Aib dari Masa Laluku

09 Februari 2023

Oleh Saudari Li Yi, Tiongkok

Agustus 2015, keluargaku dan aku pindah ke Xinjiang. Aku dengar Partai Komunis melakukan pengawasan ketat dan pengendalian, dengan dalih untuk memerangi kerusuhan oleh minoritas suku Uighur—dan akibatnya lingkungan dipenuhi bahaya. Setelah tiba di Xinjiang, suasananya lebih menegangkan daripada perkiraanku. Polisi berpatroli di segala penjuru. Saat pergi ke pasaraya, kami harus melalui pemeriksaan dan pemindaian seluruh tubuh. Saat naik bus, polisi berpatroli di halte, lengkap dengan senjata di punggung. Pemandangan itu membuatku sangat gugup. Sebagai orang yang percaya, kami telah mengalami penahanan dan persekusi dari Partai Komunis. Pengawasan dan pengendalian di tempat itu sangat ketat, hingga aku merasa sangat tegang, seolah-olah aku bisa ditahan atau kehilangan nyawa sewaktu-waktu. Sekitar bulan Oktober, aku mendengar kabar bahwa dua saudari ditahan dan dijatuhi hukuman 10 tahun karena mengirimkan buku berisi firman Tuhan. Aku pun terkejut saat mendengarnya. Mereka bukan pemimpin, tapi menerima hukuman 10 tahun hanya karena mengirimkan buku berisi firman Tuhan. Aku bertanggung jawab atas pekerjaan gereja, jadi, setidaknya aku akan ditahan selama 1 tahun. Saat itu, bayangan saudara-saudari yang disiksa dalam penjara memenuhi pikiranku. Aku merasa sangat takut. Aku khawatir akan ditahan lalu disiksa hingga aku menyesal telah terlahir ke dunia. Aku makin takut dan tak berani memikirkannya. Namun, aku juga mendengar beberapa saudara-saudari yang bersekutu mengenai cara mereka memohon bantuan dan bergantung pada Tuhan agar dapat melaksanakan tugas di lingkungan semacam itu, serta menyaksikan aturan Tuhan Yang Mahakuasa, dan merasakan perhatian dan perlindungan-Nya. Hal ini memberiku semangat dan membuatku yakin untuk melewati masalahnya.

Februari 2016, aku tahu bahwa Wang Bing, seseorang yang jahat di gereja yang menjadi tanggung jawabku, selalu mencari kesalahan para pemimpin, dan akibatnya mengganggu kehidupan gereja. Aku berdiskusi dengan beberapa rekan kerja, dan kami memutuskan bahwa aku harus mengunjugi gereja itu untuk menangani maslaahnya. Namun, aku cukup takut. Saudari yang dijatuhi hukuman 10 tahun ditahan di gereja itu. CCP bahkan mengumpulkan penduduk lokal untuk mengumumkan hukuman yang dijatuhkan pada kedua saudari itu, mengintimidasi, dan mengancam penduduk lokal agar tak memercayai Tuhan. Lingkungannya sangat berbahaya. Aku tak tahu apakah aku akan ditahan jika pergi ke sana. Aku menemukan alasan agar tak pergi. Namun, aku melihat rekanku, Saudari Xin Qin, sudah siap dan bersedia pergi, lalu aku merasa malu. Xin Qin belum lama menjadi orang yang percaya dan baru memulai latihan sebagai pemimpin. Banyak masalah di gereja itu dan lingkungannya berbahaya. Aku merasa bersalah karena memintanya pergi. Jadi, aku berkata, "Mungkin sebaiknya aku pergi." Sesampainya di sana, aku melihat Wang Bing tak bisa mempersekutukan pemahaman firman Tuhan di pertemuan, dan dia selalu menemukan kesalahan para pemimpin yang akhirnya mengganggu kehidupan gereja. Aku membahasnya dengan pengkhotbah, dan kami memutuskan untuk memisahkan orang jahat ini dan mempersekutukan kebenaran bersama orang lain agar dapat bersikap bijak demi menghentikan gangguan. Lalu, kami segera melatih Saudari Zhong Xin untuk mengambil alih pekerjaan gereja. Namun, penyelesaian seluruh masalah di gereja itu mungkin memerlukan sedikit waktu. Hampir separuh saudara-saudari di gereja itu ditahan, jadi, makin lama aku berada di sana, keselamatanku makin terancam. Karena kami sudah menetapkan solusi, aku merasa bisa menyerahkan pelaksanaan pada pengkhotbah. Aku bergegas menyerahkan tugas yang tersisa dan pulang. Setelah itu pengkhotbah lapor bahwa orang jahat itu makin tak tahu malu, dia membentuk fraksi di gereja untuk menyerang para pemimpin dan mengganggu kehidupan gereja. Aku mempersekutukan beberapa solusi bersama pengkhotbah, tapi masalahnya belum selesai. Aku sedikit merasa bersalah. Menangani kekacauan di gereja adalah tanggung jawabku, tapi aku tak ingin bertahan di sana karena takut ditahan—itu bukan sikap yang benar. Namun, aku juga memikirkan seorang saudari yang baru-baru ini nyaris menghindari penangkapan saat naik kereta untuk menghadiri pertemuan di gereja kami. Bagaimana jika aku naik kereta dan mengalami hal serupa? Aku lantas berpikir bahwa sebagai pemimpin, aku tak bisa bekerja jika keamananku tak terjamin. Meski demikian, aku masih menyerahkan masalah gereja itu pada pengkhotbah, tapi karena kemampuannya terbatas, masalah di gereja itu tetap tak terselesaikan.

Pada September 2016 aku menerima surat tak diduga yang menyatakan empat saudara-saudari dari gereja itu ditahan karena mengirimkan buku berisi firman Tuhan. Salah satunya, Zhong Xin, dihajar dengan brutal. Beberapa hari kemudian ada surat lain yang menyatakan bahwa polisi menghajarnya hingga tewas. Kabar itu bagai petir di siang bolong. Aku tak bisa menerimanya. Aku tahu metode penyiksaan Partai Komunis sangat tak kenal ampun, tapi aku tak bisa membayangkan orang yang tadinya hidup dan sehat dihajar hingga tewas hanya dalam beberapa hari. Itu sangat mengerikan. Aku merasa udara di sekitarku membeku dan air mataku pun mengalir. Aku makin marah saat mengingatnya, dan terus bertanya penyebabnya. Aku tahu sejak lama bahwa orang jahat sedang mengganggu gereja itu dan anggotanya tak dapat menjalani kehidupan gereja yang semestinya. Dahulu aku adalah pemimpin gereja, tapi aku gagal menyelesaikan masalah karena takut ditahan. Andai aku lebih bertanggung jawab atau memberi perintah di balik layar dan menyelesaikan masalah, serta mengingatkan saudara-saudari untuk lebih memperhatikan keselamatan, mungkin Zhong Xin tak perlu dihajar hingga tewas oleh polisi. Kematiannya membuatku diliputi perasaan bersalah yang mendalam dan aku ketakutan. Aku merasa bahwa itu adalah lingkungan yang menekan, seperti awan hitam yang menekanku hingga aku sulit bernapas. Namun, aku tahu bahwa di tengah situasi kritis semacam itu, aku tak boleh lari, jadi, aku bergegas membantu pengkhotbah untuk menangani konsekuensinya. Namun, kendala di gereja itu masih belum selesai, dan aku mendapat kabar saudari yang baru saja bekerja denganku juga ditahan, dan polisi mengetahui beberapa hal tentang pemimpin utama dan para pekerja di gereja kami. Aku sering menghubungi saudara-saudari tersebut, jadi, jika polisi memeriksa rekaman pengawasan, aku khawatir akan ditahan sewaktu-waktu. Jika ditahan dan dipenjara, aku belum tentu bisa keluar dengan selamat. Nasibku bisa seperti Zhong Xin, yang dihajar hingga tewas oleh polisi di usia muda. Ketakutanku bertambah saat memikirkannya, dan aku enggan meneruskan tugasku. Aku bahkan tak ingin tinggal lebih lama. Karena aku tak pernah membahas keadaan tersebut, dan gagal menyelesaikan masalah orang jahat yang mengganggu gereja selama beberapa bulan, akhirnya aku diberhentikan. Setelah itu aku melakukan pekerjaan berbasis teks di gereja, tapi aku tetap merasa terancam. Aku khawatir akan ditahan sewaktu-waktu dan ingin melakukan tugas di kampung halamanku. Saudara-saudari bersekutu denganku, berharap agar di tengah situasi kritis ini, aku tetap bertahan dan membantu mereka menangani konsekuensinya. Namun, pikiranku dipenuhi ketakutan dan aku tak memedulikan mereka yang memintaku bertahan, jadi, aku meninggalkan tempat itu.

April 2017, karena perilakuku, gereja menghentikan kehadiranku di pertemuan dan menyuruhku memisahkan diri dan merenung di rumah. Air mataku tak terbendung saat mendengar kabar itu, tapi karena aku meninggalkan tugasku dan menjadi desertir di situasi kritis, aku sadar bahwa perintah untuk memisahkan diri dan merenung itu adalah wujud keadilan Tuhan. Aku bersedia patuh. Aku membaca tentang ini di firman Tuhan pada saat teduhku: "Jika engkau memiliki peran penting dalam pengabaran Injil dan meninggalkan tugasmu tanpa seizin Tuhan, tidak ada pelanggaran yang lebih besar daripada tindakan ini. Bukankah ini bisa dianggap tindakan pengkhianatan terhadap Tuhan? Jadi, menurut pandanganmu, bagaimana seharusnya Tuhan memperlakukan orang yang meninggalkan tugasnya? (Mereka harus dikesampingkan.) Dikesampingkan berarti diabaikan, dibiarkan melakukan apa pun yang mereka kehendaki. Jika orang yang dikesampingkan merasa menyesal, ada kemungkinan Tuhan akan melihat apakah sikap mereka cukup penuh penyesalan dan masih menginginkan mereka untuk kembali. Namun, terhadap orang yang meninggalkan tugas mereka—dan hanya terhadap orang-orang ini—Tuhan tidak akan bersikap seperti ini. Bagaimana Tuhan memperlakukan orang-orang semacam itu? (Tuhan tidak akan menyelamatkan mereka; Tuhan membenci dan menolak mereka.) 100% benar. Secara khusus, orang-orang yang melaksanakan tugas penting, telah diberi amanat oleh Tuhan, dan jika mereka meninggalkan tugas mereka, maka sebaik apa pun kinerja mereka sebelumnya, atau setelahnya, di mata Tuhan, mereka adalah orang-orang yang mengkhianati Tuhan, dan mereka tidak akan pernah lagi diberi kesempatan untuk melaksanakan tugas" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Semua Orang Percaya Terikat Secara Moral pada Tugas untuk Menyebarkan Injil"). "Tuhan paling jijik terhadap orang yang meninggalkan tugasnya atau yang menganggap tugas sebagai hal yang sepele karena semua itu adalah perilaku, tindakan, dan perwujudan pengkhianatan terhadap Tuhan, karena di tengah berbagai konteks, orang, perkara, dan hal-hal yang diatur oleh Tuhan, peran orang-orang ini hanyalah menghambat, merugikan, menunda, mengganggu, atau memengaruhi kemajuan pekerjaan Tuhan. Karena alasan ini, bagaimana perasaan dan reaksi Tuhan terhadap orang yang meninggalkan tugas mereka dan orang yang mengkhianati Tuhan? Bagaimana sikap Tuhan terhadap mereka? Dia merasa jijik dan membenci mereka. Apakah Dia merasa kasihan? Tidak—Dia tidak pernah merasa kasihan. Ada orang yang berkata, 'Bukankah Tuhan itu kasih?' Tuhan tidak mengasihi orang-orang semacam itu, orang-orang ini tidak layak untuk dikasihi. Jika engkau mengasihi mereka, maka kasihmu itu bodoh, dan hanya karena engkau mengasihi mereka, itu bukan berarti Tuhan mengasihi mereka; engkau mungkin menghargai mereka, tetapi Tuhan tidak, karena dalam diri orang semacam itu tidak ada yang layak untuk dihargai. Jadi, Tuhan dengan tegas meninggalkan orang-orang semacam itu, dan tidak memberi mereka kesempatan kedua. Apakah ini masuk akal? Ini bukan saja masuk akal, tetapi terutama itu adalah salah satu aspek dari watak Tuhan, dan itu juga adalah kebenaran" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Semua Orang Percaya Terikat Secara Moral pada Tugas untuk Menyebarkan Injil"). Penghakiman dan pengungkapan firman Tuhan terdengar menyakitkan, bagai pisau yang menghunjam jantung. Zhong Xin dihajar hingga tewas dan rekanku ditahan. Di tengah situasi kritis tersebut, alih-alih bekerja sama dengan saudara-saudari untuk menangani konsekuensi, aku justru melarikan diri. Siapa pun yang memiliki hati nurani tak akan melakukan hal semacam itu. Aku tak bisa memaafkan diriku. Dahulu aku yakin bahwa apa pun kesalahanku, Tuhan akan menunjukkan belas kasih selama aku bertobat kepada-Nya. Namun, aku lantas sadar bahwa itu hanya pemahamanku, bayanganku. Tuhan bilang Dia menyerah menghadapi orang yang meninggalkan tugasnya dan mengabaikan-Nya di situasi kritis, dan Dia tak akan memberikan kesempatan tambahan. Saat membaca firman Tuhan itu, aku mengetahui bahwa ada prinsip terkait belas kasih dan toleransi-Nya. Tuhan tak akan langsung memaafkan dan menunjukkan belas kasih pada semua orang, untuk segala pelanggaran. Tuhan itu benar, megah, dan tak akan menoleransi pelanggaran. Sejak kabur, aku merasa Tuhan menyerah menanganiku. Aku sama sekali tak memiliki ketenangan pikiran—aku dipenuhi penyesalan. Entah sudah berapa kali aku berdoa dan berapa banyak air mata yang mengalir. Ditinggalkan Tuhan atau tidak, aku siap melakukan pelayanan untuk Tuhan untuk membayar utangku, dan aku tahu apa pun perlakuan-Nya terhadapku, apa pun tindakan-Nya pasti benar. Aku tak akan mengeluh meski Dia mengirimku ke neraka karena perlakuanku sangat melanggar dan menyakiti Tuhan. Selama sekian tahun menjadi orang yang percaya, aku melakukan beberapa pengorbanan dan ingin mengejar penyelamatan, tapi aku tak menyangka bahwa saat berhadapan dengan penahanan dan persekusi dari Partai Komunis, aku bersikap serakah, meninggalkan tugasku, dan mengkhianati Tuhan, melakukan pelanggaran serius. Saat memikirkannya aku sangat menderita dan putus asa. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Aku dipenuhi rasa bersalah dan menyesal. Andai aku tak berkeras meninggalkan wilayah itu, dan mampu melaksanakan tugas saat dibutuhkan, serta menangani konsekuensi bersama orang-orang lain, situasinya pasti jauh lebih baik. Aku pun tak akan hidup dalam derita dan keputusasaan. Itu bukan situasi yang kuharapkan! Namun, saat itu semua sudah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Aku membenci diriku yang ingin menyelamatkan diri, egoistis, dan keji. Orang sepertiku tak pantas menerima toleransi dan belas kasih Tuhan. Karena gereja belum mengusirku, aku merasa perlu melakukan pelayanan sebaik mungkin karena pelanggaranku.

Setelah itu, saat melaksanakan tugas aku bersedia pergi ke tempat yang telah direncanakan oleh pemimpin. Jika diminta memberi bantuan pada gereja yang terlibat bahaya, aku pergi, lalu menerima hasilnya setelah beberapa saat. Namun, aku sama sekali tak mau membahas masalah itu. Aku ingin membentengi diri, aku ingin melupakannya. Namun, aku tak bisa. Seolah-olah pengalaman itu meningalkan bekas mendalam di hatiku dan tak bisa sirna. Memori sekecil apa pun terasa menyakitkan dan aku merasa sangat bersalah. Lalu, suatu hari aku membaca firman Tuhan yang menjelaskan keadaanku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Demi keselamatan mereka sendiri dan menghindari penangkapan, demi terhindar dari semua penindasan dan menempatkan diri mereka di lingkungan yang aman, antikristus sering kali memohon dan berdoa bagi keselamatan mereka sendiri. Hanya dalam hal keselamatan mereka sendirilah, mereka benar-benar mengandalkan dan mempersembahkan diri mereka kepada Tuhan. Iman mereka nyata dan pengandalan mereka kepada Tuhan nyata hanya dalam hal ini. Mereka mau bersusah payah berdoa hanya untuk memohon agar Tuhan melindungi keselamatan mereka, tanpa sedikit pun memikirkan pekerjaan gereja ataupun tugas mereka. Dalam pekerjaan mereka, keselamatan pribadi adalah prinsip yang menuntun mereka. Di tempat mana pun yang mana, di situlah mereka akan melaksanakan pekerjaan, dan di situlah mereka akan benar-benar proaktif dan positif dalam pekerjaan mereka, memamerkan 'rasa tanggung jawab' dan 'kesetiaan' mereka yang besar. Jika pekerjaan tertentu mengandung risiko dan cenderung menjadi masalah, membuat pelakunya ditemukan oleh si naga merah yang sangat besar, mereka mencari-cari alasan dan menyerahkannya kepada orang lain, dan mencari kesempatan untuk melarikan diri darinya. Begitu ada bahaya, atau begitu ada tanda bahaya, mereka memikirkan cara untuk melepaskan diri dan meninggalkan tugas mereka, tanpa memedulikan saudara-saudari. Mereka hanya memikirkan cara menyelamatkan diri mereka sendiri dari bahaya. Pada dasarnya, mereka mungkin sudah bersiap-siap. Begitu bahaya muncul, mereka segera menghentikan pekerjaan yang sedang mereka lakukan, tanpa peduli bagaimana pekerjaan gereja akan berjalan, atau kerugian apa yang mungkin ditimbulkan hal itu terhadap kepentingan rumah Tuhan, atau keselamatan saudara-saudari. Yang penting bagi mereka adalah melarikan diri. Mereka bahkan memiliki 'kartu as tersembunyi,' sebuah rencana untuk melindungi diri mereka sendiri: begitu bahaya menimpa mereka atau mereka ditangkap, mereka mengatakan semua yang mereka ketahui, membersihkan diri dan membebaskan diri dari semua tanggung jawab demi melindungi keselamatan mereka sendiri. Inilah rencana yang mereka persiapkan. Orang-orang ini tidak mau mengalami penganiayaan karena percaya kepada Tuhan; mereka takut ditangkap, disiksa, dan dihukum. Sebenarnya, mereka telah lama menyerah kepada Iblis. Mereka takut akan kekuasaan rezim Iblis, dan lebih takut lagi akan hal-hal seperti penyiksaan dan interogasi keras terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi antikristus, jika semuanya lancar, dan sama sekali tidak ada ancaman terhadap keselamatan mereka atau tidak ada masalah dengan keselamatan mereka, dan tidak ada bahaya yang mungkin terjadi, mereka dapat menawarkan semangat dan 'kesetiaan' mereka, dan bahkan aset mereka. Namun, jika keadaannya buruk dan mereka dapat ditangkap kapan saja karena percaya kepada Tuhan dan karena melaksanakan tugas mereka, dan jika kepercayaan mereka kepada Tuhan dapat membuat mereka dipecat dari kedudukan resmi mereka atau ditinggalkan oleh orang-orang terdekat mereka, maka mereka akan sangat berhati-hati, tidak memberitakan Injil dan bersaksi tentang Tuhan ataupun melaksanakan tugas mereka. Ketika ada sedikit tanda masalah, mereka menjadi ciut; ketika ada sedikit tanda-tanda masalah, mereka ingin segera mengembalikan ke gereja buku-buku firman Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan kepada Tuhan, demi menjaga diri mereka aman dan tidak terluka. Bukankah orang seperti itu berbahaya? Jika tertangkap, bukankah mereka akan menjadi Yudas? Antikristus sangat berbahaya karena mereka bisa menjadi Yudas kapan saja; selalu ada kemungkinan mereka akan berpaling dari Tuhan. Selain itu, mereka egois dan sangat kejam. Ini ditentukan oleh natur dan esensi dari antikristus itu sendiri" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Dua)). "Para antikristus sangat egois dan kejam. Mereka tidak memiliki iman yang sejati kepada Tuhan, apalagi pengabdian kepada Tuhan; ketika mereka menghadapi masalah, mereka hanya melindungi dan menjaga keselamatan diri mereka sendiri. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kelangsungan hidup dan keselamatan mereka sendiri. Mereka tidak peduli seberapa banyak rumah Tuhan dirugikan—asalkan mereka masih hidup dan tidak ditangkap, itulah yang terpenting. Orang-orang ini sangat egois, mereka sama sekali tidak memikirkan saudara-saudari ataupun pekerjaan gereja, mereka hanya memikirkan keselamatan diri mereka sendiri. Mereka adalah para antikristus" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Dua)). Setiap penghakiman dan pengungkapan dalam firman Tuhan langsung mengena di hatiku. Aku tak bisa sembunyi—aku tak bisa lari. Aku adalah orang yang hanya ingin melindungi diri sendiri saat berhadapan dengan bahaya, tanpa mempertimbangkan pekerjaan gereja atau nyawa saudara-saudari. Aku egoistis dan hina. Saat pertama kali sampai di Xinjiang, aku melihat lingkungan yang buruk di mana-mana. Aku terancam ditahan atau kehilangan nyawa di mana pun aku berada. Aku menyesali keputusanku pergi ke sana untuk bertugas. Saat tahu bahwa ada orang jahat yang mengganggu kegiatan gereja dan perlu ditangani, aku mencari alasan agar tak perlu keluar karena takut ditahan dan disiksa. Akhirnya aku pergi, tapi karena mengutamakan keselamatan diri sendiri, aku pergi lebih awal, sebelum masalah terselesaikan. Aku sadar bahwa ada masalah serius di gereja itu dan aku harus menanganinya, tapi aku ingin menyelamatkan diri sendiri. Aku memanfaatkan posisiku untuk memerintah alih-alih bekerja, dan bahkan mendorong saudara-saudari lain untuk menanganinya selagi aku meringkuk di tempat aman, melakukan tindakan tercela, yang membuat masalah gereja itu tak kunjung selesai hingga berbulan-bulan. Aku bahkan membuat alasan yang terdengar masuk akal, yaitu sebagai pemimpin, aku harus melindungi keselamatan diri agar bisa bekerja, tapi faktanya, aku hanya mencari alasan untuk kabur saat menghadapi bahaya. Saat Zhong Xin ditahan dan dihajar hingga tewas, aku masih mengutamakan keselamatan pribadi, khawatir akan ditahan atau disiksa hingga tewas. Aku bahkan mencari celah untuk meninggalkan tugasku dan pergi dari tempat berbahaya itu. Setelah diberhentikan, aku tak ingin menghadapi konsekuensinya dan kembali ke kampung halamanku. Saudara-saudari tak menegurku, tapi di dalam hati aku merasakan pengabaian, rasa jijik, dan penghukuman Tuhan terhadapku. Hal yang paling kusesali adalah, gereja memberiku kesempatan untuk menjadi pemimpin dan memercayakan banyak saudara-saudari kepadaku, tapi dalam situasi sulit aku kabur tanpa memedulikan nyawa orang lain, tanpa memikirkan pekerjaan gereja yang berpotensi terhalang. Aku menjadi desertir, pengkhianat, serakah, dan bahan tertawaan Iblis. Selain itu, kejadian tersebut selamanya menjadi luka di hatiku. Melalui fakta yang ditampilkan, aku menyadari bahwa aku pengecut dan menjalani hidup secara egoistis tanpa rasa kemanusiaan. Firman Tuhan memberikan jawaban, mengungkapkan motif hina yang tersembunyi di dalam hatiku. Aku tak bisa terus lari dari kenyataan. Saat itu aku merasa sangat berdosa karena mengkhianati Tuhan hingga tak pantas menerima penyelamatan-Nya. Aku juga ingat bahwa Tuhan berinkarnasi sebanyak dua kali untuk menyelamatkan umat manusia dan Tuhan menyerahkan segalanya. Dua ribu tahu lalu, Tuhan Yesus disalib sebagai penebusan umat manusia, menyerahkan darah-Nya hingga tetes terakhir. Kini di akhir zaman, Tuhan kembali berinkarnasi untuk menyelamatkan umat manusia yang rusak, mengorbankan hidup-Nya untuk bekerja di sarang naga merah yang sangat besar, dan terus dikejar serta dipersekusi oleh Partai Komunis. Namun, Tuhan belum pernah menyerah menyelamatkan umat manusia. Dia terus menunjukkan kebenaran pada air dan memberi pasokan. Tuhan menyerahkan segalanya untuk manusia—kasih-Nya untuk kita adalah nyata, tanpa pamrih. Namun, aku sangat egoistis dan rendahan. Saat bertugas aku hanya melindungi diriku, mengabaikan pekerjaan gereja. Aku berutang pada Tuhan dan tak berhak hidup di hadapan-Nya. Aku hanya ingin melakukan pelayanan untuk Tuhan agar bisa sedikit meringankan dosaku.

Pada Desember 2021, aku kembali dipilih untuk menjadi pemimpin gereja. Namun, karena aku pernah mengkhianati Tuhan dan merasa tak pantas menjadi pemimpin, aku bercerita pada seorang pemimpin sambil menangis tentang pengalamanku menjadi desertir. Pemimpin itu berkata, "Sudah sekian tahun berlalu, tapi kau masih terjebak di keadaan negatif dan kesalahpahaman ini. Itu mempersulit dirimu untuk mendapatkan pekerjaan Roh Kudus." Aku juga berpikir bahwa beberapa tahun telah berlalu, jadi, kenapa aku masih bersedih karena pelanggaran dan kesalahpahaman terhadap Tuhan? Bagaimana cara keluar dari keadaan itu? Setelah itu aku berusaha untuk berdoa dan mencari. Aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Bahkan ketika ada saat-saat di mana engkau merasa Tuhan telah meninggalkanmu, dan engkau telah terjerumus ke dalam kegelapan, jangan takut: selama engkau masih hidup dan tidak berada di neraka, engkau masih memiliki kesempatan. Namun, jika engkau seperti Paulus, yang akhirnya bersaksi bahwa baginya hidup adalah Kristus, maka tamatlah riwayatmu. Jika engkau bisa sadar, engkau masih punya kesempatan. Kesempatan apa lagi yang kaumiliki? Itu berarti engkau dapat datang ke hadapan Tuhan, engkau masih dapat berdoa kepada Tuhan dan mencari jawaban dari-Nya, dan berkata, 'Ya Tuhan! Cerahkanlah aku agar memahami aspek jalan penerapan ini dan aspek kebenaran ini.' Selama engkau adalah salah seorang pengikut Tuhan, engkau memiliki harapan untuk diselamatkan dan akan berhasil mencapai garis akhir. Apakah perkataan ini cukup jelas? Apakah engkau masih cenderung bersikap negatif? (Tidak.) Jika orang memahami kehendak Tuhan, jalan mereka adalah jalan yang luas. Jika mereka tidak memahami kehendak-Nya, jalan mereka sempit, ada kegelapan di dalam hati mereka, dan mereka tidak memiliki jalan untuk ditempuh. Inilah ciri orang yang tidak memahami kebenaran: mereka berpikiran sempit, mereka selalu mencari-cari kesalahan, dan mereka selalu mengeluh serta menafsirkan Tuhan secara keliru—akibatnya, semakin jauh mereka berjalan, semakin hilang jalan mereka. Sebenarnya, manusia tidak memahami Tuhan. Jika Tuhan memperlakukan manusia dengan cara seperti yang mereka bayangkan, ras manusia sudah lama musnah" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagaimana Mengenali Natur dan Esensi Paulus"). "Aku tidak ingin melihat siapa pun merasa seolah-olah Tuhan telah meninggalkan mereka dalam kedinginan, bahwa Tuhan telah meninggalkan mereka atau berpaling dari mereka. Satu-satunya yang ingin Kulihat adalah bahwa semua orang sedang berada di jalan di mana mereka mengejar kebenaran dan berusaha untuk memahami Tuhan, dengan berani bergerak maju dengan tekad tak tergoyahkan, tanpa beban ataupun keraguan. Tidak peduli apa kesalahan yang telah engkau perbuat, tidak peduli seberapa jauh engkau telah menyimpang, atau seberapa serius engkau telah melanggar, jangan biarkan hal-hal ini menjadi beban atau beban berat yang harus kaubawa bersamamu dalam pengejaranmu untuk memahami Tuhan. Teruslah bergerak maju. Setiap saat, Tuhan mengenggam keselamatan manusia di hati-Nya; ini tidak pernah berubah. Inilah bagian paling berharga dari esensi Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). "Tuhan menjadi marah kepada penduduk Niniwe karena tindakan mereka yang jahat telah terlihat oleh-Nya; pada saat itu, amarah-Nya berasal dari esensi-Nya. Namun, ketika amarah Tuhan mereda dan Dia menganugerahkan toleransi-Nya kepada penduduk Niniwe sekali lagi, segala yang Dia singkapkan tetaplah esensi-Nya sendiri. Keseluruhan perubahan ini disebabkan oleh perubahan dalam sikap manusia terhadap Tuhan. Selama seluruh periode ini, watak Tuhan yang tidak dapat disinggung tidak berubah, esensi toleran Tuhan tidak berubah, dan esensi penuh kasih dan penuh belas kasih Tuhan tidak berubah. Ketika manusia melakukan tindakan jahat dan menyinggung Tuhan, Dia akan menimpakan amarah-Nya kepada mereka. Ketika manusia benar-benar bertobat, hati Tuhan akan berubah, dan amarah-Nya akan reda. Ketika manusia terus dengan keras kepala menentang Tuhan, amarah-Nya tidak akan reda, dan murka-Nya akan terus menekan mereka sedikit demi sedikit sampai mereka hancur. Inilah esensi dari watak Tuhan. Terlepas dari apakah Tuhan mengungkapkan murka atau belas kasih dan kasih setia, tingkah laku, perilaku, dan sikap manusia terhadap Tuhan di lubuk hatinya yang menentukan apa yang diungkapkan lewat pengungkapan watak Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik II"). Aku sangat tersentuh dan merasa bersalah saat membaca firman tersebut. Aku sadar bahwa selama bertahun-tahun telah salah paham terhadap Tuhan. Kehendak Tuhan adalah untuk menyelamatkan sebanyak mungkin umat manusia. Dia tak akan meninggalkan seseorang karena pelanggaran sesaat, tapi Dia memberikan banyak kesempatan untuk bertobat. Sama seperti orang-orang Niniwe. Tuhan hanya bilang Dia akan menghancurkan mereka karena berbuat jahat, menentang-Nya, dan menyinggung-Nya. Namun, sebelum menghancurkan Niniwe, Dia menyuruh Yunus menyebarkan firman Tuhan, memberikan kesempatan terakhir untuk bertobat. Saat mereka bertobat dengan tulus, Dia membatalkan kemurkaan-Nya dan mengubahnya menjadi toleransi dan belas kasih, memaafkan perbuatan jahat mereka. Aku bisa melihat kasih dan belas kasih Tuhan yang besar untuk manusia dari hal tersebut. Kemurkaan Tuhan yang mendalam dan belas kasih yang berlimpah dijadikan prinsip dan berubah berdasarkah sikap manusia terhadap Tuhan. Meski firman Tuhan tentang penghakiman dan pengungkapan itu kejam, bahkan mengutuk dan memberatkan, itu adalah konfrontasi dalam bentuk kata-kata, bukan kejadian sungguhan. Kehendak Tuhan adalah agar aku memahami watak-Nya yang tak dapat dilanggar dan benar, menghormati dan bertobat pada-Nya, jadi, kapan saja dan dalam situasi apa pun aku dapat berdedikasi melaksanakan tugas. Saat itu aku sadar bahwa aku terlalu keras kepala dan memberontak. Aku salah paham terhadap Tuhan selama bertahun-tahun, membatasi diriku berdasarkan gagasan, menjebak diriku di jalan buntu. Namun, Tuhan tak meninggalkan penyelamatanku, aku salah paham terhadap kehendak Tuhan untuk menyelamatkanku. Itu mengingatkanku pada satu firman Tuhan: "Belas Kasih dan Toleransi Tuhan Tidaklah Langka—Pertobatan Sejati Manusialah yang Langka" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik II"). Meski Tuhan memiliki kemurkaan, penghakiman, dan pengungkapan terhadap kita, dan Dia menghukum serta mengutuk kita, Dia penuh kasih dan belas kasih. Jika kita tak paham watak benar-Nya, kita cenderung salah paham terhadap-Nya. Aku sangat menyesal dan merasa bersalah setelah memahami keinginan Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia. Aku tak ingin terus lari dari pelanggaranku di masa lalu atau terus salah paham terhadap Tuhan dan berhati-hati terhadap-Nya. Aku siap untuk bertobat. Aku ingin menggunakan pelajaran dari kegagalan ini sebagai peringatan bagi diriku. Selama ini aku egoistis, keji, dan serakah. Di hadapan bahawa aku menjadi desertir, mengabaikan pekerjaan gereja. Aku menyadari bahwa kelemahanku adalah rasa takutku terhadap kematian. Aku harus mencari kebenaran untuk mengatasinya, untuk menjauh dari hal itu.

Setelah itu aku membaca firman Tuhan ini. "Dari sudut pandang gagasan manusia, jika mereka sudah membayar harga sebesar itu untuk mengabarkan tentang pekerjaan Tuhan, mereka setidaknya harus menerima kematian yang baik. Namun, orang-orang ini disiksa hingga mereka mati sebelum waktunya. Ini tidak sesuai dengan gagasan manusia, tetapi Tuhan justru membiarkannya—Tuhan mengizinkan itu terjadi. Kebenaran apa yang bisa dicari dalam hal Tuhan membiarkan ini terjadi? Apakah Tuhan membiarkan mereka mati dengan cara ini adalah kutukan dan hukuman-Nya, atau apakah ini adalah rencana dan berkat-Nya? Bukan keduanya. Apakah itu? Kini orang-orang merenungkan kematian para martir itu dengan penuh kesedihan, tetapi memang itulah yang terjadi. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan mati dengan cara seperti itu, dan itu membuat hati orang terasa sakit. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Saat kita membahas topik ini, taruhlah dirimu pada posisi mereka; apakah hatimu kemudian sedih, dan apakah engkau merasakan sakit yang tersembunyi? Engkau berpikir, 'Orang-orang ini melaksanakan tugas mereka untuk mengabarkan Injil Tuhan dan seharusnya dianggap sebagai orang-orang baik, jadi bagaimana mereka bisa berakhir seperti itu, mengalami kesudahan seperti itu?' Sesungguhnya, begitulah tubuh mereka mati dan berakhir; itu adalah cara mereka meninggalkan dunia manusia, tetapi bukan berarti kesudahan mereka sama. Bagaimanapun cara kematian dan kepergian mereka, bagaimanapun itu terjadi, itu bukanlah cara Tuhan mendefinisikan kesudahan akhir dari hidup mereka, kesudahan akhir dari makhluk ciptaan tersebut. Ini adalah sesuatu yang harus kaupahami dengan jelas. Sebaliknya, mereka justru menggunakan cara-cara itu untuk menghakimi dunia ini dan untuk bersaksi tentang perbuatan-perbuatan Tuhan. Makhluk ciptaan ini menggunakan hidup mereka yang paling berharga—mereka menggunakan saat-saat terakhir hidup mereka untuk bersaksi tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, untuk bersaksi tentang kuasa Tuhan yang besar, dan untuk menyatakan kepada Iblis dan dunia bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan benar, bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan, bahwa Dia adalah Tuhan, dan daging inkarnasi Tuhan; bahkan hingga di saat-saat akhir hidup mereka, mereka tidak pernah menyangkal nama Tuhan Yesus. Bukankah ini suatu bentuk penghakiman terhadap dunia ini? Mereka menggunakan nyawa mereka untuk menyatakan kepada dunia, untuk menegaskan kepada manusia bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan, bahwa Tuhan Yesus adalah Kristus, bahwa Dia adalah daging inkarnasi Tuhan, bahwa pekerjaan penebusan yang Dia kerjakan bagi semua manusia memungkinkan manusia untuk terus hidup—fakta ini tidak akan berubah selamanya. Sampai sejauh mana mereka melaksanakan tugas mereka? Apakah sampai ke taraf tertinggi? Bagaimana taraf tertinggi itu diwujudkan? (Mereka mempersembahkan nyawa mereka.) Benar, mereka membayar harga dengan nyawa mereka. Keluarga, kekayaan, dan hal-hal materiel dari kehidupan ini semuanya adalah hal-hal lahiriah; satu-satunya hal yang batiniah adalah nyawa mereka. Bagi setiap orang yang hidup, nyawa adalah hal yang paling bernilai untuk dihargai, hal yang paling berharga dan, yang terjadi adalah, orang-orang ini mampu mempersembahkan milik mereka yang paling berharga—nyawa—sebagai penegasan dan kesaksian tentang kasih Tuhan bagi manusia. Hingga saat wafatnya, mereka tidak menyangkal nama Tuhan, juga tidak menyangkal pekerjaan Tuhan, dan mereka menggunakan saat terakhir hidup mereka untuk bersaksi tentang keberadaan fakta ini—bukankah ini bentuk kesaksian tertinggi? Inilah cara terbaik orang dalam melaksanakan tugasnya; inilah yang artinya orang memenuhi tanggung jawabnya. Ketika Iblis mengancam dan meneror mereka, dan, pada akhirnya, bahkan ketika Iblis membuat mereka harus membayar harga dengan nyawa mereka, mereka tidak melalaikan tanggung jawab mereka. Ini artinya orang memenuhi tugasnya hingga taraf tertinggi. Apakah yang Kumaksud dengan ini? Apakah yang Kumaksudkan adalah agar engkau semua menggunakan metode yang sama untuk bersaksi tentang Tuhan dan mengabarkan Injil? Engkau tidak perlu melakukan hal yang seperti itu, tetapi engkau harus memahami bahwa ini adalah tanggung jawabmu, bahwa jika Tuhan memintamu untuk melakukannya, engkau harus menerimanya sebagai suatu kewajiban moral" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Semua Orang Percaya Terikat Secara Moral pada Tugas untuk Menyebarkan Injil"). Aku sangat malu setelah membaca firman Tuhan. Orang suci dari beberapa zaman telah mengorbankan nyawa dan menumpahkan darah untuk melakukan penginjilan. Banyak yang menjadi martir untuk Tuhan. Beberapa orang dilempari batu hingga tewas atau diseret oleh kuda hingga tewas. Beberapa orang ditempatkan di penggorengan, beberapa disalib. Banyak misionaris tahu bahwa nyawa mereka terancam dengan datang ke Tiongkok, tapi mereka mengambil risiko demi melakukan penginjilan. Kini, banyak orang yang percara disiksa dan dipersekusi hingga tewas oleh Partai karena melakukan penginjilan, mengorbankan nyawa demi menjadi saksi bagi Tuhan. Persekusi mereka adalah demi kebenaran, kematian mereka bermakna dan disetujui oleh Tuhan. Sebelumnya, aku tak pernah menyaksikan hal semacam itu dengan jelas, tapi aku selalu berusaha bertahan hidup. Aku mengira semua akan berakhir saat aku meninggal, jadi, karena persekusi gila-gilaan oleh Partai, aku meninggalkan tugas dan menjalani hidup sebagai sosok tercela. Ini adalah noda permanen dan pelanggaran serius. Saat menghadapi situasi buruk, tanpa ditahan, aku mengkhianati Tuhan karena takut mati. Ternyata aku tak memahami aturan Tuhan Yang Mahakuasa. Apa pun yang kita hadapi dalam hidup, apa pun penderitaan yang kita alami, semua telah ditetapkan oleh Tuhan. Kita tak bisa lari. Aku bersyukur atas pencerahan dan bimbingan Tuhan yang membuatuku memahami hal ini, jadi, aku bisa mengubah perspektifku yang salah dan menghadapi kematian dengan benar. Pemikiran ini memperkuat imanku. Setelah itu, apa pun yang kuhadapi, aku siap bersandar pada Tuhan dan menjadi saksi, dan tak akan lagi meninggalkan tugas atau mengkhianati-Nya.

Pada 6 July 2022, rekanku mencariku dan berucap dengan gugup, "Ada masalah. Tiga pemimpin ditahan." Aku merasa gelisah setelah mendengarnya. Mereka melakukan kontak dengan banyak orang dan rumah, dan salah satunya menghubungi kami beberapa hari sebelumnya. Kita harus segera menghadapi konsekuensinya untuk mencegah kerugian yang makin besar. Namun, aku masih merasa sedikit malu dan takut. Jika polisi mengawasi saudara-saudari itu, keberadaanku akan tercium jika menghubungi saudara-saudari. Namun, aku mengingat pelajaran menyakitkan yang kudapat saat menjadi desertir, saat aku mengkhianati Tuhan dan menyinggung watak-Nya. Itu adalah sakit yang tak akan pernah kulupakan dan aku tak mau mengulanginya. Jadi, aku terus berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku merasa takut menghadapi situasi hari ini, tapi kali ini aku ingin menjalan tugas dan bertahan. Tolong beri aku iman dan kekuatan."

Aku menghubungi saudara-saudari agar mereka berjaga-jaga, dan memindahkan buku berisi firman Tuhan ke tempat aman. Lalu, aku sadar bahwa rumahku pun tak aman, jadi, aku ingin memberi tahu ibu mertuaku dan memintanya menyewa kamar hari itu. Tepat saat aku sampai di pintu masuk, aku melihat sepasang pria muda berpakaian serbahitam. Aku tak berani masuk, dan pergi ke rumah keluarga untuk memantau keadaan. Ternyata ibu mertuaku ditahan, dan pria berpakaian serbahitam itu adalah polisi. Setelah itu, aku mendapat informasi bahwa seorang saudari yang menyuruh saudara-saudari untuk pindah masih belum kembali dan kemungkinan ditahan juga. Situasinya menuntutku untuk berpikir cepat. Aku bergegas menangani pekerjaan bersama saudari yang menjadi rekanku. Aku mendapat informasi bahwa itu adalah operasi penangkapan yang dikoordinasi oleh Partai Komunis, dan 27 orang telah ditahan sejak malam tanggal 5 hingga siang tanggal 6. Saat menghadapi situasi buruk seperti itu, aku tahu bahwa ini adalah kesempatan dari Tuhan agar aku mengambil pilihan berbeda. Sebelumnya aku menjadi desertir, mengkhianati Tuhan. Kali ini aku tak boleh mengecewakan Tuhan lagi, tapi aku harus bersandar pada Tuhan dan bekerja sama untuk menangani konsekuensi dan melaksanakan tugasku. Aku merasa lebih tenang dan damai saat memikirkan hal itu.

Saat membahas pelanggaranku lagi, aku mampu menghadapi dan mengakui bahwa aku serakah, egoistis, dan hina, tapi aku tak ingin menjadi orang seperti itu lagi. Aku ingin pelanggaran waktu itu menjadi alarm, sebagai pengingat agar aku tak mengulangi kesalahan yang sama. Kegagalan itu membuatku membenci watak rusak dalam diriku dan membuatku tak ingin menjalani hidup dengan egoistis. Kini, saat melihat saudara-saudari di situasi yang sama dengan diriku, aku menawarkan persekutuan agar mereka dapat memahami watak-Nya yang tak dapat dilanggar dan benar, dan menjadikannya sebagai peringatan. Pelanggaran itu membekas di hatiku dan sangat menyakitkan, tapi itu menjadi pengalaman berharga di hidupku. Syukur kepada Tuhan!

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Aku Tidak Layak Melihat Kristus

Huanbao Kota Dalian, Provinsi Liaoning Sejak mulai percaya kepada Tuhan yang Mahakuasa untuk pertama kalinya, aku selalu kagum dengan...