Tuhan, kebenaran, dan kepentingan rumah Tuhan. Mengapa demikian? Karena para pemimpin dan pekerja ini memandang orang dan hal-hal dari sudut pandang yang salah. Mereka hanya memandang orang berdasarkan gagasan dan imajinasi manusia, mereka tidak memandang esensi mereka berdasarkan firman Tuhan dan prinsip kebenaran—melainkan, mereka memandang orang berdasarkan perilaku moral dan tindakan serta perwujudan yang hanya tampak di luarnya saja. Karena pandangan mereka tentang orang tidak memiliki prinsip, mereka menaruh kepercayaan mereka pada orang yang salah, menugaskan orang yang salah, dan akibatnya mereka dibutakan, ditipu, dan dimanfaatkan oleh orang-orang itu, dan pada akhirnya kepentingan rumah Tuhan dirugikan. Ini adalah akibat dari ketidakmampuan untuk memandang orang atau mengetahui diri mereka yang sebenarnya. Jadi, jika seseorang ingin mengejar kebenaran, pelajaran pertama yang harus dia pelajari adalah bagaimana mengenali dan memandang orang—pelajaran ini membutuhkan waktu yang lama untuk dipelajari, dan ini adalah salah satu pelajaran paling mendasar yang harus orang pelajari. Jika engkau ingin mengetahui yang sebenarnya mengenai diri seseorang dan belajar mengenali dirinya, engkau harus terlebih dahulu memahami standar apa yang Tuhan gunakan untuk menilai orang, pemikiran dan pandangan menyesatkan apa yang mengendalikan dan mendominasi cara orang memandang dan menilai orang lain, dan apakah standar itu bertentangan atau tidak dengan standar yang Tuhan gunakan untuk menilai manusia, dan bagaimana standar bisa itu bertentangan. Apakah metode dan standar yang kaugunakan untuk menilai orang didasarkan pada tuntutan Tuhan? Apakah semua itu didasarkan pada firman Tuhan? Apakah semua itu memiliki dasar dalam kebenaran? Jika tidak, dan engkau sepenuhnya mengandalkan pengalaman dan imajinasimu untuk menilai orang lain, atau jika engkau bahkan bertindak terlalu jauh sampai mendasarkan penilaianmu pada moral sosial yang dianjurkan dalam masyarakat, atau mendasarkan penilaianmu pada apa yang kaulihat dengan kedua matamu, maka orang yang berusaha kaukenali akan tetap tidak jelas bagimu. Engkau tidak akan dapat mengetahui diri mereka yang sebenarnya. Jika engkau menaruh kepercayaanmu kepada mereka dan memberikan tugas kepada mereka, engkau akan mengambil risiko pada tingkat tertentu, dan mau tak mau, ada kemungkinan hal ini akan menyebabkan kerugian pada persembahan Tuhan, pekerjaan gereja, dan jalan masuk kehidupan umat pilihan Tuhan. Kemampuan mengenali orang adalah pelajaran pertama yang harus kaupelajari jika engkau ingin mengejar kebenaran. Tentu saja, itu juga merupakan salah satu aspek paling mendasar dari kebenaran yang harus orang miliki. Belajar mengenali orang tidak dapat dipisahkan dari topik persekutuan hari ini. Engkau harus mampu membedakan antara perilaku dan kualitas moral yang baik, dan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh manusia normal. Mampu membedakan di antara kedua hal ini sangatlah penting. Hanya dengan cara demikianlah engkau akan mampu mengenali dan melihat esensi seseorang secara akurat, dan pada akhirnya memastikan siapa yang memiliki kemanusiaan dan siapa yang tidak. Dengan apa orang harus terlebih dahulu diperlengkapi untuk membedakan hal-hal ini? Orang harus memahami firman Tuhan, serta aspek kebenaran ini, dan mencapai titik di mana mereka memandang orang berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standar mereka. Bukankah ini adalah prinsip kebenaran yang seharusnya orang terapkan dan miliki saat mengejar kebenaran? (Ya.) Jadi, sangatlah penting bagi kita untuk mempersekutukan topik-topik ini.

Aku baru saja mempersekutukan pepatah pertama, "Jangan menyimpan uang yang kautemukan", yang jelas merupakan semacam perilaku moral manusia. Perilaku moral ini adalah semacam karakter moral dan perilaku sesaat yang meninggalkan kesan baik pada orang-orang, tetapi sayangnya, perilaku moral ini tidak dapat berfungsi sebagai standar yang digunakan untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Pepatah kedua, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", adalah sama. Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa ini juga adalah sesuatu yang orang sukai dan anggap sebagai perilaku yang baik. Mereka yang memperlihatkan perilaku baik ini dipuji sebagai orang yang memiliki perilaku moral yang baik dan karakter yang luhur—singkatnya, mereka dianggap sebagai orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain dan memiliki karakter moral yang sangat baik. "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" memiliki beberapa kesamaan dengan "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Ini juga merupakan perilaku baik yang muncul dalam diri orang-orang dalam iklim sosial tertentu. Arti harfiah dari "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" berarti menemukan kesenangan dalam membantu orang lain. Itu bukan berarti adalah kewajiban orang untuk membantu orang lain—pepatah tersebut bukan berbunyi "Membantu orang lain adalah tanggung jawabmu"—melainkan berbunyi "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dari sini, kita dapat memahami apa yang memotivasi orang untuk membantu orang lain. Mereka tidak melakukannya demi orang lain, melainkan demi diri mereka sendiri. Orang dipenuhi dengan kekhawatiran dan penderitaan, jadi mereka mencari orang lain yang membutuhkan bantuan dan memberi mereka sedekah dan bantuan; mereka membantu dan melakukan hal-hal baik apa pun yang mampu mereka lakukan untuk membuat diri mereka merasa bahagia, senang, tenang, dan sukacita, dan untuk mengisi hari-hari mereka dengan makna, sehingga mereka tidak merasa begitu hampa dan sedih—mereka memperbaiki perilaku moral mereka agar dapat mencapai tujuan untuk menyucikan dan memurnikan hati dan pikiran mereka. Perilaku macam apa ini? Jika engkau memandang orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain dari sudut pandang penjelasan ini, berarti mereka bukanlah orang baik. Setidaknya, mereka tidak dimotivasi oleh moralitas, hati nurani, atau kemanusiaan mereka untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, atau untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan keluarga mereka; melainkan, mereka membantu orang agar dapat memperoleh kesenangan, penghiburan spiritual, kenyamanan emosional, dan untuk hidup bahagia. Apa pendapatmu mengenai perilaku moral semacam ini? Jika engkau melihat naturnya, itu jauh lebih buruk daripada "Jangan menyimpan uang yang kautemukan". Setidaknya "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" tidak memiliki aspek egois di dalamnya. Lalu bagaimana dengan: "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"? Kata "kesenangan" menunjukkan bahwa perilaku ini mengandung unsur keegoisan dan niat yang hina. Ini bukan tentang membantu orang demi dirinya atau sebagai pengorbanan tanpa pamrih, ini dilakukan demi kesenangan dirinya sendiri. Ini sama sekali tidak layak untuk dianjurkan. Misalnya, katakanlah engkau melihat seorang yang sudah lanjut usia terjatuh di jalan dan engkau berpikir: "Belakangan ini aku merasa sangat sedih. Orang tua yang jatuh ini adalah kesempatan besar—aku akan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain!" Engkau pergi dan membantu orang tua itu berdiri, dan ketika sudah mampu berdiri, dia memujimu, berkata: "Kau benar-benar orang yang baik, Nak. Semoga kau aman dan bahagia dan hidup sampai usia lanjut!" Dia menghujanimu dengan perkataan yang menyenangkan ini, dan setelah mendengarnya, semua kekhawatiranmu lenyap dan engkau merasa puas. Engkau mengira membantu orang adalah hal yang baik, dan bertekad untuk berjalan-jalan di sepanjang jalan di waktu luangmu dan membantu siapa pun yang terjatuh. Orang memperlihatkan beberapa perilaku baik di bawah pengaruh pemikiran semacam ini, dan masyarakat telah menggolongkan perilaku ini sebagai tradisi yang baik untuk mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, dan sebagai semacam karakter moral yang luhur yang meneruskan tradisi besar ini. Di balik mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain adalah bahwa mereka yang membantu biasanya menganggap diri mereka sebagai puncak moralitas. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang dermawan yang hebat, dan semakin banyak orang memuji mereka, semakin besar keinginan mereka untuk membantu, memberikan sedekah, dan berbuat lebih banyak untuk orang lain. Ini memuaskan keinginan mereka untuk menjadi pahlawan dan penyelamat manusia, serta keinginan mereka untuk mendapatkan semacam kepuasan karena dibutuhkan oleh orang lain. Bukankah semua manusia ingin merasa dibutuhkan? Ketika orang merasa dibutuhkan oleh orang lain, mereka menganggap diri mereka sangat berguna dan hidup mereka bermakna. Bukankah ini hanyalah semacam mencari perhatian? Mencari perhatian adalah satu-satunya hal yang membuat orang senang—itu adalah cara hidup mereka. Sebenarnya, dari sudut pandang mana pun kita memandang masalah mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, itu bukanlah standar untuk menilai moral manusia. Sering kali, tindakan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain sebenarnya hanya membutuhkan sedikit upaya. Jika engkau mau melakukannya, maka engkau telah memenuhi tanggung jawab sosialmu; jika engkau tidak mau melakukannya, tak seorang pun akan meminta pertanggungjawabanmu, dan engkau tidak akan menjadi sasaran kecaman publik. Berkenaan dengan perilaku baik yang dipuji manusia, orang dapat memilih untuk melakukannya atau menahan diri untuk tidak melakukannya, kedua-duanya boleh. Tidak perlu membatasi orang dengan pepatah ini, atau membuat mereka belajar bagaimana mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, karena perilaku itu sendiri hanyalah perilaku baik sesaat. Entah seseorang dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya atau jika dia menerapkan perilaku baik ini karena rasa kebajikan sipil, apa yang akan menjadi hasil akhirnya? Dia hanya akan memuaskan keinginannya untuk menjadi orang yang baik dan mewujudkan semangat Lei Feng dalam contoh yang satu ini; dia akan mendapatkan kesenangan dan kenyamanan dari melakukannya, dan dengan demikian mengangkat ranah pemikiran mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Itu saja. Inilah esensi dari apa yang sedang mereka lakukan. Jadi, apa pemahamanmu tentang pepatah "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" sebelum persekutuan ini? (Sebelum persekutuan ini, aku tidak mengenali niat egois dan tercela di baliknya.) Bayangkan skenario di mana engkau memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu, sebuah tanggung jawab yang tidak boleh kaulalaikan, sesuatu yang cukup sulit, dan engkau harus menanggung sedikit penderitaan, meninggalkan beberapa hal, dan membayar harga untuk mencapainya, tetapi engkau tetap mampu memenuhi tanggung jawab ini. Engkau tidak akan merasa begitu puas saat engkau sedang melakukannya, dan setelah membayar harga dan memenuhi tanggung jawab ini, hasil kerjamu tidak akan memberimu kesenangan atau kenyamanan apa pun, tetapi karena itu adalah tanggung jawab dan tugasmu, engkau tetap melakukannya. Jika kita bandingkan ini dengan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, manakah yang memperlihatkan lebih banyak kemanusiaan? (Orang yang memenuhi tanggung jawab dan tugas mereka memiliki lebih banyak kemanusiaan.) Mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain bukanlah tentang memenuhi tanggung jawab—itu hanyalah tuntutan tentang perilaku moral dan tanggung jawab sosial orang yang ada dalam konteks sosial tertentu; itu berasal dari pendapat umum, moral sosial, atau bahkan hukum suatu negara, dan itu berfungsi untuk menilai apakah seseorang memiliki moral atau tidak dan kualitas kemanusiaannya. Dengan kata lain, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" hanyalah sebuah pepatah yang membatasi perilaku orang, yang telah dikemukakan oleh masyarakat untuk mengangkat ranah pemikiran manusia. Pepatah semacam ini hanya digunakan untuk membuat orang melakukan beberapa perilaku baik, dan standar untuk menilai perilaku-perilaku baik itu adalah moral sosial, opini publik, atau bahkan hukum. Misalnya, jika engkau melihat seseorang yang membutuhkan bantuan di tempat umum dan engkau adalah orang pertama yang seharusnya membantunya, tetapi engkau tidak melakukannya, apa pendapat orang lain tentang dirimu? Mereka akan menegurmu karena ketidaksopananmu—bukankah itu yang kita maksudkan dengan opini publik? (Ya.) Jadi, apakah yang dimaksud dengan moral sosial? Moral sosial adalah hal-hal dan kebiasaan yang positif dan baik yang dianjurkan dan didorong oleh masyarakat. Tentu saja, moral sosial itu terdiri dari banyak tuntutan spesifik, misalnya: menyokong orang-orang yang lemah, membantu ketika orang lain menghadapi kesulitan, dan tidak hanya berpangku tangan. Orang-orang seharusnya menerapkan perilaku moral semacam ini, itulah yang dimaksud memiliki moral sosial. Jika engkau melihat seseorang menderita dan engkau berpura-pura tidak melihatnya, mengabaikannya, dan tidak melakukan apa-pun, itu berarti engkau tidak memiliki moral sosial. Jadi, apa tuntutan hukum dalam hal perilaku moral manusia? Tiongkok adalah kasus khusus dalam hal ini: hukum Tiongkok tidak memiliki ketentuan tegas mengenai tanggung jawab sosial dan moral sosial. Orang hanya belajar sedikit tentang hal-hal ini melalui didikan keluarga, pendidikan sekolah, dan apa yang mereka dengar dan amati dari masyarakat. Sebaliknya, di negara-negara barat, hal-hal ini dimasukkan ke dalam undang-undang. Sebagai contoh, jika engkau melihat seseorang terjatuh di jalan, setidaknya engkau harus menghampirinya dan bertanya, "Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau butuh bantuan?" Jika orang itu menjawab, "Aku baik-baik saja, terima kasih," engkau tidak perlu membantu mereka, engkau tidak diharuskan memenuhi tanggung jawab itu. Jika dia berkata, "Tolong, aku butuh bantuan," maka engkau harus membantunya. Jika engkau tidak membantunya, engkau akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Ini adalah tuntutan khusus yang diajukan negara-negara tertentu berkenaan dengan perilaku moral masyarakat; negara-negara ini membebankan tuntutan ini terhadap orang melalui ketentuan tegas dalam hukum-hukumnya. Tuntutan-tuntutan yang dibebankan pada perilaku moral orang oleh opini publik, moral sosial, dan bahkan hukum ini hanya terbatas pada perilaku orang, dan standar perilaku dasar ini adalah standar yang orang gunakan untuk menilai perilaku moral seseorang. Di luarnya, standar moral ini kelihatannya menilai perilaku orang—dengan kata lain, entah orang telah memenuhi tanggung jawab sosialnya atau tidak—tetapi pada intinya, standar moral ini menilai kualitas di dalam diri orang. Entah itu opini publik, moral sosial, atau hukum, standar moral ini hanya menilai atau membuat tuntutan tentang hal-hal yang orang lakukan, dan penilaian serta tuntutan ini terbatas pada perilaku orang. Standar moral ini menilai kualitas dan perilaku moral seseorang berdasarkan perilaku orang tersebut—itulah ruang lingkup penilaiannya. Itulah natur dari pernyataan: "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dalam hal mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, negara-negara barat menuntut orang melalui ketentuan hukum, sedangkan di Tiongkok, budaya tradisional digunakan untuk mendidik dan mengondisikan orang dengan gagasan-gagasan ini. Meskipun ada perbedaan antara Timur dan Barat ini, keduanya pada dasarnya sama—keduanya menggunakan pepatah-pepatah untuk membatasi dan mengatur perilaku dan moralitas orang. Namun, entah itu hukum negara-negara barat atau budaya tradisional di Timur, semua ini hanyalah tuntutan dan peraturan yang dibebankan terhadap tindakan dan perilaku moral manusia, dan standar-standar ini hanya mengatur tindakan dan perilaku moral orang—tetapi apakah salah satu dari standar-standar ini menargetkan kemanusiaan orang? Dapatkah peraturan yang hanya menentukan perilaku apa yang seharusnya seseorang terapkan digunakan sebagai standar untuk menilai kemanusiaannya? (Tidak.) Jika kita melihat pepatah "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", ada orang-orang jahat mampu mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, tetapi mereka dimotivasi oleh niat dan tujuan mereka sendiri. Ketika setan-setan melakukan perbuatan baik tertentu, mereka bahkan sangatlah mungkin memiliki maksud dan niat mereka sendiri untuk melakukannya. Menurutmu, apakah semua orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain adalah orang-orang yang mencintai kebenaran yang adil? Ambillah contoh dari orang yang diyakini mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain di Tiongkok, seperti tokoh-tokoh yang baik itu, atau orang yang merampok dari orang kaya dan memberi kepada orang miskin, atau mereka yang sering datang untuk membantu kelompok-kelompok yang lemah dan orang cacat, dan sebagainya—apakah mereka semua memiliki kemanusiaan? Apakah mereka semua menyukai hal-hal positif dan memiliki rasa keadilan? (Tidak.) Paling-paling, mereka hanyalah orang-orang yang memiliki karakter yang relatif lebih baik. Karena mereka dikendalikan oleh semangat mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain ini, mereka melakukan banyak perbuatan baik yang memberi mereka kesenangan, kenyamanan, dan memungkinkan mereka untuk sepenuhnya menikmati perasaan bahagia, tetapi menerapkan perilaku seperti itu bukan berarti mereka memiliki kemanusiaan, karena baik keyakinan mereka maupun apa yang mereka kejar di dunia roh tidak jelas, semua itu adalah hal-hal yang tidak diketahui. Jadi, dapatkah mereka dianggap sebagai orang yang memiliki kemanusiaan dan berhati nurani berdasarkan moral yang baik tersebut? (Tidak.) Beberapa lembaga seperti yayasan dan lembaga kesejahteraan yang diyakini mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, yang membantu kelompok orang lemah dan orang cacat, paling-paling memenuhi sedikit tanggung jawab sosial mereka. Mereka melakukan hal-hal ini untuk meningkatkan citra mereka di mata publik, untuk meningkatkan popularitas mereka, dan untuk memuaskan mentalitas mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain—ini sama sekali tidak dapat dianggap menunjukkan bahwa mereka "memiliki kemanusiaan". Selain itu, apakah orang-orang yang mereka bantu untuk mendapatkan kesenangan benar-benar membutuhkan bantuan? Apakah mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain itu sendiri adalah hal yang baik? Belum tentu. Jika engkau cukup lama memperhatikan semua peristiwa besar dan kecil yang terjadi di tengah masyarakat, engkau akan melihat bahwa beberapa di antaranya hanyalah tentang orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, sedangkan, dalam banyak kasus lainnya, ada lebih banyak rahasia yang tak terungkap dan aspek gelap masyarakat yang tersembunyi dalam contoh-contoh di mana orang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain. Bagaimanapun juga, ada niat dan tujuan di balik mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, entah itu untuk menjadi terkenal dan terlihat paling menonjol, atau untuk memenuhi moral sosial dan tidak melanggar hukum, atau untuk mendapatkan penilaian yang lebih positif dari masyarakat pada umumnya. Bagaimanapun orang memandangnya, mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain hanyalah salah satu dari perilaku lahiriah manusia, dan, paling-paling, itu merupakan semacam perilaku moral yang baik. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemanusiaan yang normal yang Tuhan tuntut. Orang yang mampu mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain mungkin adalah orang biasa tanpa ambisi yang nyata, atau mereka mungkin tokoh-tokoh penting dalam masyarakat; mereka mungkin saja adalah orang-orang yang relatif baik hati, tetapi mereka juga mungkin jahat dalam hatinya. Mereka bisa saja adalah orang jenis apa pun, dan semua orang mampu menerapkan perilaku ini untuk sementara waktu. Jadi, pernyataan tentang perilaku moral, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang.

"Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"—pepatah tentang perilaku moral ini sebenarnya tidak merepresentasikan esensi kemanusiaan orang, dan pepatah ini memiliki sedikit kaitan dengan natur dan esensi manusia. Oleh karena itu, menggunakan pepatah ini untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang tidaklah tepat. Jadi, bagaimana cara yang tepat untuk menilai kemanusiaan seseorang? Setidaknya, seseorang yang memiliki kemanusiaan tidak boleh memutuskan apakah akan membantu seseorang atau memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan apakah hal itu akan membuatnya merasa senang atau tidak; melainkan, keputusannya seharusnya didasarkan pada hati nurani dan nalarnya, dan dia tidak boleh mempertimbangkan apa yang harus dia dapatkan, atau apa konsekuensi membantu orang itu terhadap dirinya, atau apa dampaknya bagi dirinya di masa depan. Dia seharusnya tidak mempertimbangkan hal-hal ini, dan dia seharusnya memenuhi tanggung jawabnya, membantu orang lain, dan menghalangi orang lain agar tidak mengalami penderitaan. Dia harus membantu orang dengan cara yang murni, tanpa tujuan egois apa pun—itulah yang akan dilakukan oleh seseorang yang benar-benar memiliki kemanusiaan. Jika tujuan seseorang dalam membantu orang lain adalah untuk menyenangkan dirinya sendiri atau untuk membangun reputasi yang baik untuk dirinya sendiri, berarti ada sifat egois dan hina di dalamnya—orang yang benar-benar memiliki hati nurani dan nalar tidak akan bertindak dengan cara seperti ini. Orang yang memiliki kasih sejati untuk orang lain tidak bertindak semata-mata agar dapat memenuhi keinginan mereka untuk merasakan hal tertentu, sebaliknya, mereka melakukannya agar dapat memenuhi tanggung jawab mereka, dan berupaya sebaik mungkin untuk membantu orang lain. Mereka tidak membantu orang agar dapat memperoleh imbalan, dan mereka tidak memiliki niat atau motif lain apa pun. Meskipun bertindak dengan cara seperti ini mungkin sulit, dan meskipun mereka mungkin dikritik oleh orang lain atau bahkan menghadapi sedikit bahaya, mereka menyadari bahwa ini adalah tugas yang seharusnya orang lakukan, bahwa ini adalah tanggung jawab orang, dan jika mereka tidak bertindak dengan cara seperti ini, mereka telah berutang kepada orang lain dan kepada Tuhan, dan mereka akan merasa menyesal seumur hidup. Dengan demikian, mereka melanjutkan tanpa ragu-ragu, mereka berusaha sekuat tenaga, mereka menaati kehendak Surga, dan mereka memenuhi tanggung jawab mereka. Bagaimanapun orang lain menilai mereka, atau apakah orang lain menunjukkan rasa terima kasih dan menghargai mereka atau tidak, asalkan mereka dapat membantu orang itu untuk melakukan apa pun yang harus mereka lakukan, dan dapat melakukannya dengan segenap hati, mereka akan merasa puas. Orang yang mampu bertindak dengan cara seperti ini memiliki hati nurani dan nalar, mereka memiliki perwujudan kemanusiaan, dan bukan hanya sejenis perilaku yang dibatasi oleh ruang lingkup karakter moral dan perilaku moral. Mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain hanyalah sejenis perilaku, dan terkadang itu hanyalah perilaku yang muncul dalam konteks tertentu; keputusan seseorang untuk terlibat dalam perilaku sesaat semacam ini dilakukan berdasarkan suasana hati, emosi, lingkungan sosial, serta latar belakang mereka, dan keuntungan atau kerugian apa yang mungkin timbul dari bertindak dengan cara seperti itu. Orang yang memiliki kemanusiaan tidak mempertimbangkan hal-hal ini ketika mereka membantu orang—mereka membuat keputusan berdasarkan standar penilaian yang lebih positif, dan lebih sesuai dengan hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal. Terkadang, mereka bahkan mampu bertekun untuk membantu orang padahal melakukan seperti itu bertentangan dan berlawanan dengan standar moralitas. Standar, gagasan, dan pandangan moralitas hanya mampu membatasi perilaku sesaat orang. Dan apakah perilaku ini baik atau buruk akan berubah tergantung pada suasana hati, emosi, kebaikan dan kejahatan di dalam diri mereka, dan niat baik atau buruk sesaat mereka; tentu saja, iklim sosial dan lingkungan juga akan memengaruhi hal ini. Ada banyak ketidakmurnian dalam perilaku ini; semua itu adalah perilaku yang terlihat di luar, dan orang tidak boleh menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak dengan menggunakan hal-hal ini. Sebaliknya, adalah jauh lebih akurat dan praktis untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak berdasarkan esensi kemanusiaannya, apa yang dia kejar, pandangan hidup dan sistem nilainya, jalan yang dia tempuh, dan dasar perilaku dan tindakannya. Katakan kepada-Ku, manakah yang sesuai dengan kebenaran: dasar untuk menilai kemanusiaan atau dasar untuk menilai perilaku moral? Manakah yang sesuai dengan kebenaran, apakah standar untuk menilai perilaku moral, ataukah standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak? Manakah dari standar ini yang sesuai dengan kebenaran? Sebenarnya, yang sesuai dengan kebenaran adalah standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Ini sudah pasti. Alasan mengapa hal-hal yang digunakan untuk menilai perilaku moral seseorang tidak dapat berfungsi sebagai standar adalah karena hal-hal tersebut tidak tetap. Semua itu dipenuhi dengan banyak ketidakmurnian, seperti transaksi orang, minat, kesukaan, pengejaran, emosi, pemikiran jahat, watak rusak, dan sebagainya. Ada terlalu banyak kesalahan dan ketidakmurnian di dalamnya—semuanya rumit. Oleh karena itu, semua itu tidak dapat dijadikan standar untuk menilai orang. Semua itu penuh dengan segala macam hal yang Iblis tanamkan dalam diri manusia dan kondisi tambahan yang muncul karena watak rusak Iblis dalam diri manusia, dan dengan demikian, semua itu bukanlah kebenaran. Singkatnya, entah orang menganggap semua standar perilaku moral ini mudah atau sulit untuk dipenuhi, atau apakah semua itu dianggap memiliki nilai yang tinggi, rendah atau rata-rata di mata manusia, bagaimanapun juga, semua itu hanyalah pepatah yang membatasi dan mengatur perilaku orang. Semua itu hanya dianggap setara dengan kualitas moral manusia; semua itu tidak memiliki kaitan sedikit pun dengan tuntutan Tuhan di mana kebenaran digunakan untuk menilai kemanusiaan seseorang. Semua itu bahkan tidak memasukkan standar paling dasar yang seharusnya dimiliki dan dipenuhi oleh manusia; semua itu tidak memiliki hal-hal itu. Saat memandang orang lain, orang hanya berfokus pada menilai perilaku moral mereka; mereka memandang dan menilai orang lain sepenuhnya berdasarkan tuntutan budaya tradisional. Tuhan tidak memandang manusia hanya berdasarkan perilaku moral mereka—Dia berfokus pada esensi kemanusiaan mereka. Apa yang termasuk dalam esensi kemanusiaan seseorang? Kesukaannya, pandangannya tentang segala sesuatu, sudut pandangnya tentang kehidupan dan sistem nilai, apa yang dia kejar, apakah dia memiliki rasa keadilan atau tidak, apakah dia mencintai kebenaran dan hal-hal positif atau tidak, kemampuannya untuk menerima dan tunduk pada kebenaran, jalan yang dia pilih, dan sebagainya. Menilai esensi kemanusiaan seseorang berdasarkan hal-hal ini adalah akurat. Ini kurang lebih mengakhiri persekutuan-Ku tentang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain. Melalui persekutuan mengenai dua tuntutan tentang perilaku moral ini, apakah engkau semua kini telah memahami prinsip-prinsip dasar membedakan dalam hal cara menilai perilaku moral, serta perbedaan antara standar Tuhan untuk menilai orang dan perilaku moral yang orang bicarakan? (Ya.)

Aku baru saja mempersekutukan dua tuntutan yang diajukan budaya tradisional dalam hal perilaku moral manusia, "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Apa yang telah engkau semua pahami dari persekutuan-Ku tentang kedua pepatah ini? (Aku mengerti bahwa perilaku moral manusia tidak berkaitan dengan esensi kemanusiaan mereka. Paling-paling, orang yang memperlihatkan perilaku moral semacam ini memiliki beberapa perilaku dan perwujudan yang baik dalam hal kualitas moral mereka. Namun, ini bukan berarti mereka memiliki kemanusiaan atau mereka hidup dalam keserupaan dengan manusia. Aku telah memperoleh pemahaman yang agak lebih jelas mengenai hal ini.) Orang yang memperlihatkan perilaku moral yang baik belum tentu memiliki kemanusiaan—semua orang dapat mengenali hal ini, dan memang demikianlah adanya. adalah. Semua orang mengikuti tren jahat masyarakat dan mereka semua telah secara perlahan kehilangan hati nurani dan nalar mereka—hanya sedikit orang yang mampu hidup dalam keserupaan dengan manusia. Apakah setiap orang yang pernah menyerahkan satu sen yang mereka temukan di pinggir jalan kepada polisi ternyata adalah orang yang baik? Belum tentu. Bagaimana kesudahan orang-orang yang pernah dipuji sebagai pahlawan di kemudian hari? Di dalam hatinya, semua orang tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Menjadi seperti apakah para teladan moralitas sosial dan para dermawan yang sering mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, yang dikalungi dengan hiasan bunga-bunga merah, dan dipuji oleh manusia? Kebanyakan dari mereka ternyata bukan orang yang baik. Mereka hanya dengan sengaja melakukan beberapa perbuatan baik untuk menjadi terkenal. Sebenarnya, sebagian besar perilaku, kehidupan, dan karakter mereka di balik layar sama sekali tidak baik. Satu-satunya hal yang benar-benar pandai mereka lakukan adalah menyanjung dan menjilat orang. Ketika mereka menanggalkan kalungan bunga merah dan penutup luar mereka sebagai teladan moralitas sosial, mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara berperilaku atau bagaimana mereka harus menjalani hidup mereka. Apa masalahnya di sini? Bukankah mereka telah terjebak oleh mahkota "teladan moral" yang disematkan masyarakat kepada mereka? Mereka sebenarnya tidak tahu siapa diri mereka yang sebenarnya—mereka telah disanjung secara berlebihan sehingga mereka mulai menganggap diri mereka sangat hebat, dan mereka tidak mampu lagi menjadi orang normal. Pada akhirnya, mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk hidup, kehidupan sehari-hari mereka menjadi sangat kacau, bahkan ada yang menyalahgunakan alkohol, menjadi depresi, dan bunuh diri. Pasti ada orang-orang yang termasuk dalam kategori ini. Mereka selalu mengejar perasaan tertentu, ingin menjadi pahlawan dan teladan, ingin menjadi terkenal, atau menjadi yang tertinggi dalam hal keunggulan moral. Mereka tidak pernah dapat kembali ke dunia nyata; kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan nyata selalu menjadi sumber kejengkelan dan penderitaan bagi mereka. Mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari penderitaan ini atau bagaimana memilih jalan yang benar dalam hidup ini. Untuk mencari kesenangan, ada orang-orang yang menggunakan narkoba, sedangkan yang lain memilih bunuh diri untuk melepaskan diri dari perasaan hampa. Sering kali beberapa dari mereka yang tidak bunuh diri akhirnya meninggal akibat depresi. Bukankah ada banyak contoh yang seperti itu? (Ya.) Kerusakan seperti inilah yang orang alami akibat tuntutan budaya tradisional terhadap manusia. Budaya tradisional bukan saja membuat orang tidak mampu memperoleh pemahaman yang akurat tentang kemanusiaan atau membimbing mereka ke jalan yang seharusnya mereka ikuti—bukan itu saja—semua itu sebenarnya menyesatkan mereka, mengarahkan mereka menuju alam khayalan dan fantasi. Hal ini merusak orang dan merusak mereka dengan sangat mendalam. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Tidak semuanya seperti itu! Kita baik-baik saja, bukan?" Bukankah fakta bahwa engkau semua baik-baik saja sekarang adalah karena perlindungan Tuhan? Hanya karena Tuhan memilihmu dan engkau semua memiliki perlindungan-Nya sehingga engkau cukup beruntung untuk menerima pekerjaan-Nya, dan dapat membaca firman-Nya, menghadiri pertemuan, saling bersekutu, dan melaksanakan tugasmu di sini; hanya karena perlindungan-Nya engkau dapat menjalani kehidupan manusia normal, dan memiliki nalar yang normal untuk menangani semua aspek kehidupan sehari-harimu. Namun, tidak dapat disangkal bahwa di dalam alam bawah sadarmu, masih ada gagasan dan pandangan seperti: "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dan demikian juga halnya, engkau semua masih terpenjara oleh standar ideologis dan moral yang berasal dari manusia ini. Mengapa Kukatakan bahwa engkau semua terpenjara oleh hal-hal ini? Karena jalan yang kaupilih untuk kautempuh dalam hidupmu; prinsip dan arah tindakan dan perilakumu; prinsip, metode, dan standar yang kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal; dan sebagainya, semuanya itu masih dipengaruhi, atau bahkan dibelenggu dan dikendalikan oleh standar ideologis dan moral ini, dalam taraf yang berbeda. Sedangkan firman Tuhan dan kebenaran, itu belum menjadi dasar dan standarmu dalam memandang orang dan segala sesuatu, dan bagi perilaku dan tindakanmu. Saat ini, engkau semua baru memilih arah yang benar dalam hidupmu, dan engkau semua memiliki kemauan, cita-cita, dan harapan untuk mulai menempuh jalan mengejar kebenaran. Namun sebenarnya, sebagian besar dari antaramu sama sekali belum menempuh jalan ini—dengan kata lain, engkau semua belum menginjakkan kaki di jalan yang benar yang telah Tuhan persiapkan bagi manusia. Ada orang-orang yang akan berkata: "Jika kami belum menginjakkan kaki di jalan yang benar, lalu mengapa kami tetap mampu melaksanakan tugas kami?" Ini adalah hasil dari pilihan, kerja sama, hati nurani, dan kemauan manusia. Sekarang ini, engkau sedang bekerja sama dengan tuntutan Tuhan dan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki diri, tetapi hanya karena engkau berusaha memperbaiki diri, bukan berarti engkau telah menginjakkan kaki di jalan mengejar kebenaran. Salah satu alasannya adalah karena engkau semua masih dipengaruhi oleh gagasan yang telah ditanamkan budaya tradisional dalam dirimu. Sebagai contoh, engkau semua mungkin memiliki pemahaman yang baik tentang esensi dari pernyataan, "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", setelah mendengar-Ku mempersekutukan dan menyingkapkan pernyataan-pernyataan itu, tetapi beberapa hari kemudian, engkau semua mungkin berubah pikiran. Engkau mungkin berpikir: "Apa yang buruk tentang 'Jangan menyimpan uang yang kautemukan'? Aku memang menyukai orang yang tidak menyimpan uang yang mereka temukan. Setidaknya mereka tidak serakah. Apa yang salah dengan 'Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain'? Setidaknya, ketika kita sedang membutuhkan pertolongan, kita dapat mengandalkan seseorang untuk membantu kita. Ini adalah hal yang baik dan ini adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang! Selain itu, bagaimanapun engkau memandangnya, jika orang menemukan kesenangan dengan membantu orang lain, itu adalah hal yang baik dan positif. Ini adalah tugas yang wajib kita lakukan dan itu seharusnya tidak dikritik!" Lihatlah, hanya beberapa hari setelah terbangun, tidur satu malam sudah cukup untuk mengubahmu; itu akan membawamu kembali ke posisimu yang sebelumnya, dan mengembalikanmu sekali lagi ke dalam penjara budaya tradisional. Dengan kata lain, hal-hal yang bersarang di alam bawah sadarmu ini memengaruhi pemikiran dan pandanganmu dari waktu ke waktu, serta memengaruhi jalan yang kaupilih. Dan mau tidak mau, saat hal-hal ini memengaruhimu, alam bawah sadarmu juga selalu menahanmu, menghentikanmu agar tidak memenuhi keinginanmu untuk menginjakkan kaki di jalan yang benar dalam hidupmu, untuk memulai jalan mengejar kebenaran, dan menempuh jalan dalam hidupmu di mana firman Tuhan adalah dasarmu, dan kebenaran adalah standarmu. Meskipun engkau sangat bersedia menempuh jalan ini, meskipun engkau sangat ingin menempuhnya, dan merasa gelisah karenanya, dan engkau menghabiskan hari-harimu untuk berpikir dan merencanakan, membulatkan tekad, dan mendoakannya, segala sesuatunya tetap tidak akan terjadi seperti yang kauinginkan. Alasannya adalah karena aspek-aspek budaya tradisional ini telah mengakar sedemikian dalam di lubuk hatimu. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Itu tidak benar! Engkau berkata budaya tradisional telah mengakar sedemikian dalam di hati orang, tetapi menurutku itu tidak benar. Aku baru berusia dua puluhan, aku belum berusia tujuh puluhan atau delapan puluhan, jadi bagaimana mungkin hal-hal ini telah mengakar sedemikian dalam di hatiku?" Mengapa Kukatakan gagasan-gagasan ini telah mengakar sedemikian dalam di hatimu? Renungkanlah: bukankah dari sejak kecil engkau selalu bercita-cita untuk menjadi orang yang berbudi luhur, meskipun orang tuamu tidak menanamkan gagasan seperti itu di dalam dirimu? Sebagai contoh, kebanyakan orang suka menonton film dan membaca novel tentang pahlawan, dan mereka sangat bersimpati dengan para korban dalam kisah-kisah ini, sembari membenci para penjahat, dan tokoh-tokoh kejam yang menyakiti orang lain. Ketika engkau bertumbuh dewasa dengan latar belakang seperti ini, engkau secara tidak sadar menerima hal-hal yang telah disepakati bersama oleh masyarakat umum. Jadi, mengapa engkau menerima hal-hal itu? Karena orang tidak dilahirkan dengan memiliki kebenaran dan mereka tidak memiliki kemampuan bawaan untuk mengenali segala sesuatu. Engkau tidak memiliki naluri ini—naluri yang manusia miliki adalah kecenderungan bawaan untuk menyukai hal-hal yang baik, positif, dan aktif. Hal-hal aktif dan positif ini membuatmu ingin menjadi lebih baik, menjadi orang yang baik, heroik, dan hebat. Hal-hal ini secara berangsur mulai terbangun di dalam hatimu ketika engkau bersentuhan dengan pepatah-pepatah yang berasal dari opini publik dan moral sosial. Setelah pernyataan-pernyataan yang berasal dari moralitas budaya tradisional menyusup ke dalam dirimu, dan memasuki dunia batinmu, semua itu menjadi berakar di dalam hatimu, dan mulai menguasai hidupmu. Ketika ini terjadi, engkau tidak mengenali, menentang, atau menolak hal-hal ini, dan sebaliknya engkau merasa sangat membutuhkannya. Tindakan pertamamu adalah menuruti pepatah-pepatah ini. Mengapa demikian? Karena pepatah-pepatah sangat sesuai dengan selera dan gagasan orang, pepatah-pepatah ini sesuai dengan kebutuhan dunia rohani orang. Akibatnya, engkau menerima pernyataan-pernyataan ini sebagai hal yang biasa dan sama sekali tidak bersikap waspada terhadapnya. Secara berangsur, melalui didikan keluargamu, pendidikan sekolah, dan pengondisian dan indoktrinasi masyarakat, disertai dengan imajinasimu sendiri, engkau akhirnya menjadi sangat diyakinkan bahwa pepatah-pepatah ini adalah hal-hal yang positif. Dengan berjalannya waktu, dan seiring bertambahnya usiamu, engkau berusaha mengikuti pepatah-pepatah ini dalam segala macam konteks dan keadaan, dan mengikuti hal-hal yang secara alami disukai dan diyakini manusia sebagai kebaikan ini. Pepatah-pepatah ini semakin terbentuk di dalam dirimu, dan menjadi semakin mengakar di dalam dirimu. Pada saat yang sama, hal-hal ini menguasai pandanganmu tentang kehidupan dan tujuan yang kaukejar, dan pepatah-pepatah ini menjadi standar yang berdasarkannya engkau menilai orang dan hal-hal. Setelah pepatah-pepatah dari budaya tradisional ini terbentuk dalam diri orang, keadaan dasar yang membuat mereka menentang Tuhan dan kebenaran semuanya ada; seolah-olah orang menemukan alasan dan dasar mereka sendiri untuk melakukannya. Jadi, ketika Tuhan menyingkapkan esensi dan watak rusak manusia, serta menghajar dan menghakimi mereka, orang-orang pun menciptakan segala macam gagasan tentang Dia. Mereka berpikir: "Orang sering berkata, 'Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau mengkritik orang lain, jangan mengkritik kekurangan mereka,' dan 'Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan', jadi bagaimana mungkin Tuhan berbicara seperti itu? Apakah itu benar-benar Tuhan? Tuhan tidak akan berbicara dengan cara seperti itu—Dia seharusnya berada di posisi tertinggi, dan berbicara kepada manusia dengan nada bicara yang lembut, nada bicara Buddha yang membebaskan semua manusia dari penderitaan, nada bicara seorang Bodhisatwa. Seperti itulah Tuhan—sosok luar biasa yang lembut dan agung." Serangkaian gagasan, pandangan, dan gagasan ini terus menyembur dari hatimu dalam volume yang terus meningkat, dan, pada akhirnya, engkau tidak tahan lagi dan melakukan sesuatu untuk memberontak dan menentang Tuhan meskipun engkau tidak menginginkannya. Dengan cara seperti inilah, engkau dirusak oleh gagasan dan imajinasimu. Dari hal ini, kita dapat memahami bahwa berapa pun usiamu, asalkan engkau telah menerima didikan dari budaya tradisional, dan memiliki kemampuan mental orang dewasa, hatimu akan dipenuhi oleh aspek moralitas budaya tradisional ini, dan semua itu secara berangsur akan tertanam dalam dirimu. Hal-hal ini telah menguasaimu, dan engkau telah hidup berdasarkan hal-hal ini selama bertahun-tahun. Hidup dan naturmu telah lama dipenuhi oleh aspek-aspek moralitas budaya tradisional ini. Sebagai contoh, sejak usia lima atau enam tahun, engkau belajar memperoleh kesenangan dari membantu orang lain, dan tidak menyimpan uang yang kautemukan. Hal-hal ini memengaruhimu dan sepenuhnya menentukan caramu berperilaku. Kini, setelah berusia paruh baya, engkau telah hidup berdasarkan hal-hal ini selama bertahun-tahun; ini berarti engkau sangat jauh dari standar yang Tuhan tuntut terhadap manusia. Sejak engkau menerima pepatah-pepatah tentang perilaku moral yang dianjurkan budaya tradisional ini, engkau telah menyimpang makin jauh dari tuntutan Tuhan. Kesenjangan antara standar kemanusiaanmu sendiri dan standar kemanusiaan yang Tuhan tuntut makin lama makin besar. Akibatnya, engkau telah menyimpang makin jauh dari Tuhan. Bukankah demikan? Luangkan waktumu untuk merenungkan perkataan ini.

Sekarang, mari kita persekutukan pepatah tentang perilaku moral berikutnya—"Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—apa arti pepatah ini? Itu berarti engkau harus membuat tuntutan yang tegas terhadap dirimu sendiri dan bersikap lunak terhadap orang lain, sehingga mereka dapat melihat betapa dermawan dan murah hatinya dirimu. Lalu mengapa orang mau melakukan hal ini? Apa yang ingin dicapai? Dapatkah orang melakukannya? Apakah ini benar-benar ungkapan alami dari kemanusiaan orang-orang? Engkau harus sangat berkorban untuk dapat melakukan hal ini! Engkau harus membebaskan dirimu dari keinginan dan tuntutan, mengharuskan dirimu merasakan lebih sedikit kegembiraan, menderita lebih banyak, membayar harga lebih mahal, dan bekerja lebih banyak agar orang lain tidak perlu kelelahan. Dan jika orang lain merengek, mengeluh, atau berkinerja buruk, engkau tidak boleh menuntut terlalu banyak dari mereka—rata-rata saja sudah cukup. Orang-orang yakin bahwa ini menandakan moral yang luhur—tetapi mengapa menurut-Ku itu keliru? Bukankah itu memang keliru? (Ya.) Dalam keadaan normal, ungkapan alami dari kemanusiaan orang biasa adalah bersikap toleran terhadap dirinya sendiri dan tegas terhadap orang lain. Itulah yang sebenarnya. Orang dapat memahami masalah orang lain dan berkata—"Orang ini congkak! Orang itu jahat! Orang ini egois! Orang itu ceroboh dan asal-asalan dalam melaksanakan tugasnya! Orang ini sangat malas!"—sedangkan mengenai dirinya sendiri, dia berpikir: "Jika aku sedikit malas, tidak apa-apa. Aku memiliki kualitas yang baik. Meskipun aku malas, aku melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada orang lain!" Mereka suka mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap dirinya sendiri, dia toleran dan menyesuaikan diri sebisa mungkin. Bukankah seperti inilah ungkapan alami dari kemanusiaan mereka? (Ya.) Jika orang diharapkan untuk hidup sesuai dengan gagasan "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", penderitaan apa yang harus mereka alami? Mampukah mereka benar-benar menanggungnya? Berapa banyak orang yang akan berhasil menanggungnya? (Tidak ada.) Dan mengapa tidak ada? (Manusia pada dasarnya egois. Mereka bertindak berdasarkan prinsip bahwa "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri.") Benar, manusia terlahir egois, manusia adalah makhluk yang egois, dan sangat berkomitmen pada falsafah Iblis: "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri". Manusia beranggapan jika mereka tidak bersikap egois dan memikirkan diri mereka sendiri ketika sesuatu menimpa mereka, itu akan menjadi bencana bagi mereka, dan itu tidak wajar. Inilah yang orang yakini dan dengan cara seperti itulah mereka bertindak. Jika orang diharapkan untuk tidak bersikap egois, dan membuat tuntutan yang tegas terhadap diri mereka sendiri, dan rela mengalami kerugian daripada mengambil keuntungan dari orang lain, apakah itu harapan yang realistis? Jika orang diharapkan untuk dengan gembira berkata, ketika seseorang memanfaatkan mereka, "Kau mengambil keuntungan dariku, tetapi aku tidak marah. Aku adalah orang yang toleran, aku tidak akan menjelek-jelekkanmu atau berusaha membalasmu, dan jika kau belum cukup mengambil keuntungan dariku, jangan ragu untuk melanjutkannya"—apakah itu harapan yang realistis? Berapa banyak orang yang mampu melakukan hal ini? Inikah cara manusia yang rusak biasanya berperilaku? Jelas sekali, jika hal seperti ini yang terjadi, itu adalah ketidakwajaran. Mengapa demikian? Karena orang yang wataknya rusak, terutama orang yang egois dan jahat, selalu memperjuangkan kepentingannya sendiri, dan memikirkan orang lain sama sekali tidak akan membuat mereka merasa puas. Jadi, fenomena ini, jika itu memang terjadi, adalah sebuah ketidakwajaran. "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—pernyataan tentang perilaku moral ini jelas hanya merupakan tuntutan yang tidak sesuai dengan fakta ataupun kemanusiaan, yang dituntut oleh para moralis sosial yang tidak memahami kemanusiaan, terhadap manusia. Ini sama seperti menyuruh tikus untuk tidak membuat lubang atau menyuruh kucing untuk tidak menangkap tikus. Apakah benar mengajukan tuntutan seperti itu? (Tidak. Itu menentang hukum kemanusiaan.) Tuntutan ini jelas tidak sesuai dengan kenyataan, dan sangat kosong. Apakah mereka yang mengajukan tuntutan ini mampu mematuhinya? (Tidak.) Mereka mengharapkan orang lain mematuhi tuntutan yang mereka sendiri tak mampu mematuhinya—apa masalahnya di sini? Bukankah ini sedikit tidak bertanggung jawab? Setidaknya, dapat dikatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab dan berbicara omong kosong. Selain itu, apa natur dari masalah ini? (Kemunafikan.) Benar, ini adalah contoh kemunafikan. Mereka sendiri jelas tidak mampu mematuhi tuntutan ini, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa mereka sangat sabar, sangat bermurah hati, dan sangat bermoral—bukankah ini hanya kemunafikan? Bagaimanapun engkau mengemasnya, ini adalah pepatah kosong yang mengandung kepalsuan tertentu di dalamnya, jadi kita akan menggolongkannya sebagai pepatah munafik. Ini sama seperti pepatah yang dianjurkan oleh orang Farisi; ada motif tersembunyi di baliknya, di mana jelas sekali motifnya adalah untuk pamer, menggolongkan dirinya sendiri sebagai orang yang berbudi luhur, dan dipuji oleh orang lain sebagai teladan dan model orang yang berbudi luhur. Jadi, orang seperti apa yang mampu tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain? Apakah para guru dan dokter mampu mematuhi pepatah ini? Apakah yang disebut orang terkenal, tokoh besar, dan orang bijak seperti Konfusius, Mencius, dan Laozi mampu memenuhi pepatah ini? (Tidak.) Singkatnya, betapapun tidak masuk akalnya pepatah yang dikemukakan manusia ini, atau apakah tuntutan ini dapat dipertahankan atau tidak, pada akhirnya itu hanyalah tuntutan dalam hal karakter dan perilaku moral orang. Setidaknya, alasan orang tidak mau mematuhi tuntutan ini dan alasan mengapa tidak mudah bagi mereka untuk menerapkannya, karena semua itu bertentangan dengan standar yang mampu dicapai oleh kemanusiaan orang yang normal. Namun, bagaimanapun juga, itu tetap merupakan standar dan tuntutan dalam hal perilaku moral manusia yang dianjurkan oleh budaya tradisional. Meskipun pepatah "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" adalah ungkapan kosong yang hanya mampu dipenuhi oleh sedikit orang, itu sama seperti pepatah "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"—apa pun motif atau niat yang dimiliki orang yang menerapkannya, atau apakah ada orang yang bahkan mampu menerapkannya—bagaimanapun juga, hanya dengan berdasarkan fakta bahwa orang yang menganjurkan tuntutan ini menempatkan diri mereka di puncak moralitas, bukankah ini membuat mereka congkak dan merasa dirinya benar, dan memiliki nalar yang agak abnormal? Jika engkau bertanya kepada mereka apakah mereka sendiri mampu mematuhi pepatah, "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", mereka akan menjawab, "Tentu saja!" Namun, jika mereka benar-benar dipaksa untuk mematuhinya, mereka tidak akan mampu. Mengapa mereka tidak akan mampu mematuhinya? Karena mereka memiliki watak congkak Iblis dalam diri mereka. Mintalah mereka untuk mematuhi moral ini ketika orang lain sedang bersaing dengan mereka untuk mendapatkan status, kekuasaan, gengsi, dan keuntungan, dan lihatlah apakah mereka mampu mematuhinya. Mereka sama sekali tidak akan mampu mematuhinya, dan mereka bahkan akan memusuhimu. Jika engkau bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau masih menganjurkan pepatah ini padahal engkau sendiri bahkan tak mampu mematuhinya? Mengapa engkau masih menuntut agar orang lain mematuhinya? Bukankah kau sedang bersikap munafik?" akankah mereka menerima perkataanmu ini? Jika engkau menyingkapkan mereka, mereka tidak akan menerimanya—bagaimanapun caramu menyingkapkannya, mereka tidak akan menerimanya atau mengakui kesalahan—ini memperlihatkan bahwa mereka bukan orang yang baik. Fakta bahwa mereka mengajukan tuntutan moral yang tinggi meskipun mereka sendiri tidak mampu mematuhinya hanya memperlihatkan bahwa mereka sudah sepantasnya disebut penipu ulung dan orang munafik.

"Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", dan juga ungkapan tentang "Jangan menyimpan uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", adalah salah satu tuntutan budaya tradisional mengenai perilaku moral manusia. Sebenarnya dalam hal ini, entah seseorang dapat mencapai atau melakukan perilaku moral seperti itu atau tidak, itu tetaplah bukan standar atau norma untuk mengukur kemanusiaan orang itu. Mungkin engkau benar-benar mampu bersikap tegas terhadap dirimu sendiri dan toleran terhadap orang lain, dan engkau menuntut dirimu sendiri dengan standar yang sangat tinggi. Engkau mungkin memiliki moral yang sangat baik dan engkau mungkin selalu memikirkan orang lain dan menunjukkan perhatian kepada mereka, tidak bersikap egois dan mengejar kepentinganmu sendiri. Engkau mungkin tampak sangat murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan moral sosial. Kepribadian dan kualitasmu yang luhur mungkin terlihat oleh orang-orang yang dekat denganmu, dan orang-orang yang kautemui dan yang dengannya engkau berinteraksi. Perilakumu mungkin tidak pernah memberi orang lain alasan untuk menyalahkanmu atau mengkritikmu, malah menimbulkan pujian yang berlebihan dan bahkan kekaguman. Orang-orang mungkin menganggapmu sebagai orang yang benar-benar tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain. Namun, ini adalah perilaku yang hanya tampak di luarnya saja. Apakah pemikiran dan keinginan di lubuk hatimu sama dengan perilaku lahiriah ini, dengan tindakan yang kaulakukan secara lahiriah ini? Jawabannya adalah tidak, tidak sama. Alasan engkau mampu bertindak seperti ini adalah karena ada motif di baliknya. Apa sebenarnya motif itu? Dapatkah engkau berkata bahwa motif itu akan terlihat jelas? Tentu saja tidak. Ini membuktikan bahwa motif ini adalah sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang gelap dan jahat. Jadi, mengapa motif ini tersembunyi dan jahat? Ini karena kemanusiaan orang dikuasai dan didorong oleh watak rusak mereka. Semua pemikiran manusia, entah orang mengungkapkannya dan memperlihatkannya atau tidak, tak dapat disangkali bahwa pemikiran mereka dikuasai, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh watak rusak mereka. Akibatnya, motif dan niat orang semuanya licik dan jahat. Entah orang mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain atau tidak, atau entah mereka secara lahiriah mengekspresikan moral ini dengan sempurna atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa moral ini tidak akan memiliki kendali atau pengaruh atas kemanusiaan mereka. Jadi, apa yang mengendalikan kemanusiaan orang? Yang mengendalikan adalah watak rusak mereka, esensi kemanusiaan mereka yang tersembunyi di balik moral "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—itulah natur mereka yang sebenarnya. Natur sejati seseorang adalah esensi dari kemanusiaannya. Lalu terdiri dari apakah esensi kemanusiaan mereka? Ini terutama terdiri dari kesukaan mereka, apa yang mereka kejar, pandangan mereka tentang kehidupan dan sistem nilai mereka, serta sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan, dan sebagainya. Hanya hal-hal inilah yang benar-benar merepresentasikan esensi kemanusiaan orang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar orang yang menuntut diri mereka sendiri untuk mematuhi moral "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", terobsesi dengan status. Didorong oleh watak rusak mereka, mereka tak mampu menahan diri untuk mengejar gengsi di antara manusia, keunggulan sosial, dan status di mata orang lain. Semua hal ini berkaitan dengan keinginan mereka akan status, dan semua ini dikejar dengan memakai kedok perilaku moral baik mereka. Dan berasal dari manakah pengejaran mereka ini? Semua itu sepenuhnya berasal dari dan didorong oleh watak rusak mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, entah seseorang mematuhi moral untuk "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" atau tidak, dan entah dia mematuhinya dengan sempurna atau tidak, ini sama sekali tak dapat mengubah esensi kemanusiaannya. Dan ini berarti melakukan hal itu sama sekali tidak dapat mengubah pandangan hidup ataupun sistem nilai dirinya, ataupun menuntun sikap dan sudut pandangnya terhadap segala macam orang, peristiwa, dan berbagai hal. Bukankah itu yang terjadi? (Ya.) Semakin seseorang mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain, semakin baik dia dalam berpura-pura, dalam menyamarkan dirinya, dan dalam memperdaya orang lain dengan menggunakan perilaku yang baik dan perkataan yang sedap didengar, dan pada dasarnya dia telah menjadi makin curang dan jahat. Semakin dia menjadi jenis orang seperti ini, kecintaan dan pengejarannya akan status dan kekuasaan menjadi makin mendalam. Sekalipun di luarnya, perilaku moralnya terlihat sangat hebat, mulia, dan benar, dan sekalipun orang menganggapnya menyenangkan untuk dilihat, pengejaran yang tersembunyi di lubuk hatinya, serta natur dan esensi dirinya, dan bahkan ambisinya dapat muncul dari dirinya setiap saat. Oleh karena itu, sebaik apa pun perilaku orang itu, itu tak bisa menyembunyikan esensi hakiki kemanusiaannya, atau ambisi dan keinginannya. Itu tidak bisa menyembunyikan natur dan esensi mengerikan dirinya yang tidak mencintai hal-hal positif dan yang muak serta membenci kebenaran. Seperti yang ditunjukkan oleh fakta-fakta ini, pepatah "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" bukan saja tidak masuk akal—pepatah ini juga menyingkapkan tipe orang ambisius yang berusaha menggunakan pepatah dan perilaku seperti itu untuk menutupi ambisi dan keinginan mereka yang tersembunyi. Engkau semua dapat membandingkan ini dengan beberapa antikristus dan orang jahat di gereja. Agar dapat memperkuat status dan kekuasaan mereka di dalam gereja, dan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik di antara anggota lainnya, mereka mampu menjalani penderitaan dan membayar harga saat melaksanakan tugas mereka, dan mereka bahkan mungkin meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dan menjual semua yang mereka miliki untuk mengorbankan diri mereka bagi Tuhan. Dalam beberapa kasus, harga yang mereka bayar dan penderitaan yang mereka jalani ketika mengorbankan diri mereka untuk Tuhan melampaui apa yang mampu ditanggung oleh orang kebanyakan; mereka mampu mewujudkan semangat penyangkalan diri yang ekstrem agar dapat mempertahankan status mereka. Namun, sebanyak apa pun mereka menderita atau berapa pun harga yang mereka bayar, tak satu pun darinya yang menjaga kesaksian Tuhan atau melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mereka juga tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Tujuan yang mereka kejar hanyalah untuk mendapatkan status, kekuasaan, dan upah dari Tuhan. Semua yang mereka lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Seketat apa pun mereka terhadap diri mereka sendiri dan setoleran apa pun mereka terhadap orang lain, kesudahan akhir seperti apa yang akan mereka peroleh? Apa pendapat Tuhan mengenai diri mereka? Akankah Dia menentukan kesudahan mereka berdasarkan perilaku baik lahiriah yang mereka jalani? Tentu saja tidak. Orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan perilaku dan perwujudan ini, dan karena mereka tak dapat mengenali esensi orang lain yang sebenarnya, mereka akhirnya tertipu oleh orang-orang itu. Sedangkan Tuhan, Dia tidak pernah tertipu oleh manusia. Dia sama sekali tidak akan memuji dan mengingat perilaku moral orang karena mereka mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain. Sebaliknya, Dia akan menghukum mereka karena ambisi mereka dan karena jalan yang telah mereka tempuh dalam mengejar status. Oleh karena itu, mereka yang mengejar kebenaran harus memahami yang sebenarnya tentang standar untuk menilai orang ini. Mereka harus sepenuhnya menolak dan meninggalkan standar yang tidak masuk akal ini, dan memiliki kemampuan mengenali orang berdasarkan firman Tuhan dan prinsip kebenaran. Mereka terutama harus melihat apakah seseorang itu mencintai hal-hal positif atau tidak, apakah dia mampu menerima kebenaran atau tidak, apakah dia mampu tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan atau tidak, dan melihat jalan yang dia pilih dan tempuh, serta menggolongkan orang seperti apa dirinya, dan kemanusiaan seperti apa yang dia miliki berdasarkan firman Tuhan dan prinsip kebenaran. Penyimpangan dan kekeliruan sangat mudah muncul ketika orang menilai orang lain berdasarkan standar "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain". Jika engkau secara keliru mengenali dan memandang seseorang berdasarkan prinsip dan pepatah yang berasal dari manusia, engkau akan melanggar kebenaran dan menentang Tuhan dalam hal itu. Mengapa demikian? Alasannya adalah karena dasar pandanganmu tentang orang akan menjadi salah, dan tidak sesuai dengan firman Tuhan dan kebenaran—bahkan mungkin bertentangan dan berlawanan dengan firman Tuhan dan kebenaran. Tuhan tidak menilai kemanusiaan orang berdasarkan pernyataan tentang perilaku moral, "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", jadi jika engkau tetap bersikeras menilai moralitas orang dan menentukan orang seperti apa diri mereka berdasarkan standar ini, maka engkau telah sepenuhnya melanggar prinsip kebenaran, dan engkau pasti akan melakukan kesalahan, dan menyebabkan beberapa kekeliruan dan penyimpangan. Bukankah demikian? (Ya.) Setelah orang memahami hal-hal ini, mereka setidaknya akan memiliki tingkat pemahaman tertentu tentang dasar, prinsip, dan standar yang Tuhan gunakan untuk memandang orang dan hal-hal—engkau setidaknya akan memiliki pemahaman dan penghargaan tentang bagaimana Tuhan memandang hal-hal ini. Jadi, bagaimana dengan sudut pandangmu? Engkau setidaknya harus tahu apa dasar yang benar untuk memandang seseorang, dan standar apa yang dapat kaugunakan untuk memandang orang yang sesuai dengan kebenaran dan fakta yang sebenarnya, dan yang sama sekali tidak akan mengarah pada kekeliruan atau penyimpangan. Jika engkau benar-benar memahami hal-hal ini dengan jelas, engkau akan mampu memahami yang sebenarnya mengenai aspek-aspek budaya tradisional ini, serta berbagai pernyataan, teori, dan cara pandang manusia terhadap orang lain, dan engkau akan mampu untuk sepenuhnya melepaskan aspek-aspek budaya tradisional ini, dan berbagai pepatah dan pandangan yang berasal dari manusia. Dengan demikian, engkau akan memandang dan mengenali orang berdasarkan prinsip kebenaran, dan, sampai taraf tertentu, engkau akan sesuai dengan Tuhan, dan engkau tidak akan memberontak, menentang, atau berlawanan dengan Dia. Saat engkau secara berangsur mencapai kesesuaian dengan Tuhan, engkau akan memiliki wawasan yang semakin jelas tentang esensi orang dan hal-hal, dan engkau akan menemukan konfirmasi tentang hal ini di dalam firman Tuhan. Engkau akan memahami bahwa berbagai pernyataan Tuhan yang menyingkapkan manusia, dan penggolongan serta anggapan-Nya tentang manusia semuanya benar, dan semuanya adalah kebenaran. Tentu saja, setelah engkau mendapatkan konfirmasi tentang hal ini, engkau akan semakin bertumbuh dalam imanmu dan pengenalanmu akan Tuhan dan firman-Nya, dan engkau akan semakin yakin bahwa firman Tuhan adalah kebenaran dan kenyataan yang seharusnya manusia jalani. Bukankah seperti inilah proses menerima dan memperoleh kebenaran itu? (Ya.) Ini adalah proses menerima dan memperoleh kebenaran.

Tujuan mengejar kebenaran adalah agar orang menerima kebenaran sebagai hidupnya. Ketika orang mampu menerima kebenaran, kemanusiaan dan kehidupan batin mereka secara perlahan mulai berubah, dan pada akhirnya, perubahan ini adalah upah mereka. Dahulu, engkau memandang orang dan hal-hal berdasarkan budaya tradisional, tetapi kini engkau telah menyadari bahwa ini salah, dan engkau tidak akan lagi memandang segala sesuatu dari sudut pandang itu, atau memandang siapa pun berdasarkan apa yang ditentukan oleh budaya tradisional. Jadi, atas dasar apa engkau sekarang memandang orang dan hal-hal? Jika engkau tidak tahu, itu membuktikan bahwa engkau masih belum menerima kebenaran. Jika engkau telah mengetahui prinsip-prinsip kebenaran mana yang seharusnya kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal, jika engkau mampu secara akurat dan jelas menyatakan dasar, jalan, standar, dan prinsipmu, dan jika engkau juga mampu mengenali dan memperlakukan orang berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran ini, itu berarti kebenaran telah mulai bekerja di dalam dirimu, itu membimbing pemikiranmu dan menguasai sudut pandang yang kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal. Ini membuktikan bahwa kebenaran telah mengakar di dalam dirimu dan menjadi hidupmu. Jadi, bagaimana pengaruh kebenaran terhadap dirimu pada akhirnya akan membantumu? Bukankah kebenaran akan memengaruhi caramu berperilaku, jalan yang kaupilih, dan arah dalam hidupmu? (Ya.) Jika kebenaran mampu memengaruhi caramu berperilaku dan jalan yang kautempuh, bukankah itu akan memengaruhi hubunganmu dengan Tuhan? (Ya.) Apa hasil yang akan kauperoleh jika kebenaranlah yang memengaruhi hubunganmu dengan Tuhan? Apakah engkau akan menjadi makin dekat ataukah makin jauh dari Tuhan? (Aku akan menjadi makin dekat dengan Tuhan.) Engkau pasti akan menjadi makin dekat dengan Dia. Jika engkau makin dekat dengan Tuhan, akankah engkau makin rela mengikuti Dia dan bersujud di hadapan-Nya, atau akankah engkau dengan enggan percaya akan keberadaan-Nya sembari dihambat oleh keraguan dan kesalahpahaman? (Aku akan rela mengikuti Tuhan dan bersujud di hadapan-Nya.) Itu pasti. Jadi, bagaimana engkau akan mencapai kerelaan ini? Engkau akan menemukan konfirmasi dari firman Tuhan dalam kehidupan nyatamu; kebenaran akan mulai bekerja di dalam dirimu, dan engkau akan menemukan konfirmasinya. Dalam proses menyingkapkan segala sesuatu, sumber tersembunyi dari semua hal ini akan dikonfirmasi di dalam dirimu dan engkau akan mendapati bahwa itu sepenuhnya sesuai dengan firman Tuhan. Engkau akan membuktikan bahwa semua firman Tuhan adalah kebenaran, dan ini akan meningkatkan imanmu kepada Tuhan. Semakin engkau beriman kepada Tuhan, semakin normal hubunganmu dengan-Nya, engkau akan makin bersedia untuk bertindak sebagai makhluk ciptaan, dan rela menjadikan Tuhan sebagai Penguasamu, dan bagian dari dirimu yang tunduk kepada Tuhan akan bertambah. Apa pendapatmu tentang peningkatan dalam hubunganmu ini? Bagus, bukan? Ini adalah hasil dari perkembangan yang baik dan positif. Lalu, seperti apa akibatnya jika arah perkembanganmu buruk dan negatif? (Imanku akan keberadaan Tuhan akan menjadi semakin lemah, dan aku akan memiliki kesalahpahaman dan keraguan tentang Tuhan.) Setidaknya, inilah yang akan menjadi konsekuensinya. Engkau tidak akan menerima konfirmasi dalam hal apa pun, dan engkau bukan saja akan gagal memperoleh kebenaran dalam imanmu, engkau juga akan membentuk segala macam gagasan—engkau akan salah paham, penuh keluhan terhadap Tuhan, dan bersikap waspada terhadap-Nya, dan pada akhirnya engkau akan menolak Dia. Jika engkau menolak Tuhan di dalam hatimu, akankah engkau masih mampu mengikuti-Nya? (Tidak.) Engkau tidak akan mau lagi mengikuti Dia. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Engkau akan kehilangan minat pada apa yang Tuhan lakukan dan firmankan. Ketika Tuhan berfirman, "Kesudahan manusia sudah dekat," engkau akan menjawab, "Aku tidak melihat apa pun!" Engkau tidak akan percaya kepada-Nya. Ketika Tuhan berfirman, "Engkau akan memperoleh tempat tujuan yang baik setelah mengejar kebenaran," engkau akan menjawab, "Di manakah tempat tujuan baik yang Engkau bicarakan ini? Aku tidak melihatnya!" Engkau tidak akan tertarik. Ketika Tuhan berfirman, "Engkau harus bertindak seperti makhluk ciptaan sejati," engkau akan menjawab, "Apakah ada manfaatnya bertindak seperti makhluk ciptaan sejati? Berapa banyak berkat yang dapat kuperoleh darinya? Dapatkah aku benar-benar memperoleh berkat jika kulakukan hal itu? Apakah ini ada kaitannya dengan mendapatkan berkat?" Ketika Tuhan berfirman, "Engkau harus menerima dan tunduk pada kedaulatan Tuhan!" engkau akan menjawab, "Kedaulatan apa? Mengapa aku tidak dapat merasakan kedaulatan Tuhan? Jika Tuhan benar-benar berdaulat, mengapa Dia membiarkanku hidup dalam kemiskinan? Mengapa Dia membiarkanku jatuh sakit? Jika Tuhan berdaulat, mengapa segala sesuatu selalu begitu sulit bagiku?" Hatimu akan penuh dengan keluhan, dan engkau tidak akan memercayai apa pun yang Tuhan firmankan. Ini akan menunjukkan bahwa engkau tidak memiliki iman yang sejati kepada Tuhan. Dan itulah sebabnya, saat menghadapi berbagai masalah, yang akan engkau semua lakukan hanyalah mengeluh, tanpa ketaatan sedikit pun. Dengan cara seperti itulah engkau akan sampai pada hasil yang negatif ini. Ada orang-orang yang berkata, "Karena Tuhan berdaulat, Dia seharusnya membantuku untuk segera sembuh dari penyakitku. Dia seharusnya membantuku untuk memperoleh semua yang kuinginkan. Mengapa hidupku sekarang dipenuhi dengan ketidaknyamanan dan penderitaan?" Mereka telah kehilangan iman mereka kepada Tuhan, bahkan iman samar yang sebelumnya mereka miliki pun sudah tak tersisa sedikit pun—itu sudah sepenuhnya lenyap. Inilah akibat negatif dan buruk dari semua ini. Apakah engkau semua ingin sampai ke titik ini? (Tidak.) Bagaimana engkau dapat menghindarkan dirimu agar tidak sampai ke titik ini? Engkau harus berusaha keras untuk mengejar kebenaran—kunci dan jalan untuk semua ini terletak dalam kebenaran dan firman Tuhan. Jika engkau berusaha keras mengejar firman Tuhan dan kebenaran, tanpa kausadari, engkau akan mulai melihat jalan yang telah Tuhan ajarkan kepadamu dan melihat bimbingan-Nya dengan lebih jelas, dan engkau akan melihat esensi dari orang, peristiwa, dan hal-hal yang Tuhan atur. Melalui setiap langkah dari pengalaman ini, engkau akan secara berangsur menemukan prinsip dan dasar untuk memandang orang dan hal-hal, dan untuk berperilaku dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan. Dengan menerima dan memahami kebenaran, engkau akan menemukan prinsip dan jalan penerapan untuk kaugunakan ketika menghadapi orang, peristiwa, dan berbagai hal. Jika engkau menerapkan berdasarkan jalan-jalan ini, firman Tuhan akan masuk ke dalam dirimu dan menjadi hidupmu, dan tanpa kausadari, engkau akan mulai hidup di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Ketika engkau hidup di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan, tanpa kausadari, engkau akan memahami bagaimana cara memandang orang dan hal-hal berdasarkan firman Tuhan, dan engkau akan memandang segala sesuatu dari sikap, perspektif, dan sudut pandang yang benar; hasil dari pandanganmu tentang segala sesuatu akan sesuai dengan firman Tuhan dan kebenaran, dan itu akan membuatmu semakin dekat dengan Tuhan dan semakin haus akan kebenaran. Namun, jika engkau tidak mengejar kebenaran, ataupun berusaha keras untuk memahami kebenaran, dan jika engkau tidak tertarik akan kebenaran, maka akan sulit mengatakan apa akibat yang pada akhirnya akan kautanggung. Pada akhirnya, hasil terburuk yang mungkin terjadi adalah, orang tak mampu melihat perbuatan Tuhan ataupun merasakan kedaulatan-Nya bagaimanapun mereka berusaha untuk percaya kepada-Nya; hasil terburuk adalah, mereka tak mampu memahami kemahakuasaan dan hikmat Tuhan sebanyak apa pun hal-hal yang mereka alami. Dalam kasus seperti itu, orang hanya akan mengakui bahwa firman yang Tuhan ungkapkan adalah kebenaran, tetapi mereka tidak akan melihat adanya harapan untuk diri mereka diselamatkan, dan terlebih lagi, mereka tidak akan memahami bahwa watak Tuhan itu benar dan kudus, dan mereka akan selalu merasa bahwa iman mereka kepada Tuhan masih samar. Ini membuktikan bahwa mereka tidak memperoleh kebenaran ataupun keselamatan Tuhan, dan bahwa mereka tidak memperoleh apa pun setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun. Ini mengakhiri persekutuan-Ku tentang pepatah ketiga: "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain".

Apa pernyataan keempat tentang perilaku moral? (Balaslah kebencian dengan kebaikan.) Apakah orang memiliki niat tertentu ketika mereka membalas kebencian dengan kebaikan? Bukankah mereka sedang mengambil langkah mundur untuk membuat segala sesuatunya lebih mudah bagi diri mereka sendiri? Bukankah ini cara yang damai untuk menangani segala sesuatu? Orang tidak ingin terjebak dalam siklus balas dendam yang tidak pernah berakhir, mereka ingin memuluskan semuanya agar mereka dapat hidup lebih damai. Masa hidup seseorang tidak terlalu lama, dan entah dia hidup sampai seratus tahun atau beberapa ratus tahun, dia merasa hidupnya singkat. Sepanjang hari, dia menyibukkan diri dengan pemikiran ingin membalas dendam dan membunuh, batinnya dipenuhi kekacauan, dan dia menjalani kehidupan yang tidak bahagia. Jadi, dia berusaha mencari cara untuk menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan menyenangkan, dan membuat dirinya menjadi nyaman—yaitu membalas kebencian dengan kebaikan. Orang mau tak mau akan menyinggung satu sama lain dan menjadi korban dari rencana jahat satu sama lain selama hidup mereka, mereka selalu diganggu oleh emosi yang penuh dendam dan kepahitan, dan mereka menjalani kehidupan yang sangat buruk, jadi, demi iklim sosial dan stabilitas sosial dan kesatuan, dengan itu sebagai motivasi mereka, kaum moralis menganjurkan standar moral ini kepada dunia. Mereka memperingatkan orang agar tidak membalas kebencian dengan kebencian, dan menjauhkan diri dari kebencian dan pembunuhan, sebaliknya menganjurkan orang untuk belajar membalas kebencian dengan kebaikan. Mereka berkata bahwa meskipun seseorang menyakiti kita di masa lalu, kita tidak boleh membalas dendam kepadanya, melainkan kita harus membantunya, melupakan kesalahan masa lalunya, berinteraksi dengannya secara normal, dan secara perlahan mengubah dirinya, meredakan permusuhan di antara kita dan dirinya, dan mencapai hubungan yang harmonis. Bukankah ini akan mengarah pada keharmonisan dalam masyarakat secara keseluruhan? Mereka berkata siapa pun yang telah menyinggung kita, entah itu anggota keluarga, teman, tetangga, atau rekan kerja, kita harus membalas kebenciannya dengan kebaikan, dan menjauhkan diri dari menyimpan dendam. Mereka berkata bahwa jika semua orang mampu melakukan ini, itu akan menjadi sama seperti yang orang katakan: "Jika semua orang memberikan sedikit kasih, dunia akan menjadi tempat yang indah." Bukankah pernyataan ini didasarkan pada imajinasi? Tempat yang indah? Tidak mungkin! Lihatlah siapa yang mengendalikan dunia ini dan siapa yang merusak umat manusia. Perubahan apa yang benar-benar dapat dicapai oleh pernyataan tentang perilaku moral, "Balaslah kebencian dengan kebaikan"? Pernyataan itu tidak dapat mengubah apa pun. Seperti yang lainnya, pernyataan ini membebankan tuntutan tertentu pada kualitas moral orang, atau memberlakukan peraturan tertentu kepada mereka. Itu mengharuskan mereka agar menahan diri untuk tidak menggunakan kebencian dan pembunuhan ketika menghadapi kebencian dan pembunuhan dari orang lain, dan bahwa mereka memperlakukan orang yang menyakiti mereka dengan tenang, dengan sikap yang sabar, dan menggunakan perilaku moral mereka untuk meredakan permusuhan dan pembunuhan itu, dan untuk mengurangi pertumpahan darah. Tentu saja, pepatah tentang perilaku moral ini efektif terhadap orang sampai taraf tertentu; pepatah itu bisa memadamkan permusuhan dan dendam, dan mengurangi pembunuhan karena balas dendam, sampai taraf tertentu; dan itu dapat memiliki tingkat pengaruh positif tertentu pada iklim sosial, ketertiban umum, dan keharmonisan sosial, tetapi prasyarat apakah yang harus ada agar pepatah ini memiliki pengaruh itu? Ada prasyarat-prasyarat yang signifikan dalam hal lingkungan sosial. Prasyarat pertama adalah nalar normal dan penilaian yang orang miliki. Orang-orang berpikir: "Apakah orang yang kepadanya aku ingin membalas dendam ini lebih kuat ataukah lebih lemah daripada diriku? Jika aku membalas dendam kepadanya, akankah aku mampu mencapai tujuanku? Jika aku membalas dendam dan membunuhnya, akankah aku menandatangani surat kematianku sendiri?" Mereka pertama-tama mempertimbangkan konsekuensinya. Setelah memikirkan semuanya, kebanyakan orang menyadari: "Dia punya banyak koneksi, dia punya banyak pengaruh sosial, dan dia jahat dan kejam, jadi meskipun dia telah menyakitiku, aku tak boleh membalas dendam kepadanya. Aku harus secara diam-diam menelan penghinaan itu. Namun, jika suatu hari aku mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepadanya dalam hidup ini, aku akan mengambil kesempatan itu." Sebagaimana pepatah populer berbunyi, "Orang yang tidak membalas dendam bukanlah laki-laki" dan "Tidak pernah terlambat bagi pria bermartabat untuk membalas dendam". Orang-orang masih memiliki falsafah hidup semacam ini. Falsafah hidup membalas kebencian dengan kebaikan dianut oleh orang, di satu sisi, karena itu berkaitan langsung dengan lingkungan sosial dan dengan dalamnya kerusakan manusia. Di sisi lain, falsafah hidup itu muncul karena gagasan orang dan penilaian dari nalar mereka. Ketika kebanyakan orang menghadapi situasi semacam ini, mereka hanya bisa menelan penghinaan itu dalam hati, dan di luarnya memperlihatkan sikap membalas kebencian dengan kebaikan, mengesampingkan kebencian dan dendam mereka. Alasan lain mengapa orang berpaut pada falsafah hidup ini adalah, dalam beberapa kasus, ada ketidakseimbangan kekuasaan yang besar di antara kedua pihak yang terlibat, sehingga pihak yang diperlakukan tidak adil tidak berani membalas dendam, dan dia terpaksa membalas kebencian dengan kebaikan karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Jika dia membalas dendam, dia mungkin membahayakan nyawa seluruh keluarganya, dan akibat dari hal itu tak terbayangkan. Dalam kasus seperti itu, orang merasa lebih baik hanya melanjutkan hidup dengan menelan penghinaan itu. Namun, dengan melakukannya, apakah dia sudah mengatasi kebenciannya? Adakah orang yang mampu melupakan dendam? (Tidak.) Khususnya dalam kasus dendam yang sangat serius, misalnya ketika seseorang telah membunuh kerabat dekatmu dan menghancurkan keluargamu, serta mempermalukan dirimu, membuatmu menyimpan kebencian yang mendalam terhadapnya—tak seorang pun mampu melepaskan dendam seperti itu. Ini adalah bagian dari kemanusiaan dan ini adalah sesuatu yang tidak mampu manusia atasi. Orang secara naluriah menyimpan perasaan benci dalam keadaan semacam itu—ini sangatlah normal. Entah perasaan benci itu muncul karena kemarahan, naluri, atau hati nurani, bagaimanapun juga, itu adalah respons yang normal. Bahkan anjing pun makin akrab dengan orang yang memperlakukannya dengan baik dan secara teratur memberi makan atau menolongnya, dan dia mulai memercayainya, sementara membenci orang yang menyiksa dan menganiaya dirinya—dan bukan itu saja, dia bahkan akan membenci orang yang memiliki aroma tubuh atau yang suaranya terdengar seperti penyiksanya. Jadi, bahkan anjing pun memiliki naluri ini, apalagi manusia! Mengingat bahwa manusia memiliki pikiran yang jauh lebih kompleks daripada binatang, adalah sangat normal bagi mereka untuk merasakan kebencian ketika dihadapkan dengan pembunuhan atas dasar balas dendam atau perlakuan tidak adil. Namun, karena beberapa alasan dan karena keadaan tertentu, orang sering kali terpaksa berkompromi dan menelan penghinaan, serta menoleransi segala sesuatu untuk sementara—tetapi ini bukan berarti mereka ingin atau mampu membalas kebencian dengan kebaikan. Yang baru saja Kukatakan didasarkan pada sudut pandang kemanusiaan dan reaksi naluri manusia. Jika kita memandang hal ini sekarang dari sudut pandang fakta objektif tentang masyarakat—jika seseorang tidak membalas kebencian dengan kebaikan, dan malah membalas dendam dan melakukan pembunuhan, apakah akibatnya? Mereka akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum, mereka mungkin ditahan, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan mungkin dijatuhi hukuman mati. Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa, entah itu dari sudut pandang kemanusiaan atau kekuasaan masyarakat dan hukum yang membatasi, ketika orang dihadapkan dengan perlakuan tidak adil dan pembunuhan atas dasar balas dendam, tak seorang pun mampu menyingkirkan kebencian dari pikiran atau dari lubuk hati mereka. Bahkan ketika mengalami pelecehan ringan seperti dimaki, diejek, atau diolok-olok, orang tetap tidak mampu membalas kebencian dengan kebaikan. Apakah kemampuan untuk membalas kebencian dengan kebaikan merupakan perwujudan normal dari kemanusiaan? (Tidak.) Jadi, ketika seseorang ditindas atau disakiti, apa yang setidaknya dibutuhkan dan dituntut oleh kemanusiaan mereka? Akankah ada orang yang dengan senang dan gembira berkata: "Silakan tindas aku! Kau berkuasa dan jahat, kau bisa menindasku sesukamu, dan aku akan membalas kebencianmu dengan kebaikan. Kau akan sangat merasakan karakter dan moralitasku yang luhur, dan aku pasti tidak akan membalas dendam kepadamu atau menyimpan opini apa pun tentang dirimu. Aku tidak akan marah kepadamu—aku akan menganggap semuanya sebagai lelucon. Sebanyak apa pun hal-hal yang kaukatakan menghina karakterku, melukai harga diriku, atau merugikan kepentinganku, itu tidak masalah dan kau seharusnya merasa bebas untuk mengatakan apa pun yang kausuka." Adakah orang-orang semacam itu? (Tidak ada.) Sama sekali tak seorang pun benar-benar mampu melepaskan dendam mereka—mereka sudah dianggap baik jika mereka mampu bersikap sabar untuk sementara waktu tanpa membunuh musuh mereka sebagai balas dendam. Jadi, tak seorang pun benar-benar mampu membalas kebencian dengan kebaikan, dan meskipun orang menerapkan perilaku moral ini, itu karena mereka terpaksa bertindak dengan cara seperti itu karena batasan keadaan tertentu pada waktu itu, atau karena semua contoh itu sebenarnya dibuat-buat dan merupakan khayalan. Dalam keadaan normal, ketika orang menjadi korban penganiayaan atau pelecehan yang serius, mereka akan menyimpan dendam dan menjadi pendendam. Satu-satunya keadaan di mana seseorang mungkin tidak menyadari atau meresponi kebenciannya sendiri adalah jika kebencian itu terlalu besar, dan dia mengalami guncangan yang sangat besar, sehingga akhirnya dia kehilangan ingatan atau akal sehatnya. Namun, siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang normal dan nalar tidak mau diperlakukan dengan penghinaan, diskriminasi, cacian, cemoohan, makian, olok-olok, kejahatan, dan sebagainya, atau diperlakukan oleh seseorang yang bertindak terlalu jauh sampai menginjak-injak dan menghina karakter dan martabat mereka; tak seorang pun akan dengan senang hati membalas orang-orang yang pernah menyinggung atau menyakiti mereka dengan perilaku moral—tak seorang pun mampu melakukan hal itu. Jadi, pernyataan tentang perilaku moral membalas kebencian dengan kebaikan ini tampak sangat lemah, tak berdaya, kosong dan tidak bermakna bagi manusia yang rusak.

Jika kita melihat halini dari sudut pandang hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal, betapapun rusaknya seseorang, dan entah dia adalah orang yang jahat atau orang yang memiliki kemanusiaan yang relatif baik, dia berharap orang lain akan memperlakukannya dengan baik dan dengan rasa hormat pada tingkat mendasar. Jika seseorang mulai menyanjung dan menjilatmu tanpa alasan, akankah itu membuatmu senang? Apakah engkau suka diperlakukan seperti itu? (Tidak.) Mengapa engkau tidak menyukainya? Akankah engkau merasa seolah-olah engkau sedang dikelabui? Engkau pasti berpikir: "Apakah aku terlihat seperti anak berusia tiga tahun bagimu? Mengapa aku tidak memahami mengapa kau merasa perlu untuk mengatakan hal-hal ini kepadaku? Apakah aku sebaik seperti yang kaukatakan? Apakah aku telah melakukan salah satu dari hal-hal itu? Untuk apa semua sanjungan bodoh ini? Mengapa kau tidak muak akan dirimu sendiri?" Orang tidak suka mendengar kata-kata sanjungan, dan mereka menganggapnya sebagai semacam penghinaan. Selain memberikan setidaknya rasa hormat itu, bagaimana lagi orang berharap orang lain akan memperlakukan mereka? (Dengan ketulusan.) Meminta orang untuk memperlakukan orang lain dengan ketulusan adalah tidak mungkin—jika mereka menahan diri dari menindas orang lain, itu sudah cukup baik. Meminta orang untuk tidak saling menindas adalah tuntutan yang agak objektif. Orang berharap orang lain akan menghormati mereka, bukan menindas mereka dan, yang terpenting, memperlakukan mereka dengan adil. Mereka berharap orang lain tidak akan melecehkan mereka ketika mereka sedang lemah, atau mengucilkan mereka ketika kesalahan mereka tersingkap, ataupun selalu menyanjung dan menjilat mereka. Orang menganggap perilaku-perilaku semacam ini menjijikkan dan hanya ingin diperlakukan dengan adil—bukankah demikian? Memperlakukan orang lain dengan adil adalah keinginan yang relatif positif dalam dunia manusia dan dalam alam pemikiran manusia. Mengapa Kukatakan itu? Renungkanlah: mengapa semua orang menyukai Hakim Bao Zheng? Orang-orang suka menonton film Hakim Bao Zheng ketika dia menangani kasus-kasus meskipun kasus-kasus ini fiksi dan sama sekali direkayasa. Mengapa orang tetap menikmati film-filmnya Mengapa mereka tetap mau menontonnya? Karena, dalam dunia ideal mereka, dalam alam pemikiran mereka, dan di lubuk hati mereka, mereka semua menginginkan dunia yang positif dan sedikit lebih baik. Mereka berharap agar manusia dapat hidup dalam lingkungan sosial yang relatif adil, dalam dunia di mana semua orang dijamin memperoleh hal ini. Dengan demikian, setidaknya, jika engkau diganggu oleh kekuatan jahat, selalu ada tempat di mana keadilan ditegakkan, di mana engkau dapat mengajukan pengaduan tentang keluhanmu, di mana engkau memiliki hak untuk mengadu, dan di mana pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan atas ketidakadilan yang telah kaualami. Dalam masyarakat ini dan di antara manusia, akan ada tempat di mana engkau dapat membersihkan namamu, dan melindungi dirimu agar tidak pernah mengalami penghinaan atau memiliki keluhan apa pun. Bukankah ini adalah masyarakat ideal manusia? Bukankah ini yang semua orang dambakan? (Ya.) Ini adalah impian semua orang. Orang berharap mereka akan diperlakukan dengan adil—mereka tidak ingin menjadi subjek perlakuan tidak adil apa pun, atau tidak memiliki tempat untuk mengadu jika mereka diperlakukan tidak adil, dan mereka mendapati hal itu sangat menyedihkan. Dapat dikatakan bahwa standar dan tuntutan dalam hal perilaku moral manusia dari "Balaslah kebencian dengan kebaikan", jauh dari kenyataan kerusakan manusia dalam kehidupan nyata. Jadi, tuntutan dalam hal perilaku moral manusia ini sangat tidak sesuai dengan keinginan manusia, dan jauh dari fakta objektif dan dari kehidupan nyata. Ini adalah pernyataan yang diajukan oleh kaum idealis yang tidak memiliki pemahaman tentang batin orang-orang yang dalam kesusahan yang telah diperlakukan tidak adil dan dipermalukan—kaum idealis ini tidak mengetahui sampai sejauh mana orang-orang ini telah diperlakukan tidak adil, dan martabat serta karakter mereka dihina, atau bahkan tidak mengetahui seberapa besar ancaman yang mereka terima terhadap keselamatan pribadi mereka. Kaum idealis ini tidak memahami kenyataan itu, tetapi mereka tetap menuntut agar para korban ini berdamai dengan para penyerangnya dan menahan diri untuk tidak membalas dendam kepada mereka, dengan mengatakan hal-hal seperti: "Kau dilahirkan untuk diperlakukan tidak adil dan kau harus menerima nasibmu. Kau dilahirkan dalam kelas masyarakat terendah dan kau sebenarnya adalah budak. Kau dilahirkan untuk diperintah oleh orang lain—kau tidak boleh membalas dendam terhadap orang yang menyakitimu, dan sebaliknya, kau harus membalas kebencian dengan kebaikan. Kau harus melakukan bagianmu demi iklim sosial dan keharmonisan masyarakat, dan berkontribusi kepada masyarakat dengan memperlihatkan energi positifmu dan perilaku moral terbaikmu." Semua ini dengan jelas dikatakan agar dapat membenarkan eksploitasi terhadap masyarakat kelas bawah oleh masyarakat kelas atas dan kelas penguasa, untuk memberi mereka kenyamanan ini, dan untuk menenangkan hati dan emosi masyarakat kelas bawah ini mewakili mereka. Bukankah ini tujuan dari mengatakan hal-hal semacam itu? (Ya.) Jika sistem hukum dan sosial semua negara, dan sistem serta peraturan dari semua ras dan suku ditegakkan secara adil dan tegas, masih perlukah menganjurkan pernyataan tidak objektif yang bertentangan dengan hukum kemanusiaan ini? Tentu saja tidak perlu. Pepatah "Balaslah kebencian dengan kebaikan" jelas baru saja dianjurkan sebagai jalan dan kenyamanan bagi kelas penguasa dan orang-orang jahat yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mengeksploitasi dan menginjak-injak masyarakat kelas bawah. Dan demikian juga halnya, agar dapat menenangkan masyarakat kelas bawah dan mencegah mereka agar tidak membalas dendam atau memusuhi orang kaya, elit, dan kelas penguasa, orang-orang yang disebut para pemikir dan pendidik ini memosisikan diri mereka di puncak keunggulan moral, menganjurkan pepatah ini dengan berpura-pura mengharuskan agar semua orang menerapkan perilaku moral yang baik. Bukankah ini malah menciptakan lebih banyak kontradiksi dalam masyarakat? Semakin engkau menindas orang, semakin masyarakat terbukti tidak adil. Jika masyarakat benar-benar adil, akan masih perlukah menilai dan membebankan tuntutan dalam hal perilaku moral orang dengan menggunakan pepatah ini? Ini jelas disebabkan oleh fakta bahwa tidak ada keadilan dalam masyarakat atau di antara manusia. Jika para pelaku kejahatan dapat dihukum oleh hukum, atau jika mereka yang memiliki uang dan kekuasaan juga harus bertanggung jawab kepada hukum, maka pepatah, "Balaslah kebencian dengan kebaikan", pasti tidak sah dan tidak akan ada. Berapa banyak rakyat jelata yang akan mampu merugikan seorang pejabat? Berapa banyak orang miskin yang akan mampu merugikan orang kaya? Akan sulit bagi mereka untuk mencapainya. Jadi, pepatah "Balaslah kebencian dengan kebaikan" jelas ditujukan kepada rakyat jelata, orang miskin, dan masyarakat kelas bawah—itu adalah pepatah yang tidak bermoral dan tidak adil. Sebagai contoh, jika engkau menuntut agar seorang pejabat pemerintah membalas kebencian dengan kebaikan, dia akan berkata kepadamu: "Kebencian apa yang harus kubalas? Siapa yang berani main-main denganku? Siapa yang berani menyinggungku? Siapa yang berani mengatakan 'tidak' kepadaku? Akan kubunuh siapa pun yang menolak permintaanku—akan kumusnahkan seluruh keluarga mereka dan semua kerabat mereka!" Oleh karena itu, tidak ada kebencian yang harus dibalas oleh pejabat, jadi pepatah, "Balaslah kebencian dengan kebaikan", bahkan tidak ada bagi mereka. Jika engkau berkata kepada mereka: "Kau harus menerapkan perilaku moral membalas kebencian dengan kebaikan ini, kau harus memiliki perilaku moral ini," mereka akan menjawab: "Tentu, aku bisa melakukannya." Ini adalah kebohongan yang penuh penipuan. Bagaimanapun juga, "Balaslah kebencian dengan kebaikan" pada dasarnya hanyalah pepatah yang dianjurkan oleh kaum moralis sosial sebagai cara untuk meredakan kemarahan masyarakat kelas bawah, dan bahkan lebih dari itu, ini adalah pepatah yang dianjurkan agar dapat memperbudak masyarakat kelas bawah. Pepatah ini dianjurkan untuk lebih memantapkan otoritas kelas penguasa, untuk mendapatkan dukungan kelas penguasa, dan untuk mengabadikan perbudakan masyarakat kelas bawah, sehingga mereka tidak akan mengeluh meskipun mereka diperbudak selama generasi ke generasi. Dari sudut pandang ini, kita dapat memahami bahwa dalam masyarakat semacam ini, hukum dan sistem jelas tidak adil; masyarakat semacam ini tidak dikendalikan oleh kebenaran, dan tidak diperintah oleh kebenaran atau keadilan. Sebaliknya, itu dikendalikan oleh kejahatan dan kekuasaan manusia, siapa pun yang menjabat sebagai pejabat. Jika rakyat jelata menjadi pejabat, situasinya pasti sama saja. Inilah esensi dari sistem sosial ini. "Balaslah kebencian dengan kebaikan" menyingkapkan fakta ini. Kalimat ini jelas memiliki kualitas politik tertentu di dalamnya—ini adalah tuntutan dalam hal perilaku moral manusia untuk memperkuat kekuasaan kelas penguasa dan perbudakan terhadap masyarakat kelas bawah.

Tuntutan agar manusia membalas kebencian dengan kebaikan bukan saja tidak sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan normal manusia, ataupun karakter dan martabat manusia, tentu saja terlebih lagi, itu bukanlah standar yang tepat untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang. Tuntutan ini sangat jauh dari kemanusiaan yang sebenarnya; bukan saja karena tuntutan ini tidak dapat dicapai, tetapi tuntutan ini juga seharusnya tidak pernah dianjurkan sejak awal. Tuntutan ini hanyalah sebuah pepatah dan strategi yang digunakan oleh kelas penguasa untuk memperkuat kekuasaan dan kendali mereka terhadap orang banyak. Tentu saja, Tuhan tidak pernah menganjurkan pepatah semacam ini, baik pada Zaman Hukum Taurat, Zaman Kasih Karunia, atau Zaman Kerajaan saat ini, dan Tuhan tidak pernah menggunakan cara, pepatah, atau tuntutan semacam ini sebagai dasar untuk menilai kualitas kemanusiaan manusia. Ini karena, entah seseorang bermoral atau tidak bermoral, dan sebaik atau seburuk apa pun perilaku moralnya, Tuhan hanya mempertimbangkan esensinya—di mata Tuhan, pepatah-pepatah tentang perilaku moral ini tidak ada. Jadi, pepatah tentang perilaku moral, "Balaslah kebencian dengan kebaikan", tidak berlaku di rumah Tuhan, dan tidak layak untuk dianalisis. Entah engkau membalas kebencian dengan kebaikan, atau membalas kebencian dengan balas dendam, bagaimana seharusnya orang yang percaya kepada Tuhan memandang masalah "membalas kebencian"? Dengan sikap apa dan dari sudut pandang apa mereka harus memandang dan memperlakukan masalah ini? Jika seseorang melakukan kejahatan di dalam gereja, rumah Tuhan memiliki ketetapan dan prinsip administratifnya sendiri untuk menangani orang itu—tidak perlu bagi siapa pun untuk membalas dendam bagi korban atau membela mereka dari ketidakadilan. Tidak perlu ada hal itu di rumah Tuhan, dan gereja tentu saja akan menangani masalah tersebut berdasarkan prinsip. Ini adalah fakta yang dapat dilihat dan dihadapi oleh orang. Secara sangat jelas dan tepatnya: gereja memiliki prinsip-prinsip untuk menangani orang dan rumah Tuhan memiliki ketetapan administratif. Lalu bagaimana dengan Tuhan? Sehubungan dengan Tuhan, siapa pun yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai dengan itu, dan Tuhan akan menentukan kapan dan bagaimana mereka dihukum. Prinsip hukuman Tuhan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari watak dan esensi-Nya. Tuhan memiliki watak yang adil dan tak boleh disinggung, Dia memiliki kemegahan dan murka, dan semua orang yang melakukan kejahatan akan dihukum oleh-Nya sesuai kejahatan mereka. Ini jauh lebih besar daripada hukum manusia, ini melampaui manusia dan semua hukum dunia. Itu bukan saja adil, masuk akal, dan sesuai dengan keinginan manusia, itu juga tidak membutuhkan pujian dan pengesahan semua orang. Itu tidak mengharuskanmu untuk menilai masalah dari puncak keunggulan moral. Ketika Tuhan melakukan hal-hal ini, Dia memiliki prinsip dan waktu-Nya sendiri. Itu harus diserahkan kepada Tuhan untuk bertindak sebagaimana yang Dia inginkan, dan orang harus menahan diri untuk tidak ikut campur, karena ini tidak ada kaitannya dengan mereka. Apa yang Tuhan tuntut dari orang dalam hal masalah "membalas kebencian"? Bahwa mereka tidak bertindak atau membalas dendam kepada orang lain karena kemarahan. Apa yang seharusnya kaulakukan jika seseorang menyinggungmu, melecehkanmu, atau bahkan ingin menyakitimu? Apakah ada prinsip untuk menangani hal-hal seperti itu? (Ya.) Ada solusi dan prinsip untuk hal-hal ini, dan dasar dalam firman Tuhan dan kebenaran. Apa pun yang terjadi, pepatah tentang perilaku moral, "Balaslah kebencian dengan kebaikan", juga bukanlah standar yang digunakan untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang. Paling-paling, jika seseorang mampu membalas kebencian dengan kebaikan, dapat dikatakan bahwa dia relatif sabar, sederhana, baik hati, dan murah hati, tidak picik, dan memiliki perilaku moral yang cukup baik. Namun, dapatkah kualitas kemanusiaan orang ini dievaluasi dan dinilai berdasarkan satu pepatah ini? Tidak, sama sekali tidak. Orang juga harus mempertimbangkan apa yang dia kejar, jalan yang dia tempuh, dan sikapnya terhadap kebenaran dan hal-hal positif, dan sebagainya. Itulah satu-satunya cara untuk menilai secara akurat apakah dia memiliki kemanusiaan atau tidak.

Ini mengakhiri persekutuan kita hari ini.

26 Maret 2022

Sebelumnya: Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (5)

Selanjutnya: Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini