Aku Tak Lagi Bekerja demi Uang

17 April 2024

Oleh Saudari Weixiao, Tiongkok

Saat aku masih kecil, keluargaku sangat miskin. Kami diremehkan semua kerabat dan tetangga kami, dan anak-anak tetangga kami tak mau bermain denganku. Aku ingat bahwa suatu ketika, dengan riang, aku pergi untuk melihat apakah anak tetanggaku mau bermain, tetapi saat aku hampir sampai di pintu masuk rumahnya, tiba-tiba dia menutup pintu. Kejadian ini melekat di memori masa kecilku bagaikan perangko. Harga diriku sangat terluka karena itu. Saat aku mulai bersekolah, guru-guru dan teman-teman sekelasku juga meremehkanku. Ketika aku melihat bahwa anak-anak dari keluarga lain memiliki tas ransel dan tempat pensil yang bagus serta pakaian yang bagus, dan menyadari bahwa aku tak memiliki semua itu, yang kupikirkan setiap hari adalah alangkah baiknya jika keluargaku dapat memiliki uang sebanyak keluarga lainnya. Dengan begitu, orang-orang tak akan meremehkanku. Saat aku berusia 10 tahun, keluargaku terlilit banyak utang karena kecelakaan lalu lintas, dan ayahku pergi meminjam uang dari kerabatku. Karena kami miskin, mereka tak berani meminjamkan uang pada kami. Setelah itu, ayahku menjadi sangat muram sampai-sampai dia sering menghela napas putus asa, dan dia sering berkata padaku, "Kita diremehkan kerabat dan tetangga kita karena kita tak punya uang. Saat kau dewasa nanti, kau harus membawa kehormatan bagi keluarga kita; orang-orang hanya akan menghormatimu jika kau menghasilkan banyak uang." Perkataan ayahku dan memori ketika aku ditindas saat masih kecil terukir di dalam benakku, dan aku bertekad untuk menghasilkan banyak uang saat aku dewasa nanti, menjalani hidup yang berkecukupan, menyingkirkan label "orang miskin" dari diriku untuk selamanya, dan membuat semua orang yang pernah meremehkanku itu memperhatikan.

Pada tahun 1996, ayahku mulai bekerja sebagai perantara di bisnis ekspedisi kargo. Beberapa tahun setelahnya, bisnis keluarga kami makin berkembang. Tak hanya melunasi utang kami, kami juga membeli sebuah truk kargo, telepon dan perangkat seluler. Setelah keluarga kami mendapatkan uang, kerabat dan tetangga yang dahulu pernah meremehkan kami mulai datang mengunjungi kami. Ke mana pun kami pergi, kami dihormati oleh orang lain. Akhirnya, aku dapat berjalan dengan percaya diri. Bahkan itu membuatku makin yakin bahwa untuk hidup di dunia ini, orang harus menghasilkan banyak uang. Hanya jika orang memiliki uang, orang lain akan menghormatinya. Melalui apa yang kulihat dan kudengar di sekitarku, secara berangsur-angsur aku mempelajari cara untuk mengelola bisnis. Pada tahun 1999, saat aku bersiap-siap untuk mencurahkan seluruh tenagaku pada bisnis, keselamatan dari Tuhan di akhir zaman datang padaku. Pada awalnya, aku sangat bersemangat dalam kepercayaanku kepada Tuhan. Aku melihat bahwa banyak orang masih belum datang ke hadapan Tuhan, jadi aku bergabung dengan para pengabar Injil. Setelah itu, aku sering pergi untuk mengabarkan Injil, yang menghambat bisnis keluargaku. Keluargaku mulai memarahiku, dengan berkata, "Mengapa kau percaya kepada Tuhan di usia semuda ini? Jika kau terus berpergian, kami tak akan memberimu uang belanja." Aku berpikir, "Jika aku tak punya uang, bukankah aku harus menanggung diskriminasi dari orang-orang seperti saat aku masih kecil?" Pada akhirnya, aku tidak mengalahkan godaan ini dan berhenti melaksanakan tugasku, dan aku hanya menghadiri pertemuan sesekali. Karena pekerjaanku makin sibuk, hatiku makin jauh dari Tuhan. Kemudian, ayahku mengalihkan manajemen seluruh bisnis kepadaku, dan aku memiliki karierku sendiri di awal usia 20-an. Aku sangat senang saat itu. Untuk mengumpulkan banyak uang dan menjadi wanita karier yang sukses, aku memeras otakku setiap hari agar bisa berhubungan dengan berbagai penyuplai yang baik. Siang dan malam, aku mendapat lebih banyak telepon dari yang bisa kujawab. Saat aku haus, aku tak sempat meminum air, dan saat tenggorokanku serak, aku enggan beristirahat. Lewat kerja kerasku ini, akhirnya aku mengumpulkan hampir 100.000 yuan. Meskipun selama beberapa tahun itu aku lebih menderita daripada orang biasa, melihat dompetku yang berangsur-angsur menebal, usaha ini sepadan.

Kemudian, aku melihat bahwa kebanyakan klien yang datang ke rumahku untuk membahas bisnis mengendarai mobil dan tinggal di gedung bertingkat, sedangkan aku menyewa rumah tua berkamar dua yang menghadap ke jalan. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang kaya ini. Aku berkata pada diriku sendiri, "Ini belum cukup. Aku harus terus bekerja keras dan berjuang agar suatu hari nanti aku bisa mengendarai mobil, hidup di apartemen bertingkat, dan memiliki perusahaanku sendiri." Agar dapat memenuhi keinginanku secepat mungkin, aku bahkan menjadi lebih sibuk daripada sebelumnya. Di tahun-tahun itu, aku hampir tak pernah tidur dengan nyenyak di malam hari dan sering sangat kelelahan. Aku mulai menderita sakit kepala tipe tegang di usia yang masih muda. Saat sakit kepala ini melanda, rasanya seperti ditusuk-tusuk sekumpulan jarum. Selain itu, aku sering mual dan muntah akibat radiasi dari komputer dan ponselku. Untuk meringankan rasa sakit, aku mencubit kulit kepalaku dengan keras menggunakan kukuku, atau menghantamkan kepalaku ke dinding, namun cara-cara ini tak meredakan rasa sakitku sedikit pun. Saat kepalaku sangat sakit hingga aku tak bisa menahannya lagi, aku berpikir untuk pergi memeriksakan diri ke rumah sakit, namun aku melihat semua lembaran uang 100 yuan yang mengisi dompetku, dan aku tak bisa melakukannya. "Lupakan," pikirku, "kesempatan untuk menghasilkan uang itu langka sekarang. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini dan menghasilkan lebih banyak uang selagi aku masih muda." Beberapa tahun kemudian, kami memiliki mobil dan rumah, juga sudah mendaftarkan perusahaan pengangkutan kontainer. Setiap kali aku mengendarai mobilku ke perusahan lain untuk membicarakan bisnis, para bos melihatku dengan pandangan setuju, dan memujiku karena telah memiliki karierku sendiri dia usia semuda itu. Mereka berkata bahwa aku memiliki kemampuan yang hebat. Banyak klien sering memanggilku "manajer" saat mereka melihatku, dan teman-temanku memujiku karena menjadi wanita yang sukses. Saat liburan, kami sekeluarga mengendarai mobil ke rumah kami di pedesaan. Ada banyak tetangga kami yang datang untuk melihat kami, dan mereka berkata bahwa orang tua suamiku beruntung karena memiliki menantu secakap aku. Aku sangat puas dengan diriku sendiri saat mendengar kata-kata pujian ini. Selama beberapa tahun itu, setiap harinya, aku memikirkan cara untuk menghasilkan lebih banyak uang, dan aku makin apatis terhadap iman kepada Tuhan. Terkadang, saat aku tidak ikut serta dalam pertemuan, saudari-saudari datang mencariku. Namun, aku benar-benar tak berada dalam kondisi mental yang baik untuk mendengarkan persekutuan mereka. Tekadang, meskipun aku menghadiri pertemuan, aku masih terus memikirkan masalah bisnis. Meskipun aku begitu sibuk setiap harinya, bisnisku tak berjalan semulus yang telah kubayangkan. Kecelakaan lalu lintas terjadi satu per satu, dan banyak klien terlambat membayar biaya pengangkutan mereka. Dalam beberapa tahun itu, kami merugi lebih dari ratusan ribu yuan. Untuk mengumpulkan kembali uang kami yang telah hilang itu, aku bahkan menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga daripada sebelumnya. Dengan beban kerja yang ekstrem setiap harinya, tubuhku sangat kelelahan, dan sakit kepalaku menjadi makin parah. Setiap hari, aku merasa lebih baik aku mati saja. Sejak kami mulai memiliki uang, suamiku pergi ke luar setiap hari untuk mencari kesenangan dan tidak pulang semalaman. Bahkan dia berjudi dan menghamburkan banyak uang. Kami bertengkar setiap hari karena hal ini, dan wajahku sering memerah karena menangis sepanjang hari. Aku merasa bahwa kehidupanku begitu menyakitkan. Aku merasa sangat tak berdaya, dan juga sangat bingung. Kini, aku sudah mewujudkan impianku. Aku memiliki mobil, rumah, dan perusahaan. Namun, mengapa aku tidak merasa bahagia sedikit pun? Sebenarnya apa yang terjadi? Saat aku merasa kesakitan dan tak berdaya, aku teringat akan buku tentang firman Tuhan yang telah kuletakkan di kantorku sebelumnya. Aku membuka bab yang berjudul "Keluhan Yang Mahakuasa" dan mulai membaca. Saat itu, kantorku sangat sepi, dan aku terus membaca dari awal. Saat aku membaca bagian terakhir, firman Tuhan menyentuh hatiku. Tuhan berfirman: "Umat manusia, setelah meninggalkan perbekalan kehidupan Yang Mahakuasa, tidak mengetahui tujuan keberadaan mereka, tetapi tetap takut akan kematian. Mereka tanpa bantuan atau dukungan, tetapi tetap enggan menutup mata mereka, dan mereka menguatkan diri untuk menjalani keberadaan mereka yang hina di dunia ini, sekarung daging tanpa kesadaran pada jiwa mereka sendiri. Engkau hidup dengan cara ini, tanpa harapan, seperti halnya dengan orang lain, tanpa tujuan. Hanya Yang Mahakudus dari legenda yang akan menyelamatkan mereka yang mengerang di tengah penderitaan dan sangat mendambakan kedatangan-Nya. Sejauh ini, keyakinan seperti itu belum terwujud dalam diri mereka yang kurang memiliki kesadaran. Kendati demikian, orang-orang tetap merindukannya. Yang Mahakuasa berbelas kasihan kepada orang-orang yang sudah sangat menderita ini; pada saat yang sama, Dia sangat membenci orang-orang yang tidak memiliki kesadaran ini, karena Dia harus menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawaban dari umat manusia. Dia ingin mencari, mencari hati dan rohmu, untuk membawakanmu air dan makanan, serta membangunkanmu, agar engkau tidak akan haus dan lapar lagi. Ketika engkau letih dan ketika engkau mulai merasakan adanya ketandusan yang suram di dunia ini, jangan kebingungan, jangan menangis. Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Penjaga, akan menyambut kedatanganmu setiap saat. Dia berjaga di sisimu, menantikanmu untuk berbalik. Dia menantikan hari ketika engkau tiba-tiba memperoleh kembali ingatanmu: ketika engkau menyadari bahwa engkau berasal dari Tuhan, bahwa, entah kapan, engkau kehilangan arah, entah kapan, engkau kehilangan kesadaran di jalan, dan entah kapan, engkau mendapatkan seorang 'bapa'; selanjutnya, ketika engkau menyadari bahwa Yang Mahakuasa selama ini selalu mengamati, menantikan di sana sangat lama untuk kedatanganmu kembali. Dia telah mengamati dengan kerinduan yang memilukan, menunggu respons tanpa jawaban. Penjagaan dan penantian-Nya begitu tak ternilai, dan semua itu adalah demi hati manusia dan roh manusia. Mungkin penjagaan dan penantian ini tidak berbatas waktu, dan mungkin semua itu sudah berakhir. Namun, engkau harus tahu persis di mana hati dan rohmu berada saat ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keluhan Yang Mahakuasa"). Saat aku membaca kata-kata "menunggu respons tanpa jawaban", hatiku yang telah tidur lelap tiba-tiba terbangun. Dan aku mulai merenung, "Siapa yang mampu menunggu respons tanpa jawaban? Hanya Tuhan! Hanya Tuhan yang selalu tinggal di sisi manusia dalam diam seperti ini." Firman Tuhan menghibur hatiku yang terluka, dan air mataku tak bisa berhenti berlinang. Pada saat itu, aku merasa bahwa hatiku sangat dekat dengan Tuhan. Selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, aku tak pernah membaca firman Tuhan dengan serius, dan otakku selalu penuh dengan pikiran tentang cara untuk menghasilkan lebih banyak uang dan membuat orang-orang menghormatiku. Setiap hari, aku memaksa tubuhku yang sudah lelah untuk mengelola bisnis. Pada akhirnya, aku memperoleh begitu banyak kenikmatan materi dan rasa hormat dari orang lain, namun yang kudapat justru suamiku berkhianat berulang kali, dan juga penyakit. Aku tak pernah merasakan kebahagiaan sedikit pun. Sebaliknya, aku merasa kosong, kesakitan, dan tak berdaya. Semua rasa sakit ini terjadi karena aku menjauhkan diri dan bersembunyi dari kepedulian dan perlindungan Tuhan. Sepuluh tahun yang lalu, aku mendengar suara Tuhan, tetapi aku tidak menghargai kasih karunia penyelamatan-Nya atau makan dan minum firman-Nya dengan benar, juga tidak mulai melaksanakan tugasku. Aku sangat memberontak, namun Tuhan tak meninggalkanku, dan selalu tinggal di sisiku, menunggu hatiku untuk berubah. Ketika aku bingung dan tak berdaya, firman Tuhan segera menghibur hatiku yang terluka. Ketika aku tidak menghadiri pertemuan dengan teratur dan menjauh dari Tuhan, Dia membuat saudari-saudari membantuku lagi dan lagi, namun aku tak bersyukur dan menolak. Aku berulang kali menolak keselamatan dari Tuhan terhadapku. Aku benar-benar tak punya hati nurani atau nalar. Makin kupikirkan, makin aku menyesal dan menyalahkan diriku sendiri. Sambil menangis, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku salah. Aku benci karena dahulu aku tak membaca firman-Mu dengan saksama dan malah mencurahkan segenap hatiku untuk menghasilkan uang. Kupikir jika aku memiliki uang, aku akan memiliki segalanya. Namun, setelah aku mendapatkan uang dan kenikmatan materi, aku benar-benar merasa sangat kosong, kesakitan, dan tak berdaya. Tuhan, jalan yang kupilih sebelumnya adalah jalan yang salah. Mulai saat ini, aku ingin mengejar kebenaran dan menempuh jalan percaya kepada Tuhan lagi." Setelah berdoa, aku merasa sangat tenang dan damai. Aku bagaikan kapal yang sendirian di tengah laut dan menemukan pelabuhan untuk memasang jangkarku, bagaikan seorang anak hilang yang kembali ke pelukan ibunya setelah berkelana selama bertahun-tahun. Aku merasakan rasa aman yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Setelah itu, setiap ada pertemuan, aku selalu menjadwalkan bisnisku lebih awal. Berangsur-angsur, aku mampu merasa tenang saat aku ikut serta dalam pertemuan, dan biasanya aku dapat meluangkan waktu untuk membaca firman Tuhan dan melaksanakan tugasku di gereja. Namun, terkadang saat urusan bisnisku bertepatan dengan tugasku, aku memilih bisnisku dan menunda tugasku meskipun aku tak ingin melakukannya. Karena hal ini, aku tersiksa di dalam hati. Terkadang, aku juga berpikir, "Kapan aku akan mampu tak terpengaruh dari bisnisku dan melaksanakan tugasku dengan damai?" Saat aku melihat bahwa banyak saudara-saudari mampu meninggalkan keluarga mereka dan melepaskan karier mereka untuk menyebarkan Injil, hatiku sangat tersentuh. Aku berpikir bahwa kami semua sama-sama manusia, jadi jika saudara-saudari dapat membuang kekhawatiran mereka dan mengorbankan diri mereka demi Tuhan, lalu mengapa aku tak bisa membuangnya? Aku sangat berharap bahwa suatu hari, aku akan mampu mencurahkan diriku dengan sepenuh hati dalam melaksanakan tugasku. Alangkah baiknya itu! Aku mengulangi pikiran ini lagi dan lagi kepada Tuhan di dalam doaku, berharap bahwa Tuhan akan memberiku lebih banyak iman dan mengizinkan tiba harinya di mana aku mampu melepaskan bisnisku dan mengorbankan diriku untuk-Nya dengan sepenuh hati.

Pada musim panas di tahun 2011, sakit kepalaku menjadi makin parah. Aku sungguh tak bisa menahannya lagi, jadi aku pergi ke rumah sakit kota untuk diperiksa. Dokter berkata padaku, "Sakit kepalamu mungkin berkaitan dengan pekerjaan yang sedang kaulakukan saat ini. Jika kau ingin memperbaiki kondisimu, cara terbaiknya adalah dengan tidak melakukan bisnis ini lagi. Jika tidak, kondisimu akan menjadi makin parah." Setelah mendengar perkataan dokter, jelas bagiku bahwa ini adalah jalan keluar yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberi tahu keluargaku bahwa aku tak dapat berbisnis lagi, namun aku tak mampu membulatkan tekadku, karena sudah 10 tahun aku bersusah payah dan mengelola ini demi mendapatkan hasil yang sekarang. Selain itu, bisnis sedang berkembang di tahun itu, dan terkadang kami bisa mendapatkan 5.000 atau 6.000 yuan dalam sehari. Jika aku berhenti, para klien yang memiliki kontrak denganku selama bertahun-tahun ini akan direbut oleh perusahaan lainnya di industri ini. Pada akhirnya, aku tak mampu mengalahkan godaan uang, dan aku menanggung siksaan penyakitku demi bertahan dengan pekerjaanku selama beberapa bulan lagi. Meskipun aku mendapat banyak uang, aku tak bahagia sama sekali, dan aku teringat akan saat itu, saat aku berdoa kepada Tuhan dan bersedia untuk melepaskan bisnisku dan mengorbankan diriku untuk-Nya. Namun kini, aku masih mempertahankan uang dan tak melepaskannya. Aku merasa bersalah di dalam hati. Jadi, aku kembali berdoa kepada Tuhan, memohon kepadanya untuk membantuku melepaskan bisnisku dan mengorbankan diriku untuk-Nya. Suatu hari, aku melihat firman Tuhan yang berbunyi: "Seandainya Aku menaruh sejumlah uang di hadapanmu sekarang ini dan memberimu kebebasan untuk memilih—dan seandainya Aku tidak menghukummu karena pilihanmu—maka sebagian besar darimu akan memilih uang dan meninggalkan kebenaran. Orang yang lebih baik di antaramu akan meninggalkan uang dan memilih kebenaran dengan enggan, sedangkan mereka yang berada di tengah-tengah akan merebut uang itu dengan satu tangan dan kebenaran dengan tangan yang lain. Bukankah dengan demikian karakter aslimu akan terbukti dengan sendirinya? Ketika memilih antara kebenaran dan apa pun yang kepadanya engkau semua setia, engkau akan membuat pilihan ini, dan sikapmu akan tetap sama. Bukankah demikian halnya? Bukankah banyak di antaramu yang maju mundur antara benar dan salah? Dalam pertandingan antara positif dan negatif, hitam dan putih, engkau semua tentu sadar akan pilihan-pilihan yang sudah engkau buat antara keluarga dan Tuhan, anak-anak dan Tuhan, perdamaian dan perpecahan, kekayaan dan kemiskinan, status tinggi dan status biasa, didukung dan disisihkan, dan sebagainya. Antara keluarga yang tenteram dan berantakan, engkau semua memilih yang pertama, dan engkau memilihnya tanpa keraguan; antara kekayaan dan tugas, lagi-lagi engkau memilih yang pertama, tanpa sedikit pun keinginan untuk mengubah pilihanmu; antara kemewahan dan kemiskinan, engkau semua memilih yang pertama; ketika memilih antara anak-anak lelaki, anak-anak perempuan, istri atau suami, dan Aku, engkau memilih yang pertama; dan antara gagasan dan kebenaran, sekali lagi engkau memilih yang pertama. Diperhadapkan pada segala macam perbuatanmu yang jahat, Aku sama sekali kehilangan kepercayaan kepadamu. Sungguh-sungguh mengejutkan bagi-Ku bahwa hatimu begitu melawan untuk dilembutkan. Tahun-tahun penuh dedikasi dan upaya tampaknya tidak membawa apa-apa bagi-Ku selain engkau semua meninggalkan-Ku dan sikap putus asamu, tetapi harapan-Ku terhadapmu semakin bertumbuh setiap hari, karena hari-Ku sudah sepenuhnya disingkapkan di hadapan semua orang. Namun, engkau semua berkeras hati mencari hal-hal yang gelap dan jahat, dan menolak untuk melepaskan hal-hal tersebut. Lalu, akan seperti apa kesudahanmu? Pernahkah engkau semua memperhatikan hal ini dengan saksama? Jika engkau semua diminta untuk memilih kembali, apa pendirianmu nanti? Akankah masih yang pertama? Apakah engkau semua masih akan mendatangkan kekecewaan dan kesedihan yang memilukan bagi-Ku? Apakah hatimu masih akan memiliki hanya sedikit kehangatan? Apakah engkau semua masih tidak sadar akan apa yang harus engkau semua lakukan untuk menghibur hati-Ku? Pada saat ini, apa yang akan engkau semua pilih? Akankah engkau semua tunduk pada firman-Ku ataukah menjadi sangat membencinya?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Kepada Siapakah Engkau Setia?"). Saat dihadapkan dengan pertanyaan Tuhan, aku pun mulai merenung. Aku teringat akan bagaimana aku berdoa kepada Tuhan berkali-kali, berkata bahwa aku bersedia meninggalkan bisnisku dan akan selalu mengorbankan diriku untuk-Nya. Namun, saat aku melihat penghasilan harianku sebesar ribuan yuan, aku tak lagi bersedia untuk meninggalkannya. Bukankah aku menipu Tuhan? Aku menyadari bahwa meskipun aku percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun ini, aku telah menghabiskan sebagian besar waktu dan tenagaku untuk berbisnis. Otakku penuh dengan pikiran tentang cara agar aku dapat menghasilkan lebih banyak uang, dan aku tak pernah menghargai tugas yang seharusnya kulaksanakan. Setiap kali ada ketidakcocokan di antara tugasku dan bisnisku, aku selalu memilih untuk memuaskan urusan bisnis terlebih dahulu, mengesampingkan tugasku, dan tidak menganggapnya serius. Beberapa tahun ini, aku benar-benar menjadi budak uang agar dapat menonjol di antara rekan-rekanku. Setiap hari, aku berjuang dalam kekosongan dan kesakitan, aku tenggelam makin dalam. Meskipun aku memberontak terhadap Tuhan lagi dan lagi, Dia tak pernah berhenti menyelamatkanku. Saat aku tak dapat ikut serta dalam pertemuan demi bisnisku, Dia mengatur agar saudari-saudari mendukung dan membantuku. Saat aku menghadapi pengkhianatan suamiku, tantangan pada bisnisku, dan juga penyakitku, dan saat aku hidup dalam rasa sakit dan tak berdaya, Tuhan menggunakan firman-Nya untuk menuntun dan membimbingku, dan memungkinkanku untuk mendambakan terang dan memiliki kehendak untuk mengejar kebenaran dengan benar. Saat aku tak mau melepaskan bisnisku, Tuhan menggunakan perkataan dokter untuk menasihatiku. Dia selalu cemas dan khawatir tentang hidupku, dan telah berusaha sekeras itu demi diriku, tetapi aku terus saja memikirkan cara untuk menghasilkan lebih banyak uang dan tidak memikirkan tugasku sama sekali. Aku benar-benar sangat egois! Sekarang, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melaksanakan tugasku, dan aku harus menghargainya. Aku harus mengorbankan diriku untuk menyebarkan Injil Kerajaan dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Setelah aku membuat keputusan, terjadi beberapa peristiwa yang tak terduga, yang membuatku mengerti bahaya dan akibat dari mengejar kekayaan hingga taraf tertentu.

Suatu hari di musim dingin tahun 2011, seseorang mengancam suamiku lewat telepon, katanya kami telah menyinggung seseorang, dan meminta suamiku untuk mengirim 100.000 yuan kepadanya untuk memastikan keamanan suamiku. Jika tidak, dia akan memotong tangan serta kaki suamiku. Mendengar kata-kata ini, jantungku mulai berdebar ketakutan. Aku hanya pernah melihat adegan seperti itu di TV sebelumnya, dan tak pernah menyangka bahwa aku akan mengalaminya secara langsung di kehidupan nyata. Mengapa sekarang dunia sekacau itu? Bagaimana bisa hati manusia sejahat itu? Saat itu, tiba-tiba aku berpikir, jika aku terus menjalankan bisnis ini, ini sungguh akan menyebabkan bencana yang fatal. Aku menyadari bahwa sejak keluargaku memiliki uang, tak sehari pun kujalani dengan damai, dan sekarang aku menghadapi kemalangan yang tak terduga ini. Uang tak membawa kebahagiaan dan sukacita. Kemudian, aku mendengar kabar berturut-turut bahwa beberapa sopir truk yang mengirimkan barang ke rumah kami meninggal akibat kecelakaan mobil. Saat mendengar berita tentang kematian mereka, aku sungguh tak menyangka bahwa berita itu benar. Di antara mereka, yang paling muda baru berusia 20-an, dan yang paruh baya masih berusia 40-an. Yang meninggalkan kesan terdalam padaku adalah sepasang suami istri yang tak mempekerjakan sopir demi menghasilkan lebih banyak uang dan bekerja siang dan malam. Pada akhirnya, mereka mengalami kecelakaan mobil akibat kelelahan, dan pasangan suami istri tersebut meninggal. Meskipun mereka mendapatkan uang, mereka kehilangan nyawa mereka saat melakukannya. Apa gunanya uang itu bagi mereka? Aku teringat akan firman Tuhan Yesus: "Karena apa untungnya jika seseorang mampu mendapatkan seluruh dunia, dan kehilangan jiwanya sendiri? Atau apa yang bisa diberikan seseorang sebagai ganti jiwanya?" (Matius 16:26). Jika memikirkan kembali tahun-tahun itu, saat aku mencurahkan segenap hatiku untuk menaiki tangga sosial, setiap hari, aku bekerja siang dan malam seperti mesin. Walaupun aku menghasilkan uang dan juga memperoleh pujian, serta dihormati oleh orang-orang, aku tidak mendapatkan sukacita atau kenikmatan darinya, dan aku justru merasa makin kosong dan kesakitan. Demi mendapatkan uang, aku mulai terserang penyakit, dan saat kepalaku begitu sakit hingga aku ingin menghantamkannya ke dinding, aku masih enggan berhenti mengumpulkan uang. Aku menyadari bahwa uang membuatku terikat. Uang itu bagaikan pisau yang membunuh orang dengan kejam. Jika aku tetap mencoba menghasilkan uang sekeras sebelumnya, mungkin suatu hari, aku akan disiksa hingga mati oleh uang seperti orang-orang ini. Setelah ini, aku benar-benar tidak akan menyerahkan hidupku demi uang lagi. Aku berpikir bahwa sekarang masih ada banyak orang yang tidak dapat memahami masalah ini dan masih berkecimpung dalam pusaran uang. Mereka tidak melihat arah hidup mereka dan tidak tahu caranya menjalani hidup yang bermakna. Aku ingin menyebarkan Injil Tuhan di akhir zaman kepada lebih banyak orang, untuk membantu orang agar dapat lebih cepat mendengar suara-Nya dan memahami kebenaran, dan agar tidak menderita kerusakan serta kerugian Iblis lagi. Aku memberi tahu keluargaku bahwa sekarang sakit kepalaku sangat parah, dan kelak aku tak akan bisa terlibat dalam urusan bisnis lagi. Keluargaku setuju dan mengizinkanku untuk memulihkan diri. Aku sangat senang. Aku berterima kasih dengan tulus kepada Tuhan karena telah memberiku jalan keluar.

Pada tahun 2012, setelah Festival Musim Semi, aku menyerahkan seluruh bisnis pada suamiku untuk dia kelola, dan aku dapat membaca firman Tuhan dan melaksanakan tugasku dengan damai. Aku merasa jiwaku sangat tenang dan damai. Keadaan mentalku juga berangsur-angsur membaik. Yang lebih menakjubkan lagi, sakit kepalaku sembuh dengan ajaibnya tanpa perawatan apa pun. Hatiku sangat tersentuh, dan aku tahu betul bahwa Tuhanlah yang menyembuhkan penyakitku dan membebaskanku dari siksaan akan penyakitku dan kehancuran rohku. Aku bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan benar dan membalas Tuhan atas kasih karunia penyelamatan-Nya. Saat suamiku melihat bahwa sakit kepalaku membaik, dia menekanku untuk kembali berbisnis, dan aku dengan jelas menyatakan kepadanya sikapku yang tidak ingin berbisnis lagi. Saat melihat bahwa aku tak mau mendengarkannya, dia mengancamku dengan perceraian dan berkata bahwa jika aku terus percaya kepada Tuhan, dia tak akan memberiku uang belanja. Melihat betapa kejamnya suamiku, aku begitu marah hingga seluruh tubuhku gemetar. Adegan ketika orang-orang meremehkanku saat aku masih kecil kembali muncul di benakku. Aku sungguh tak ingin menjalani kehidupan seperti itu lagi. Aku merasa sangat lemah. Jika aku tak percaya kepada Tuhan, aku dapat terus menikmati hidup dengan materi yang berlimpah dan rasa hormat dari orang lain. Jika aku memilih untuk terus melaksanakan tugasku, aku akan kehilangan semua yang kumiliki. Hatiku sangat sakit dan begitu tersiksa, dan air mata mengalir di wajahku tanpa henti. Di satu sisi ada tugasku, dan di sisi lain ada karier yang telah kukelola selama bertahun-tahun. Aku tak tahu bagaimana harus menentukan pilihan. Sambil menangis, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Saat ini aku sangat lemah, dan aku tak tahu apa yang harus kupilih. Jika aku bersikeras melaksanakan tugasku, aku akan kehilangan karierku dan keluargaku. Jika aku memilih keluargaku dan karierku lalu meninggalkan kepercayaanku kepada Tuhan dan pelaksanaan tugasku, aku akan menjadi orang yang tak memiliki hati nurani dan nalar. Tuhan, aku tak ingin meninggalkan-Mu. Jika Engkau tidak membimbingku langkah demi langkah hingga hari ini, aku tak akan menempuh jalan yang benar dalam kehidupan. Dahulu, aku tidak mengejar kebenaran dan tidak mengorbankan diriku untuk-Mu. Hari ini, aku tak bisa lagi mengecewakan perhatian-Mu. Aku ingin mengejar kebenaran dengan benar dan terus mengikuti-Mu ke depan. Tuhan! Mohon beri aku iman dan kekuatan untuk menentukan pilihan yang tepat." Setelah berdoa, aku membaca bagian dari firman Tuhan: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas hidupmu demi kesenangan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna. Jika engkau menjalani kehidupan yang vulgar dan tidak mengejar tujuan apa pun, bukankah engkau menyia-nyiakan hidupmu? Apa yang dapat engkau peroleh dari kehidupan semacam itu? Engkau harus meninggalkan seluruh kenikmatan daging demi satu kebenaran, dan jangan membuang seluruh kebenaran demi sedikit kenikmatan. Orang-orang seperti ini tidak memiliki integritas atau martabat; keberadaan mereka tidak ada artinya!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Setelah membaca firman Tuhan, aku merasa seolah Dia berkata kepadaku di depan mukaku: "Ke depannya, kau harus mengejar kebenaran dengan benar. Jangan menjalani kehidupan yang vulgar seperti yang kaujalani di masa lalu." Dahulu, aku tidak mengejar kebenaran, dan aku tidak cukup banyak membaca firman Tuhan. Aku menghabiskan waktu dan usahaku untuk melakukan bisnis, membuang-buang begitu banyak waktuku. Kini, aku harus menghargai waktu yang ada di depanku, dan tak peduli seperti apa pun keluargaku menahanku, aku tak dapat meninggalkan kesempatan yang bagus ini untuk mengejar kebenaran. Aku berkata pada suamiku, "Beberapa tahun ini, aku menderita penyakit karena berusaha menghasilkan uang. Jika aku tak percaya kepada Tuhan, aku pasti sudah lama mati. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, aku menempuh jalan yang terang dan benar. Kini, karena aku telah memilih jalan ini, aku harus mengikutinya hingga akhir. Kau tak percaya kepada Tuhan, tetapi kau tak bisa mengganggu kebebasanku." Melihat bahwa dia tak dapat menahanku, sejak saat itu, suamiku tak lagi menggangguku tentang hal ini. Setelah menentukan pilihan ini, hatiku terasa sangat bebas. Setelah itu, aku selalu melaksanakan tugasku.

Kemudian, saat aku melihat kenalanku mengendarai mobil mereka, Aku masih merasa agak kehilangan. Dahulu, saat aku berbisnis dan mengendarai mobil, orang-orang menghormatiku ke mana pun aku pergi. Sekarang, aku justru mengendarai sepeda listrik. Saat kenalan dan klienku di masa lalu melihatku, mereka tak mau menyapa, dan hampir semua orang yang kukenal memperlakukanku dengan dingin. Tak hanya kehilangan rasa hormat dan kemewahan yang dahulu kumiliki, aku juga menghadapi omelan keluargaku: "Kau bersusah payah selama lebih dari 10 tahun untuk berbisnis, dan kemudian menyerahkannya ke orang lain atas kemauanmu sendiri. Jika kau tidak berbisnis, kita lihat saja siapa yang akan tetap memberimu uang belanja di masa depan. Aku tak tahu apa sebenarnya yang kaupikirkan. Kau benar-benar sangat bodoh!" Kata-kata yang kasar dan cerdik ini membuatku merasa sangat terganggu. Di hari-hari itu, aku merasa tidak nyaman dan kurang bersemangat setiap hari. Aku berpikir, "Jika aku terus berbisnis, aku masih bisa membuat orang lain menghormatiku. Namun sekarang, tanpa bisnisku, jika kelak aku tak mempunyai uang, bagaimana aku bisa hidup?" Sebelum aku menyadarinya, aku terperangkap dalam godaan Iblis lagi, dan meskipun aku tak ingin melakukannya, aku mulai memikirkan rencana cadangan. Di malam yang benar-benar sunyi, aku sering gelisah dan tak bisa tidur. Aku mulai merenung, "Mengapa setiap kali aku berhadapan dengan godaan uang, ketenaran, dan status, hatiku selalu terasa terganggu?" Aku sangat ingin menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Kemudian, aku melihat bagian dari firman Tuhan ini: "'Uang membuat dunia berputar' adalah salah satu falsafah Iblis. Falsafah ini tersebar luas di antara semua manusia, di tengah setiap masyarakat; dapat dikatakan bahwa ini adalah sebuah tren. Ini karena pepatah itu telah tertanam di dalam hati setiap orang, yang awalnya tidak menerima pepatah ini, tetapi kemudian diam-diam menerimanya ketika mereka mulai berhubungan dengan kehidupan nyata, dan mulai merasa bahwa kata-kata ini sebetulnya benar. Bukankah ini sebuah proses bagaimana Iblis merusak manusia? ... Iblis menggunakan uang untuk mencobai manusia dan merusak mereka agar mereka memuja uang dan menghormati hal-hal materi. Lalu bagaimanakah pemujaaan terhadap uang ini terwujud dalam diri manusia? Apakah engkau semua merasa bahwa engkau tidak dapat bertahan hidup di dunia ini tanpa uang, bahwa satu hari saja tanpa uang tak mungkin bagimu? Status orang didasarkan pada berapa banyak uang yang mereka miliki dan begitu pula kehormatan mereka. Punggung orang miskin membungkuk malu, sementara orang kaya menikmati status tinggi mereka. Mereka berdiri tegak dan bangga, berbicara keras-keras dan hidup dengan congkak. Apa yang ditimbulkan oleh pepatah dan tren ini terhadap manusia? Bukankah banyak orang mengorbankan apa pun demi mendapatkan uang? Bukankah banyak orang kehilangan martabat dan kejujuran mereka demi mendapatkan lebih banyak uang? Bukankah banyak orang kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugas mereka dan mengikut Tuhan karena uang? Bukankah kehilangan kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan diselamatkan adalah kerugian terbesar bagi manusia? Bukankah Iblis itu jahat, menggunakan cara dan pepatah ini untuk merusak manusia sampai tingkat seperti itu? Bukankah ini tipu muslihat yang jahat? Ketika engkau berubah dari keberatan dengan pepatah populer ini hingga akhirnya menerimanya sebagai kebenaran, hatimu jatuh sepenuhnya ke dalam cengkeraman Iblis, dan karena itu tanpa kausadari, engkau mulai hidup berdasarkan pepatah itu" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik V"). Melalui apa yang firman Tuhan telah singkapkan, aku menemukan sumber penyebab mengapa aku tak pernah bisa terlepas dari belenggu uang dan ketenaran. Aku memikirkan kembali apa yang ayahku sering ajarkan padaku saat aku masih kecil, "Keluarga kita ini miskin, jadi saat sudah besar, engkau harus menghasilkan banyak uang dan membawa kehormatan bagi keluarga kita. Kita hanya akan dihormati orang jika kita punya uang." Kata-kata ayahku melekat di ingatanku. Aku berpikir bahwa selama beberapa tahun ini, racun Iblis seperti "Uang membuat dunia berputar" dan "Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, engkau tidak bisa melakukan apa pun" menentukan caraku menjalani hidupku. Aku percaya, hanya jika aku mempunyai uang, aku bisa berbicara dengan percaya diri dan dihormati oleh orang lain. Agar dapat dihormati oleh orang lain, aku bekerja tanpa lelah siang dan malam seperti robot penghasil uang. Saat aku lelah atau mengantuk, aku enggan beristirahat, dan saat aku sakit, aku enggan pergi ke dokter. Aku mencurahkan segenap hatiku untuk menghasilkan uang karena takut melewatkan urusan bisnis sedikit pun. Setiap kali terjadi ketidakcocokan di antara bisnisku dan pertemuan, aku mengurus masalah bisnis terlebih dahulu dan kemudian pergi ke pertemuan. Aku tak pernah mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasku terlebih dahulu, dan saat aku sibuk dengan bisnisku, aku tidak menghadiri pertemuan. Aku terjebak oleh uang dan tak dapat membebaskan diriku, dan aku menjadi makin serakah dan bobrok. Dari apa yang telah disingkapkan oleh firman Tuhan, akhirnya aku melihat dengan jelas motif jahat Iblis dalam menggunakan racun ini untuk menyakiti manusia. Iblis ingin memanfaatkan ambisi dan keinginan orang dalam mengejar uang dan ketenaran untuk menyakiti mereka dan menelan mereka bulat-bulat. Jika Tuhan tidak menyingkapkan motif jahat Iblis, akan benar-benar sulit bagiku untuk mengerti rencana liciknya, dan aku pasti terus hanyut di dalam pusaran uang, memberikan hidupku pada Iblis. Setelah mengalami ini, aku mengerti secara langsung bahwa sebanyak apa pun uang, rasa hormat dari orang lain, dan kenikmatan materi yang kumiliki, hatiku masih kosong dan kesakitan. Hidupku tak memiliki nilai atau makna sedikit pun. Jika aku masih tidak dapat melepaskan kepentingan di hadapanku dan menggenggam uang erat-erat, pada akhirnya, uang pasti akan menyiksaku hingga mati. Dalam hidup ini, aku cukup beruntung karena mengikuti Tuhan, dan telah mendengar firman Sang Pencipta dengan telingaku sendiri serta melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Ini merupakan hal yang paling bernilai dan bermakna di dalam hidupku. Aku tak dapat membuang kebenaran untuk mengejar kenikmatan materi dan rasa hormat dari orang lain. Sebaliknya, menyembah dan percaya kepada Tuhan adalah tujuan yang kukejar. Ini adalah saatnya perluasan besar-besaran Injil Kerajaan, dan sebagai makhluk ciptaan, aku harus memenuhi tanggung jawab dan tugasku, dan menyebarkan serta bersaksi bagi Injil, sehingga lebih banyak orang dapat diselamatkan oleh Tuhan. Inilah nilai dan makna hidupku. Setelah memahami kehendak Tuhan, aku tak lagi terpengaruh oleh uang. Saat aku pulang ke rumah orang tuaku, mereka tidak lagi memarahiku karena tidak berbisnis, dan bahkan terkadang mereka memberiku uang untuk biaya hidup. Aku tahu betul bahwa semua ini adalah anugerah dan belas kasihan dari Tuhan, dan aku sangat bersyukur kepadanya di dalam hatiku.

Aku berpikir bahwa di perjalanan ini, jika bukan karena bimbingan dari firman Tuhan, aku tidak akan terlepas dari kendali racun Iblis yang dikenal sebagai "Uang membuat dunia berputar", apalagi melepaskan bisnisku dan memilih untuk melaksanakan tugasku. Aku mengerti bahwa uang, ketenaran, status, mobil, rumah, dan lain-lain—semua hal materi itu cepat berlalu, seperti awan yang melayang. Hanya dengan mengejar kebenaran, hidup berdasarkan firman Tuhan, dan melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan, orang dapat menjalani hidup yang paling bermakna dan bernilai. Seperti yang Tuhan firmankan: "Ketika orang-orang menggeluti karier di dunia, yang mereka pikirkan hanyalah mengejar hal-hal seperti tren duniawi, gengsi dan keuntungan, serta kenikmatan daging. Apa maksudnya? Maksudnya, tenaga, waktu, dan masa mudamu semuanya disibukkan dan dihabiskan oleh hal-hal ini. Apakah semua itu ada artinya? Pada akhirnya, apa yang akan kauperoleh dari semua itu? Sekalipun engkau memperoleh gengsi dan keuntungan, itu tetap saja hampa. Bagaimana jika engkau mengubah cara hidupmu? Jika waktu, tenaga, dan pikiranmu hanya disibukkan oleh kebenaran dan prinsip-prinsip, dan jika engkau hanya memikirkan hal-hal yang positif, seperti cara melaksanakan tugasmu dengan baik, dan cara untuk datang ke hadapan Tuhan, dan jika engkau mencurahkan tenaga dan waktumu untuk hal-hal positif tersebut, apa yang kauperoleh akan berbeda. Apa yang kauperoleh akan memberimu manfaat yang paling nyata. Engkau akan mengetahui cara menjalani hidup, cara berperilaku, cara menghadapi segala macam orang, peristiwa, dan hal-hal. Setelah engkau mengetahui cara menghadapi segala macam orang, peristiwa, dan hal-hal, ini akan secara signifikan membuatmu tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan secara alami. Ketika engkau secara alami mampu tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan, maka bahkan tanpa kausadari, engkau akan menjadi jenis orang yang diterima dan dikasihi oleh Tuhan. Renungkanlah, bukankah itu hal yang baik? Mungkin engkau belum memahami hal ini, tetapi selama engkau menjalani hidupmu, dan selama engkau menerima firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, engkau tanpa sadar akan menjadi hidup, memandang orang dan hal-hal, dan berperilaku serta bertindak berdasarkan firman Tuhan. Ini berarti bahwa engkau tanpa sadar akan tunduk pada firman Tuhan, dan tunduk pada tuntutan-Nya serta melakukannya. Kemudian bahkan tanpa kausadari, engkau sudah menjadi jenis orang yang diterima, dipercaya, dan dikasihi oleh Tuhan. Bukankah itu sangat bagus? (Ya.) Oleh karena itu, jika engkau mencurahkan tenaga dan waktumu untuk mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasmu dengan baik, yang kauperoleh pada akhirnya adalah hal yang paling berharga" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku lebih mengerti nilai dan pentingnya mengejar kebenaran. Meskipun sekarang aku tidak sekaya sebelumnya, dan pakaianku tidak secerah dan sebagus sebelumnya, aku menikmati persediaan kehidupan dari Tuhan. Ini adalah sesuatu yang orang tak bisa dapatkan sebagai ganti uang sejumlah berapa pun. Aku memikirkan tentang bagaimana selama bertahun-tahun aku telah berulang kali memberontak terhadap Tuhan dan melukai hati-Nya, dan bagaimana aku telah menolak keselamatan dari Tuhan berkali-kali demi mengejar uang. Aku tidak menghargai kesempatan besar untuk melaksanakan tugasku, tetapi Tuhan selalu berada di sisiku dan menungguku untuk berubah. Dia tak berhenti menyelamatkanku. Setelah aku berhenti berbisnis, Tuhan tidak membiarkanku kedinginan atau kelaparan, dan Dia terus menyediakan bagiku dengan cara apa pun. Kasih karunia penyelamatan Tuhan tidak bisa dihitung, apalagi dibalas. Aku tak akan pernah menyesal memilih untuk mengikuti Tuhan di hidup ini. Terima kasih Tuhan atas keselamatan darimu. Segala kemuliaan bagi Tuhan!

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Pilihanku untuk Sisa Hidupku

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku...

Bangkitnya seorang Budak Uang

Oleh Saudari Xing Wu, Tiongkok Ketika aku muda, keluargaku miskin dan orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku, jadi, aku membuat dan...