Setelah Putriku Tiba-Tiba Meninggal Dunia

31 Juli 2025

Sebelum menemukan Tuhan, tubuhku rusak parah karena persalinan yang sulit, dan anakku tidak selamat. Kemudian, aku menderita hipertiroidisme, penyakit jantung, dan saraf tulang belakang terjepit. Penyakit-penyakit ini menyiksaku sampai aku hanya tinggal kulit dan tulang, dan aku bahkan tidak punya tenaga untuk berjalan. Dokter berkata bahwa tubuhku terlalu lemah, dan bahkan jika dioperasi, aku tidak akan selamat. Suamiku juga menderita sakit punggung kronis dan tidak bisa melakukan pekerjaan berat, dan dia sering melampiaskan frustrasinya padaku dan mencari-cari kesalahanku. Tepat ketika aku merasa tidak ada harapan dalam hidup, pada tahun 2008, tetanggaku memberitakan Injil Tuhan di akhir zaman kepadaku. Ketika menyadari Juruselamat di akhir zaman telah mengungkapkan kebenaran untuk menyelamatkan umat manusia, aku sangat gembira. Dengan membaca firman Tuhan dan bersekutu dengan saudara-saudari, aku jadi mengerti bahwa nasib manusia ada di tangan Tuhan, dan bahwa setelah dirusak oleh Iblis, manusia kehilangan perlindungan Tuhan dan hidup dalam penderitaan. Hanya dengan datang ke hadapan Tuhan dan menyembah-Nya, serta memiliki firman-Nya untuk membimbing kita dalam segala hal, barulah kita bisa hidup dengan tenang. Setelah beberapa waktu, aku tidak lagi merasakan begitu banyak penderitaan di hatiku dan mulai melaksanakan tugasku di gereja. Tanpa diduga, dua benjolan hipertiroid seukuran telur di leherku menghilang, dan penyakit-penyakitku yang lain juga berangsur-angsur membaik. Sakit punggung suamiku hilang, dan dia bisa bekerja dan mencari uang. Kehidupan keluarga kami membaik dari hari ke hari. Terutama pada tahun usiaku beranjak 39, aku tiba-tiba hamil. Karena telah menerima kasih karunia dan berkat yang begitu besar dari Tuhan, aku terharu hingga menangis, dan aku terus bersyukur kepada Tuhan, dan bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan benar. Setelah itu, Dalam keadaan apa pun, aku selalu memimpin pertemuan kelompok kecil tepat waktu. Entah cuaca hujan atau cerah, aku selalu datang tepat waktu untuk memimpin kelompok pertemuan kecil. Bahkan saat hamil, aku hampir tidak pernah menunda tugasku. Setelah melahirkan putriku, aku menitipkannya dalam perawatan ibu mertuaku dan terus melaksanakan tugasku di gereja.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan tahun 2019, dan putriku berusia 8 tahun. Suatu sore di bulan Februari, aku pulang ke rumah setelah melaksanakan tugas dan melihat sebuah catatan yang ditinggalkan putriku. Catatan itu mengatakan dia sedang bermain di rumah teman sekelasnya, jadi aku pergi mencarinya. Tepat saat aku tiba, aku melihat putriku tersedak makanan. Matanya mendelik ke atas, dia nyaris tidak bisa menoleh untuk melirikku, tetapi dia tidak bisa berbicara. Tubuhnya tiba-tiba melorot ke bawah meja. Aku sangat takut saat melihatnya, dan bergegas membantunya bangkit dari lantai. Bibir dan wajahnya telah berubah menjadi ungu gelap, dan dia kesulitan bernapas. Tangan dan kakiku gemetar, dan aku terus berseru kepada Tuhan dalam hatiku, memohon agar Dia menyelamatkan putriku. Di rumah sakit, dokter menggunakan alat kejut jantung untuk memacu jantungnya, tetapi putriku tidak menunjukkan respons sama sekali, dan dokter berkata dia sudah meninggal dunia. Begitu mendengar dokter menyatakan putriku meninggal, aku merasa seolah-olah langit telah runtuh menimpaku. Air mata mengalir di wajahku, dan aku sama sekali tidak bisa percaya bahwa putriku telah tiada. Aku memohon dengan sangat kepada dokter untuk terus berusaha, aku juga terus memanggil nama putriku dan menekan titik di antara hidung serta bibirnya. Aku hanya ingin dia bangun, tetapi dia tetap tidak sadarkan diri. Seluruh tubuhku gemetar, dan hatiku sakit luar biasa, seolah-olah diiris oleh pisau. Aku ingin menangis meraung-raung tetapi aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suara. Aku berpikir dalam hati, "Aku baru memilikinya di usia paruh baya, dan dia lahir prematur serta begitu rapuh. Sangat sulit untuk membesarkannya, dan dialah satu-satunya harapan bagiku dan suamiku! Mengapa Tuhan tidak melindungi putriku, mengingat betapa aktifnya aku telah melaksanakan tugasku? Bagaimana kemalangan seperti ini bisa menimpaku?" Makin aku memikirkannya, makin terasa menyakitkan. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, meminta-Nya untuk menjaga hatiku agar tidak menyimpang dari-Nya. Namun ketika aku kembali ke rumah dan melihat pakaian putriku, air mata membanjiri wajahku, dan aku berpikir, "Dia begitu pintar dan anak yang baik; bagaimana mungkin dia meninggal di usia begitu muda? Jika saja aku pulang lebih awal, dan dia tidak pergi ke rumah teman sekelasnya untuk makan, mungkin ini tidak akan terjadi. Dengan kepergiannya, apa gunanya aku hidup? Sebaiknya aku mati saja!" Aku melewati beberapa hari berikutnya dalam keadaan linglung. Aku nyaris tidak bisa membuka mata, tidak bisa makan, bahkan juga minum. Aku merasa seperti akan mati. Aku tenggelam dalam penderitaan. Saat itu, aku adalah seorang pemimpin gereja, tetapi aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada tugasku. Aku menyadari ada yang salah dengan keadaanku—aku bersikap negatif dan merasa menentang Tuhan. Aku tidak bisa terus-menerus begitu putus asa. Aku terus berseru kepada Tuhan, memohon agar Dia menjaga hatiku tetap dekat dengan-Nya. Pada saat itu, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan yang sering kami nyanyikan di pertemuan. "Yang Tuhan Sempurnakan adalah Iman." "Dalam pekerjaan pada akhir zaman ini, iman dan kasih yang terbesar dituntut dari kita, dan kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil, karena tahap pekerjaan ini berbeda dari semua pekerjaan sebelumnya: yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman orang-orang, yang tidak dapat dilihat dan diraba. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan menjadi hidup" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (8)"). Aku menyanyikan lagu itu sementara air mata mengalir di wajahku. Pekerjaan Tuhan di akhir zaman adalah untuk menyempurnakan orang melalui penghakiman, hajaran, ujian, dan pemurnian. Orang perlu memiliki iman besar. Kematian putriku tidak sejalan dengan gagasanku, tetapi itu seizin Tuhan, dan aku harus tunduk. Aku tidak boleh salah memahami atau mengeluh tentang Tuhan. Aku harus beriman kepada-Nya. Dengan bimbingan firman Tuhan, keadaanku membaik. Ketika mengingat peranku sebagai pemimpin gereja dan tugas-tugas gerejaku, aku pun pergi melaksanakan tugasku.

Pada hari keempat setelah kematian putriku, dalam perjalanan pulang dari tugasku, aku mendengar tiga atau empat orang di desa membicarakanku. Mereka berkata, "Dia percaya Tuhan, tetapi anaknya tetap meninggal—mengapa Tuhan tidak melindungi putrinya?" Ketika mendengar mereka mengejekku dan menunjuk-nunjuk di belakangku, aku mengembangkan gagasan tentang Tuhan di dalam hatiku: Aku dengan tulus percaya kepada Tuhan, dan apa pun tugas yang gereja atur untukku, dan entah seberapa keras atau sulit pekerjaan itu, aku selalu melaksanakannya secara aktif dan tidak pernah menunda tugasku. Bahkan ketika kerabat serta teman-temanku menghakimi dan memfitnahku, juga suamiku menghalangiku, aku tidak pernah mundur dan terus bertahan dalam tugasku. Aku telah meninggalkan dan mengorbankan begitu banyak dalam tahun-tahun imanku, jadi kurasa Tuhan seharusnya melindungi keluargaku dan menjaga keselamatan kami. Bagaimana mungkin hal seperti itu masih terjadi? Aku punya anak di usia yang begitu lanjut—mengapa Tuhan mengambilnya? Jika saja aku di rumah sore itu, mungkin ini tidak akan terjadi, dan putriku tidak akan meninggal. Ketika memikirkan ini, aku menyesal telah pergi melaksanakan tugasku hari itu. Ketika aku berpikir seperti ini, keadaanku menjadi sangat negatif, dan hatiku dipenuhi kegelapan dan penderitaan. Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, putriku telah meninggal, dan orang-orang di sekitarku mengejek dan memfitnahku. Aku memiliki kesalahpahaman dan keluhan di dalam hatiku dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Ya Tuhan, aku tidak mengerti maksud-Mu, dan aku tidak ingin terus memberontak seperti ini. Mohon tuntunlah aku untuk memetik pelajaran dari hal ini." Setelah berdoa, aku membaca sebuah lagu pujian firman Tuhan:

Berusahalah Mengasihi Tuhan Tidak Peduli Seberapa Besar Penderitaanmu

Engkau harus tahu betapa berharganya pekerjaan Tuhan sekarang ini.

1  Sekarang ini, sebagian besar orang tidak memiliki pengetahuan itu. Mereka percaya bahwa penderitaan itu tidak ada nilainya, bahwa mereka dikucilkan oleh dunia, kehidupan rumah tangga mereka bermasalah, Tuhan tidak berkenan akan mereka, dan prospek mereka suram. Ada orang-orang yang menderita hingga taraf tertentu, yang bahkan ingin mati. Ini bukanlah kasih sejati kepada Tuhan; orang-orang seperti itu adalah pengecut, mereka tidak memiliki ketabahan, mereka lemah dan tidak kompeten! Tuhan benar-benar ingin manusia mengasihi-Nya, tetapi makin manusia mengasihi-Nya, makin besar penderitaan manusia, dan makin manusia mengasihi-Nya, makin besar ujiannya. Jika engkau mengasihi-Nya, semua jenis penderitaan akan menimpamu—dan jika engkau tidak mengasihi-Nya, mungkin segala sesuatu akan berjalan dengan lancar bagimu, dan semuanya akan damai di sekelilingmu.

2  Ketika engkau mengasihi Tuhan, engkau akan selalu merasa bahwa banyak hal di sekitarmu tidak mampu kauatasi, dan karena tingkat pertumbuhanmu terlalu kecil, engkau akan dimurnikan; selain itu, engkau tidak akan mampu memuaskan Tuhan, dan akan selalu merasa bahwa maksud Tuhan itu terlalu tinggi, jauh dari jangkauan manusia. Karena semua ini, engkau akan dimurnikan—karena ada banyak kelemahan di dalam dirimu, dan karena banyak hal tidak mampu memuaskan maksud Tuhan, engkau akan dimurnikan di dalam dirimu. Namun engkau harus melihat dengan jelas bahwa penyucian hanya bisa dicapai melalui pemurnian. Maka, selama akhir zaman ini engkau semua harus memberi kesaksian bagi Tuhan. Seberat apa pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau tetap harus setia kepada Tuhan dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema.

—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"

Aku juga teringat bagian lain dari firman Tuhan: "Sementara mengalami ujian, normal bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang maksud Tuhan atau jalan penerapan. Namun secara keseluruhan, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, tidak menyangkal Tuhan. Walaupun Ayub lemah dan mengutuki hari kelahirannya sendiri, dia tidak menyangkal bahwa segala sesuatu yang manusia miliki setelah mereka lahir dikaruniakan oleh Yahweh dan Yahweh jugalah yang mengambil semua itu. Apa pun ujian yang dihadapinya, dia tetap mempertahankan keyakinannya ini. Dalam pengalaman manusia, apa pun pemurnian yang mereka alami melalui firman Tuhan, secara umum, yang Tuhan kehendaki adalah iman mereka dan hati yang mengasihi Tuhan. Yang Dia sempurnakan dengan bekerja dengan cara ini adalah iman, kasih dan tekad manusia" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku mengerti bahwa Tuhan menyempurnakan iman dan kasih manusia melalui penderitaan dan pemurnian. Aku teringat Ayub. Saat Iblis mencoba mencobainya, kesepuluh anaknya meninggal, dan dalam semalam, semua hartanya diambil darinya. Bahkan dalam penderitaan yang begitu besar, Ayub tidak mengeluh terhadap Tuhan, dan dia lebih memilih mengutuk hari kelahirannya daripada menyangkal Tuhan. Tidak peduli bagaimana Tuhan memperlakukannya—entah memberi atau mengambil—dia tidak pernah mengucapkan satu keluhan pun, dan sebaliknya bersyukur kepada Tuhan, mengatakan bahwa nama Tuhan harus dipuji. Ayub memiliki iman yang sejati kepada Tuhan dan memberi kesaksian bagi-Nya di hadapan Iblis. Namun ketika putriku meninggal dan orang-orang di sekitarku mengejek dan memfitnahku, aku ingin mati dan bahkan mengeluh terhadap Tuhan. Seperti inikah caraku memberikan kesaksian? Aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun tetapi hanya memahami doktrin, dan aku tidak memiliki kenyataan kebenaran. Sejak menemukan Tuhan, aku selalu hidup dengan nyaman, tidak pernah mengalami kemunduran besar. Aku bahkan berpikir bahwa hanya dengan melaksanakan tugasku dan berkorban setiap hari berarti aku dengan tulus percaya kepada Tuhan. Apa yang terjadi dengan putriku menyingkapkan betapa kecilnya tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya dan betapa aku tidak memiliki iman serta kasih yang sejati kepada Tuhan. Aku juga teringat bagaimana, sebelum percaya kepada Tuhan, Iblis telah membodohiku, membuat hidupku lebih buruk dari kematian, tetapi Tuhan menyelamatkanku. Dia mengizinkanku untuk menikmati perbekalan firman-Nya dan menerima kasih karunia serta berkat-Nya. Semua yang telah kuterima berasal dari Tuhan, termasuk putriku. Aku telah menikmati begitu banyak kasih Tuhan. Sekarang setelah putriku tiada, aku tidak bisa mengeluh terhadap Tuhan atau menunda tugasku. Aku harus tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan, mempermalukan Iblis. Setelah mengingat hal ini, aku tidak lagi peduli dengan gosip dan ejekan tetanggaku, dan aku terus pergi keluar melaksanakan tugasku.

Terkadang, setelah kembali dari melaksanakan tugas, ketika berhadapan dengan kamar kosong sendirian, aku akan merasa kesepian dan kehilangan, dan aku akan berpikir, "Alangkah indahnya jika putriku masih hidup. Jika saja aku di rumah hari itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi." Makin aku memikirkannya, makin sedih dan tertekan perasaanku, merasa bahwa putriku telah meninggal terlalu cepat. Aku teringat persekutuan Tuhan tentang hidup dan mati, dan aku mencari firman Tuhan untuk dibaca. Tuhan berfirman: "Jika kelahiran seseorang ditentukan oleh kehidupannya sebelumnya, maka kematiannya menandakan akhir dari nasib tersebut. Jika kelahiran seseorang adalah permulaan misinya dalam hidup ini, maka kematiannya menandakan akhir dari misi tersebut. Karena Sang Pencipta telah menentukan serangkaian keadaan tertentu bagi kelahiran setiap orang, tentunya Dia juga telah mengatur serangkaian keadaan tertentu untuk kematiannya. Dengan kata lain, tak seorang pun dilahirkan secara kebetulan, tidak ada kematian seseorang yang tiba-tiba, dan baik kelahiran maupun kematian pasti berkaitan dengan kehidupan seseorang yang sebelumnya dan yang sekarang. Seperti apa keadaan kelahiran dan keadaan kematian mereka, itu berkaitan dengan penentuan sebelumnya oleh Sang Pencipta; ini adalah nasib seseorang, takdir seseorang. Karena ada banyak penjelasan bagi kelahiran seseorang, pasti juga ada berbagai keadaan khusus bagi kematian seseorang. Dengan demikian, berbagai rentang masa hidup serta cara dan waktu kematian mereka pun terwujud di antara manusia. Ada orang yang terlahir sehat dan kuat, tetapi mati di usia muda; ada yang terlahir lemah dan sakit-sakitan, tetapi hidup sampai berusia lanjut dan meninggal dunia dengan damai. Ada yang mengalami kematian yang tidak wajar, ada yang meninggal dengan wajar. Ada yang meninggal saat berada jauh dari rumah, ada juga yang menutup mata untuk terakhir kalinya dengan orang-orang terkasih di samping mereka. Ada orang yang mati selagi berada di udara. Ada yang mati tenggelam, ada pula yang binasa di tengah bencana. Ada orang yang meninggal di kala pagi, ada yang di malam hari. ... Setiap orang menginginkan kelahiran yang termasyhur, kehidupan yang cemerlang, dan kematian yang megah, tetapi tak seorang pun mampu melampaui nasib mereka sendiri, tak seorang pun mampu lepas dari kedaulatan Sang Pencipta. Inilah nasib manusia. Orang dapat merancang segala macam rencana untuk masa depannya, tetapi tak seorang pun dapat merencanakan bagaimana mereka dilahirkan atau bagaimana dan kapan mereka meninggalkan dunia ini. Meskipun semua orang berupaya semampu mereka untuk menghindari dan menolak datangnya kematian, tetap saja, tanpa mereka ketahui, kematian diam-diam datang mendekat. Tak seorang pun tahu kapan mereka akan mati atau dengan cara apa, terlebih lagi di mana itu akan terjadi. Jelaslah bahwa bukan manusia pemegang kekuasaan tertinggi atas hidup dan mati, juga bukan makhluk tertentu di dunia alamiah, melainkan Sang Pencipta, yang memiliki otoritas yang unik. Hidup dan mati manusia bukan produk hukum tertentu dari dunia alamiah, melainkan hasil dari kedaulatan otoritas Sang Pencipta" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa kapan seseorang lahir dan kapan dia meninggal, berapa banyak penderitaan yang akan ditanggung seseorang dalam hidup, berapa lama dia akan hidup, di mana dia akan meninggal, dan dengan cara apa dia akan pergi, semuanya bergantung pada ketetapan Tuhan, dan tidak ada yang bisa mengubah hal-hal ini. Beberapa anak meninggal segera setelah lahir; beberapa anak dirawat oleh orang tua dan kakek-nenek mereka, tetapi kemudian mereka tiba-tiba meninggal dalam kecelakaan mobil, atau mungkin mereka tenggelam, jatuh dari ketinggian, atau meninggal karena penyakit aneh. Beberapa orang lemah dan sakit-sakitan sejak kecil, tetapi tetap hidup selama puluhan tahun bahkan tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Masa hidup seseorang tidak ditentukan oleh keadaan luar atau berbagai alasan yang tampak, tetapi oleh kedaulatan Tuhan dan sebab akibat dari kehidupan sebelumnya. Ada seorang anak laki-laki di desa kami yang usianya belum genap dua tahun. Ibunya sibuk bekerja, dan kakek-neneknya merawatnya di rumah. Suatu hari, kakeknya sedang di atas sepeda motor, dengan mesin masih mati, dan saat neneknya menggendongnya di jok, dia jatuh ke tanah, dan meninggal saat itu juga. Orang lain yang kukenal bekerja di sebuah perusahaan besar dan memiliki keluarga kaya, dan mereka menyewa pengasuh profesional untuk merawat anak mereka. Anak itu, yang baru berusia lebih dari dua bulan, menderita penyakit perut dan tidak bisa makan. Ada enam orang di rumah yang merawat anak itu, dan mereka menghabiskan lebih dari seratus ribu yuan untuk pengobatan, tetapi anak itu tetap meninggal. Kedua keluarga itu berdedikasi untuk merawat anak-anak mereka, tetapi keduanya tidak berdaya saat menyaksikan anak-anak mereka meninggal. Jelas bahwa hidup dan mati seseorang benar-benar tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Tidak ada jaminan bahwa anak-anak tidak akan meninggal hanya karena orang tuanya ada untuk merawat mereka. Saat memikirkan kematian mendadak putriku, aku sadar ini tidak terjadi secara kebetulan, dan bahwa itu telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Masa hidup yang dijalani putriku hanya sampai di sini, dan dia telah tumbuh hingga usia ini, dan saat telah tiba waktunya untuk pergi, dia harus pergi. Namun aku tidak mengerti kedaulatan Tuhan, juga tidak mencari maksud-Nya. Sebaliknya, aku mencari alasan-alasan yang tampak dari luar, dan berpikir andai aku tidak sedang melaksanakan tugasku, atau andai aku pulang lebih awal, dan aku ada di rumah untuk merawatnya, dia tidak akan meninggal. Dalam hal ini, aku menyangkal kedaulatan Tuhan, dan pandanganku sama seperti pandangan seorang pengikut yang bukan orang percaya. Aku teringat bagaimana tubuhku lemah karena melahirkan, dan dokter berkata aku tidak bisa punya anak, tetapi setelah menemukan Tuhan, aku hamil dan melahirkan putriku. Putriku adalah karunia dari Tuhan. Dia lahir prematur dan sangat lemah, dan bahwa dia bisa tumbuh sebesar itu sudah merupakan kasih karunia Tuhan. Putriku pada dasarnya bukan milikku, dan waktu kepergiannya telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan aku harus tunduk. Lebih jauh lagi, dalam hidup, setiap orang menghadapi banyak kesulitan dan kemunduran, seperti kemalangan keluarga atau kematian dini anak-anak, dan hal-hal ini sepenuhnya normal. Aku harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Inilah nalar yang seharusnya kumiliki.

Setelah itu, aku merenungkan diriku sendiri untuk melihat watak rusak seperti apa yang kuperlihatkan saat menghadapi situasi ini. Aku membaca firman Tuhan: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana apa pun, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang sejati kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan engkau tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani menghadap Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). "Selain dari keuntungan yang berhubungan sangat erat dengan mereka, mungkinkah ada alasan lain mengapa orang-orang yang tidak pernah memahami Tuhan mau berkorban begitu banyak bagi-Nya? Dalam hal ini, kita menemukan masalah yang sebelumnya tidak teridentifikasi: Hubungan manusia dengan Tuhan hanyalah hubungan yang didasarkan pada kepentingan pribadi yang terang-terangan. Hubungan ini adalah hubungan antara penerima dan pemberi berkat. Sederhananya, ini adalah hubungan antara pekerja dan majikan. Pekerja bekerja keras hanya untuk menerima upah yang diberikan oleh majikannya. Tidak ada kasih sayang dalam hubungan yang berdasarkan kepentingan seperti itu, hanya transaksi. Tidak ada mengasihi dan dikasihi, hanya derma dan belas kasihan. Tidak ada pengertian, hanya kemarahan terpendam tanpa daya dan penipuan. Tidak ada keintiman, hanya jurang yang tak terjembatani" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 3: Manusia Hanya Dapat Diselamatkan di Tengah Pengelolaan Tuhan"). Firman Tuhan menyingkapkan bahwa kita percaya kepada Tuhan agar keluarga kita dapat dijaga dalam damai dan bebas dari masalah dan orang-orang yang kita kasihi dapat dilindungi dari penyakit atau bencana. Bahkan ketika kita melaksanakan tugas, berkorban dan mengorbankan diri, itu adalah untuk menerima kasih karunia dan berkat Tuhan. Begitulah diriku. Setelah menemukan Tuhan, penyakitku secara ajaib sembuh, dan aku bisa memiliki anak seperti yang kuinginkan. Keluarga menemukan kedamaian dan bebas dari masalah, kehidupan kami pun menjadi lebih baik. Aku telah menerima kasih karunia dan berkat Tuhan, dan percaya bahwa selama aku melaksanakan tugasku dengan benar, Tuhan akan memberkati keluargaku dengan damai dan menjaga kami bebas dari masalah, penyakit, dan bencana. Jadi aku menjadi aktif dalam mengorbankan diri, dan apa pun tugas yang gereja atur untukku, aku akan secara aktif melakukannya. Bahkan ketika aku hamil dan tidak bisa bergerak dengan mudah, aku tetap pergi keluar untuk memimpin pertemuan kelompok, dan tidak peduli seberapa keras atau sulitnya keadaan, aku tidak pernah mundur. Namun ketika putriku meninggal, dan aku diejek oleh orang lain, aku menjadi negatif dan menentang, juga salah paham serta mengeluhkan Tuhan. Aku bahkan menyesal pergi melaksanakan tugasku. Pandanganku tentang iman sama seperti pandangan dari dunia agamawi: Aku percaya bahwa jika satu orang percaya kepada Tuhan, maka seluruh keluarga akan diberkati, dan kupikir putriku juga akan diberkati secara tidak langsung karena imanku. Jadi ketika putriku meninggal, aku tidak ingin melaksanakan tugasku lagi, bahkan berpikir untuk mengkhianati Tuhan. Bukankah aku kurang hati nurani dan nalar? Aku percaya kepada Tuhan hanya untuk menerima berkat dari-Nya, jadi ketika keluargaku mengenal damai, bebas dari masalah, dan menikmati kasih karunia serta berkat Tuhan, aku sangat aktif dalam tugasku. Namun ketika kemalangan menimpa dan putriku meninggal, aku terpuruk dalam sikap negatif, menentang Tuhan, dan kehilangan motivasi untuk melaksanakan tugasku. Aku menyadari bahwa aku tidak melaksanakan tugasku untuk tunduk dan memuaskan Tuhan, tetapi mencoba menukar pengorbanan dan jerih payahku dengan kasih karunia dan berkat Tuhan. Aku mencoba memanfaatkan dan menipu Tuhan! Aku begitu egois dan tercela! Aku tidak berbeda dengan mereka yang mencari makan roti hingga kenyang di sekte-sekte agama. Tuhan telah memberiku kesempatan untuk melaksanakan tugasku, untuk mengizinkanku mencari kebenaran dan memahami watak rusakku dalam pelaksanaan tugasku, sehingga pada akhirnya, aku bisa mencapai perubahan watak dan diselamatkan oleh Tuhan. Namun aku tidak melaksanakan tugasku untuk mendapatkan kebenaran dan kemajuan dalam hidupku, aku hanya mencari kedamaian fisik dari Tuhan, dan ketika terjadi sesuatu yang melibatkan kepentingan pribadiku, aku pun mengeluh kepada Tuhan dan mengkhianati-Nya. Caraku percaya kepada Tuhan begitu berbahaya! Setelah menyadari hal ini, aku segera datang ke hadapan Tuhan untuk bertobat, memohon agar Tuhan membimbingku untuk mengubah cara pandang yang salah ini.

Aku membaca firman Tuhan: "Tidak ada hubungan antara tugas manusia dan apakah dia menerima berkat atau menderita kemalangan. Tugas adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia; itu adalah panggilan surgawinya, dan seharusnya tidak bergantung pada imbalan jasa, kondisi, atau alasannya. Baru setelah itulah dia bisa dikatakan melaksanakan tugasnya. Menerima berkat mengacu pada berkat yang orang nikmati ketika mereka disempurnakan setelah mengalami penghakiman. Menderita kemalangan mengacu pada hukuman yang orang terima ketika watak mereka tidak berubah setelah mereka menjalani hajaran dan penghakiman—yaitu ketika mereka tidak mengalami diri mereka disempurnakan. Namun, entah mereka menerima berkat atau menderita kemalangan, makhluk ciptaan haruslah melaksanakan tugas mereka, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan melakukan apa yang mampu dilakukannya; inilah yang setidaknya harus dilakukan seseorang, seseorang yang mengejar Tuhan. Janganlah engkau melakukan tugasmu hanya untuk menerima berkat, dan janganlah engkau menolak untuk melaksanakan tugas karena takut mengalami kemalangan. Kuberitahukan satu hal kepadamu: Pelaksanaan tugas manusia adalah apa yang harus dia lakukan, dan jika dia tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka ini adalah pemberontakannya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perbedaan antara Pelayanan Tuhan yang Berinkarnasi dan Tugas Manusia"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta, dan kita adalah makhluk ciptaan. Segala sesuatu yang kita miliki diberikan oleh Tuhan, dan bahkan napas kita berasal dari-Nya. Percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas kita adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, dan itu tidak ada hubungannya dengan menerima berkat atau menderita kemalangan. Ini seperti orang tua membesarkan anak-anak mereka—ketika anak-anak tumbuh dewasa, menghormati orang tua mereka adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan untuk mereka lakukan. Namun aku memperlakukan persembahan dan pengorbanan diriku sebagai bertransaksi dengan Tuhan, menuntut berkat dan kasih karunia dari-Nya. Bisakah ini disebut melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan? Ini benar-benar pemberontakan! Ketika teringat bagaimana aku sakit dan hampir mati sebelum menemukan Tuhan, aku beruntung menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, mengikuti-Nya, dan menerima perbekalan firman-Nya. Penyakitku secara ajaib sembuh, dan Tuhanlah yang mengizinkanku untuk hidup dan melaksanakan tugasku di gereja. Aku memiliki kesempatan untuk memahami kebenaran, menerima kebenaran, dan diselamatkan oleh Tuhan, jadi aku harus membalas kasih Tuhan. Terlepas dari apakah aku akan menerima berkat atau apakah keluargaku akan damai di masa depan, aku harus melaksanakan tugasku. Kemudian, aku terpilih menjadi seorang pengkhotbah dan menjadi sibuk dengan tugasku setiap hari. Ketika menghadapi masalah, aku dibimbing oleh firman Tuhan, dan hatiku lebih sering merasa damai di hadapan Tuhan. Kadang-kadang, aku teringat putriku ketika dia masih hidup, dan hatiku terasa sedikit sedih, tetapi aku akan berdoa kepada Tuhan dan membaca firman-Nya, dan tidak merasa begitu hancur hati dan tertekan lagi, dan itu tidak memengaruhi tugasku.

Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Entah itu menyangkut orang tua, anak-anak, sanak saudara lainnya ataupun orang-orang yang memiliki hubungan darah dalam kehidupan mereka, jika menyangkut perasaan, orang seharusnya memiliki pandangan dan pengertian sebagai berikut: mengenai perasaan yang ada di antara orang, jika mereka memiliki hubungan darah, memenuhi tanggung jawab saja sudah cukup. Selain memenuhi tanggung jawab mereka, orang tidak memiliki kewajiban ataupun kemampuan untuk mengubah apa pun. Oleh karena itu, tidaklah bertanggung jawab jika orang tua berkata, 'Jika anak-anak kami sudah tiada, jika kami sebagai orang tua harus menguburkan anak-anak kami sendiri, kami tidak mau melanjutkan hidup.' Jika anak-anak benar-benar dikuburkan oleh orang tua mereka, itu hanya dapat dikatakan bahwa waktu mereka di dunia ini hanya sebentar, dan mereka harus pergi. Namun, orang tua mereka masih hidup, jadi mereka harus terus menjalani hidup dengan baik. Tentu saja, berdasarkan kemanusiaan mereka, adalah wajar jika orang memikirkan anak-anak mereka, tetapi mereka tidak boleh membuang-buang waktu yang tersisa untuk merindukan anak-anak mereka yang telah meninggal. Ini bodoh. Oleh karena itu, ketika menangani hal ini, di satu sisi, orang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan di sisi lain, mereka harus memahami sepenuhnya hubungan kekeluargaan. Hubungan di antara manusia sebenarnya bukanlah hubungan yang didasarkan pada ikatan darah dan daging, melainkan itu adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lain yang diciptakan oleh Tuhan. Hubungan seperti ini tidak memiliki ikatan darah dan daging; ini hanyalah hubungan antara dua makhluk hidup yang berdiri sendiri. Jika dipikir dari sudut pandang ini, sebagai orang tua, ketika anak-anakmu mengalami nasib yang cukup malang hingga jatuh sakit atau nyawa mereka berada dalam bahaya, engkau harus menghadapi hal-hal ini dengan benar. Engkau tidak boleh menyerahkan waktumu yang tersisa, tidak boleh melepaskan jalan yang harus kautempuh, ataupun tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi, karena kemalangan atau kematian anakmu. Engkau harus menghadapi hal ini dengan benar. Jika engkau memiliki pemikiran dan sudut pandang yang benar serta mampu memahami hal-hal ini, engkau akan mampu dengan segera mengatasi keputusasaan, kesedihan, dan kerinduan. Namun, bagaimana jika engkau tidak mampu memahaminya? Maka hal itu mungkin akan menghantuimu seumur hidupmu, hingga hari kematianmu. Namun, jika engkau mampu memahami yang sebenarnya mengenai keadaan ini, musim hidupmu ini akan ada batasnya. Keputusasaan, kesedihan, dan kerinduan ini tidak akan berlangsung selamanya, juga tidak akan menyertaimu di bagian akhir hidupmu. Jika engkau mampu memahami hal ini, engkau akan mampu melepaskan sebagian darinya, yang mana ini merupakan hal yang baik bagimu. Namun, jika engkau tidak mampu memahami ikatan kekeluargaan yang dimiliki bersama dengan anak-anakmu, engkau tidak akan mampu melepaskan, dan ini akan menjadi hal yang kejam bagimu. Tidak ada orang tua yang tanpa emosi ketika anak-anak mereka meninggal dunia. Ketika ada orang tua yang harus menguburkan anak-anak mereka, atau ketika mereka melihat anak-anak mereka berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka dengan memikirkan dan mengkhawatirkan anak-anak mereka, terjebak dalam penderitaan. Tak seorang pun dapat melarikan diri darinya: ini adalah bekas luka dan bekas yang tak terhapuskan dalam jiwa. Tidak mudah bagi manusia untuk melepaskan keterikatan emosional ini sementara hidup dalam daging, jadi mereka menderita karenanya. Namun, jika engkau mampu memahami keterikatan emosional dengan anak-anakmu ini, penderitaan itu akan menjadi makin berkurang intensitasnya. Tentu saja, penderitaanmu akan menjadi jauh lebih sedikit; tidak mungkin untuk tidak menderita sama sekali, tetapi penderitaanmu akan jauh berkurang. Jika engkau tidak mampu memahaminya, penderitaan ini akan menjadi sangat kejam terhadapmu. Jika engkau mampu memahaminya, hal ini akan menjadi pengalaman khusus yang menyebabkan trauma emosional yang parah, memberimu penghargaan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan, ikatan keluarga, dan kemanusiaan, serta memperkaya pengalaman hidupmu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa pada mulanya kita adalah jiwa-jiwa yang terasing, tanpa hubungan apa pun, dan Tuhanlah yang mengatur agar aku dan putriku menjadi ibu dan anak di dunia ini, memberi kami ikatan kasih sayang daging ini. Saat putriku masih hidup, aku memberinya makanan dan pakaian, dan aku merawatnya sebaik mungkin. Aku memenuhi tanggung jawab dan kewajibanku yang semestinya sebagai orang tua, dan setelah dia meninggal, kami tidak lagi memiliki hubungan apa pun. Aku harus melepaskannya dan tidak terlalu bersedih atas kematian putriku. Aku telah melihat beberapa orang tua di sekitarku, yang, ketika anak-anak mereka meninggal, juga ingin mati. Beberapa begitu hancur hati sehingga mereka hidup dalam kesakitan selama lebih dari satu dekade dan masih tidak bisa melepaskan diri darinya, dan beberapa bahkan menderita penyakit mental atau depresi karena tidak bisa menerima kematian anak-anaknya. Ketika mengingat kembali di awal-awal putriku meninggal, aku pun sama seperti mereka, dan jika bukan karena firman Tuhan yang mencerahkan dan membimbingku, aku akan terus terpuruk dalam penderitaan karena kehilangan putriku, merasa bahwa tidak ada harapan dalam hidup, dan aku bahkan mungkin akan mengikutinya ke liang lahat. Namun aku jadi mengerti bahwa aku datang ke dunia ini dengan misiku, dan harus memenuhi tugas sebagai makhluk ciptaan. Begitu memahami ini, aku bisa merasa lega. Dari lubuk hatiku, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Tinggalkan Balasan

Hubungi kami via WhatsApp