Setelah Pamanku Dikeluarkan

24 Oktober 2024

Pamanku adalah seorang dokter pengobatan tradisional Tiongkok. Ketika usiaku sepuluh tahun, aku mengalami kecelakaan hingga tidak bisa berhenti muntah darah, dan pamankulah yang menyelamatkanku di saat kritis tersebut. Aku selalu mengingat kebaikan hati yang telah menyelamatkan hidupku ini, dan aku berpikir bahwa aku harus membalas kebaikan pamanku dengan baik setelah aku dewasa. Pada tahun 2008, ayahku meninggal dunia karena sakit. Saat seluruh keluarga kami sedang berdukacita, pamanku menyebarkan Injil Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman kepada kami. Ini tidak hanya memberi kami sesuatu yang dapat diandalkan, tetapi juga kesempatan untuk mengejar kebenaran dan memperoleh keselamatan, membuatku makin berterima kasih kepada pamanku. Karena ayahku sudah meninggal, ibuku kesulitan membiayai pendidikan kami bertiga. Pamanku kemudian membawaku ke rumahnya, di mana aku bisa percaya kepada Tuhan sekaligus belajar pengobatan dengannya. Aku tinggal dan makan di tempatnya. Kesehatanku tidak begitu baik, dan pamanku sering menyiapkan makanan yang bergizi untukku. Dia memperlakukanku seperti putrinya sendiri, jadi aku sangat berterima kasih kepadanya dan berpikir bahwa jika dia mengalami kesulitan di masa mendatang, selama aku mampu, aku akan melakukan yang terbaik untuk membantunya.

Pada tahun 2011, gereja menetapkan pamanku sebagai orang jahat. Dia congkak, sombong, menimbulkan masalah yang tidak masuk akal, dan sama sekali tidak menerima kebenaran. Dia menyiksa orang-orang yang memberinya saran dan sering menghakimi, menyerang, serta mengutuk para pemimpin dan pekerja. Dia memicu konflik di antara saudara-saudari dan para pemimpin, yang menyebabkan gangguan serius pada kehidupan bergereja dan pekerjaan gereja. Saudara-saudari begitu tertekan olehnya sehingga tidak berani berinteraksi dengannya, dan dia tidak mau bertobat meskipun telah berulang kali bersekutu. Gereja memutuskan untuk mengeluarkannya. Saat itu, pemimpin gereja bertanya apakah aku setuju menandatangani surat pengeluarannya, dan aku benar-benar merasa bimbang. Perilaku pamanku sangat terlihat jelas; bahkan aku pun meneteskan air mata karena penghinaan dan serangannya. Namun aku berpikir, "Jika aku menandatangani surat itu dan dia mengetahuinya, apa yang akan dia pikirkan tentangku? Pamanku telah menyelamatkan hidupku ketika aku masih kecil, menyebarkan Injil kepada kami, dan mengajariku tentang pengobatan. Dia baik kepadaku dalam begitu banyak hal, dan jika aku menandatanganinya, bukankah dia akan mengatakan bahwa aku tidak berperasaan dan tidak tahu berterima kasih?" Namun saat itu, pemimpin membaca suatu bagian dari firman Tuhan yang benar-benar menyentuhku. Tuhan berfirman: "Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, dan bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya; orang-orang ini jugalah yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut untuk manusia lakukan. ... Selama Zaman Kasih Karunia, Tuhan Yesus berkata, 'Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara laki-laki-Ku?' 'Karena siapa saja yang mengikuti kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki, dan saudara-Ku perempuan, dan ibu-Ku.' Perkataan ini sudah ada sejak Zaman Kasih Karunia dan sekarang firman Tuhan bahkan lebih jelas: 'Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, dan bencilah apa yang Tuhan benci.' Firman ini sangat jelas maknanya, tetapi orang sering kali tidak mampu memahami makna yang sesungguhnya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Setelah membaca firman Tuhan, aku merasa agak bersalah. Pamanku jelas-jelas berperilaku seperti orang jahat, tetapi aku tetap tidak mau menandatanganinya. Bukankah itu berarti aku menoleransi gangguan dan kekacauan yang terus-menerus dilakukannya di gereja? Aku tidak boleh bertindak berdasarkan kasih sayang, tetapi aku harus bertindak berdasarkan firman Tuhan, "Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, dan bencilah apa yang Tuhan benci." Lalu, aku menandatanganinya.

Pada tahun 2012, keputusan pengeluaran pamanku pun tiba, dan aku selalu takut menghadapinya. Belakangan, ketika pamanku tahu bahwa aku telah menandatangani surat tersebut, dia memarahiku karena kurang bijaksana dan menyebutku orang bodoh! Saat mendengar ucapannya itu, aku tahu bahwa dia sama sekali tidak merenungkan atau memahami perbuatan jahatnya, tetapi aku masih bertanya-tanya apakah aku terlalu tidak berperasaan dan tidak tahu berterima kasih kepadanya karena telah menandatangani surat tersebut. Belakangan, karena keperluan tugasku, aku meninggalkan rumah pamanku. Walaupun aku tidak perlu lagi berhadapan dengan pamanku, kata-kata omelannya masih membekas dalam pikiranku. Terutama kemudian, terjadi sesuatu yang membuatku merasa makin berutang budi kepada pamanku, dan akhirnya aku melakukan sesuatu yang menentang Tuhan.

Menjelang akhir tahun 2016, ketika sedang melaksanakan tugasku jauh dari rumah, aku dikirim ke rumah sakit oleh saudara-saudari karena menderita pneumonia berat dan efusi pleura. Pamanku bergegas ke rumah sakit dan merawatku tanpa lelah, menghabiskan uang dan juga tenaga. Tekanan darahku sangat rendah, dan dia melakukan perawatan akupresur padaku. Setelah aku keluar dari rumah sakit, dia bahkan menyiapkan obat-obatan tradisional Tiongkok untuk membantuku pulih. Melihat bahwa dia masih bersikap baik kepadaku meskipun aku telah menandatangani surat pengeluarannya, rasa bersalah yang kurasakan terhadapnya menjadi makin kuat. Selama masa ini, pamanku menceritakan kepadaku bagaimana dia terus menyebarkan Injil selama beberapa tahun terakhir bahkan setelah dikeluarkan, membawa beberapa orang kepada Tuhan. Dia bahkan pernah ditangkap oleh PKT karena menyebarkan Injil, rumahnya juga digeledah, harta bendanya disita, dan apoteknya ditutup. Dia kehilangan lebih dari 100.000 yuan. Meskipun mengalami penganiayaan oleh naga merah yang sangat besar, dia tidak mengungkapkan di mana buku-buku firman Tuhan disimpan. Namun, ketika PKT memintanya mengidentifikasi foto-foto saudara-saudari, dia mengakui bahwa salah satu saudari tersebut adalah seorang pemimpin. Saudari itu adalah pemimpin yang telah mengeluarkannya beberapa tahun yang lalu. Setelah menceritakan semua ini kepadaku, dia mencelaku karena tidak memiliki hati nurani, mengatakan bahwa dia menganggapku sebagai putrinya sendiri dan menyayangiku seperti seorang ayah, tetapi pada akhirnya, aku tidak menunjukkan perasaan manusiawi dan bertindak seperti binatang berdarah dingin. Mendengar dia berbicara tentang hal-hal ini, aku merasa berutang budi dan juga bersimpati kepadanya. Selama waktu itu, kebetulan aku mendengar para pemimpin tingkat atas berkata bahwa jika mereka yang telah dikeluarkan menunjukkan pertobatan dan terus percaya kepada Tuhan serta menyebarkan Injil, mereka dapat diterima kembali ke dalam gereja. Ini membuatku teringat akan pamanku. Kupikir meskipun dia telah dikeluarkan, dia telah menyebarkan Injil selama beberapa tahun terakhir. Ketika ditangkap dan diinterogasi oleh PKT, dia tetap tidak menyangkal Tuhan. Dengan demikian, bukankah memungkinkan bagi pamanku untuk diterima kembali di gereja? Bahkan jika dia hanya menyebarkan Injil dan berjerih payah untuk menebus kesalahannya di masa lalu, itu tidak masalah. Setelah itu, jika orang lain lebih banyak mempersekutukan firman Tuhan dengannya, bukankah perlahan-lahan dia bisa mulai merenungkan kejahatan yang telah dilakukannya dan mencapai pertobatan serta perubahan? Jika aku dapat membuatnya diterima kembali di gereja, bukankah dia akan melihat bahwa aku memiliki sedikit hati nurani dan aku bukanlah orang yang tak tahu berterima kasih? Ketika pikiran ini terlintas di benakku, aku merasa seolah-olah telah menemukan kesempatan untuk menebus kesalahan dan membalas kebaikannya. Jadi aku menulis surat kepada pemimpin itu, melaporkan perilaku baik pamanku. Namun, mengenai tindakannya yang mengidentifikasi foto pemimpin gereja itu kepada naga merah yang sangat besar, dan omelan serta ceramahnya di hadapanku, aku melewatkan semua itu. Kemudian, para pemimpin mengatur agar seseorang menemuinya untuk mengetahui apakah dia memenuhi kriteria untuk diterima atau tidak. Beberapa hari kemudian, seorang saudari memberitahuku, "Ketika kami menemui pamanmu dan bertanya tentang bagaimana dia merenungkan diri dan mencoba mengenali dirinya sendiri, dia menjadi jengkel dan berkata, 'Kalian datang ke sini bukan untuk menyelidiki fakta-fakta sama sekali. Kalian dan para pemimpin hanya saling melindungi; kalian semua terlibat dalam hal ini bersama-sama. ...' Dia tampak seperti hendak memukul kami, dan bibimulah yang terus mencegahnya dan menahannya. Kemudian, dia mulai melambaikan tangannya dan mengoceh dengan keras tentang masa lalu, mencari-cari kesalahan dan tidak mau menyerah, menyerang dan menghakimi para pemimpin. Kami telah melihat bahwa dia sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang dirinya sendiri dan tidak layak untuk diterima." Kemudian saudari itu juga bersekutu denganku tentang cara mengenali dan memahami esensi pamanku yang sesungguhnya, dan menanyakan bagaimana pemahamanku akan masalah itu. Menghadapi perilaku pamanku, tidak ada yang dapat kukatakan; dia memang tidak layak untuk diterima.

Belakangan, aku mencari firman Tuhan yang relevan dengan masalahku. Aku membaca firman Tuhan ini: "Semua orang yang telah dirusak oleh Iblis memiliki watak yang rusak. Beberapa orang semata-mata memiliki watak yang rusak, sementara beberapa orang lainnya berbeda: mereka tidak saja memiliki watak Iblis yang rusak, tetapi natur mereka juga luar biasa jahat. Bukan saja perkataan dan perbuatan mereka menyingkapkan watak rusak Iblis dalam diri mereka; lebih dari itu, orang-orang ini adalah Iblis-Iblis dan setan-setan yang asli" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Peringatan Bagi Orang yang Tidak Melakukan Kebenaran"). "Siapakah Iblis, siapakah setan-setan, dan siapakah musuh Tuhan kalau bukan para penentang yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukankah mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap Tuhan? Bukankah mereka adalah orang-orang yang mengaku beriman, tetapi tidak memiliki kebenaran? Bukankah mereka adalah orang-orang yang hanya berupaya untuk memperoleh berkat tetapi tidak mampu menjadi kesaksian bagi Tuhan? Engkau masih bergaul dengan setan-setan itu sekarang dan memperlakukan mereka hati nurani dan kasih, tetapi dalam hal ini, bukankah engkau sedang menawarkan niat baikmu kepada Iblis? Bukankah engkau sedang bersekutu dengan setan-setan? Jika orang telah berhasil mencapai titik ini dan masih tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, dan terus secara membabi buta menjadi penuh kasih dan belas kasihan tanpa hasrat untuk mencari maksud Tuhan atau mampu dengan cara apa pun menganggap maksud-maksud Tuhan sebagai milik mereka, maka akhir hidup mereka akan menjadi lebih buruk. Siapa pun yang tidak percaya kepada Tuhan dalam daging adalah musuh Tuhan. Jika engkau sampai bisa memiliki hati nurani dan kasih terhadap musuh, bukankah itu berarti engkau tidak memiliki rasa keadilan? Jika engkau sesuai dengan mereka yang Kubenci dan yang dengannya Aku tidak sependapat, dan tetap memiliki kasih dan perasaan pribadi terhadap mereka, bukankah itu berarti engkau memberontak? Bukankah engkau sedang dengan sengaja menentang Tuhan? Apakah orang semacam itu memiliki kebenaran? Jika orang memiliki hati nurani terhadap musuh, kasih kepada setan-setan, dan belas kasihan kepada Iblis, bukankah itu berarti mereka dengan sengaja mengganggu pekerjaan Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Firman Tuhan membuatku merasa sangat dihakimi. Pamanku sudah dikeluarkan selama beberapa tahun. Jika dia memiliki sedikit hati nurani atau nalar, setelah melakukan begitu banyak hal yang merugikan orang lain, mengganggu dan mengacaukan kehidupan bergereja, serta menentang Tuhan, dia pasti akan merasa bersalah. Dia pasti akan merenungkan dirinya, merasa menyesal, dan bertobat. Terutama, aku dan saudara-saudari telah bersekutu dengannya serta menunjukkan masalahnya selama waktu ini, tetapi dia tetap tidak memiliki pemahaman diri sama sekali, bahkan membenciku selama beberapa tahun terakhir, terlebih lagi membenci pemimpinnya. Dia percaya bahwa pengeluarannya semata-mata disebabkan oleh orang lain, menyimpan kebencian terhadap pemimpin yang telah mengeluarkannya dan bahkan mengidentifikasi foto pemimpin itu kepada naga merah yang sangat besar. Setelah itu, dia terus menyebarkan prasangkanya terhadap pemimpin itu, mengutuknya sebagai pemimpin palsu dan antikristus. Jelas bahwa dia memiliki esensi orang jahat, naturnya muak serta membenci kebenaran, dan dia tidak akan pernah bertobat dan berubah. Menghadapi orang yang sangat jahat seperti itu, aku terus mementingkan memiliki hati nurani dan membalas kebaikannya, bahkan membelanya dan berbicara baik tentangnya, berharap dia akan diterima kembali di gereja. Aku benar-benar buta dan bodoh, tidak mampu membedakan yang baik dari yang jahat. Bukankah itu artinya aku mencoba untuk menjilat Iblis, berpihak pada orang jahat dan menentang Tuhan?

Belakangan, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan dan memperoleh sedikit pemahaman tentang watak benar Tuhan. Kemudian aku merasa makin yakin bahwa pamanku tidak boleh diterima kembali di gereja. Tuhan berfirman: "Aku tidak peduli seberapa baik kerja kerasmu, seberapa mengesankan kualifikasimu, seberapa dekat engkau mengikuti Aku, seberapa terkenalnya engkau, atau seberapa banyak engkau telah memperbaiki sikapmu; selama engkau belum memenuhi tuntutan-Ku, engkau tidak akan pernah bisa mendapatkan pujian-Ku. Hapus semua gagasan dan perhitunganmu secepat mungkin, dan mulailah memperlakukan tuntutan-Ku dengan serius; jika tidak, Aku akan mengubah semua orang menjadi abu untuk mengakhiri pekerjaan-Ku, seburuk-buruknya, itu membuat pekerjaan dan penderitaan-Ku selama bertahun-tahun menjadi sia-sia, karena Aku tidak bisa membawa musuh-musuh-Ku dan orang yang berbau kejahatan dan berpenampilan seperti Iblis untuk masuk ke dalam kerajaan-Ku, ataupun membawa mereka ke zaman berikutnya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pelanggaran akan Menuntun Manusia ke Neraka"). Setelah membaca firman Tuhan, aku dapat merasakan watak Tuhan yang kudus, benar, serta tidak dapat disinggung, dan juga memahami prinsip-prinsip yang Tuhan miliki dalam memperlakukan manusia. Ketika aku mendengar para pemimpin tingkat atas mengatakan bahwa jika mereka yang telah dikeluarkan terus percaya kepada Tuhan, terus menyebarkan Injil, dan menunjukkan pertobatan, mereka dapat diterima kembali ke dalam gereja, aku membandingkannya dengan perilaku lahiriah pamanku. Karena dia terus menyebarkan Injil setelah dikeluarkan dan tidak menyangkal Tuhan saat ditangkap dan dianiaya oleh naga merah yang sangat besar, kupikir dia masih bisa diterima meskipun dia tidak merenungkan diri dan tidak memiliki pemahaman akan dirinya sendiri. Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa Tuhan memiliki standar untuk mengukur orang, dan gereja juga memiliki prinsip untuk menerima orang. Khususnya bagi mereka yang pernah dikeluarkan karena melakukan kejahatan, sangat penting untuk mengevaluasi apakah mereka benar-benar telah memahami perbuatan jahat mereka dan bertobat serta berubah. Jika belum, mereka tidak akan pernah dapat diterima kembali di gereja. Setelah pamanku dikeluarkan, meskipun dia terus menyebarkan Injil, menunjukkan beberapa perilaku baik, dia sama sekali tidak merenungkan atau memahami perbuatan jahatnya di masa lalu atau naturnya yang rusak. Tidak peduli bagaimana orang lain bersekutu dengannya dan menunjukkan masalahnya atau memangkas dan menyingkapkannya, dia tidak menyadari apa pun, bahkan memusuhi siapa pun yang mendorongnya untuk merenungkan diri, menyebarkan prasangka terhadap para pemimpin, menyesatkan orang, dan mengganggu serta mengacaukan kehidupan bergereja. Mengenai pelaku kejahatan dan setan yang begitu nyata, Tuhan berfirman: "Karena Aku tidak bisa membawa musuh-musuh-Ku dan orang yang berbau kejahatan dan berpenampilan seperti Iblis untuk masuk ke dalam kerajaan-Ku, ataupun membawa mereka ke zaman berikutnya." Namun, aku tetap membelanya, ingin agar dia diterima kembali di gereja. Bukankah itu artinya aku menentang Tuhan? Setelah menyadari hal ini, aku makin merasa bahwa aku tidak memahami kebenaran dan sangat tidak mengerti serta bodoh!

Belakangan, karena aku masih perlu memulihkan diri dari penyakitku, aku sering berinteraksi dengan pamanku. Perilakunya menjadi makin buruk; dia tidak hanya menghakimi para pemimpin, tetapi juga berbicara dengan congkak dan menghakimi orang yang dipakai oleh Roh Kudus. Hal ini membuatku memahami dengan lebih jelas esensinya yang membenci kebenaran dan menjadi musuh Tuhan. Aku juga merasa bersalah dan menyesal karena pernah membelanya. Aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Mengapa aku selalu ingin membalas kebaikan orang yang benar-benar jahat seperti itu?" Aku tidak pernah dapat menemukan alasannya sampai aku membaca suatu bagian firman Tuhan belakangan dan menemukan akar penyebab masalahnya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Pernyataan tentang perilaku moral seperti 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur' tidak memberi tahu orang apa sebenarnya tanggung jawab mereka di tengah masyarakat dan di antara umat manusia. Sebaliknya, pernyataan itu adalah cara mengikat atau memaksa orang untuk bertindak dan berpikir dengan cara tertentu, tanpa memedulikan apakah mereka ingin melakukannya atau tidak, dan tanpa memedulikan keadaan atau konteks ketika tindakan kebaikan tersebut dilakukan terhadap kepada mereka. Ada banyak contoh di Tiongkok kuno tentang kebaikan yang dibalas. Sebagai contoh, seorang pengemis kecil yang kelaparan dipelihara oleh sebuah keluarga yang memberinya makan, pakaian, melatihnya dalam seni bela diri, dan mengajarinya segala macam pengetahuan. Mereka menunggu sampai anak laki-laki itu tumbuh dewasa, dan kemudian mulai menggunakannya sebagai sumber penghasilan, mengutusnya untuk melakukan kejahatan, membunuh orang, melakukan hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Jika engkau melihat kisah hidupnya berdasarkan semua bantuan yang dia terima, maka dirinya diselamatkan adalah hal yang baik. Namun, jika engkau mempertimbangkan apa yang terpaksa dilakukannya di kemudian hari, apakah diselamatkan sebenarnya hal yang baik atau buruk? (Buruk.) Namun, di bawah tuntutan budaya tradisional seperti 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur', orang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Di luarnya, kelihatannya anak itu tak punya pilihan selain melakukan hal-hal jahat dan menyakiti orang, menjadi pembunuh—hal-hal yang tidak ingin dilakukan kebanyakan orang. Namun, bukankah fakta bahwa dia melakukan hal-hal buruk ini dan membunuh atas perintah tuannya, berasal dari keinginan di lubuk hatinya untuk membalas kebaikan tuannya? Terutama karena tuntutan budaya tradisional Tiongkok, seperti 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur', orang mau tak mau dipengaruhi dan dikendalikan oleh gagasan-gagasan ini. Cara mereka bertindak, dan niat serta motivasi di balik tindakan ini tentunya dikendalikan oleh semua gagasan ini. Ketika anak itu ditempatkan dalam situasi itu, apa yang pertama kali dia pikirkan? 'Aku telah diselamatkan oleh keluarga ini, dan mereka telah bersikap baik kepadaku. Aku tak boleh melupakan kebaikan mereka, aku harus membalas kebaikan mereka. Aku berutang hidupku kepada mereka, jadi aku harus membaktikan hidupku untuk mereka. Aku harus melakukan apa pun yang mereka minta dariku, sekalipun itu berarti melakukan kejahatan dan membunuh orang. Aku tak boleh mempertimbangkan apakah itu benar atau salah, aku hanya harus membalas kebaikan mereka. Apakah aku masih layak disebut manusia jika aku tidak membalas kebaikan mereka?' Akibatnya, setiap kali keluarganya ingin dia membunuh seseorang atau melakukan sesuatu yang buruk, dia melakukannya tanpa ragu-ragu ataupun keberatan. Jadi, bukankah perilaku, tindakan, dan ketaatannya yang tak perlu dipertanyakan lagi, semuanya dikendalikan oleh gagasan dan pandangan bahwa 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur'? Bukankah dia sedang memenuhi standar perilaku moral tersebut? (Ya.) Apa yang bisa kaupahami dari contoh ini? Apakah pepatah 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur' adalah hal yang baik, atau tidak? (Tidak, tidak ada prinsip di dalamnya.) Sebenarnya, orang yang membalas kebaikan memang punya prinsip. Yakni, bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur. Jika seseorang melakukan kebaikan kepadamu, engkau harus membalasnya. Jika engkau tidak membalasnya, berarti engkau bukan manusia dan tidak ada yang dapat kaukatakan jika engkau dikutuk karenanya. Pepatah yang berbunyi: 'Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan', tetapi dalam kasus ini, anak laki-laki itu bukan menerima tindakan kebaikan yang sedikit, melainkan kebaikan yang menyelamatkan nyawa, jadi sangat beralasan baginya untuk membalas kebaikan itu dengan nyawanya. Dia tidak tahu apa batasan atau prinsip membalas kebaikan. Dia percaya bahwa hidupnya telah diberikan kepadanya oleh keluarga itu, jadi dia harus mengabdikan hidupnya kepada mereka sebagai balasannya, dan melakukan apa pun yang mereka minta darinya, termasuk membunuh atau perbuatan jahat lainnya. Cara membalas kebaikan ini tidak memiliki prinsip atau batasan. Dia melayani sebagai kaki tangan para pelaku kejahatan dan menghancurkan dirinya sendiri selama prosesnya. Apakah benar baginya untuk membalas kebaikan dengan cara ini? Tentu saja tidak. Itu adalah cara bertindak yang bodoh" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa aku selalu merasa berutang budi dan bersalah terhadap pamanku dan ingin menebus kesalahan serta membalas kebaikannya. Hal ini terutama karena aku telah terikat dan terkekang oleh pemikiran moral "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur," dan "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan". Aku percaya bahwa jika seseorang telah membantuku ketika aku sangat membutuhkannya atau menyelamatkan hidupku di saat genting, aku harus mengingat kebaikan ini selamanya dan membalasnya dengan baik di kemudian hari. Hanya dengan melakukan inilah aku dapat memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Jika aku tidak tahu cara membalas kebaikan, itu berarti aku adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan tidak memiliki rasa kemanusiaan, lantas aku akan dibenci, ditolak, dan disebut sebagai orang yang tak tahu berterima kasih. Contohnya adalah ibuku. Dia memiliki empat saudara kandung, dan di masa lalu, keluarganya mengalami kesulitan finansial. Demi membiayai pendidikan paman tertuaku, paman bungsu dan ibuku merelakan kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya, paman tertuaku mendapatkan pekerjaan tetap, dan keluargaku awalnya berharap bahwa dia akan membantu membiayai saudara-saudarinya. Namun, dia bukan hanya tidak membantu saudara-saudarinya, melainkan bahkan juga tidak menafkahi ibunya sendiri. Semua kerabat dan teman kami menyebutnya tidak tahu berterima kasih, dan dia menjadi seseorang yang dibenci dan ditolak oleh semua orang. Sementara itu, paman bungsuku itulah yang paling banyak mengeluarkan uang untuk saudara-saudari dan orang tuanya. Ketika paman tertuaku tidak menafkahi nenekku, dia sendiri yang memikul tanggung jawab itu, dan dengan demikian, dia adalah orang yang paling terpuji dan terhormat di mata semua orang. Tumbuh dalam lingkungan seperti itu, aku merasa bahwa kelak aku harus menjadi orang yang memiliki hati nurani, seseorang yang tahu membalas kebaikan. Karena pengaruh pemikiran seperti itu, ketika tertimpa masalah, aku tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah atau mengetahui seperti apa sebenarnya orang yang sedang kubalas kebaikannya, dan aku tidak peduli apakah tindakanku sejalan dengan prinsip-prinsip kebenaran atau tidak. Selama seseorang telah menunjukkan kebaikan kepadaku, aku merasa ingin mengingat dan membalas budinya. Sama seperti sikapku terhadap pamanku, ketika tiba saatnya bagiku untuk menandatangani surat pengeluarannya, karena dia telah menyelamatkan hidupku, menyebarkan Injil Tuhan pada akhir zaman kepada kami, dan memperlakukanku seperti anaknya sendiri, kebaikan ini membuatku sulit untuk menandatanganinya. Aku takut bahwa dengan melakukan hal itu, aku akan menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih dan tidak punya hati nurani. Meskipun akhirnya aku menandatangani surat itu, hati nuraniku tidak bisa melupakannya begitu saja, dan aku merasa berutang budi kepadanya. Selain itu, ketika aku jatuh sakit saat sedang melaksanakan tugas di luar rumah, pamanku bergegas datang dan menghabiskan banyak uang dan mengerahkan tenaga untuk merawatku, dan itu membuatku merasa makin bersalah. Jadi, setelah aku mendengar para pemimpin tingkat atas bersekutu tentang prinsip-prinsip menerima orang, aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas kebaikan pamanku. Alhasil, meskipun jelas bahwa pamanku tidak merenungkan atau memahami kejahatan yang telah dilakukannya selama beberapa tahun terakhir, dan bahkan memendam kebencian atas pengeluarannya dan mengidentifikasi pemimpin gereja yang telah mengeluarkannya kepada naga merah yang sangat besar, karena aku dikendalikan oleh pemikiran "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", aku mengatakan hal-hal yang baik tentang dia di depan para pemimpin, menutupi dan menyembunyikan perilaku buruknya dengan harapan bahwa dia akan diterima kembali di gereja, sehingga aku dapat membayar utang budiku. Aku menyadari bahwa pemikiran tradisional "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" telah mengekangku, membuatku tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Pemikiran itu membuatku bertindak tanpa prinsip atau dasar moral apa pun. Sekarang, inilah saatnya menyucikan gereja dan mengeluarkan orang-orang jahat, antikristus, dan para pengikut yang bukan orang percaya. Jika aku masih fokus untuk memiliki hati nurani dan membalas kebaikan orang-orang jahat, ingin menerima mereka kembali ke dalam gereja, bukankah itu berarti aku menjadi kaki tangan para pelaku kejahatan dan menyebabkan gangguan serta kekacauan? Apa bedanya perilakuku dengan perilaku pengemis yang melakukan pembunuhan demi membalas kebaikan? Menyadari hal ini, aku memahami dengan jelas kekeliruan dan racun dari pemikiran moral tradisional "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur". Ini adalah kekeliruan yang benar-benar menyesatkan dan merusak.

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan. "Konsep budaya tradisional bahwa 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur' perlu dicermati. Bagian terpenting adalah kata 'kebaikan'—bagaimana seharusnya engkau memandang kebaikan? Aspek dan natur kebaikan apa yang dimaksud? Apa makna penting 'Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur'? Orang harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan dalam keadaan apa pun orang tidak boleh dibatasi oleh gagasan tentang membalas kebaikan ini—bagi siapa pun yang mengejar kebenaran, hal ini sangat penting. Apa arti 'kebaikan' menurut pemahaman manusia? Pada tingkat yang lebih kecil, kebaikan adalah seseorang membantumu saat engkau berada dalam masalah. Sebagai contoh, seseorang memberimu semangkuk nasi saat engkau sedang lapar, atau sebotol air saat engkau hampir mati kehausan, atau membantumu berdiri saat engkau jatuh dan tidak bisa berdiri. Semua ini adalah tindakan kebaikan. Perbuatan baik yang besar adalah ketika seseorang menyelamatkanmu saat engkau sedang berada dalam kesusahan besar—itu adalah kebaikan yang menyelamatkan nyawamu. Ketika engkau berada dalam bahaya yang mengancam nyawa dan seseorang membantumu terhindar dari kematian, orang itu pada dasarnya menyelamatkan nyawamu. Ini adalah beberapa hal yang orang anggap sebagai 'kebaikan'. Kebaikan semacam ini jauh melampaui kebaikan materi apa pun—ini adalah kebaikan besar yang tidak dapat diukur dengan uang atau hal-hal materi. Mereka yang menerimanya merasakan semacam rasa terima kasih yang tak mungkin dapat diungkapkan hanya dengan ucapan terima kasih. Namun, tepatkah bagi orang untuk mengukur kebaikan dengan cara seperti ini? (Tidak.) Mengapa menurutmu itu tidak tepat? (Karena pengukuran ini didasarkan pada standar budaya tradisional.) Ini adalah jawaban yang didasarkan pada teori dan doktrin, dan meskipun tampaknya benar, jawaban ini tidak sampai ke inti permasalahannya. Jadi, bagaimana orang bisa menjelaskan hal ini secara praktis? Pikirkan dengan saksama. Beberapa waktu lalu, Aku mendengar tentang video di Internet di mana seorang pria tanpa sadar menjatuhkan dompetnya. Dompet itu diambil oleh seekor anjing kecil yang mengejarnya, dan ketika pria itu melihat ini, dia memukuli anjing itu karena mencuri dompetnya. Tidak masuk akal, bukan? Pria itu memiliki moral yang lebih rendah daripada anjing itu! Tindakan anjing itu sepenuhnya sesuai dengan standar moralitas manusia. Seorang manusia pasti akan berteriak 'Kau menjatuhkan dompetmu!' Namun, karena anjing itu tidak bisa berbicara, dia hanya secara diam-diam mengambil dompet itu dan berlari mengejar pria itu. Jadi, jika seekor anjing mampu melakukan beberapa perilaku baik yang didorong oleh budaya tradisional, apa artinya ini bagi manusia? Manusia dilahirkan dengan hati nurani dan nalar, jadi mereka lebih mampu melakukan hal-hal ini. Asalkan seseorang memiliki perasaan hati nurani, dia mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban semacam ini. Tidak perlu bagimu untuk bekerja keras atau membayar harga, ini hanya membutuhkan sedikit upaya dan hanya merupakan hal melakukan sesuatu yang membantu, sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Namun, apakah natur dari tindakan ini benar-benar memenuhi syarat untuk disebut 'kebaikan'? Apakah tindakan ini naik ke tingkat perbuatan baik? (Tidak.) Karena tidak, apakah orang perlu berbicara tentang membalasnya? Tentu saja tidak perlu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)"). "Jika Tuhan ingin menyelamatkanmu, pelayanan siapa pun yang Dia pakai untuk mencapainya, engkau harus terlebih dahulu bersyukur kepada Tuhan dan menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan. Engkau tidak boleh memberikan rasa syukurmu hanya kepada manusia, apalagi mempersembahkan hidupmu kepada seseorang sebagai ucapan syukur. Ini adalah kesalahan besar. Yang terpenting adalah hatimu harus bersyukur kepada Tuhan, dan engkau menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memperoleh pemahaman dan definisi baru dari "kebaikan" yang dimaksud dalam ungkapan "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur". Dahulu aku berpikir bahwa jika seseorang telah membantuku atau bahkan menyelamatkan hidupku ketika aku menghadapi kesulitan atau bahaya atau ketika hidupku terancam, itulah kebaikan besar yang harus kuingat dan balas di kemudian hari. Sekarang, melalui firman Tuhan, aku menyadari bahwa semua ini tidak dapat disebut kebaikan; ini hanyalah naluri manusia, yang dapat dilakukan oleh siapa pun yang memiliki hati nurani. Mengenai pamanku, sebagai seorang dokter, menyelamatkan hidupku ketika dia melihatku berada dalam bahaya adalah hal yang sangat wajar dan merupakan tanggung jawabnya. Terlebih lagi, napasku ini berasal dari Tuhan, hidup dan matiku berada di bawah kedaulatan Tuhan. Aku masih hidup bukan hanya karena pamanku telah menyelamatkanku. Setelah ayahku meninggal, ketika ibuku berjuang memenuhi biaya yang besar karena memiliki banyak anak, pamanku menyuruhku belajar pengobatan dengannya dan mengizinkanku makan serta tinggal di tempatnya. Melihat bahwa kondisi kesehatanku tidak baik, dia memberiku makanan bergizi. Dia juga merawatku beberapa tahun kemudian ketika aku dirawat di rumah sakit. Semua ini adalah kedaulatan serta pengaturan Tuhan, dan aku harus menerima bahwa ini adalah dari Dia. Selain itu, pamanku juga menyebarkan Injil Tuhan pada akhir zaman kepada kami, dan itu juga merupakan kedaulatan serta pengaturan Tuhan. Aku harus bersyukur kepada Tuhan! Setelah menyadari hal ini, akhirnya aku terbebas dari rasa bersalah yang kurasakan terhadap pamanku.

Melalui pengalaman ini, aku jadi melihat dengan jelas kekeliruan pemikiran moral tradisional "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" dan bagaimana hal itu mengikat serta merugikan orang lain. Tanpa pengalaman ini, aku akan terus membalas kebaikan secara sembarangan tanpa prinsip atau dasar moral, bahkan menentang Tuhan tanpa menyadarinya. Firman Tuhan-lah yang membuatku menyadari hal ini. Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait