Cara Mengejar Kebenaran (3)

Sampai di mana persekutuan kita pada pertemuan sebelumnya? Kita telah mempersekutukan cara mengejar kebenaran, yang berkaitan dengan dua topik utama yang pada dasarnya merupakan dua aspek penerapan. Apa aspek penerapan yang pertama? (Yang pertama adalah melepaskan.) Dan aspek penerapan yang kedua? (Yang kedua adalah mengabdikan dirimu.) Yang pertama adalah melepaskan, dan yang kedua adalah mengabdikan dirimu. Mengenai penerapan "melepaskan", kita terlebih dahulu bersekutu tentang melepaskan berbagai emosi negatif. Aspek pertama dari "melepaskan" berkaitan dengan melepaskan berbagai emosi negatif. Jadi, saat kita membahas tentang melepaskan berbagai emosi negatif, emosi apakah yang telah kita bahas? (Pada kali pertama, Tuhan membahas tentang rasa rendah diri, kebencian, dan kemarahan, dan pada kali kedua tentang depresi.) Pada kali pertama, Aku membahas tentang perlunya melepaskan kebencian, kemarahan, dan rasa rendah diri—ketiga emosi negatif inilah yang terutama Kubahas, dan Aku juga membahas panjang lebar tentang depresi. Pada kali kedua, Aku membahas tentang penerapan melepaskan perasaan depresi sebagai salah satu emosi negatif. Orang dapat mengalami depresi karena berbagai macam sebab, dan sebelumnya Aku terutama membahas tentang beberapa hal yang dapat menyebabkan munculnya emosi negatif depresi. Katakan kepada-Ku, apa saja penyebab utama munculnya perasaan depresi yang Kuberitahukan kepadamu? (Tuhan, seluruhnya terdapat tiga penyebab. Pertama, karena orang selalu merasa bahwa mereka bernasib buruk; kedua, karena orang menyalahkan ketidakberuntungan mereka saat sesuatu terjadi pada mereka; dan ketiga, karena orang pernah melakukan pelanggaran serius di masa lalu, atau karena mereka pernah melakukan hal-hal yang bodoh atau dungu, yang menyebabkan mereka tenggelam dalam depresi.) Ini adalah ketiga penyebab utama. Penyebab pertama, karena orang yakin bahwa mereka bernasib buruk sehingga mereka sering merasa depresi; penyebab kedua, karena orang yakin mereka tidak beruntung, jadi mereka juga sering merasa depresi; dan penyebab ketiga, karena orang pernah melakukan pelanggaran serius, yang menyebabkan mereka sering merasa depresi. Ini adalah ketiga penyebab utama. Perasaan depresi bukanlah perasaan negatif atau kesedihan yang terjadi sepintas lalu. Sebaliknya, ini merupakan emosi negatif yang telah menjadi kebiasaan dan muncul berulang kali di benakmu yang diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Emosi negatif ini menyebabkan orang memiliki banyak pemikiran, pandangan, dan sudut pandang negatif, dan bahkan menyebabkan orang memiliki banyak pemikiran, pandangan, perilaku dan cara-cara yang ekstrem dan keliru. Emosi negatif bukanlah suasana hati sesaat atau gagasan yang sekilas; ini merupakan emosi negatif yang muncul berulang kali dan telah menjadi kebiasaan, selalu menyertai orang, menemani mereka dalam kehidupan mereka di lubuk hati dan di kedalaman jiwa mereka, serta menyertai mereka dalam pemikiran dan tindakan mereka. Emosi negatif ini bukan saja memengaruhi hati nurani dan nalar manusia normal, tetapi juga dapat memengaruhi berbagai sudut pandang, pandangan dan perspektif yang orang miliki dalam cara mereka memandang orang dan hal-hal, dan dalam cara mereka berperilaku dan bertindak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk menganalisis berbagai perasaan negatif ini, menyelidiki dan mengenalinya, sebelum kemudian melepaskannya dan mengubahnya satu demi satu, berusaha untuk berangsur-angsur meninggalkannya sehingga hati nurani dan nalarmu, serta cara berpikirmu menjadi normal dan nyata, dan agar caramu dalam memandang orang dan hal-hal dan caramu berperilaku dan bertindak dalam kehidupanmu sehari-hari tidak lagi dipengaruhi, dikendalikan, atau bahkan ditekan oleh perasaan-perasaan negatif ini—inilah tujuan utama menganalisis dan mengenali berbagai emosi negatif tersebut. Tujuan utamanya bukanlah agar engkau mendengarkan apa yang Kufirmankan, mengetahuinya, memahaminya, dan kemudian membiarkannya begitu saja, melainkan agar engkau tahu dengan jelas dari firman-Ku betapa berbahayanya emosi negatif bagi manusia, agar engkau tahu betapa merugikannya emosi negatif dan betapa besar pengaruhnya bagi manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari, dalam cara mereka memandang orang dan hal-hal, dan dalam cara mereka berperilaku dan bertindak.

Sebelumnya, kita juga telah mempersekutukan bahwa meskipun emosi negatif ini tidak mencapai taraf watak yang rusak atau esensi yang rusak, tetapi emosi negatif ini memfasilitasi dan memperburuk watak rusak orang hingga taraf tertentu, memberi landasan bagi mereka untuk melakukan sesuatu berdasarkan watak rusak mereka, dan memberi orang lebih banyak alasan untuk hidup berdasarkan watak rusak mereka dengan didukung oleh emosi negatif ini, dan memberi mereka alasan untuk memandang siapa pun dan apa pun berdasarkan watak rusak mereka. Jadi, semua emosi negatif ini memengaruhi kehidupan sehari-hari orang dalam taraf yang berbeda, dan hingga batas tertentu, emosi negatif ini memengaruhi dan mengendalikan berbagai pemikiran orang, serta memengaruhi sikap, perspektif dan sudut pandang mereka terhadap kebenaran dan Tuhan. Dapat dikatakan, pengaruh emosi negatif terhadap manusia adalah sama sekali tidak baik, sama sekali tidak positif, dan sama sekali tidak ada manfaatnya, sebaliknya, hanya dapat merugikan manusia. Itulah sebabnya, jika orang hidup dalam emosi negatif ini, hati mereka dengan sendirinya akan dipengaruhi dan dikendalikan oleh emosi negatif tersebut, dan mereka tidak akan mampu menahan diri untuk tidak hidup dalam keadaan negatif, dan bahkan akan bersikap ekstrem dengan memandang orang dan hal-hal dari sudut pandang yang tak masuk akal. Ketika orang memandang seseorang atau sesuatu dari perspektif dan sudut pandang emosi negatif, tentu saja perilaku, pendekatan, dan dampak dari perilaku dan tindakan yang mereka hasilkan akan dicemari dengan emosi yang ekstrem, negatif dan depresif. Emosi yang negatif, depresif, dan ekstrem ini akan menyebabkan orang menjadi tidak taat kepada Tuhan, tidak puas akan Tuhan, menyalahkan Tuhan, menentang-Nya, dan bahkan melawan-Nya, dan tentu saja, membenci-Nya. Sebagai contoh, saat seseorang yakin dirinya bernasib buruk, siapa yang dia salahkan atas nasib buruknya? Dia mungkin tidak mengatakannya, tetapi di dalam hatinya, dia yakin bahwa Tuhan telah bertindak keliru dan bahwa Dia tidak adil, dan dia berpikir, "Mengapa Tuhan menjadikan orang itu begitu tampan? Mengapa Tuhan membuatnya lahir di keluarga yang sebaik itu? Mengapa Dia memberinya bakat seperti itu? Mengapa Dia memberinya kualitas sebaik itu? Mengapa kualitasku begitu buruk? Mengapa Tuhan mengatur agar dia menjadi pemimpin? Mengapa aku tidak pernah mendapat giliran, mengapa aku tak pernah sekali pun menjadi pemimpin? Mengapa segala sesuatu berjalan dengan sangat lancar baginya, sedangkan apa pun yang kulakukan tak pernah berjalan dengan baik atau lancar? Mengapa nasibku begitu menyedihkan? Mengapa segala sesuatu yang terjadi padaku begitu berbeda? Mengapa hanya hal buruk yang terjadi padaku?" Meskipun pemikiran yang muncul dari perasaan depresif ini tidak menyebabkan orang menyalahkan Tuhan, atau menentang Tuhan dan nasib mereka dalam kesadaran subjektif mereka, pemikiran semacam ini benar-benar menyebabkan orang sering kali dan tanpa sadar tenggelam dalam emosi yang menghasilkan ketidaktaatan, ketidakpuasan, kekesalan, iri hati, dan kebencian di lubuk hati mereka. Dalam kasus yang parah, hal ini bahkan dapat menyebabkan orang menghasilkan pemikiran dan perilaku yang lebih ekstrem. Sebagai contoh, ada orang-orang yang, ketika melihat orang lain berprestasi lebih baik daripada mereka dan dipuji oleh Tuhan, merasa iri dan benci. Akibatnya, serangkaian tindakan picik pun mereka lakukan: mereka menjelek-jelekkan orang lain itu dan merendahkan dia di belakangnya, mereka secara diam-diam melakukan hal-hal mencurigakan dan tidak masuk akal, dan sebagainya. Munculnya serangkaian masalah ini berkaitan langsung dengan perasaan depresi dan emosi negatif dalam diri mereka. Serangkaian pemikiran, perilaku, dan pendekatan yang muncul dari perasaan depresi mereka ini pada awalnya mungkin hanya terlihat seperti semacam emosi, tetapi seiring berjalannya waktu, emosi yang negatif dan depresif ini bisa saja makin mendorong orang untuk hidup berdasarkan watak rusak Iblis dalam diri mereka. Namun, jika orang memahami kebenaran dan hidup dengan kemanusiaan normal mereka, saat perasaan yang negatif dan depresif ini muncul dalam diri mereka, hati nurani dan nalar mereka akan mampu untuk segera bertindak, dan orang ini akan mampu merasakan kehadiran dan gangguan dari perasaan depresi ini dan mengenalinya. Mereka kemudian mampu untuk segera keluar dari perasaan depresi tersebut, dan saat mereka menghadapi orang, peristiwa, dan hal-hal dalam situasi mereka saat ini, mereka mampu membuat penilaian yang rasional dan secara rasional memandang situasi yang mereka hadapi dan hal-hal yang mereka alami dari sudut pandang yang benar. Ketika orang melakukan semua hal ini secara rasional, hal paling mendasar yang akan mampu mereka lakukan adalah menerima apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal. Bahkan yang lebih baik dari itu, jika mereka memahami kebenaran, mereka akan mampu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dengan cara yang lebih rasional, dengan berdasarkan hati nurani dan nalar mereka, dan mereka tidak akan berperilaku dan bertindak dengan dikuasai oleh watak rusak mereka. Sedangkan, jika emosi negatif yang mendominasi hati mereka, memengaruhi pemikiran, pandangan dan cara mereka menangani masalah dan cara mereka berperilaku, maka tentu saja emosi negatif inilah yang akan memengaruhi kemajuan hidup mereka dan yang akan membuat mereka mengalami hambatan dan gangguan dalam pemikiran, pilihan, perilaku dan pendekatan mereka di segala situasi. Di satu sisi, emosi negatif ini memfasilitasi watak rusak orang, menyebabkan orang merasa tenang dan merasa dapat dibenarkan hidup berdasarkan watak rusak mereka; di sisi lain, emosi negatif ini juga dapat menyebabkan orang menolak hal-hal positif dan hidup dalam kenegatifan, enggan melihat terang. Dengan cara demikian, emosi negatif makin merajarela dan parah dalam diri manusia, dan emosi negatif ini sama sekali tidak mengizinkan orang untuk bertindak secara rasional dalam batasan hati nurani dan nalar mereka. Sebaliknya, emosi negatif ini menghalangi orang agar tidak mencari kebenaran dan agar tidak hidup di hadapan Tuhan, sehingga dengan demikian, orang dengan sendirinya menjadi makin merosot, bukan saja merasa negatif, tetapi juga menjauh dari Tuhan. Dan apa akibatnya jika keadaan ini terus berlanjut? Emosi negatif bukan saja tak dapat membereskan watak rusak orang, tetapi malah akan memfasilitasi watak rusak mereka, yang akan menyebabkan orang menangani masalah dan berperilaku berdasarkan watak rusak mereka dan berbuat sesuka hati mereka. Apa yang akan orang lakukan jika mereka didominasi oleh pemikiran dan pandangan yang keliru dan ekstrem? Akankah mereka mengganggu pekerjaan gereja? Akankah mereka menyebarkan kenegatifan, serta mengkritik Tuhan dan pengaturan kerja rumah Tuhan? Akankah mereka menyalahkan Tuhan dan menentang Dia? Mereka pasti akan melakukannya! Inilah akibat yang utama. Serangkaian sikap, seperti ketidaktaatan, ketidakpuasan, kenegatifan, dan penentangan akan muncul dalam diri orang—semua inilah akibatnya jika emosi negatif mendominasi hati orang untuk jangka waktu yang lama. Lihatlah, emosi negatif yang sekecil itu—emosi yang tampaknya tak mampu orang rasakan, yang keberadaannya bahkan tak mampu orang rasakan atau yang pengaruhnya terhadap mereka sama sekali tak mampu orang rasakan—emosi negatif yang sangat kecil ini terus menyertai mereka seolah-olah sudah ada dalam diri mereka sejak lahir. Emosi negatif menyebabkan orang mengalami kerugian dalam segala bentuk dan ukuran, dan bahkan selalu menyelimuti, mengintimidasi, menekan, dan mengikatmu, sampai ke taraf menemanimu sepanjang waktu, sama seperti hidupmu, tetapi engkau sama sekali tidak menyadarinya, sering kali hidup di dalamnya, dan meremehkannya, malah berpikir, "Memang beginilah cara orang berpikir, tidak ada yang salah dengan hal itu, ini sangat normal. Siapa yang tidak memiliki pemikiran aktif seperti ini? Siapa yang tidak memiliki beberapa emosi negatif?" Engkau tak mampu merasakan dampak buruk yang disebabkan oleh emosi negatif ini, padahal dampak buruk ini sangat nyata, dan engkau akan sering tanpa sadar dipicu oleh emosi negatifmu sehingga engkau dengan begitu saja memperlihatkan watak rusakmu, serta bertindak dan berperilaku berdasarkan watak rusakmu, sampai akhirnya engkau melakukan segala sesuatu berdasarkan watak rusakmu. Dapat kaubayangkan seperti inilah hasil akhirnya: semuanya menjadi negatif, semuanya merugikan, tanpa ada yang bermanfaat atau positif, dan terlebih lagi, tanpa ada apa pun yang dapat membantu orang untuk memperoleh kebenaran dan pujian dari Tuhan—semua ini bukanlah hasil yang optimis. Oleh karena itu, selama emosi negatif ada dalam diri seseorang, segala macam pemikiran dan pandangan yang negatif akan sangat memengaruhi dan mendominasi hidupnya. Selama pemikiran dan pandangan negatif memengaruhi dan mendominasi hidupnya, akan ada hambatan besar yang akan menghalanginya agar tidak lagi mengejar kebenaran, menerapkan kebenaran, ataupun masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Jadi, penting bagi kita untuk terus menyingkapkan dan menganalisis emosi negatif ini, sehingga semua emosi negatif ini dapat dibereskan.

Emosi negatif yang baru saja kita persekutukan memiliki dampak yang serius dan menyebabkan orang sangat dirugikan, tetapi ada emosi negatif lain yang juga memengaruhi dan merugikan orang. Selain emosi negatif seperti kebencian, kemarahan, rasa rendah diri, dan depresi yang telah kita bahas, ada emosi negatif lain, yaitu kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Emosi-emosi ini juga berakar begitu dalam di lubuk hati orang, dan menyertai orang dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dalam perkataan serta tindakan mereka. Tentu saja, ketika orang mengalami sesuatu, emosi negatif tersebut juga memengaruhi pemikiran dan pandangan yang muncul dalam diri mereka, serta memengaruhi sudut pandang dan perspektif yang mereka ambil. Hari ini, kita akan menganalisis dan menyingkapkan emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan berusaha menolong orang untuk menemukan emosi tersebut dalam diri mereka. Setelah orang menemukan emosi negatif ini dalam diri mereka, tujuan utamanya adalah agar mereka mengetahui emosi negatif ini secara menyeluruh, membuangnya, tidak lagi hidup di bawah pengaruhnya, dan tidak lagi hidup dan berperilaku dengan emosi negatif ini sebagai dasar dan landasan mereka. Pertama, mari kita perhatikan kata "kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran". Bukankah itu adalah cara orang mengungkapkan emosi? (Ya.) Sebelum kita mempersekutukan topik ini, silakan kaurenungkan topik ini terlebih dahulu, agar engkau memiliki konsep paling mendasar tentang "kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran". Entah engkau akan memperoleh pemahaman harfiah dari kata-kata tersebut, atau pemahaman yang lebih mendalam daripada makna harfiahnya, engkau kemudian akan memiliki pengetahuan dasar tentang emosi-emosi negatif ini. Pertama, katakan kepada-Ku apa yang menyebabkanmu merasa khawatir di masa lalu, atau hal apa yang membuatmu selalu merasa sedih, cemas, dan khawatir. Perasaan itu bisa saja menjadi semacam batu besar yang menghancurkanmu, atau seperti bayangan yang selalu mengikutimu, mengikatmu. (Tuhan, aku akan mengatakannya. Ketika aku tidak memperoleh hasil apa pun dalam tugasku, perasaan ini cukup jelas kurasakan, dan aku khawatir apakah aku akan disingkapkan dan diusir atau tidak, dan apakah aku akan memiliki masa depan yang baik dan tempat tujuan yang baik atau tidak. Ketika aku memperoleh hasil dalam tugasku, aku tidak merasa seperti ini, tetapi setiap kali aku tidak memperoleh hasil dalam tugasku selama beberapa waktu, emosi negatif seperti ini menjadi sangat jelas kurasakan.) Bukankah ini adalah perwujudan dari emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran? (Ya.) Benar. Emosi negatif semacam ini selalu bersembunyi di lubuk hati orang, terus-menerus memengaruhi pemikiran mereka. Meskipun orang tidak dapat merasakan emosi negatif semacam ini ketika tidak ada hal buruk yang terjadi, emosi negatif ini seperti aroma, atau seperti semacam gas, atau bahkan lebih seperti gelombang listrik. Engkau tidak dapat melihatnya dan karena engkau tidak menyadarinya, engkau juga bahkan tak mampu merasakannya. Namun, engkau dapat selalu merasakan kehadirannya di lubuk hatimu, seperti yang orang sebut indra keenam, dan secara tidak sadar engkau selalu dapat merasakan adanya pemikiran dan emosi semacam ini dalam dirimu. Pada saat yang tepat, di tempat yang tepat, dan dalam konteks yang tepat, emosi negatif semacam ini akan keluar sedikit demi sedikit, dan muncul sedikit demi sedikit. Bukankah demikian? (Ya.) Lalu, hal apa lagi yang membuatmu sedih, cemas, dan khawatir? Tidak ada lagikah selain yang baru saja kausebutkan? Jika tidak ada lagi, berarti engkau semua pasti hidup dengan sangat bahagia dan tanpa rasa khawatir, tanpa merasa cemas, dan tanpa merasa sedih tentang apa pun—yang berarti engkau benar-benar adalah orang yang bebas. Benarkah demikian? (Tidak.) Kalau begitu, katakan kepada-Ku apa yang ada dalam hatimu. (Ketika aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik, aku selalu khawatir akan kehilangan reputasi dan statusku, mengkhawatirkan apa yang akan saudara-saudari pikirkan tentangku, dan apa yang akan pemimpin pikirkan tentangku. Selain itu, ketika aku bekerja sama dengan saudara-saudariku untuk melaksanakan tugasku dan aku terus memperlihatkan watak rusakku, aku selalu khawatir karena setelah sekian lama percaya kepada Tuhan, aku sama sekali belum berubah, dan jika ini terus berlanjut, mungkin suatu hari nanti aku akan diusir. Ini adalah perasaan was-was yang kurasakan.) Saat engkau merasa was-was seperti ini, apakah emosi negatif kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran muncul dalam dirimu? (Ya.) Jadi, sebagian besar dari antaramu merasa cemas dan khawatir karena engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik, bukan? (Aku paling sering mengkhawatirkan masa depan dan nasibku.) Kekhawatiran orang akan masa depan dan nasib adalah kekhawatiran utama mereka. Ketika orang tidak mampu mengenali, memahami, menerima, atau tunduk pada lingkungan yang Tuhan atur dan pada kedaulatan-Nya, dan ketika orang menghadapi berbagai kesulitan dalam kehidupan mereka sehari-hari, atau ketika kesulitan tersebut melampaui yang mampu ditanggung oleh manusia normal, mereka tanpa sadar akan merasakan segala macam kekhawatiran dan kecemasan, dan bahkan perasaan sedih. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, atau lusa, atau apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan, atau akan seperti apa masa depan mereka, sehingga mereka merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang segala macam hal. Dalam konteks apa orang merasa sedih, cemas dan khawatir tentang segala macam hal? Mereka merasa seperti itu karena mereka tidak percaya akan kedaulatan Tuhan—yang berarti, mereka tidak mampu memercayai dan memahami kedaulatan Tuhan. Sekalipun mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri, mereka tidak akan memahaminya, ataupun memercayainya. Mereka tidak percaya bahwa Tuhanlah yang berdaulat atas nasib mereka, mereka tidak percaya bahwa hidup mereka berada di tangan Tuhan, sehingga ketidakpercayaan muncul di hati mereka terhadap kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan kemudian sikap yang menyalahkan pun muncul, dan mereka tidak mampu tunduk. Selain menyalahkan dan tak mampu tunduk, mereka ingin menjadi penguasa atas nasib mereka sendiri dan bertindak atas inisiatif mereka sendiri. Lalu, bagaimana keadaan mereka yang sebenarnya setelah mereka bertindak atas inisiatif mereka sendiri? Satu-satunya yang mampu mereka lakukan adalah hidup dengan mengandalkan kualitas dan kemampuan mereka sendiri, tetapi ada banyak hal yang tak mampu mereka capai, peroleh, atau kerjakan dengan mengandalkan kualitas dan kemampuan mereka sendiri. Misalnya: apa yang akan terjadi pada mereka di masa depan, akan mampukah mereka diterima di perguruan tinggi, akan mampukah mereka mendapatkan pekerjaan yang baik setelah lulus kuliah, dan apakah segalanya akan berjalan dengan lancar setelah mereka mendapatkan pekerjaan; dan jika mereka ingin meniti karier dan berusaha menjadi kaya, akan mampukah mereka mencapai cita-cita dan keinginan mereka dalam beberapa tahun; dan kemudian saat mereka ingin mendapatkan pasangan, menikah dan punya anak, pasangan seperti apa yang akan cocok untuk mereka? Bagi manusia, hal-hal seperti ini tidak diketahui. Karena hal-hal seperti ini tidak mereka ketahui, mereka menjadi bingung. Ketika orang merasa bingung, mereka menjadi sedih, cemas, dan khawatir—mereka merasa sedih, cemas dan khawatir tentang segala hal yang mungkin terjadi di masa depan. Mengapa demikian? Karena, dalam jangkauan kemanusiaan yang normal, orang sama sekali tak mampu menanggung semua hal ini. Tak seorang pun tahu bagaimana keadaan mereka dalam beberapa tahun ke depan, tak seorang pun tahu pekerjaan apa yang akan mereka dapatkan, atau seperti apa pernikahan, atau anak-anak mereka di masa depan—orang sama sekali tidak tahu akan hal-hal ini. Semua ini adalah hal-hal yang tidak dapat diketahui sebelumnya dalam jangkauan kemampuan manusia normal, dan itulah sebabnya orang selalu merasa sedih, cemas dan khawatir tentangnya. Sesederhana apa pun pikiran orang, selama mereka mampu berpikir, emosi negatif ini akan muncul di lubuk hati mereka, satu per satu, begitu mereka mencapai usia dewasa. Mengapa kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran muncul dalam diri manusia? Karena manusia selalu resah dan gelisah tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan mereka; mereka selalu ingin tahu, ingin memahami, dan ingin mencapai hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan mereka, dan bahkan ingin mengendalikan hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia normal. Mereka ingin mengendalikan semua ini, dan bukan itu saja—mereka juga ingin hukum dan hasil perkembangan semua hal ini berjalan dan terpenuhi sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Jadi, karena didominasi oleh pemikiran yang tidak masuk akal seperti ini, orang merasa sedih, cemas dan khawatir, dan akibat dari emosi negatif ini berbeda pada setiap orang. Hal apa pun yang membuat orang merasa sangat sedih, cemas, atau khawatir, sehingga membentuk emosi-emosi negatif ini, orang harus menanganinya dengan sangat serius dan mencari kebenaran untuk membereskannya.

Kita akan mempersekutukan emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran terutama dari dua aspek: yang pertama, kita akan menganalisis kesulitan yang orang hadapi untuk mengetahui apa sajakah kesulitan tersebut, dan dari sana memahami apa sebenarnya penyebab munculnya emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan bagaimana sebenarnya emosi tersebut muncul; yang kedua, kita akan menganalisis emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran dalam hal berbagai sikap orang terhadap pekerjaan Tuhan. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Jadi ada berapa aspek? (Dua.) Kita akan menganalisis penyebab munculnya emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, pertama dari kesulitan yang orang hadapi, dan kedua dari sikap orang terhadap pekerjaan Tuhan. Ulangi perkataan-Ku. (Kita akan menganalisis penyebab munculnya emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, pertama dari kesulitan yang orang hadapi, dan kedua dari sikap orang terhadap pekerjaan Tuhan.) Terdapat banyak kesulitan yang bisa saja orang hadapi, yang semuanya orang jumpai dalam kehidupan mereka sehari-hari, kesulitan yang sering kali muncul dalam lingkup kehidupan manusia normal. Dan apakah penyebab munculnya kesulitan-kesulitan tersebut? Kesulitan-kesulitan itu muncul karena orang selalu berusaha menjangkau apa yang berada di luar jangkauan mereka, selalu berusaha mengendalikan nasib mereka sendiri, selalu berusaha mengetahui masa depan mereka terlebih dahulu. Jika masa depan mereka kelihatannya tidak bagus, mereka segera mencari ahli fengsui atau peramal untuk memperbaiki dan membenahinya. Itulah sebabnya orang menghadapi begitu banyak kesulitan dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan kesulitan-kesulitan inilah yang menyebabkan orang sering kali terjerumus ke dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Apa sajakah kesulitan-kesulitan tersebut? Mari kita lihat terlebih dahulu apa yang orang anggap sebagai kesulitan terbesar mereka—apakah itu? Itu adalah prospek masa depan mereka, yang berarti masa depan orang dalam kehidupan ini, apakah kelak mereka akan menjadi kaya atau biasa-biasa saja, apakah kelak mereka akan mampu menjadi orang yang menonjol, orang yang sangat berhasil dan sejahtera ataukah tidak di dunia ini dan di antara orang-orang. Terutama di antara mereka yang percaya kepada Tuhan, mereka boleh saja tidak tahu apa yang akan terjadi pada orang lain di masa depan, tetapi mereka sering mengkhawatirkan masa depan mereka sendiri dan selalu bertanya-tanya, "Apakah hanya ini arti percaya kepada Tuhan? Apakah aku akan pernah menjadi orang yang menonjol kelak? Akan mampukah aku mengambil peran penting di rumah Tuhan? Akan mampukah aku menjadi pemimpin tim atau penanggung jawab? Akan mampukah aku menjadi pemimpin? Apa yang akan terjadi padaku? Jika aku selalu melaksanakan tugasku seperti ini di rumah Tuhan, apa yang akan terjadi padaku pada akhirnya? Akankah aku memperoleh keselamatan? Apakah aku akan memiliki prospek masa depan? Masih perlukah aku terus melakukan pekerjaanku di dunia ini? Perlukah aku terus mempelajari keterampilan profesional yang kupelajari sebelumnya, atau perlukah aku memperoleh pendidikan lebih lanjut? Jika aku mampu terus melaksanakan tugasku di rumah Tuhan secara penuh waktu, seharusnya aku tidak memiliki masalah apa pun dalam hal memenuhi kebutuhan dasar hidupku, tetapi jika aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik dan aku dipindahkan dan diganti, bagaimana aku akan hidup kelak? Haruskah aku mengambil peluang ini sekarang sebelum aku digantikan atau diusir, sebagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan tersebut?" Mereka bertanya-tanya tentang hal-hal ini dan memastikan mereka memiliki tabungan, dan mereka berpikir, "Berapa tahun aku akan mampu bertahan hidup dengan tabunganku? Sekarang aku berusia tiga puluhan, dan sepuluh tahun lagi, aku akan berusia empat puluhan. Jika aku dikeluarkan dari gereja, akan mampukah aku menyesuaikan diri dengan keadaan dunia kerja saat aku kembali ke dunia? Apakah kesehatanku akan cukup baik sehingga aku bisa terus bekerja? Akan mampukah aku memperoleh penghasilan yang cukup untuk kebutuhan hidupku? Apakah hidup akan sulit bagiku? Aku melaksanakan tugasku di rumah Tuhan, tetapi akankah Tuhan mempertahankanku sampai akhir?" Meskipun mereka selalu memikirkan hal-hal ini, mereka tak pernah menemukan jawabannya. Walaupun tidak pernah ada kesimpulan atas pertanyaan tersebut, mereka tak mampu menahan diri untuk selalu memikirkan hal-hal ini—itu berada di luar kendali mereka. Ketika mereka menghadapi rintangan atau kesulitan, atau saat sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginan mereka, di lubuk hatinya, mereka memikirkan hal-hal ini, tanpa memberi tahu siapa pun. Ketika ada orang-orang yang dipangkas dan ditangani, ketika mereka digantikan dalam tugas mereka, ketika mereka dipindahkan ke tugas berbeda, atau ketika mereka menghadapi krisis tertentu, orang-orang ini tanpa sadar memikirkan tentang jalan keluar dan tak mampu menahan diri untuk membuat rencana dan merencanakan langkah mereka selanjutnya. Apa pun yang terjadi pada akhirnya, orang masih sering membuat rencana dan merencanakan sesuatu untuk hal-hal yang membuat mereka merasa khawatir, cemas, dan sedih. Bukankah hal-hal inilah yang orang pikirkan demi prospek masa depan mereka sendiri? Bukankah emosi negatif ini muncul karena orang tak mampu melepaskan prospek masa depan mereka sendiri? (Ya.) Ketika orang sedang merasa sangat bersemangat dan ketika segala sesuatunya berjalan dengan sangat lancar dalam pelaksanaan tugas mereka, dan terutama ketika mereka dipromosikan, dipakai untuk melaksanakan beberapa tugas penting, ketika mereka menikmati dukungan dari sebagian besar saudara-saudari, dan ketika nilai mereka sendiri tecermin, mereka tidak memikirkan emosi negatif tersebut. Saat reputasi, status dan kepentingan mereka terancam, mereka tak mampu menahan diri untuk kembali terperosok dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran. Saat mereka kembali terperosok ke dalam emosi negatif ini, cara mereka menangani emosi negatif ini bukanlah dengan melarikan diri darinya atau menolaknya, melainkan mereka malah memperkuat emosi negatif ini, berusaha bekerja keras untuk tenggelam dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, membuat diri mereka makin tenggelam ke dalamnya. Mengapa Kukatakan demikian? Ketika orang tenggelam dalam emosi negatif ini, mereka memiliki lebih banyak alasan, lebih banyak dalih, dan dapat dengan lebih bebas membuat rencana untuk masa depan mereka dan untuk langkah mereka selanjutnya. Sementara membuat rencana ini, mereka menganggap ini adalah hal yang sudah seharusnya, bahwa inilah yang seharusnya mereka lakukan, dan mereka menggunakan pepatah, "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri," dan pepatah lain, "Orang yang tidak merencanakan masa depannya sendiri pasti akan mendapatkan masalah kelak", yang berarti jika engkau tidak membuat rencana dan memikirkan masa depan dan nasibmu terlebih dahulu, maka orang lain tidak akan mengkhawatirkannya bagimu, dan tak seorang pun akan memedulikannya bagimu. Jika engkau tidak tahu ke mana langkahmu selanjutnya, engkau akan menghadapi perasaan canggung, rasa sakit, dan rasa malu dan orang yang akan menderita dan menanggung kesukaran itu adalah dirimu sendiri. Jadi, orang merasa diri mereka sangat pintar, dan untuk setiap langkah yang mereka ambil, mereka akan memikirkan sepuluh langkah ke depan. Saat mereka menghadapi kesulitan atau kekecewaan, mereka segera tenggelam lagi dalam emosi negatif mereka berupa kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran untuk melindungi diri mereka sendiri, agar masa depan dan langkah mereka selanjutnya dalam hidup ini aman dan terjamin, agar mereka memiliki cukup sandang pangan, agar tak perlu berkeliaran di jalanan, dan tidak kekurangan makanan atau pakaian. Oleh karena itu, di bawah pengaruh emosi negatif ini, mereka sering mengingatkan diri mereka sendiri dengan berpikir, "Aku harus membuat rencana sejak dini, menahan beberapa hal, dan mencadangkan jalan keluar yang cukup bagiku. Aku tak boleh bersikap bodoh—nasibku berada di tanganku sendiri. Orang sering berkata, 'Nasib kita berada di tangan Tuhan, dan Tuhan berdaulat atas nasib manusia,' tetapi perkataan seperti ini hanya omong kosong. Siapa yang pernah benar-benar melihatnya? Bagaimana cara Tuhan berdaulat atas nasib kita? Siapa yang pernah benar-benar melihat Tuhan secara pribadi mengatur makan tiga kali sehari untuk seseorang, atau mengatur segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup ini? Tak seorang pun." Orang yakin jika mereka tidak melihat sendiri kedaulatan Tuhan, dan jika mereka merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang prospek masa depan mereka, maka emosi negatif ini akan menjadi semacam perlindungan bagi mereka, menjadi semacam perisai pelindung, tempat berlindung yang aman. Mereka selalu mengingatkan dan memperingatkan diri mereka sendiri untuk membuat rencana masa depan, bahwa mereka harus mengkhawatirkan hari esok, bahwa mereka tidak boleh hanya mengenyangkan diri sepanjang hari dan bermalas-malasan; bahwa tidak ada salahnya jika mereka membuat rencana dan mencari jalan keluar untuk diri mereka sendiri, serta bekerja siang malam demi masa depan mereka sendiri. Mereka mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa melakukan ini adalah wajar dan sepenuhnya dapat dibenarkan dan ini bukanlah sesuatu yang memalukan. Jadi, sekalipun orang menganggap kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran sebagai emosi negatif, mereka tidak pernah menganggap merasakannya sebagai hal yang buruk, mereka tidak pernah berpikir bahwa emosi negatif ini dapat merugikan mereka dengan cara apa pun, atau bahwa emosi negatif ini dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mengejar kebenaran dan masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Sebaliknya, mereka menikmatinya tanpa lelah, dan mereka dengan rela dan tanpa lelah hidup dalam emosi negatif ini. Mereka melakukannya karena mereka yakin bahwa hanya jika mereka hidup dalam emosi negatif ini dan selalu merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang prospek masa depan mereka, barulah mereka dapat merasa aman. Jika tidak, siapa lagi yang akan merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang masa depan mereka? Tak seorang pun. Tak seorang pun mengasihi mereka lebih daripada diri mereka sendiri, tak seorang pun memahami mereka atau menerima mereka seperti diri mereka sendiri. Jadi, sekalipun orang, hingga batas tertentu dan dalam hal firman dan doktrin, mampu mengenali bahwa keberadaan emosi negatif semacam ini merugikan bagi mereka, mereka tetap tidak mau melepaskan emosi negatif semacam itu karena emosi negatif ini memungkinkan mereka untuk dengan teguh mengambil inisiatif untuk menggenggam dan mengendalikan masa depan mereka sendiri. Bukankah benar demikian? (Ya.) Jadi, bagi manusia, merasa khawatir, merasa cemas, dan merasa sedih tentang masa depan mereka merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Bagi mereka itu bukan hal yang memalukan, bukan hal yang menyedihkan, juga bukan hal yang patut dibenci, melainkan hal yang sudah seharusnya mereka lakukan. Itulah sebabnya, emosi negatif ini sangat sulit untuk orang lepaskan, seolah-olah itu sudah ada dalam diri mereka sejak lahir. Semua yang orang pikirkan sejak lahir adalah untuk kepentingan mereka sendiri, dan hal terpenting bagi mereka adalah prospek masa depan mereka sendiri. Mereka mengira jika mereka memegang erat masa depan mereka dan terus mengawasinya, mereka akan hidup tanpa rasa khawatir. Mereka mengira jika mereka memiliki prospek masa depan yang baik, mereka akan mendapatkan semua yang mereka inginkan, dan semuanya akan menjadi mudah. Dengan demikian, orang tak pernah bosan untuk berulang kali merasa sedih, cemas, khawatir tentang masa depan mereka. Sekalipun Tuhan telah memberikan janji-Nya, sekalipun manusia telah menikmati atau menerima kasih karunia yang berlimpah dari Tuhan, sekalipun mereka telah melihat Tuhan mengaruniakan segala macam berkat kepada manusia, dan fakta-fakta lain semacam itu, manusia tetap ingin hidup dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan tetap ingin membuat rencana dan rancangan untuk masa depan mereka.

Selain prospek masa depan, ada hal penting lainnya, hal yang sering membuat orang merasa sedih, cemas, dan khawatir, dan hal tersebut adalah pernikahan. Ada orang-orang yang tidak mengkhawatirkannya dan tidak risau jika mereka belum menikah di usia tiga puluhan, karena sekarang ini, ada banyak orang di usia tiga puluhan yang belum menikah. Ini adalah sesuatu yang sering terlihat di tengahmasyarakat dan tak seorang pun menertawakanmu karenanya, dan tak seorang pun menganggap ada sesuatu yang salah dengan dirimu. Namun, jika seseorang belum menikah saat usianya telah mencapai empat puluhan, di lubuk hatinya, dia akan mulai merasa agak panik, dan berpikir, "Haruskah aku mencari pasangan atau tidak? Sebaiknya aku menikah atau tidak? Jika aku tidak menikah dan berkeluarga, jika aku tidak punya anak, akan adakah orang yang menjagaku saat aku sudah tua? Akan adakah orang yang merawatku saat aku sakit? Akan adakah orang yang menguburkanku ketika aku meninggal?" Manusia mengkhawatirkan hal-hal ini. Mereka yang tidak berencana menikah tidak merasa sedemikian sedih, cemas, atau khawatir. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berkata, "Sekarang, aku percaya kepada Tuhan, dan aku rela mengorbankan diriku untuk Tuhan. Aku tidak akan mencari pasangan, dan aku tidak akan menikah. Aku tidak akan merasa sedih tentang hal-hal ini berapa pun usiaku." Para lajang, orang-orang yang telah melajang selama 10 atau 20 tahun, yang telah melajang dari usia 20 hingga 40 tahun, seharusnya tidak memiliki kekhawatiran besar apa pun. Sekalipun terkadang mereka mungkin merasa sedikit khawatir dan sedih karena faktor lingkungan atau karena berbagai alasan objektif, tetapi karena mereka percaya kepada Tuhan dan sibuk melaksanakan tugas mereka, dan karena tekad mereka saat ini belum berubah, kekhawatiran yang mereka rasakan itu hanya samar dan dan hanya muncul sesekali, dan itu bukan merupakan masalah besar. Emosi semacam ini yang tidak memengaruhi pelaksanaan normal tugasmu tidaklah merugikan orang-orang, juga tidak dapat dianggap sebagai emosi negatif, yang berarti masalah ini belum berubah menjadi emosi negatif bagimu. Adapun mengenai orang-orang yang telah menikah, hal-hal seperti apakah yang mereka khawatirkan? Jika suami dan istri sama-sama percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas mereka, akankah pernikahan ini tetap bertahan? Apakah keluarga itu masih ada? Bagaimana dengan anak-anaknya? Selain itu, jika salah seorang dari mereka mengejar kebenaran dan yang lain tidak, jika orang yang tidak mengejar kebenaran itu selalu mengejar dunia, ingin menjadi kaya, sedangkan orang yang mengejar kebenaran itu selalu ingin melaksanakan tugasnya, sementara orang yang tidak mengejar kebenaran itu selalu berusaha menghalangi pasangannya tetapi merasa malu untuk mengatakannya, sesekali menyuarakan keluhannya atau mengatakan hal-hal negatif untuk mematahkan semangat pasangannya, maka orang yang mengejar kebenaran itu akan bertanya-tanya, "Oh, suamiku tidak benar-benar percaya kepada Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kelak jika keadaan ini terus berlanjut? Jika kami bercerai, aku akan sendirian dan tak punya mata pencaharian. Jika aku tetap bersamanya, kami tidak akan menempuh jalan yang sama, kami akan memiliki impian yang berbeda, jadi apa yang harus kulakukan?" Dia merasa sedih, cemas dan khawatir tentang hal-hal ini. Ada saudari-saudari yang, setelah mulai percaya kepada Tuhan, merasa yakin bahwa meskipun para suami mereka tidak percaya kepada Tuhan, mereka tidak akan berusaha terlalu keras untuk menghalangi kepercayaan mereka kepada Tuhan dan mereka tidak dianiaya, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk bercerai. Namun, jika mereka tetap bersama, mereka selalu merasa dibatasi dan dipengaruhi. Mereka dipengaruhi oleh apa? Mereka dibatasi dan dipengaruhi oleh perasaan kasih sayang mereka, dan berbagai kesulitan dalam kehidupan berkeluarga dan pernikahan mereka terkadang membuat perasaan di lubuk hati mereka bergejolak, menyebabkan mereka mengalami semacam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, yang tidak besar juga tidak kecil. Dalam keadaan seperti itu, pernikahan menjadi suatu formalitas yang mempertahankan kehidupan berkeluarga yang normal, dan pernikahan menjadi sesuatu yang membelenggu pemikiran normal istri, kehidupan normal mereka, dan bahkan pelaksanaan tugas mereka secara normal—sulit bagi mereka untuk mempertahankan pernikahan tersebut, tetapi mereka tidak mampu melepaskan diri darinya. Tidak ada alasan khusus untuk mempertahankan pernikahan seperti ini, juga tidak ada alasan khusus bagi mereka untuk bercerai; tidak ada alasan yang cukup untuk mengambil salah satu dari tindakan tersebut. Mereka tidak tahu pilihan mana yang benar, dan mereka tidak tahu tindakan mana yang salah. Oleh karena itu, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran pun muncul dalam diri mereka. Kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini selalu tebersit di benak mereka dan mengikat mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan juga memengaruhi kehidupan normal mereka. Selama mereka melaksanakan tugas, hal-hal ini selalu tebersit di benak mereka dan muncul di lubuk hati mereka, sehingga memengaruhi pelaksanaan normal tugas mereka. Meskipun hal-hal ini tidak tampak seperti sebuah perkataan yang jelas tentang apa yang harus para istri ini lakukan atau pilihan apa yang harus mereka ambil, hal-hal ini menyebabkan mereka menjadi terperosok ke dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, yang membuat mereka merasa tertekan dan terperangkap. Bukankah ini adalah sejenis kesulitan lainnya? (Ya.) Ini adalah jenis kesulitan lainnya yang disebabkan oleh pernikahan.

Ada juga orang-orang yang, karena mereka sudah percaya kepada Tuhan, menjalani kehidupan bergereja, membaca firman Tuhan, dan melaksanakan tugas mereka, tidak akan punya waktu untuk berhubungan secara normal dengan anak-anak, istri (atau suami), orang tua, atau teman dan kerabat mereka yang bukan orang percaya. Khususnya, mereka tidak akan mampu merawat anak-anak mereka yang bukan orang percaya dengan baik, ataupun melakukan hal apa pun yang dituntut oleh anak-anak mereka, jadi mereka mengkhawatirkan prospek dan masa depan anak-anak mereka. Khususnya ketika anak-anak mereka beranjak dewasa, ada orang-orang yang akan mulai merasa resah: akankah anakku masuk perguruan tinggi atau tidak? Jurusan apa yang akan mereka ambil jika mereka masuk perguruan tinggi? Anakku tidak percaya kepada Tuhan dan ingin kuliah, jadi haruskah aku sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, membiayai kuliahnya? Haruskah aku memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan menyokong kebutuhan studinya? Dan ketika kelak dia menikah, mendapatkan pekerjaan, dan bahkan berkeluarga dan memiliki anak-anaknya sendiri, peran apa yang harus kumainkan? Hal-hal apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kulakukan? Mereka tidak tahu mengenai hal-hal ini. Saat sesuatu seperti ini terjadi, saat mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi seperti ini, mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, dan juga tidak tahu bagaimana menangani hal-hal seperti ini. Seiring berjalannya waktu, muncullah kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mengenai hal-hal berikut: jika mereka melakukan hal-hal ini bagi anak mereka, mereka takut bertentangan dengan kehendak Tuhan dan tidak memperkenan Tuhan, dan jika mereka tidak melakukan hal-hal ini, mereka takut tidak memenuhi tanggung jawab mereka sebagai orang tua dan mereka akan disalahkan oleh anak mereka dan anggota keluarga lainnya; jika mereka melakukan hal-hal ini, mereka takut akan kehilangan kesaksian mereka, dan jika mereka tidak melakukan hal-hal ini, mereka takut dicemooh oleh orang-orang di dunia sekuler, dan ditertawakan, diolok-olok, dan dikritik oleh orang lain; mereka takut tidak menghormati Tuhan, tetapi mereka juga takut membuat diri mereka mendapatkan reputasi yang buruk, dan merasa sangat malu sampai-sampai tidak sanggup memperlihatkan wajah mereka. Saat mereka bimbang mengenai hal-hal ini, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran pun muncul dalam hati mereka; mereka merasa sedih karena tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, mereka merasa cemas jika melakukan kesalahan, apa pun pilihan yang mereka ambil, dan tidak tahu apakah yang mereka lakukan tepat atau tidak, dan mereka khawatir jika hal-hal ini terus terjadi, suatu hari nanti mereka tidak akan mampu menanggungnya, dan jika hubungan mereka dengan anak mereka hancur, maka segala sesuatunya akan menjadi jauh lebih sulit bagi mereka. Orang-orang yang berada dalam situasi seperti ini merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang semua hal yang muncul dalam kehidupan mereka, baik hal besar maupun hal kecil. Begitu perasaan negatif ini muncul dalam diri mereka, mereka pun menjadi terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini, dan tak mampu membebaskan diri mereka sendiri: jika melakukan hal ini, itu salah, jika melakukan hal itu, itu salah, dan mereka tidak tahu apa hal yang benar yang harus mereka lakukan; mereka ingin menyenangkan orang lain, tetapi takut tidak menyenangkan Tuhan; mereka ingin melakukan hal-hal bagi orang lain agar mereka dianggap baik, tetapi mereka tidak ingin mempermalukan Tuhan atau menyebabkan Tuhan membenci mereka. Itulah sebabnya mereka selalu terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini. Mereka merasa sedih karena orang lain dan karena diri mereka sendiri; mereka mencemaskan segala sesuatu karena orang lain dan karena diri mereka sendiri; dan mereka juga mengkhawatirkan segala sesuatu karena orang lain juga karena diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi terperosok ke dalam kesulitan ganda yang darinya mereka tak mampu melepaskan diri. Emosi negatif seperti ini bukan saja memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari, tetapi juga memengaruhi pelaksanaan tugas mereka, dan tentu saja memengaruhi pengejaran mereka akan kebenaran hingga taraf tertentu. Ini adalah sejenis kesulitan, artinya, ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan pernikahan, kehidupan berkeluarga, dan kehidupan pribadi, dan kesulitan inilah yang sering kali menjebak orang dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Bukankah orang yang terjebak dalam emosi negatif seperti ini patut dikasihani? (Ya.) Apakah mereka patut dikasihani? Jika jawabanmu tetap "Ya", itu menunjukkan engkau masih sangat bersimpati terhadap mereka. Ketika seseorang terperosok ke dalam emosi negatif, apa pun yang melatarbelakangi munculnya emosi tersebut, apa penyebab munculnya emosi tersebut? Apakah itu muncul karena lingkungan, karena orang-orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitar orang tersebut? Ataukah karena kebenaran yang Tuhan ungkapkan mengganggu dirinya? Apakah lingkungan yang memengaruhi orang tersebut, ataukah firman Tuhan yang menganggu kehidupannya? Apa penyebab sebenarnya? Tahukah engkau? Katakan kepada-Ku, baik dalam kehidupan normal orang-orang ataupun dalam pelaksanaan tugas mereka, apakah kesulitan-kesulitan seperti ini ada jika mereka mengejar mengejar kebenaran dan mau menerapkan kebenaran? (Tidak.) Kesulitan-kesulitan ini ada karena semua itu merupakan fakta objektif. Jika kaukatakan kesulitan ini tidak ada, apakah itu berarti engkau telah mengatasi kesulitan ini? Apakah engkau mampu mengatasinya? Kesulitan-kesulitan ini tidak dapat diatasi karena semua itu merupakan fakta objektif. Apa akibat kesulitan ini dalam diri orang yang mengejar kebenaran? Dan apa akibat kesulitan ini dalam diri mereka yang tidak mengejar kebenaran? Akan ada dua akibat yang sama sekali berbeda pada masing-masing dari mereka. Jika orang mengejar kebenaran, mereka tidak akan terjebak dalam kesulitan ini dan tenggelam dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Sebaliknya, jika orang tidak mengejar kebenaran, kesulitan-kesulitan ini akan tetap ada dalam diri mereka, dan apa akibatnya? Kesulitan ini akan menjeratmu sehingga engkau tak mampu melepaskan diri, dan jika engkau tak mampu mengatasinya, kesulitan ini pada akhirnya akan menjadi emosi negatif yang mengikatkan dirinya menjadi simpul-simpul yang erat di lubuk hatimu; emosi negatif itu akan memengaruhi kehidupan normalmu dan pelaksanaan normal tugasmu, dan itu akan membuatmu merasa tertekan dan tak mampu menemukan kebebasan—inilah akibat emosi negatif terhadap dirimu. Kedua akibat ini berbeda, bukan? (Ya.) Jadi, kembali ke pertanyaan yang Kuajukan barusan. Apa yang Kutanyakan? (Apakah emosi negatif muncul dalam diri manusia karena pengaruh lingkungan ataukah karena firman Tuhan menganggu mereka?) Jadi, apa penyebabnya? Apa jawabannya? (Karena orang tidak mengejar kebenaran.) Benar, penyebabnya bukan salah satu dari kedua hal itu, melainkan karena orang tidak mengejar kebenaran. Jika orang tidak mengejar kebenaran, mereka akan sering terjebak dalam pemikiran yang ekstrem dan emosi negatif serta tak mampu melepaskan diri mereka. Ulangi pertanyaan yang barusan Kuajukan. (Apakah penyebab munculnya emosi negatif dalam diri manusia adalah karena lingkungan mereka serta orang, peristiwa dan hal-hal di sekitar mereka, ataukah karena kebenaran yang Tuhan ungkapkan yang menganggu manusia?) Sederhananya, apakah penyebabnya karena pengaruh lingkungan ataukah karena firman Tuhan mengganggu manusia? Yang mana jawabannya? (Bukan karena keduanya.) Benar, bukan karena keduanya. Lingkungan memengaruhi semua orang secara adil; jika engkau mengejar kebenaran, engkau tidak akan tenggelam dalam emosi negatif karena lingkungan tertentu. Sedangkan, jika engkau tidak mengejar kebenaran, engkau tentu saja akan berulang kali sangat dipengaruhi oleh lingkunganmu dan engkau akan terjebak dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Dilihat dari sudut pandang ini, bukankah mengejar kebenaran itu penting? (Ya.) Ada prinsip-prinsip kebenaran yang harus dicari dalam segala sesuatu yang terjadi. Namun sebenarnya, karena orang tidak mengejar kebenaran dan tidak mencari prinsip-prinsip kebenaran, atau mereka tahu dengan jelas apa yang Tuhan tuntut, apa prinsip kebenarannya, jalan apa yang harus mereka terapkan, dan apa standar penerapannya, tetapi mereka tidak mengindahkannya ataupun mengikutinya. Jika mereka selalu membuat pilihan dan rencana mereka sendiri, apa yang akan terjadi pada mereka pada akhirnya? Jika orang tidak melakukan penerapan sesuai dengan firman Tuhan, selalu mengkhawatirkan ini dan itu, maka hanya ada satu akibatnya, dan akibatnya adalah mereka akan terperosok dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan tidak mampu keluar lagi darinya. Mungkinkah bagi orang yang selalu mengandalkan imajinasi mereka sendiri, yang ingin segala sesuatunya berjalan sesuai keinginan mereka, dan yang ingin membuat orang lain senang bisa sekaligus menerima perkenanan Tuhan? Tidak mungkin! Mereka selalu ingin menangani segala sesuatunya dengan cara yang membuat semua orang di sekitar mereka bahagia, senang dan sangat memuji mereka. Mereka ingin disebut orang baik, dan juga ingin Tuhan dipuaskan, dan jika mereka tak mampu memenuhi standar ini, mereka merasa sedih. Dan bukankah mereka pantas merasa sedih? (Ya.) Inilah hal yang dipilih orang untuk diri mereka sendiri.

Ada juga orang-orang absurd yang berkata, "Jika Tuhan tidak mengucapkan begitu banyak firman, aku akan melakukan segala sesuatunya berdasarkan standar moral orang baik. Itu akan sangat mudah, dan pernyataan yang sedemikian banyaknya tidak perlu dibuat. Sama seperti pada zaman Kasih Karunia, orang menaati perintah, dan mereka bersabar dan bertoleransi, serta memikul salib dan menderita, dan itu sangat sederhana. Bukankah hanya itu yang perlu dilakukan? Sekarang ini, dengan begitu banyaknya kebenaran yang Tuhan ucapkan dan begitu banyaknya prinsip penerapan yang diberikan selama persekutuan, mengapa orang tak mampu menerapkannya setelah sekian lama? Di satu sisi, kualitas manusia sangat buruk, dan mereka tak mampu memahami semuanya, dan ada banyak kebenaran yang tak mampu mereka pahami; di sisi lain, manusia mengalami banyak kesulitan dalam menerapkan kebenaran, dan sekalipun mereka memahami kebenaran, mereka masih merasa kesulitan untuk menerapkannya. Jika kita memahami kebenaran tetapi tidak menerapkannya, kita akan merasa gelisah, tetapi jika kita menerapkannya, kita akan menghadapi begitu banyak kesulitan nyata." Manusia menganggap firman Tuhan mengganggu mereka, tetapi apakah kenyataannya seperti itu? (Tidak.) Ini namanya tidak masuk akal dan tidak bernalar. Mereka muak akan kebenaran dan tidak mengejar kebenaran, mereka juga tidak menerapkan kebenaran, tetapi masih ingin berpura-pura rohani, berpura-pura menerapkan kebenaran, dan mereka ingin memperoleh keselamatan. Pada akhirnya, ketika mereka tak mampu mencapai hal-hal ini, mereka merasa depresi dan sedih, berpikir, "Siapa yang mampu menyeimbangkan semua hal ini? Akan lebih baik jika Tuhan menurunkan sedikit standar-Nya, sehingga manusia akan baik-baik saja, Tuhan akan baik-baik saja, semua orang akan baik-baik saja—maka hidup tentunya akan terasa seperti di Surga!" Orang-orang semacam ini selalu menganggap firman yang Tuhan ucapkan tidak memedulikan perasaan manusia. Sebenarnya, saat mereka mengalami kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, mereka merasa tidak puas terhadap Tuhan tentang banyak hal. Khususnya, dalam hal bagaimana mereka memperlakukan prinsip-prinsip kebenaran, mereka tak mampu menerapkannya atau memperolehnya, mereka sama sekali tak mampu membicarakannya, dan ini sangat memengaruhi reputasi dan martabat mereka di mata orang lain, serta memengaruhi keinginan mereka untuk diberkati, menyebabkan mereka menjadi terperosok dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan itulah sebabnya mereka menganggap ada banyak hal yang Tuhan lakukan yang tentangnya mereka merasa tidak senang. Bahkan ada orang-orang yang berkata, "Tuhan itu adil, aku tidak menyangkalnya; Tuhan itu kudus, dan aku juga tidak menyangkalnya. Semua yang Tuhan firmankan dapat dipastikan adalah kebenaran, tetapi sayang sekali, apa yang Tuhan firmankan sekarang ini terlalu muluk-muluk, tuntutan-Nya terhadap manusia terlalu ketat, dan tidak mudah bagi manusia untuk mencapai semua itu!" Merekalah yang tidak mencintai kebenaran, tetapi mereka menyalahkan Tuhan. Mereka memulainya dengan pernyataan bahwa Tuhan itu adil, bahwa Tuhan itu kudus, dan bahwa mereka percaya semua ini benar. Tuhan itu adil, Tuhan itu kudus—apakah pengakuanmu mengenai esensi Tuhan diperlukan? Semua ini adalah fakta; semua ini benar bukan karena engkau mengakuinya. Agar mereka tidak dihukum karena menyalahkan Tuhan, mereka buru-buru mengatakan bahwa Tuhan itu adil, Tuhan itu kudus. Namun, bagaimanapun mereka berkata bahwa Tuhan itu adil dan kudus, emosi negatif mereka berupa kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran tetap ada dalam diri mereka, dan emosi ini bukan saja ada, tetapi mereka juga tidak mau melepaskan emosi ini, tidak mau meninggalkannya, tidak mau mengubah prinsip penerapan mereka, tidak mau mengubah pengejaran mereka, ataupun mengubah jalan yang mereka tempuh dalam hidup ini. Orang-orang semacam ini menyedihkan dan patut dibenci. Mereka sama sekali tidak pantas mendapatkan rasa simpati, dan sekalipun mereka banyak menderita, mereka tidak patut kita kasihani. Yang perlu kita lakukan hanyalah berkata kepada mereka: kau pantas mendapatkannya! Jika kau mati karena merasa sangat sedih, tetap saja tak seorang pun akan kasihan terhadapmu! Siapa yang menyuruhmu tidak mencari kebenaran untuk menyelesaikan masalahmu? Siapa yang menyuruhmu tak mampu tunduk kepada Tuhan dan menerapkan kebenaran? Untuk siapa engkau merasa sedih, cemas, dan khawatir? Apakah engkau merasakan hal-hal itu agar dapat memperoleh kebenaran? Ataukah untuk mendapatkan Tuhan? Ataukah demi pekerjaan Tuhan? Atau demi kemuliaan Tuhan? (Tidak.) Lalu untuk apa engkau merasakan emosi-emosi tersebut? Semuanya adalah untuk dirimu sendiri, untuk anak-anakmu, untuk keluargamu, untuk kehormatanmu sendiri, untuk reputasimu, untuk masa depan dan prospekmu, untuk segala sesuatu yang ada kaitannya dengan dirimu sendiri. Orang semacam itu tidak menyerahkan apa pun, tidak melepaskan apa pun, atau tidak meninggalkan apa pun; mereka tidak benar-benar percaya kepada Tuhan, dan tidak benar-benar setia dalam melaksanakan tugas mereka. Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka tidak sungguh-sungguh mengorbankan diri mereka, mereka hanya percaya untuk mendapatkan berkat, dan percaya kepada Tuhan hanya dengan keyakinan bahwa mereka akan menerima berkat. Mereka dipenuhi "iman" kepada Tuhan, pada pekerjaan Tuhan, dan pada janji-janji Tuhan, tetapi Tuhan tidak memuji iman seperti itu, dan Dia juga tidak mengingatnya, sebaliknya Dia membencinya. Orang-orang semacam itu tidak mengikuti atau menerapkan prinsip penanganan masalah sebagaimana yang Tuhan tuntut untuk mereka lakukan, mereka tidak melepaskan hal-hal yang seharusnya mereka lepaskan, mereka tidak menyerahkan hal-hal yang seharusnya mereka serahkan, mereka tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya mereka tinggalkan, dan mereka tidak mempersembahkan kesetiaan yang seharusnya mereka persembahkan, sehingga mereka pantas untuk tenggelam dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Sebanyak apa pun mereka menderita, mereka melakukannya hanya untuk diri mereka sendiri, bukan untuk tugas mereka, dan bukan untuk pekerjaan gereja. Jadi, orang-orang semacam itu sama sekali bukan orang yang mengejar kebenaran—mereka hanyalah sekelompok orang yang percaya kepada Tuhan di bibir saja. Mereka tahu persis bahwa ini adalah jalan yang benar, tetapi mereka tidak menerapkannya, mereka juga tidak mengikutinya. Iman mereka menyedihkan dan tidak dapat diperkenan oleh Tuhan, dan Tuhan tidak akan mengingatnya. Orang-orang semacam itu terperosok ke dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran karena banyaknya kesulitan dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Lalu, ada juga orang-orang yang kondisi kesehatannya buruk, yang tubuhnya lemah dan kurang bertenaga, yang sering menderita penyakit berat atau ringan, yang bahkan tak mampu melakukan hal-hal dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak mampu hidup atau berkegiatan seperti layaknya orang yang normal. Orang-orang semacam itu sering merasa tidak nyaman dan kurang sehat saat melaksanakan tugas mereka; ada yang lemah secara fisik, ada yang benar-benar menderita penyakit, dan tentu saja ada yang mengidap penyakit yang diketahui dan berpotensi menderita jenis penyakit tertentu. Karena mereka mengalami kesulitan fisik yang nyata semacam itu, orang-orang seperti itu sering kali tenggelam dalam emosi negatif dan merasa sedih, cemas, dan khawatir. Karena apa mereka merasa sedih, cemas, dan khawatir? Mereka khawatir jika mereka terus melaksanakan tugas mereka seperti ini, mengorbankan diri dan menyibukkan diri bagi Tuhan seperti ini, dan selalu merasa selelah ini, maka akankah kesehatan mereka menjadi makin memburuk? Saat mereka mencapai usia 40 atau 50 tahun, apakah mereka akan terbaring tak berdaya di tempat tidur? Apakah kekhawatiran ini beralasan? Akankah ada orang yang memberikan cara yang spesifik untuk menangani hal ini? Siapa yang akan bertanggung jawab atas hal ini? Siapa yang mau bertanggung jawab? Orang yang kesehatannya buruk dan yang tubuhnya tidak sehat akan merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang hal-hal tersebut. Orang yang menderita penyakit akan sering berpikir, "Aku bertekad melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi aku mengidap penyakit ini. Aku berdoa agar Tuhan menjauhkanku dari bahaya, dan dengan perlindungan Tuhan aku tak perlu takut. Namun, jika aku kelelahan saat melaksanakan tugasku, akankah penyakitku kambuh? Apa yang akan kulakukan jika penyakitku kambuh? Jika aku harus masuk rumah sakit untuk menjalani operasi, aku tak punya uang untuk membayarnya, lalu jika aku tidak meminjam uang untuk membayar pengobatanku, akankah penyakitku menjadi bertambah parah? Dan jika penyakitku menjadi bertambah parah, apakah aku akan mati? Dapatkah kematian semacam ini dianggap kematian yang wajar? Jika aku benar-benar mati, akankah Tuhan mengingat tugas-tugas yang telah kulaksanakan? Akankah aku dianggap orang yang telah melakukan perbuatan baik? Akankah aku memperoleh keselamatan?" Ada juga orang-orang yang tahu dirinya sakit, yang berarti mereka tahu bahwa mereka benar-benar mengidap penyakit tertentu, misalnya penyakit lambung, nyeri punggung bagian bawah dan nyeri kaki, radang sendi, reumatik, serta penyakit kulit, penyakit ginekologi, penyakit hati, hipertensi, penyakit jantung, dan sebagainya. Mereka berpikir, "Jika aku terus melaksanakan tugasku, akankah rumah Tuhan membayar biaya pengobatan penyakitku? Jika penyakitku bertambah parah dan memengaruhi pelaksanaan tugasku, akankah Tuhan menyembuhkanku? Ada orang-orang yang disembuhkan setelah mereka percaya kepada Tuhan, jadi akankah aku juga disembuhkan? Akankah Tuhan menyembuhkanku, sama seperti Dia menunjukkan kebaikan kepada orang lain? Jika aku setia melaksanakan tugasku, Tuhan seharusnya menyembuhkanku, tetapi jika aku berharap Tuhan menyembuhkanku dan Dia tidak melakukannya, lalu apa yang akan kulakukan?" Setiap kali mereka memikirkan hal-hal ini, perasaan cemas yang mendalam muncul dalam hati mereka. Meskipun mereka tak pernah berhenti melaksanakan tugas mereka dan selalu melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka selalu memikirkan penyakit mereka, kesehatan mereka, masa depan mereka, serta hidup dan mati mereka. Akhirnya, mereka menarik kesimpulan yang berupa angan-angan, "Tuhan akan menyembuhkanku, Tuhan akan melindungiku. Tuhan tidak akan meninggalkanku, dan Tuhan tidak akan tinggal diam dan pasti melakukan sesuatu jika dilihat-Nya aku sakit." Pemikiran seperti itu sama sekali tidak ada dasarnya, bahkan dapat dianggap semacam gagasan. Orang tak akan pernah mampu menyelesaikan kesulitan nyata mereka dengan menggunakan gagasan dan imajinasi seperti ini, dan di lubuk hatinya, mereka secara samar-samar merasa sedih, cemas dan khawatir tentang kesehatan dan penyakit mereka; mereka tidak tahu siapa yang akan bertanggung jawab atas hal-hal ini, atau apakah ada orang yang mau bertanggung jawab atas hal-hal ini bagi mereka.

Ada juga orang-orang yang, meskipun tidak benar-benar merasa sakit dan belum didiagnosis menderita apa pun, tahu bahwa mereka memiliki penyakit laten tertentu. Penyakit laten apa? Misalnya, bisa saja itu adalah penyakit keturunan seperti penyakit jantung, diabetes, atau hipertensi, atau bisa saja penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, atau sejenis kanker—semua ini adalah penyakit laten. Ada orang-orang yang tahu bahwa karena mereka dilahirkan dalam keluarga seperti itu, penyakit genetik ini cepat atau lambat akan menyerang mereka. Mereka bertanya-tanya, jika mereka percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran, melaksanakan tugas mereka dengan baik, melakukan perbuatan baik yang cukup, dan mampu menyenangkan Tuhan, apakah penyakit laten ini akan berlalu dari mereka dan tidak akan menimpa mereka? Namun, Tuhan tidak pernah menjanjikan hal seperti ini kepada mereka, dan mereka tidak pernah memiliki iman seperti ini kepada Tuhan, dan tidak pernah berani menjamin apa pun atau memiliki gagasan apa pun yang tidak realistis. Karena mereka tidak dapat menjamin atau memastikan apa pun, mereka menghabiskan banyak tenaga dan mengerahkan banyak upaya dalam pelaksanaan tugas mereka, mereka berfokus untuk menderita dan membayar harga, dan mereka akan selalu melakukan lebih banyak daripada orang lain dan lebih menonjol daripada orang lain, berpikir, "Aku akan menjadi orang pertama yang menderita dan orang terakhir yang menikmati kesenanganku." Mereka selalu memotivasi diri mereka dengan moto semacam ini, tetapi ketakutan dan kekhawatiran di lubuk hati mereka tentang penyakit laten ini tidak dapat mereka hilangkan, dan kekhawatiran ini, kesedihan ini, selalu menyertai mereka. Meskipun mereka mungkin mampu menanggung penderitaan dan bekerja keras serta rela membayar harga dalam pelaksanaan tugas mereka, mereka tetap merasa tak mampu memperoleh janji Tuhan atau firman yang akurat dari Tuhan tentang hal ini, sehingga mereka terus dipenuhi kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran tentang hal ini. Meskipun mereka berusaha sebaik mungkin untuk tidak melakukan apa pun mengenai penyakit laten mereka, mereka terkadang dan tanpa sadar masih mencari segala macam pengobatan tradisional demi menghindarkan diri mereka menderita penyakit laten ini secara tiba-tiba, pada hari tertentu, pada jam tertentu, atau tanpa mereka menyadarinya. Ada orang yang mungkin dari waktu ke waktu menyiapkan ramuan obat Tiongkok untuk mereka minum, ada orang yang terkadang bertanya tentang ramuan obat tradisional yang dapat mereka minum bila diperlukan, dan ada orang yang dari waktu ke waktu mencari tips cara berolahraga di Internet agar mereka dapat berolahraga dan bereksperimen. Meskipun itu mungkin hanya penyakit laten, tetap saja itu menjadi prioritas utama di pikiran mereka; meskipun orang-orang ini mungkin tidak merasa sedang sakit atau tidak merasakan gejala apa pun, mereka tetap dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan tentangnya, dan di lubuk hatinya, mereka merasa sedih dan depresi mengenainya, selalu berharap untuk membereskan atau menghilangkan emosi negatif ini dari dalam diri mereka tersebut dengan berdoa atau melaksanakan tugas mereka. Orang-orang yang benar-benar mengidap penyakit atau yang memiliki penyakit laten, dan mereka yang selalu khawatir akan jatuh sakit di masa depan, dan mereka yang dilahirkan dengan keadaan kesehatan yang buruk, yang tidak mengidap penyakit berat tetapi terus-menerus menderita penyakit ringan, orang-orang ini selalu merasa sedih dan khawatir akan penyakit dan berbagai kesulitan daging. Mereka ingin membebaskan diri, melarikan diri dari semua itu, tetapi mereka sama sekali tak mampu melakukannya; mereka ingin melepaskannya tetapi tak mampu melakukannya; mereka ingin memohon agar Tuhan mengangkat penyakit dan kesulitan ini dari mereka, tetapi mereka tak mampu mengucapkan permohonan tersebut dan merasa malu, karena merasa mengajukan permohonan semacam itu tidak dapat dibenarkan. Mereka tahu betul bahwa tidaklah pantas mengajukan permohonan mengenai hal-hal ini kepada Tuhan, tetapi mereka merasa tak berdaya dalam hati mereka; mereka bertanya-tanya, jika mereka berharap sepenuhnya kepada Tuhan, akankah mereka merasa lebih tenang, dan akankah hati nurani mereka dihiburkan? Oleh karena itu, dari waktu ke waktu mereka berdoa secara diam-diam mengenai hal ini di lubuk hati mereka. Jika mereka menerima sedikit anugerah ekstra atau tak terduga dari Tuhan, mereka merasa sedikit bersukacita atau terhibur; jika mereka sama sekali tidak menerima perhatian khusus dari rumah Tuhan, dan sama sekali tidak merasakan kebaikan dari Tuhan, mereka tanpa sadar akan kembali terjerumus ke dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Sekalipun kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian adalah hal yang konstan di antara manusia dan tidak dapat dihindari dalam kehidupan ini, ada orang-orang yang memiliki kondisi fisik tertentu atau menderita penyakit khusus, entah mereka sedang melaksanakan tugas mereka atau tidak, yang jatuh ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran karena kesulitan dan penyakit dalam tubuh mereka; mereka mengkhawatirkan penyakit mereka, mereka mengkhawatirkan banyaknya kesukaran akibat penyakit mereka, bertanya-tanya apakah penyakit mereka akan menjadi serius atau tidak, apa akibatnya jika penyakit mereka menjadi serius, dan apakah mereka akan mati karena penyakit tersebut. Dalam situasi khusus dan konteks tertentu, serangkaian pertanyaan ini menyebabkan mereka menjadi terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan tak mampu melepaskan diri; ada orang-orang yang bahkan hidup dalam keadaan sedih, cemas dan khawatir karena penyakit serius yang sudah mereka ketahui kemungkinannya untuk mereka derita atau penyakit laten yang tak dapat mereka hindari, dan mereka dipengaruhi, dikuasai, dan dikendalikan oleh emosi negatif ini. Ada orang-orang yang, begitu berada di bawah kendali emosi negatif ini, melepaskan sepenuhnya semua kesempatan dan harapan mereka untuk memperoleh keselamatan; mereka memilih untuk tidak lagi melaksanakan tugas mereka dan bahkan melepaskan kesempatan mereka untuk menerima kebaikan Tuhan. Sebaliknya, mereka memilih untuk menghadapi dan menangani penyakit mereka sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun dan tanpa menunggu kesempatan apa pun. Mereka mengabdikan diri untuk mengobati penyakit mereka, mereka tidak lagi melaksanakan tugas, dan meskipun secara fisik mereka mampu melaksanakan tugas, mereka tetap tidak melakukannya. Apa alasannya? Mereka khawatir, "Jika aku tetap sakit seperti ini dan Tuhan tidak menyembuhkanku, aku bisa saja terus melaksanakan tugasku seperti yang kulakukan sekarang dan tetap akan mati pada akhirnya. Sedangkan, jika aku tidak lagi melaksanakan tugasku dan mencari pengobatan, aku bisa hidup beberapa tahun lebih lama, bahkan penyakitku ini mungkin bisa disembuhkan. Jika aku terus melaksanakan tugasku dan Tuhan tidak mengatakan bahwa Dia akan menyembuhkanku, kesehatanku mungkin saja akan menjadi jauh lebih buruk. Aku tak ingin melaksanakan tugasku selama 10 atau 20 tahun lagi dan kemudian mati. Aku ingin hidup beberapa tahun lebih lama, aku tak ingin mati secepat ini, sedini ini!" Jadi, mereka melaksanakan tugas mereka di rumah Tuhan selama beberapa waktu, mengamati selama beberapa waktu, dan dapat dikatakan, mereka mengamati untuk melihat apa yang akan terjadi selama beberapa waktu, dan mereka kemudian mulai bertanya-tanya, "Aku telah melaksanakan tugasku, tetapi penyakitku belum juga membaik dan belum juga teratasi. Sepertinya tidak ada harapan keadaanku akan membaik. Dahulu, aku berencana, berpikir jika aku meninggalkan segala sesuatu dan melaksanakan tugasku dengan setia, mungkin Tuhan akan mengangkat penyakit ini dariku. Namun, segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan rencana, perkiraan dan harapanku. Penyakitku masih sama seperti sebelumnya. Bertahun-tahun telah berlalu, dan penyakit ini sama sekali belum membaik. Sepertinya aku harus mengobati sendiri penyakit ini. Aku tidak dapat mengandalkan orang lain, tak seorang pun dapat kuandalkan. Nasibku berada di tanganku sendiri. Sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat berkembang, seperti ilmu pengobatan, obat-obatan yang efektif telah tersedia untuk mengobati segala macam penyakit, dan ada metode pengobatan yang sudah maju untuk segala penyakit. Aku yakin penyakit ini dapat diobati." Setelah membuat rencana seperti itu, mereka mulai mencari di Internet atau menanyai orang-orang di sekitar mereka dan mengajukan berbagai pertanyaan, sampai akhirnya mereka menemukan beberapa solusi. Pada akhirnya, mereka memutuskan obat apa yang akan mereka minum, bagaimana cara mengobati penyakit mereka, bagaimana berolahraga, dan bagaimana cara menjaga kesehatan mereka sendiri. Mereka berpikir, "Jika aku tidak melaksanakan tugasku dan berfokus mengobati penyakit ini, maka akan ada harapan penyakitku ini dapat disembuhkan. Ada sangat banyak contoh penyakit semacam ini yang disembuhkan." Setelah membuat rencana dan merencanakan dengan cara ini selama beberapa waktu, mereka akhirnya memutuskan bahwa mereka tidak akan lagi melaksanakan tugas mereka dan mengobati penyakit menjadi prioritas utama mereka—bagi mereka, tidak ada yang lebih penting daripada tetap hidup. kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mereka berubah menjadi semacam tindakan nyata; kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran mereka berubah dari sekadar pemikiran menjadi semacam tindakan. Orang-orang tidak percaya memiliki pepatah yang berbunyi, "Tindakan lebih baik daripada pemikiran, dan yang lebih baik daripada tindakan adalah tindakan yang dilakukan dengan segera." Orang-orang semacam itu berpikir dan kemudian bertindak, dan mereka bertindak dengan cepat. Suatu hari mereka berpikir tentang mengobati penyakit mereka dan keesokan paginya mereka sudah mengemasi barang-barang mereka dan siap untuk berangkat. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar buruk bahwa mereka telah meninggal tanpa disembuhkan dari penyakit mereka. Apakah mereka sembuh dari penyakit mereka? (Tidak.) Engkau belum tentu mampu menyembuhkan sendiri penyakitmu, tetapi dapatkah dipastikan bahwa engkau tidak akan jatuh sakit saat melaksanakan tugasmu di rumah Tuhan? Tak seorang pun akan menjanjikanmu hal seperti ini. Jadi, bagaimana seharus engkau memilih, bagaimana seharusnya engkau bersikap dalam hal jatuh sakit ini? Sangat sederhana, dan ada satu jalan yang harus kauikuti: kejarlah kebenaran. Mengejar kebenaran dan menangani masalah ini berdasarkan firman Tuhan dan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran—inilah pemahaman yang harus orang miliki. Dan bagaimana engkau harus menerapkannya? Di satu sisi, engkau harus menerima semua pengalaman ini dan menerapkan pemahaman yang telah kauperoleh dan prinsip-prinsip kebenaran yang telah kaupahami berdasarkan kebenaran dan firman Tuhan, dan engkau harus menjadikannya sebagai kenyataanmu dan hidupmu. Di sisi lain, engkau tidak boleh meninggalkan tugasmu. Entah engkau sakit atau merasakan rasa sakit, selama masih ada satu embusan napas yang tersisa, selama engkau masih hidup, selama engkau masih bisa berbicara dan berjalan, maka masih ada tenaga yang dapat kaugunakan untuk melaksanakan tugasmu, dan engkau harus berkelakuan baik dalam pelaksanaan tugasmu dengan bersikap praktis dan realistis. Engkau tidak boleh melepaskan tugasmu sebagai makhluk ciptaan ataupun tanggung jawab yang Sang Pencipta berikan kepadamu. Selama engkau belum mati, engkau harus melaksanakan tugasmu dan melaksanakannya dengan baik. Ada orang-orang yang berkata, "Hal-hal yang Kaukatakan ini begitu tidak berperasaan. Aku sedang sakit dan berat bagiku untuk menanggungnya!" Ketika itu berat bagimu, engkau dapat beristirahat, dan engkau dapat merawat dirimu sendiri dan menerima pengobatan. Jika engkau masih ingin melaksanakan tugasmu, engkau dapat mengurangi beban kerjamu dan melaksanakan tugas tertentu yang cocok untukmu, tugas yang tidak memengaruhi pemulihanmu. Ini akan membuktikan bahwa di hatimu, engkau belum melepaskan tugasmu, bahwa hatimu belum menyimpang dari Tuhan, bahwa di hatimu, engkau belum menyangkal nama Tuhan di dalam hatimu, dan engkau belum melepaskan keinginanmu untuk menjadi makhluk ciptaan yang layak. Ada orang-orang yang berkata, "Aku telah melakukan semua itu, jadi, akankah Tuhan mengangkat penyakit ini dariku?" Akankah Dia melakukannya? (Belum tentu.) Entah Tuhan mengangkat penyakitmu atau tidak, entah Tuhan menyembuhkanmu atau tidak, yang kaulakukan adalah apa yang sudah seharusnya dilakukan oleh makhluk ciptaan. Entah tubuhmu mampu melaksanakan tugasmu atau tidak, entah engkau mampu melakukan suatu pekerjaan atau tidak, entah kesehatanmu memungkinkanmu untuk melaksanakan tugasmu atau tidak, hatimu tidak boleh menyimpang dari Tuhan, dan di dalam hatimu, engkau tidak boleh melepaskan tugasmu. Dengan melakukan ini, engkau akan memenuhi tanggung jawabmu, kewajibanmu dan tugasmu—inilah kesetiaan yang harus kaupegang teguh. Hanya karena engkau tidak mampu melakukan sesuatu dengan tanganmu atau engkau tidak dapat lagi berbicara, atau matamu tidak dapat lagi melihat, atau engkau tidak mampu lagi menggerakkan tubuhmu, engkau tidak boleh menganggap bahwa Tuhan sudah seharusnya menyembuhkan dirimu, dan jika Dia tidak menyembuhkanmu, maka engkau ingin menyangkal Dia di lubuk hatimu, melepaskan tugasmu, dan meninggalkan Tuhan. Apa natur dari tindakan seperti itu? (Itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan.) Itu adalah pengkhianatan! Ada orang-orang yang, ketika mereka tidak sakit, mereka sering datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa, dan ketika mereka sakit dan berharap Tuhan akan menyembuhkan mereka, berharap sepenuhnya kepada Tuhan, mereka akan tetap datang ke hadapan Tuhan dan tidak meninggalkan Dia. Namun, setelah beberapa waktu dan Tuhan masih belum menyembuhkan mereka, mereka menjadi kecewa terhadap Tuhan, di lubuk hatinya, mereka meninggalkan Tuhan dan melepaskan tugas mereka. Ketika penyakit mereka tidak terlalu parah dan Tuhan tidak menyembuhkan mereka, ada orang-orang yang tidak meninggalkan Tuhan; tetapi ketika penyakit mereka menjadi parah, dan mereka menghadapi kematian, lalu mereka tahu dengan pasti bahwa Tuhan benar-benar tidak menyembuhkan mereka, bahwa penantian mereka selama ini hanya untuk menunggu kematian, maka mereka pun kemudian meninggalkan Tuhan dan menyangkal Tuhan di dalam hati mereka. Mereka yakin jika Tuhan tidak menyembuhkan mereka, berarti Tuhan pasti tidak ada; jika Tuhan tidak menyembuhkan mereka, berarti Tuhan sama sekali bukan Tuhan, dan tidak layak untuk dipercayai. Karena Tuhan tidak menyembuhkan mereka, mereka menyesal pernah percaya kepada Tuhan, dan mereka tidak lagi percaya kepada-Nya. Bukankah ini adalah pengkhianatan terhadap Tuhan? Ini adalah pengkhianatan yang serius terhadap Tuhan. Oleh karena itu, engkau sama sekali tidak boleh melakukan hal seperti itu—hanya mereka yang taat kepada Tuhan sampai mati yang benar-benar percaya kepada-Nya.

Ketika penyakit tiba-tiba menyerang, jalan apa yang harus orang tempuh? Bagaimana mereka harus memilih? Orang tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan memikirkan prospek masa depan dan jalan mereka sendiri. Sebaliknya, makin orang mendapati diri mereka mengalami saat-saat seperti ini dan berada dalam situasi dan konteks khusus seperti ini, dan makin mereka mendapati diri mereka berada dalam kesulitan yang tiba-tiba seperti ini, mereka harus makin mencari kebenaran dan mengejar kebenaran. Hanya dengan melakukannya, barulah khotbah yang selama ini kaudengarkan dan kebenaran yang selama ini kaupahami tidak akan sia-sia dan akan berdampak bagimu. Makin engkau mendapati dirimu berada dalam kesulitan seperti ini, makin engkau harus melepaskan keinginanmu sendiri dan tunduk pada pengaturan Tuhan. Tujuan Tuhan menetapkan situasi seperti ini dan mengatur kondisi ini bagimu bukanlah untuk membuatmu tenggelam dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan bukan agar engkau menguji Tuhan untuk melihat apakah Dia akan menyembuhkanmu ketika penyakit menimpamu, atau mengutarakan kebenaran tentang masalah ini; Tuhan mengatur situasi dan keadaan khusus ini bagimu agar engkau dapat memetik pelajaran nyata dalam situasi dan keadaan seperti itu, agar engkau memperoleh jalan masuk yang lebih dalam ke dalam kebenaran dan agar engkau makin tunduk kepada Tuhan, dan agar engkau tahu dengan lebih jelas dan akurat tentang bagaimana Tuhan mengatur semua orang, peristiwa dan hal-hal. Nasib manusia berada di tangan Tuhan dan, entah manusia mampu merasakannya atau tidak, entah mereka benar-benar menyadarinya atau tidak, mereka harus taat dan tidak menentang, tidak menolak, dan tentu saja tidak menguji Tuhan. Bagaimanapun juga, engkau akan mati, dan jika engkau menentang, menolak, dan menguji Tuhan, maka dapat dipastikan akan seperti apa kesudahanmu. Sebaliknya, jika dalam situasi dan keadaan yang sama engkau mampu mencari bagaimana seharusnya makhluk ciptaan tunduk pada pengaturan Sang Pencipta, mencari pelajaran apa yang dapat kaupetik dan watak rusak apa yang harus kauketahui dalam situasi yang Tuhan atur bagimu, dan memahami kehendak Tuhan dalam situasi seperti itu, serta memberikan kesaksianmu dengan baik untuk memenuhi tuntutan Tuhan, maka inilah yang harus kaulakukan. Ketika Tuhan mengatur agar seseorang menderita suatu penyakit, entah berat atau ringan, tujuan Dia melakukannya bukanlah untuk membuatmu memahami seluk beluk jatuh sakit, kerugian yang penyakit itu timbulkan pada dirimu, kesukaran dan kesulitan yang disebabkan penyakit itu terhadapmu, dan segala macam perasaan yang kaurasakan karena penyakit tersebut—tujuan Dia bukanlah agar engkau memahami penyakit melalui sakitnya dirimu. Sebaliknya, tujuan Dia adalah agar engkau memetik pelajaran dari penyakit, belajar bagaimana merasakan kehendak Tuhan, belajar memahami watak rusak yang kauperlihatkan dan sikapmu yang keliru terhadap Tuhan saat engkau sakit dan belajar bagaimana tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, sehingga engkau mampu benar-benar taat kepada Tuhan dan mampu tetap teguh dalam kesaksianmu—inilah yang terpenting. Tuhan ingin menyelamatkanmu dan mentahirkanmu melalui penyakit. Hal apa tentang dirimu yang ingin Tuhan tahirkan? Dia ingin mentahirkanmu dari semua keinginan dan tuntutanmu yang berlebihan terhadap Tuhan, dan bahkan mentahirkanmu dari berbagai rencana, penilaian, dan perencanaan yang kaubuat dengan segala cara untuk bertahan hidup dan untuk tetap hidup. Tuhan tidak memintamu untuk membuat rencana, Dia tidak memintamu untuk menilai, dan Dia tidak mengizinkanmu memiliki keinginan yang berlebihan terhadap-Nya; Dia hanya memintamu untuk tunduk kepada-Nya dan mengetahui sikapmu sendiri terhadap penyakit saat engkau mengalaminya dan saat engkau berlatih untuk tunduk, untuk engkau mengetahui sikapmu sendiri terhadap penyakit, dan mengetahui sikapmu terhadap kondisi tubuh yang Dia berikan kepadamu, serta keinginan pribadimu. Setelah engkau mengetahui hal-hal ini, engkau akan mampu memahami betapa bermanfaatnya bagimu lingkungan penyakit yang telah Tuhan aturkan bagimu atau kondisi tubuh yang telah Dia berikan kepadamu; dan engkau akan mampu menyadari betapa bermanfaatnya pengaturan itu untuk mengubah watakmu, untuk engkau memperoleh keselamatan, dan untuk jalan masuk kehidupanmu. Itulah sebabnya, ketika penyakit tiba-tiba menyerang, engkau tidak boleh selalu bertanya-tanya bagaimana engkau dapat menghindarinya atau melarikan diri darinya atau menolaknya. Ada orang-orang yang berkata, "Engkau berkata aku tak boleh melarikan diri darinya atau menolaknya, dan aku tak boleh berusaha menghindarinya, jadi, maksud-Mu aku tak boleh pergi dan mengobati penyakitku!" Aku tidak pernah berkata seperti itu; itu adalah pemahamanmu yang keliru. Aku mendukungmu untuk secara aktif mengobati penyakitmu, tetapi Aku tidak ingin engkau hidup dalam penyakitmu atau terperosok dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran karena dampak dari penyakitmu, sampai akhirnya engkau menyimpang dari Tuhan dan meninggalkan-Nya karena semua penderitaan yang disebabkan oleh penyakitmu. Jika penyakitmu menyebabkanmu sangat menderita dan engkau ingin menerima pengobatan dan ingin penyakitmu sembuh, tentu saja, itu tidak masalah. Itu adalah hakmu; engkau berhak untuk memilih mendapatkan pengobatan, dan tak seorang pun berhak untuk menghentikanmu. Namun, engkau tidak boleh hidup dalam penyakitmu dan tidak mau melaksanakan tugasmu atau melepaskan tugasmu, atau menolak pengaturan dan penataan Tuhan karena engkau sedang menerima pengobatan. Jika penyakitmu tak dapat disembuhkan, engkau akan terjerumus dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan karenanya, engkau akan dipenuhi dengan keluhan dan keraguan tentang Tuhan, dan engkau bahkan akan kehilangan kepercayaanmu kepada Tuhan, kehilangan harapanmu, dan ada orang-orang yang akan memilih untuk melepaskan tugas mereka—ini adalah sesuatu yang benar-benar tak boleh kaulakukan. Saat menghadapi penyakit, engkau boleh secara aktif mencari pengobatan, tetapi engkau juga harus menanggapi hal ini dengan sikap yang positif. Mengenai sampai sejauh mana penyakitmu dapat diobati dan apakah penyakitmu dapat disembuhkan atau tidak, dan apa pun yang terjadi pada akhirnya, engkau harus selalu tunduk dan tidak mengeluh. Seperti inilah seharusnya sikapmu, karena engkau adalah makhluk ciptaan dan engkau tidak punya pilihan lain. Engkau tidak boleh berkata, "Jika aku sembuh dari penyakit ini, aku akan percaya bahwa ini adalah kuasa Tuhan yang besar, tetapi jika aku tidak sembuh, aku tidak akan puas dengan Tuhan. Mengapa Tuhan memberiku penyakit ini? Mengapa Dia tidak menyembuhkanku dari penyakit ini? Mengapa aku yang mengidap penyakit ini dan bukan orang lain? Aku tidak menginginkannya! Mengapa aku harus mati begitu cepat di usia yang semuda ini? Mengapa orang lain bisa terus hidup? Mengapa?" Jangan bertanya mengapa, ini adalah pengaturan Tuhan. Tidak ada alasannya, dan engkau tidak boleh bertanya mengapa. Bertanya mengapa adalah perkataan yang memberontak, dan ini bukanlah pertanyaan yang boleh diajukan oleh makhluk ciptaan. Jangan bertanya mengapa, karena tidak ada alasannya. Tuhan telah mengatur dan merencanakan segala sesuatu seperti ini. Jika engkau bertanya mengapa, maka hanya dapat dikatakan bahwa engkau sangat memberontak, sangat keras kepala. Ketika ada sesuatu yang tidak memuaskan dirimu, atau Tuhan tidak bertindak sesuai dengan keinginanmu atau tidak membiarkanmu melakukan apa yang kauinginkan, engkau menjadi tidak senang, engkau merasa tidak puas, dan engkau selalu bertanya mengapa. Jadi, Tuhan bertanya kepadamu, "Sebagai makhluk ciptaan, mengapa engkau belum melaksanakan tugasmu dengan baik? Mengapa engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan setia?" Dan bagaimana engkau akan menjawabnya? Engkau berkata, "Tidak ada alasannya, memang seperti inilah diriku." Bolehkah engkau menjawab seperti itu? (Tidak boleh.) Tuhan boleh berbicara kepadamu dengan cara seperti itu, tetapi engkau tidak boleh berbicara kepada Tuhan dengan cara seperti itu. Sudut pandangmu salah, dan engkau sangat tidak masuk akal. Kesulitan apa pun yang makhluk ciptaan hadapi, adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa engkau harus tunduk pada pengaturan dan penataan Sang Pencipta. Sebagai contoh, orang tuamu melahirkanmu, membesarkanmu, dan engkau menyebut mereka ibu dan ayah—ini adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, dan ini adalah hal yang sudah seharusnya; tidak ada alasannya. Jadi, Tuhan mengatur semua ini untukmu dan, entah engkau menikmati berkat atau mengalami kesukaran, ini juga adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, dan engkau tidak punya pilihan dalam hal ini. Jika engkau mampu tunduk sampai akhir, engkau akan memperoleh keselamatan seperti halnya Petrus. Sedangkan, jika engkau menyalahkan Tuhan, meninggalkan Tuhan, dan mengkhianati Tuhan karena penyakit tertentu yang sementara, maka semua penyerahan, pengorbanan, pelaksanaan tugasmu, dan harga yang telah kaubayarkan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ini karena semua kerja kerasmu di masa lalu belum membuatmu memiliki landasan untuk melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dengan baik atau belum membuatmu mengambil tempat yang tepat sebagai makhluk ciptaan, dan sama sekali belum mengubah apa pun dalam dirimu. Ini kemudian akan menyebabkanmu mengkhianati Tuhan karena penyakitmu, dan kesudahanmu akan sama seperti kesudahan Paulus, engkau akan dihukum pada akhirnya. Alasan dari tekadmu ini adalah karena semua yang telah kaulakukan sebelumnya bertujuan agar engkau memperoleh mahkota dan menerima berkat. Jika, saat engkau akhirnya menghadapi penyakit dan kematian, engkau masih mampu tunduk tanpa mengeluh, itu membuktikan bahwa semua yang kaulakukan sebelumnya telah kaulakukan bagi Tuhan dengan sungguh-sungguh dan penuh kerelaan. Engkau taat kepada Tuhan, dan pada akhirnya ketaatanmu akan membuatmu memiliki kesudahan yang sempurna dalam kehidupan imanmu kepada Tuhan, dan ini dipuji oleh Tuhan. Jadi, penyakit dapat menyebabkanmu memiliki kesudahan yang baik, atau dapat menyebabkanmu memiliki kesudahan yang buruk; kesudahan seperti apa yang akan kauperoleh, itu tergantung pada jalan yang kautempuh dan bagaimana sikapmu terhadap Tuhan.

Apakah masalah jatuhnya orang ke dalam emosi negatif karena penyakit kini telah teratasi? (Ya.) Apakah engkau sekarang memiliki gagasan dan pandangan yang benar tentang bagaimana caramu menghadapi penyakit? (Ya.) Tahukah engkau bagaimana engkau harus menerapkan hal ini? Jika tidak tahu, akan Kuberitahukan kepadamu cara yang terbaik, hal terbaik yang harus kaulakukan. Tahukah engkau apakah itu? Jika penyakit menyerangmu, dan sebanyak apa pun doktrin yang kaupahami engkau tetap tak mampu mengatasinya, hatimu akan tetap menjadi sedih, cemas, dan khawatir, dan engkau bukan saja tak akan mampu menghadapi masalah ini dengan tenang, tetapi hatimu juga akan dipenuhi dengan keluhan. Engkau akan selalu bertanya-tanya, "Mengapa bukan orang lain saja yang mengidap penyakit ini? Mengapa membuatku mengidap penyakit ini? Mengapa ini harus terjadi padaku? Itu karena aku tidak beruntung dan bernasib buruk. Aku tak pernah menyinggung siapa pun, juga tak pernah berbuat dosa, jadi mengapa ini terjadi padaku? Tuhan memperlakukanku dengan sangat tidak adil!" Engkau bisa melihat bahwa selain kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, engkau juga jatuh ke dalam perasaan depresi yang disertai dengan berbagai emosi negatif yang datang silih berganti dan engkau sama sekali tak mampu menghindarinya, sekalipun engkau sangat ingin melakukannya. Karena engkau benar-benar mengidap penyakit, dan penyakit itu tidak mudah diangkat darimu atau disembuhkan, lalu apa yang harus kaulakukan? Engkau ingin tunduk tetapi engkau tidak mampu, dan jika pada suatu hari engkau tunduk, lalu pada hari berikutnya kondisimu memburuk dan engkau sangat kesakitan, maka engkau pun tidak mau lagi tunduk, dan engkau kembali mulai mengeluh. Engkau berubah-ubah seperti ini sepanjang waktu, jadi apa yang harus kaulakukan? Biar Kuberitahukan kepadamu sebuah rahasia keberhasilan. Entah engkau mengidap penyakit yang berat atau ringan, saat penyakitmu itu menjadi parah atau engkau sedang menghadapi kematian, ingatlah satu hal: jangan takut mati. Sekalipun engkau mengidap kanker stadium akhir, sekalipun angka kematian karena penyakitmu itu sangat tinggi, jangan takut mati. Sekalipun engkau sangat menderita, jika engkau takut mati, engkau tidak akan mampu tunduk. Ada orang-orang yang berkata, "Mendengar perkataan-Mu, aku merasa terinspirasi dan aku memiliki ide yang jauh lebih baik. Aku bukan saja tidak akan takut mati, tetapi aku justru akan memohon agar aku mati. Bukankah itu akan memudahkan kita melewatinya?" Mengapa memohon untuk mati? Memohon untuk mati adalah ide yang ekstrem, sedangkan tidak takut mati adalah sikap yang masuk akal yang harus kaumiliki. Bukankah benar demikian? (Ya.) Sikap benar seperti apa yang harus kaumiliki agar tidak takut mati? Jika penyakitmu menjadi sangat parah sehingga engkau bisa mati kapan saja, dan angka kematian karena penyakit ini tinggi, berapa pun usia orang yang mengidap penyakit tersebut, dan sekalipun waktu dari mulai orang mengidap penyakit ini hingga mereka mati sangatlah singkat, apa yang seharusnya kaupikirkan di dalam hatimu? "Aku tidak boleh takut mati, semua orang akan mati pada akhirnya. Namun, tunduk kepada Tuhan adalah sesuatu yang kebanyakan orang tak mampu melakukannya, dan aku dapat menggunakan penyakit ini untuk berlatih tunduk kepada Tuhan. Aku harus memiliki pemikiran dan sikap yang tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan, dan aku tidak boleh takut mati." Mati itu mudah, jauh lebih mudah daripada hidup. Engkau bisa saja merasakan rasa sakit yang ekstrem dan engkau tidak akan menyadarinya, dan begitu matamu terpejam, napasmu berhenti, jiwamu meninggalkan tubuhmu, dan hidupmu berakhir. Seperti inilah kematian terjadi; sesederhana ini. Tidak takut mati adalah salah satu sikap yang harus orang miliki. Selain ini, engkau tidak boleh khawatir tentang apakah penyakitmu itu akan memburuk atau tidak, atau apakah engkau akan mati jika engkau tidak dapat disembuhkan, atau berapa lama engkau akan sakit sebelum akhirnya engkau mati, atau rasa sakit seperti apa yang akan kaualami saat tiba waktunya engkau mati. Engkau tidak boleh mengkhawatirkan hal-hal ini; ini bukanlah hal-hal yang perlu kaukhawatirkan. Ini karena hari itu pasti akan tiba dan pasti akan tiba pada tahun tertentu, pada bulan tertentu, dan pada hari tertentu. Engkau tidak dapat menyembunyikan dirimu darinya dan tidak dapat menghindarinya—itu adalah nasibmu. Yang kausebut nasib itu telah ditetapkan sejak semula oleh Tuhan dan sudah diatur oleh-Nya. Berapa tahun engkau hidup dan kapan engkau mati, itu telah ditentukan oleh Tuhan, jadi apa yang perlu kaukhawatirkan? Engkau bisa saja mengkhawatirkannya tetapi itu tidak akan mengubah apa pun; engkau bisa saja mengkhawatirkannya, tetapi engkau tak dapat menghindari terjadinya hal itu; engkau bisa saja mengkhawatirkannya, tetapi engkau tidak dapat menghentikan tibanya hari itu. Oleh karena itu, kekhawatiranmu itu sia-sia, dan hanya akan membuat beban penyakitmu menjadi makin berat. Di satu sisi, jangan khawatir, dan di sisi lain jangan takut mati. Di sisi lain lagi, jangan merasa cemas dengan berkata, "Setelah aku mati, akankah suamiku (atau istriku) menikah lagi? Siapa yang akan merawat anakku? Siapa yang akan mengambil alih tugasku? Siapa yang akan mengingatku? Setelah aku mati, kesudahan seperti apa yang Tuhan tentukan untukku?" Hal-hal seperti ini adalah hal-hal yang tak perlu kaukhawatirkan. Semua orang yang mati memiliki tempat yang tepat untuk dituju dan Tuhan telah mengaturnya. Mereka yang hidup akan terus hidup; keberadaan seorang manusia tidak akan memengaruhi aktivitas normal dan kelangsungan hidup umat manusia, dan ketiadaan seorang manusia juga tidak akan mengubah apa pun, jadi hal-hal ini tidak perlu kaukhawatirkan. Tidak perlu mengkhawatirkan berbagai kerabatmu, dan terlebih lagi, tidak perlu mengkhawatirkan apakah seseorang akan mengingatmu atau tidak setelah engkau mati. Apa gunanya orang mengingat dirimu? Jika engkau seperti Petrus, maka ada gunanya orang mengingatmu; jika engkau seperti Paulus, engkau hanya akan membuat orang lain mengalami malapetaka, jadi untuk apa orang ingin mengingat dirimu? Ada kekhawatiran lain yang merupakan pemikiran paling realitis yang orang miliki. Mereka berkata, "Setelah aku mati, aku tidak akan pernah lagi melihat dunia ini, dan aku tidak akan pernah mampu lagi menikmati kehidupan materi dari semua hal ini. Setelah aku mati, tidak ada lagi hal di dunia ini yang akan menjadi perhatianku, dan perasaan sebagai orang yang hidup tidak akan lagi kurasakan. Setelah aku mati, ke mana aku akan pergi?" Ke mana engkau akan pergi bukanlah sesuatu yang perlu kaukhawatirkan, juga bukan sesuatu yang perlu kaucemaskan. Engkau bukan lagi seseorang yang hidup, dan engkau mengkhawatirkan dirimu yang tidak akan bisa lagi merasakan semua orang, peristiwa, hal-hal, lingkungan, dan sebagainya di dunia materi. Ini terlebih lagi adalah sesuatu yang tak perlu kaukhawatirkan, dan sekalipun engkau tak mampu melepaskan hal-hal ini, itu tidak ada gunanya. Namun, yang mungkin akan sedikit menghiburmu adalah bahwa kematianmu atau kepergianmu bisa menjadi awal baru bagi reinkarnasimu selanjutnya, menjadi awal yang lebih baik, awal yang sehat, awal yang sepenuhnya baik, awal bagi jiwamu untuk kembali lagi. Ini belum tentu merupakan hal yang buruk, karena engkau mungkin saja akan kembali dalam cara dan wujud yang berbeda. Mengenai dalam wujud apa dirimu nanti, itu tergantung pada pengaturan Tuhan dan Sang Pencipta. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa semua orang hanya bisa menunggu dan melihat. Jika engkau memilih untuk hidup dengan cara yang lebih baik dan dalam wujud yang lebih baik setelah engkau mati dalam kehidupan ini, maka separah apa pun penyakitmu, hal terpenting adalah bagaimana engkau menghadapinya dan perbuatan baik apa yang harus kaupersiapkan, dan bukan kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiranmu yang tidak ada gunanya itu. Jika engkau berpikir dengan cara seperti ini, bukankah tingkat ketakutan, kengerian, dan penolakanmu terhadap kematian akan berkurang? (Ya.) Berapa banyak aspek yang baru saja kita bahas? Salah satu aspeknya adalah jangan takut mati. Apa lagi? (Kita tidak perlu mengkhawatirkan apakah penyakit kita akan memburuk atau tidak, dan kita tidak perlu mencemaskan pasangan atau anak-anak kita, atau kesudahan dan tempat tujuan kita, dan sebagainya.) Serahkan semua ini ke dalam tangan Tuhan. Apa lagi? (Kita tak perlu mengkhawatirkan ke mana kita akan pergi setelah mati.) Tidak ada gunanya mengkhawatirkan hal-hal ini. Hiduplah pada masa sekarang dan lakukan hal-hal yang harus kaulakukan di sini dan pada saat ini dengan baik. Engkau tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, jadi engkau harus menyerahkan semua ini ke dalam tangan Tuhan. Apa lagi? (Kita harus segera mempersiapkan perbuatan baik demi tempat tujuan kita di masa depan.) Benar, manusia harus mempersiapkan lebih banyak perbuatan baik demi masa depan, dan mereka harus mengejar kebenaran dan menjadi orang-orang yang memahami kebenaran dan memiliki kenyataan kebenaran. Ada orang-orang yang berkata, "Engkau sedang membahas tentang kematian sekarang, jadi apakah maksud-Mu semua orang harus menghadapi kematian di masa depan? Apakah ini pertanda buruk?" Perkataan ini bukan pertanda buruk, juga bukan untuk memberimu suntikan pencegahan, apalagi mengutuk siapa pun agar mereka mati—perkataan ini bukanlah kutukan. Jadi, apakah perkataan ini? (Perkataan ini adalah jalan penerapan bagi manusia.) Benar, perkataan ini adalah apa yang harus orang terapkan, perkataan ini adalah pandangan dan sikap yang benar yang harus orang miliki, dan kebenaran yang harus orang pahami. Bahkan orang yang tidak mengidap penyakit apa pun juga harus memiliki sikap seperti ini dalam menghadapi kematian. Jadi, ada orang-orang yang berkata, "Jika kami tidak takut mati, apakah itu berarti kematian tidak akan menghampiri kami?" Apakah perkataan seperti ini adalah kebenaran? (Bukan.) Lalu apakah perkataan seperti ini? (Ini adalah gagasan dan imaginasi mereka.) Perkataan seperti ini tidak masuk akal, merupakan penalaran yang logis dan falsafah Iblis—bukan kebenaran. Bukan berarti jika engkau tidak takut mati atau tidak mengkhawatirkan kematian maka kematian itu tidak akan menghampirimu dan engkau tidak akan mati—ini bukanlah kebenaran. Yang sedang Kubahas ini adalah tentang sikap yang harus orang miliki dalam menghadapi kematian dan penyakit. Jika engkau memiliki sikap seperti ini, engkau akan mampu meninggalkan emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Engkau tidak akan terjebak dalam penyakitmu, dan pemikiran serta dunia kerohanianmu tidak akan dirugikan atau diganggu oleh kenyataan penyakitmu. Salah satu kesulitan pribadi yang orang hadapi adalah prospek masa depan mereka, dan kesulitan lainnya adalah penyakit dan kematian. Prospek masa depan dan kematian dapat mengendalikan hati manusia, tetapi jika engkau mampu menghadapi kedua masalah ini dengan benar dan mengatasi emosi negatifmu, maka kesulitan yang umumnya orang miliki ini tidak akan mengalahkanmu.

Selain penyakit, orang sering merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang beberapa masalah nyata lainnya dalam hidup mereka. Ada banyak masalah nyata dalam hidup ini, misalnya ada orang-orang lanjut usia atau anak-anak di rumahmu yang harus kaurawat atau besarkan, anak-anakmu membutuhkan uang untuk biaya sekolah dan biaya hidup mereka, orang-orang lanjut usia membutuhkan uang untuk mengobati kondisi kesehatan mereka, dan dibutuhkan sejumlah besar uang untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Engkau ingin melaksanakan tugasmu, tetapi jika engkau melepaskan pekerjaanmu, bagaimana engkau akan hidup? Tabungan keluargamu akan habis dengan cepat, lalu apa yang akan kaulakukan tanpa uang? Jika engkau pergi untuk mencari uang, itu akan menyebabkan tertundanya pelaksanaan tugasmu, tetapi jika engkau melepaskan pekerjaanmu untuk melaksanakan tugasmu, engkau sama sekali tidak akan dapat menyelesaikan kesulitan di rumahmu. Jadi, apa yang harus kaulakukan? Banyak orang bergumul dan merasa bingung karena hal-hal seperti ini, jadi mereka semua merindukan datangnya hari Tuhan dan bertanya-tanya kapankah bencana dahsyat akan menimpa dan apakah mereka perlu menimbun makanan. Jika mereka menyiapkan diri, mereka tidak akan punya uang cadangan di rumah dan hidup akan menjadi sangat sulit. Ketika melihat orang lain berpakaian lebih bagus dan menyantap makanan yang lebih baik, mereka merasa tidak bahagia dan merasa hidup mereka sangat berat. Mereka sudah lama tidak makan daging, dan jika mereka memiliki beberapa telur, mereka merasa enggan memakannya, dan mereka bergegas ke pasar untuk menjualnya dan menghasilkan beberapa ribu rupiah. Saat memikirkan semua kesulitan ini, mereka mulai khawatir: "Kapankah hari-hari yang sulit ini akan berakhir? Mereka selalu berkata, 'Hari Tuhan akan datang, hari Tuhan akan datang,' dan 'Pekerjaan Tuhan akan segera berakhir,' tetapi kapan seseorang akan memberitahuku kapan sebenarnya hal itu akan terjadi? Siapa yang dapat mengatakan hal ini dengan pasti?" Ada orang-orang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun melaksanakan tugas mereka jauh dari rumah, dan terkadang mereka berpikir, "Aku tidak tahu sudah sebesar apa anak-anakku sekarang, atau apakah orang tuaku dalam keadaan sehat atau tidak. Aku sudah bertahun-tahun berada jauh dari rumah dan selama ini tidak menjaga mereka. Apakah mereka mengalami kesulitan? Apa yang akan mereka lakukan jika mereka jatuh sakit? Akankah ada orang yang merawat mereka? Orang tuaku pasti sudah berusia 80an atau 90an sekarang, dan aku bahkan tidak tahu apakah mereka masih hidup." Saat memikirkan hal-hal ini, kecemasan yang tak terlukiskan muncul di hati mereka. Selain merasa cemas, mereka akan merasa khawatir, tetapi merasa khawatir tak pernah menyelesaikan apa pun, sehingga mereka mulai merasa sedih. Saat mereka merasa sangat sedih, perhatian mereka beralih pada pekerjaan Tuhan dan pada hari Tuhan, dan mereka bertanya-tanya, "Mengapa hari Tuhan belum juga tiba? Apakah kami harus selalu menjalani kehidupan yang mengembara dan terisolasi seperti ini? Kapan hari Tuhan akan tiba? Kapan pekerjaan Tuhan akan berakhir? Kapan Tuhan akan menghancurkan dunia ini? Kapan Kerajaan Tuhan akan terwujud di bumi? Kapan kami akan menyaksikan penampakan wujud Tuhan yang sebenarnya?" Mereka memikirkan hal-hal ini berulang kali, dan emosi negatif kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan pun bergejolak di dalam hati mereka, mereka langsung memasang ekspresi wajah yang khawatir, mereka tidak lagi merasakan sukacita, mereka berjalan dengan lesu, mereka makan dengan tidak berselera, dan menghabiskan setiap harinya dengan pikiran yang kacau. Apakah hidup dalam emosi negatif seperti itu adalah hal yang baik? (Tidak.) Bahkan kesulitan kecil dalam hidup ini dapat membuat orang kadang kala terjerumus ke dalam emosi negatif kepasifan ini, dan terkadang bahkan tanpa alasan sama sekali, atau tanpa latar belakang tertentu, atau tanpa adanya orang tertentu yang mengucapkan sesuatu yang khusus, emosi negatif ini tanpa disadari akan bergejolak di dalam hati mereka. Ketika emosi negatif seperti ini bergejolak di dalam hati orang, keinginan yang orang itu miliki, kerinduannya agar hari Tuhan segera tiba, agar pekerjaan-Nya segera berakhir, dan agar Kerajaan-Nya datang, menjadi jauh lebih mendesak. Bahkan ada orang-orang yang berlutut dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Tuhan dengan bercucuran air mata, berkata, "Ya Tuhan, aku membenci dunia ini, dan aku membenci umat manusia ini. Kumohon akhirilah semuanya sesegera mungkin, akhirilah kehidupan jasmani manusia, dan akhirilah semua kesukaran ini." Mereka berdoa seperti ini berulang-kali tanpa hasil, dan emosi negatif kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan tetap menyelimuti hati mereka, dan tetap tinggal di pikiran dan di kedalaman jiwa mereka, sangat memengaruhi dan melingkupi diri mereka. Sebenarnya, satu-satunya alasan ini terjadi adalah karena mereka rindu agar hari Tuhan tiba lebih cepat, agar pekerjaan Tuhan berakhir lebih cepat, agar mereka menerima berkat sesegera mungkin, agar mereka memiliki tempat tujuan yang baik, agar mereka masuk ke dalam Surga atau ke dalam Kerajaan yang mereka bayangkan dan rindukan dalam gagasan mereka sendiri; itulah sebabnya mereka selalu sangat bersemangat tentang hal-hal ini di lubuk mereka. Di luarnya mereka terlihat sangat bersemangat, padahal mereka sebenarnya merasa sedih, cemas dan khawatir. Ketika kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran seperti ini selalu melingkupi orang, pikiran mereka menjadi aktif, dan mereka berpikir, "Jika hari Tuhan tidak segera tiba, dan pekerjaan Tuhan tidak berakhir sesegera mungkin, aku harus memanfaatkan masa mudaku dan kemampuanku untuk bekerja keras. Aku ingin bekerja dan mendapatkan uang, bekerja keras di dunia untuk sementara waktu dan menikmati hidup. Jika hari Tuhan tidak segera tiba, aku ingin pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluargaku, mencari pasangan, menjalani hidup yang baik untuk sementara waktu, menafkahi orang tuaku, membesarkan anak-anakku. Saat usiaku telah lanjut, aku telah memiliki banyak anak dan mereka akan tinggal bersamaku, dan kami akan menikmati kehidupan berkeluarga—sungguh pemandangan yang indah! Sungguh gambaran yang manis!" Dengan berpikir seperti ini, mereka menantikan saatnya mereka dapat menikmati kehidupan yang seperti ini. Setiap kali manusia berpikir bahwa hari Tuhan akan segera tiba dan pekerjaan Tuhan akan segera berakhir, keinginan mereka menjadi jauh lebih membara, dan kerinduan mereka agar pekerjaan Tuhan berakhir sesegera mungkin menjadi jauh lebih kuat. Dalam situasi seperti itu, ketika kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang orang harapkan, ketika orang tidak dapat melihat tanda-tanda pekerjaan Tuhan akan berakhir atau hari Tuhan akan tiba, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mereka menjadi jauh lebih parah. Mereka khawatir, setelah beberapa tahun, saat mereka telah berusia lanjut, mereka belum juga menemukan pasangan yang akan menjaga mereka di usia tua mereka. Mereka khawatir, jika mereka terus-menerus melaksanakan tugas mereka di rumah Tuhan dan memutuskan semua ikatan mereka dengan masyarakat, apakah mereka akan mampu bergabung kembali dengan masyarakat saat mereka kembali tinggal di rumah. Mereka khawatir, jika setelah beberapa tahun mereka kembali berbisnis atau kembali bekerja, apakah mereka akan mampu mengikuti perkembangan zaman, apakah mereka akan mampu menonjol, dan apakah mereka akan mampu bertahan hidup atau tidak. Makin mereka mengkhawatirkan hal-hal seperti ini dan makin mereka merasa cemas dan sedih karenanya, makin mereka tak mampu melaksanakan tugas mereka dengan tenang dan mengikuti Tuhan di rumah Tuhan. Jadi, mereka mengkhawatirkan masa depan, prospek, dan kehidupan keluarga mereka, dan mengkhawatirkan semua kesulitan yang mungkin muncul dalam hidup mereka di masa depan. Mereka memikirkan semua yang dapat mereka pikirkan, mereka mengkhawatirkan semua yang dapat mereka khawatirkan; mereka bahkan mengkhawatirkan cucu-cucu mereka dan bagaimana kehidupan keturunan dari para cucu mereka. Jangkauan pemikiran mereka sangat jauh, pemikiran mereka sangat menyeluruh, dan mereka memikirkan matang-matang segala sesuatunya. Ketika orang merasakan kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan seperti ini, mereka menjadi tak mampu melaksanakan tugas mereka dengan tenang, dan mereka tak mampu hanya mengikuti Tuhan, sebaliknya mereka sering kali memiliki pemikiran yang aktif dan sikap yang selalu berubah-ubah. Ketika mereka melihat pekerjaan penginjilan berjalan dengan sangat baik, mereka berpikir, "Hari Tuhan akan segera tiba. Aku harus melaksanakan tugasku dengan baik, ya! Aku harus bersemangat! Aku harus terus melanjutkannya selama beberapa tahun lagi, waktunya tidak akan lama lagi. Semua penderitaan ini akan sepadan dan semua ini akan membuahkan hasil, dan aku tidak perlu lagi khawatir!" Namun, setelah beberapa tahun, bencana dahsyat masih belum terjadi dan tak seorang pun menyebutkan tentang hari Tuhan, sehingga hati mereka menjadi dingin. Kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini, serta pemikiran aktif mereka, terus datang dan pergi dan terus berulang seperti ini, berputar tanpa akhir sesuai dengan keadaan dunia dan keadaan di rumah Tuhan, dan mereka tak mampu melakukan apa pun untuk mengendalikannya—mereka tak mampu mengubah keadaan mereka apa pun yang orang katakan. Adakah orang-orang yang semacam ini? (Ada.) Mudahkah bagi orang-orang semacam ini untuk tetap teguh? (Tidak.) Sikap dan suasana hati mereka dalam melaksanakan tugas, dan jumlah tenaga yang mereka gunakan dalam tugas mereka, semuanya didasarkan pada "berita terkini". Ada orang yang berkata, "Menurut berita yang tepercaya, Injil Tuhan tersebarluas dengan luar biasa!" Dan ada orang yang berkata, "Berita terkini mengatakan bahwa bencana kini sangat sering terjadi di seluruh dunia, dan tampaknya keadaan dunia dan bencana sekarang ini adalah penggenapan ini dan itu dalam Kitab Wahyu. Pekerjaan Tuhan akan segera berakhir, hari Tuhan akan segera tiba, dan seluruh dunia keagamaan sedang gempar!" Setiap kali mereka mendengar "berita terkini" atau "berita tepercaya", kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mereka hilang untuk sementara waktu dan tidak lagi mengganggu mereka dan mereka melepaskan pemikiran aktif mereka untuk sementara waktu. Namun, jika belakangan ini mereka belum mendengar "berita tepercaya" atau "berita yang akurat", kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mereka serta pemikiran aktif mereka mulai meluap. Bahkan ada orang-orang yang bersiap-siap dengan berpikir di mana mereka akan melamar pekerjaan, di mana mereka harus bekerja, berapa banyak anak yang harus mereka miliki, di mana anak-anak mereka akan bersekolah beberapa tahun lagi, bagaimana mempersiapkan biaya kuliah mereka, dan mereka bahkan berencana untuk membeli rumah, tanah, atau mobil. Namun, setelah mendengar "berita tepercaya", hal-hal ini untuk sementara ditunda. Bukankah ini terdengar seperti lelucon? (Ya.) Mereka percaya kepada Tuhan tetapi mereka tidak sungguh-sungguh percaya, mereka berkata bahwa iman kepada Tuhan adalah jalan yang benar dalam hidup ini, bahwa itu adalah kehidupan yang paling bermakna, bahwa hidup dengan cara seperti ini adalah hidup yang paling bernilai; bagaimanapun cara Tuhan menuntun mereka atau apa pun yang Dia lakukan, mereka yakin bahwa semua yang Tuhan lakukan adalah untuk menyelamatkan manusia, jadi mereka akan mengikuti Tuhan sampai akhir. Entah sampai langit dan bumi menjadi tua, sampai bintang-bintang mengubah orbitnya, entah sampai lautan mengering, bebatuan berubah menjadi debu, atau lautan menjadi daratan dan daratan menjadi lautan, hati mereka akan tetap sama, dan tidak akan berubah. Hati mereka akan diberikan kepada Tuhan seumur hidup mereka, dan jika ada kehidupan lain setelah kehidupan ini, mereka akan tetap mengikuti Tuhan. Namun, orang-orang ini, yang memiliki begitu banyak kesulitan dalam hidup mereka, tidaklah seperti ini dalam pikiran mereka. Mereka percaya kepada Tuhan dengan sikap yang mengamati saja terlebih dahulu, dan mereka menjalani hidup mereka dengan cara apa pun yang dianggap pantas oleh diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mengubah metode dan cara hidup mereka ataupun mengubah keinginan atau rencana mereka hanya karena mereka percaya kepada Tuhan dan menempuh jalan percaya kepada Tuhan. Apa pun rencana awal mereka, mereka tidak mengubahnya hanya karena mereka percaya kepada Tuhan, mereka sama sekali tidak mengubah apa pun, dan mereka berusaha untuk hidup dengan cara yang sama seperti yang dilakukan orang-orang tidak percaya. Hanya saja, ada satu hal istimewa dalam hal percaya kepada Tuhan, yaitu bahwa hari Tuhan akan segera tiba, Kerajaan Tuhan akan segera datang, dan bencana dahsyat akan segera menimpa. Maka, mereka yang percaya kepada Tuhan akan terluput dari bencana, mereka tidak akan jatuh ke dalam bencana, mereka akan dapat diselamatkan, dan hanya karena hal istimewa inilah mereka menjadi sangat tertarik untuk percaya kepada Tuhan. Jadi, tujuan mereka dan apa yang mereka fokuskan dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan hanyalah satu hal ini. Sebanyak apa pun khotbah yang mereka dengarkan, atau sebanyak apa pun mereka mendengar orang mempersekutukan kebenaran, atau seberapapun lamanya mereka percaya kepada Tuhan, cara mereka percaya kepada Tuhan tidak pernah berubah, dan mereka tidak pernah melepaskan cara tersebut. Baik karena khotbah yang mereka dengarkan maupun karena kebenaran yang mereka pahami, mereka tidak akan mengubah atau melepaskan pandangan mereka yang keliru tentang kepercayaan kepada Tuhan. Dengan demikian, jika ada perubahan tertentu atau perkataan tertentu tentang situasi di dunia luar atau di rumah Tuhan, hal itu akan selalu memengaruhi hal yang paling mereka khawatirkan di lubuk hati mereka. Jika mereka mendengar bahwa pekerjaan Tuhan akan segera berakhir, mereka menjadi sangat gembira; sedangkan jika mereka mendengar bahwa masih terlalu dini bagi pekerjaan Tuhan untuk berakhir dan merasa tak sanggup untuk terus percaya, maka kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mereka akan bertambah dari hari ke hari, dan mereka akan mulai bersiap untuk meninggalkan rumah Tuhan dan saudara-saudari mereka setiap saat, untuk sama sekali terpisah dari rumah Tuhan. Tentu saja, ada juga orang-orang yang setiap saat mulai bersiap untuk menghapus semua rincian kontak saudara-saudari mereka dan semua pesan mereka, dan mengembalikan buku-buku firman Tuhan, yang pernah rumah Tuhan kirimkan kepada mereka, ke gereja. Mereka berpikir, "Aku benar-benar tak mampu terus menempuh jalan kepercayaan kepada Tuhan dan jalan mengejar kebenaran ini. Kukira percaya kepada Tuhan berarti aku akan hidup bahagia, memiliki anak, menerima berkat dan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sekarang mimpi indah ini telah hancur, jadi aku akan tetap memilih hidup yang bahagia, memiliki anak, dan menikmati hidup. Namun, aku tetap tak boleh melepaskan kepercayaanku kepada Tuhan. Jika ada kemungkinan bagiku untuk menerima seratus kali lipat di kehidupan ini dan menerima hidup yang kekal di kehidupan selanjutnya, bukankah itu akan jauh lebih baik?" Inilah pandangan mereka tentang kepercayaan kepada Tuhan, inilah rencana mereka dan tentu saja, inilah juga yang mereka lakukan. Ini adalah pemikiran dan perencanaan di lubuk hati orang-orang yang mengandalkan imajinasi mereka dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, yang selalu merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang kehidupan jasmani mereka, dan ini merepresentasikan apa yang mereka kejar dan jalan yang mereka tempuh dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan. Hal apakah yang paling mereka khawatirkan? Hal yang paling mereka khawatirkan adalah kapan hari Tuhan akan tiba, kapan pekerjaan Tuhan akan berakhir, kapan bencana dahsyat akan menimpa, dan apakah mereka akan dapat terluput dari bencana dahsyat tersebut atau tidak—inilah hal yang paling mereka khawatirkan.

Bagi orang-orang yang selalu merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang kehidupan jasmani mereka, pengejaran mereka dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan adalah untuk "menerima seratus kali lipat di kehidupan ini dan menerima hidup yang kekal di kehidupan selanjutnya". Sebaliknya, mereka tidak suka mendengar tentang sejauh mana pekerjaan Tuhan telah berkembang, apakah mereka yang percaya kepada Tuhan mencapai hasil dalam memperoleh keselamatan, ada berapa banyak orang yang telah memperoleh kebenaran, yang mulai mengenal Tuhan, dan memberikan kesaksian yang baik, seolah-olah hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan mereka. Jadi, apa yang ingin mereka dengar? (Kapan pekerjaan Tuhan akan berakhir.) Mereka memiliki harapan-harapan yang lebih besar, bukan? Pikiran kebanyakan orang terlalu sempit. Tidak seperti kebanyakan orang, lihatlah pada hal apa mereka mengarahkan pandangan mereka, dan mereka hanya mengharapkan hal-hal yang besar—betapa tingginya pemikiran mereka! Kebanyakan orang benar-benar sangat vulgar, selalu membahas tentang perubahan watak, tunduk kepada Tuhan, melaksanakan tugas dengan setia, melakukan sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran—orang-orang seperti apakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang berpikiran sangat sempit! Orang seperti apakah mereka menurut orang Tionghoa? Mereka adalah orang-orang rendahan. Apa artinya orang rendahan? Artinya mereka sangat vulgar. Sedangkan orang-orang ini, ke manakah mereka mengarahkan pandangan mereka? Mereka mengharapkan hal-hal besar, hal-hal megah, hal-hal tingkat tinggi. Mereka yang mengharapkan hal-hal tingkat tinggi selalu ingin naik ke tempat tinggi, mereka terus berharap dengan sia-sia bahwa suatu hari Tuhan akan mengangkat mereka ke angkasa untuk bertemu dengan-Nya. Engkau selalu ingin bertemu dengan Tuhan tetapi engkau tidak bertanya apakah Tuhan ingin bertemu denganmu atau tidak—engkau hanya terus menginginkan hal-hal yang menakjubkan seperti ini! Pernahkah engkau mengalami sedikit saja perjumpaan dengan Tuhan? Manusia tidak mengenal Tuhan, jadi saat engkau berjumpa dengan-Nya, engkau tetap akan menentang-Nya. Jadi, apa alasan di balik kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran yang dirasakan orang-orang ini? Apakah semuanya karena kesulitan dalam hidup mereka? Bukan, bukan karena mereka benar-benar memiliki kesulitan dalam hidup mereka, melainkan karena dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka memfokuskan perhatian mereka pada kehidupan jasmani mereka. Fokus pengejaran mereka bukanlah kebenaran, melainkan menjalani hidup yang bahagia, menikmati kehidupan yang baik dan menikmati masa depan yang baik. Apakah masalah orang-orang ini mudah untuk diselesaikan? Apakah ada orang-orang semacam ini di gereja? Mereka selalu bertanya kepada orang lain, "Oh, kapankah hari Tuhan akan tiba? Bukankah dikatakan beberapa tahun yang lalu bahwa pekerjaan Tuhan akan segera berakhir? Jadi mengapa pekerjaan Tuhan belum berakhir?" Adakah cara untuk menangani orang-orang semacam ini? Katakan saja satu kata kepada mereka, dan beri tahu mereka, "Segera!" Ketika menghadapi orang-orang semacam ini, tanyakan terlebih dahulu kepada mereka, "Kau selalu menanyakan hal ini. Apakah kau sudah membuat rencana? Jika sudah, maka tak perlu repot-repot tinggal di sini padahal engkau tidak menginginkannya. Lakukan saja apa yang kauinginkan. Jangan lakukan apa yang bertentangan dengan kenginanmu sendiri, dan jangan mempersulit dirimu sendiri. Rumah Tuhan tidak menahanmu atau memerangkapmu di sini. Engkau boleh pergi kapan pun kau mau. Jangan selalu menanyakan apa desas-desus yang terbaru. Untuk desas-desus apa pun, jawaban untukmu adalah 'Segera!' Jika kau tidak suka dengan jawaban itu, jika kau sudah membuat rencana di dalam hatimu dan akan melaksanakannya cepat atau lambat, maka turuti saranku ini: kembalikan buku-buku firman Tuhan ke gereja sesegera mungkin, kemasi barang-barangmu dan pergilah. Kita akan saling mengucapkan selamat tinggal, dan kau tidak perlu lagi merasa sedih, cemas, atau khawatir tentang hal-hal ini. Pulanglah ke rumahmu dan jalanilah hidupmu. Kuharap engkau baik-baik saja! Kuharap hidupmu bahagia dan tenang dan kuharap semuanya berjalan baik untukmu di masa depan!" Bagaimana menurutmu saran seperti ini? (Bagus.) Sarankan kepada mereka untuk meninggalkan gereja; jangan berusaha menahan mereka. Mengapa jangan berusaha menahan mereka? (Mereka tidak benar-benar percaya kepada Tuhan, jadi tidak ada gunanya menahan mereka.) Benar; mereka adalah orang tidak percaya! Apa gunanya menahan orang tidak percaya dan tidak mengusir mereka? Ada orang-orang yang berkata, "Tetapi mereka tidak melakukan kejahatan apa pun, dan mereka tidak mengganggu apa pun." Apakah mereka perlu mengganggu sesuatu? Katakan kepada-Ku, bukankah jika orang semacam ini tinggal di tengah sekelompok orang, itu merupakan suatu gangguan? Di mana pun mereka berada, sikap dan tindakan mereka sudah merupakan gangguan. Mereka tidak pernah bersaat teduh, mereka tidak pernah membaca firman Tuhan, mereka tidak pernah berdoa atau menyampaikan persekutuan dalam pertemuan, mereka hanya bersikap asal-asalan dalam tugas mereka, selalu menanyakan desas-desus yang terbaru. Mereka sangat emosional dan berubah-ubah. Mereka juga sangat berfokus untuk makan, minum, dan bersenang-senang, dan bahkan ada di antara mereka yang malas, yang memanjakan diri mereka dengan makan dan tidur, yang sukanya bermain-main, yang keberadaannya di sana hanyalah untuk menambah jumlah orang yang ada di rumah Tuhan. Mereka tidak peduli akan pelaksanaan tugas mereka dan mereka hanyalah para pemalas. Ketika berada di rumah Tuhan, mereka hanya berada di sana untuk mencari hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan untuk mengambil keuntungan. Jika mereka tak dapat mengambil keuntungan, mereka akan segera pergi. Mengingat bahwa mereka akan segera pergi, bukankah lebih baik bagi mereka untuk pergi dengan segera daripada menunggu lebih lama lagi? Orang-orang semacam ini bahkan tak mampu melakukan pelayanan hingga akhir dan pelayanan mereka tidak memberi pengaruh yang baik. Saat melakukan pelayanan, mereka tidak melakukan hal yang benar—mereka hanyalah orang tidak percaya. Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka memandang masalah dari sudut pandang orang ketiga. Ketika rumah Tuhan sejahtera, mereka senang dan merasa ada harapan bagi mereka untuk diberkati, merasa mereka memiliki keuntungan, merasa kepercayaan mereka kepada Tuhan tidak sia-sia, merasa tidak rugi, dan berada di pihak yang menang. Sedangkan, jika rumah Tuhan ditindas oleh kekuatan Iblis, ditinggalkan oleh masyarakat, menjadi sasaran fitnah dan penganiayaan, dan berada dalam kesulitan, mereka bukan saja tidak merasa sedih, tetapi mereka malah menertawakannya. Bolehkah kita menahan orang-orang semacam ini di gereja? (Tidak.) Mereka adalah orang tidak percaya dan musuh! Jika seorang musuh berada tepat di sebelahmu, tetapi engkau menganggapnya sebagai seorang saudara atau saudari, bukankah itu berarti engkau bodoh? Jika orang semacam ini tak mampu dengan rela melakukan pelayanan, maka mereka harus diusir, bukan? (Ya.) Benar sekali, lakukanlah dengan segera dan menyeluruh. Tak perlu menasihati mereka, cukup minta mereka untuk pergi. Tak perlu membuang-buang waktumu untuk mereka, engkau hanya perlu menyuruh mereka untuk berkemas dan pulang ke rumah mereka. Pada dasarnya, mereka bukan anggota keluarga Tuhan, mereka hanyalah orang tidak percaya yang berhasil masuk ke dalam gereja. Mereka dapat kembali ke tempat asal mereka, dan engkau dapat mempersilakan mereka pergi. Setelah orang-orang semacam ini masuk ke dalam gereja, ada orang-orang yang memperlihatkan perbedaan yang jelas antara diri mereka sendiri dan saudara-saudari serta keluarga Tuhan. Ini karena mereka tahu apa yang harus mereka lakukan di rumah Tuhan, mereka tahu apakah mereka benar-benar percaya atau tidak, dan selain harapan mereka tentang kapan pekerjaan Tuhan akan berakhir dan apakah mereka dapat menerima berkat atau tidak, semua pekerjaan Tuhan dan kebenaran yang Tuhan tuntut untuk manusia masuki, tidak ada kaitannya sama sekali dengan mereka; mereka tidak menaruh perhatian pada hal-hal ini, mereka tidak membaca buku-buku firman Tuhan yang dikirimkan gereja untuk mereka baca, dan mereka hanya membiarkan buku-buku itu tergeletak tanpa pernah membuka kemasannya. Orang-orang semacam ini hanya berkata bahwa mereka percaya kepada Tuhan; mereka hanya kelihatannya saja percaya sebagaimana orang lain percaya, padahal mereka melaksanakan tugas mereka dengan asal-asalan, dan mereka tidak pernah membaca firman Tuhan. Mereka tidak pernah sekali pun membuka buku firman Tuhan, mereka tak pernah membalikkan satu halaman pun—mereka sama sekali tak pernah membacanya. Mereka tak pernah menonton video orang-orang yang memberikan kesaksian pengalaman mereka, ataupun menonton film Injil atau lagu pujian, dan sebagainya, yang ditayangkan oleh rumah Tuhan di Internet. Apa yang biasanya mereka tonton? Mereka menonton berita, acara populer, video klip, dan acara komedi, hanya menonton hal-hal yang tidak berguna. Orang macam apakah mereka? Mereka sesekali pergi ke gereja untuk bertanya, "Berapa banyak negara yang menyebarluaskan pekerjaan penginjilan saat ini? Berapa banyak orang yang telah berpaling kepada Tuhan? Sekarang ini, berapa banyak negara yang di dalamnya terdapat gereja-gereja yang telah didirikan? Berapa banyak gereja yang ada di sana? Pada tahap manakah pekerjaan Tuhan sekarang?" Ketika senggang, mereka selalu menanyakan hal-hal ini. Tidak adakah kecurigaan bahwa orang ini adalah mata-mata? Katakan kepada-Ku, bolehkah mempertahankan orang-orang semacam ini? (Tidak.) Jika mereka tidak meninggalkan gereja atas kemauan mereka sendiri, engkau semua harus mengeluarkan mereka sesegera mungkin begitu engkau mengenali mereka dan bersihkan gereja dari orang-orang pembawa bencana ini. Menahan mereka tidak ada gunanya dan akan menimbulkan masalah. Jadi, hal-hal yang membuat orang-orang ini merasa sedih, cemas, dan khawatir sama sekali tidak ada kaitannya dengan kita. Jangan repot-repot menasihati mereka, dan tidak ada gunanya mempersekutukan kebenaran kepada mereka. Usir saja mereka dan lakukan dengan segera—inilah cara terbaik menangani orang semacam ini.

Selain orang-orang tidak percaya, terdapat juga orang-orang lanjut usia di antara saudara-saudari, yang berusia antara 60 hingga 80 atau 90 tahun, dan yang juga mengalami beberapa kesulitan karena usia lanjut mereka. Sekalipun telah berusia lanjut, pemikiran mereka belum tentu benar atau masuk akal, dan gagasan serta pandangan mereka belum tentu sesuai dengan kebenaran. Orang-orang lanjut usia ini juga memiliki masalah, dan mereka selalu khawatir, "Kesehatanku tidak sebaik sebelumnya dan tugas yang mampu kulaksanakan sangat terbatas. Jika aku hanya melakukan tugas kecil ini, akankah Tuhan mengingatku? Terkadang aku jatuh sakit, dan aku perlu seseorang untuk merawatku. Jika tidak ada orang yang merawatku, aku tidak mampu melaksanakan tugasku, lalu apa yang dapat kulakukan? Aku sudah tua dan tak mampu mengingat firman Tuhan saat aku membacanya dan sulit bagiku untuk memahami kebenaran. Saat mempersekutukan kebenaran, perkataaanku membingungkan dan tidak logis, dan aku belum memiliki pengalaman apa pun yang layak untuk kubagikan. Aku sudah tua dan tak punya cukup tenaga, penglihatanku tidak terlalu baik dan aku tidak sekuat sebelumnya. Segala sesuatu terasa sulit bagiku. Aku bukan saja tak mampu melaksanakan tugasku, tetapi aku juga mudah lupa dan melakukan kesalahan. Terkadang aku menjadi bingung dan menimbulkan masalah bagi gereja dan saudara-saudariku. Aku ingin memperoleh keselamatan dan mengejar kebenaran tetapi itu sangat sulit bagiku. Apa yang dapat kulakukan?" Saat memikirkan hal-hal ini, mereka mulai resah, berpikir, "Mengapa aku baru mulai percaya kepada Tuhan pada usia ini? Mengapa aku tidak seperti mereka yang berusia 20-an dan 30-an, atau bahkan mereka yang berusia 40-an dan 50-an? Mengapa aku baru menemukan pekerjaan Tuhan ketika aku sudah sangat tua? Bukan karena aku bernasib buruk; setidaknya aku telah bertemu dengan pekerjaan Tuhan. Nasibku baik, dan Tuhan selama ini baik terhadapku! Hanya saja ada satu hal yang membuatku tidak senang, yaitu aku sudah sangat tua. Daya ingatku tidak terlalu bagus, dan kesehatanku tidak terlalu baik, tetapi aku memiliki kekuatan batin yang teguh dan tak tergoyahkan. Hanya saja tubuhku tidak mau menaatiku, dan aku mengantuk setelah mendengarkan persekutuan sebentar saja di pertemuan. Terkadang aku ketiduran saat menutup mataku untuk berdoa, dan pikiranku mengembara saat membaca firman Tuhan. Setelah membaca sedikit, aku mengantuk dan tertidur, dan firman Tuhan tidak dapat kupahami. Apa yang dapat kulakukan? Apakah dengan kesulitan nyata seperti itu aku masih mampu mengejar dan memahami kebenaran? Jika tidak, dan jika aku tak mampu melakukan penerapan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, bukankah itu berarti seluruh imanku akan sia-sia? Bukankah aku akan gagal memperoleh keselamatan? Apa yang dapat kulakukan? Aku sangat khawatir! Di usiaku ini tidak ada lagi yang penting. Sekarang karena aku percaya kepada Tuhan, aku tidak memiliki kekhawatiran atau apa pun yang kucemaskan, dan anak-anakku sudah dewasa dan mereka tidak lagi membutuhkanku untuk menjaga atau membesarkan mereka, keinginan terbesarku dalam hidup ini adalah mengejar kebenaran, melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan pada akhirnya memperoleh keselamatan selama tahun-tahun yang tersisa di hidupku. Namun, mengingat keadaan nyataku saat ini, rabun karena usia dan linglung dalam berpikir, memiliki kesehatan yang buruk, ketidakmampuan untuk melaksanakan tugasku dengan baik, dan terkadang menimbulkan masalah saat aku berusaha melakukan sebanyak yang mampu kulakukan, tampaknya memperoleh keselamatan tidak akan mudah bagiku." Mereka memikirkan hal-hal ini berulang kali dan menjadi makin cemas, dan kemudian berpikir, "Tampaknya hal-hal baik hanya terjadi pada orang-orang muda dan bukan pada orang lanjut usia. Tampaknya sebaik apa pun segala sesuatu, aku tak akan mampu lagi menikmati semua itu." Makin mereka memikirkan hal-hal ini, makin mereka merasa resah dan cemas. Mereka bukan saja mengkhawatirkan diri mereka sendiri tetapi mereka juga merasa terluka. Jika mereka menangis, mereka merasa luka tersebut tidak benar-benar layak untuk ditangisi, dan jika mereka tidak menangis, rasa sakit itu, luka itu, akan selalu menyertai mereka. Jadi, apa yang harus mereka lakukan? Khususnya, ada orang-orang lanjut usia yang ingin menghabiskan seluruh waktu mereka untuk mengorbankan diri bagi Tuhan dan melaksanakan tugas mereka, tetapi merasa tubuh mereka kurang sehat. Ada yang menderita tekanan darah tinggi, ada yang menderita gula darah tinggi, ada yang memiliki masalah pencernaan, dan ada yang kekuatan tubuhnya tak mampu memenuhi tuntutan tugasnya, sehingga mereka merasa resah. Mereka melihat bagaimana orang-orang muda mampu makan dan minum, berlari dan melompat, dan mereka merasa iri. Makin mereka melihat orang-orang muda melakukan hal-hal seperti itu, makin mereka merasa sedih, berpikir, "Aku ingin melaksanakan tugasku dengan baik serta mengejar dan memahami kebenaran, dan aku juga ingin menerapkan kebenaran, jadi, mengapa begitu sulit untuk melakukannya? Aku sudah sangat tua dan tak berguna! Apakah Tuhan tidak menginginkan orang lanjut usia? Apakah orang lanjut usia benar-benar tidak berguna? Apakah kami tidak dapat memperoleh keselamatan?" Mereka merasa sedih dan tak mampu merasa bahagia bagaimanapun cara mereka memikirkannya. Mereka tak ingin melewatkan waktu yang seindah itu dan kesempatan yang sebesar itu, tetapi mereka tak mampu mengorbankan diri mereka dan melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati dan segenap jiwa mereka seperti yang dilakukan orang-orang muda. Orang-orang lanjut usia ini terjerumus dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran yang mendalam karena usia mereka. Setiap kali mereka menghadapi kesulitan, rintangan, kesukaran, atau hambatan, mereka menyalahkan usia mereka, bahkan membenci dan tidak menyukai diri mereka sendiri. Namun bagaimanapun juga, semuanya sia-sia, tidak ada solusi, dan mereka tidak memiliki jalan keluar. Mungkinkah mereka benar-benar tak punya jalan keluar? Apakah ada solusinya? (Orang-orang lanjut usia juga harus melaksanakan tugas mereka semampu mereka.) Tentu saja diperbolehkan bagi orang-orang lanjut usia untuk melaksanakan tugas mereka semampu mereka, bukan? Bolehkah orang-orang lanjut usia tidak lagi mengejar kebenaran karena usia mereka? Apakah mereka tidak mampu memahami kebenaran? (Mereka mampu.) Mampukah orang lanjut usia memahami kebenaran? Mereka mampu memahami beberapa kebenaran, dan bahkan orang-orang muda pun tidak mampu memahami semuanya. Orang lanjut usia selalu memiliki kesalahpahaman, menganggap diri mereka linglung, ingatan mereka buruk, sehingga mereka tidak mampu memahami kebenaran. Benarkah demikian? (Tidak.) Meskipun orang muda jauh lebih bertenaga dibandingkan orang lanjut usia, dan secara fisik mereka lebih kuat, tetapi sebenarnya kemampuan mereka untuk mengerti, memahami, dan mengetahui sama saja dengan kemampuan orang lanjut usia. Bukankah orang lanjut usia juga pernah muda? Mereka tidak terlahir dalam keadaan tua, dan orang-orang muda, suatu hari juga akan menjadi tua. Orang lanjut usia tidak boleh selalu berpikir karena mereka sudah tua, lemah secara fisik, kurang sehat, dan memiliki ingatan yang buruk, itu berarti mereka berbeda dengan orang muda. Sebenarnya, tidak ada perbedaan. Apa maksud-Ku mengatakan tidak ada perbedaan? Entah seseorang itu sudah tua atau masih muda, mereka sama saja dalam hal watak rusak mereka, dalam hal sikap dan pandangan mereka, dan dalam hal perspektif dan sudut pandang mereka ketika memandang segala sesuatu. Jadi, orang lanjut usia tidak boleh berpikir bahwa, karena mereka sudah tua, memiliki lebih sedikit keinginan yang berlebihan dibandingkan orang muda, dan mampu bersikap lebih stabil, berarti mereka tidak memiliki ambisi atau keinginan yang liar, dan watak rusak mereka lebih sedikit—ini adalah kesalahpahaman. Orang muda bisa saja memperebutkan kedudukan, bukankah orang lanjut usia pun bisa saja memperebutkan kedudukan? Orang muda bisa saja melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip dan bertindak sekehendak hati, bukankah orang lanjut usia pun bisa saja melakukan hal yang sama? (Ya.) Orang muda bisa saja bersikap congkak, bukankah orang lanjut usia pun bisa saja bersikap congkak? Namun, ketika orang lanjut usia bersikap congkak, karena usia tua mereka, mereka tidak terlalu agresif, dan kecongkakan mereka bukan kecongkakan yang bertaraf tinggi. Orang muda memperlihatkan perwujudan kecongkakan yang lebih jelas karena mereka memiliki anggota tubuh dan pikiran yang fleksibel, sedangkan orang lanjut usia memperlihatkan perwujudan kecongkakan yang kurang jelas karena anggota tubuh mereka yang kaku dan pikiran mereka yang tidak fleksibel. Namun, esensi kecongkakan dan watak rusak mereka sama. Sekalipun seorang lanjut usia sudah lama percaya kepada Tuhan, atau sudah bertahun-tahun melaksanakan tugas mereka, jika mereka tidak mengejar kebenaran, watak rusak mereka akan tetap ada. Sebagai contoh, ada orang-orang lanjut usia yang hidup seorang diri, sudah terbiasa hidup sendiri dan memiliki jadwal yang teratur: mereka menetapkan waktu dan pengaturan mereka sendiri untuk makan, tidur, dan beristirahat, dan mereka tidak mau mengganggu urutan dan jadwal segala sesuatu dalam hidup mereka. Di luarnya, orang-orang lanjut usia ini terlihat seperti orang yang baik, padahal mereka masih memiliki watak yang rusak, dan engkau mengetahui hal ini setelah engkau bergaul lama dengan mereka. Ada orang-orang lanjut usia yang sangat keras kepala dan congkak; mereka benar-benar harus mendapatkan apa yang ingin mereka makan, dan tak seorang pun dapat menghentikan mereka jika mereka ingin pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang. Ketika mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu, kuda jantan liar pun tidak dapat menyeret mereka untuk mengubah keputusan itu. Tak seorang pun mampu mengubah mereka, dan mereka keras kepala sepanjang hidup mereka. Orang tua yang keras kepala seperti itu bahkan lebih menyusahkan daripada orang muda yang bandel! Oleh karena itu, ketika ada orang yang berkata, "Kerusakan orang tua tidak sedalam kerusakan orang muda. Orang tua hidup di masa yang lebih konservatif dan tertutup, dan itulah sebabnya kerusakan generasi orang tua ini tidak terlalu dalam," apakah perkataan seperti ini dapat dibenarkan? (Tidak.) Ini hanyalah dalih untuk kepentingan mereka sendiri. Jika orang muda tidak suka bekerja dengan orang lain, bukankah orang lanjut usia pun sama saja? (Ya.) Ada orang-orang lanjut usia yang watak rusaknya jauh lebih parah daripada watak rusak orang muda, selalu memamerkan usia tua mereka dan membanggakan tahun-tahun mereka sebagai veteran, dengan berkata, "Aku sudah lanjut usia. Berapa umurmu? Apakah aku yang lebih tua, ataukah kau? Kau mungkin tidak suka mendengarnya, tetapi aku sudah makan asam garam lebih lama daripada kau menyantap makan malam hangatmu, jadi kau harus menuruti perkataanku. Aku sudah berpengalaman dan pengetahuanku lebih luas. Apa sih yang dipahami anak-anak muda sepertimu? Aku sudah percaya kepada Tuhan bahkan sebelum kau lahir!" Bukankah ini lebih menyusahkan? (Ya.) Begitu mendapatkan gelar "lansia", orang-orang lanjut usia bisa menjadi lebih menyusahkan. Jadi, orang lanjut usia itu bukannya tidak memiliki sesuatu yang bisa mereka lakukan, mereka juga bukan tidak mampu untuk melaksanakan tugas mereka, dan terlebih lagi, mereka bukan tidak mampu untuk mengejar kebenaran—ada banyak hal yang bisa mereka lakukan. Berbagai kebohongan dan kekeliruan yang telah kaukumpulkan sepanjang hidupmu, serta berbagai ide dan gagasan tradisional, hal-hal yang bodoh dan sulit dihilangkan, hal-hal yang kolot, hal-hal yang konyol dan tak masuk akal yang telah kaukumpulkan, semuanya itu telah bertumpuk di dalam hatimu, dan engkau harus menghabiskan jauh lebih banyak waktu daripada yang dihabiskan orang muda untuk menyelidiki, menganalisis, dan mengenali hal-hal ini. Bukan berarti tidak ada apa pun yang bisa kaulakukan, atau bukan berarti engkau boleh merasa sedih, cemas, dan khawatir saat tidak ada apa pun yang bisa kaulakukan—ini bukan tugas ataupun tanggung jawabmu. Pertama-tama, orang lanjut usia harus memiliki pola pikir yang benar. Meskipun usiamu mungkin sudah lanjut dan secara fisik engkau relatif sudah tua, tetap saja engkau harus memiliki pola pikir orang muda. Meskipun engkau makin tua, daya pikirmu melambat dan daya ingatmu memburuk, jika engkau masih mampu mengenal dirimu sendiri, masih memahami firman yang Kuucapkan, dan masih memahami kebenaran, itu membuktikan bahwa engkau tidak tua dan kualitasmu tidak kurang. Jika orang sudah berusia 70-an tetapi tidak mampu memahami kebenaran, ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan mereka terlalu rendah dan mereka tak mampu melaksanakan tugas. Jadi, usia tidak ada kaitannya dengan kebenaran, dan terlebih lagi, usia itu tidak ada kaitannya dengan watak yang rusak. Iblis sudah ada selama puluhan ribu tahum, ratusan juta tahun, dan dia tetaplah Iblis, tetapi kita masih harus menambahkan kata sifat atributif sebelum kata "Iblis", menjadi "Iblis tua", yang berarti kejahatannya sudah mencapai taraf tak terhingga, bukan? (Ya.) Jadi, bagaimana seharusnya orang lanjut usia melakukan penerapan? Di satu sisi, engkau harus memiliki pola pikir yang sama dengan pola pikir orang muda, mengejar kebenaran, dan mengenal dirimu sendiri, dan setelah engkau mengenal dirimu sendiri, engkau harus bertobat. Di sisi lain, engkau harus mencari prinsip dalam pelaksanaan tugasmu dan melakukan penerapan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Engkau tidak boleh menghalangi dirimu sendiri untuk mengejar kebenaran, dengan berkata bahwa engkau sudah tua, sudah berumur, bahwa engkau tidak memiliki pemikiran aktif seperti yang dimiliki orang muda, bahwa engkau tidak memiliki watak yang rusak seperti yang dimiliki orang muda, bahwa engkau sudah mengalami segalanya dalam hidup ini, memperoleh wawasan tentang segala sesuatu, dan karenanya engkau tidak memiliki ambisi atau keinginan yang liar. Yang sebenarnya kaumaksudkan dengan perkataanmu ini adalah, "Watak rusakku tidaklah seserius itu, jadi mengejar kebenaran adalah untuk kalian, orang-orang muda. Itu tidak ada kaitannya dengan kami, orang-orang tua. Kami, orang-orang tua, hanya melakukan pekerjaan apa pun dan mengerahkan upaya apa pun yang mampu kami lakukan di rumah Tuhan, dan itu berarti kami telah melaksanakan tugas kami dengan baik dan kami akan diselamatkan. Sedangkan tentang Tuhan menyingkapkan watak rusak manusia, watak antikristus, dan esensi antikristus, itu adalah hal-hal yang harus dipahami oleh kalian, orang-orang muda. Kalian dapat mendengarkan semua itu dengan saksama, dan cukuplah bagi kami untuk menerima kalian dengan baik di rumah kami dan mengawasi lingkungan sekitar agar kalian tetap aman. Kami, orang-orang tua, tidak memiliki ambisi liar. Kami sudah tua, otak kami merespons dengan lambat, dan itulah sebabnya semua respons kami positif. Sebelum kami mati, kami menjadi baik hati. Ketika orang menjadi tua, perilaku mereka menjadi baik, jadi kami adalah orang-orang yang berperilaku baik." Yang sebenarnya mereka maksudkan adalah mereka tidak memiliki watak yang rusak. Kapan kami pernah mengatakan bahwa orang-orang lanjut usia tidak perlu mengejar kebenaran atau bahwa mengejar kebenaran berbeda-beda tergantung usiamu? Pernahkah kami berkata seperti ini? Tidak pernah. Di rumah Tuhan dan dalam hal kebenaran, apakah orang lanjut usia merupakan kelompok istimewa? Bukan. Usia tidak ada kaitannya dengan kebenaran, juga tidak ada kaitannya dengan watak rusakmu, dengan kedalaman kerusakanmu, dengan apakah dirimu memenuhi syarat untuk mengejar kebenaran, apakah engkau dapat memperoleh keselamatan, atau seberapa besar kemungkinanmu untuk diselamatkan. Bukankah benar demikian? (Ya.) Kami telah mempersekutukan kebenaran selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah mempersekutukan berbagai jenis kebenaran sesuai dengan berbagai umur manusia. Kebenaran tidak pernah dipersekutukan dan watak rusak tidak pernah disingkapkan secara khusus untuk orang muda atau secara khusus untuk orang lanjut usia, juga tidak pernah dikatakan bahwa, karena usia tua mereka, pemikiran mereka yang kaku, dan ketidakmampuan mereka menerima hal-hal baru, maka watak rusak mereka dengan sendirinya telah berkurang dan berubah—hal-hal seperti ini tidak pernah dikatakan. Tak pernah ada satu pun kebenaran yang dipersekutukan secara khusus sesuai dengan umur orang dan mengecualikan orang-orang lanjut usia. Orang-orang lanjut usia bukanlah kelompok khusus di gereja, di rumah Tuhan, atau di hadapan Tuhan, melainkan sama saja dengan kelompok umur lainnya. Tidak ada yang istimewa mengenai mereka, hanya saja mereka telah hidup sedikit lebih lama daripada yang lain, mereka tiba di dunia ini beberapa tahun lebih awal daripada yang lain, rambut mereka sedikit lebih beruban daripada yang lain, dan tubuh mereka menua sedikit lebih awal daripada yang lain; selain hal-hal ini, tidak ada perbedaaan. Jadi, jika orang lanjut usia selalu berpikir, "Aku sudah tua, jadi itu artinya aku orang yang berperilaku baik, aku tidak memiliki watak yang rusak, dan aku hanya memiliki sedikit kerusakan," maka bukankah ini adalah pemahaman yang keliru? (Ya.) Bukankah ini agak tidak tahu malu? Beberapa orang lanjut usia adalah bajingan tua yang licik, yang liciknya mencapai taraf tak terhingga. Mereka menganggap diri mereka tidak memiliki watak yang rusak, bahkan menganggap watak rusak mereka telah terkikis habis, padahal sebenarnya perwujudan watak rusak mereka tidak kurang dari perwujudan watak rusak orang lain. Sebenarnya, ada banyak cara untuk menggambarkan watak rusak dan kualitas kemanusiaan orang lanjut usia yang seperti ini. Misalnya, "bajingan tua yang licik", dan "jahe tua adalah yang terpedas, yang tua lebih berpengalaman daripada yang muda"—kedua pepatah ini menggunakan kata "tua", bukan? (Ya.) Penggambaran apa lagi yang menggunakan kata "tua"? (Perencana tua yang licik.) Ya, itu pernyataan yang bagus, "perencana tua yang licik". Engkau dapat melihat bahwa semuanya menggunakan kata "tua". Lalu ada "Iblis tua" dan "Setan tua"—para senior tulen! Apa yang orang yakini ketika mereka menjadi bagian dari sekelompok orang lanjut usia? Mereka yakin bahwa, "Watak rusak kami semuanya telah terkikis habis. Watak rusak adalah masalah kalian, orang-orang muda. Kalian jauh lebih rusak dibandingkan kami." Bukankah ini adalah kekeliruan yang disengaja? Mereka ingin melukiskan diri mereka dengan gambaran yang baik dan dengan bangga menyombongkan diri mereka sendiri, padahal kenyataannya tidaklah demikian. "Setan tua", "Iblis tua", "perencana tua yang licik", "bajingan tua yang licik", dan "memamerkan usia tua mereka"—pernyataan yang menggunakan kata "tua" ini bukanlah hal yang baik, dan bukan hal yang positif.

Tujuan kita mempersekutukan hal ini sekarang adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang lanjut usia, untuk menasihati dan membimbing mereka, dan juga memberikan suntikan pencegahan kepada orang-orang muda. Untuk menyelesaikan masalah apakah tujuan utama kita mengatakan hal-hal ini? Tujuan utamanya adalah untuk membereskan kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran orang-orang lanjut usia, dan memastikan mereka memahami bahwa kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini tidak ada gunanya dan tidak perlu. Jika engkau ingin melaksanakan tugas dan engkau cocok untuk melaksanakan suatu tugas, akankah rumah Tuhan menolakmu? (Tidak.) Rumah Tuhan pasti akan memberimu kesempatan untuk melaksanakan suatu tugas. Rumah Tuhan pasti tidak akan berkata, "Kau tidak mampu melaksanakan tugas karena kau sudah tua. Silakan keluar. Kami tidak akan memberimu kesempatan." Tidak, rumah Tuhan memperlakukan semua orang dengan adil. Asalkan engkau cocok untuk melaksanakan suatu tugas dan tidak ada bahaya tersembunyi, rumah Tuhan akan memberimu kesempatan dan mengizinkanmu untuk melaksanakan tugas semampumu. Selain itu, jika engkau ingin mengenal dirimu sendiri dan mengejar kebenaran, akankah orang mengejekmu dan berkata, "Apakah orang tua sepertimu memenuhi syarat untuk mengejar kebenaran?" Akankah orang mengejekmu? (Tidak.) Akankah orang berkata, "Kau sudah tua dan linglung. Apa gunanya kau mengejar kebenaran? Tuhan tidak akan menyelamatkan orang setua dirimu"? (Tidak.) Tentu tidak. Semua orang sama di hadapan kebenaran, dan semua orang diperlakukan secara adil. Hanya saja, engkau mungkin tidak mengejar kebenaran dan akan selalu menggunakan usia tuamu sebagai alasan, selalu berpikir, "Aku sudah tua dan tak mampu melaksanakan tugas apa pun." Sebenarnya, ada banyak tugas yang dapat kaulaksanakan sesuai dengan kemampuanmu. Jika engkau tidak melaksanakan tugas apa pun dan malah memamerkan usia tuamu, ingin menceramahi orang lain, lalu siapa yang akan mau mendengarkanmu? Tak seorang pun. Engkau selalu berkata, "Oh, kalian, anak-anak muda, benar-benar tidak memahami banyak hal!" "Oh, kalian, anak-anak muda, benar-benar egois!" "Oh, kalian, anak-anak muda, benar-benar congkak!" dan "Oh, kalian, anak-anak muda, benar-benar malas. Kami, orang tua, adalah para pekerja keras, dan pada zamanku, kami melakukan ini dan itu." Apa gunanya mengatakan hal-hal seperti itu? Jangan terus saja memamerkan sejarah "kehebatanmu"; tak seorang pun ingin mendengarnya. Tidak ada gunanya membicarakan hal-hal yang sudah usang tersebut; semua itu tidak merepresentasikan kebenaran. Jika engkau ingin membicarakan sesuatu, maka berusahalah mengejar kebenaran, memahami kebenaran sedikit lebih banyak, mengenal dirimu sendiri, menganggap dirimu hanya orang biasa, dan bukan anggota kelompok khusus yang harus orang lain hormati, hargai, dan junjung tinggi dan orang lain harus berkerumun di sekitarmu. Ini adalah keinginan yang berlebihan, dan ini adalah pemikiran yang keliru. Usia bukan simbol identitasmu, usia tidak merepresentasikan kelayakanmu, dan usia tidak merepresentasikan senioritas, apalagi merepresentasikan bahwa engkau memiliki kebenaran atau kemanusiaan, dan usia tidak dapat melemahkan watak rusakmu. Jadi, engkau sama saja dengan orang lain. Jangan selalu melabeli dirimu sebagai "lansia" untuk memisahkan dirimu dari orang lain, dan bahkan memisahkan dirimu sebagai orang kudus. Itu memperlihatkan engkau sama sekali tidak mengenal dirimu sendiri! Selagi masih hidup, orang-orang lanjut usia harus berusaha lebih keras mengejar kebenaran, mengejar jalan masuk kehidupan, dan bekerja secara harmonis dengan saudara-saudari untuk melaksanakan tugas; hanya dengan cara seperti inilah tingkat pertumbuhan mereka akan meningkat. Orang-orang lanjut usia sama sekali tidak boleh menganggap diri mereka lebih senior daripada orang lain dan memamerkan usia tua mereka. Orang muda bisa saja memperlihatkan segala macam watak yang rusak, demikian pula dirimu; orang muda bisa saja melakukan segala macam hal yang bodoh, demikian pula dirimu; orang muda memiliki gagasan tertentu, demikian pula orang lanjut usia; orang muda bisa saja memberontak, demikian pula orang lanjut usia; orang muda bisa saja memperlihatkan watak antikristus, demikian pula orang lanjut usia; orang muda memiliki ambisi dan keinginan yang liar, demikian pula orang lanjut usia, tanpa sedikit pun perbedaan; orang muda bisa saja menimbulkan kekacauan dan gangguan dan dikeluarkan dari gereja, demikian pula orang lanjut usia. Jadi, selain mampu melaksanakan tugas mereka dengan baik dengan kemampuan terbaik mereka, ada banyak hal yang dapat mereka lakukan. Kecuali engkau bodoh, terbelakang, dan tidak mampu menerapkan kebenaran, dan kecuali engkau tak mampu menjaga dirimu sendiri, ada banyak hal yang harus kaulakukan. Sama seperti orang muda, engkau dapat mengejar kebenaran, engkau dapat mencari kebenaran, dan engkau harus sering datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa, mencari prinsip-prinsip kebenaran, dan berusaha memandang orang dan hal-hal serta berperilaku dan bertindak sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu. Inilah jalan yang harus kautempuh, dan engkau tidak boleh merasa sedih, cemas, atau khawatir karena engkau sudah tua, karena engkau memiliki banyak penyakit, atau karena tubuhmu menua. Merasa sedih, cemas, dan khawatir bukanlah hal yang benar untuk kaulakukan—itu adalah perwujudan sikapmu yang tidak masuk akal. Orang-orang lanjut usia harus melepaskan gelar "lansia" mereka, berbaur dengan orang-orang muda dan menganggap dirimu setara dengan mereka. Engkau tidak boleh memamerkan usia tuamu, selalu menganggap dirimu orang dengan kebajikan luhur yang patut dihormati, menganggap dirimu sangat memenuhi syarat, sehingga engkau mampu mengatur orang-orang muda, menganggap dirimu senior dan lebih tua daripada orang-orang muda, selalu berambisi untuk mengendalikan orang-orang muda, dan selalu berkeinginan untuk mengatur orang muda—ini sepenuhnya merupakan watak yang rusak. Karena orang lanjut usia memiliki watak yang rusak seperti halnya orang muda, dan sering kali memperlihatkan watak rusak dalam hidup mereka dan saat melaksanakan tugas mereka seperti halnya orang muda, lalu mengapa orang lanjut usia tidak melakukan hal yang benar, tetapi malah selalu merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang usia tua mereka dan tentang apa yang akan terjadi pada diri mereka setelah mereka mati? Mengapa mereka tidak melaksanakan tugas mereka seperti yang orang muda lakukan? Mengapa mereka tidak mengejar kebenaran seperti yang orang muda lakukan? Kesempatan ini telah diberikan kepadamu, jadi jika engkau tidak mengambil kesempatan ini, dan engkau sudah benar-benar sangat tua sehingga engkau tidak bisa mendengar atau melihat atau menjaga dirimu sendiri, maka engkau akan menyesal, dan hidupmu akan berlalu dengan cara seperti ini. Mengertikah engkau? (Ya.)

Apakah masalah emosi negatif orang lanjut usia kini telah diselesaikan? Ketika usiamu semakin lanjut, akankah engkau memamerkan usia tuamu? Akankah engkau menjadi bajingan tua yang licik dan perencana tua yang licik? Saat engkau semua bertemu dengan seorang lanjut usia, akankah engkau memanggilnya "saudara tua" atau "saudari tua"? Mereka memiliki nama, tetapi engkau tidak memanggil mereka dengan nama mereka, melainkan menambahkan kata "tua". Jika engkau selalu menambahkan kata "tua" ketika berbicara dengan orang lanjut usia, bukankah itu akan menyakiti mereka? Mereka sudah menganggap diri mereka tua dan memiliki berbagai emosi negatif dalam diri mereka, jadi jika engkau memanggil mereka "tua", itu seperti engkau memberi tahu mereka, "Kau ini sudah tua, lebih tua daripadaku, dan engkau tidak lagi berguna." Akankah mereka merasa nyaman saat mendengar perkataanmu itu? Mereka pasti akan merasa tidak senang. Bukankah mereka akan sakit hati jika engkau memanggil mereka dengan cara seperti ini? Ada orang-orang lanjut usia yang senang jika mendengarmu memanggil mereka seperti ini, dan akan berpikir, "Lihat, aku memiliki kebajikan luhur yang patut dihormati dan reputasi yang tinggi. Ketika saudara-saudari bertemu denganku, mereka tidak memanggilku dengan namaku. Di rumah Tuhan, orang tidak memanggil orang tua dengan sebutan paman, kakek atau nenek. Sebaliknya, saat saudara-saudari memanggilku, mereka menambahkan kata 'tua', dan memanggilku 'saudara tua' (atau 'saudari tua'). Lihat betapa bermartabatnya diriku, dan lihat betapa terhormatnya aku di hadapan orang lain. Rumah Tuhan itu bagus—orang-orang menghormati orang tua dan mengasihi orang muda!" Apakah engkau layak dihormati? Apakah engkau sudah mendidik kerohanian saudara-saudarimu? Manfaat apa yang telah kauberikan kepada mereka? Apa kontribusimu kepada rumah Tuhan? Berapa banyak kebenaran yang telah kaupahami? Berapa banyak kebenaran yang telah kauterapkan? Engkau menganggap dirimu orang yang memiliki kebajikan luhur yang patut dihormati, tetapi engkau sama sekali belum memberikan kontribusimu, jadi apakah engkau pantas dipanggil "saudara tua" atau "saudari tua" oleh saudara-saudarimu? Sama sekali tidak! Engkau memamerkan usia tuamu dan selalu ingin orang lain menghormatimu! Baikkah dipanggil "saudara tua" atau "saudari muda"? (Tidak.) Itu tidak baik, tetapi Aku sering mendengarnya. Itu sangat buruk, tetapi orang masih sering memanggil orang lanjut usia dengan cara seperti ini. Suasana seperti apa yang tercipta karena hal ini? Menjijikkan, bukan? Makin engkau memanggil orang lanjut usia dengan sebutan "saudara tua" atau "saudari tua", makin mereka akan menganggap diri mereka memenuhi syarat, dan makin mereka akan menganggap diri mereka orang yang memiliki kebajikan luhur yang patut dihormati; makin engkau memanggil mereka "saudara atau saudari tua", makin mereka akan menganggap diri mereka istimewa, lebih penting dan lebih baik daripada orang lain, hati mereka cenderung ingin memimpin orang lain, dan mereka pun akan makin tidak ingin mengejar kebenaran. Mereka akan selalu ingin memimpin dan mengatur orang lain, selalu menganggap diri mereka lebih baik daripada orang lain, selalu menganggap orang lain tidak menyenangkan, selalu menganggap orang lain bermasalah sedangkan mereka sendiri tidak. Katakan kepada-Ku, masih dapatkah orang semacam ini mengejar kebenaran? Tidak. Jadi, memanggil orang dengan sebutan "saudara tua" atau "saudari tua" tidak ada manfaatnya bagi mereka, dan hanya dapat melukai dan menyakiti mereka. Jika engkau memanggil mereka hanya dengan menyebut nama mereka dan menghilangkan sebutan "tua", jika engkau memandang mereka dengan cara yang benar, dan menganggap dirimu setara dengan mereka, maka keadaan dan mentalitas mereka akan menjadi normal, dan mereka tidak akan lagi membanggakan diri mereka sendiri atas tahun-tahun mereka sebagai veteran dan memandang rendah orang lain. Dengan demikian, akan mudah bagi mereka untuk menganggap diri mereka sama seperti orang lain, mereka akan mampu memandang diri mereka sendiri dan orang lain dengan benar, mampu menganggap diri mereka sama seperti orang lain, sama seperti orang biasa, dan sama sekali tidak lebih baik daripada orang lain. Dengan demikian, kesulitan mereka akan makin berkurang, dan mereka tidak akan mengalami emosi negatif yang muncul karena usia tua mereka dan karena mereka belum memperoleh kebenaran, dan kemudian, akan ada harapan bagi mereka untuk mengejar kebenaran. Jika emosi negatif ini tidak muncul, mereka akan memandang masalah mereka sendiri, terutama watak rusak mereka, dengan pola pikir yang benar. Memiliki pola pikir yang benar akan berdampak positif dan bermanfaat bagi mereka dalam mengejar kebenaran, dalam mengenal diri mereka sendiri, dalam kemampuan mereka untuk menempuh jalan mengejar kebenaran. Bukankah dengan demikian, masalah emosi negatif dalam diri orang lanjut usia akan dapat dibereskan? (Ya.) Masalah ini akan dapat dibereskan, dan tidak akan ada lagi kesulitan. Jadi, pola pikir apakah yang harus terlebih dahulu dimiliki oleh orang lanjut usia? Mereka harus memiliki pola pikir yang positif; mereka bukan saja harus bijaksana, tetapi mereka juga harus murah hati. Mereka tidak boleh meributkan segala sesuatu dengan orang-orang muda, melainkan harus menjadi teladan dan memberi contoh bagi orang-orang muda, dan jangan tidak terlalu keras kepada mereka. Orang-orang muda memiliki sifat yang gampang marah dan berbicara tergesa-gesa, jadi jangan meributkan segala sesuatu dengan mereka. Mereka masih muda, belum dewasa, dan belum berpengalaman, dan beberapa tahun pembinaan akan membuat mereka baik-baik saja. Ini hal yang sudah seharusnya, dan orang-orang lanjut usia harus memahami hal ini. Jadi, pola pikir apakah yang harus dimiliki orang lanjut usia yang sesuai dengan kebenaran? Mereka harus memperlakukan orang muda dengan benar dan mereka juga tidak boleh congkak dan menyombongkan diri, menganggap diri mereka sangat berpengalaman, dan berwawasan luas. Mereka harus menganggap diri mereka orang biasa dan sama saja dengan orang lain—inilah hal yang benar yang harus mereka lakukan. Orang lanjut usia tidak boleh dikekang oleh usia mereka, juga tidak boleh berubah menjadi orang yang memiliki mentalitas orang muda. Berubah menjadi orang yang memiliki mentalitas orang muda juga tidak normal, engkau hanya perlu tidak dikekang oleh usiamu. Jangan selalu berpikir, "Oh, aku sudah sangat tua, aku tak mampu melakukan ini, aku tak mampu mengatakan ini, aku tak mampu melakukan itu. Karena aku sudah sangat tua, aku harus melakukan ini, aku harus melakukan itu, aku harus duduk dengan cara tertentu dan berdiri dengan cara tertentu, dan aku bahkan harus makan dengan cara tertentu yang baik, agar orang-orang muda dapat melihatnya, sehingga mereka tidak akan meremehkan orang lanjut usia." Pola pikir ini keliru, dan dengan berpikir seperti ini, engkau sedang dikendalikan dan dikekang oleh semacam pemikiran yang salah, dan engkau sedang bersikap sedikit dibuat-buat, palsu, dan terselubung. Jangan dikekang oleh usiamu, jadilah sama seperti orang lain, lakukan apa pun yang mampu kaulakukan, dan lakukan apa yang sudah seharusnya kaulakukan—dengan cara ini, engkau akan memiliki pola pikir yang normal. Mengertikah engkau? (Ya.) Jadi, jika orang lanjut usia memiliki pola pikir yang normal, berbagai emosi negatif yang bisa saja muncul dalam diri mereka karena usia tua mereka akan hilang tanpa mereka sadari; emosi negatif ini tidak dapat lagi menjeratmu, kerugian yang ditimbulkannya terhadapmu juga akan hilang, dan kemudian kemanusiaanmu, nalarmu, dan hati nuranimu semuanya akan menjadi relatif normal. Jika orang memiliki hati nurani dan rasionalitas yang normal, maka titik awal mereka menjadi relatif benar saat mereka mengejar kebenaran, melaksanakan tugas mereka, melakukan aktivitas dan pekerjaan apa pun, dan hasil yang mereka capai juga akan relatif benar. Pertama, orang lanjut usia tidak akan dikekang oleh usia mereka, melainkan akan mampu mengukur diri mereka sendiri secara objektif dan praktis, melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, menjadi sama seperti orang lain, dan melaksanakan tugas yang seharusnya mereka lakukan dengan kemampuan terbaik mereka. Orang muda tidak boleh berpikir, "Kau sudah sangat tua, kau tidak pernah memberi contoh kepadaku, kau juga tidak menjagaku. Kau sudah sangat tua, kau seharusnya sudah berpengalaman, tetapi kau tidak memberiku saran tentang bagaimana melakukan sesuatu, dan tidak ada manfaatnya bergaul denganmu. Kau sudah tua, jadi mengapa kau tidak bersikap penuh pengertian terhadap orang-orang muda?" Bolehkah berkata seperti itu? (Tidak.) Tidaklah pantas mengajukan tuntutan seperti itu kepada orang lanjut usia. Jadi, semua orang itu sama di hadapan kebenaran. Jika semua pemikiranmu praktis, objektif, akurat, dan masuk akal, maka itu pasti akan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Jika engkau sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan, penyebab, lingkungan objektif, atau bahkan oleh faktor apa pun, jika engkau hanya melakukan apa yang seharusnya manusia lakukan, dan hanya melakukan apa yang Tuhan ajarkan untuk manusia lakukan, maka apa yang kaulakukan pasti akan pantas dan tepat, dan pada dasarnya sesuai dengan kebenaran. Engkau juga tidak akan terperosok ke dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran karena usia tuamu, dan masalah ini akan terselesaikan.

Baiklah, akan Kuakhiri persekutuan hari ini sampai di sini. Selamat tinggal!

22 Oktober 2022

Sebelumnya: Cara Mengejar Kebenaran (1)

Selanjutnya: Cara Mengejar Kebenaran (4)

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini