Aku Tak Lagi Mengkhawatirkan Masa Depan Anak-Anakku

10 September 2024

Oleh Saudara Gao Liang, Tiongkok

Aku terlahir di keluarga petani yang miskin dan setelah lulus SMP, aku meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan. Belakangan, aku bertemu dengan istriku, dan kami mempunyai anak-anak. Aku selalu menjadi pekerja keras, tetapi sering kali kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika mendengar hal ini, saudara iparku mempekerjakanku sebagai pengemudi ekskavator di timnya. Di tahun-tahun berikutnya, aku berhasil menghasilkan sejumlah uang dan mampu membangun sebuah rumah baru dan menjalani kehidupan yang lebih baik.

Aku menerima Injil Tuhan pada akhir zaman di tahun 2013 dan menyeimbangkan imanku dengan pekerjaanku. Kupikir aku harus menghasilkan lebih banyak uang selagi masih muda agar aku mampu membantu putraku memulai hidupnya kelak. Inilah tanggung jawabku sebagai seorang ayah. Belakangan, aku mulai melayani sebagai pemimpin kelompok. Kemudian, di tahun 2017, aku dipilih untuk melayani sebagai diaken penyiraman. Namun, aku enggan menerimanya karena aku tahu bahwa tugas itu tak akan semudah memimpin satu kelompok kecil. Aku harus menyesuaikan jadwal pertemuan orang-orang percaya baru, dan itu pasti akan memengaruhi pendapatanku dari pekerjaan penggalian. Jika aku tidak menabung cukup banyak, bagaimana aku bisa membantu putraku di masa depan? Setelah menyadari semua ini, aku menolak tugas tersebut. Namun kemudian, aku merasa sangat bersalah. Tuhan telah berkorban begitu banyak untuk menyelamatkan kita, dan kini ketika pekerjaan gereja memerlukan kerja samaku, yang bisa kupikirkan hanyalah menghasilkan uang untuk membantu putraku dan aku tidak mau menerima tugas ini. Bukankah ini akan menyakiti Tuhan? Setelah menyadari hal ini, aku berlutut di lantai dan berdoa kepada Tuhan dalam pertobatan, berjanji bahwa aku tidak akan menolak tugas lagi. Pada tahun 2018, saudara-saudariku memilihku untuk melayani sebagai pemimpin gereja. Aku merasa sangat bingung: Menjadi seorang pemimpin yang mengawasi keseluruhan pekerjaan adalah tugas penuh waktu. Aku tak akan mampu menabung untuk masa depan putraku, dan kemudian aku tak akan bisa memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ayah. Namun, aku juga memikirkan betapa bersalahnya aku karena telah menolak suatu tugas di masa lalu, jadi aku menerima tugas tersebut.

Setelah menjadi pemimpin gereja, aku tidak punya waktu untuk bekerja mengemudikan ekskavator, jadi kami bertahan hidup dengan mengandalkan uang yang dihasilkan istriku dari berjualan sayur-mayur. Setelah lulus, putraku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik, dan itu meringankan beban kami. Namun, ketika tiba saatnya putraku menikah, kami masih belum memiliki rumah, mobil ataupun tabungan sama sekali untuknya. Apa yang harus kukatakan kepada putraku? Kurasa aku telah mengecewakannya. Terkadang ketika dia pulang saat istirahat, aku membuatkan makanan yang sangat enak untuknya dan menunjukkan kepedulian yang lebih besar terhadap hidupnya untuk mengurangi rasa bersalahku sendiri. Pada akhir Agustus 2023, pimpinan tertinggiku ingin mempromosikanku untuk melaksanakan sebuah tugas yang jauh dari rumah, jadi aku mendiskusikannya dengan istriku. Dia menanyakan pendapatku. Aku berkata, "Aku tak mau pergi, karena jika aku pergi, kau harus memikul beban keluarga kita seorang diri. Putri kita masih kecil, dan putra kita masih belum menikah. Jika aku pergi, akan jadi apa keluarga kita?" Istriku menjawab, "Jika menghadapi masalah, kita bisa berdoa kepada Tuhan. Karena sekarang tugas ini sudah diberikan kepadamu, kau harus memiliki hati yang tunduk. Aku bisa menangani urusan di rumah. Jangan khawatir." Beberapa hari kemudian, pimpinan tertinggi menulis surat untuk menanyakan penilaian orang-orang terhadapku, tetapi aku tidak meminta saudara-saudari untuk menulisnya. Aku berpikir, "Aku adalah kepala rumah tangga. Memikul beban rumah tangga kami adalah tanggung jawabku. Putraku sudah cukup umur untuk menikah, tetapi kami masih belum memiliki rumah, mobil ataupun tabungan yang dipersiapkan untuknya. Semua tetangga kami yang memiliki anak-anak seusia putraku sudah menyiapkan rumah dan mobil untuk anak-anak mereka. Bagaimana jika putraku bertanya mengapa aku tidak memberinya bantuan materi sementara orang tua lain memberikan bantuan materi kepada anak-anak mereka? Ayah macam apa aku ini? Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Terlebih lagi, putriku jatuh sakit, dan aku tak akan mampu merawatnya jika aku pergi." Setelah memikirkan semua ini, aku merasa tidak enak dan tidak mau melaksanakan tugasku jauh dari rumah. Namun, aku juga tahu bahwa Tuhan tidak akan senang jika aku menolak tugas itu. Selain itu, keluargaku akan kesulitan jika aku benar-benar pergi. Aku terjebak dalam dilema, dan itu adalah situasi yang sangat sulit. Aku merasa tidak fokus selama beberapa hari setelahnya dan bahkan lupa menyirami para petobat baru. Menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan keadaanku, aku pun berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Akhir-akhir ini, aku hidup dalam kegelapan dan merasa sangat tersiksa. Tolong cerahkanlah aku agar dapat memahami kebenaran dan tuntunlah aku agar bisa keluar dari keadaan ini."

Selama waktu teduh, aku menemukan bagian firman Tuhan ini: "Ada juga orang-orang yang, karena sudah percaya kepada Tuhan, mereka menjalani kehidupan bergereja, membaca firman Tuhan, dan melaksanakan tugas mereka, tidak akan punya waktu untuk berhubungan secara normal dengan anak-anak, istri (atau suami), orang tua, atau teman dan kerabat mereka yang bukan orang percaya. Khususnya, mereka tidak akan mampu merawat anak-anak mereka yang bukan orang percaya dengan baik, ataupun melakukan hal apa pun yang dituntut oleh anak-anak mereka, jadi mereka mengkhawatirkan prospek dan masa depan anak-anak mereka. Khususnya ketika anak-anak mereka beranjak dewasa, ada orang-orang yang akan mulai merasa resah: akankah anakku masuk perguruan tinggi atau tidak? Jurusan apa yang akan mereka ambil jika mereka masuk perguruan tinggi? Anakku tidak percaya kepada Tuhan dan ingin kuliah, jadi haruskah aku sebagai orang yang percaya kepada Tuhan membiayai kuliahnya? Haruskah aku memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan menyokong kebutuhan studinya? Dan ketika kelak dia menikah, mendapatkan pekerjaan, dan bahkan berkeluarga dan memiliki anak-anaknya sendiri, peran apa yang harus kumainkan? Hal-hal apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kulakukan? Mereka tidak tahu mengenai hal-hal ini. Saat sesuatu seperti ini terjadi, saat mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi seperti ini, mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, dan juga tidak tahu bagaimana menangani hal-hal seperti ini. Seiring berjalannya waktu, muncullah kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran mengenai hal-hal berikut: jika mereka melakukan hal-hal ini bagi anak mereka, mereka takut bertentangan dengan maksud Tuhan dan tidak memperkenan Tuhan, dan jika mereka tidak melakukan hal-hal ini, mereka takut tidak memenuhi tanggung jawab mereka sebagai orang tua dan mereka akan disalahkan oleh anak mereka dan anggota keluarga lainnya; jika mereka melakukan hal-hal ini, mereka takut akan kehilangan kesaksian mereka, dan jika mereka tidak melakukan hal-hal ini, mereka takut dicemooh oleh orang-orang di dunia sekuler, dan ditertawakan, diolok-olok, dan dikritik oleh orang lain; mereka takut tidak menghormati Tuhan, tetapi mereka juga takut membuat diri mereka mendapatkan reputasi yang buruk, dan merasa sangat malu sampai-sampai tidak sanggup memperlihatkan wajah mereka. Saat mereka bimbang mengenai hal-hal ini, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran pun muncul dalam hati mereka; mereka merasa sedih karena tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, mereka merasa cemas jika melakukan kesalahan, apa pun pilihan yang mereka ambil, dan tidak tahu apakah yang mereka lakukan tepat atau tidak, dan mereka khawatir jika hal-hal ini terus terjadi, suatu hari nanti mereka tidak akan mampu menanggungnya, dan jika hubungan mereka dengan anak mereka hancur, maka segala sesuatunya akan menjadi jauh lebih sulit bagi mereka. Orang-orang yang berada dalam situasi seperti ini merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang semua hal yang muncul dalam kehidupan mereka, baik hal besar maupun hal kecil. Begitu perasaan negatif ini muncul dalam diri mereka, mereka pun menjadi terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini, dan tak mampu membebaskan diri mereka sendiri: jika melakukan hal ini, ini salah, jika melakukan hal itu, itu salah, dan mereka tidak tahu apa hal yang benar yang harus mereka lakukan; mereka ingin menyenangkan orang lain, tetapi takut tidak menyenangkan Tuhan; mereka ingin melakukan hal-hal bagi orang lain agar mereka dianggap baik, tetapi mereka tidak ingin mempermalukan Tuhan atau menyebabkan Tuhan membenci mereka. Itulah sebabnya mereka selalu terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran ini. Mereka merasa sedih karena orang lain dan karena diri mereka sendiri; mereka mencemaskan segala sesuatu karena orang lain dan karena diri mereka sendiri; dan mereka juga mengkhawatirkan segala sesuatu karena orang lain juga karena diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi terperosok ke dalam kesulitan ganda yang darinya mereka tak mampu melepaskan diri. Emosi negatif seperti ini bukan saja memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari, tetapi juga memengaruhi pelaksanaan tugas mereka, dan tentu saja memengaruhi pengejaran mereka akan kebenaran hingga taraf tertentu. Ini adalah sejenis kesulitan, artinya, ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan pernikahan, kehidupan berkeluarga, dan kehidupan pribadi, dan kesulitan inilah yang sering kali menjebak orang dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Bukankah orang yang terjebak dalam emosi negatif seperti ini patut dikasihani? (Ya.) Apakah mereka patut dikasihani? Jika jawabanmu tetap 'Ya', itu menunjukkan engkau masih sangat bersimpati terhadap mereka. Ketika seseorang terperosok ke dalam emosi negatif, apa pun yang melatarbelakangi munculnya emosi tersebut, apa penyebab munculnya emosi tersebut? Apakah itu muncul karena lingkungan, karena orang-orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitar orang tersebut? Ataukah karena kebenaran yang Tuhan ungkapkan mengganggu dirinya? Apakah lingkungan yang memengaruhi orang tersebut, ataukah firman Tuhan yang menganggu kehidupannya? Apa penyebab sebenarnya? Tahukah engkau? Katakan kepada-Ku, baik dalam kehidupan normal orang-orang ataupun dalam pelaksanaan tugas mereka, apakah kesulitan-kesulitan seperti ini ada jika mereka mengejar mengejar kebenaran dan mau menerapkan kebenaran? (Tidak.) Kesulitan-kesulitan ini ada karena semua itu merupakan fakta objektif. Jika kaukatakan kesulitan ini tidak ada, apakah itu berarti engkau telah mengatasi kesulitan ini? Apakah engkau mampu mengatasinya? Kesulitan-kesulitan ini tidak dapat diatasi karena semua itu merupakan fakta objektif. Apa akibat kesulitan ini dalam diri orang yang mengejar kebenaran? Dan apa akibat kesulitan ini dalam diri mereka yang tidak mengejar kebenaran? Akan ada dua akibat yang sama sekali berbeda pada masing-masing dari mereka. Jika orang mengejar kebenaran, mereka tidak akan terjebak dalam kesulitan ini dan tenggelam dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Sebaliknya, jika orang tidak mengejar kebenaran, kesulitan-kesulitan ini akan tetap ada dalam diri mereka, dan apa akibatnya? Kesulitan ini akan menjeratmu sehingga engkau tak mampu melepaskan diri, dan jika engkau tak mampu mengatasinya, kesulitan ini pada akhirnya akan menjadi emosi negatif yang mengikatkan dirinya menjadi simpul-simpul yang erat di lubuk hatimu; emosi negatif itu akan memengaruhi kehidupan normalmu dan pelaksanaan normal tugasmu, dan itu akan membuatmu merasa tertekan dan tak mampu menemukan kebebasan—inilah akibat emosi negatif terhadap dirimu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Firman Tuhan benar-benar mengungkapkan keadaanku. Saat melihat putraku sudah menjadi dewasa, kupikir sebagai kepala rumah tangga, aku bertanggung jawab menghasilkan lebih banyak uang untuk membantunya memulai sebuah keluarga dan memulai kariernya, jadi aku menolak tugas gereja untuk melayani sebagai diaken penyiraman. Belakangan, ketika dipilih sebagai pemimpin gereja, aku mengemban tugas tersebut. Namun, melihat bahwa putraku sudah dewasa, aku bertanya-tanya bagaimana dia akan menemukan seorang istri tanpa memiliki mobil ataupun rumah. Akankah putraku berkata bahwa aku bukanlah ayah yang baik? Kekhawatiran ini berakar di dalam hatiku, dan aku sering kali terganggu olehnya. Kini, ketika gereja menugaskanku untuk melaksanakan tugas-tugas jauh dari rumah, kekhawatiran itu tiba-tiba datang kembali. Aku khawatir karena putraku masih belum menemukan seorang istri, jika aku pergi melaksanakan tugasku, dia pasti akan membenciku, dan para tetangga kami pasti akan membicarakanku di belakangku. Namun jika aku tidak pergi, berarti aku menolak tugasku. Aku sangat bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Sudah bertahun-tahun aku percaya kepada Tuhan, tetapi aku masih belum memahami kebenaran dan terbebani oleh komitmen pada keluarga. Kupikir karena aku adalah kepala rumah tangga, aku harus memikul beban untuk keluarga kami dan menghasilkan uang yang cukup untuk membantu putraku memulai keluarga dan kariernya. Alhasil, aku selalu diliputi kekhawatiran dan tidak dapat sepenuhnya berkomitmen pada tugasku. Aku harus mencari kebenaran agar bisa lekas mengatasi keadaan ini.

Belakangan, aku menemukan bagian firman Tuhan ini: "Untuk siapa engkau merasa sedih, cemas, dan khawatir? Apakah engkau merasakan hal-hal itu agar dapat memperoleh kebenaran? Ataukah untuk mendapatkan Tuhan? Ataukah demi pekerjaan Tuhan? Atau demi kemuliaan Tuhan? (Tidak.) Lalu untuk apa engkau merasakan emosi-emosi tersebut? Semuanya adalah untuk dirimu sendiri, untuk anak-anakmu, untuk keluargamu, untuk kehormatanmu sendiri, untuk reputasimu, untuk masa depan dan prospekmu, untuk segala sesuatu yang ada kaitannya dengan dirimu sendiri. Orang semacam itu tidak menyerahkan apa pun, tidak melepaskan apa pun, atau tidak memberontak terhadap apa pun, atau tidak meninggalkan apa pun; mereka tidak benar-benar percaya kepada Tuhan, dan tidak benar-benar setia dalam melaksanakan tugas mereka. Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka tidak sungguh-sungguh mengorbankan diri mereka, mereka hanya percaya untuk mendapatkan berkat, dan percaya kepada Tuhan hanya dengan keyakinan bahwa mereka akan menerima berkat. Mereka dipenuhi 'iman' kepada Tuhan, pada pekerjaan Tuhan, dan pada janji-janji Tuhan, tetapi Tuhan tidak memuji iman seperti itu, dan Dia juga tidak mengingatnya, sebaliknya Dia membencinya. Orang-orang semacam itu tidak mengikuti atau menerapkan prinsip penanganan masalah sebagaimana yang Tuhan tuntut untuk mereka lakukan, mereka tidak melepaskan hal-hal yang seharusnya mereka lepaskan, mereka tidak menyerahkan hal-hal yang seharusnya mereka serahkan, mereka tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya mereka tinggalkan, dan mereka tidak mempersembahkan kesetiaan yang seharusnya mereka persembahkan, sehingga mereka pantas untuk tenggelam dalam emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran. Sebanyak apapun mereka menderita, mereka melakukannya hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri, bukan untuk tugas mereka, dan bukan untuk pekerjaan gereja. Jadi, orang-orang semacam itu sama sekali bukan orang yang mengejar kebenaran—mereka hanyalah sekelompok orang yang percaya kepada Tuhan di bibir saja. Mereka tahu persis bahwa ini adalah jalan yang benar, tetapi mereka tidak menerapkannya, mereka juga tidak mengikutinya. Iman mereka menyedihkan dan tidak dapat diperkenan oleh Tuhan, dan Tuhan tidak akan mengingatnya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Firman Tuhan telah mengungkapkan keadaanku. Alih-alih menghabiskan waktuku untuk memikirkan cara mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasku dengan baik agar dapat memuaskan Tuhan, yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana aku telah gagal mempersiapkan masa depan putraku, khawatir putraku akan beranggapan bahwa aku bukanlah ayah yang baik, bahwa para tetanggaku akan berbicara buruk tentangku, dan bahwa aku mungkin akan kehilangan muka di antara mereka. Jadi, aku menolak tugas tersebut. Ini membuatku menyadari bahwa pikiranku terpusat pada anak-anak dan reputasiku. Aku tidak khawatir bahwa aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun tetapi belum memperoleh kebenaran, tidak mengkhawatirkan hasil yang buruk dalam tugasku sebagai seorang pemimpin di gereja, tidak merasa menyesal karena tidak tunduk pada tugasku dan menolak tugas tersebut, yang mengecewakan Tuhan, tetapi aku selalu mengkhawatirkan keluarga, anak-anak dan reputasiku. Aku mengutamakan semua itu daripada tugasku sebagai makhluk ciptaan. Aku mampu melaksanakan tugasku sebagai pemimpin karena Tuhan meninggikanku, dan Tuhan berharap bahwa selama melaksanakan tugas, aku akan mengejar kebenaran, mencapai perubahan watak dan memperoleh keselamatan dari Tuhan. Dan apa yang ingin kulakukan? Aku hanya ingin menjadi ayah yang baik dan merawat anak-anakku serta memiliki reputasi yang baik. Aku tahu betul bahwa pekerjaan gereja membutuhkan kerja samaku, tetapi aku tidak tunduk. Aku tahu betul bahwa aku wajib melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, tetapi aku menolaknya. Aku menolak tugas melayani sebagai diaken penyiraman, dan tak mau menerima kesempatan untuk dipromosikan hanya demi menghasilkan lebih banyak uang dan menjadi ayah yang baik. Aku menyadari bahwa meskipun aku sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, pandanganku terhadap berbagai hal sama saja dengan orang tidak percaya. Aku sama sekali tidak memiliki kesetiaan terhadap tugasku, dan di mata Tuhan, aku adalah pengikut yang bukan orang percaya. Aku memikirkan bagaimana demi menyelamatkan kita, Tuhan telah berinkarnasi di negeri naga merah yang sangat besar, yang menganggap-Nya sebagai musuh. Dia telah mengungkapkan kebenaran untuk membekali kita, dan untuk memungkinkan kita memperoleh kebenaran, Dia tanpa lelah menyirami serta menggembalakan kita dengan cara yang tak terhitung banyaknya. Namun, aku telah menolak tugasku demi masa depan anak-anakku. Aku sungguh tidak berhati nurani dan tidak bernalar! Ketika menyadari hal ini, aku langsung merasa malu dan menjadi makin tidak menentang untuk meninggalkan rumah demi tugasku.

Belakangan, aku terus merenungkan diriku sendiri: Mengapa setiap kali diberi tugas, aku tak bisa tunduk? Apa racun Iblis yang sedang mengendalikanku? Aku mencari bagian yang relevan dari firman Tuhan dan menemukan bagian berikut: "Gagasan budaya tradisional, tanggung jawab sosial, dan kedudukan laki-laki di tengah masyarakat merupakan sumber tekanan dan bahkan penghinaan, dan juga mengubah kemanusiaan mereka, menyebabkan banyak laki-laki merasa resah, tertekan, dan sering berada di ambang kehancuran setiap kali mereka menghadapi kesulitan. Mengapa demikian? Karena mereka menganggap bahwa sebagai laki-laki, mereka harus mencari uang untuk menafkahi keluarga, memenuhi tanggung jawabnya sebagai lelaki, dan laki-laki tidak boleh menangis atau bersedih, tidak boleh menganggur, tetapi harus menjadi tiang penopang masyarakat dan tulang punggung keluarga. Sebagaimana orang tidak percaya katakan, 'Laki-laki tidak mudah meneteskan air mata', seorang lelaki seharusnya tidak memiliki kelemahan atau kekurangan apa pun. Gagasan dan pandangan ini muncul karena laki-laki distereotipkan secara keliru oleh kaum moralis, dan karena status laki-laki yang terus-menerus ditinggikan oleh mereka. Gagasan dan pandangan ini bukan saja membuat manusia mengalami segala macam masalah, kekesalan, dan kesedihan, tetapi juga menjadi belenggu dalam pikiran mereka, membuat kedudukan, keadaan, dan pengalaman mereka di tengah masyarakat makin canggung" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (11)"). "Jika engkau ingin melepaskan diri dari belenggu ini, engkau harus mencari kebenaran, memahami sepenuhnya esensi gagasan-gagasan ini, dan tidak bertindak di bawah pengaruh atau kendali gagasan budaya tradisional ini. Engkau harus melepaskan dan memberontak terhadapnya sekali untuk selamanya, dan tidak lagi memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan gagasan dan pandangan budaya tradisional, juga tidak membuat penilaian dan pilihan apa pun berdasarkan budaya tradisional; sebaliknya, memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran. Dengan cara seperti ini, engkau akan menempuh jalan yang benar dan akan menjadi makhluk ciptaan sejati yang diperkenan oleh Tuhan. Jika tidak, engkau akan tetap dikendalikan oleh Iblis dan hidup di bawah kekuasaan Iblis, serta engkau tidak akan dapat hidup dalam firman Tuhan. Inilah faktanya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (11)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa tanggung jawab dan kedudukan sosial yang diberikan kepada pria adalah cara Iblis untuk menjerat pria, membuat mereka berpikir bahwa mereka harus menafkahi keluarga mereka setiap saat karena ini adalah tanggung jawab mereka. Contohnya adalah ayahku, yang merupakan seorang guru. Sejak kecil, dia menanamkan pemikiran ini kepada diriku, memberitahuku bahwa aku akan menjadi pilar keluarga dan harus menafkahi semua anggota keluargaku. Dia juga menyuruhku untuk melakukan pekerjaan rumah bersamanya agar aku mengerti tanggung jawab seorang pria. Setelah menikah, aku mengutamakan tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Untuk memastikan bahwa keluargaku menjalani hidup yang berkualitas dan membantu putraku agar bisa hidup mapan, aku bekerja berjam-jam untuk menghasilkan uang dan memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ayah. Seluruh keputusan besar harus melalui aku, dan betapa pun lelahnya diriku atau betapa pun sulitnya segala sesuatu, aku selalu melakukan apa pun yang diperlukan dariku tanpa bertanya-tanya. Dipengaruhi dengan pemikiran tradisional, setiap kali urusan keluargaku berbenturan dengan tugasku, aku selalu mengutamakan keluargaku. Aku menolak tugas-tugas agar dapat menghasilkan lebih banyak uang untuk tabungan putraku. Bahkan sebagai seorang pemimpin gereja, aku membagi waktu antara tugas dan keluargaku, dan aku tak mampu mengabdikan diri sepenuhnya untuk tugasku. Belakangan, saat mendapat kesempatan untuk dipromosikan, aku juga menentang dan menolaknya. Kini aku menyadari bahwa budaya tradisional yang telah ditanamkan dalam diriku oleh Iblis itu bertentangan dengan Tuhan. Itu membuat orang-orang menyimpang dari Tuhan, mengkhianati-Nya dan akhirnya menghadapi pemusnahan, sama seperti Iblis. Ketika menyadari bahwa Iblis telah menggunakan budaya tradisional untuk merusakku, aku bersedia mengubah jalanku dan melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan.

Malam itu, selama waktu teduh, aku melihat bagian ini: "Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan serta mengejar kebenaran dan keselamatan, waktu dan tenaga yang tersisa dalam hidupmu harus digunakan untuk melaksanakan tugasmu dan melakukan apa pun yang telah Tuhan percayakan kepadamu; engkau tidak boleh menghabiskan waktumu untuk anak-anakmu. Hidupmu bukanlah milik anak-anakmu, dan hidupmu tidak boleh dihabiskan untuk kehidupan atau kelangsungan hidup mereka, ataupun untuk memenuhi pengharapanmu terhadap mereka. Sebaliknya, waktu dan tenagamu harus didedikasikan untuk kewajiban dan tugas yang telah Tuhan berikan kepadamu, serta misi yang harus kaulaksanakan sebagai makhluk ciptaan. Di sinilah letak nilai dan makna hidupmu. Jika engkau bersedia kehilangan martabatmu sendiri dan menjadi budak bagi anak-anakmu, mengkhawatirkan mereka, dan melakukan apa pun untuk mereka agar dapat memenuhi pengharapanmu terhadap mereka, semua ini tidak ada artinya dan tidak ada nilainya, dan itu tidak akan diingat. Jika engkau bersikeras melakukannya dan tidak melepaskan gagasan serta tindakan ini, itu hanya berarti bahwa engkau bukanlah orang yang mengejar kebenaran, bahwa engkau bukanlah makhluk ciptaan yang layak, dan bahwa engkau sangat memberontak. Engkau tidak menghargai kehidupan ataupun waktu yang diberikan Tuhan kepadamu. Jika hidupmu dan waktumu dihabiskan hanya untuk dagingmu serta kasih sayangmu, dan bukan untuk tugas yang telah Tuhan berikan kepadamu, berarti hidupmu tidak diperlukan dan tidak ada nilainya. Engkau tidak layak untuk hidup, engkau tidak layak untuk menikmati kehidupan yang telah Tuhan berikan kepadamu, dan engkau tidak layak untuk menikmati semua yang telah Tuhan berikan kepadamu. Tuhan memberimu anak-anak hanya agar engkau dapat menikmati proses membesarkan mereka, untuk memperoleh pengalaman hidup dan pengetahuan darinya sebagai orang tua, agar engkau dapat mengalami sesuatu yang istimewa dan luar biasa dalam kehidupan manusia, dan kemudian agar keturunanmu bertambah banyak .... Tentu saja, itu juga untuk memenuhi tanggung jawab makhluk ciptaan sebagai orang tua. Inilah tanggung jawab yang Tuhan tetapkan untuk kaupenuhi terhadap generasi berikutnya, serta peranmu sebagai orang tua bagi generasi berikutnya. Di satu sisi, ini bertujuan agar engkau dapat menjalani proses yang luar biasa dalam membesarkan anak, dan di sisi lain, ini bertujuan agar engkau berperan dalam memperbanyak generasi berikutnya. Setelah kewajiban ini dipenuhi, dan anak-anakmu bertumbuh menjadi orang dewasa, entah mereka menjadi orang yang sangat sukses atau tetap menjadi orang biasa, tidak menonjol, dan sederhana, itu tidak ada hubungannya denganmu, karena nasib mereka tidak ditentukan olehmu, juga tidak dipilih olehmu, dan tentu saja, itu bukan diberikan olehmu, melainkan ditentukan oleh Tuhan. Karena nasib mereka ditentukan oleh Tuhan, engkau tidak boleh mencampuri atau ikut campur dalam kehidupan atau kelangsungan hidup mereka. Kebiasaan, rutinitas sehari-hari, dan sikap mereka terhadap kehidupan, apa pun strategi bertahan hidup yang mereka miliki, apa pun pandangan hidup mereka, apa pun sikap mereka terhadap dunia, semua ini adalah pilihan mereka sendiri, dan itu bukanlah urusanmu. Engkau tidak berkewajiban untuk mengoreksi mereka atau menanggung penderitaan apa pun mewakili mereka untuk memastikan agar mereka bahagia setiap hari. Semua hal ini tidak perlu. ... Oleh karena itu, sikap orang tua yang paling rasional setelah anak-anak mereka menjadi dewasa adalah melepaskan, membiarkan anak-anak mereka menjalani hidup mereka sendiri, membiarkan anak-anak mereka hidup secara mandiri, serta menghadapi, menangani, dan menyelesaikan berbagai tantangan dalam hidup secara mandiri. Jika mereka mencari bantuan darimu dan engkau memiliki kemampuan serta kondisi untuk melakukannya, tentu saja engkau boleh menolong dan memberi bantuan yang diperlukan. Namun, syaratnya adalah, apa pun bantuan yang kauberikan, baik itu bersifat finansial maupun psikologis, bantuan tersebut hanyalah sementara dan tidak dapat mengubah masalah penting apa pun. Mereka harus menempuh jalan hidup mereka sendiri, dan engkau tidak berkewajiban untuk menanggung setiap urusan mereka atau konsekuensinya. Inilah sikap yang seharusnya orang tua miliki terhadap anak-anak mereka yang sudah dewasa" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Firman Tuhan telah menjelaskan bagaimana seharusnya orang tua memandang tanggung jawabnya sebagai orang tua. Saat anak-anak kita masih kecil, kita bertanggung jawab untuk membesarkan mereka dengan baik. Namun, setelah mereka dewasa, kita harus membiarkan mereka hidup mandiri, dan menghabiskan waktu kita untuk melaksanakan tugas kita sebagai makhluk ciptaan. Jika kita mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk anak-anak dan keluarga kita, kita akan kehilangan makna iman dan akan menjadi tidak layak untuk hidup di hadapan Tuhan. Tuhan telah memberiku keluarga dan anak-anak agar aku dapat memperoleh pengalaman hidup dalam proses membesarkan anak-anakku. Ini termasuk tanggung jawabku untuk membesarkan anak-anakku dan juga peranku dalam memastikan kelanjutan hidup masyarakat kita. Jika aku membesarkan anak-anakku dengan baik, berarti aku sudah memenuhi tanggung jawabku. Selain itu, nasib anak-anakku ada di tangan Tuhan. Sebanyak apa pun materi dan kekayaan yang kupersiapkan untuk anak-anakku, aku tak akan bisa mengubah nasib mereka. Ada orang tua yang membesarkan anak-anak mereka, tetapi tidak mampu membantu anak-anak mereka memulai keluarga dan karier, tetapi anak-anak itu tetap bisa menjalani hidup dengan baik. Sebaliknya, ada orang tua yang bekerja keras menghasilkan uang untuk membantu anak-anak mereka agar bisa hidup mapan, tetapi segala sesuatunya tetap tidak berjalan seperti yang mereka harapkan. Contohnya adalah aku. Ayahku tidak meninggalkan rumah ataupun uang untukku, tetapi aku tetap bisa menikah. Aku juga tidak memberi putraku banyak uang ataupun properti, tetapi dia tetap bisa lulus, mendapat pekerjaan dan mampu menghasilkan uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Putriku mungkin sakit, tetapi masa depannya ada di tangan Tuhan, dan aku tidak memiliki kendali nyata atas hal itu. Sekarang aku punya banyak tanggung jawab sebagai seorang pemimpin di gereja, tetapi aku masih punya banyak kekurangan, dan masih ada banyak prinsip kebenaran yang harus kupelajari. Jadi, aku harus mencurahkan lebih banyak waktu untuk tugasku, mengandalkan Tuhan dan mencari kebenaran di bidang yang tidak kupahami, serta lebih banyak bersekutu dengan saudara yang menjadi rekan kerjaku agar dapat melaksanakan tugasku dengan baik. Saat aku masih membagi waktu antara keluarga dan tugasku, berbagai urusan keluarga menyita banyak waktu dan tenaga. Sekarang setelah aku meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasku, aku bertanggung jawab atas beberapa gereja serta dihadapkan dengan banyak orang dan situasi. Semua ini adalah kesempatan yang bagus untuk memperoleh kebenaran. Jika aku tidak mengambil kesempatan itu untuk memperoleh kebenaran dari situasi ini, mungkin aku tidak akan mendapat kesempatan lain. Sekarang ada begitu banyak pekerjaan yang harus kulaksanakan setiap hari. Ketika ada sesuatu yang tidak kupahami, aku berdoa kepada Tuhan, mencari dan bersekutu. Di lingkungan yang seperti ini, aku punya banyak kesempatan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Aku merasa damai dan tenang serta tak lagi mengkhawatirkan anak-anakku. Aku bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan untuk melaksanakan tugas ini.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait