Cara Mengejar Kebenaran (16)

Apa yang dipersekutukan pada pertemuan sebelumnya? (Pada pertemuan sebelumnya, Tuhan terutama bersekutu tentang melepaskan pembelajaran dan pembiasaan keluarga dalam hal tradisi, takhayul, dan agama. Tuhan mempersekutukan beberapa pepatah takhayul secara mendetail, seperti "Sebelum pergi makan pangsit, setelah pulang makan mie", dan "Kedutan di mata kiri menandakan keberuntungan sedangkan kedutan di mata kanan menandakan bencana", serta pengaruh beberapa adat istiadat tradisional yang berkaitan dengan Tahun Baru Imlek dan hari-hari raya lainnya terhadap orang-orang. Tuhan juga sekaligus mempersekutukan cara yang benar bagaimana kami harus memperlakukan pepatah dan praktik-praktik takhayul dan tradisional tersebut, yaitu dengan meyakini bahwa ada peristiwa-peristiwa yang memang akan terjadi, sembari juga meyakini bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Apa pun yang mungkin disiratkan oleh pepatah-pepatah ini atau peristiwa apa pun yang mungkin terjadi, kita semua harus memiliki sikap yang menerima dan tunduk, serta mampu untuk tunduk sepenuhnya pada pengaturan dan penataan Tuhan.) Inilah unsur-unsur dasar dari persekutuan kita pada pertemuan sebelumnya. Mengenai pembahasan yang berkaitan dengan tradisi, takhayul dan agama yang keluarga tanamkan ke dalam diri orang, kita bersekutu secara mendetail tentang beberapa hal yang orang hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun pembahasan persekutuan kita hanya mencakup tradisi, takhayul, dan agama yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari orang Tiongkok yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua, dan hal itu tidak mewakili semua bangsa dan ras, tetapi tradisi, takhayul, dan agama yang dipegang erat oleh orang-orang yang hidup di berbagai wilayah dan di antara berbagai ras pada dasarnya adalah sama. Mereka semua mematuhi tradisi, kebiasaan hidup, dan pepatah takhayul tertentu yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Entah hal-hal takhayul ini merupakan pengaruh psikologis dari pikiran manusia, atau entah hal-hal tersebut nyata secara objektif, singkatnya, sikapmu terhadap hal-hal tersebut haruslah sikap yang mengenali dengan jelas pemikiran utama atau esensi di balik takhayul-takhayul tersebut. Pada saat yang sama, engkau juga tidak boleh terpengaruh atau terganggu oleh hal-hal tersebut. Sebaliknya, engkau harus meyakini bahwa segala sesuatu tentang manusia berada di tangan Tuhan, bahwa bukan takhayul yang memanipulasi manusia, dan tentu saja bukan takhayul yang menentukan nasib manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Entah takhayul tersebut nyata atau tidak, entah takhayul tersebut efektif atau menjadi kenyataan, bagaimanapun juga, ketika menghadapi hal-hal seperti itu, orang harus memiliki prinsip yang sesuai dengan kebenaran. Mereka tidak boleh terpesona atau dikendalikan oleh takhayul tersebut, dan mereka tentu saja tidak boleh membiarkan hal-hal tersebut mengganggu tujuan normal dari pengejaran mereka atau penerapan mereka akan prinsip. Di antara topik-topik mengenai tradisi, takhayul, dan agama, takhayul adalah yang paling mengganggu dan yang paling memengaruhi kehidupan, pemikiran, dan sudut pandang orang mengenai berbagai hal. Orang pada umumnya tidak berani melepaskan pepatah dan definisi takhayul ini, dan masalah kehidupan yang ditimbulkan oleh takhayul ini tidak pernah dapat diselesaikan. Fakta bahwa orang tidak berani menerobos belenggu yang ditimbulkan oleh pepatah takhayul ini dalam kehidupan sehari-hari mereka membuktikan bahwa mereka tidak memiliki iman yang cukup kepada Tuhan. Mereka masih belum benar-benar memahami atau belum mengerti secara akurat akan fakta bahwa Tuhanlah yang berdaulat atas segala sesuatu dan bahwa Tuhanlah yang berdaulat atas nasib manusia. Oleh karena itu, ketika orang menghadapi pepatah takhayul atau perasaan tertentu yang berkaitan dengan takhayul, mereka akan merasa seolah-olah tangan dan kaki mereka telah diikat. Apalagi jika melibatkan peristiwa besar yang ada kaitannya dengan hidup dan mati, dengan nasib mereka, atau dengan hidup dan mati orang-orang yang mereka kasihi, orang menjadi makin terbelenggu oleh apa yang disebut pantangan dan pepatah takhayul ini, dan hingga taraf tertentu, mereka tidak mampu melepaskan diri. Mereka selalu merasa takut jika mereka melanggar pantangan dan hal itu menjadi kenyataan, mereka akan mengalami kemalangan, dan sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi pada mereka. Dalam hal takhayul, orang selalu tidak mampu memahami yang sebenarnya tentang esensi masalahnya, dan terlebih lagi, mereka tidak mampu melepaskan diri dari belenggu segala macam pepatah takhayul. Tentu saja, mereka juga tidak mampu memahami yang sebenarnya mengenai pengaruh takhayul terhadap kehidupan manusia. Dari sudut pandang perilaku manusia dan dari pemikiran serta pandangan manusia terhadap takhayul, kesadaran dan sudut pandang pemikiran mereka sebagian besar masih dikacaukan oleh Iblis dan dikendalikan oleh semacam kekuatan yang tak kasatmata dari luar dunia materiel. Oleh karena itu, sekalipun orang mengikuti Tuhan dan menerima firman-Nya, mereka masih dikendalikan oleh pepatah takhayul yang berkaitan dengan nasib mereka, hidup dan mati mereka, dan kelangsungan hidup mereka. Dengan kata lain, dalam pemikiran mereka, mereka masih meyakini bahwa pepatah takhayul ini benar-benar nyata. Apa artinya mereka meyakini hal ini? Itu artinya orang masih dikendalikan oleh cakar tak kasatmata di balik takhayul ini, dan mereka tidak benar-benar meyakini bahwa nasib mereka dikendalikan dan diatur oleh tangan Tuhan. Itu juga berarti mereka tidak sepenuhnya bahagia atau merasa tenang untuk menyerahkan nasib mereka ke dalam tangan Tuhan, tetapi mereka tanpa sadar dikendalikan oleh Iblis. Sebagai contoh, kehidupan sehari-hari, aturan bertahan hidup, berbagai gagasan dan sebagainya dari orang-orang yang biasanya berbisnis, orang yang sering bepergian, dan orang yang biasanya agak percaya pada aktivitas dan pepatah takhayul seperti ramalan nasib, astrologi dan kitab perubahan Yi Jing, ilmu yin-yang, dan sejenisnya, sangat dipengaruhi, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh takhayul tersebut. Dengan kata lain, apa pun yang mereka lakukan, hal itu harus memiliki landasan teoretis yang berasal dari takhayul. Sebagai contoh, ketika mereka mau pergi keluar rumah, mereka harus terlebih dahulu melihat apa yang tertulis di kalender, dan apakah ada pantangan tertentu atau tidak. Ketika berbisnis, menandatangani kontrak, membeli atau menjual rumah, dan sebagainya, mereka pasti harus melihat kalender pada hari itu. Jika tidak, mereka akan merasa tidak yakin dan tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi. Mereka baru merasa yakin dan tenang jika bertindak dan mengambil keputusan setelah melihat kalender. Selain itu, karena mereka pernah mengalami terjadinya beberapa hal buruk sebagai akibat mereka melanggar beberapa pantangan, pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa takhayul ini nyata kemudian menjadi makin pasti, dan mereka menjadi dibelenggu oleh takhayul-takhayul tersebut. Mereka makin yakin bahwa nasib, kekayaan, serta hidup dan mati mereka dikendalikan oleh pepatah takhayul dan bahwa di dunia mistis yang tak kasatmata ini, ada tangan besar tak kasatmata yang mengendalikan nasib mereka serta mengendalikan hidup dan mati mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka sangat percaya pada semua pepatah takhayul, terutama yang berkaitan erat dengan kehidupan dan kelangsungan hidup mereka, sampai-sampai setelah percaya kepada Tuhan, meskipun di mulut mereka mengaku dan percaya bahwa nasib manusia berada di tangan Tuhan, mereka sering kali tanpa sadar diganggu dan dikendalikan oleh berbagai pepatah takhayul di lubuk hati mereka. Bahkan ada orang-orang tertentu yang mencampuradukkan apa yang disebut pantangan dalam hidup ini—hal apa bertentangan dengan hal apa, apa yang akan terjadi pada nasib seseorang, dan pepatah takhayul lainnya—dengan prinsip-prinsip kebenaran dan mematuhinya. Sikap yang orang miliki terhadap takhayul ini sangat memengaruhi sikap mereka terhadap kebenaran dan firman Tuhan di hadirat Tuhan. Sikap orang terhadap takhayul juga sangat memengaruhi sikap mereka sebagai makhluk ciptaan terhadap Sang Pencipta, dan tentu saja memengaruhi sikap Tuhan terhadap orang-orang tersebut. Ini karena manusia, sembari mengikuti Tuhan, mereka masih dengan kehendak sendiri dan tanpa sadar dikendalikan dan diganggu oleh berbagai pemikiran dan pepatah yang berkaitan dengan takhayul, yang Iblis tanamkan dalam diri mereka. Pada saat yang sama, orang juga merasa sulit untuk melepaskan berbagai pemikiran dan pepatah yang berkaitan dengan takhayul.

Di antara hal-hal yang keluarga tanamkan dalam diri orang, takhayul sebenarnya adalah hal yang paling mengganggu manusia, dan berdampak paling mendalam dan paling lama dalam diri mereka. Oleh karena itu, mengenai takhayul, orang harus menyelidiki dan mengenalinya satu per satu dalam kehidupan nyata mereka, dan melihat pembelajaran, pembiasaan atau pengaruh seperti apakah yang selama ini telah ditanamkan dalam diri mereka oleh keluarga dekat, keluarga besar, atau suku mereka dalam hal takhayul. Jika ada, mereka harus melepaskan takhayul ini satu per satu, bukannya berpaut padanya, karena hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Jika orang terus-menerus menerapkan cara hidup tradisional tertentu dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini dapat membuat mereka dengan patuh dan tanpa sadar berada di bawah kendali Iblis. Selain itu, pepatah takhayul yang memengaruhi pemikiran orang bahkan jauh lebih mampu membuat orang terus-menerus dikendalikan dengan kuat di bawah kuasa Iblis. Oleh karena itu, selain tradisi dan agama, orang harus dengan segera melepaskan pemikiran, pandangan, pepatah, atau aturan apa pun yang berkaitan dengan takhayul dan tidak berpaut pada semua itu. Di dalam Tuhan, tidak ada pantangan. Firman Tuhan, tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan kehendak Tuhan dinyatakan di dalam firman Tuhan dengan jelas. Selain itu, segala sesuatu yang Tuhan sampaikan atau tuntut terhadap manusia di dalam firman-Nya merupakan kebenaran dan tidak mengandung unsur aneh apa pun. Tuhan hanya memberi tahu manusia dengan jelas dan lugas bagaimana mereka harus bertindak dan prinsip apa yang harus mereka patuhi dalam hal-hal yang penting. Tidak ada pantangan apa pun dan tidak ada rincian atau pepatah yang aneh-aneh. Yang harus orang patuhi adalah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran sesuai dengan keadaan aktual mereka. Untuk menerapkan kebenaran dan menaati prinsip-prinsip kebenaran, engkau tidak perlu melihat tanggal atau waktu; tidak ada pantangan. Juga tidak perlu bagimu untuk melihat kalender, apalagi ramalan bintang, atau apakah pada hari itu sedang bulan purnama atau bulan baru; engkau tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal ini. Di bawah kekuasaan Tuhan dan di dalam kedaulatan-Nya, manusia lepas dan bebas. Hati mereka tenang, penuh sukacita, damai, dan tidak dipenuhi dengan kepanikan atau ketakutan, dan tentu saja tidak dipenuhi dengan tekanan. Kepanikan, ketakutan, dan tekanan adalah perasaan yang disebabkan oleh berbagai pepatah takhayul. Kebenaran, firman Tuhan, tuntutan Tuhan, dan pekerjaan Roh Kudus membuat orang merasa damai dan penuh sukacita, bebas dan lepas, tenang dan bahagia. Sedangkan takhayul membuat orang merasa sebaliknya. Takhayul mengikat tangan dan kakimu, melarangmu melakukan ini dan itu, menghalangimu makan ini dan itu. Apa pun yang kaulakukan salah dan apa pun yang kaulakukan ada kaitannya dengan pantangan tertentu, dan segala sesuatu harus dilakukan sesuai dengan pepatah yang tertulis dalam almanak tua. Tanggal berapa dalam kalender lunar, apa yang boleh dilakukan pada hari apa, apakah engkau boleh keluar rumah atau tidak—bahkan dalam hal potong rambut, mandi, berganti pakaian, dan bertemu orang-orang, semuanya memiliki pantangannya masing-masing. Terutama, dalam hal pernikahan dan pemakaman, pindah rumah, keluar rumah untuk mengerjakan beberapa hal, dan mencari pekerjaan, semua itu bahkan lebih tergantung pada almanak. Iblis menggunakan segala macam pepatah takhayul dan aneh untuk mengikat tangan dan kaki manusia. Apa tujuan Iblis melakukannya? (Untuk mengendalikan manusia.) Dalam istilah modernnya, untuk membuat kehadirannya dapat dirasakan. Apa tujuan Iblis melakukannya? Iblis ingin manusia menyadari kehadiran dirinya, membuat mereka tahu bahwa pepatah tentang pantangan yang dia kemukakan adalah nyata, dan bahwa dia adalah penentu keputusan, bahwa dia mampu melakukan hal-hal ini, dan jika engkau tidak menuruti pepatah tersebut, engkau harus menanggung sendiri akibatnya. Bagaimana bunyi pepatahnya? Pepatah tersebut berbunyi: "Wanita tua mengenakan lipstik untuk memberimu sesuatu untuk dilihat." Itu berarti jika engkau tidak menuruti pepatah ini atau jika engkau melanggar pantangan ini, lihat saja apa yang akan terjadi, dan engkau harus menanggung sendiri akibatnya. Jika orang tidak percaya kepada Tuhan, mereka takut terhadap pantangan-pantangan ini, karena bagaimanapun juga, manusia adalah daging, dan mereka tidak mampu melawan segala macam wujud setan dan Iblis di dunia roh. Namun kini, karena engkau telah kembali ke hadapan Tuhan, segala sesuatu tentang dirimu, termasuk pemikiranmu dan setiap hari dalam hidupmu, semua itu berada di bawah kendali Tuhan. Tuhan menjaga dan melindungimu. Engkau hidup dan berada di bawah kekuasaan Tuhan, dan engkau tidak berada dalam genggaman Iblis. Oleh karena itu, engkau tidak perlu lagi mematuhi pantangan-pantangan ini. Sebaliknya, jika engkau masih takut bahwa Iblis mampu mencelakakan dirimu, atau bahwa hal-hal buruk akan terjadi padamu jika engkau tidak menuruti perkataan Iblis atau memercayai pantangan yang dikatakan dalam takhayul, ini membuktikan bahwa engkau masih meyakini bahwa Iblis mampu mengendalikan nasibmu. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa engkau bersedia tunduk pada manipulasi Iblis dan tidak bersedia menerima kedaulatan Tuhan. Iblis melakukan semua ini untuk memberi tahu orang bahwa dirinya benar-benar ada. Dia ingin menggunakan kekuatan magisnya untuk mengendalikan manusia, untuk mengendalikan semua makhluk hidup. Tujuan mengendalikan makhluk hidup adalah untuk menghancurkan mereka, dan tujuan serta hasil akhir menghancurkan mereka adalah untuk menelan mereka. Tentu saja, selain bertujuan mengendalikan mereka, Iblis juga ingin agar manusia menyembah dirinya. Jika Iblis si setan ingin membuat kehadirannya dirasakan, dia harus menunjukkan keefektifan tertentu. Sebagai contoh, dia dapat mengubah telur menjadi kotoran. Telur ini dipersembahkan di atas mezbah milik roh jahat, dan jika engkau lapar dan ingin memakannya, lalu engkau mencoba merebut telur dari setan itu, dia akan mengubah telur itu menjadi kotoran agar engkau mengetahui kekuatannya. Engkau akan menjadi takut kepadanya dan tidak berani berebut makanan dengannya. Jika ada satu hal yang membuatmu takut kepadanya, dan kemudian ada hal lain yang membuatmu takut kepadanya, seiring berjalannya waktu, engkau akan mulai memercayainya tanpa berpikir. Jika engkau cukup lama memercayainya tanpa berpikir, engkau akan mulai menyembahnya di lubuk hatimu. Bukankah inilah tujuan Iblis dalam melakukan tindakannya? Iblis bertindak justru untuk mencapai tujuan ini. Baik itu di selatan maupun di utara, dan apa pun rasnya, mereka semua menyembah roh-roh jahat dan najis dengan berlutut. Mengapa orang menyembah mereka dengan berlutut? Mengapa roh-roh jahat dan najis yang mereka sembah dengan berlutut terus-menerus menyuruh orang untuk membakar dupa bagi mereka, dari generasi ke generasi selanjutnya? Jika engkau menganggap mereka tidak nyata, mengapa ada begitu banyak orang yang percaya kepada mereka dan terus membakar dupa bagi mereka, bersujud sampai ke tanah di hadapan mereka, mengikrarkan sumpah kepada mereka dan kemudian memenuhi sumpah tersebut, dari generasi ke generasi? Bukankah karena roh-roh jahat dan najis itu telah melakukan sesuatu? Jika engkau tidak menuruti perkataan roh-roh jahat itu, mereka akan membuatmu jatuh sakit, membuat segala sesuatunya tidak berjalan lancar bagimu, menyebabkan bencana menimpamu, dan membuat sapi-sapi milik keluargamu sakit dan tidak dapat membajak sawah, dan bahkan menyebabkan kecelakaan mobil menimpa keluargamu. Mereka akan mencari cara untuk menyulitkanmu, dan makin mereka melakukannya, makin banyak masalah yang akan kaualami. Engkau tidak dapat menolak selain mematuhi mereka, dan pada akhirnya, engkau tak punya pilihan selain menyembah mereka dengan berlutut, dan engkau akan dengan rela hati menundukkan kepalamu untuk tunduk kepada mereka, dan pada saat itulah, mereka akan merasa senang. Sejak saat itu, engkau akan menjadi milik mereka. Lihatlah orang-orang di tengah masyarakat yang dikendalikan oleh roh rubah atau oleh patung dari berbagai figur di dunia roh. Kita menyebutnya apa? Kita menyebutnya dirasuki oleh roh-roh jahat atau dihuni oleh roh-roh jahat. Di kalangan masyarakat awam, ini disebut dikendalikan oleh roh, atau tubuh seseorang telah diambil alih oleh sesuatu. Ketika roh-roh jahat mulai mencari tubuh untuk diambil alih, orang tersebut tidak mau sehingga roh-roh jahat itu mengganggu dan mengacaukan hidupnya, menyebabkan kecelakaan dan masalah terjadi dalam keluarganya. Mereka yang berbisnis dibuat merugi dan tidak pernah mendapatkan pelanggan; mereka dihambat sampai-sampai mereka tidak dapat bertahan hidup dan sangat sulit bagi mereka untuk mengalami kemajuan. Pada akhirnya, mereka tunduk dan setuju. Setelah mereka setuju, roh-roh jahat menggunakan tubuh mereka untuk melakukan berbagai hal, untuk mengadakan tanda-tanda dan mukjizat, untuk menarik orang-orang, menyembuhkan penyakit, meramal nasib, bahkan membantu memanggil roh orang mati, dan sebagainya. Bukankah roh-roh jahat menggunakan cara-cara ini untuk menyesatkan, merusak dan mengendalikan manusia?

Jika orang-orang yang percaya kepada Tuhan memiliki pandangan dan pendapat yang sama dengan orang tidak percaya mengenai pepatah takhayul ini, disebut apakah hal ini pada dasarnya? (Pada dasarnya ini adalah penentangan dan penghujatan terhadap Tuhan.) Benar, jawabanmu ini sangat tepat, ini adalah penghujatan yang serius terhadap Tuhan! Engkau mengikuti Tuhan dan berkata bahwa engkau percaya kepada-Nya, tetapi pada saat yang sama, engkau sedang dikendalikan dan diganggu oleh takhayul. Engkau bahkan mampu mematuhi pemikiran yang ditanamkan dalam diri orang oleh takhayul, dan yang lebih serius lagi, beberapa orang di antaramu takut akan pemikiran dan fakta yang berkaitan dengan takhayul. Ini adalah penghujatan terbesar terhadap Tuhan. Engkau bukan saja tak mampu menjadi kesaksian bagi Tuhan, tetapi engkau juga mengikuti Iblis dalam menentang kedaulatan Tuhan—ini adalah penghujatan terhadap Tuhan. Mengertikah engkau? (Ya.) Esensi orang yang percaya pada takhayul atau mengikuti takhayul adalah penghujatan terhadap Tuhan, jadi bukankah engkau harus melepaskan berbagai pembelajaran dan pembiasaan yang takhayul tanamkan dalam dirimu? (Ya.) Cara paling sederhana untuk berlatih melepaskannya adalah dengan tidak membiarkan dirimu diganggu oleh hal-hal tersebut, tanpa memedulikan apakah takhayul tersebut nyata atau tidak, dan tanpa memedulikan apa yang akan terjadi jika engkau melanggarnya. Sekalipun pepatah yang takhayul nyatakan tentang hal-hal tertentu adalah nyata secara objektif, engkau tidak boleh diganggu atau dikendalikan olehnya. Mengapa? Karena segala sesuatu diatur oleh Tuhan. Sekalipun Iblis mampu melakukan sesuatu, hal tersebut dilakukan atas seizin Tuhan. Tanpa seizin Tuhan, sebagaimana Tuhan katakan, Iblis tidak berani menyentuh bahkan sehelai rambut pun di kepalamu. Inilah kenyataannya, dan inilah kebenaran yang harus orang yakini. Oleh karena itu, matamu yang sebelah mana pun yang berkedut, atau entah engkau bermimpi gigimu tanggal, rambutmu rontok, atau bermimpi engkau mati, atau mimpi buruk lainnya, engkau harus percaya bahwa hal-hal ini berada di tangan Tuhan, dan engkau tidak boleh dipengaruhi atau diganggu oleh hal-hal tersebut. Tak seorang pun mampu mengubah segala sesuatu yang ingin Tuhan lakukan, dan tak seorang pun mampu mengubah segala sesuatu yang telah Tuhan tetapkan. Hal-hal yang telah ditetapkan dan direncanakan oleh Tuhan adalah fakta yang sudah terlaksana. Sekalipun engkau memiliki firasat atau apa pun pertanda yang setan dan Iblis dari dunia roh ini berikan kepadamu, engkau tidak boleh terganggu oleh hal-hal tersebut. Percaya saja bahwa semua ini berada di tangan Tuhan dan bahwa semua orang harus tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Hal-hal yang akan terjadi atau hal-hal yang tidak dapat terjadi, semuanya itu berada dalam kendali Tuhan dan dalam penetapan-Nya. Tak seorang pun mampu mengubahnya, apalagi mengganggunya. Ini adalah kenyataan. Kepada Sang Penciptalah manusia harus berlutut menyembah, bukan kepada kekuatan apa pun di dunia roh yang dapat membuat takhayul menjadi kenyataan atau terlaksana. Sebesar apa pun kekuatan gaib yang setan dan Iblis miliki, mukjizat apa pun yang mampu mereka lakukan, atau hal apa pun yang dapat mereka jadikan kenyataan, atau firasat manusia apa pun dan pepatah takhayul apa pun yang dapat mereka jadikan kenyataan, tak satu pun dari hal-hal ini yang berarti bahwa merekalah yang menentukan nasib manusia. Manusia tidak boleh berlutut menyembah dan percaya kepada para setan dan Iblis, tetapi berlutut menyembah dan percaya kepada Sang Pencipta. Inilah hal-hal yang harus orang pahami mengenai topik pembelajaran dan pembiasaan keluarga yang berkaitan dengan tradisi, takhayul dan agama. Singkatnya, baik itu berkaitan dengan tradisi, takhayul, maupun agama, selama sesuatu itu tidak ada kaitannya dengan firman Tuhan, kebenaran, atau tuntutan Tuhan terhadap manusia, orang harus meninggalkan dan melepaskannya. Entah itu adalah gaya hidup atau semacam pemikiran, atau entah itu adalah aturan atau teori, selama hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kebenaran, hal itu adalah sesuatu yang harus orang buang. Sebagai contoh, dalam gagasan manusia, hal-hal yang ada kaitannya dengan agama, seperti agama Kristen, agama Katolik, Yudaisme, dan sebagainya, semua itu dianggap relatif lebih luhur dan sakral dibandingkan dengan takhayul, tradisi, atau penyembahan berhala. Orang merasakan kekaguman atau kesukaan tertentu akan hal-hal tersebut dalam gagasan dan pemikiran terdalam mereka, tetapi meskipun demikian, orang harus melepaskan simbol, hari raya, dan benda-benda yang ada kaitannya dengan agama dan tidak boleh menghargai hal-hal tersebut secara berlebihan atau memperlakukannya sebagai kebenaran, berlutut menyembahnya, atau bahkan menyediakan tempat bagi hal-hal itu di hati mereka. Hal ini tidak boleh mereka lakukan. Simbol-simbol agama, kegiatan keagamaan, benda-benda ikonis keagamaan, serta pepatah yang relatif luhur dalam keagamaan, dan sebagainya, semuanya itu termasuk dalam lingkup topik keagamaan yang telah kita bahas. Singkatnya, tujuan mengatakan semua ini adalah untuk membuatmu memahami satu fakta: mengenai hal-hal yang termasuk takhayul, tradisi, dan agama, entah semua itu terdengar luhur atau relatif aneh, selama hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kebenaran, selama hal-hal itu tidak ada hubungannya dengan kebenaran, semua itu harus dilepaskan, dan orang tidak boleh berpaut pada hal-hal itu. Tentu saja, hal-hal yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran adalah yang terutama harus ditinggalkan dan sama sekali tidak boleh dipertahankan. Orang harus dengan tegas melepaskan satu per satu semua hal yang berasal dari pembelajaran, pembiasaan dan pengaruh dari keluarga mereka, dan tidak membiarkan diri mereka dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Sebagai contoh, ketika engkau bertemu saudara-saudari pada waktu Natal, begitu engkau bertemu mereka, engkau berkata, "Selamat Natal! Selamat Natal!" Apakah mengucapkan: "Selamat Natal" adalah hal yang baik? (Tidak.) Pantaskah berkata, "Karena Natal memperingati hari kelahiran Yesus, bukankah kita harus mengambil cuti dan sama sekali tidak melakukan apa pun pada hari itu, dan sesibuk apa pun kita dalam pekerjaan dan tugas kita, bukankah kita harus berhenti dan berfokus untuk memperingati hari yang paling berkesan selama periode pekerjaan Tuhan di masa lalu?" (Tidak, itu tidak pantas.) Mengapa tidak pantas? (Karena itu adalah pekerjaan yang Tuhan lakukan di masa lalu, dan itu adalah sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kebenaran.) Secara doktrin, itu benar. Secara teori, engkau semua telah memahami sumber masalahnya, tetapi bagaimana secara kenyataannya? Ini adalah hal yang paling sederhana, dan engkau semua tidak dapat memberi-Ku jawabannya. Jawabannya adalah karena Tuhan tidak senang jika manusia melakukan hal-hal itu; Dia benci melihatnya. Sesederhana itu. Selama hari raya, orang-orang tidak percaya berkata, "Selamat Tahun Baru! Selamat Hari Natal!" Jika mereka mengucapkan selamat kepada-Ku, Aku hanya akan mengangguk dan berkata, "Sama-sama!" yang berarti "Selamat Natal kepadamu juga." Aku membalas ucapan mereka dengan seadanya, dan hanya itu saja. Namun, Aku tidak pernah mengucapkan hal ini ketika bertemu dengan saudara-saudari. Mengapa? Karena itu adalah hari raya orang tidak percaya, hari raya komersial. Di dunia Barat, hampir semua hari raya, baik hari raya tradisional ataupun hari raya buatan manusia, semua itu sebenarnya berkaitan dengan perdagangan dan ekonomi. Bahkan di beberapa negara dengan sejarah yang panjang, hari raya mereka hanyalah berkaitan dengan tradisi dan telah secara berangsur-angsur berkembang menjadi kegiatan komersial sejak abad ke-20, dan merupakan peluang bisnis yang sangat bagus bagi para pedagang. Entah hari raya ini bersifat komersial ataupun tradisional, bagaimanapun juga, semua ini tidak ada kaitannya dengan orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Betapapun bersemangatnya orang tidak percaya atau bahkan orang-orang beragama dalam merayakan hari raya tersebut atau semegah dan sehebat apa pun hari raya ini di negara atau bangsa apa pun, hal-hal tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kita sebagai orang-orang yang mengikuti Tuhan dan hari-hari itu bukanlah hari raya yang perlu kita patuhi, apalagi kita rayakan atau peringati. Jangankan hari raya tradisional yang berasal dari orang tidak percaya, apa pun ras, suku, atau zamannya, semua itu tidak ada kaitannya dengan kita. Bahkan hari peringatan yang ada kaitannya dengan setiap periode dan setiap segmen dari ketiga tahap pekerjaan Tuhan pun, tidak ada kaitannya dengan kita. Sebagai contoh, hari-hari raya dari Zaman Hukum Taurat, itu tidak ada kaitannya dengan kita, serta Paskah, Natal dan sebagainya dari Zaman Kasih Karunia, itu tentunya tidak ada kaitannya dengan kita. Dengan mempersekutukan hal-hal ini, apa yang Aku ingin agar manusia pahami? Bahwa Tuhan tidak merayakan hari raya ataupun mematuhi aturan apa pun dalam segala hal yang Dia lakukan. Dia bertindak dengan bebas dan lepas, tanpa pantangan apa pun, dan Dia tidak pernah memperingati hari raya apa pun. Sekalipun itu adalah hari awal, hari akhir, atau hari khusus dari pekerjaan Tuhan di masa lalu, Tuhan tidak pernah memperingati hari-hari tersebut. Tuhan tidak memperingatinya dan tidak memberi tahu kepada manusia kapan tepatnya tanggal, hari, atau waktu-waktu tersebut. Di satu sisi, ini memberi tahu manusia bahwa Tuhan tidak memperingati hari-hari ini, bahwa Tuhan tidak peduli akan hari-hari tersebut. Di sisi lain, ini memberi tahu manusia bahwa mereka tidak perlu memperingati atau merayakan hari-hari ini, bahwa mereka tidak perlu mengingat hari-hari tersebut. Manusia tidak perlu mengingat hari atau waktu yang berkaitan dengan pekerjaan Tuhan, apalagi memperingatinya. Apa yang harus manusia lakukan? Mereka harus tunduk pada pengaturan Tuhan dan menerima kedaulatan Tuhan di bawah bimbingan-Nya. Mereka harus menerima kebenaran dan menaati kebenaran dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sesederhana itu. Dengan demikian, bukankah hidup akan menjadi makin mudah dan makin menyenangkan bagi manusia? (Ya.) Jadi, mempersekutukan hal-hal ini sebenarnya membuat semua orang memperoleh kebebasan dan kemerdekaan dan bukan belenggu. Karena di satu sisi, topik-topik ini merupakan fakta objektif dan hal-hal yang sebenarnya harus orang pahami, dan di sisi lain, topik-topik ini juga membebaskan orang dan memungkinkan mereka untuk melepaskan hal-hal yang tidak perlu mereka patuhi. Topik-topik ini juga sekaligus membuat orang tahu bahwa hal-hal ini tidak merepresentasikan kebenaran, dan bahwa hanya ada satu jalan Tuhan yang harus manusia patuhi, dan itu adalah kebenaran. Apakah engkau mengerti? (Ya.)

Mengenai topik tentang keluarga, selain melepaskan pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan, ada aspek lain yang harus orang lepaskan. Kita sebelumnya bersekutu tentang pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam pemikiran orang, dan kemudian mempersekutukan berbagai pepatah tentang kehidupan yang keluarga tanamkan. Semua keluarga memberi orang kehidupan yang mapan dan ruang bagi mereka untuk bertumbuh. Keluarga juga memberi orang rasa aman, sesuatu yang dapat diandalkan, dan keluarga adalah sumber pemenuhan kebutuhan dasar orang selama proses pertumbuhan mereka. Selain kebutuhan emosional mereka dipenuhi, kebutuhan materiel orang juga dipenuhi oleh keluarga mereka. Tentu saja, mereka juga mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dan beberapa pengetahuan umum tentang kehidupan yang mereka butuhkan saat bertumbuh dewasa. Ada banyak hal yang orang dapatkan dari keluarga mereka, sehingga bagi setiap orang, keluarga adalah bagian dari hidup mereka yang sulit untuk dilepaskan. Manfaat keluarga bagi orang-orang sangat banyak, tetapi jika melihatnya dari sudut pandang pembahasan persekutuan kita, keluarga juga menimbulkan banyak pengaruh negatif dan sikap hidup serta sudut pandang yang negatif. Dengan kata lain, sekalipun keluargamu memberimu banyak hal yang penting bagi kehidupan jasmaniahmu, menyediakan kebutuhan dasarmu, dan memberimu tempat berlabuh dan dukungan emosional, keluarga juga sekaligus memberimu beberapa masalah yang tidak perlu. Tentu saja, sulit bagi orang untuk melepaskan diri dan melepaskan masalah-masalah ini sebelum mereka memahami kebenaran. Hingga taraf tertentu, keluargamu membawa gangguan baik besar maupun kecil ke dalam kehidupanmu dan kelangsungan hidupmu sehari-hari, yang membuat perasaanmu terhadap keluargamu sering kali menjadi rumit dan kontradiktif. Karena keluargamu memenuhi kebutuhan emosionalmu sekaligus mengganggu kehidupanmu pada tingkat emosional, istilah "keluarga" menimbulkan pemikiran yang rumit dan sulit dijelaskan dengan kata-kata bagi kebanyakan orang. Engkau merasa dipenuhi nostalgia, keterikatan, dan tentu saja rasa syukur terhadap keluargamu. Namun, keterikatan yang keluargamu timbulkan dalam dirimu sekaligus juga membuatmu merasa bahwa keluarga adalah sumber masalah yang besar. Dengan kata lain, setelah seseorang menjadi dewasa, konsep, pemikiran, dan sudut pandang mereka terhadap keluarga menjadi relatif kompleks. Jika mereka sepenuhnya melepaskan, meninggalkan, atau tidak lagi memikirkan keluarga mereka, hati nurani mereka tidak akan sanggup menanggungnya. Jika mereka memikirkan keluarga mereka, mengenangnya, dan mengerahkan segenap diri mereka bagi keluarga seperti saat mereka masih kecil, mereka akan merasa enggan untuk melakukannya. Orang sering kali mengalami keadaan seperti ini, mengalami pemikiran, pandangan atau keadaan seperti ini ketika memperlakukan keluarga mereka, dan pemikiran, pandangan atau keadaan ini juga berasal dari pembelajaran dan pembiasaan keluarga mereka. Inilah topik yang akan kita persekutukan pada hari ini: beban yang orang miliki karena keluarga mereka.

