Apakah Mengejar Pernikahan yang Sempurna Membawa Kebahagiaan?
Setelah saling mengenal dan mencintai selama delapan tahun, saat aku dan suamiku hendak bertunangan, tiba-tiba aku terkena penyakit yang...
Kami menyambut semua pencari yang merindukan penampakan Tuhan!
Sejak kecil, keluargaku relatif miskin. Kerabat dan teman-teman merendahkan kami, bahkan kakek-nenekku pun menolak kami. Ibu sering mengomeliku, dengan berkata, "Kau harus belajar keras dan membawa kehormatan untuk keluarga!" Aku memperhatikan kata-katanya dengan serius, bekerja keras dalam studiku, dan selalu berada di antara peringkat teratas di kelas. Namun, kemudian aku mengalami kecelakaan mobil dan berbagai masalah lainnya, dan aku harus menjalani tiga operasi. Setiap kali aku menjalani operasi, keluargaku sangat khawatir, dan kadang-kadang ibuku mengeluh, berkata bahwa jika bukan karena uang yang mereka habiskan untuk operasiku, keluarga kami tidak akan terjerat kemiskinan seperti ini. Setelah ujian masuk sekolah menengah, aku berhasil diterima di sekolah menengah bergengsi. Berkali-kali, aku berpikir untuk berhenti sekolah dan mulai bekerja lebih awal untuk menghasilkan uang guna meringankan beban keluargaku, tetapi orang tuaku tidak setuju dan mendorongku untuk fokus pada studiku. Aku sangat tersentuh dan bertekad untuk membalas budi mereka dengan baik ketika aku dewasa nanti. Kemudian, perjalanan akademikku berjalan lancar, dan setelah ujian masuk perguruan tinggi, aku berhasil diterima di universitas unggulan. Setelah itu, aku melanjutkan ke sekolah pascasarjana di universitas bergengsi. Pada saat itu, kondisi keuangan keluarga kami sangat buruk, orang tuaku sering sakit dan tidak bisa melakukan pekerjaan berat, dan keluarga kami selalu berutang. Setiap tahun ketika aku pulang ke rumah untuk Tahun Baru Imlek, aku bertanya kepada ibuku, berapa banyak yang masih kami berutang kepada teman-teman dan kerabat kami. Aku juga kadang mendengar ibu mengatakan bahwa untuk menopang keluarga dan membayar biaya pendidikanku, ayahku melakukan dua pekerjaan, keduanya pekerjaan berat. Setiap hari dia berangkat kerja dengan pakaian kering dan pulang dengan pakaian basah kuyup. Ibu memberitahuku agar aku jangan mengecewakan keluarga dan jangan pernah lupa berterima kasih. Setelah mendengar ibu berkata begitu, aku menangis diam-diam di bawah selimut di tengah malam, berpikir dalam hati, "Saat aku mulai bekerja, aku akan memberikan sebagian gajiku setiap bulan untuk orang tuaku, agar mereka bisa hidup dengan baik."
Di bulan kedua setelah mulai bekerja setelah aku lulus, aku menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Melalui firman Tuhan, aku mulai memahami bahwa napas kehidupan dalam diri kita berasal dari Tuhan, dan sebagai makhluk hidup, manusia seharusnya menyembah-Nya. Ketika aku disirami oleh firman Tuhan, aku makin merasa bahwa aku harus meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca firman-Nya dan mengejar kebenaran. Jadi, aku secara sukarela mengundurkan diri dari pekerjaanku dan memilih untuk melaksanakan tugasku di gereja. Sesekali, aku mengunjungi orang tuaku di tempat kerja mereka. Setiap kali aku melihat rambut mereka yang mulai memutih, hatiku terasa sakit melihat keadaan mereka, dan aku merasa sangat bersalah, berpikir bahwa aku telah mengecewakan mereka dengan tidak bekerja dan menghasilkan uang untuk mendukung mereka. Setiap kali aku mengunjungi mereka, aku membeli beberapa barang atau suplemen untuk mereka, dan mencoba menebus perasaan berutang budi yang aku merasa di hatiku. Pada tahun 2021, terjadi tindakan tegas besar-besaran di gereja tempat aku bergabung, dan aku juga diburu oleh polisi. Berkat perlindungan Tuhan, aku tidak ditangkap, tetapi aku tidak bisa lagi menghubungi keluargaku. Ketika aku memikirkan bagaimana orang tuaku pasti akan khawatir ketika mereka tidak bisa menghubungiku, aku merasa sangat bersalah, berpikir, "Aku mengalami beberapa kali kecelakaan saat kecil, dan orang tuaku sangat khawatir tentangku. Mereka telah bekerja keras membesarkanku hingga usia ini, yang sama sekali tidak mudah. Sekarang, bukan hanya aku tidak menghasilkan uang yang cukup untuk mendukung mereka, tetapi aku juga membuat mereka khawatir dan cemas karena aku. Aku benar-benar tidak berbakti!" Hatiku terasa sangat sakit dengan kesedihan, dan aku ingin menangis setiap kali aku memikirkan orang tuaku. Aku tidak bisa menerima firman Tuhan, dan aku tidak bisa menyerap persekutuan dengan saudara-saudariku. Setiap kali aku melihat saudara-saudari yang seusia dengan orang tuaku, aku akan memikirkan orang tuaku, "Mereka makin tua, dan kesehatan mereka tidak begitu baik. Aku bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka sekarang. Jika mereka sakit, apa mereka punya uang untuk pengobatan?" Meskipun aku masih melaksanakan tugasku, hatiku terus-menerus mengkhawatirkan orang tuaku. Aku hanya bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugasku, dan setiap kali ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku inginkan, aku berpikir untuk pulang. Namun, ketika aku memikirkan bahwa aku akan ditangkap jika pulang, aku tidak berani kembali. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia melindungiku agar tidak dikendalikan oleh perasaanku.
Suatu hari, aku membaca dua bagian dari firman Tuhan, dan memperoleh pemahaman tentang masalahku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, gagasan tradisional di benak orang Tionghoa adalah mereka yakin bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Orang yang pikirannya dipenuhi hal-hal seperti itu akan beranggapan, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicela oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak punya hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah memahami begitu banyak kebenaran yang Tuhan ungkapkan—pernahkah Tuhan menuntut orang untuk berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). "Didikan macam apakah yang kauterima dari harapan orang tuamu? (Bahwa kami harus mendapat nilai yang bagus dalam ujian kami dan memiliki masa depan yang berhasil.) Engkau harus menjadi orang yang menjanjikan, engkau harus layak menerima kasih sayang ibumu, kerja keras dan pengorbanannya, dan engkau harus memenuhi pengharapan orang tuamu dan tidak mengecewakan mereka. Mereka sangat menyayangimu, mereka telah memberikan segalanya bagimu, dan mereka telah melakukan segalanya bagimu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dengan demikian, menjadi apakah semua pengorbanan, didikan, dan bahkan rasa sayang mereka? Semua itu menjadi sesuatu yang harus kaubalas, dan semua itu sekaligus menjadi bebanmu. Dengan cara inilah beban muncul. Entah orang tuamu melakukan hal-hal ini karena naluri mereka, karena rasa sayang mereka, atau karena tuntutan sosial, pada akhirnya, menggunakan cara-cara ini untuk mendidik dan memperlakukanmu, dan bahkan menanamkan segala macam gagasan dalam dirimu, tidak akan membuat jiwamu merasakan kebebasan, kelepasan, kenyamanan, ataupun sukacita. Apa yang akan kaurasakan? Engkau akan merasa tertekan, takut, merasa hati nuranimu gelisah dan tertuduh. Apa lagi? (Merasakan belenggu dan kekangan.) Belenggu dan kekangan. Selain itu, di bawah harapan seperti itu dari orang tuamu, engkau mau tak mau merasa harus hidup demi harapan mereka. Agar dapat memenuhi harapan mereka, agar tidak mengecewakan mereka, dan agar mereka tidak kehilangan harapan mereka terhadapmu, engkau mempelajari setiap mata pelajaran dengan rajin dan sungguh-sungguh setiap harinya, serta melakukan semua yang mereka minta untuk kaulakukan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Tuhan mengungkapkan keadaanku yang sebenarnya. Sejak kecil, ibuku mengajarkanku bahwa orang tuaku telah berkorban begitu banyak untukku, dan bahwa aku tidak boleh lupa berterima kasih ketika aku dewasa nanti. Kerabat dan tetangga juga sering mengatakan bahwa meskipun keluarga kami miskin, orang tuaku terus mendukung pendidikanku, dan bahwa aku harus membalas budi mereka dengan baik di masa depan dan tidak melupakan asal-usulku. Aku juga melihat pengorbanan yang dilakukan orang tuaku untukku. Saat aku kecil, aku mengalami beberapa kecelakaan, dan orang tuaku sangat khawatir sambil mengumpulkan uang untuk operasiku. Mereka juga pergi ke sana-sini untuk mengumpulkan dana yang diperlukan demi mendukung pendidikanku. Jadi, aku menerima dengan sepenuh hati pendidikan dan doktrin dari keluarga, kerabat, dan teman-temanku tanpa ragu. Aku menjadikannya tujuanku untuk belajar dengan keras, memperbaiki keadaan keuangan keluarga kami, dan memastikan bahwa orang tuaku bisa hidup dengan baik. Untuk mencapai hal ini, aku bekerja keras untuk memperoleh pendidikan tinggi, dan aku berencana untuk memberikan sebagian gajiku kepada orang tuaku setiap bulan, terlepas dari bagaimana hidup berjalan. Namun, setelah aku menemukan Tuhan dan memilih untuk meninggalkan pekerjaanku demi melaksanakan tugasku, aku merasa bersalah karena telah mengecewakan orang tuaku. Kemudian, karena penganiayaan dan penangkapan yang dilakukan oleh PKT, aku tidak bisa menghubungi keluargaku, sehingga membuatku makin menghukum diriku sendiri dan merasa seperti anak yang tidak berbakti. Ketika aku memikirkan bagaimana orang tuaku mendukung pendidikanku dan sekarang setelah aku akhirnya lulus, aku tidak menghasilkan uang untuk membalas budi mereka dan malah membuat mereka khawatir, hatiku dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan. Ketika aku melihat orang-orang seumur orang tuaku, aku khawatir tentang orang tuaku, dan fokusku akan bergeser dari tugasku. Aku bahkan berpikir untuk mengkhianati Tuhan dan meninggalkan tugasku agar bisa pulang. Gagasan tradisional yang ditanamkan dalam diriku oleh keluarga dan masyarakat, seperti "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya," dan "Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas," telah tertanam begitu kuat di dalam hatiku. Gagasan-gagasan ini seperti jerat yang membelit tubuhku dengan erat dan menyakitkan. Aku dengan jelas tahu bahwa kehidupan manusia berasal dari Tuhan, dan bahwa percaya kepada Tuhan, menyembah-Nya, dan melaksanakan tugas adalah jalan yang benar dalam hidup dan sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, tetapi aku masih merasa tidak tenang dalam melaksanakan tugasku. Aku terus-menerus merasa bahwa mengabaikan harapan orang tuaku berarti aku tidak memiliki hati nurani dan bahwa aku anak yang tidak tahu berterima kasih dan tidak berbakti.
Kemudian, aku membaca bagian lain dari firman Tuhan, yang membantuku untuk memperlakukan pengorbanan orang tuaku untukku selama ini dengan benar. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Mari kita membahas bagaimana seharusnya orang menafsirkan 'Orang tuamu bukanlah krediturmu'. Orang tuamu bukanlah krediturmu, bukankah ini adalah fakta? (Ya.) Karena ini adalah fakta, adalah hal yang tepat bagi kita untuk menjelaskan hal-hal yang terkandung dalam pernyataan ini. Mari kita melihat hal tentang orang tuamu melahirkan dirimu. Siapa yang memilih mereka untuk melahirkanmu: engkaukah atau orang tuamu? Siapa yang memilih siapa? Jika engkau melihatnya dari sudut pandang Tuhan, jawabannya: bukan keduanya. Bukan engkau, juga bukan orang tuamu yang memilih mereka untuk melahirkanmu. Jika melihatnya dari sumbernya, hal ini telah ditetapkan oleh Tuhan. Kita akan mengesampingkan topik ini untuk saat ini, karena mudah bagi orang untuk memahaminya. Dari sudut pandangmu, engkau secara pasif dilahirkan oleh orang tuamu, tanpa punya pilihan apa pun dalam hal ini. Dari sudut pandang orang tuamu, mereka melahirkanmu atas kemauan mereka sendiri, bukan? Dengan kata lain, dengan mengesampingkan penetapan Tuhan, dalam hal melahirkan dirimu, orang tuamulah yang berkuasa dalam hal ini. Mereka memilih untuk melahirkanmu, dan merekalah yang menjadi penentu keputusan. Engkau tidak memilih mereka untuk melahirkanmu, engkau secara pasif dilahirkan dari mereka, dan engkau tidak punya pilihan dalam hal ini. Jadi, karena orang tuamu yang berkuasa dalam hal ini, dan mereka memilih untuk melahirkanmu, mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membesarkanmu, merawatmu hingga menjadi dewasa, membekalimu dengan pendidikan, dengan makanan, pakaian, dan uang. Ini adalah tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan ini adalah hal yang sudah seharusnya mereka lakukan. Sedangkan engkau, engkau selalu pasif selama periode mereka membesarkanmu, engkau tidak berhak untuk memilih, engkau harus dibesarkan oleh mereka. Karena engkau masih kecil, engkau tidak punya kemampuan untuk membesarkan dirimu sendiri, engkau tidak punya pilihan selain secara pasif dibesarkan oleh orang tuamu. Engkau dibesarkan dengan cara yang dipilih oleh orang tuamu, jika mereka memberimu makanan dan minuman yang enak, maka makanan dan minuman enaklah yang kaumakan. Jika orang tuamu memberimu lingkungan hidup di mana engkau harus bertahan hidup dengan hanya memiliki sekam dan tanaman liar, maka engkau harus bertahan hidup dengan hanya memiliki sekam dan tanaman liar. Bagaimanapun juga, ketika engkau dibesarkan, engkau pasif, dan orang tuamu sedang memenuhi tanggung jawab mereka. Sama halnya ketika orang tuamu menanam bunga. Karena mereka ingin merawat bunga tersebut, mereka harus memupuknya, menyiraminya, dan memastikannya mendapatkan sinar matahari. Jadi, mengenai manusia, entah orang tuamu membesarkanmu dengan cermat, atau merawatmu dengan baik atau tidak, bagaimanapun juga, mereka hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. ... Karena ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban, hal ini sudah seharusnya cuma-cuma, dan mereka tidak boleh meminta imbalan. Dengan membesarkanmu, orang tuamu hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan sudah seharusnya tidak dibayar, dan ini tidak boleh menjadi semacam transaksi. Jadi, engkau tidak perlu memperlakukan orang tuamu atau memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan membalas jasa mereka. Jika engkau memperlakukan orang tuamu, membayar mereka, dan memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan tersebut, ini tidak manusiawi. Sekaligus, kemungkinan besar engkau juga akan menjadi terkekang dan terikat oleh perasaan dagingmu, dan akan sulit bagimu untuk keluar dari keterikatan ini, bahkan sampai-sampai engkau mungkin akan tersesat. Orang tuamu bukanlah krediturmu, jadi engkau tidak berkewajiban untuk mewujudkan semua harapan mereka. Engkau tidak perlu memikul beban untuk memenuhi harapannya. Artinya, mereka boleh saja memiliki harapan sendiri. Engkau memiliki pilihanmu sendiri, memiliki jalan hidup dan takdir yang telah Tuhan tetapkan untukmu yang tidak ada kaitannya dengan orang tuamu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Melalui perenungan atas firman Tuhan, aku memahami bahwa orang tua bukanlah kreditur bagi anak-anak mereka dan bahwa orang tua membesarkan anak-anak mereka dengan sukarela, dan karena mereka memilih untuk melakukannya, mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk membesarkan mereka. Tidak peduli seberapa besar pengorbanan orang tua dalam proses ini, itu adalah tanggung jawab mereka sebagai orang tua dan semacam hukum yang ditetapkan Tuhan bagi makhluk ciptaan-Nya. Seperti banyak makhluk di alam yang berkembang biak dan merawat keturunannya, mereka hanya mengikuti hukum dan prinsip yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Hal yang sama berlaku bagi manusia. Orang tua yang memilih untuk memiliki anak harus membesarkan mereka dan memberi mereka kebebasan, dan memungkinkan mereka untuk memilih jalan hidup mereka sendiri. Jika orang tua menuntut balas budi dan kompensasi hanya karena mereka telah membesarkan anak-anak mereka atau bahkan mengorbankan kebebasan anak-anak mereka untuk memilih jalan hidupnya demi memenuhi keinginan orang tua sendiri akan kehidupan yang lebih baik, hal ini, sebenarnya, tidak manusiawi. Orang tua seperti itu terlalu egois. Setelah merenungkan mengapa aku merasa bersalah karena tidak menghasilkan uang untuk melaksanakan tugasku untuk berbakti kepada orang tuaku, aku menyadari bahwa itu karena aku telah memandang pengorbanan dan perhatian mereka sebagai sebuah kebaikan, dan melihat mereka sebagai krediturku. Aku percaya bahwa begitu aku memiliki kemampuan untuk menghasilkan uang di masa depan, aku harus membalas budi kepada mereka dengan benar; kalau tidak, aku akan dianggap tidak tahu berterima kasih, tidak berbakti, dan tidak memiliki kemanusiaan. Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa pandanganku tentang hal-hal tersebut salah. Cara orang tuaku membesarkan dan merawatku hanyalah bentuk pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban mereka sebagai orang tua. Aku tidak berutang apa pun kepada mereka, dan aku tidak wajib memenuhi harapan mereka. Aku memiliki hak untuk memilih jalan hidup yang seharusnya aku jalani dalam hidup, dan aku tidak boleh dikekang oleh hal ini yang konon disebut kebaikan, karena hal itu akan menyebabkan aku kehilangan kebebasanku dalam kehidupan ini dan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengejar kebenaran dan diselamatkan. Setelah merenungkan setiap tahap kehidupanku, aku mengalami beberapa kecelakaan berbahaya saat kecil, tetapi secara ajaib aku dilindungi dan selamat berkat perlindungan Tuhan. Suatu kali, aku tertabrak mobil yang melaju kencang dan terlempar ke sisi jalan lainnya, kemudian kehilangan kesadaran, tetapi ketika sadar, aku hanya mengalami patah tulang ringan dan beberapa luka lecet. Lain waktu, aku dipukuli dengan keras oleh seseorang yang mengidap skizofrenia. Itu insiden yang sangat berdarah dan brutal, tetapi otakku tidak terluka, dan wajahku tidak cacat, aku hanya membutuhkan beberapa jahitan di kepalaku dan hanya mengalami satu tulang patah, tanpa cedera signifikan lainnya. Mereka semua yang tahu tentang pengalaman-pengalamanku ini saat aku tumbuh dewasa berkata bahwa aku benar-benar sangat beruntung. Sebenarnya, itu bukan tentang keberuntungan. Semua ini perlindungan Tuhan. Ketika mengingat kembali, aku sadar bahwa aku bisa sampai hari ini berkat perhatian dan perlindungan Tuhan. Aku memiliki jalan hidup yang telah Tuhan tentukan bagiku dan sebuah misi untuk dilaksanakan. Aku tidak boleh hanya hidup untuk orang tuaku.
Kemudian, aku membaca bagian lain dari firman Tuhan: "Dalam hal pengharapan orang tuamu, engkau tidak boleh memikul beban apa pun. Jika engkau menuruti permintaan orang tuamu, nasibmu akan tetap sama; jika engkau tidak mengikuti pengharapan orang tuamu dan mengecewakan mereka, nasibmu juga akan tetap sama. Apa pun jalan di depanmu yang harus kautempuh, itulah yang akan kautempuh; itu telah ditetapkan oleh Tuhan. Demikian pula, jika engkau memenuhi pengharapan orang tuamu, memuaskan orang tuamu, dan tidak mengecewakan mereka, apakah itu berarti mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik? Dapatkah itu mengubah nasib mereka yang penuh penderitaan dan penganiayaan? (Tidak.) Ada orang-orang yang menganggap orang tua mereka telah memberi mereka sangat banyak kebaikan dalam membesarkan mereka, dan orang tua mereka telah sangat menderita selama waktu itu. Jadi, mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang baik, lalu menanggung kesukaran, berjerih payah, bertekun, dan bekerja keras untuk menghasilkan banyak uang, dan memperoleh kekayaan. Tujuan mereka adalah memberi kepada orang tua mereka kehidupan yang istimewa di masa depan, tinggal di vila, mengendarai mobil mewah, serta makan dan minum enak. Namun, setelah bertahun-tahun bekerja dengan giat dan penuh semangat, meskipun kondisi dan keadaan hidup mereka telah meningkat, orang tua mereka meninggal tanpa sehari pun menikmati kemakmuran tersebut. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Jika engkau membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, membiarkan Tuhan mengatur, dan tidak memikul beban ini, maka engkau tidak akan merasa bersalah ketika orang tuamu meninggal. Namun, jika engkau bekerja sangat keras untuk menghasilkan uang agar dapat membalas kebaikan orang tuamu dan membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih baik, tetapi mereka kemudian meninggal, bagaimana perasaanmu? Jika engkau menunda pelaksanaan tugasmu dan menunda dirimu untuk memperoleh kebenaran, akankah engkau tetap mampu hidup dengan nyaman selama sisa hidupmu? (Tidak.) Kehidupanmu akan terpengaruh, dan engkau akan selalu memikul beban 'telah mengecewakan orang tuamu' selama sisa hidupmu. ... Orang tua harus memenuhi tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka berdasarkan keadaan mereka sendiri dan berdasarkan keadaan dan lingkungan yang telah Tuhan persiapkan. Hal yang harus anak-anak lakukan bagi orang tua mereka juga harus berdasarkan keadaan yang mampu mereka capai dan berdasarkan lingkungan tempat mereka berada; hanya itu saja. Segala sesuatu yang harus orang tua dan anak lakukan tidak boleh bertujuan untuk mengubah nasib pihak lainnya melalui kekuatan mereka sendiri atau keinginan egois mereka sendiri agar pihak lainnya dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan lebih ideal karena upaya mereka sendiri. Baik orang tua maupun anak-anak, setiap orang harus membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya di tengah lingkungan yang diatur oleh Tuhan, bukannya berusaha mengubah segala sesuatu melalui usaha mereka sendiri atau dengan tekad pribadi apa pun. Nasib orang tuamu tidak akan berubah karena engkau memiliki pemikiran seperti ini mengenai mereka. Nasib mereka telah Tuhan tetapkan sejak lama. Tuhan telah menetapkanmu untuk hidup di tengah lingkup kehidupan mereka, untuk dilahirkan dari mereka, untuk dibesarkan oleh mereka, dan untuk memiliki hubungan ini dengan mereka. Jadi, tanggung jawabmu terhadap mereka hanyalah mendampingi mereka sesuai dengan keadaanmu sendiri dan melaksanakan beberapa kewajiban. Sedangkan mengenai keinginanmu untuk mengubah keadaan orang tuamu pada saat ini, atau keinginanmu untuk mereka menjalani kehidupan yang lebih baik, semua itu tidak ada gunanya. Atau, keinginanmu untuk membuat tetangga dan kerabatmu menghormatimu, untuk membawa kehormatan bagi orang tuamu, untuk menjaga gengsi orang tuamu di tengah keluarga, ini bahkan lebih tidak perlu. Ada juga ibu atau ayah tunggal yang ditinggalkan oleh pasangan mereka dan membesarkanmu hingga menjadi dewasa seorang diri. Engkau makin merasa betapa hal itu sangat sulit baginya, dan engkau ingin menggunakan seluruh hidupmu untuk membalas kebaikannya, dan membalas jasanya, bahkan sampai-sampai engkau mau melakukan apa pun yang dia katakan. Hal yang dimintanya darimu, hal yang diharapkannya darimu, serta apa yang engkau sendiri ingin lakukan, semua itu menjadi beban dalam hidupmu ini. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Di hadapan Sang Pencipta, engkau adalah makhluk ciptaan. Hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini bukanlah sekadar memenuhi tanggung jawabmu terhadap orang tuamu, melainkan memenuhi tanggung jawab dan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Engkau hanya dapat memenuhi tanggung jawabmu terhadap orang tuamu berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, bukan melakukan apa pun bagi mereka berdasarkan kebutuhan emosionalmu atau kebutuhan hati nuranimu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Aku merenungkan firman Tuhan berkali-kali dan akhirnya memahami bahwa takdir seseorang ada di tangan Sang Pencipta. Seberapa banyak penderitaan yang akan dialami orang tuaku dalam hidup ini dan apakah mereka bisa hidup dengan baik, itu sudah lama ditentukan oleh Tuhan dan tidak ada hubungannya dengan diriku. Bukan berarti aku bisa mengubah nasib mereka dan memberi mereka kehidupan yang lebih baik hanya karena aku memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan bisa menghasilkan uang. Takdirku, termasuk apakah aku bisa masuk perguruan tinggi atau meraih gelar tertentu, juga sudah ditetapkan oleh Tuhan dan bukanlah hasil dari orang tuaku. Alasan aku merasa bersalah ketika memikirkan pendidikan tinggi yang kumiliki tetapi tidak bekerja untuk menghasilkan uang demi melaksanakan tugasku untuk berbakti kepada orang tuaku adalah karena aku belum melihat dengan jelas bahwa takdir manusia ada di tangan Tuhan. Aku masih hidup dengan racun Iblis "Pengetahuan dapat mengubah nasibmu," dan percaya bahwa memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan yang baik dapat mengubah nasib orang tuaku dan memberikan mereka kehidupan yang lebih baik. Sebenarnya, bisakah aku benar-benar mengubah nasib orang tuaku? Aku teringat pada pamanku, yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya untuk membantu putranya masuk perguruan tinggi. Akhirnya, putranya berhasil masuk perguruan tinggi dan membeli rumah di kota, dan tepat ketika tampaknya keluarga itu akhirnya bisa hidup dengan baik, pamanku tiba-tiba meninggal. Kemudian ada bibiku, yang bekerja keras untuk membiayai pendidikan sepupuku, dengan berharap dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun, sepupuku tidak berkomitmen pada pekerjaannya yang seharusnya, dan dia tidak hanya gagal bekerja dengan baik, tetapi dia juga ditipu. Dia telah mengambil lebih dari seratus ribu yuan dari keluarga untuk diinvestasikan, hanya untuk kehilangan seluruh modalnya. Ada banyak contoh seperti itu di sekitarku, yang membuktikan bahwa baik orang tua maupun anak tidak bisa mengubah nasib satu sama lain. Apakah seseorang memiliki kehidupan yang baik atau tidak itu sudah ditetapkan oleh Tuhan, dan tidak ada usaha pribadi yang bisa mengubahnya. Jika aku tidak percaya kepada Tuhan, aku pun akan mengikuti tren dunia, menikah, membeli rumah dan mobil, memiliki anak, dan berurusan dengan pembayaran hipotik dan mobil. Jadi, berapa banyak energi dan uang cadangan yang kumiliki untuk melaksanakan tugasku untuk berbakti kepada orang tuaku? Jika aku berada di bawah tekanan kehidupan sehari-hari yang sangat berat, aku bahkan mungkin harus bergantung pada dukungan orang tuaku. Aku berpikir bahwa karena aku melaksanakan tugasku dan tidak bekerja untuk menghasilkan uang demi berbakti kepada orang tuaku, mereka tidak memiliki kehidupan yang baik. Ini sangat absurd. Kondisi kehidupan orang tuaku, lingkungan yang mereka alami sepanjang hidup mereka, dan penderitaan yang mereka alami semuanya sudah ditetapkan oleh Tuhan. Semua itu tidak ada hubungannya dengan apakah aku mempercayai Tuhan atau melaksanakan tugasku. Aku seharusnya tidak lagi hidup berdasarkan pandangan keliru yang ditanamkan dalam diriku oleh masyarakat dan keluargaku. Kekhawatiran berlebihan tentang orang tuaku itu bodoh dan tidak ada gunanya. Sebagai makhluk ciptaan, Tuhan-lah yang yang memberiku kehidupan dan menganugerahiku karunia dan bakat, dan mengatur berbagai keadaan untuk memperluas pengalaman dan pengetahuanku. Pada akhirnya, Dia mengizinkanku mendengar suara Sang Pencipta dan menikmati penyiraman serta penyediaan firman-Nya. Jadi, aku harus mencurahkan waktu dan energiku untuk mengejar hal-hal positif dan membantu lebih banyak orang mendengar suara Tuhan dan menerima keselamatan-Nya. Hanya ini yang bermakna dan merupakan tanggung jawab serta tugas yang harus aku laksanakan sebagai makhluk ciptaan.
Aku membaca dua bagian lain dari firman Tuhan: "Pertama-tama, kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat bekerja sama dalam pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). "Jika engkau menaati prinsip kebenaran, gagasan, atau pandangan yang benar dan yang berasal dari Tuhan, hidupmu akan menjadi sangat tenang. Baik opini publik, kesadaran hati nurani maupun beban perasaanmu tidak akan lagi menghalangi caramu menangani hubungan dengan orang tuamu; sebaliknya, hal ini akan memampukanmu untuk menghadapi hubungan ini dengan cara yang benar dan rasional. Jika engkau bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran yang telah Tuhan berikan kepada manusia, sekalipun ada yang mengkritik di belakangmu, engkau akan tetap merasa damai dan tenang di lubuk hatimu dan tidak akan memengaruhimu. Setidaknya, engkau tidak akan lagi mencaci maki dirimu sendiri karena menjadi orang yang tidak peduli dan tak tahu berterima kasih atau merasakan tuduhan hati nurani di lubuk hatimu. Ini karena engkau tahu bahwa semua tindakanmu dilakukan berdasarkan cara-cara yang telah Tuhan ajarkan. Engkau sedang mendengarkan dan tunduk pada firman Tuhan dan mengikuti jalan-Nya. Mendengarkan firman Tuhan dan mengikuti jalan-Nya adalah perasaan hati nurani yang harus dimiliki manusia. Engkau akan menjadi manusia sejati jika mampu melakukan semua ini. Apabila engkau belum mampu melakukannya, berarti engkau adalah orang yang tidak peduli dan tak tahu berterima kasih" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Setelah membaca dua bagian firman Tuhan ini, aku sangat tersentuh. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Tuhan sangat memahami kita. Dia tahu bahwa kita sangat disesatkan dan dirugikan oleh berbagai gagasan jahat dan keliru dari keluarga dan masyarakat, yang membuat roh kita terbelenggu. Jadi, Dia mengungkapkan kebenaran untuk membantu kita secara bertahap melihat esensi dari masalah ini dan melihatnya dengan perspektif yang benar dan rasional. Aku telah mendengar suara Sang Pencipta dan memilih untuk memberitakan Injil serta melaksanakan tugasku agar lebih banyak orang menerima keselamatan dari Tuhan. Ini hal yang paling benar dan bermakna untuk dilakukan, dan itu adalah tanggung jawab dan misiku. Aku tidak boleh menghukum diriku sendiri karena tidak mampu berbakti kepada orang tuaku, terutama karena aku tidak sengaja mengabaikan tanggung jawabku sebagai anak atau tidak berbakti dalam kondisi di mana aku bisa memenuhi tanggung jawab ini. Setelah memahami hal ini, aku tidak lagi merasa bersalah atau menyesal. Aku menyadari bahwa hanya dengan memandang orang dan segala sesuatu menurut firman Tuhan, maka seseorang dapat menghindari bias dan kesalahan. Aku kini memahami baik tanggung jawab dan kewajibanku terhadap orang tuaku, maupun tanggung jawab dan misiku sebagai makhluk ciptaan, serta nilai dan makna sejati dari kehidupan manusia.
Setelah melalui pengalaman ini, aku merasa bahwa firman Tuhan benar-benar luar biasa. Firman Tuhanlah yang telah membimbingku keluar dari budaya tradisional, sehingga membiarkan hatiku merasa lega dan bebas. Sekarang, aku merasa jauh lebih tenang. Ketika aku memiliki waktu luang, aku mampu merenungkan lebih banyak firman Tuhan dan mengetahui kekuranganku, dan pikiranku lebih fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan tugasku.
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.
Setelah saling mengenal dan mencintai selama delapan tahun, saat aku dan suamiku hendak bertunangan, tiba-tiba aku terkena penyakit yang...
Oleh Saudari Xiaoxin, Jepang Pada tahun 2012, seluruh keluarga kami menerima pekerjaan akhir zaman Tuhan Yang Mahakuasa. Dari firman Tuhan,...
Oleh Saudari Niuniu, TiongkokOrang tuaku bercerai ketika aku masih cukup muda. Aku dan kakak perempuanku tinggal bersama ayah kami, dan...
Oleh Saudari Liu Hui, TiongkokPada akhir September 2022, suami Ming Hui membawanya pulang dari rumah tahanan. Ming Hui telah dua kali...