Apa yang Ada di Balik Serangan Kerabatku

03 April 2023

Oleh Saudari Lingmin, Tiongkok

Ayahku adalah kepala sekolah, dan sering membahas materialisme di sekolah dan di rumah. Dia mengajari bahwa kebahagiaan bergantung pada kerja keras. Kami harus berusaha keras untuk unggul dan membawa kehormatan bagi leluhur. Didorong oleh perkataan dan teladan yang diberikan orang tua, aku dan saudaraku selalu bekerja keras. Kami terjun ke dunia bisnis, atau menjadi pejabat, dan cukup berhasil. Pada musim semi tahun 2007, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman. Aku membaca firman Tuhan setiap hari, rutin bersekutu dengan saudara-saudariku, dan mendapat pemahaman akan kedaulatan Tuhan. Kata-kata ini sungguh mengesankan: "Tuhan menciptakan dunia ini. Dialah yang menciptakan umat manusia, dan bahkan Dialah perancang kebudayaan Yunani kuno dan peradaban manusia. Hanya Tuhan yang menghibur umat manusia, dan hanya Tuhan yang peduli pada umat manusia ini siang dan malam. Perkembangan dan kemajuan manusia tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan Tuhan, dan sejarah serta masa depan umat manusia berkaitan erat dengan rancangan-rancangan Tuhan. Apabila engkau adalah seorang Kristen sejati, engkau tentu akan percaya bahwa kebangkitan dan kejatuhan suatu negara atau bangsa terjadi sesuai dengan rancangan Tuhan. Hanya Tuhan sendiri yang mengetahui nasib suatu negara atau bangsa, dan hanya Tuhan sendiri yang mengendalikan perjalanan umat manusia ini. Jika umat manusia ingin mendapatkan nasib yang baik, jika suatu negara ingin mendapatkan nasib yang baik, manusia harus sujud menyembah kepada Tuhan, bertobat dan mengaku di hadapan Tuhan. Jika tidak, nasib dan tempat tujuan manusia akan menjadi malapetaka yang tidak terhindarkan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia"). Firman Tuhan mencerahkan hatiku. Tuhan adalah Sang Pencipta, Dia yang membimbing dan menopang manusia hingga sekarang. Terlebih lagi, Dia mengatur nasib kita. Hanya dengan menyembah Tuhan, bertobat kepada-Nya, dan menerima keselamatan-Nya kita bisa punya takdir yang baik. Aku juga belajar Juru Selamat, Tuhan Yang Mahakuasa, telah kembali di akhir zaman mengungkap kebenaran dan melakukan penghakiman, untuk mentahirkan dan menyelamatkan umat manusia, memimpin kita keluar dari pengaruh Iblis dan ke tempat tujuan indah yang telah Tuhan siapkan bagi kita agar bisa punya nasib dan akhir yang baik. Aku sangat teberkati karena bisa menerima Tuhan Yang Mahakuasa, dan bersumpah pada diriku untuk menjalankan iman dengan baik, mengejar kebenaran, dan melakukan tugas makhluk ciptaan untuk membalas kasih Tuhan.

Tapi saat berfokus menjalankan tugasku, aku ditangkap Partai Komunis. Suatu hari di Maret 2009, pada siang hari, polisi datang ke pertemuan kami, membawaku dan tiga saudari lain, dan secara ilegal menahan kami di kantor polisi. Kepala Keamanan Publik meneriakiku dengan ganas: "Katakan apa yang kau tahu! Siapa yang mengubah imanmu? Siapa pemimpin gerejamu? Jika kau bicara, aku akan segera memulangkanmu. Tapi jika kau tak bekerja sama, dengan semua buku agama yang kami temukan di tempatmu, kami bisa memenjaramu selama lima atau enam tahun!" Melihat wajahnya yang garang, jantungku mulai berdebar kencang. Aku tak tahu bagaimana mereka akan memperlakukanku. Aku segera berdoa, memohon Tuhan untuk menjagaku, memberiku iman dan kekuatan, dan membiarkanku berdiri teguh. Aku memikirkan firman Tuhan ini setelah berdoa: "Para penguasa mungkin tampak ganas dari luar, tetapi jangan takut, karena ini disebabkan engkau semua memiliki sedikit iman. Asalkan imanmu bertumbuh, tidak akan ada yang terlalu sulit" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 75"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Segala sesuatu benar-benar ada di tangan Tuhan. Kepala Keamanan Publik itu tampak menakutkan, tapi dia juga ada di tangan Tuhan. Dia alat yang melayani Tuhan. Dia tak berhak memutuskan apakah aku akan dihukum—hanya Tuhan yang bisa. Aku tidak terintimidasi perlakuan kejamnya. Mereka melihatku tak mau bicara, jadi mereka menahanku dan tiga orang lainnya di pusat penahanan dengan tuduhan mengganggu tatanan sosial.

Suatu pagi, tiba-tiba, aku mendengar ada yang meneriakkan namaku. Aku terkejut setengah mati. Apakah mereka akan menginterogasiku lagi? Mereka telah menanyaiku, tapi aku menutup erat mulutku. Aku bertanya-tanya apakah mereka akan menggunakan taktik lebih kejam terhadapku. Merasa takut, aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, dan lama-kelamaan bisa tenang. Polisi membawaku ke ruangan besar. Saat masuk ke ruangan, aku melihat ayahku, dan hatiku hancur. Mengapa mereka membawa ayahku ke sini? Ayah selalu menentang imanku, bagaimana dia akan memperlakukanku sekarang setelah ditangkap? Belum sempat aku berbicara, ayah telah mengangkat tangannya dan memukul kepalaku tiga kali. Aku pusing dan berkunang-kunang. Dia berkata dengan tegas: "Aku melarangmu punya iman, tapi kau bersikeras, dan sekarang setelah kau ditangkap, namaku jadi tercoreng! Katakan ke mereka semua tentang imanmu. Polisi bilang mereka akan melepasmu setelah mengaku, tapi kau akan mendapat hukuman berat jika tidak!" Melihat wajah ayahku yang menua, aku merasa sedih. Usianya hampir 80 tahun, dan reputasinya adalah yang terpenting. Bagaimana dia bisa menanggung rasa malu jika aku dihukum? Lalu, tiba-tiba, dia berlutut. Dengan air mata berlinang, dia bilang: "Saat ibumu mengetahui hal ini, dia jatuh sakit. Dia terbaring di tempat tidur di rumah, diinfus. Katakan ke mereka yang kau tahu dan pulang bersamaku!" Menghadapi semua itu, aku tak sanggup menahan air mataku. Sejak zaman kuno, anak-anaklah yang berlutut di depan orang tua, bukan sebaliknya. Aku teringat kesulitan orang tuaku dalam membesarkanku, bagaimana mereka membantuku dengan anak-anakku. Mereka masih harus mencemaskanku di usia tua. Mereka tak akan menghadapi rasa sakit dan siksaan seandainya aku bukan orang yang percaya. Aku merasa berutang budi ke mereka—aku merasa tak enak. Lalu, aku sadar keadaanku tidak benar. Aku pun berdoa singkat, "Tuhan! Situasi ini menyakitkanku. Aku merasa lemah dan berutang budi ke orang tuaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tolong terangi dan bimbing aku agar bisa memahami kehendak-Mu dan berdiri teguh." Setelah berdoa, aku langsung teringat tekad yang kutetapkan di hadapan Tuhan—untuk kuat dalam iman, mengikuti Tuhan, dan selalu berusaha mengasihi-Nya. Saat itu, aku sadar kembali. Aku juga teringat firman Tuhan: "Apakah orang tidak mampu mengesampingkan daging mereka untuk waktu yang singkat ini? Hal apa yang bisa membelah kasih antara manusia dan Tuhan? Siapakah mampu mengoyak kasih antara manusia dan Tuhan? Apakah itu orang tua, suami, saudari, istri, atau pemurnian menyakitkan? Bisakah perasaan hati nurani menghapus citra Tuhan dalam diri manusia? Apakah berutang dan tindakan orang terhadap satu sama lain merupakan perbuatan mereka sendiri? Bisakah semua itu diperbaiki oleh manusia? Siapakah mampu melindungi diri mereka sendiri? Apakah orang mampu menyediakan bagi diri mereka sendiri? Siapakah yang kuat dalam kehidupan? Siapakah mampu meninggalkan-Ku dan hidup mandiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 24 dan 25"). Firman Tuhan membuatku merasa bersalah. Napas ini diberikan kepadaku oleh Tuhan, dan Tuhan memberiku semua yang kubutuhkan untuk bertahan hidup. Tuhan yang diam-diam merawat dan melindungiku adalah alasan aku hidup hingga hari itu. Dia mengatur segalanya untuk membimbingku ke hadapan-Nya dan menerima keselamatan-Nya. Kasih Tuhan begitu besar! Aku tak bisa mengkhianati Tuhan hanya karena takut menyakiti orang tuaku. Kesehatan mereka juga ada di tangan Tuhan, tak ada gunanya aku khawatir. Mereka sedih dan sakit karena penindasan Partai Komunis. Jika mereka bisa melihat kejahatan Partai, mereka tak akan merasa malu, dan Iblis tak akan bisa membodohi mereka. Berpikir seperti ini, aku tak merasa begitu kesal. Aku bersumpah untuk berdiri teguh dalam kesaksianku, meski harus dipenjara. Aku menyeka air mataku dan membantu ayahku berdiri. Lalu lima atau enam petugas datang dan mengepungku. Aku berkata ke mereka, "Aku tak tahu apa-apa." Satu petugas menatapku dan bilang, "Waktumu tinggal lima menit lagi." Ayahku sangat marah. Dia memukulku lagi, berlutut dan bilang, "Jika kau tak bicara, aku akan berlutut di depanmu hingga aku mati! Partai tak mengizinkan kepercayaan agama—beraninya kau menentang itu? Cepat dan mengaku! Lalu, kita bisa pulang." Aku pun sadar ini siasat dari pihak polisi. Mereka ingin ayah menekanku untuk jadi Yudas dan mengkhianati yang lainnya. Polisi-polisi itu sangat berbahaya! Aku marah dan kesal. Aku membantu ayah berdiri, dan lima atau enam petugas mengepungku lagi agar aku bicara. Aku menatap mereka dan bilang dengan tenang: "Aku tak tahu apa-apa." Saat itu, telepon ayah mulai berdering, dan dia memintaku untuk menjawab. Aku bisa mendengar suara ibuku di telepon, mengumpat dan bilang, "Ibu bisa mati karenamu! Pemerintah tidak mengizinkan iman, tapi kau bersikeras. Kau tak bisa melawan mereka! Katakan ke mereka yang kau tahu dan kembalilah! Apa yang akan kami lakukan jika kau dihukum? Bagaimana putramu akan menemukan istri? Kami semua merasa terhina. Pikirkan kami!" Sambil menangis, aku menutup telepon dan melihat ayahku berjalan keluar, menyeret kakinya. Saat kembali ke sel, aku kembali memikirkan ibuku yang sakit, terbaring di tempat tidur. Jika terjadi sesuatu yang buruk, aku akan membuatnya kecewa. Makin memikirkannya, makin aku merasa buruk. Aku tak bisa menahan air mataku. Saat itulah aku sadar kasih sayangku adalah titik lemahku. Aku lalu berdoa kepada Tuhan. Aku memohon bimbingan-Nya agar bisa mengambil sikap untuk hidup bukan dari emosi. Aku teringat firman Tuhan ini: "Mengapa sulit sekali bagi manusia memisahkan diri dari emosi? Apakah melakukan hal ini melampaui standar hati nurani? Bisakah hati nurani memenuhi kehendak Tuhan? Bisakah emosi membantu manusia mengatasi kesulitan? Di mata Tuhan, emosi adalah musuh-Nya—bukankah ini sudah dinyatakan dengan jelas dalam firman Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 28"). Firman Tuhan membuka mataku. Emosi adalah musuh Tuhan dan penghalang terbesar untuk menerapkan kebenaran. Saat hidup dengan emosi, kita makin jauh dari Tuhan dan mengkhianati Dia. Aku terjebak dalam perasaan untuk orang tuaku. Kukira tak berbakti ke mereka adalah pelanggaran berat, dan menjadikanku putri yang buruk. Melihat mereka sedih dan kesal karena aku ditangkap, aku merasa berutang budi ke mereka. Mereka telah bekerja sangat keras untuk membesarkanku, tapi aku belum melunasinya, bahkan membuat mereka menderita karenaku. Aku sangat memikirkan kebaikan orang tuaku, tapi lupa Tuhan yang memberi kita hidup. Tuhan sumber kehidupan manusia, dan napas hidup-Nya yang menopangku hingga sekarang. Berkat bimbingan dan pemberian Tuhan, aku punya semua yang kumiliki. Tuhan telah memberi kita begitu banyak tanpa pernah meminta imbalan. Di akhir zaman, Tuhan telah berinkarnasi lagi menyelamatkan umat manusia, menanggung penghinaan besar, serta pengejaran dan penindasan Partai Komunis. Tuhan telah memberi segalanya bagi umat manusia—kasih-Nya begitu besar! Kita harus menyembah dan menaati Tuhan. Perhatian orang tuaku mungkin telah meningkatkan kehidupan materiku, tapi mereka tak bisa menawarkan kebenaran. Mereka tak bisa menyelamatkanku dari kerusakan Iblis atau memberiku tempat tujuan dan akhir yang baik. Jika aku mengkhianati saudariku dan Tuhan hanya untuk menuruti keinginan orang tuaku, aku tak akan berutang budi ke mereka, tapi aku akan ditolak Tuhan, dan tak akan diselamatkan. Saat itu aku sadar Iblis menggunakan rasa sayangku ke orang tua untuk mencobai aku, yang membuatku makin jauh dari Tuhan, mengkhianati-Nya, kehilangan kesempatan diselamatkan, jatuh ke neraka dan hancur bersamanya. Jangan sampai aku tertipu siasat Iblis. Aku jadi teringat Petrus, yang punya prinsip dan menentang orang tuanya. Dia kuat dalam imannya dan mengikuti Tuhan Yesus tak peduli usaha mereka menghentikannya. Akhirnya, kasih dia kepada Tuhan mengalahkan segalanya dan dia diperkenankan Tuhan. Sangat memotivasiku!

Di hari kelima, polisi membawa tiga surat untuk kubaca, yang ditulis oleh ibu, putri, dan putraku. Putraku menulis: "Ibu, selama beberapa tahun terakhir ini jadi tentara, aku sudah menantikan seluruh keluarga bersatu kembali. Tak mudah bagiku untuk ditugaskan dan kembali, dan sekarang Ibu ditahan. Tanpa Ibu di rumah, dunia ini serasa hancur. Ibu, katakan ke polisi tentang keagamaan Ibu! Jika Ibu masuk penjara, itu akan memengaruhi peluangku bekerja dan menikah. Meski Ibu tak memikirkan diri sendiri, Ibu harus memikirkan aku ...." Saat membaca surat itu, aku tak bisa menahan tangis. Jika masa depannya benar-benar hancur karena aku dipenjara, aku tak tahu cara menghadapinya. Dia pasti akan membenciku. Aku merasa jalan iman ini penuh batu sandungan, dan setiap langkah perlu membuat pilihan. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati: "Ya Tuhan, aku sungguh merasa sakit dan lemah. Kumohon jaga hatiku dan kuatkan imanku." Kembali ke sel, seorang saudari mengetahui apa yang kualami dan mengingatkanku untuk tak jatuh dalam siasat Iblis. Itu peringatan bagiku. Terpikir olehku bagaimana di tiap kesempatan Iblis menggunakan berbagai cara untuk membujuk dan menipu kita agar mengkhianati Tuhan. Kita bisa jatuh ke dalam jaring Iblis saat lengah. Kita harus terus menenangkan hati di hadapan Tuhan, berdoa dan bersandar kepada-Nya untuk mengetahui siasat Iblis, mendapat perlindungan Tuhan, dan berdiri teguh. Malam itu, aku berbaring di kasur, tak bisa tidur, dan berdoa kepada Tuhan dalam hati. Aku teringat firman Tuhan ini: "Dari saat engkau lahir dengan menangis ke dalam dunia ini, engkau mulai melakukan tugasmu. Oleh karena rencana Tuhan dan oleh karena penentuan-Nya dari semula, engkau melakukan peranmu dan memulai perjalanan hidupmu. Apa pun latar belakangmu, dan apa pun perjalanan yang ada di hadapanmu, tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan penataan Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, sebab hanya Dia yang mengatur segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan tersebut" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Benar. Sepanjang hidup kita, Tuhanlah yang mengatur takdir, dan tak ada yang bisa mengubahnya. Aku tak bisa mengendalikan pekerjaan atau pernikahan putraku di masa depan. Tak peduli seberapa besar perhatianku kepada anak, aku tak bisa mengubah nasib mereka, dan apakah aku akan dipenjara atau tidak, itu pun ditentukan Tuhan. Aku tak bisa keluar hanya karena aku ingin bebas. Aku harus memercayakan semuanya ke Tuhan dan tunduk pada kedaulatan-Nya. Lalu, aku teringat kutipan firman Tuhan ini. "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas hidupmu demi kesenangan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna. Jika engkau menjalani kehidupan yang vulgar dan tidak mengejar tujuan apa pun, bukankah engkau menyia-nyiakan hidupmu? Apa yang dapat engkau peroleh dari kehidupan semacam itu? Engkau harus meninggalkan seluruh kenikmatan daging demi satu kebenaran, dan jangan membuang seluruh kebenaran demi sedikit kenikmatan. Orang-orang seperti ini tidak memiliki integritas atau martabat; keberadaan mereka tidak ada artinya!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Sebagai orang yang percaya, satu-satunya cara diperkenankan Tuhan adalah dengan mengejar kebenaran dan melakukan tugas makhluk ciptaan. Hanya itu yang bisa dianggap kehidupan berharga, dan penderitaan sebesar apa pun akan setimpal demi mendapat kebenaran. Jika aku mengkhianati saudara-saudari dan gereja hanya untuk memuaskan keluargaku, aku akan jadi Yudas yang mengkhianati Tuhan. Itu penghinaan terbesar, dan aku akan dikutuk Tuhan karenanya. Meski punya keluarga yang bahagia dan hidup yang nyaman, itu akan kosong dan tak berarti, aku tak lebih dari mayat hidup. Memikirkan hal ini, aku jadi lebih bertekad mengikuti Tuhan. Apa pun taktik yang dipakai polisi, aku akan bersaksi dan mempermalukan Iblis!

Polisi memanggilku ke aula utama di hari keenam, di sana aku melihat paman, suami, putra dan putriku. Anak-anak memelukku dan menangis, bilang: "Ibu, pulanglah!" Suamiku berdiri di samping menangis. Lalu pamanku berkata sambil menangis: "Lingmin, polisi bilang kau bisa pulang setelah memberi tahu mereka sesuatu, dan kau tak perlu dipenjara. Masa depan putramu akan hancur jika kau masuk penjara. Itu akan menghancurkan keluarga! Dengarkan aku, dan beri tahu mereka!" Saat itu, aku tahu dengan jelas. Aku tahu siasat Iblis ada di balik desakan keluargaku, dan sekalipun aku memberi mereka sedikit informasi, polisi akan memaksaku memberi tahu lebih banyak, dan saudara-saudari lain akan ditangkap. Dengan pemikiran ini, aku bilang: "Sebagai orang yang percaya, aku menempuh jalan hidup yang benar. Aku tidak melakukan hal ilegal, jadi tak ada yang perlu aku akui. Pulanglah ke rumah." Dalam perjalanan ke selku, Terpikir olehku polisi yang berulang kali menggunakan orang yang kukasihi untuk membujukku, memaksaku mengkhianati saudara-saudari dan Tuhan. Partai Komunis sungguh keji! Mereka Iblis yang anti-Tuhan! Lalu, seorang petugas memanggilku ke kantor dan dengan sombong bilang: "Bagaimana kunjungan keluargamu?" Melihatnya bersukaria dalam situasi buruk ini, aku sangat marah hingga mengeluarkan ketiga surat itu dari saku, merobek, melemparkannya ke atas meja, dan bilang: "Aku orang yang percaya dan jujur. Aku tak melakukan hal buruk. Mengapa kau menyuruh mereka mendesakku? Hukum apa yang telah kulanggar?" Lalu aku berjalan keluar. Aku bisa menghadapi pertanyaan polisi dengan tenang berkat kekuatan yang Tuhan berikan kepadaku.

Di pagi hari tanggal 14, kepala Biro Keamanan Publik memanggilku ke kantor. Dia tak galak seperti sebelumnya, tapi pura-pura peduli, dan bertanya tentang keluargaku. Dia menggunakan kata-kata indah untuk membujukku mengkhianati saudara-saudari. Aku berdoa dalam hati tanpa henti, memohon perlindungan Tuhan agar tak tertipu siasat Iblis. Kepala biro banyak bicara. Akhirnya, melihat aku tutup mulut, dia marah dan berteriak dengan kejam, "Aku tak akan basi-basi. Kami menemukan begitu banyak buku agama di rumahmu, ini kasus terbesar di kota. Kau akan dipenjara jika terus tutup mulut!" Tapi tak peduli ucapan dia, aku berdoa kepada Tuhan dalam hati dan bersumpah aku tak akan pernah berbagi informasi tentang yang lain dan tak akan pernah mengkhianati Tuhan, meski aku dihukum. Setelah lima belas hari, mereka sadar tak akan mendapatkan apa pun dariku, dan membiarkanku pulang. Setelah kembali ke rumah, keluarga masih menentang imanku. Aku tahu itu semua karena kebohongan dan penindasan Partai Komunis. Aku berdoa dan bersumpah akan mengikuti Tuhan hingga akhir, meskipun sulit. Aku pun teringat nyanyian pujian: Bergerak Maju di Sepanjang Jalan Mengasihi Tuhan.

1 Aku tidak peduli betapa berat jalan kepercayaan kepada Tuhan, aku hanya melakukan kehendak Tuhan sebagai panggilanku; tak kupedulikan entah aku menerima berkat atau mengalami kemalangan di masa depan. Karena sekarang aku bertekad mengasihi Tuhan, aku akan setia sampai akhir. Apa pun bahaya atau kesulitan yang mengintai di belakangku, bagaimanapun akhir hidupku, untuk menyambut hari kemuliaan Tuhan, aku mengikuti jejak kaki Tuhan dari dekat dan berusaha terus maju.

............

—Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru

Aku menyanyikannya berulang kali, dan sangat terinspirasi. Aku tahu jalan iman akan selalu disertai penganiayaan Partai, dan aku mungkin akan ditangkap lagi atau bahkan dihukum di kemudian hari. Tapi aku yakin ini jalan yang benar, dan aku siap mengikuti Tuhan hingga akhir. Untuk sementara, aku tak bisa menghubungi anggota gereja lain atau menjalani kehidupan gereja. Jadi, aku makan dan minum firman Tuhan, melengkapi diri dengan kebenaran di rumah, dan membagikan Injil ke keluargaku. Suami dan putriku jadi orang yang percaya. Kami berkumpul, makan dan minum firman Tuhan sebagai satu keluarga. Setahun kemudian, aku menjalin hubungan dengan saudara-saudari lagi, dan mulai bertugas. Aku sangat beryukur kepada Tuhan.

Selama ini, melalui penindasan dan penangkapan Partai Komunis, dan serangan keluargaku, pencerahan dan bimbingan firman Tuhan membantuku melewatinya, selangkah demi selangkah. Tak peduli betapa sulitnya jalan di depanku, aku akan pergi bersama Tuhan hingga akhir.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Iman: Sumber Kekuatan

Oleh Saudara Ai Shan, Myanmar Musim panas terakhir. Aku mempelajarinya di internet dan orang lain mempersekutukan banyak kebenaran denganku...

Tugas Tak Kenal Pangkat

Oleh Saudari Li Karen, Filipina Sebelum memercayai Tuhan Yang Mahakuasa, aku terbiasa dipuji guru. Aku selalu ingin diperhatikan, dan...

Pilihan di Tengah Kemelut

Oleh Saudara Li Xinmo, Tiongkok Di suatu musim dingin beberapa tahun lalu, seorang pemimpin tinggi menyampaikan bahwa pemimpin dan pekerja...