Kita barusan bersekutu tentang bagaimana keluarga sering membuat orang merasakan pergumulan dalam batin dan ketidaknyamanan. Mereka ingin melepaskannya sepenuhnya, tetapi hati nurani mereka merasa tertuduh dan mereka tidak tega melakukannya. Jika mereka tidak melepaskannya, tetapi mengerahkan segenap diri mereka untuk mengabdikan diri bagi keluarga dan menyatu dengan mereka, mereka sering merasa bingung harus berbuat apa karena beberapa pandangan mereka bertentangan dengan keluarga mereka. Jadi, orang merasa sangat sulit untuk memperlakukan keluarga mereka dengan benar; mereka tidak mampu sepenuhnya menjadi selaras dengan keluarga, tetapi juga tidak bisa memisahkan diri mereka sepenuhnya dari keluarga. Jadi, hari ini kita akan bersekutu tentang bagaimana cara menangani hubungan orang dengan keluarga mereka. Topik ini berkaitan dengan beberapa beban yang berasal dari keluarga, yang merupakan topik ketiga dalam topik melepaskan keluarga, yaitu melepaskan beban yang berasal dari keluarga. Ini adalah topik yang penting. Hal apa sajakah yang mampu engkau semua pahami tentang beban yang berasal dari keluarga? Apakah itu adalah tentang tanggung jawab, kewajiban, bakti anak kepada orang tua, dan sebagainya? (Ya.) Beban yang berasal dari keluarga berkaitan dengan tanggung jawab, kewajiban, dan bakti yang harus orang penuhi terhadap keluarga mereka. Di satu sisi, beban ini adalah tanggung jawab dan kewajiban yang harus orang penuhi, tetapi di sisi lain—dalam keadaan tertentu dan bagi orang-orang tertentu—beban ini menjadi gangguan dalam hidup mereka, dan gangguan inilah yang kita sebut sebagai beban. Mengenai beban dari keluarga, kita dapat membahasnya dari dua aspek. Salah satu aspeknya adalah harapan orang tua. Setiap orang tua, atau orang-orang yang lebih tua, memiliki berbagai pengharapan, baik besar maupun kecil, terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan belajar dengan giat, berperilaku sopan, berprestasi di sekolah, dan selalu mendapat nilai sempurna, dan tidak bermalas-malasan. Mereka ingin anak-anak mereka dihormati oleh guru dan teman sekelas, ingin nilai mereka selalu di atas 80. Jika anak-anak mereka hanya mendapat nilai 60, mereka akan dipukuli, dan jika nilai mereka kurang dari 60, mereka dihukum berdiri dengan posisi tubuh menghadap ke dinding dan merenungkan kesalahan mereka, atau mereka disuruh berdiri diam sebagai hukuman. Mereka tidak diperbolehkan makan, tidur, menonton TV, atau bermain komputer, dan pakaian serta mainan bagus yang dijanjikan sebelumnya tidak jadi dibelikan untuk mereka. Setiap orang tua memiliki berbagai harapan terhadap anak-anak mereka dan menaruh harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan berhasil dalam hidup ini, mengalami kemajuan yang pesat dalam karier mereka, dan membawa kehormatan dan kemuliaan bagi leluhur dan keluarga mereka. Tidak ada orang tua yang ingin anak-anak mereka menjadi pengemis, petani, atau bahkan perampok dan bandit. Orang tua juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi warga negara kelas dua setelah terjun ke tengah masyarakat, tidak ingin anak-anak mereka menjadi pemulung, pedagang kaki lima, pedagang asongan, atau dipandang rendah oleh orang lain. Entah harapan orang tua ini dapat diwujudkan oleh anak-anak mereka atau tidak, pada dasarnya, semua orang tua, memiliki segala macam harapan terhadap anak-anak mereka. Harapan mereka adalah proyeksi dari apa yang mereka anggap hal atau pengejaran yang luhur dan baik terhadap anak-anak mereka, memberi mereka harapan, berharap mereka mampu mewujudkan keinginan orang tua mereka. Lalu, apa yang tanpa sengaja tercipta dalam diri anak sebagai akibat keinginan orang tua tersebut? (Tekanan.) Keinginan orang tua menciptakan tekanan, dan apa lagi? (Beban.) Keinginan orang tua menjadi tekanan dan juga belenggu. Karena orang tua memiliki harapan terhadap anak-anak mereka, mereka akan mendisiplinkan, membimbing, dan mendidik anak-anak mereka berdasarkan harapan tersebut; mereka bahkan akan mengerahkan segala upaya atau membayar harga apa pun agar anak-anak mereka dapat mewujudkan harapan mereka. Sebagai contoh, orang tua berharap anak-anak mereka berprestasi di sekolah, menjadi juara kelas, selalu mendapat nilai ujian di atas 90, selalu menjadi juara satu, atau setidaknya, tidak pernah berada di bawah peringkat lima. Setelah mengungkapkan harapan ini, bukankah pada saat yang sama, orang tua juga melakukan pengorbanan tertentu untuk membantu anak-anak mereka mencapai tujuan tersebut? (Ya.) Agar anak-anak mereka dapat mencapai tujuan tersebut, anak-anak tersebut akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengulang pelajaran dan menghafalkan pelajaran, dan orang tua mereka juga akan bangun pagi-pagi sekali untuk mendampingi mereka belajar. Pada hari-hari yang panas, mereka akan membantu mengipasi anak-anak mereka, membuatkan minuman dingin, atau membelikan es krim untuk mereka makan. Mereka akan bangun paling pagi untuk menyiapkan susu kedelai, cakwe goreng, dan telur untuk anak-anak mereka. Terutama selama waktu ujian, orang tua akan menyuruh anak-anak mereka makan sepotong cakwe dan dua telur, berharap ini akan menolong mereka mendapatkan nilai 100. Jika engkau berkata, "Aku tidak bisa menghabiskan semua makanan ini, satu telur saja sudah cukup," mereka akan berkata, "Anak bodoh, kau hanya akan mendapat nilai 10 jika hanya makan satu telur. Makanlah satu lagi demi Ibu. Berusahalah menghabiskannya; jika kau berhasil menghabiskan telur satu lagi, kau akan mendapat nilai 100." Anaknya lalu berkata, "Aku baru bangun, aku belum bisa makan." "Tidak, kau harus makan! Jadilah anak yang baik dan turuti perkataan ibumu. Ibu melakukan ini demi kebaikanmu sendiri, jadi ayo makanlah demi ibumu." Si anak berpikir, "Ibu sangat memedulikanku. Semua yang dia lakukan adalah untuk kebaikanku, jadi aku akan memakannya." Yang dimakan adalah telur, tetapi apa sebenarnya yang ditelannya? Itu adalah tekanan; itu adalah keengganan dan ketidakrelaan. Makanannya enak dan harapan ibunya tinggi, dan dari sudut pandang kemanusiaan dan hati nurani, orang seharusnya menerimanya, tetapi berdasarkan nalar, orang seharusnya menolak kasih sayang semacam ini dan tidak menerima dirinya diperlakukan seperti ini. Namun sayangnya, tidak ada yang dapat kaulakukan. Jika engkau tidak memakannya, ibumu akan marah, dan engkau akan dipukuli, dimarahi, atau bahkan dimaki. Ada orang tua yang berkata, "Lihatlah dirimu, begitu tidak berguna sampai-sampai makan sebutir telur saja harus berjuang begitu keras. Sepotong cakwe dan dua telur, bukankah itu untuk mendapatkan nilai seratus? Bukankah semua ini adalah demi kebaikanmu? Namun, kau tetap tidak bisa memakannya. Jika kau tidak bisa memakannya, kelak kau akan mengemis makanan. Lakukan saja sesuka hatimu!" Ada juga anak-anak yang benar-benar tidak bisa makan, tetapi orang tua mereka memaksa anak-anak mereka untuk makan dan setelah itu mereka memuntahkan semuanya. Muntah itu sendiri bukan masalah besar, tetapi orang tuanya menjadi makin marah, dan anak-anak itu bukan saja tidak mendapatkan simpati atau pengertian dari orang tuanya, tetapi mereka justru ditegur. Setelah ditegur, mereka makin merasa bahwa mereka telah mengecewakan orang tua mereka dan makin menyalahkan diri mereka sendiri. Hidup tidak berjalan mudah untuk anak-anak ini, bukan? (Tidak mudah.) Setelah muntah, engkau diam-diam menangis di kamar mandi, berpura-pura masih muntah. Ketika keluar dari kamar mandi, engkau segera menyeka air matamu, memastikan ibumu tidak melihatnya. Mengapa? Jika dia melihatnya, engkau akan dimarahi, dan bahkan dimaki: "Lihatlah dirimu, begitu tidak berguna; apa yang kautangisi? Kau ini anak yang tidak berguna, kau bahkan tidak sanggup makan makanan seenak itu. Apa yang ingin kaumakan? Jika setelah ini kau tidak punya makanan, kau tentunya harus bisa menghabiskan makanan yang ini, bukan? Kau terlahir untuk menderita! Jika kau tidak belajar dengan giat, jika nilai ujianmu tidak bagus, pada akhirnya kau akan mengemis makanan!" Setiap perkataan yang ibumu ucapkan terdengar seperti mendidikmu, tetapi juga terdengar seperti menegurmu. Namun, perasaan apa yang kaurasakan? Engkau merasakan harapan dan kasih orang tuamu. Jadi, dalam keadaan ini, sekasar apa pun perkataan ibumu, engkau merasa harus menerimanya dan menelan perkataannya dengan air mata berlinang. Sekalipun engkau tidak bisa memakannya, engkau harus memaksa dirimu untuk memakannya, dan jika engkau merasa mual, engkau tetap harus memakannya. Mudahkah menjalani hidup ini? (Tidak.) Mengapa tidak mudah? Didikan macam apakah yang kauterima dari harapan orang tuamu? (Bahwa kami harus mendapat nilai yang bagus dalam ujian kami dan memiliki masa depan yang berhasil.) Engkau harus menjadi orang yang menjanjikan, engkau harus layak menerima kasih sayang ibumu, kerja keras dan pengorbanannya, dan engkau harus memenuhi pengharapan orang tuamu dan tidak mengecewakan mereka. Mereka sangat menyayangimu, mereka telah memberikan segalanya bagimu, dan mereka telah melakukan segalanya bagimu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dengan demikian, menjadi apakah semua pengorbanan, didikan, dan bahkan rasa sayang mereka? Semua itu menjadi sesuatu yang harus kaubalas, dan semua itu sekaligus menjadi bebanmu. Dengan cara inilah beban muncul. Entah orang tuamu melakukan hal-hal ini karena naluri mereka, karena rasa sayang mereka, atau karena tuntutan sosial, pada akhirnya, menggunakan cara-cara ini untuk mendidik dan memperlakukanmu, dan bahkan menanamkan segala macam gagasan dalam dirimu, tidak akan membuat jiwamu merasakan kebebasan, kelepasan, kenyamanan, ataupun sukacita. Apa yang akan kaurasakan? Engkau akan merasa tertekan, takut, merasa hati nuranimu gelisah dan tertuduh. Apa lagi? (Merasakan belenggu dan kekangan.) Belenggu dan kekangan. Selain itu, di bawah harapan seperti itu dari orang tuamu, engkau mau tak mau merasa harus hidup demi harapan mereka. Agar dapat memenuhi harapan mereka, agar tidak mengecewakan mereka, dan agar mereka tidak kehilangan harapan mereka terhadapmu, engkau mempelajari setiap mata pelajaran dengan rajin dan sungguh-sungguh setiap harinya, serta melakukan semua yang mereka minta untuk kaulakukan. Mereka tidak mengizinkanmu menonton TV, jadi engkau dengan patuh tidak menonton TV, sekalipun engkau sangat ingin melakukannya. Mengapa engkau mampu untuk tidak melakukannya? (Karena takut mengecewakan orang tuaku.) Engkau takut jika tidak menuruti perkataan orang tuamu, prestasi akademismu akan menurun drastis, dan engkau tidak akan bisa diterima di universitas bergengsi. Engkau tidak yakin akan masa depanmu sendiri. Seolah-olah tanpa kendali, teguran, dan tekanan dari orang tuamu, engkau tidak tahu jalan apa yang terbentang di depanmu. Engkau tidak berani melepaskan diri dari kekangan mereka, dan tidak berani melepaskan dirimu dari belenggu mereka. Engkau hanya bisa membiarkan mereka menetapkan segala macam aturan untukmu, membiarkan mereka memanipulasi dirimu, dan engkau tidak berani menentang mereka. Di satu sisi, engkau tidak memiliki kepastian tentang masa depanmu; di sisi lain, karena hati nurani dan kemanusiaanmu, engkau tidak mau menentang mereka, dan tidak mau menyakiti mereka. Sebagai anak, engkau merasa bahwa engkau harus menuruti perkataan mereka karena semua yang mereka lakukan adalah demi kebaikanmu sendiri, untuk masa depan dan prospekmu. Jadi, ketika mereka menetapkan segala macam aturan untukmu, engkau hanya dengan diam mematuhi mereka. Sekalipun di dalam hatimu, engkau beratus kali ingin menolaknya, engkau tetap dengan terpaksa mematuhi mereka. Mereka tidak mengizinkanmu menonton TV atau membaca buku-buku rekreasi, jadi engkau tidak menonton atau membacanya. Mereka tidak mengizinkanmu berteman dengan orang-orang tertentu di kelasmu, jadi engkau tidak berteman dengan mereka. Mereka menyuruhmu bangun pada jam tertentu, maka engkau bangun pada jam tersebut. Mereka menyuruhmu beristirahat pada jam tertentu, maka engkau beristirahat pada jam tersebut. Mereka menyuruhmu belajar selama jangka waktu tertentu, maka engkau belajar selama jangka waktu tersebut. Mereka menyuruhmu membaca sejumlah buku, mempelajari sejumlah keterampilan ekstrakurikuler, dan asalkan mereka menyediakan kebutuhan finansialnya, engkau membiarkan mereka menentukan dan mengendalikan dirimu. Khususnya, ada orang tua yang menaruh harapan khusus terhadap anak-anak mereka, berharap anak-anak mereka mampu melampaui mereka, bahkan berharap anak-anak mereka mampu memenuhi keinginan yang mereka sendiri tak mampu mewujudkannya. Sebagai contoh, ada orang tua yang pernah bercita-cita menjadi penari, tetapi karena berbagai alasan—seperti zaman pada waktu mereka dibesarkan atau keadaan keluarga—mereka pada akhirnya tidak mampu mewujudkan keinginan tersebut. Jadi, mereka memproyeksikan keinginan tersebut kepadamu. Selain menuntutmu untuk menjadi yang terbaik dalam studimu dan diterima di universitas bergengsi, mereka juga mendaftarkanmu untuk mengikuti kelas menari. Mereka menyuruhmu untuk mempelajari berbagai gaya menari di luar sekolah, belajar lebih banyak di kelas menari, berlatih lebih banyak di rumah, dan harus menjadi yang terbaik di kelasmu. Pada akhirnya, mereka bukan saja menuntutmu untuk diterima di universitas bergengsi, tetapi mereka juga menuntutmu untuk menjadi penari. Pilihanmu hanya menjadi penari atau berkuliah di universitas bergengsi, lalu melanjutkan studimu pada program pascasarjana dan meraih gelar doktor. Engkau hanya dapat memilih dari antara dua jalan ini. Di satu sisi, dalam harapan mereka, mereka mengharapkanmu untuk belajar giat di sekolah, diterima di universitas bergengsi, terlihat paling menonjol di antara teman-teman sebayamu, dan memiliki masa depan yang makmur dan gilang-gemilang. Di sisi lain, mereka memproyeksikan keinginan mereka yang tidak terwujud pada dirimu, berharap engkau dapat mewujudkannya mewakili mereka. Dengan demikian, dalam hal akademis atau karier masa depanmu, engkau memikul dua beban sekaligus. Di satu sisi, engkau harus memenuhi harapan mereka dan membalas mereka atas semua yang telah mereka lakukan untukmu, berusaha keras untuk pada akhirnya terlihat paling menonjol di antara teman sebayamu sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang baik. Di sisi lain, engkau harus mewujudkan impian yang tak mampu mereka wujudkan di masa muda mereka dan membantu mereka untuk mewujudkan keinginan mereka. Betapa melelahkan, bukan? (Ya.) Memikul salah satu dari beban ini saja sudah lebih dari cukup bagimu; salah satu saja sudah cukup membebanimu dan membuatmu terengah-engah. Terutama, di era persaingan yang sangat ketat pada zaman sekarang, berbagai tuntutan yang orang tua ajukan terhadap anak-anak mereka benar-benar tak tertahankan dan tidak manusiawi; semua itu benar-benar tidak masuk akal. Apa sebutan orang tidak percaya akan hal ini? Orang tidak percaya menyebutnya pemerasan secara emosional. Apa pun sebutan orang tidak percaya, ini adalah masalah yang tidak mampu mereka selesaikan, dan mereka tidak dapat menerangkan esensi masalah ini dengan jelas. Mereka menyebutnya pemerasan secara emosional, sedangkan kita menyebutnya apa? (Belenggu dan beban.) Kita menyebutnya beban. Mengenai beban, apakah beban adalah sesuatu yang seharusnya ditanggung oleh manusia? (Tidak.) Beban adalah sesuatu yang ditambahkan, tanggungan ekstra yang kaupikul. Beban bukanlah bagian dari dirimu. Beban bukanlah sesuatu yang dimiliki atau dibutuhkan oleh tubuh, hati, dan jiwamu, melainkan sesuatu yang ditambahkan. Beban berasal dari luar, bukan berasal dari dirimu sendiri.

Orang tuamu memiliki segala macam harapan mengenai studi dan pilihan kariermu. Sementara itu, mereka juga telah melakukan berbagai pengorbanan, dan menginvestasikan banyak waktu dan tenaga agar engkau dapat memenuhi harapan mereka. Di satu sisi, alasan mereka adalah untuk membantumu memenuhi harapan mereka; di sisi lain, itu juga untuk memenuhi harapan mereka sendiri. Entah harapan orang tuamu itu masuk akal atau tidak, singkatnya, perilaku orang tua yang seperti ini, serta pandangan, sikap, dan cara-cara mereka, menjadi belenggu tak kasatmata bagi setiap orang. Entah dalih mereka adalah karena rasa sayang mereka kepadamu, karena prospek masa depanmu, atau agar engkau mampu menjalani kehidupan yang baik di masa depan, apa pun dalih mereka, singkatnya, tujuan dari tuntutan tersebut, cara orang tua dalam menuntut anak-anak mereka, serta titik awal pemikiran mereka, semua itu menjadi semacam beban bagi siapa pun. Beban tersebut bukanlah apa yang dibutuhkan oleh kemanusiaan. Karena beban itu bukanlah apa yang dibutuhkan oleh kemanusiaan, beban ini hanya dapat menyebabkan kemanusiaan orang menjadi menyimpang, terputar balik, dan rusak; beban ini menganiaya, menyakiti dan menekan kemanusiaan orang. Akibatnya tidaklah jinak, melainkan ganas, dan bahkan memengaruhi hidup seseorang. Dalam peran mereka sebagai orang tua, mereka menuntutmu untuk melakukan berbagai hal yang bertentangan dengan apa yang dibutuhkan oleh kemanusiaanmu, atau hal tertentu yang bertentangan atau melampaui naluri kemanusiaanmu. Sebagai contoh, mereka mungkin hanya mengizinkan anak-anak mereka untuk tidur lima atau enam jam setiap malam selama masa pertumbuhan mereka. Anak tidak diizinkan untuk beristirahat sebelum pukul 11 malam dan mereka harus bangun pada pukul 5 pagi. Mereka tidak boleh melakukan kegiatan rekreasi apa pun, dan tidak boleh beristirahat pada hari Minggu. Mereka harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah dan membaca sejumlah bacaan ekstrakurikuler, dan bahkan ada orang tua yang bersikeras anak-anak mereka harus mempelajari bahasa asing. Singkatnya, selain mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, engkau juga harus mempelajari sejumlah keterampilan dan pengetahuan tambahan. Jika engkau tidak belajar, engkau bukanlah anak yang baik, patuh, rajin ataupun bijak; sebaliknya, engkau adalah sesuatu yang tidak berharga, tidak berguna, dan bodoh. Dengan alasan mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak mereka, orang tua telah membuatmu kehilangan kebebasanmu untuk tidur, kehilangan kebebasan masa kanak-kanakmu, serta saat-saat bahagia di masa kanak-kanakmu, dan mereka juga sekaligus membuatmu kehilangan semua jenis hak yang seharusnya kaumiliki sebagai anak di bawah umur. Setidaknya, ketika tubuhmu membutuhkan istirahat—sebagai contoh, engkau membutuhkan waktu tidur selama tujuh atau delapan jam untuk memulihkan tubuhmu—mereka hanya mengizinkanmu beristirahat selama lima hingga enam jam, atau terkadang engkau akhirnya tidur selama tujuh hingga delapan jam, tetapi ada satu hal yang membuatmu tidak tahan, yaitu omelan orang tuamu yang terus-menerus dengan mengatakan hal-hal seperti, "Mulai sekarang, kau tidak perlu pergi sekolah. Tinggal saja di rumah dan tidur! Karena kau suka tidur, kau dapat tidur seumur hidupmu di rumah. Karena kau tidak mau pergi ke sekolah, kau kelak hanya akan mengemis makanan!" Engkau hanya sekali saja tidak bangun pagi dan engkau diperlakukan seperti ini; bukankah ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi? (Ya.) Jadi, untuk menghindari situasi yang canggung seperti ini, engkau hanya dapat berkompromi dan menahan diri; engkau memastikan dirimu bangun pada pukul 5 pagi, dan baru tidur setelah pukul 11 malam. Apakah engkau bersedia menahan diri dengan cara seperti ini? Apakah engkau merasa puas melakukannya? Tidak. Engkau tidak punya pilihan lain. Jika engkau tidak menuruti permintaan orang tuamu, mereka akan melihatmu dengan pandangan tidak setuju atau memarahimu. Mereka mungkin tidak akan memukulimu, mereka hanya akan berkata, "Kami sudah membuang tas sekolahmu ke tempat sampah. Kau tidak perlu lagi ke sekolah. Tetap saja seperti ini. Saat kau berumur 18 tahun, kau bisa menjadi pemulung!" Dengan banyaknya kritik seperti ini, mereka tidak memukulimu, juga tidak memarahimu, mereka hanya memprovokasi dirimu dengan cara seperti ini, dan itu membuatmu tidak tahan. Apa yang membuatmu tidak tahan? Engkau tidak tahan ketika orang tuamu berkata, "Jika kau tidur satu atau dua jam lebih lama, kelak kau akan mengemis makanan seperti seorang gelandangan." Di lubuk hatimu, engkau merasa sangat gelisah dan sedih karena telah tidur dua jam lebih lama. Engkau merasa berutang kepada orang tuamu karena tidur dua jam lebih lama, merasa engkau telah mengecewakan mereka setelah semua kerja keras yang mereka lakukan demi dirimu selama bertahun-tahun, dan setelah semua kepedulian mereka yang sungguh-sungguh terhadap dirimu. Engkau membenci dirimu sendiri, berpikir, "Mengapa aku begitu tidak berguna? Apa yang dapat kulakukan dengan tidur dua jam lebih lama? Apakah itu akan meningkatkan nilaiku atau membuatku diterima di universitas bergengsi? Bagaimana aku bisa begitu tidak peduli? Ketika alarm berbunyi, aku seharusnya langsung bangun. Mengapa aku malah tidur lebih lama?" Engkau berpikir: "Aku benar-benar lelah. Aku benar-benar perlu beristirahat!" Kemudian engkau berpikir lagi: "Aku tidak boleh berpikir seperti ini. Bukankah berpikir seperti ini berarti menentang orang tuaku? Jika aku berpikir seperti ini, bukankah kelak aku akan menjadi pengemis? Berpikir seperti ini berarti mengecewakan orang tuaku. Aku harus menuruti perkataan mereka dan tidak bersikap keras kepala." Dengan berbagai hukuman dan aturan yang ditetapkan oleh orang tuamu, serta berbagai tuntutan mereka—baik yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal—engkau menjadi makin patuh, tetapi tanpa kausadari, semua yang orang tuamu lakukan bagimu, sekaligus menjadi belenggu dan beban bagimu. Sekalipun telah berusaha sekuat tenaga, engkau tidak dapat melepaskan beban tersebut atau menyembunyikan dirimu darinya; engkau hanya dapat memikul beban ini di mana pun engkau berada. Beban apakah itu? "Semua yang orang tuaku lakukan adalah demi masa depanku. Aku masih muda dan bodoh, jadi aku harus menuruti perkataan orang tuaku. Semua yang mereka lakukan itu benar dan baik. Mereka telah banyak menderita dan telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untukku. Aku harus bekerja keras demi mereka, belajar dengan giat, mendapatkan pekerjaan yang bagus di masa depan dan menghasilkan banyak uang untuk menafkahi mereka, memberi mereka kehidupan yang baik, dan membalas mereka. Itulah yang harus kulakukan dan itulah yang harus kupikirkan". Namun, ketika engkau berpikir tentang cara orang tuamu memperlakukanmu, ketika teringat tahun-tahun sulit yang telah kaualami, kebahagiaan masa kanak-kanakmu yang hilang, dan terutama pemerasan secara emosional yang orang tuamu lakukan, di lubuk hatimu, engkau tetap merasa bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan bukanlah untuk kebutuhan kemanusiaanmu, juga bukan untuk kebutuhan jiwamu. Semua itu adalah beban. Meskipun engkau berpikir seperti ini, engkau tidak pernah berani untuk membenci, tidak pernah berani untuk menghadapinya dengan benar dan jujur, dan tidak pernah berani secara rasional memeriksa segala sesuatu yang orang tuamu lakukan atau sikap mereka terhadapmu dengan cara yang Tuhan ajarkan kepadamu. Engkau tidak pernah berani memperlakukan orang tuamu dengan cara yang paling tepat; bukankah demikian? (Ya.) Sampai sekarang, dalam hal studi dan memilih karier, pernahkah engkau semua berusaha mengetahui yang sebenarnya tentang upaya dan harga yang telah orang tuamu bayarkan untukmu, dan apa yang mereka tuntut untuk kaulakukan dan hal apa yang menurut mereka harus kaukejar? (Aku tidak mengetahui yang sebenarnya tentang hal-hal ini sebelumnya dan aku menganggap apa yang orang tuaku lakukan adalah karena rasa sayang mereka kepadaku dan agar aku memiliki masa depan yang lebih baik. Kini setelah mendengarkan persekutuan yang Tuhan sampaikan, aku sedikit memahaminya, jadi aku tidak lagi menganggapnya seperti itu.) Jadi, apa yang ada di balik rasa sayang tersebut? (Yang ada adalah ikatan, belenggu, dan beban.) Sebenarnya, itu adalah perampasan terhadap kebebasan manusia dan kebahagiaan masa kanak-kanak; itu adalah penekanan yang tidak manusiawi. Jika itu disebut penindasan, engkau semua mungkin tidak sanggup menerima istilah ini dari sudut pandang hati nuranimu. Jadi, ini hanya dapat digambarkan sebagai perampasan terhadap kebebasan manusia dan kebahagiaan masa kanak-kanak, serta bentuk penekanan terhadap anak di bawah umur. Jika kita menyebutnya penindasan, istilah ini kurang tepat. Itu hanya karena engkau masih muda dan bodoh, dan mereka adalah penentu keputusan dalam segala hal. Mereka memiliki kendali penuh atas duniamu dan engkau tanpa sadar menjadi boneka mereka. Mereka menyuruhmu melakukan sesuatu, dan engkau melakukannya. Jika mereka ingin agar engkau belajar menari, engkau harus belajar menari. Jika engkau berkata, "Aku tidak suka belajar menari; aku tidak menikmatinya, aku tidak bisa mengikuti iramanya, dan keseimbangan tubuhku tidak terlalu baik," mereka akan berkata, "Sayang sekali. Kau harus mempelajarinya karena aku menyukainya. Kau harus melakukannya untukku!" Kau harus mempelajarinya sekalipun sambil menangis. Terkadang ibumu bahkan akan berkata, "Belajar menari demi Ibu ya, turuti apa yang ibumu katakan. Sekarang kau masih muda dan belum mengerti, tetapi setelah kau besar nanti, kau akan mengerti. Ibu melakukannya demi kebaikanmu sendiri; kau tahu, ketika ibu masih kecil, ibu tidak memiliki sumber dayanya, tak seorang pun membayar kelas menari untukku. Ibu tidak mengalami masa kecil yang bahagia. Namun, keadaanmu sangat baik sekarang. Aku dan ayahmu bisa menghasilkan uang dan menabung agar kau dapat belajar menari. Kau ini bagaikan putri raja, atau pangeran kecil. Kau sangat beruntung! Ayah dan ibu melakukan ini karena kami menyayangimu." Bagaimana tanggapanmu mendengar perkataan seperti ini? Engkau tak mampu berkata-kata, bukan? (Ya.) Orang tua sering kali mengira anak-anak mereka tidak memahami apa pun, dan menganggap apa pun yang orang dewasa katakan benar; mereka mengira anak-anak mereka tidak mampu membedakan apa yang benar dan apa yang salah atau mengenali apa yang benar bagi diri mereka sendiri. Jadi, sebelum anak-anak mereka beranjak dewasa, orang tua sering mengatakan hal-hal yang bahkan mereka sendiri tidak terlalu meyakininya untuk menyesatkan anak-anak mereka dan membuat hati mereka yang masih muda menjadi mati rasa, memaksa anak-anak mereka, mau tidak mau, untuk menuruti pengaturan mereka tanpa punya pilihan. Ada banyak orang tua, dalam hal pendidikan, menanamkan gagasan dan hal-hal tertentu yang mereka tuntut untuk anak-anak mereka lakukan, sering kali membenarkan diri mereka sendiri, mengatakan apa pun yang mereka inginkan. Selain itu, pada dasarnya 99.9 persen orang tua tidak menggunakan cara-cara yang benar dan positif dalam membimbing anak-anak mereka tentang cara bertindak dan memahami segala sesuatu. Sebaliknya, mereka dengan paksa menanamkan dalam diri anak-anak mereka apa yang merupakan kesukaan mereka sendiri dan hal-hal yang mereka anggap baik dan memaksa anak-anak mereka untuk menerimanya. Tentu saja, 99.9 persen hal yang anak-anak terima bukan saja tidak sesuai dengan kebenaran, tetapi semua itu juga bukan pemikiran dan pandangan yang seharusnya manusia miliki. Hal-hal tersebut juga sekaligus tidak sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan anak pada usia tersebut. Sebagai contoh, ada anak-anak berusia lima atau enam tahun, yang senang bermain boneka, lompat tali, atau menonton film kartun. Bukankah ini normal? Apa satu-satunya tanggung jawab orang tua dalam situasi seperti ini? Mengawasi, mengatur, memberikan bimbingan yang positif, menolong anak-anak mereka agar tidak menerima hal-hal negatif selama periode ini, dan membiarkan mereka menerima hal-hal positif yang sudah seharusnya diterima oleh anak dalam kelompok usia tersebut. Sebagai contoh, pada usia ini, mereka harus belajar untuk bergaul dengan anak-anak lain, menyayangi keluarga mereka, dan menyayangi ayah dan ibu mereka. Orang tua harus mendidik mereka dengan lebih baik, membiarkan mereka mengerti bahwa manusia berasal dari Tuhan, bahwa mereka harus menjadi anak-anak yang baik, dan belajar untuk mendengarkan firman Tuhan, serta berdoa jika mereka mengalami kesulitan atau enggan untuk patuh, dan aspek pendidikan positif lain semacam itu. Selebihnya adalah tentang memenuhi minat masa kanak-kanak mereka. Sebagai contoh, anak-anak tidak boleh disalahkan karena ingin menonton film kartun dan bermain boneka. Ada orang tua ketika melihat anak-anak mereka yang berusia lima atau enam tahun menonton film kartun dan bermain boneka, menegur mereka: "Dasar kau anak tidak berguna! Kau tidak berfokus untuk belajar atau melakukan pekerjaan yang tepat untuk anak seusiamu. Apa gunanya menonton film kartun? Isinya hanyalah tikus dan kucing, tidak bisakah kau melakukan sesuatu yang lebih baik? Film kartun itu semuanya tentang binatang, tidak bisakah kau menonton film lain yang ada manusia di dalamnya? Kapan kau akan menjadi dewasa? Ayo buanglah bonekamu! Kau sudah besar tetapi masih bermain boneka! Kau benar-benar tidak berguna!" Menurutmu, apakah anak-anak mampu memahami apa yang orang dewasa maksudkan ketika mendengar perkataan seperti ini? Apa yang akan dilakukan anak seusia itu selain bermain boneka atau bermain lumpur? Apakah mereka harus membuat bom atom? Menulis bahasa program? Apakah mereka mampu melakukan hal tersebut? Pada usia itu, mereka seharusnya bermain dengan benda-benda seperti balok, mobil-mobilan, dan boneka; itulah yang normal. Setelah lelah bermain, mereka seharusnya beristirahat dan menjadi sehat serta gembira. Jika mereka bertindak dengan keras kepala atau tidak mau mendengar nasihat, atau dengan sengaja menimbulkan masalah, orang dewasa harus mendidik mereka dengan berkata, "Kau tidak boleh seperti ini. Anak yang baik tidak akan berbuat seperti ini. Tuhan tidak menyukainya dan ayah ibu juga tidak menyukainya." Tanggung jawab orang tua adalah menasihati anak-anak mereka, bukan dengan menggunakan cara-cara dan wawasan orang dewasa mereka sendiri, atau berdasarkan keinginan dan ambisi orang dewasa, untuk menanamkan atau memaksakan sesuatu kepada mereka. Berapa pun usia anak-anak tersebut, tanggung jawab yang harus orang tua penuhi terhadap anak-anak mereka hanyalah memberi mereka bimbingan, didikan, pengawasan dan kemudian penyuluhan yang positif. Ketika orang tua melihat anak-anak mereka memperlihatkan pemikiran, penerapan dan perilaku ekstrem tertentu, mereka harus memberi nasihat dan bimbingan yang positif untuk mengoreksi mereka, memberi tahu mereka apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang positif dan apa yang negatif. Ini adalah tanggung jawab yang harus orang tua penuhi. Dengan demikian, di bawah metode didikan dan bimbingan yang tepat dari orang tua mereka, anak-anak tanpa sadar akan mempelajari banyak hal yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Dengan demikian, ketika orang menerima banyak hal positif dan belajar sedikit tentang apa yang benar dan apa yang salah sejak usia dini, jiwa dan kemanusiaan mereka akan menjadi normal dan bebas—jiwa mereka tidak akan mengalami kerusakan atau tekanan apa pun. Seperti apa pun kesehatan fisik mereka, setidaknya pikiran mereka sehat dan tidak menyimpang, karena mereka tumbuh di lingkungan pendidikan yang ramah, bukan di lingkungan ganas yang menekan mereka. Selama anak-anak mereka bertumbuh, tanggung jawab dan kewajiban yang harus orang tua penuhi bukanlah menekan anak-anak mereka, mengikat mereka, atau ikut campur dalam menentukan pilihan mereka, sehingga menambah beban demi beban ke dalam diri mereka. Sebaliknya, selama anak-anak mereka bertumbuh, seperti apa pun kepribadian dan kualitas anak-anak mereka, tanggung jawab orang tua adalah membimbing mereka ke arah yang ramah dan positif. Ketika bahasa, perilaku, atau pemikiran yang aneh dan tidak pantas muncul dari anak-anak mereka, orang tua harus memberi mereka nasihat rohani, bimbingan tentang cara berperilaku dan melakukan perbaikan tepat pada waktunya. Sedangkan mengenai apakah anak-anak mereka bersedia untuk belajar atau tidak, seberapa baik mereka belajar, seberapa besar minat mereka dalam mempelajari pengetahuan dan keterampilan, dan apa yang mampu mereka lakukan ketika mereka dewasa, hal-hal ini harus disesuaikan dengan bakat alami dan kesukaan mereka, serta orientasi dari minat mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk bertumbuh dengan sehat, bebas, dan kuat selama proses pengasuhan mereka—ini adalah tanggung jawab yang harus orang tua penuhi. Selain itu, ini adalah sikap yang harus orang tua miliki terhadap pertumbuhan, studi, dan karier anak-anak mereka, bukan malah memaksakan harapan, cita-cita, kesukaan dan bahkan keinginan mereka sendiri untuk diwujudkan oleh anak-anak mereka. Dengan demikian, di satu sisi, orang tua tidak perlu melakukan pengorbanan tambahan, dan di sisi lain, anak-anak mereka dapat bertumbuh dengan bebas dan memperoleh apa yang seharusnya mereka pelajari dari didikan orang tua mereka yang benar dan tepat. Hal paling penting adalah orang tua harus memperlakukan anak-anak mereka dengan benar sesuai dengan bakat, minat, dan kemanusiaan mereka; jika mereka memperlakukan anak-anak mereka berdasarkan prinsip bahwa "nasib manusia berada di tangan Tuhan", hasil akhirnya pasti akan baik. Memperlakukan anak berdasarkan prinsip bahwa "nasib manusia berada di tangan Tuhan" bukan berarti menghalangimu agar tidak mengurus anak-anakmu; engkau harus mendisiplinkan mereka ketika mereka perlu didisiplinkan, dan bersikap tegas jika diperlukan. Baik bersiap tegas maupun bersikap lunak, prinsip memperlakukan anak adalah seperti yang baru saja kita katakan, yaitu membiarkan mereka mengikuti jalur alami mereka, memberi mereka bimbingan dan bantuan yang positif, dan kemudian, berdasarkan keadaan aktual anak, memberi mereka bantuan dan dukungan dalam hal keterampilan, pengetahuan, atau sumber daya sebatas kemampuanmu. Inilah tanggung jawab yang harus orang tua penuhi, bukan malah memaksa anak-anak mereka melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan, atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Singkatnya, harapan terhadap anak-anak tidak boleh didasarkan pada persaingan dan kebutuhan sosial saat itu, tren atau klaim masyarakat, atau berbagai gagasan di tengah masyarakat tentang cara orang memperlakukan anak-anak mereka. Harapan terhadap anak-anak terutama harus didasarkan pada firman Tuhan dan prinsip bahwa "segala sesuatu berada di tangan Tuhan". Inilah yang paling harus orang lakukan. Mengenai akan menjadi orang seperti apa anak-anak mereka kelak, pekerjaan jenis apa yang akan mereka pilih, dan akan seperti apa kehidupan materiel mereka, berada di tangan siapakah hal-hal ini? (Berada di tangan Tuhan.) Semuanya berada di tangan Tuhan, bukan berada di tangan orang tua, bukan berada di tangan siapa pun. Jika orang tua tidak mampu mengendalikan nasib mereka sendiri, mampukah mereka mengendalikan nasib anak-anak mereka? Jika orang tidak mampu mengendalikan nasib mereka sendiri, mampukah orang tua mereka mengendalikannya? Jadi, sebagai orang tua, orang tidak boleh melakukan hal bodoh dalam hal memperlakukan studi dan karier anak-anak mereka. Mereka harus memperlakukan anak-anak mereka dengan cara yang bijak, tidak menjadikan harapan mereka menjadi beban bagi anak-anak mereka; tidak menjadikan pengorbanan, harga, dan kesukaran mereka sendiri menjadi beban bagi anak-anak mereka; dan tidak menjadikan keluarga sebagai api penyucian bagi anak-anak mereka. Inilah fakta yang harus orang tua pahami. Mungkin ada di antaramu yang bertanya, "Jadi, hubungan seperti apa yang harus anak-anak miliki dengan orang tua mereka? Sebaiknya mereka memperlakukan orang tua sebagai teman, rekan sekerja, atau tetap mempertahankan hubungan antara orang yang lebih tua dan yang lebih muda?" Engkau dapat memperlakukan mereka sebagaimana yang kauanggap paling sesuai. Biarkan anak-anak memilih apa yang mereka sukai dan lakukan apa yang menurutmu merupakan hal yang terbaik. Semua ini hanyalah hal-hal yang sepele.

Bagaimana seharusnya anak-anak menangani pengharapan orang tua terhadap mereka? Jika engkau memiliki orang tua yang memeras anak mereka secara emosional, jika engkau memiliki orang tua yang tidak masuk akal dan jahat seperti itu, apa yang akan kaulakukan? (Aku tidak akan lagi mendengarkan ajaran mereka; aku akan memandang segala sesuatunya berdasarkan firman Tuhan.) Di satu sisi, engkau harus memahami bahwa metode didikan mereka, dalam hal prinsip, adalah salah, dan cara mereka memperlakukanmu berbahaya bagi kemanusiaanmu dan juga membuatmu kehilangan hak asasimu. Di sisi lain, engkau sendiri harus percaya bahwa nasib manusia berada di tangan Tuhan. Apa yang ingin kaupelajari, apa yang kaukuasai, atau apa yang mampu kaucapai dengan kualitas manusiamu, semua hal ini telah ditentukan sejak semula oleh Tuhan, dan tak seorang pun mampu mengubahnya. Meskipun orang tuamu melahirkanmu, mereka juga tidak mampu mengubah satu pun dari hal-hal ini. Oleh karena itu, apa pun tuntutan orang tuamu terhadapmu, jika itu adalah sesuatu yang tidak mampu kaulakukan, tidak mampu kaucapai, atau tidak ingin kaulakukan, engkau dapat menolaknya. Engkau juga dapat menyampaikan pemikiranmu kepada mereka, lalu menggantinya dengan aspek lain, sehingga meredakan kekhawatiran mereka tentang dirimu. Engkau berkata: "Tenang saja; nasib manusia berada di tangan Tuhan. Aku pasti tidak akan menempuh jalan yang salah; aku pasti akan menempuh jalan yang benar. Dengan bimbingan Tuhan, aku pasti akan menjadi manusia sejati, orang yang baik. Aku tidak akan mengecewakan pengharapanmu terhadapku, dan aku juga tidak akan melupakan kebaikanmu dalam membesarkanku." Bagaimana reaksi orang tua setelah mendengar perkataan ini? Jika orang tuamu adalah orang tidak percaya atau termasuk setan, mereka akan sangat marah. Karena ketika engkau berkata, "Aku tidak akan melupakan kebaikanmu dalam membesarkanku dan aku tidak akan mengecewakanmu," itu hanyalah kata-kata kosong. Sudahkah engkau mencapai hal ini? Apakah engkau telah melakukan apa yang mereka minta? Mampukah engkau terlihat paling menonjol di antara teman-teman sebayamu? Mampukah engkau menjadi pejabat tinggi atau menghasilkan banyak uang agar mereka dapat menjalani kehidupan yang baik? Mampukah engkau membantu mereka memperoleh manfaat nyata? (Tidak.) Hal itu tidak diketahui; semua ini adalah ketidakpastian. Entah mereka marah, bahagia, atau secara diam-diam menahan diri, sikap apa yang seharusnya kaumiliki? Manusia datang ke dunia ini untuk melaksanakan misi yang telah Tuhan percayakan kepada mereka. Orang tidak boleh hidup untuk memenuhi pengharapan orang tua mereka, untuk membahagiakan mereka, untuk membawa kemuliaan bagi mereka, atau untuk membuat mereka memiliki kehidupan yang bergengsi di depan orang lain. Ini bukanlah tanggung jawabmu. Mereka membesarkanmu; berapa pun biayanya, mereka melakukannya atas kehendak mereka sendiri. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban mereka untuk membesarkanmu. Sedangkan mengenai seberapa banyak pengharapan mereka terhadapmu, seberapa banyak mereka telah menderita karena pengharapan tersebut, seberapa banyak uang yang mereka habiskan, sekalipun banyak orang telah menolak dan memandang rendah mereka, dan sebanyak apa pun mereka telah berkorban, semua itu dilakukan atas kehendak mereka sendiri. Engkau tidak memintanya; engkau tidak memaksa mereka untuk melakukannya, dan Tuhan pun tidak memaksa mereka. Mereka memiliki motif mereka sendiri untuk melakukannya. Dari sudut pandang ini, mereka hanya melakukannya demi diri mereka sendiri. Di luarnya, tujuannya adalah agar engkau memiliki kehidupan dan prospek yang baik, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk membawa kemuliaan bagi mereka dan agar mereka tidak dipermalukan. Oleh karena itu, engkau tidak berkewajiban untuk membalas mereka, engkau juga tidak berkewajiban untuk memenuhi keinginan dan pengharapan mereka terhadapmu. Mengapa engkau tidak memiliki kewajiban ini? Karena bukan ini yang Tuhan ingin kaulakukan; ini bukanlah kewajiban yang telah Dia berikan kepadamu. Tanggung jawabmu terhadap mereka adalah melakukan apa yang seharusnya seorang anak lakukan ketika mereka membutuhkanmu, berupaya sebaik mungkin untuk memenuhi tanggung jawabmu sebagai seorang anak. Meskipun mereka adalah orang-orang yang melahirkan dan membesarkanmu, tanggung jawabmu terhadap mereka hanyalah mencuci pakaian, memasak, dan bersih-bersih ketika mereka membutuhkanmu untuk melayani mereka dan menemani mereka di sisi tempat tidur saat mereka sakit. Hanya itu saja. Engkau tidak berkewajiban untuk melakukan apa pun yang mereka katakan, dan engkau tidak berkewajiban untuk menjadi budak mereka. Selain itu, engkau tidak berkewajiban untuk melaksanakan keinginan mereka yang belum terpenuhi, bukan? (Ya.)

Ada aspek lain mengenai pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, yaitu mewarisi bisnis keluarga atau usaha turun-temurun. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berasal dari keluarga pelukis; aturan yang diturunkan dari leluhur mereka adalah bahwa di setiap generasi harus ada seseorang yang mewarisi usaha keluarga ini dan melanjutkan tradisi keluarga. Katakanlah di generasimu, peran ini jatuh ke tanganmu, tetapi engkau tidak suka melukis dan tidak berminat akan hal ini; engkau lebih suka mempelajari mata pelajaran yang lebih mudah. Dalam keadaan seperti itu, engkau berhak untuk menolak. Engkau tidak berkewajiban untuk mewarisi tradisi keluargamu, dan engkau tidak berkewajiban untuk mewarisi bisnis keluarga atau usaha turun-temurun, seperti usaha dalam bidang seni bela diri, kerajinan tangan atau keterampilan tertentu, dan sebagainya. Engkau tidak berkewajiban untuk melanjutkan apa yang mereka minta untuk kauwarisi. Ada orang-orang yang berasal dari keluarga yang di setiap generasinya menyanyikan lagu opera. Di generasimu, orang tuamu memaksamu untuk belajar menyanyikan lagu-lagu opera sejak engkau masih kecil. Engkau memang mempelajarinya, tetapi di lubuk hatimu engkau tidak menyukainya. Jadi, jika mereka memintamu untuk memilih suatu karier, engkau pasti tidak akan menggeluti karier yang ada kaitannya dengan opera. Engkau tidak menyukai profesi ini dari lubuk hatimu. Jika ini yang terjadi, engkau berhak untuk menolak. Karena nasibmu bukanlah berada di tangan orang tuamu—pilihan kariermu, orientasi minatmu, apa yang ingin kaulakukan, dan jalan seperti apa yang ingin kautempuh, semuanya berada di tangan Tuhan. Semuanya diatur oleh Tuhan, bukan oleh siapa pun dari antara anggota keluargamu dan tentunya bukan diatur oleh orang tuamu. Peran orang tua dalam kehidupan setiap anak hanyalah memberikan perwalian, perhatian, dan pendampingan selama anak bertumbuh. Peran yang lebih baik adalah jika orang tua mampu memberikan bimbingan, didikan, dan arahan yang positif kepada anak-anak mereka. Hanya inilah peran yang dapat mereka penuhi. Setelah engkau tumbuh dewasa dan menjadi mandiri, peran orang tuamu hanyalah sebagai pendukung emosional dan sandaran emosional. Saat engkau menjadi mandiri dalam pemikiran dan gaya hidupmu adalah saat tanggung jawab dan kewajiban orang tuamu terhadapmu telah terpenuhi; setelah itu, hubunganmu dengan mereka telah berubah, bukan lagi sebagai pendidik dan murid, pengasuh dan yang diasuh. Bukankah itu yang sebenarnya terjadi? (Ya.) Ada orang-orang yang orang tua, kerabat dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang percaya kepada Tuhan; hanya dia sendiri yang percaya kepada Tuhan. Apa yang terjadi di sini? Ini berkaitan dengan penentuan Tuhan. Tuhan telah memilihmu, bukan mereka; Tuhan menggunakan tangan mereka untuk membesarkanmu menjadi orang dewasa dan kemudian Tuhan membawamu ke dalam rumah Tuhan. Sebagai anak, sikapmu terhadap pengharapan orang tuamu adalah engkau harus mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jika cara mereka memperlakukanmu tidak sesuai dengan firman Tuhan atau fakta bahwa "nasib manusia berada di tangan Tuhan", engkau dapat menolak pengharapan mereka dan mengutarakan pemikiranmu agar mereka mengerti. Jika engkau masih di bawah umur dan mereka dengan paksa menekanmu, memaksamu untuk mematuhi tuntutan mereka, engkau hanya dapat berdoa kepada Tuhan di dalam hatimu dan membiarkan Dia membukakan jalan keluar untukmu. Namun, jika engkau sudah dewasa, engkau tentu saja dapat berkata kepada mereka: "Tidak, aku tidak harus hidup berdasarkan cara yang kautetapkan untukku. Aku tidak harus memilih jalan hidupku, caraku mempertahankan kelangsungan hidup, dan tujuan pengejaranku berdasarkan cara yang kau tetapkan untukku. Kewajibanmu untuk membesarkanku sudah terpenuhi. Jika kita bisa hidup rukun satu sama lain, serta memiliki pengejaran dan tujuan yang sama, maka hubungan kita bisa tetap seperti sebelumnya; tetapi jika kita tidak lagi memiliki cita-cita dan tujuan yang sama, maka kita dapat saling mengucapkan selamat tinggal untuk saat ini." Bagaimana perkataan ini menurutmu? Beranikah engkau mengatakannya? Tentu saja, tidak perlu secara resmi memutuskan hubungan dengan orang tuamu dengan cara seperti ini, tetapi setidaknya, di lubuk hatimu, engkau harus memahami hal ini dengan jelas: meskipun orang tuamu adalah orang-orang terdekatmu, bukan mereka yang sebenarnya memberikan nyawa kepadamu, memungkinkanmu untuk menempuh jalan hidup yang benar, dan membuatmu memahami semua prinsip tentang cara berperilaku. Tuhan-lah yang melakukannya. Orang tuamu tidak mampu membekalimu dengan kebenaran atau memberimu saran yang benar yang berkaitan dengan kebenaran. Jadi, mengenai hubunganmu dengan orang tuamu, sebesar apa pun biaya yang telah mereka keluarkan, atau berapapun banyaknya uang dan upaya yang telah mereka keluarkan bagimu, engkau sama sekali tidak perlu membebani dirimu dengan perasaan bersalah. Mengapa? (Karena ini adalah tanggung jawab dan kewajiban orang tua. Jika orang tua melakukan semua ini agar anak-anak mereka dapat terlihat paling menonjol di antara teman-teman sebaya mereka dan demi memenuhi keinginan pribadi orang tua itu sendiri, maka ini adalah niat dan motif mereka sendiri; ini bukanlah apa yang Tuhan tetapkan untuk mereka lakukan. Oleh karena itu, sama sekali tidak perlu bagimu untuk merasa bersalah.) Ini hanyalah salah satu aspeknya. Aspek lainnya adalah bahwa pada saat ini engkau sedang menempuh jalan yang benar, engkau sedang mengejar kebenaran, dan engkau sedang datang ke hadapan Sang Pencipta untuk melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan; oleh karena itu, engkau tidak seharusnya merasa bersalah terhadap mereka. Tanggung jawab yang sudah seharusnya mereka penuhi terhadapmu hanyalah bagian dari pengaturan Tuhan. Jika engkau bahagia selama masa mereka membesarkanmu, itu adalah kebaikan khusus untukmu. Jika engkau tidak bahagia, tentu saja, itu juga adalah pengaturan Tuhan. Engkau harus bersyukur karena sekarang ini Tuhan telah mengizinkanmu untuk pergi dan membiarkanmu mengetahui dengan jelas esensi orang tuamu dan orang-orang macam apakah mereka. Engkau harus memiliki pemahaman yang tepat mengenai semua ini di lubuk hatimu, serta memiliki solusi dan cara yang tepat untuk menanganinya. Dengan demikian, bukankah engkau merasa lebih tenang di lubuk hatimu? (Ya.) Jika engkau merasa lebih tenang, itu bagus. Bagaimanapun, dalam hal ini, apa pun tuntutan orang tua terhadapmu sebelumnya atau apa pun tuntutan mereka sekarang, karena engkau memahami kebenaran dan maksud Tuhan, dan karena engkau memahami apa tuntutan Tuhan terhadap manusia—serta apa akibat pengharapan orang tua terhadapmu—engkau tidak boleh lagi merasa terbebani mengenai hal ini dalam keadaan apa pun. Engkau tidak perlu merasa bahwa engkau telah mengecewakan orang tuamu, atau merasa bahwa karena engkau telah memilih untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasmu, engkau telah gagal memberikan kehidupan yang lebih baik bagi orang tuamu dan tidak mampu mendampingi mereka serta memenuhi tanggung jawabmu untuk berbakti kepada mereka, yang menyebabkan mereka merasa hampa secara emosional. Engkau tidak perlu merasa bersalah mengenai hal ini. Semua ini adalah beban yang orang tua sebabkan pada anak-anak mereka, dan semua ini adalah hal-hal yang harus kaulepaskan. Jika engkau benar-benar percaya bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, maka engkau harus percaya bahwa masalah tentang seberapa banyak kesukaran yang akan mereka alami dan seberapa banyak kebahagiaan yang akan mereka nikmati seumur hidup mereka, itu pun berada di tangan Tuhan. Apakah engkau berbakti atau tidak, itu tidak akan mengubah apa pun. Penderitaan orang tuamu tidak akan berkurang karena engkau berbakti, dan penderitaan mereka tidak bertambah karena engkau tidak berbakti. Tuhan telah menentukan nasib mereka sejak lama, dan tak satupun dari hal ini akan berubah karena sikapmu terhadap mereka atau karena dalamnya perasaan di antaramu. Mereka memiliki nasib mereka sendiri. Mengenai apakah mereka miskin atau kaya di sepanjang hidup mereka, apakah segala sesuatunya berjalan dengan lancar bagi mereka atau tidak, atau seperti apakah kualitas hidup, manfaat materiel, status sosial, dan kondisi kehidupan yang akan mereka nikmati, tak ada satu pun dari hal-hal ini yang ada kaitannya denganmu. Jika engkau merasa bersalah terhadap mereka, jika engkau merasa berutang sesuatu kepada mereka, dan merasa bahwa engkau seharusnya berada di sisi mereka, apa yang akan berubah sekalipun engkau berada di sisi mereka? (Tidak ada yang akan berubah.) Hati nuranimu mungkin akan bebas dan lepas dari rasa bersalah. Namun, jika engkau berada di sisi mereka setiap hari, melihat mereka tidak percaya kepada Tuhan, mengejar hal-hal duniawi, berbasa-basi dan bergosip, bagaimana perasaanmu? Akankah hatimu merasa nyaman? (Tidak.) Dapatkah engkau mengubah mereka? Dapatkah engkau menyelamatkan mereka? (Tidak.) Jika mereka jatuh sakit, dan engkau memiliki sarana untuk merawat mereka di sisi tempat tidur mereka dan sedikit meringankan penderitaan mereka, memberi mereka sedikit kenyamanan sebagai anak mereka, maka setelah mereka sembuh, tubuh mereka juga akan terasa nyaman. Namun, jika engkau menyebutkan satu hal tentang percaya kepada Tuhan, mereka akan membentakmu dengan mengucapkan delapan hingga sepuluh kalimat bantahan, mengucapkan kekeliruan menjijikkan yang cukup membuatmu muak selama dua masa kehidupan. Secara lahiriah, hati nuranimu mungkin merasa tenang, dan engkau mungkin merasa bahwa mereka tidak membesarkanmu dengan sia-sia, merasa bahwa engkau bukan orang yang tidak tahu berterima kasih, dan engkau belum pernah melakukan apa pun yang membuat tetanggamu menertawakanmu. Namun, hanya karena hati nuranimu merasa tenang, apakah itu berarti engkau benar-benar menerima berbagai gagasan, pandangan, pandangan hidup, dan cara hidup mereka di lubuk hatimu? Apakah engkau benar-benar sesuai dengan mereka? (Tidak.) Dua jenis orang yang menempuh jalan berbeda dan berpaut pada pandangan berbeda, sekalipun terdapat relasi atau hubungan secara fisik dan emosional di antara mereka, mereka tidak akan dapat saling mengubah sudut pandang masing-masing. Tidak masalah jika kedua belah pihak tidak membahas sesuatu bersama-sama, tetapi begitu membahas sesuatu, mereka akan mulai berdebat, pertentangan pun muncul, dan mereka akan saling membenci dan muak terhadap satu sama lain. Meskipun di luarnya, mereka memiliki hubungan darah, di dalam diri mereka, mereka adalah musuh, dua jenis orang yang tidak cocok bagaikan air dan api. Ketika inilah yang terjadi, jika engkau tetap berada di sisi mereka, untuk apa engkau melakukannya? Apakah engkau hanya mencari sesuatu yang menjengkelkan dirimu sendiri, atau apakah ada alasan lainnya? Engkau akan merasa menyesal setiap kali bertemu dengan mereka, dan ini disebut kesengsaraan yang disebabkan oleh dirimu sendiri. Ada orang-orang yang berpikir: "Aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan orang tuaku. Dahulu, mereka melakukan beberapa hal yang menjijikkan, menghujat Tuhan dan menentang kepercayaanku kepada Tuhan. Kini mereka sudah jauh lebih tua; mereka pasti sudah berubah sekarang. Jadi, aku tidak seharusnya meributkan hal-hal buruk yang pernah mereka lakukan; bagaimanapun juga, semua itu sudah hampir kulupakan. Selain itu, baik secara emosional maupun karena hati nuraniku, aku merindukan mereka, dan bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka. Jadi kupikir aku akan pulang dan memeriksa keadaan mereka." Namun, dalam sehari setelah kepulanganmu, engkau kembali merasakan kemuakan yang kaurasakan terhadap mereka di masa lalu, dan engkau menyesalinya: "Inikah yang disebut keluarga? Apakah mereka ini orang tuaku? Bukankah mereka musuhku? Dahulu mereka seperti ini, dan sekarang pun karakter mereka masih sama; mereka tidak berubah sedikit pun!" Bagaimana mungkin mereka berubah? Diri mereka yang semula akan selalu menjadi diri mereka. Apa kaukira mereka pasti akan berubah seiring bertambahnya usia dan engkau dapat hidup rukun dengan mereka? Engkau sama sekali tidak akan dapat hidup rukun dengan mereka. Begitu engkau pulang dan masuk ke rumah, mereka akan melihat apa yang kaubawa di tanganmu, melihat apakah ada barang-barang mahal seperti kerang laut, teripang, sirip hiu, atau perut ikan, atau mungkin tas dan pakaian buatan desainer, atau perhiasan emas dan perak. Begitu melihatmu hanya membawa dua kantong plastik, yang satu berisi bakpao dan yang satu lagi berisi beberapa pisang, mereka akan melihat bahwa engkau masih miskin dan mulai mengomel: "Putri si anu pergi ke luar negeri dan menikah dengan orang asing. Gelang yang dibelikan untuk orang tuanya adalah emas murni dan mereka memamerkannya setiap kali ada kesempatan. Putra si anu membeli mobil dan membawa orang tuanya bepergian dan jalan-jalan ke luar negeri setiap kali dia ada waktu luang. Mereka semua menikmati kejayaan anak-anak mereka! Putri si anu tidak pernah pulang dengan tangan kosong, Dia membelikan alat pembasuh kaki dan kursi pijat untuk orang tuanya, dan pakaian yang dibelinya terbuat dari kain sutra atau wol. Mereka memiliki anak-anak yang begitu berbakti; tidak sia-sia membesarkan mereka! Sedangkan di keluarga ini, kami membesarkan anak-anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih!" Bukankah ini bagaikan tamparan di wajahmu? (Ya.) Bakpao dan pisangmu bahkan tidak dianggap oleh mereka, dan engkau masih berpikir ingin memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak dan berbakti. Orang tuamu suka makan bakpao dan pisang dan engkau sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan mereka, jadi engkau membeli makanan ini untuk menyenangkan hati mereka dan menebus rasa bersalahmu. Namun, begitu pulang, engkau bukan saja tidak dapat menebus rasa bersalahmu, tetapi engkau juga dikritik; dengan diliputi kekecewaan, engkau berlari keluar dari rumah itu. Apakah ada gunanya engkau mengunjungi orang tuamu? (Tidak.) Engkau sudah sangat lama tidak pulang, tetapi mereka tidak merindukanmu; mereka tidak berkata: "Kepulanganmu saja sudah cukup. Tidak perlu membelikan kami apa pun. Senang sekali melihatmu menempuh jalan yang benar, menjalani kehidupan yang sehat, dan aman dalam segala hal. Bisa bertemu kembali dan berbincang dari hati ke hati sudah cukup memuaskan." Mereka tidak peduli apakah selama bertahun-tahun ini engkau baik-baik saja atau tidak, atau apakah engkau pernah menghadapi kesulitan atau masalah yang membutuhkan bantuan orang tuamu. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun yang menghiburmu. Namun, seandainya mereka benar-benar mengatakan hal-hal seperti itu, bukankah itu akan membuatmu tak mampu meninggalkan mereka? Setelah mereka memarahimu, engkau menegakkan tubuhmu dan merasa dapat dibenarkan sepenuhnya, tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun, berpikir: "Aku harus keluar dari rumah ini, ini benar-benar api penyucian! Mereka akan mengulitiku, memakan dagingku, dan masih ingin meminum darahku." Hubungan dengan orang tua adalah hubungan yang sulit untuk orang tangani secara emosional, padahal sebenarnya, hubungan ini bukannya sama sekali tidak bisa ditangani. Orang hanya dapat menangani masalah ini dengan benar dan rasional jika masalahnya ditangani berdasarkan pemahaman mereka akan kebenaran. Jangan mulai menanganinya dari sudut pandang perasaan, dan jangan mulai menanganinya dari wawasan atau sudut pandang orang-orang duniawi. Sebaliknya, perlakukan orang tuamu dengan cara yang sepatutnya menurut firman Tuhan. Apa sebenarnya peran orang tua, apa sebenarnya arti anak-anak bagi orang tua mereka, bagaimana anak seharusnya bersikap terhadap orang tua, dan bagaimana orang seharusnya menangani dan menyelesaikan masalah hubungan antara orang tua dan anak? Orang tidak boleh memandang hal-hal ini berdasarkan perasaan, dan mereka juga tidak boleh dipengaruhi oleh gagasan yang keliru atau perasaan mereka pada saat itu; mereka harus memperlakukan hal-hal ini dengan benar berdasarkan firman Tuhan. Jika engkau tidak dapat memenuhi tanggung jawab apa pun terhadap orang tuamu di lingkungan yang ditetapkan oleh Tuhan, atau jika engkau sama sekali tidak dapat berperan dalam kehidupan mereka, apakah ini berarti engkau tidak berbakti? Akankah hati nuranimu menuduhmu? Tetangga, teman sekelas, dan kerabatmu, semuanya akan mencaci maki dirimu dan mengkritikmu di belakangmu. Mereka semua akan menyebutmu anak yang tidak berbakti, dengan berkata: "Orang tuamu telah begitu banyak berkorban bagimu, menginvestasikan begitu banyak upaya untukmu, dan melakukan sangat banyak hal bagimu sejak kau masih kecil, dan kau, sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih, malah menghilang tanpa jejak, bahkan tanpa mengabari bahwa engkau baik-baik saja. Engkau bukan saja tidak pulang untuk merayakan Tahun Baru, engkau juga bahkan tidak menelepon, atau mengirimkan ucapan selamat kepada orang tuamu." Setiap kali mendengar perkataan seperti itu, hati nuranimu berdarah dan menangis, dan engkau merasa terkutuk. "Oh, mereka benar." Wajahmu merah padam, dan hatimu gemetar seolah-olah tertusuk jarum. Pernahkah engkau merasakan perasaan semacam ini? (Ya, sebelumnya.) Apakah perkataan tetangga dan kerabatmu bahwa engkau tidak berbakti itu benar? (Tidak, aku bukannya tidak berbakti.) Jelaskan pemikiranmu tersebut. (Meskipun aku sudah bertahun-tahun tidak berada di sisi orang tuaku, atau belum mampu mengabulkan keinginan mereka seperti yang dilakukan orang-orang duniawi, jalan kepercayaan kepada Tuhan yang kita tempuh ini telah ditentukan sejak semula oleh Tuhan. Ini adalah jalan hidup yang benar, dan merupakan hal yang benar. Itulah sebabnya kukatakan bahwa aku bukannya tidak berbakti.) Pemikiranmu masih berdasarkan doktrin yang orang-orang pahami di masa lalu; engkau tidak memiliki penjelasan yang realistis dan pemahaman yang realistis. Siapa lagi yang ingin membagikan pemikirannya? (Aku ingat ketika pertama kali ke luar negeri, setiap kali aku teringat bagaimana keluargaku tidak tahu apa yang kulakukan di luar negeri, bagaimana mereka mungkin akan mengkritikku dan mengatakan aku tidak berbakti, bahwa aku bukan anak yang berbakti karena tidak berada di sana untuk merawat orang tuaku. Aku merasa diikat dan dikekang oleh pemikiran ini. Setiap kali memikirkan hal ini, aku merasa berutang kepada orang tuaku. Namun, melalui persekutuan Tuhan hari ini, aku merasa bahwa orang tua mengasuhku sebelumnya adalah pemenuhan tanggung jawab mereka sebagai orang tua, dan bahwa kebaikan mereka terhadapku sudah ditentukan sejak semula oleh Tuhan, dan bahwa aku seharusnya bersyukur kepada Tuhan dan membalas kasih-Nya. Bahwa sekarang aku percaya kepada Tuhan dan menempuh jalan hidup yang benar, yang merupakan hal yang benar, aku tidak seharusnya merasa berutang kepada orang tuaku. Selain itu, mengenai apakah orang tuaku dapat menikmati perawatan anak-anak mereka di sisi mereka atau tidak, itu juga telah ditentukan sejak semula oleh Tuhan. Setelah memahami hal-hal ini, aku mampu sedikit melepaskan perasaan berutang yang kurasakan di hatiku.) Bagus sekali. Pertama-tama, kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat bekerja sama dalam pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti. Inilah kedua alasannya. Dan ada juga alasan lainnya: jika orang tuamu bukan tipe orang yang secara khusus menganiaya dirimu atau menghalangi kepercayaanmu kepada Tuhan, jika mereka mendukung kepercayaanmu kepada Tuhan, atau jika mereka adalah saudara-saudari yang percaya kepada Tuhan seperti halnya dirimu, jika mereka sendiri adalah anggota rumah Tuhan, lalu, siapakah di antaramu yang tidak berdoa kepada Tuhan di lubuk hatimu saat teringat orang tuamu? Siapakah di antaramu yang tidak memercayakan orang tuamu, beserta kesehatan, keselamatan, dan semua kebutuhan hidup mereka, ke dalam tangan Tuhan? Memercayakan orang tuamu ke dalam tangan Tuhan adalah cara terbaik untuk menunjukkan rasa hormat dan baktimu kepada mereka. Engkau tidak berharap mereka menghadapi segala macam kesulitan dalam hidup mereka, dan engkau tidak berharap mereka menjalani kehidupan yang buruk, makan dengan buruk, atau menderita kesehatan yang buruk. Jauh di lubuk hatimu, engkau tentunya berharap Tuhan akan melindungi mereka dan menjaga mereka agar tetap aman. Jika mereka orang-orang yang percaya kepada Tuhan, engkau berharap mereka akan mampu melaksanakan tugas mereka sendiri, dan engkau juga berharap mereka akan mampu tetap berdiri teguh dalam kesaksian mereka. Inilah yang dimaksud dengan orang memenuhi tanggung jawabnya sebagai manusia; hanya sejauh inilah yang mampu orang capai dengan kemanusiaan mereka sendiri. Selain itu, yang terpenting adalah setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan dan mendengarkan begitu banyak kebenaran, orang setidaknya harus memiliki sedikit pengertian dan pemahaman bahwa: nasib manusia ditentukan oleh Surga, hidup manusia ada di tangan Tuhan, dan dipelihara serta dilindungi Tuhan jauh lebih penting daripada memiliki anak-anak yang berbakti, mempedulikan, atau menemani mereka. Bukankah engkau merasa lega bahwa orang tuamu dilindungi dan dipelihara Tuhan? Engkau tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Jika engkau khawatir, itu berarti engkau tidak memercayai Tuhan, imanmu kepada-Nya terlalu kecil. Jika engkau benar-benar merasa khawatir dan cemas terhadap orang tuamu, engkau harus sering berdoa kepada Tuhan, memercayakan mereka ke dalam tangan Tuhan, dan membiarkan Tuhan mengatur dan menata segala sesuatunya. Tuhan berkuasa atas nasib manusia. Dia berkuasa atas keseharian mereka dan segala sesuatu yang terjadi pada mereka, jadi apa yang masih kaukhawatirkan? Engkau bahkan tidak mampu mengendalikan hidupmu sendiri,[a] engkau sendiri menghadapi banyak kesulitan; apa yang dapat kaulakukan agar orang tuamu hidup bahagia setiap hari? Satu-satunya yang dapat kaulakukan adalah memercayakan segala sesuatunya ke dalam tangan Tuhan. Jika mereka adalah orang percaya, mintalah agar Tuhan menuntun mereka ke jalan yang benar sehingga mereka pada akhirnya dapat diselamatkan. Jika mereka bukan orang percaya, biarkan mereka menempuh jalan apa pun yang mereka inginkan. Bagi orang tua yang lebih baik dan memiliki sedikit kemanusiaan, engkau dapat berdoa agar Tuhan memberkati mereka sehingga mereka dapat menghabiskan tahun-tahun yang tersisa dari kehidupan mereka dengan bahagia. Mengenai bagaimana cara Tuhan bekerja, Dia memiliki pengaturan-Nya sendiri, dan manusia harus tunduk pada pengaturan tersebut. Jadi secara keseluruhan, orang memiliki kesadaran dalam hati nurani mereka tentang tanggung jawab yang harus mereka penuhi terhadap orang tua mereka. Apa pun sikap orang terhadap orang tua mereka karena kesadaran ini, entah mengkhawatirkan mereka atau memilih untuk menemani mereka, apa pun itu, orang tidak boleh memiliki rasa bersalah atau hati nurani yang terbebani karena tidak dapat memenuhi tanggung jawab mereka terhadap orang tua mereka akibat terpengaruh oleh keadaan objektif. Masalah ini dan masalah lain yang serupa tidak boleh menjadi kesulitan dalam kehidupan kepercayaan orang kepada Tuhan; semua ini harus dilepaskan. Ketika membahas topik yang berkaitan dengan memenuhi tanggung jawab kepada orang tua, orang harus memiliki pemahaman yang akurat seperti ini dan tidak boleh lagi merasa terkekang. Di satu sisi, di lubuk hatimu, engkau tahu bahwa engkau bukannya tidak berbakti, dan engkau bukan sedang melalaikan atau menghindari tanggung jawabmu. Di sisi lain, orang tuamu berada dalam tangan Tuhan, jadi apa yang masih perlu kaukhawatirkan? Kekhawatiran apa pun yang orang miliki, itu berlebihan. Setiap orang akan hidup lancar sesuai dengan kedaulatan dan pengaturan Tuhan hingga akhir hidup mereka, hingga mencapai akhir perjalanan mereka, tanpa ada penyimpangan. Jadi, orang tidak perlu lagi mengkhawatirkan masalah ini. Mengenai apakah engkau harus berbakti, apakah engkau telah memenuhi tanggung jawabmu terhadap orang tuamu, atau apakah engkau harus membalas kebaikan orang tuamu, ini bukan hal-hal yang harus kaupikirkan. Ini adalah hal-hal yang harus kaulepaskan. Bukankah benar demikian? (Ya.)

Mengenai topik pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, kita telah mempersekutukan aspek studi dan pekerjaan. Fakta apakah yang harus orang pahami dalam hal ini? Jika engkau menuruti perkataan orang tuamu dan belajar sangat giat sesuai dengan pengharapan mereka, apakah itu berarti engkau pasti akan meraih kesuksesan besar? Dapatkah melakukan hal ini mengubah nasibmu? (Tidak.) Lalu, apa yang menantimu di masa depan? Yang menantimu adalah apa yang telah Tuhan atur bagimu, yaitu nasib yang sudah seharusnya kaumiliki, kedudukan yang sudah seharusnya kaumiliki di tengah masyarakat, jalan yang sudah seharusnya kautempuh, dan lingkungan hidup yang sudah seharusnya kaumiliki. Tuhan telah mengatur hal-hal ini untukmu sejak lama. Jadi, dalam hal pengharapan orang tuamu, engkau tidak boleh memikul beban apa pun. Jika engkau menuruti permintaan orang tuamu, nasibmu akan tetap sama; jika engkau tidak mengikuti pengharapan orang tuamu dan mengecewakan mereka, nasibmu juga akan tetap sama. Apa pun jalan di depanmu yang harus kautempuh, itulah yang akan kautempuh; itu telah ditetapkan oleh Tuhan. Demikian pula, jika engkau memenuhi pengharapan orang tuamu, memuaskan orang tuamu, dan tidak mengecewakan mereka, apakah itu berarti mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik? Dapatkah itu mengubah nasib mereka yang penuh penderitaan dan penganiayaan? (Tidak.) Ada orang-orang yang menganggap orang tua mereka telah memberi mereka sangat banyak kebaikan dalam membesarkan mereka, dan orang tua mereka telah sangat menderita selama waktu itu. Jadi, mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang baik, lalu menanggung kesukaran, berjerih payah, bertekun, dan bekerja keras untuk menghasilkan banyak uang, dan memperoleh kekayaan. Tujuan mereka adalah memberi kepada orang tua mereka kehidupan yang istimewa di masa depan, tinggal di vila, mengendarai mobil mewah, serta makan dan minum enak. Namun, setelah bertahun-tahun bekerja dengan giat dan penuh semangat, meskipun kondisi dan keadaan hidup mereka telah meningkat, orang tua mereka meninggal tanpa sehari pun menikmati kemakmuran tersebut. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Jika engkau membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, membiarkan Tuhan mengatur, dan tidak memikul beban ini, maka engkau tidak akan merasa bersalah ketika orang tuamu meninggal. Namun, jika engkau bekerja sangat keras untuk menghasilkan uang agar dapat membalas kebaikan orang tuamu dan membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih baik, tetapi mereka kemudian meninggal, bagaimana perasaanmu? Jika engkau menunda pelaksanaan tugasmu dan menunda dirimu untuk memperoleh kebenaran, akankah engkau tetap mampu hidup dengan nyaman selama sisa hidupmu? (Tidak.) Kehidupanmu akan terpengaruh, dan engkau akan selalu memikul beban "telah mengecewakan orang tuamu" selama sisa hidupmu. Ada seseorang yang berusaha keras untuk bekerja, berupaya, dan menghasilkan uang agar tidak mengecewakan orang tuanya dan membalas kebaikan orang tua dalam membesarkannya. Setelah itu, ketika dia menjadi kaya dan memiliki sarana untuk membeli makanan enak, dia mengundang orang tuanya untuk makan dan memesan semeja penuh makanan yang lezat, lalu berkata: "Silakan menikmati. Aku ingat ketika masih kecil, semua ini adalah makanan kesukaan kalian; ayo makanlah!" Namun, karena orang tuanya telah makin menua, mereka telah kehilangan sebagian besar gigi mereka dan kini selera makan mereka berkurang, sehingga mereka memilih makanan yang empuk dan mudah dicerna seperti sayuran dan mi dan merasa kenyang setelah hanya makan beberapa suap. Engkau merasa sedih melihat meja yang dipenuhi makanan yang tidak termakan itu. Namun, orang tuamu sudah merasa kenyang. Di usia yang sudah lanjut seperti ini, hanya makanan sebanyak inilah yang mampu mereka makan; ini hal yang normal, mereka tidak meminta banyak. Di dalam hatimu, engkau merasa tidak bahagia, tetapi tidak bahagia karena apa? Tidak ada gunanya bagimu untuk melakukan hal-hal ini. Telah ditetapkan sejak lama seberapa banyak kebahagiaan dan kesukaran yang akan orang tuamu alami selama hidup mereka. Hal ini tidak dapat diubah karena keinginanmu dan tidak dapat diubah untuk memuaskan perasaanmu. Tuhan telah sejak lama menetapkan hal ini, jadi apa pun yang manusia lakukan, itu tidak ada gunanya. Apa yang fakta-fakta ini beritahukan kepada manusia? Hal yang sudah seharusnya orang tuamu lakukan adalah membesarkanmu dan membiarkanmu tumbuh dengan sehat dan lancar, membuatmu menempuh jalan yang benar, dan memenuhi tanggung jawab dan kewajiban yang sudah seharusnya kaupenuhi sebagai makhluk ciptaan. Semua ini bukan bertujuan untuk mengubah nasibmu, dan memang semua ini tidak dapat mengubah nasibmu; peran mereka hanyalah membantu dan membimbingmu, membesarkanmu hingga menjadi dewasa dan mengarahkanmu ke jalan hidup yang benar. Hal yang tidak boleh kaulakukan adalah menggunakan tanganmu sendiri untuk menciptakan kebahagiaan bagi orang tuamu, mengubah nasib mereka, atau membuat mereka menikmati kekayaan yang berlimpah, serta makanan dan minuman yang enak. Ini adalah pemikiran yang bodoh. Beban ini bukanlah beban yang seharusnya kaupikul, ini adalah beban yang harus kaulepaskan. Engkau tidak boleh melakukan pengorbanan yang sia-sia atau melakukan hal yang sia-sia untuk membalas kebaikan orang tuamu, mengubah nasib mereka, dan memungkinkan mereka untuk menerima lebih banyak berkat dan menderita lebih sedikit, demi untuk memuaskan kebutuhan pribadi hati nurani atau perasaanmu, dan untuk menghindarkan dirimu agar tidak mengecewakan mereka. Ini bukanlah tanggung jawabmu, dan ini bukanlah hal yang harus kaupikirkan. Orang tua harus memenuhi tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka berdasarkan keadaan mereka sendiri dan berdasarkan keadaan dan lingkungan yang telah Tuhan persiapkan. Hal yang harus anak-anak lakukan bagi orang tua mereka juga harus berdasarkan keadaan yang mampu mereka capai dan berdasarkan lingkungan tempat mereka berada; hanya itu saja. Segala sesuatu yang harus orang tua dan anak lakukan tidak boleh bertujuan untuk mengubah nasib pihak lainnya melalui kekuatan mereka sendiri atau keinginan egois mereka sendiri agar pihak lainnya dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan lebih ideal karena upaya mereka sendiri. Baik orang tua maupun anak-anak, setiap orang harus membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya di tengah lingkungan yang diatur oleh Tuhan, bukannya berusaha mengubah segala sesuatu melalui usaha mereka sendiri atau dengan tekad pribadi apa pun. Nasib orang tuamu tidak akan berubah karena engkau memiliki pemikiran seperti ini mengenai mereka. Nasib mereka telah Tuhan tetapkan sejak lama. Tuhan telah menetapkanmu untuk hidup di tengah lingkup kehidupan mereka, untuk dilahirkan dari mereka, untuk dibesarkan oleh mereka, dan untuk memiliki hubungan ini dengan mereka. Jadi, tanggung jawabmu terhadap mereka hanyalah mendampingi mereka sesuai dengan keadaanmu sendiri dan melaksanakan beberapa kewajiban. Sedangkan mengenai keinginanmu untuk mengubah keadaan orang tuamu pada saat ini, atau keinginanmu untuk mereka menjalani kehidupan yang lebih baik, semua itu tidak ada gunanya. Atau, keinginanmu untuk membuat tetangga dan kerabatmu menghormatimu, untuk membawa kehormatan bagi orang tuamu, untuk menjaga gengsi orang tuamu di tengah keluarga, ini bahkan lebih tidak perlu. Ada juga ibu atau ayah tunggal yang ditinggalkan oleh pasangan mereka dan membesarkanmu hingga menjadi dewasa seorang diri. Engkau makin merasa betapa hal itu sangat sulit baginya, dan engkau ingin menggunakan seluruh hidupmu untuk membalas kebaikannya, dan membalas jasanya, bahkan sampai-sampai engkau mau melakukan apa pun yang dia katakan. Hal yang dimintanya darimu, hal yang diharapkannya darimu, serta apa yang engkau sendiri ingin lakukan, semua itu menjadi beban dalam hidupmu ini. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Di hadapan Sang Pencipta, engkau adalah makhluk ciptaan. Hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini bukanlah sekadar memenuhi tanggung jawabmu terhadap orang tuamu, melainkan memenuhi tanggung jawab dan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Engkau hanya dapat memenuhi tanggung jawabmu terhadap orang tuamu berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, bukan melakukan apa pun bagi mereka berdasarkan kebutuhan emosionalmu atau kebutuhan hati nuranimu. Tentu saja, memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu kepada mereka berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran adalah juga bagian dari tugasmu sebagai makhluk ciptaan; ini adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada manusia. Pemenuhan tanggung jawab ini haruslah didasarkan pada firman Tuhan, bukan pada kebutuhan manusia. Jadi, engkau dapat dengan mudah memperlakukan orang tuamu berdasarkan firman Tuhan, memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu terhadap mereka. Sesederhana itu. Apakah ini mudah dilakukan? (Ya.) Mengapa hal ini mudah untuk dilakukan? Karena esensinya di sini, serta prinsip-prinsip kebenaran yang harus orang patuhi, sangat jelas. Esensinya adalah bahwa baik orang tua maupun anak tidak dapat mengubah nasib satu sama lain. Entah engkau berusaha keras atau tidak, entah engkau bersedia memenuhi tanggung jawabmu atau tidak, tak satu pun dari hal ini dapat mengubah nasib satu sama lain. Entah engkau menyimpan keinginan ini di dalam hatimu atau tidak, ini hanyalah perbedaan dalam hal kebutuhan emosional, dan hal ini tidak akan mengubah fakta apa pun. Jadi, bagi manusia, hal termudah yang dapat mereka lakukan adalah melepaskan beban yang diakibatkan oleh pengharapan orang tua. Yang pertama, engkau harus memandang semua hal ini berdasarkan firman Tuhan, dan yang kedua, engkau harus memperlakukan dan menangani hubungan dengan orang tuamu berdasarkan firman Tuhan. Sesederhana itu. Bukankah ini mudah? (Ya.) Jika engkau menerima kebenaran, semua hal ini akan mudah, dan selama proses pengalamanmu, engkau akan makin merasakan bahwa hal ini memang benar. Tak seorang pun mampu mengubah nasib seseorang; nasib orang hanya berada di tangan Tuhan. Sekeras apa pun engkau berusaha, itu tidak akan berhasil. Tentu saja, ada orang-orang yang akan berkata: "Hal-hal yang Kaukatakan semuanya adalah fakta, tetapi menurutku orang yang bertindak seperti ini tidak memiliki kehangatan manusia. Hati nuraniku selalu merasa tertuduh, rasanya aku tidak tahan." Jika engkau tidak tahan, puaskan saja perasaanmu; temani orang tuamu dan tetaplah tinggal di sisi mereka, layani mereka, berbakti, dan turuti perkataan mereka entah perkataan itu benar atau salah—jadilah seperti ekor kecil dan pelayan mereka, silakan saja melakukannya. Dengan demikian, tak seorang pun akan mengkritikmu di belakangmu, dan bahkan keluarga besarmu akan berkata betapa berbaktinya dirimu. Namun, pada akhirnya satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah dirimu sendiri. Engkau mungkin telah mempertahankan reputasimu sebagai anak yang berbakti, engkau telah memuaskan kebutuhan emosionalmu, hati nuranimu tidak pernah merasa tertuduh, dan engkau telah membalas kebaikan orang tuamu, tetapi ada satu hal yang telah kauabaikan dan telah hilang darimu: engkau tidak memperlakukan dan menangani semua masalah ini berdasarkan firman Tuhan dan engkau telah kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Apa artinya? Artinya engkau telah berbakti kepada orang tuamu, tetapi engkau telah mengkhianati Tuhan. Engkau menunjukkan baktimu dan memuaskan kebutuhan emosional dari daging orang tuamu, tetapi engkau memberontak terhadap Tuhan. Engkau lebih memilih untuk menjadi anak yang berbakti daripada melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Ini adalah sikap yang paling tidak menghormati Tuhan. Tuhan tidak akan menganggapmu orang yang tunduk kepada-Nya atau orang yang memiliki kemanusiaan hanya karena engkau adalah anak yang berbakti, tidak pernah mengecewakan orang tuamu, memiliki hati nurani, dan memenuhi tanggung jawabmu sebagai seorang anak. Jika engkau hanya memuaskan kebutuhan hati nuranimu dan kebutuhan emosional dagingmu, tetapi tidak menerima firman Tuhan atau kebenaran sebagai dasar dan prinsip bagi caramu memperlakukan atau menangani masalah ini, berarti engkau memperlihatkan pemberontakan yang terbesar terhadap Tuhan. Jika engkau ingin menjadi makhluk ciptaan yang memenuhi syarat, engkau harus terlebih dahulu memandang dan melakukan segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan. Ini disebut memenuhi syarat, memiliki kemanusiaan, dan memiliki hati nurani. Sebaliknya, jika engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai prinsip dan dasar bagi caramu dalam memperlakukan atau menangani masalah ini, dan engkau juga tidak menerima panggilan Tuhan untuk pergi dan melaksanakan tugasmu, atau engkau lebih memilih untuk menunda atau melewatkan kesempatan untuk melaksanakan tugasmu agar bisa tetap berada di sisi orang tuamu, menemani mereka, membahagiakan mereka, membuat mereka menikmati masa senja mereka, dan membalas kebaikan mereka, maka Tuhan akan menganggapmu sesuatu yang tidak memiliki kemanusiaan atau hati nurani. Engkau bukan makhluk ciptaan, dan Dia tidak akan mengakuimu.

Dalam hal menangani harapan orang tuamu, apakah sudah jelas prinsip apa sajakah yang harus kauikuti dan beban apa sajakah yang harus kaulepaskan? (Ya.) Jadi, apa sebenarnya beban yang orang tanggung di sini? Bahwa mereka harus mematuhi perkataan orang tua dan membuat orang tua menjalani kehidupan yang baik; bahwa segala sesuatu yang orang tua lakukan adalah untuk kebaikan mereka sendiri; dan bahwa mereka harus melakukan apa yang orang tua katakan sebagai bakti mereka kepada orang tua. Selain itu, sebagai orang dewasa, mereka harus melakukan berbagai hal untuk orang tua, membalas kebaikan orang tua, berbakti kepada mereka, menemani mereka, tidak membuat mereka sedih atau kecewa, tidak mengecewakan mereka, dan melakukan apa pun yang mampu mereka lakukan untuk meminimalkan penderitaan mereka atau bahkan untuk menghilangkannya sepenuhnya. Jika engkau tidak mampu mencapai hal ini, berarti engkau tidak tahu berterima kasih, tidak berbakti, pantas jika disambar petir, dan pantas jika dibenci dan ditolak oleh orang lain, dan bahwa engkau adalah orang jahat. Inikah beban-bebanmu? (Ya.) Karena hal-hal ini adalah beban yang orang miliki, mereka harus menerima kebenaran dan menghadapinya dengan benar. Hanya dengan menerima kebenaran, barulah beban-beban, serta pemikiran dan pandangan yang salah ini dapat dilepaskan dan diubah. Jika engkau tidak menerima kebenaran, adakah jalan lain yang dapat kautempuh? (Tidak.) Oleh karena itu, entah itu melepaskan beban dari keluargamu atau beban dari dagingmu, semuanya itu harus dimulai dengan menerima pemikiran dan pandangan yang benar serta menerima kebenaran. Saat engkau mulai menerima kebenaran, pemikiran dan pandangan yang salah dalam dirimu ini akan berangsur-angsur dibongkar, diketahui, dan dikenali, dan kemudian akan berangsur-angsur kautolak. Selama proses membongkar, mengenali, dan kemudian melepaskan serta menolak pemikiran dan pandangan yang salah ini, engkau akan berangsur-angsur mengubah sikapmu dan pendekatanmu terhadap hal-hal ini. Pemikiran yang berasal dari hati nurani atau perasaan manusiamu ini akan berangsur-angsur melemah; hal-hal itu tidak akan lagi menyusahkan atau mengikatmu di dalam pikiranmu, tidak akan lagi mengendalikan atau memengaruhi hidupmu, atau mengganggu pelaksanaan tugasmu. Sebagai contoh, jika engkau telah menerima pemikiran dan pandangan yang benar, serta menerima aspek kebenaran ini, ketika engkau mendengar kabar meninggalnya orang tuamu, engkau hanya akan menangis karena mereka tanpa memikirkan bagaimana selama bertahun-tahun ini engkau belum membalas kebaikan mereka dengan membesarkanmu, bagaimana engkau telah membuat mereka sangat menderita, bagaimana engkau tidak membalas mereka sedikit pun, atau bagaimana engkau tidak membuat mereka menjalani kehidupan yang baik. Engkau tidak akan lagi menyalahkan dirimu sendiri atas hal-hal ini—sebaliknya, engkau akan memperlihatkan ekspresi normal yang berasal dari kebutuhan perasaan manusia normal; engkau akan menangis dan kemudian mengalami sedikit kerinduan terhadap mereka. Tak lama kemudian, hal-hal ini akan menjadi alami dan normal, dan engkau akan segera membenamkan dirimu dalam kehidupan normal dan melaksanakan tugas-tugasmu; engkau tidak akan disusahkan oleh masalah ini. Sedangkan jika engkau tidak menerima kebenaran ini, maka ketika mendengar kabar meninggalnya orang tuamu, engkau akan menangis tanpa henti. Engkau akan merasa kasihan kepada orang tuamu, merasa mereka tidak menjalani kehidupan yang mudah sepanjang hidup mereka, dan mereka telah membesarkan anak yang tidak berbakti sepertimu; ketika mereka sakit, engkau tidak melayani mereka di sisi tempat tidur mereka, dan ketika mereka meninggal, engkau tidak meratap di pemakaman mereka atau memperlihatkan kesedihan yang mendalam; engkau telah membuat mereka sedih dan mengecewakan mereka, dan tidak membuat mereka menjalani kehidupan yang baik. Engkau akan hidup dengan perasaan bersalah ini untuk waktu yang lama, dan setiap kali engkau memikirkannya engkau akan menangis dan merasakan sakit yang terus-menerus di dalam hatimu. Setiap kali engkau menghadapi keadaan atau orang, peristiwa dan hal-hal yang ada kaitannya dengan hal ini, engkau akan mengalami reaksi emosional tertentu; perasaan bersalah ini mungkin akan menyertaimu selama sisa hidupmu. Apa sebabnya? Itu disebabkan karena engkau tidak pernah menerima kebenaran atau pemikiran dan pandangan yang benar sebagai hidupmu; sebaliknya, pemikiran dan pandangan lamamu terus-menerus berdampak bagimu, memengaruhi hidupmu. Dengan demikian, engkau akan menghabiskan sisa hidupmu dalam penderitaan karena meninggalnya orang tuamu. Penderitaan yang terus-menerus ini akan menimbulkan akibat-akibat yang lebih dari sekadar ketidaknyamanan daging; ini akan memengaruhi hidupmu, sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu, sikapmu terhadap pekerjaan gereja, sikapmu terhadap Tuhan, serta sikapmu terhadap setiap orang atau hal apa pun yang menyentuh jiwamu. Engkau mungkin juga akan menjadi berkecil hati dan berputus asa terhadap lebih banyak hal, menjadi sangat sedih dan pasif, kehilangan keyakinan dalam hidupmu, kehilangan semangat dan motivasi untuk melakukan apa pun, dan lain sebagainya. Akan tiba waktunya, dampaknya tidak hanya akan terbatas pada kehidupan sederhanamu sehari-hari; itu juga akan memengaruhi sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu dan jalan yang kautempuh dalam hidupmu. Ini sangat berbahaya. Akibat dari bahaya ini adalah engkau mungkin tidak mampu melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dengan baik, dan engkau bahkan mungkin akan berhenti melaksanakan tugasmu di tengah jalan atau akan memiliki suasana hati dan sikap yang menentang terhadap tugas yang kaulaksanakan. Singkatnya, situasi seperti ini pasti akan memburuk seiring berjalannya waktu dan menyebabkan suasana hati, emosi dan mentalitasmu berkembang ke arah yang buruk. Mengertikah engkau? (Ya.) Di satu sisi, topik-topik dalam persekutuan hari ini memberitahumu untuk menetapkan pemikiran dan pandangan yang benar, yang sumbernya didasarkan pada esensi hal-hal itu sendiri. Karena sumber dan esensinya adalah seperti ini, orang harus menyadarinya, dan mereka tidak boleh tertipu oleh representasi ini atau oleh pemikiran dan pandangan yang berasal dari perasaan atau sikap yang terburu nafsu. Di sisi lain, hanya jika orang melakukan hal ini, barulah mereka dapat menghindarkan diri agar tidak menempuh jalan yang memutar atau menyimpang, dan sebaliknya menjalani kehidupan sebagaimana mestinya di lingkungan yang dikendalikan dan diatur oleh Tuhan. Singkatnya, hanya dengan menerima pemikiran dan pandangan yang benar ini dan dituntun olehnya, barulah orang akan mampu melepaskan beban yang berasal dari orang tua mereka, melepaskan beban-beban ini, dan mampu tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Dengan melakukannya, orang akan mampu hidup dengan lebih bebas dan tidak terkekang, dengan tenang dan bersukacita, bukannya terus-menerus didorong oleh dampak dari sikap terburu nafsu, perasaan, atau hati nurani. Setelah membahas sedemikian banyaknya, apakah engkau sekarang memiliki pemahaman tentang beban yang diakibatkan oleh pengharapan orang tua? (Ya.) Kini setelah engkau memiliki pemahaman yang akurat, bukankah rohmu terasa jauh lebih tenang dan bebas? (Ya.) Setelah engkau memiliki pemahaman yang benar, penerimaan dan ketundukan yang nyata, rohmu akan dibebaskan. Jika engkau terus-menerus menentang dan menolak, atau hanya memperlakukan kebenaran ini sebagai teori, bukannya memperlakukan hal-hal ini berdasarkan fakta, maka akan sulit bagimu untuk melepaskannya. Engkau hanya akan dapat bertindak berdasarkan apa yang diatur oleh pemikiran dan perasaan dagingmu dalam menangani hal-hal ini; pada akhirnya, engkau akan hidup dalam jeratan perasaan-perasaan ini, di mana hanya ada penderitaan dan kesedihan, dan tak ada seorang pun yang akan mampu menyelamatkanmu. Jika orang menghadapi hal-hal ini dalam keadaan terjerat dalam jeratan emosional ini, orang tidak akan memiliki jalan keluar. Engkau hanya dapat terbebas dari keterikatan dan ikatan perasaan dengan menerima kebenaran, bukan? (Ya.)

Selain berbagai pengharapan dan perlakuan orang tua terhadap pilihan studi dan karier anak-anak mereka, orang tua juga memiliki berbagai pengharapan mengenai pernikahan, bukan? Apa sajakah pengharapan tersebut? Silakan bagikan. (Biasanya, orang tua akan memberi tahu putri mereka bahwa calon suami mereka setidaknya harus kaya, memiliki rumah dan mobil, dan mampu mengurus mereka. Artinya, mereka harus mampu memenuhi kebutuhan materiel putri mereka dan juga memiliki rasa tanggung jawab. Inilah standar dalam memilih pasangan.) Beberapa hal yang orang tua katakan berasal dari pengalaman mereka sendiri, dan meskipun mereka memikirkan kepentingan terbaikmu, masih ada beberapa masalah. Orang tua juga memiliki pendapat dan kesukaan mereka sendiri dalam hal pengharapan mereka bagi pernikahanmu. Mereka menuntut anak-anak mereka untuk mencari pasangan yang, setidaknya, memiliki uang, status, dan kemampuan, dan yang tangguh sehingga mereka tidak akan dipermainkan oleh orang lain di luar rumah. Dan jika orang lain menindasmu, orang ini harus mampu melawan mereka dan melindungimu. Engkau mungkin berkata, "Aku tidak memedulikan hal itu. Aku bukan orang yang materialistis. Aku hanya ingin menemukan seseorang yang mencintaiku dan yang juga kucintai." Mendengar perkataanmu, orang tuamu berkata, "Mengapa kau begitu bodoh? Mengapa pikiranmu begitu naif? Kau masih muda dan belum berpengalaman, dan kau tidak mengerti kesukaran dalam hidup ini. Pernahkah kau mendengar pepatah 'Segala sesuatu tidak berjalan lancar bagi pasangan yang miskin'? Dalam hidup ini, kau membutuhkan uang untuk ini dan uang untuk itu; apa menurutmu kau akan menjalani kehidupan yang baik jika kau tidak punya uang? Kau harus menemukan seseorang yang kaya dan memiliki kemampuan." Engkau menjawab, "Tetapi, bahkan orang yang kaya dan memiliki kemampuan pun tidak dapat diandalkan." Orang tuamu menjawab, "Sekalipun mereka tidak dapat diandalkan, kebutuhan dasarmu harus terpenuhi terlebih dahulu. Kau harus memiliki apa pun yang ingin kaumakan dan kenakan, dan kau harus bisa makan enak dan berpakaian bagus, sesuatu yang akan membuat semua orang iri kepadamu." Engkau menjawab, "Tetapi, jiwaku tidak akan bahagia." Mendengar ini, orang tuamu berkata, "Memangnya jiwa itu apa? Di mana jiwa berada? Memangnya kenapa jika jiwamu tidak bahagia? Selama kau merasa nyaman secara jasmani, itulah yang terpenting!" Ada seseorang yang, berdasarkan kondisi kehidupannya saat ini, ingin tetap melajang. Walaupun sudah cukup berumur, dia tidak ingin berkencan, apalagi menikah. Ini membuat orang tuanya merasa cemas, sehingga mereka terus-menerus mendesaknya untuk menikah. Mereka mengatur kencan buta dan memperkenalkan calon pasangan kepadanya. Mereka melakukan segala kemungkinan untuk dapat dengan segera menemukan orang yang cocok dan terhormat untuk dinikahkan dengan anak mereka; bahkan sekalipun orang itu tidak cocok, setidaknya kualifikasinya harus bagus, misalnya lulusan perguruan tinggi, memiliki gelar sarjana atau Doktor, atau pernah bersekolah di luar negeri. Orang itu tidak tahan mendengar omelan orang tuanya. Awalnya, dia menganggap betapa menyenangkan hidup melajang dan hanya perlu mengurus dirinya sendiri. Terutama setelah percaya kepada Tuhan, dia sangat sibuk melaksanakan tugasnya setiap hari dan tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal ini, sehingga dia tidak berkencan dan kelak dia tidak akan menikah. Namun, dia tidak dapat lepas dari pengawasan orang tuanya. Orang tuanya tidak setuju, selalu mendesak dan menekan dirinya. Setiap kali bertemu dengan anaknya tersebut, mereka mulai mengomel, "Apakah kau sedang berkencan dengan seseorang? Adakah seseorang yang kausukai? Segeralah bawa dia ke rumah agar kami bisa memeriksa latar belakangnya untukmu. Jika dia cocok, segeralah menikah dengannya; usiamu kan terus bertambah! Wanita tidak akan menikah di atas usia tiga puluh tahun dan pria tidak akan menikah di atas usia tiga puluh lima tahun. Apa yang sedang berusaha kaulakukan, apa kau sedang berusaha menjungkirbalikkan dunia? Siapa yang akan merawatmu saat kau sudah tua jika kau tidak menikah?" Orang tua selalu mengkhawatirkan dan menyibukkan diri dengan hal ini, ingin agar engkau mencari orang semacam ini atau semacam itu, mendesakmu untuk menikah dan mencari pasangan. Dan setelah engkau menikah, orang tuamu terus saja mengganggumu: "Cepatlah punya anak selagi aku masih muda. Aku akan membantumu mengurusnya." Engkau berkata, "Aku tidak membutuhkanmu untuk mengurus anak-anakku. Jangan khawatir." Mereka menjawab, "Apa maksudmu, 'Jangan khawatir'? Cepatlah punya anak! Setelah anakmu lahir, aku akan mengurusnya untukmu. Setelah dia sedikit lebih besar, kau bisa mengambil alih." Apa pun pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka—bagaimanapun sikap mereka atau entah pengharapan ini benar atau salah—hal ini selalu terasa seperti beban bagi anak-anak. Jika akhirnya mereka menuruti perkataan orang tua, mereka akan merasa tidak nyaman dan tidak bahagia. Jika mereka tidak menurutinya, mereka akan merasa bersalah: "Orang tuaku tidak salah. Mereka sudah sangat tua dan belum melihatku menikah dan punya anak. Mereka merasa sedih, jadi mereka mendesakku untuk menikah dan punya anak. Ini juga merupakan tanggung jawab mereka." Jadi, dalam hal menangani pengharapan orang tua dalam hal ini, di lubuk hatinya, orang selalu memiliki perasaan samar-samar bahwa hal ini adalah beban. Apakah mereka menurutinya atau tidak, itu tampak salah, dan bagaimanapun juga, mereka merasa diri mereka sangat tercela dan tidak bermoral jika tidak menaati tuntutan atau keinginan orang tua mereka. Ini adalah hal yang membebani hati nurani mereka. Ada orang tua yang bahkan ikut campur dalam kehidupan anak-anak mereka: "Cepatlah menikah dan punya anak. Beri aku cucu laki-laki yang besar dan sehat terlebih dahulu." Dengan cara ini mereka bahkan ikut campur mengenai jenis kelamin bayi. Ada orang tua yang juga berkata, "Kau sudah punya seorang anak perempuan, cepatlah beri aku cucu laki-laki, aku ingin punya cucu laki-laki dan cucu perempuan. Kau dan pasanganmu sibuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas sepanjang hari. Kau tidak melakukan pekerjaanmu yang semestinya; memiliki anak adalah hal yang sangat penting. Tidak tahukah kau bahwa, 'Dari ketiga perilaku tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang terburuk'? Apakah menurutmu memiliki seorang anak perempuan sudah cukup? Sebaiknya kau segera memberiku cucu laki-laki juga! Kau adalah anak tunggal di keluarga kita; jika kau tidak memberiku cucu laki-laki, bukankah garis keturunan keluarga kita akan berakhir?" Engkau merenungkannya, "Benar juga, jika garis keturunan keluarga berakhir denganku, bukankah aku akan mengecewakan leluhurku?" Jadi, tidak menikah itu salah, dan menikah tetapi tidak punya anak juga salah; tetapi memiliki anak perempuan juga tidak cukup baik, kita juga harus memiliki anak laki-laki. Ada seseorang yang memiliki anak laki-laki terlebih dahulu, tetapi orang tuanya berkata, "Satu anak tidak cukup. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Ayo punya anak satu lagi agar mereka bisa saling menemani." Dalam hal anak, perkataan orang tua adalah hukum dan mereka mampu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal, mengutarakan cara berpikir yang paling menyimpang. Anak-anak mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Orang tua ikut campur dan mengkritik kehidupan, pekerjaan, pernikahan, dan sikap anak-anak mereka terhadap berbagai hal. Anak-anak hanya dapat menelan amarah mereka. Mereka tidak dapat bersembunyi dari orang tua atau mengabaikan mereka. Mereka tidak dapat memarahi atau menasihati orang tua mereka sendiri, jadi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka menanggungnya, berusaha bertemu mereka sejarang mungkin, dan menghindari percakapan tentang hal-hal ini jika mereka terpaksa harus bertemu. Dan jika hal-hal ini disinggung, mereka akan langsung menghentikannya dan pergi bersembunyi. Namun, ada orang-orang yang, demi memenuhi harapan orang tua dan agar tidak mengecewakan mereka, setuju untuk memenuhi tuntutan orang tua mereka. Engkau mungkin dengan enggan segera berkencan, menikah, dan memiliki anak. Namun, memiliki satu anak tidak cukup; engkau harus memiliki beberapa anak. Engkau melakukan hal ini untuk memenuhi tuntutan orang tuamu dan membuat mereka merasa senang dan bersukacita. Entah engkau mampu memenuhi keinginan orang tuamu atau tidak, tuntutan seperti itu dari orang tua tentunya sangat menyusahkan anak, siapa pun mereka. Orang tuamu tidak melakukan apa pun yang melanggar hukum, dan engkau tidak dapat mengkritik mereka, membicarakannya dengan orang lain, atau bertukar pikiran dengan mereka. Jika engkau terus-menerus seperti ini, hal ini menjadi beban bagimu. Engkau selalu merasa selama engkau tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuamu untuk menikah dan punya anak, engkau tidak akan mampu menghadapi orang tua dan leluhurmu dengan tanpa rasa bersalah. Jika engkau belum memenuhi tuntutan orang tuamu, yang berarti, engkau belum berkencan, belum memasuki jenjang pernikahan, dan belum memiliki anak dan melanjutkan garis keturunan keluarga seperti yang mereka minta, batinmu akan merasa tertekan. Engkau hanya dapat merasa sedikit tenang jika orang tuamu berkata bahwa mereka tidak akan ikut campur dalam hal-hal ini, memberimu kebebasan untuk membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Namun, jika tanggapan sosial yang berasal dari kerabat jauhmu, teman-teman, teman sekelas, rekan kerja, dan semua orang lainnya adalah mengutukmu dan menggunjingkanmu, maka ini juga menjadi beban bagimu. Jika engkau berusia 25 tahun dan belum menikah, engkau tidak terlalu memikirkan hal ini, tetapi ketika engkau telah berusia 30 tahun, engkau mulai merasa sepertinya hal ini tidak begitu baik, jadi engkau menghindari para kerabat dan anggota keluarga tersebut, dan tidak mengungkit masalah ini. Dan jika engkau masih belum menikah saat sudah berusia 35 tahun, orang-orang akan berkata, "Mengapa kau belum menikah? Apakah ada sesuatu yang salah denganmu? Kau agak aneh, ya?" Jika engkau menikah tetapi tidak ingin punya anak, mereka akan berkata, "Mengapa kau belum punya anak setelah menikah? Orang lain menikah dan memiliki anak perempuan, lalu anak laki-laki, atau mereka memiliki anak laki-laki, lalu anak perempuan. Mengapa kau tidak mau punya anak? Ada apa denganmu? Bukankah kau memiliki perasaan manusia? Apakah kau benar-benar manusia normal?" Entah perkataan itu berasal dari orang tuamu atau dari masyarakat, masalah ini menjadi beban bagimu di berbagai lingkungan dan latar belakang. Engkau merasa bersalah, terutama pada saat engkau mencapai usia tertentu. Sebagai contoh, jika engkau berusia antara tiga puluhan dan lima puluhan dan belum menikah, engkau tidak berani bertemu orang lain. Mereka berkata, "Wanita itu belum pernah menikah seumur hidupnya, dia itu perawan tua, tidak ada yang menginginkan dirinya, tak seorang pun akan menikahinya." "Pria itu, dia belum pernah punya istri seumur hidupnya." "Mengapa dia tidak menikah?" "Siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang salah dengannya." Engkau merenung. "Tidak ada yang salah denganku. Jadi, mengapa aku tidak menikah? Aku tidak menuruti perkataan orang tuaku dan aku mengecewakan mereka." Orang-orang berkata, "Pria itu belum menikah, gadis itu belum menikah. Lihat kasihan sekali orang tua mereka sekarang. Orang tua lain punya cucu dan buyut, sedangkan mereka masih melajang. Leluhur mereka pasti telah melakukan sesuatu yang mengerikan, bukan? Bukankah ini berarti membuat keluarganya tidak punya pewaris? Mereka tidak akan memiliki keturunan untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Ada apa dengan keluarga itu?" Betapapun kerasnya sikapmu saat ini, selama engkau adalah manusia fana, manusia biasa dan jika engkau tidak memiliki cukup kebenaran untuk memahami hal ini, cepat atau lambat, engkau akan merasa terganggu dan terpengaruh karenanya. Sekarang ini, ada banyak orang berusia 34 atau 35 tahun di tengah masyarakat yang belum menikah, dan hal ini bukanlah masalah besar. Namun, pada usia 35, 36, atau lebih, jumlah orang yang tidak menikah lebih sedikit. Berdasarkan rentang usia orang yang tidak menikah saat ini, jika engkau berusia di bawah 35 tahun, engkau mungkin berpikir. "Wajar jika aku belum menikah, tak seorang pun akan mengatakan sesuatu mengenai hal ini. Jika orang tuaku ingin mengatakan sesuatu, silakan saja. Aku tidak takut." Namun, begitu engkau melewati usia 35 tahun, orang akan memandangmu secara berbeda. Mereka akan menganggapmu lajang, bujangan, atau wanita sisa, dan engkau tidak akan tahan mendengarnya. Hal ini akan menjadi bebanmu. Jika engkau tidak memiliki pemahaman yang jelas atau prinsip penerapan yang pasti dalam hal ini, cepat atau lambat, hal ini akan mengganggumu, atau hal ini akan mengacaukan hidupmu pada saat-saat tertentu. Bukankah ini berkaitan dengan kebenaran-kebenaran tertentu yang harus orang pahami? (Ya.)

Dalam hal menikah dan memiliki anak, kebenaran apa yang harus orang pahami agar dapat melepaskan beban yang disebabkan oleh hal-hal ini? Pertama-tama, apakah pilihan pasangan hidup ditentukan oleh kehendak manusia? (Tidak.) Artinya, engkau tidak bisa pergi begitu saja dan bertemu dengan jenis orang apa pun yang kauinginkan, dan tentu saja bukan berarti bahwa Tuhan akan mempersiapkan bagimu jenis orang yang persis seperti yang kauinginkan. Sebaliknya, Tuhan telah menetapkan siapa yang akan menjadi pasangan hidupmu; siapa pun yang Tuhan maksudkan, dialah yang akan menjadi pasangan hidupmu. Engkau tidak perlu terpengaruh oleh campur tangan apa pun yang disebabkan oleh kebutuhan orang tuamu atau persyaratan yang mereka ajukan. Selain itu, dapatkah pasangan hidup yang orang tuamu ingin untuk kaudapatkan, yaitu yang kaya sekaligus berstatus tinggi, menentukan kekayaanmu sendiri dan statusmu di masa depan? (Tidak.) Tidak. Ada cukup banyak wanita yang menikah dengan keluarga kaya, yang pada akhirnya diusir dan terpaksa harus menjadi pemulung di jalanan. Setelah terus-menerus berusaha menaiki tangga sosial untuk memperoleh kekayaan dan gengsi, mereka akhirnya mengalami kehancuran dengan reputasi mereka yang rusak, jauh lebih rusak daripada orang biasa. Mereka menghabiskan hari-hari mereka dengan menggendong karung murah besar untuk mengumpulkan botol plastik dan kaleng minum aluminium, kemudian menukarkannya dengan sedikit uang, dan akhirnya menghabiskannya untuk membeli secangkir kopi di kafe agar mereka merasa seolah-olah masih menjalani kehidupan orang kaya. Betapa menyedihkan! Pernikahan adalah peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Sama seperti orang tua seperti apa yang sudah ditakdirkan untuk orang miliki, pernikahan pun tidak didasarkan pada kebutuhan orang tua atau keluargamu, juga tidak didasarkan pada selera dan kesukaan pribadimu; pernikahan sepenuhnya berada dalam penetapan Tuhan. Pada waktu yang tepat, engkau akan bertemu dengan orang yang tepat; pada waktu yang sesuai, engkau akan bertemu dengan orang yang sesuai untukmu. Semua pengaturan di dunia yang mistis dan tak kasatmata ini berada di bawah kendali dan kedaulatan Tuhan. Dalam hal ini, orang tidak perlu mengindahkan pengaturan orang lain, diarahkan oleh orang lain, atau dimanipulasi dan dipengaruhi oleh mereka. Jadi, dalam hal pernikahan, apa pun pengharapan yang orang tuamu miliki, dan apa pun rencana yang kaumiliki, engkau tidak perlu dipengaruhi oleh orang tuamu, juga tidak perlu dipengaruhi oleh rencanamu sendiri. Hal ini harus sepenuhnya didasarkan pada firman Tuhan. Tidak masalah apakah engkau sedang mencari pasangan atau tidak, bahkan seandainya engkau sedang mencarinya, engkau harus melakukannya berdasarkan firman Tuhan, bukan berdasarkan tuntutan atau kebutuhan orang tuamu dan bukan berdasarkan pengharapan mereka. Jadi, dalam hal pernikahan, pengharapan orang tuamu tidak perlu menjadi bebanmu. Menemukan pasangan hidup adalah tentang memikul tanggung jawab atas sisa hidupmu sendiri dan pasanganmu; itu adalah tentang tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Menemukan pasangan hidup bukanlah tentang memenuhi tuntutan orang tuamu atau memenuhi pengharapan mereka. Apakah engkau mencari pasangan atau tidak dan pasangan seperti apa yang kaucari, itu tidak boleh didasarkan pada harapan orang tuamu. Orang tuamu tidak berhak mengendalikanmu dalam hal ini; Tuhan tidak memberi mereka hak untuk mengatur pernikahanmu dari awal hingga akhir. Jika engkau sedang mencari pasangan hidup, itu harus kaulakukan berdasarkan firman Tuhan; jika engkau memilih untuk tidak mencari pasangan hidup, itu adalah kebebasanmu. Engkau berkata: "Sepanjang hidupku, entah aku sedang melaksanakan tugasku atau tidak, aku senang hidup melajang. Hidup seorang diri seperti ini terasa sangat bebas, bagaikan seekor burung, dengan satu kepakan sayap aku dapat terbang begitu saja. Aku tidak memiliki keluarga yang membebaniku dan aku seorang diri di mana pun aku berada. Sungguh menyenangkan! Aku seorang diri, tetapi aku tidak kesepian. Ada Tuhan yang menyertaiku, menemaniku; aku jarang merasa kesepian. Terkadang aku ingin sama sekali mengabaikan segala sesuatu di sekitarku, yang merupakan kebutuhan tubuhku. Meluangkan waktu untuk sama sekali mengabaikan segala sesuatu di sekitarku bukanlah hal yang buruk. Sesekali ketika aku merasa hampa atau kesepian, aku akan datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa dan berbicara kepada-Nya dari hati ke hati. Aku akan membaca firman-Nya, mempelajari lagu pujian, menonton video kesaksian tentang pengalaman hidup, dan menonton film dari rumah Tuhan. Itu sangat menyenangkan, dan aku tidak lagi merasa kesepian sesudahnya. Aku tidak peduli apakah kelak aku akan kesepian atau tidak. Bagaimanapun juga, aku tidak merasa kesepian saat ini; ada banyak saudara-saudari di sekitarku yang dengannya aku dapat berbincang dari hati ke hati. Mencari pasangan hidup bisa sangat merepotkan. Tidak banyak orang normal yang bisa benar-benar menjalani kehidupan yang baik, jadi aku tidak ingin mencari pasangan. Seandainya kutemukan seseorang dan kami tidak mampu memiliki pernikahan yang baik lalu bercerai, apa gunanya semua kerepotan yang telah dijalani tersebut? Kini, setelah memahami hal ini, aku merasa lebih baik bagiku untuk tidak mencari pasangan. Jika tujuan mendapatkan seseorang untuk kunikahi hanyalah untuk kegembiraan dan sukacita yang sesaat, dan pada akhirnya bercerai, itu hanya merepotkan, dan aku tidak ingin diganggu dengan kerepotan seperti itu. Sedangkan mengenai masalah memiliki anak, sebagai manusia—dan bukan sekadar sebagai alat untuk melahirkan ahli waris—bukan menjadi tanggung jawab atau kewajibanku untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Siapa pun yang ingin melanjutkannya, silakan saja melanjutkannya. Nama keluarga bukan milik satu orang saja." Memangnya kenapa jika garis keturunan keluarga terputus? Bukankah itu hanya masalah nama keluarga dari tubuh jasmaniah? Jiwa tidak memiliki hubungan satu sama lain; sama sekali tidak ada ahli waris atau keturunan di antara jiwa dengan jiwa lainnya. Umat manusia hanya memiliki satu nenek moyang; semua orang adalah keturunan dari nenek moyang tersebut, jadi sama sekali tidak ada garis keturunan manusia yang terputus. Melanjutkan garis keturunan bukanlah tanggung jawabmu. Menempuh jalan yang benar dalam hidup, menjalani kehidupan yang lepas dan bebas, dan menjadi makhluk ciptaan sejati adalah hal-hal yang seharusnya manusia kejar. Menjadi mesin untuk mereproduksi manusia bukanlah beban yang harus kaupikul. Juga bukan tanggung jawabmu untuk bereproduksi atau melanjutkan garis keturunan keluarga demi keluarga tertentu. Tuhan tidak memberimu tanggung jawab ini. Siapa pun yang ingin beranak pinak, silakan saja melakukannya; siapa pun yang ingin melanjutkan garis keturunan, silakan saja melanjutkannya; siapa pun yang bersedia memikul tanggung jawab ini, silakan saja memikulnya; hal ini tidak ada hubungannya dengan dirimu. Jika engkau tidak bersedia memikul tanggung jawab ini dan engkau tidak bersedia memenuhi kewajiban ini, itu tidak masalah, itu adalah hakmu. Bukankah sudah sepantasnya demikian? (Ya.) Jika orang tuamu terus mengomel, engkau bisa berkata kepada mereka: "Jika ayah dan ibu kesal karena aku tidak mau memiliki keturunan dan melanjutkan garis keturunan keluarga untuk kalian, maka carilah cara untuk punya anak lagi dan biarlah mereka yang melanjutkannya. Bagaimanapun juga, hal ini bukan urusanku; kalian dapat mendelegasikannya kepada siapa pun yang kalian inginkan." Setelah mengatakan ini, bukankah orang tuamu tidak akan memiliki apa pun untuk dikatakan? Dalam hal pernikahan anak mereka dan dalam hal memiliki anak, para orang tua, entah mereka percaya kepada Tuhan atau tidak, harus tahu pada usia lanjut mereka bahwa kekayaan atau kemiskinan seseorang, jumlah anak, dan status pernikahan orang dalam hidup ini, semuanya ditentukan oleh Surga; semua itu telah ditentukan sebelumnya, dan bukan sesuatu yang dapat ditentukan oleh siapa pun. Jadi, jika orang tuamu dengan paksa menuntut hal-hal ini dari anak mereka dengan cara seperti ini, mereka dapat dipastikan adalah orang tua yang dungu, mereka bodoh dan tidak mengerti apa pun. Dalam menghadapi orang tua yang bodoh dan tidak mengerti apa pun, perlakukan saja perkataan mereka seperti angin lalu, dan biarkan perkataan itu masuk ke telinga yang satu dan keluar dari telinga lainnya, itu saja. Jika omelan mereka keterlaluan, engkau bisa berkata, "Baiklah, aku janji akan menikah besok, punya anak lusa, dan membuatmu menggendong cicit pada hari berikutnya. Bagaimana menurutmu?" Jawab saja mereka seadanya, lalu berbalik dan pergilah. Bukankah ini cara yang tenang untuk menangani hal ini? Bagaimanapun juga, engkau harus memahami hal ini secara menyeluruh. Dalam hal pernikahan, mari kita kesampingkan dahulu fakta bahwa pernikahan ditetapkan oleh Tuhan. Sikap Tuhan terhadap pernikahan adalah memberi hak kepada manusia untuk memilih. Engkau boleh memilih untuk melajang, atau memilih untuk menikah; engkau boleh memilih untuk menjalani kehidupan sebagai pasangan, atau memilih untuk memiliki keluarga besar. Ini adalah kebebasanmu. Apa pun yang menjadi dasarmu dalam menentukan pilihan tersebut atau apa pun tujuan atau hasil yang ingin kaucapai, singkatnya, hak ini diberikan kepadamu oleh Tuhan; engkau berhak untuk memilih. Jika menurutmu, "Aku sangat sibuk bekerja melaksanakan tugasku, aku masih muda, dan tidak ingin menikah. Aku ingin melajang, mengorbankan diriku bagi Tuhan sepenuh waktu, dan melaksanakan tugasku dengan baik. Aku akan menangani hal besar tentang pernikahan ini nanti saja, ketika aku berusia lima puluh tahun dan merasa kesepian, ketika ada banyak hal yang ingin kukatakan tetapi tidak punya teman mengobrol, baru pada saat itulah aku akan mencari seseorang," itu juga tidak masalah, dan Tuhan tidak akan menghukummu. Jika menurutmu, "Aku merasa masa mudaku hampir berlalu, aku harus memanfaatkan akhir dari masa mudaku ini. Sementara aku masih muda dan penampilanku masih sedikit memesona, aku harus segera mendapatkan pasangan yang akan menemaniku dan menjadi teman ngobrolku, seseorang yang akan menghargai dan mencintaiku, yang dengannya aku akan menghabiskan hari-hariku dan menikah," ini juga adalah hakmu. Tentu saja, ada satu hal: jika engkau memutuskan untuk menikah, engkau harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan saksama tugas apa yang sedang kaulaksanakan di dalam gereja pada saat ini, apakah engkau adalah seorang pemimpin atau pekerja, apakah engkau telah dipilih untuk dibina di dalam rumah Tuhan, apakah engkau sedang melaksanakan pekerjaan atau tugas yang penting, tugas apa yang telah kauterima saat ini, dan bagaimana keadaanmu saat ini. Jika engkau menikah, akankah pernikahanmu memengaruhi pelaksanaan tugasmu? Akankah pernikahanmu juga memengaruhi pengejaranmu akan kebenaran? Akankah pernikahanmu memengaruhi pekerjaanmu sebagai pemimpin atau pekerja? Akankah pernikahanmu memengaruhimu dalam memperoleh keselamatan? Semua ini adalah pertanyaan yang harus kaupertimbangkan. Meskipun Tuhan telah memberimu hak seperti itu, ketika engkau menggunakan hak ini, engkau harus mempertimbangkan dengan saksama pilihan apa yang akan kauambil dan konsekuensi apa yang akan diakibatkan oleh pilihanmu tersebut. Apa pun konsekuensi yang akan diakibatkan oleh pilihanmu, engkau tidak boleh menyalahkan orang lain, dan juga tidak boleh menyalahkan Tuhan. Engkau harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari pilihanmu sendiri. Ada orang-orang yang berkata: "Aku bukan saja akan menikah, tetapi aku juga ingin punya banyak anak. Setelah memiliki seorang putra, aku akan memiliki seorang putri, dan kami akan hidup bahagia sebagai keluarga seumur hidup kami, saling menemani dalam sukacita dan keharmonisan. Ketika aku sudah tua, anak-anakku akan berkumpul di sekitarku untuk merawatku dan aku akan menikmati kebahagiaan hidup berkeluarga. Betapa indahnya! Sedangkan mengenai pelaksanaan tugasku, mengejar kebenaran, dan memperoleh keselamatan, semua itu adalah hal yang sekunder bagiku. Aku tidak terlalu memedulikan hal-hal tersebut pada saat ini. Aku akan mengurus masalah memiliki anak terlebih dahulu." Itu juga adalah hakmu. Namun, apa pun konsekuensi yang diakibatkan oleh pilihanmu pada akhirnya, entah itu pahit atau manis, asam atau sepat, engkau harus menanggungnya sendiri. Tak seorang pun akan menanggung akibat dari pilihamu, atau bertanggung jawab atas pilihanmu, termasuk Tuhan. Mengertikah engkau? (Ya.) Hal-hal ini telah diterangkan dengan jelas. Dalam hal pernikahan, engkau harus melepaskan beban yang sudah seharusnya kaulepaskan. Memilih untuk melajang adalah kebebasanmu, memilih untuk menikah juga adalah kebebasanmu, dan memilih untuk punya banyak anak pun adalah kebebasanmu. Apa pun pilihanmu, itu adalah kebebasanmu. Di satu sisi, memilih untuk menikah bukan berarti engkau telah membalas kebaikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu untuk berbakti; tentu saja, memilih untuk melajang juga bukan berarti engkau sedang menentang orang tuamu. Di sisi lain, memilih untuk menikah atau memiliki banyak anak bukan berarti engkau tidak menaati Tuhan, juga bukan berarti engkau memberontak terhadap-Nya. Engkau tidak akan dihukum karenanya. Memilih untuk melajang juga tidak akan menjadi alasan bagi Tuhan untuk memberimu keselamatan pada akhirnya. Singkatnya, apakah engkau melajang, menikah, atau memiliki banyak anak, Tuhan tidak akan menentukan apakah engkau pada akhirnya dapat diselamatkan atau tidak berdasarkan faktor-faktor ini. Tuhan tidak melihat latar belakang pernikahanmu atau status pernikahanmu; Dia hanya melihat apakah engkau mengejar kebenaran atau tidak; bagaimana sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu, berapa banyak kebenaran yang telah kauterima dan tunduk padanya, dan apakah engkau bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran atau tidak. Pada akhirnya, Tuhan juga akan mengesampingkan status pernikahanmu ketika memeriksa jalan hidup yang kautempuh, prinsip apa kaujadikan landasan hidupmu, dan aturan hidup apa yang kaupilih dalam bertahan hidup untuk menentukan apakah engkau akan diselamatkan atau tidak. Tentu saja, ada satu fakta yang harus kita sebutkan. Orang-orang yang melajang atau sudah bercerai, dan orang-orang yang belum menikah atau yang telah meninggalkan pernikahan, ada satu keuntungan yang mereka miliki, yaitu mereka tidak perlu bertanggung jawab terhadap siapa pun atau apa pun di dalam kerangka pernikahan. Mereka tidak perlu memikul tanggung jawab atau kewajiban ini, sehingga mereka relatif lebih bebas. Mereka memiliki lebih banyak kebebasan dalam hal waktu, mereka lebih berlimpah dalam hal tenaga, dan hingga taraf tertentu, mereka memiliki lebih banyak kebebasan pribadi. Sebagai contoh, sebagai orang dewasa, ketika engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu, tak seorang pun akan membatasimu, bahkan orang tuamu pun tidak berhak membatasimu. Engkau sendiri berdoa kepada Tuhan, Dia akan membuat pengaturan untukmu, dan engkau bisa mengemas tasmu lalu pergi. Sedangkan jika engkau menikah dan memiliki keluarga, engkau tidak sebebas itu. Engkau harus bertanggung jawab terhadap mereka. Pertama-tama, dalam hal keadaan kehidupan mereka dan sumber daya keuangan, engkau harus setidaknya menyediakan makanan dan pakaian untuk mereka, dan ketika anak-anakmu masih kecil, engkau harus menyekolahkan mereka. Engkau harus memikul tanggung jawab ini. Dalam keadaan ini, orang-orang yang menikah tidak bebas karena mereka memiliki kewajiban keluarga dan sosial yang harus mereka penuhi. Hal ini lebih mudah bagi mereka yang tidak menikah dan tidak memiliki anak. Ketika melaksanakan tugas mereka di rumah Tuhan, mereka tidak akan kelaparan atau kedinginan; mereka akan memiliki baik makanan maupun tempat berteduh. Mereka tidak perlu menyibukkan diri mereka untuk mencari uang dan bekerja karena kebutuhan hidup keluarga. Itulah perbedaannya. Pada akhirnya, dalam hal pernikahan, intinya tetap sama: engkau tidak perlu memikul beban apa pun. Baik itu harapan orang tuamu, pandangan tradisional dari masyarakat, maupun keinginanmu sendiri yang berlebihan, engkau tidak perlu memikul beban apa pun. Engkau berhak untuk memilih apakah akan melajang atau menikah, dan engkau juga berhak untuk memilih kapan engkau akan berhenti melajang dan kapan engkau akan menikah. Tuhan tidak menentukan hal ini. Sedangkan mengenai berapa banyak anak yang kaumiliki setelah menikah, ini telah ditentukan Tuhan dari sejak semula, tetapi engkau juga boleh menentukan pilihanmu sendiri berdasarkan keadaan nyatamu dan pengejaranmu. Tuhan tidak akan memaksakan aturan terhadapmu. Misalkan engkau adalah seorang jutawan, multijutawan, atau miliarder, dan menurutmu, "Memiliki delapan atau sepuluh anak tidak masalah bagiku. Membesarkan banyak anak tidak akan mengurangi tenagaku untuk melaksanakan tugasku." Jika engkau tidak takut menghadapi kerepotan seperti itu, silakan saja punya banyak anak; Tuhan tidak akan menghukummu. Tuhan tidak akan mengubah sikap-Nya terhadap keselamatanmu karena sikapmu terhadap pernikahan. Seperti itulah sikap Tuhan. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Ada aspek lainnya, yaitu jika pada saat ini engkau memilih untuk melajang, engkau tidak boleh merasa dirimu lebih unggul hanya karena engkau masih lajang, dengan berkata: "Derajatku lebih tinggi karena statusku sebagai lajang dan aku berhak untuk diprioritaskan dalam hal menerima keselamatan di hadirat Tuhan." Tuhan tidak memberimu hak istimewa seperti ini, mengerti? Engkau mungkin berkata, "Aku sudah menikah. Apakah itu berarti aku lebih rendah?" Engkau tidak lebih rendah. Engkau tetaplah salah seorang di antara manusia yang rusak; engkau tidak dianggap lebih rendah atau diinjak-injak karena engkau menikah, dan engkau juga tidak menjadi lebih rusak, lebih sulit untuk diselamatkan, atau lebih menyakiti hati Tuhan dibandingkan orang lain, sehingga menyebabkan Tuhan tidak ingin menyelamatkanmu. Semua ini adalah pemikiran dan pandangan manusia yang keliru. Status pernikahan orang tidak ada kaitannya dengan sikap Tuhan terhadap mereka, dan status pernikahan orang juga tidak ada kaitannya dengan apakah mereka pada akhirnya dapat diselamatkan atau tidak. Jadi, berdasarkan apakah orang memperoleh keselamatan? (Berdasarkan pada bagaimana sikap orang dalam menerima kebenaran.) Benar, itu berdasarkan pada bagaimana sikap orang dalam memperlakukan kebenaran dan menerima kebenaran, dan apakah mereka mampu menggunakan firman Tuhan sebagai dasar dan kebenaran sebagai standar mereka dalam memandang orang dan hal-hal serta dalam cara mereka berperilaku dan bertindak. Inilah dasar untuk mengukur kesudahan akhir orang. Kini, setelah kita mencapai titik ini dalam persekutuan kita, apakah engkau pada dasarnya mampu melepaskan beban yang disebabkan oleh masalah pernikahan? (Ya.) Mampu melepaskan beban ini akan bermanfaat dalam pengejaranmu akan kebenaran. Jika engkau tidak percaya, engkau bisa bertanya pada mereka yang sudah menikah seperti apa harapan mereka untuk menerima keselamatan, dan mereka akan berkata, "Aku telah menikah selama bertahun-tahun dan telah bercerai karena kepercayaanku kepada Tuhan. Aku tidak berani mengatakan bahwa aku akan diselamatkan." Engkau bisa bertanya kepada orang muda yang berusia tiga puluhan lebih yang belum menikah, tetapi yang selama bertahun-tahun telah percaya kepada Tuhan, tidak pernah mengejar kebenaran dan hidup layaknya orang tidak percaya. Engkau bisa bertanya kepadanya, "Dapatkah engkau diselamatkan dengan percaya kepada Tuhan dengan cara seperti ini?" Dia juga tidak akan berani berkata bahwa dia dapat diselamatkan. Bukankah benar demikian? (Ya.)

Inilah kebenaran yang harus orang pahami tentang pernikahan. Tak satu pun dari topik yang kita persekutukan yang dapat diterangkan dengan jelas hanya dengan beberapa kalimat. Ada berbagai fakta yang harus ditelaah, dan juga keadaan berbagai jenis orang. Berdasarkan berbagai keadaan ini, kebenaran yang harus orang pahami tidak dapat diterangkan dengan jelas hanya dengan beberapa kalimat. Untuk setiap masalah, ada kebenaran yang harus orang pahami, serta ada kenyataan faktual yang harus orang pahami, dan ada sangat banyak pemikiran dan pandangan keliru yang orang miliki, yang juga harus dipahami. Tentu saja, pemikiran dan pandangan ini adalah hal-hal yang harus orang lepaskan. Setelah engkau melepaskan hal-hal ini, pemikiran dan pandanganmu terhadap suatu hal akan menjadi relatif positif dan akurat. Dengan demikian, ketika engkau kembali menghadapi masalah semacam ini, engkau tidak akan lagi dikekang olehnya; engkau tidak akan dikekang dan dipengaruhi oleh pemikiran dan pandangan yang keliru dan tidak masuk akal tersebut. Engkau tidak akan diikat dan diganggu olehnya; sebaliknya, engkau akan mampu menghadapi masalah ini dengan benar, dan penilaianmu terhadap orang lain atau dirimu sendiri akan menjadi relatif akurat. Inilah hasil positif yang dapat terwujud dalam diri orang ketika mereka memandang orang dan hal-hal, ketika mereka berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran. Baiklah, mari kita akhiri persekutuan kita pada hari ini. Sampai jumpa!

1 April 2023

Catatan kaki:

a. Dalam naskah aslinya tertulis "Engkau bahkan tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri".

Sebelumnya: Cara Mengejar Kebenaran (15)

Selanjutnya: Cara Mengejar Kebenaran (17)

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini