Pilihan Seorang Guru

10 Agustus 2024

Ketika matahari terbenam di ufuk barat, di saat senja, pintu sebuah rumah peternakan kecil terbuka, dengan sehelai kain putih yang terikat di kenopnya, dan secercah sisa sinar mentari menembus tembok halaman batu bata merah yang belum dicat.

Sebuah peti mati teronggok di tengah lorong. Di depan peti mati tersebut, berlututlah seorang gadis berusia tujuh tahun, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun, dan seorang wanita pedesaan berusia tiga puluhan.

"Ibu, keluarga kita telah mengalami musibah. Mengapa tidak ada kerabat yang datang untuk membantu?" Suara lembut gadis tersebut memecah keheningan di dalam rumah itu.

"Setelah ayahmu meninggal, Ibu dan kalian hanya bisa mengandalkan satu sama lain. Tabungan kita habis karena penyakit ayahmu. Kerabat-kerabat kita membenci dan memandang rendah kita karena kita miskin. Mulai sekarang, kalian berdua harus bekerja keras, jangan biarkan orang lain memandang rendah kalian. Kuharap kalian berdua bisa memiliki masa depan yang cerah, menjadi orang sukses, dan mengubah takdir kita!" Sang ibu menyeka air matanya. Matanya tampak penuh dengan tekad, dan sambil memandang kedua anaknya yang masih kecil, dia berkata dengan sungguh-sungguh.

Gadis berusia tujuh tahun ini adalah An Ran.

Kenangan masa kecil ini terukir dalam di hati An Ran. Sejak kecil, An Ran tahu bahwa dia harus tekun. Berusaha agar menjadi unggul dan dikagumi orang lain adalah tujuan hidupnya. An Ran berusaha sangat keras di sekolah dan percaya bahwa hanya dengan giat belajarlah dia bisa memiliki masa depan yang cerah. Selama SD, An Ran hampir selalu menempati peringkat tiga teratas di kelasnya.

Di usia tiga belas tahun, saat An Ran masih SMP, seorang tetangga mengabarkan Injil Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman kepada ibunya. Hari itu, An Ran menemani ibunya menonton sebuah video tentang penciptaan awal Tuhan. Sejak hari itu, An Ran tahu bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan, dan ada Yang Berdaulat di tengah langit dan bumi dan segala sesuatu, yang membimbing serta memelihara seluruh umat manusia. Hati An Ran terasa hangat. Tuhan sangatlah baik!

Di usia lima belas tahun, karena tidak punya uang untuk bersekolah, An Ran terpaksa putus sekolah dan bekerja. Meskipun An Ran tahu bahwa percaya kepada Tuhan itu baik, dia merasa masih muda, dan masa depannya masih panjang. Dia tak mau menjalani kehidupan yang biasa saja tanpa prestasi. Kalau begitu, siapa yang akan menghormatinya? Jadi, dia memutuskan untuk bekerja keras dan menghasilkan uang, serta mencari pekerjaan yang bagus dan terhormat. Selama dia bisa membangun reputasinya, dia bisa hidup dengan mulia di depan orang lain dan tak lagi dipandang rendah. Otak An Ran sibuk memikirkan cara agar dia bisa segera menjadi orang sukses. Karena itu, dia hanya bisa menghadiri pertemuan sesekali di waktu luangnya.

Di suatu sore, saat An Ran berusia tujuh belas tahun, hawa panas masih belum hilang. Ceklek. Brak. Rangkaian suara pintu dibuka dan ditutup itu terdengar cepat dan jelas, diikuti dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Sepupunya sudah pulang.

"Ada apa? Apa ada masalah yang mendesak?" An Ran bertanya.

"Aku punya kabar baik untukmu. Sekolah kami sedang merekrut guru cepat-cepat. Aku sudah memperkenalkanmu kepada kepala sekolah. Jika kau bisa diterima, pekerjaan ini bergengsi dan bergaji tinggi." An Ran pun langsung bersemangat ketika mendengar kabar ini. Sejak kecil, dia sudah berharap untuk menjadi unggul dan memiliki reputasi suatu hari nanti. Kini, ada kesempatan bagus baginya untuk menjadi seorang guru, yang dianggap sebagai profesi yang terhormat. Dia tahu bahwa orang yang dapat bekerja di sekolah adalah lulusan perguruan tinggi, paling tidak dengan gelar D3. Tanpa bantuan sepupunya, bagaimana dia bisa memiliki kesempatan untuk bekerja di sekolah? Nanti, dia bisa mengikuti ujian untuk mendapatkan kualifikasi mengajar dan menjadi guru resmi. Kemudian dia bisa meraih ketenaran dan juga keuntungan, bukan? Saat hari itu tiba, tak seorang pun akan memandang rendah dirinya lagi. Setelah memikirkan hal ini, An Ran pun menyetujuinya tanpa ragu-ragu.

Saat An Ran keluar dari rumah sepupunya, hatinya mulai bergejolak. Jika nanti dia bekerja di sekolah swasta, artinya dia hanya libur dua minggu sekali, dan dia pasti tidak akan bisa menghadiri pertemuan. Pekerjaan Tuhan akan segera berakhir. Jika pekerjaannya memengaruhi kehadirannya di pertemuan, itu akan merusak kehidupannya. Namun, ini adalah kesempatan yang selalu dia impikan agar bisa menjadi unggul. An Ran tak mau melewatkannya. Setelah banyak berpikir, An Ran tetap memilih pekerjaan itu. Dia menghibur dirinya sendiri dengan berkata bahwa selama dia membaca lebih banyak firman Tuhan dan menghadiri pertemuan selama libur kerja, itu tidak masalah. Seharusnya dampaknya tak terlalu besar.

Di penghujung liburan musim panas, An Ran berhasil mendapatkan pekerjaan itu dan menjadi guru SD seperti yang dia harapkan. Akhirnya An Ran menemukan tempat untuk mewujudkan impiannya, dan dia begitu bersemangat, berusaha sangat keras dalam pekerjaan ini.

Di awal musim gugur, sekolahnya menyambut para siswa angkatan baru, dan lingkungan sekolahnya dipenuhi celotehan serta tawa riang. An Ran mengernyitkan alisnya, berjalan cepat ke gedung pembelajaran dengan setumpuk buku tugas di pelukannya, dan dia berpikir, "Persaingan antar kelas di sekolah ini sangat ketat. Nilai ujian kelas setiap guru menjadi fokus pembahasan di antara pimpinan dan direktur. Aku tak punya pengalaman mengajar. Ketika pertama kali memasuki sekolah ini, kelas-kelas yang kuajar mendapat nilai yang paling buruk di angkatannya. Jika ingin mengejar kelas-kelas lainnya, aku harus mencurahkan lebih banyak waktu dan upaya." An Ran sudah membuat keputusan: "Aku harus meningkatkan nilai ujian mereka dan menjadi guru yang unggul dan dipuji oleh orang tua muridnya." Setelah memikirkan hal ini, An Ran hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Ini adalah tekanan yang begitu besar!

Setelah itu, An Ran tak berani bersantai sedetik pun, seperti jarum jam yang berputar. Dia menjadi terbiasa bekerja lembur serta bergadang, dan di sore hari, dia mengoreksi tugas serta mengajar para siswa yang kesulitan untuk meningkatkan nilai mereka. Beberapa bulan kemudian, kelas-kelas yang diajar An Ran naik dari peringkat terakhir ke peringkat pertama dan kedua. Hasil ini meraih pujian dari orang tua murid dan penghormatan dari para pemimpin, yang sangat memuaskan kesombongan An Ran. Dia sangat senang, berjalan dengan percaya diri, dan merasa bangga ketika bertemu orang-orang dari desanya. Dia percaya bahwa semua kesukarannya sepadan, tak peduli betapa pun sulitnya dan melelahkannya itu.

Namun, di balik penampilan luarnya yang cemerlang, hanya dia yang tahu kesengsaraan dan penderitaan tiada akhir yang telah dia tanggung.

"Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, tak bisakah kau beralih ke pekerjaan yang tidak terlalu sibuk? Lihatlah dirimu, berat badanmu sudah turun lebih dari lima kilogram hanya dalam waktu satu setengah tahun, engkau selalu mengonsumsi obat serta disuntik, dan kau bekerja hingga kelelahan. Apakah kau sedang mencoba bunuh diri? Bagaimana kau bisa percaya kepada Tuhan jika menghadiri pertemuan saja tidak bisa? Apakah kau tetap bisa memahami kebenaran dan diselamatkan jika seperti ini?" Ibu An Ran duduk di sisi tempat tidur dan memarahi putrinya itu, dengan sorot mata yang penuh rasa kasihan.

"Ibu, aku tahu pekerjaan ini terlalu sibuk sampai-sampai aku tak sempat menghadiri pertemuan, tetapi ..." Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, tenggorokan An Ran mulai sakit.

Ibunya berbalik dan memberinya segelas air. Setelah ibunya pergi, An Ran mengingat kembali setahun yang lalu. Persaingan terbuka dan pertarungan tersembunyi di antara rekan kerja, sering bergadang, dan tekanan kerja telah membuat An Ran menderita insomnia, sering terganggu oleh mimpi buruk bahkan saat dia telah terlelap. Sistem imunnya menjadi sangat lemah, dan dia mengonsumsi obat hampir setiap hari. Dengan beban kerja yang berat setiap harinya, An Ran tak punya waktu ataupun tenaga untuk datang ke hadirat Tuhan. Dia merasa seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, dan hampir tak tahu apa pun selain bekerja. Terkadang, dia berpikir, "Haruskah aku beralih pekerjaan? Terus bekerja seperti ini benar-benar memengaruhi jalan masuk kehidupanku. Namun jika aku mengundurkan diri, bukankah impianku sejak kecil untuk menjadi unggul akan sepenuhnya hancur? Akankah aku mendapatkan kesempatan sebagus itu lagi?" Ekspresi kagum dari kerabat dan teman-teman, serta pujian dari orang tua murid dan pimpinan sekolah, semua inilah yang telah An Ran dambakan. "Seperti kata pepatah," pikirnya, "'Orang harus berani memperjuangkan martabat mereka.' Orang hidup untuk membuktikan diri mereka sendiri dan mendapat rasa hormat, bukan? Apa gunanya hidup jika kau menjadi orang yang biasa saja sepanjang hidupmu?" An Ran bangkit dan kembali ke mejanya, mengambil penanya dan melanjutkan rencana pembelajarannya. Dia telah membuat keputusan. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini. Selama dia memanfaatkan hari liburnya untuk makan dan minum firman Tuhan serta lebih sering menghadiri pertemuan, itu akan sama saja.

Selama Festival Musim Gugur 2011, saat membersihkan rumah bersama ibunya, tiba-tiba An Ran mendapati bahwa dia tak dapat mengangkat lengan kanannya, dan dia tidak berani menundukkan kepalanya. Ketika mencoba menundukkan kepalanya, dia mendengar suara retakan. An Ran pun takut dan bingung.

"Kau menderita penyakit bahu beku dan spondilosis servikal. Keduanya adalah penyakit akibat pekerjaan. Jika kau tidak segera mulai menjalani perawatan, ini bisa menjadi penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kondisi tubuhmu sangat buruk; kau harus segera mulai menjalani perawatan." Dokter di ruang medis memberikan saran dengan serius kepada An Ran.

Setelah mendengar perkataan dokter tersebut, An Ran merasa sangat takut: "Usiaku baru sembilan belas tahun. Hidupku baru saja dimulai, dan masih ada banyak impian yang harus kuwujudkan. Jika penyakit bahu beku dan spondilosis servikal ini memburuk, bagaimana aku akan menjalani hari-hariku nantinya? Akankah aku masih mampu pergi ke kelas dan bekerja dengan normal?" Memikirkan bahwa impiannya untuk sukses bisa hancur, An Ran merasa sangat enggan dan hanya bisa mengeluh, "Mengapa hidupku ini sangat sengsara? Mengapa aku tidak bisa mewujudkan keinginanku? Apakah aku ditakdirkan untuk dipandang rendah sepanjang hidupku?" Dia hanya bisa menangis.

Langit tampak kelabu, seolah akan turun salju. Angin dingin berembus, membuat orang-orang menggigil seakan mereka jatuh ke dalam gudang es.

An Ran meringkuk di tempat tidurnya, dengan wajah yang tampak sangat frustrasi. Dia merasa seolah tidak punya masa depan dan tidak bersemangat dalam segala hal yang dia lakukan. Dalam rasa sakitnya, dia hanya bisa datang ke hadirat Tuhan dalam doa, "Ya Tuhan, tiba-tiba aku menderita penyakit yang begitu serius, dan aku takut. Aku tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Setahun belakangan, aku bekerja sepanjang waktu dan jarang menghadiri pertemuan. Aku tahu ini tak selaras dengan maksud-Mu, tetapi aku tak sanggup melepaskan pekerjaanku. Hidupku terasa pahit, dan aku tak tahu mengapa semua ini telah terjadi kepadaku. Semoga Engkau mencerahkanku dan membantuku keluar dari rasa sakit ini."

Saat itu sedang liburan musim dingin, dan An Ran menghabiskan waktunya dengan menghadiri pertemuan atau membaca firman Tuhan di rumah. Dia sangat senang menonton film dan video Injil. Ketika dia melihat bahwa selama Zaman Kasih Karunia, banyak misionaris melakukan perjalanan jauh ke Tiongkok, meninggalkan keluarga dan pernikahan mereka, serta menanggung segala macam penganiayaan, tetapi mereka tetap tanpa lelah menyebarkan Injil dan dengan sukarela mengorbankan diri bagi Tuhan, tanpa menyesali pilihan mereka, An Ran merasa sangat terinspirasi. Dia berpikir, "Mereka telah percaya kepada Tuhan Yesus dengan begitu bersemangat, dan hari ini aku telah menerima pekerjaan Tuhan tahap ketiga, menyambut kembalinya Tuhan Yesus. Aku telah mendengar lebih banyak firman Tuhan dan memahami lebih banyak kebenaran serta misteri daripada mereka. Aku sudah menikmati begitu banyak penyiraman dan perbekalan dari firman Tuhan, jadi aku harus lebih banyak menyebarkan Injil dan memberikan kesaksian tentang Tuhan." An Ran teringat akan banyak saudara-saudari di sekitarnya yang telah melepaskan pernikahan dan pekerjaan, aktif melaksanakan tugas mereka di gereja dan membalas kasih Tuhan. Kini dia sudah percaya kepada Tuhan selama beberapa tahun, menikmati kasih karunia Tuhan, tetapi alih-alih melaksanakan tugasnya, menghadiri pertemuan secara rutin pun dia tak bisa. Dia bertanya-tanya apakah dia benar-benar percaya kepada Tuhan. Setelah mengingat kembali para saudari yang dahulu berkumpul dengannya, yang sekarang melaksanakan tugas mereka di gereja, sementara dia sendiri mengejar kekayaan, ketenaran, dan keuntungan, An Ran bertanya pada dirinya sendiri, "Mengapa aku tidak bisa berhenti mengejar kekayaan, ketenaran, dan keuntungan?"

Suatu hari, An Ran membaca satu bagian firman Tuhan: "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: meskipun manusia selalu terburu-buru dan menyibukkan diri mewakili dirinya sendiri, dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau mampu mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau akan tetap menjadi makhluk ciptaan? Singkatnya, terlepas dari bagaimana Tuhan bekerja, semua pekerjaan-Nya adalah demi manusia. Misalnya, perhatikanlah langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan untuk melayani manusia: bulan, matahari, dan bintang-bintang yang Dia ciptakan untuk manusia, hewan dan tumbuhan, musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, dan sebagainya—semuanya diciptakan demi keberadaan manusia. Jadi, terlepas dari bagaimana Tuhan menghajar dan menghakimi manusia, semua itu demi penyelamatan manusia. Meskipun Dia melucuti manusia dari harapan kedagingannya, itu adalah demi menyucikan manusia, dan penyucian manusia dilakukan agar dia dapat selamat. Tempat tujuan manusia berada di tangan Sang Pencipta, jadi bagaimana manusia bisa mengendalikan dirinya sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). An Ran memahami bahwa nasib manusia ada di tangan Tuhan dan tidak tunduk pada hasratnya sendiri. Dia menyadari bahwa dia hanyalah makhluk ciptaan yang tak berarti dan tidak dapat mengendalikan apa yang akan dia alami dalam hidup. Namun, dia selalu ingin melakukan segala sesuatu dengan caranya dan tidak tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Dia berpikir bahwa hidupnya sengsara karena dia jatuh sakit dan tidak dapat melanjutkan pekerjaannya atau menjadi unggul. Bukankah ini mengeluh kepada Tuhan? Setelah merenungkan satu tahun belakangan, An Ran menyadari bahwa hubungannya dengan Tuhan menjadi makin jauh karena dia fokus bekerja. Jika bukan karena penyakitnya, dia akan tetap fokus bekerja dan menghasilkan uang, tanpa ada waktu dan tenaga untuk datang ke hadirat Tuhan. Kini, meski fisiknya menderita, dia bisa menenangkan diri dan meluangkan waktu untuk membaca firman Tuhan, dan itu adalah hal yang bagus. An Ran rela untuk tunduk dan mencari maksud Tuhan.

Saat matahari terbit di musim dingin, kehangatannya sangat menarik hati. Sinar matahari menerangi setiap sudut halaman, menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan.

An Ran duduk di halaman, bersandar di kursinya, dan membaca firman Tuhan ini dengan tenang: "Sekaranglah saatnya Roh-Ku melakukan pekerjaan besar, dan saatnya Aku memulai pekerjaan-Ku di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi. Lebih dari itu, sekaranglah saatnya Aku mengelompokkan semua makhluk ciptaan, menempatkan setiap mereka ke dalam kategorinya masing-masing, sehingga pekerjaan-Ku dapat berlangsung lebih cepat dan lebih efektif. Dengan demikian, yang Kuminta dari engkau semua adalah supaya engkau mempersembahkan seluruh keberadaanmu untuk pekerjaan-Ku, dan terlebih lagi, supaya engkau memahami dengan jelas dan memastikan seluruh pekerjaan yang sudah Kukerjakan dalam dirimu, serta mengerahkan seluruh kekuatanmu ke dalam pekerjaan-Ku agar pekerjaan-Ku menjadi lebih efektif. Inilah yang harus engkau pahami. Berhentilah bertengkar di antaramu, mencari-cari jalan mundur, atau mencari-cari kenyamanan daging, yang akan menunda pekerjaan-Ku dan menunda masa depanmu yang indah. Bersikap seperti itu tidak akan mendatangkan perlindungan bagimu, melainkan akan mendatangkan kehancuran bagimu. Bukankah tindakan seperti ini bodoh? Apa yang engkau nikmati sekarang dengan serakah adalah hal yang merusak masa depanmu, sedangkan penderitaan yang engkau alami sekarang adalah hal yang melindungimu. Engkau harus menyadari hal-hal ini dengan jelas, agar dapat menghindarkan dirimu terjebak dalam pencobaan yang akan membuatmu sulit melepaskan diri, dan untuk menghindarkan dirimu terjebak dalam kabut tebal dan tidak mampu menemukan sinar matahari. Saat kabut tebal itu pergi, engkau akan mendapati dirimu berada di tengah penghakiman pada hari yang besar itu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan Menyebarkan Injil Juga Merupakan Pekerjaan Menyelamatkan Manusia"). Setelah merenungkan firman Tuhan, An Ran perlahan-lahan mulai mengerti bahwa sejak kecil, dia selalu berusaha untuk menjadi unggul, ingin mengubah nasibnya dengan tangannya sendiri. Dia selalu merasa bahwa orang harus sukses di dunia dan dikagumi oleh orang lain. Jika tidak, hidup akan menjadi tak bermakna. Apa gunanya hidup jika tetap menjadi orang kelas bawah? Dalam mengejar keunggulan dan kemuliaan, An Ran bekerja keras untuk menghasilkan uang, setelah menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, meskipun dia tahu bahwa tahap pekerjaan ini ditujukan untuk mentahirkan dan mengubah orang, bahwa ini adalah tahap terakhir dari pekerjaan Tuhan, dan bahwa tahap pekerjaan ini hanya datang sekali seumur hidup, dan jika dia melewatkan itu, dia akan kehilangan kesempatan untuk diselamatkan, dia justru menjauh dari Tuhan demi mengejar kekayaan, ketenaran, dan keuntungan, dan menjadikan pemenuhan cita-cita dan hasratnya serta pengejaran keunggulan sebagai nilai kehidupan. Karena itu, dia bekerja tanpa henti, berjuang keras dalam pusaran ketenaran, keuntungan, dan kekayaan, yang akhirnya membuat fisiknya begitu menderita dan kesakitan. Yang terpenting, dia menjauhkan diri dari Tuhan dan mengkhianati-Nya agar bisa menjadi unggul dan demi apa yang disebut sebagai masa depan ini, sehingga menunda kesempatan untuk berkumpul dengan yang lainnya dan memperoleh kebenaran. Bukankah ini yang diucapkan firman Tuhan: "Apa yang engkau nikmati sekarang dengan serakah adalah hal yang merusak masa depanmu"? Pengejaran akan kekayaan, ketenaran, dan keuntungan tidak menghasilkan masa depan yang baik; itu justru mencelakakan dan menghancurkan diri sendiri! An Ran menyadari bahwa meskipun penyakit ini membuatnya menderita, ini juga menghalangi pengejarannya akan ketenaran dan keuntungan. Dari luar, penyakit ini seperti menghancurkan impiannya, tetapi sebenarnya justru melindunginya. Melalui penyakit ini, An Ran mampu datang ke hadirat Tuhan, merenungkan jalannya sendiri, dan benar-benar merenungkan hidupnya. Mana yang lebih penting, mengejar kebenaran dan kehidupan, atau ketenaran dan keuntungan? Pada saat itu, An Ran tersadar, dan terpikir akan firman dalam Alkitab: "Aku telah melihat semua pekerjaan yang dilakukan manusia di bumi, dan lihatlah, semuanya sia-sia dan upaya menangkap angin" (Pengkhotbah 1:14). "Apa untungnya jika seseorang mampu mendapatkan seluruh dunia, dan kehilangan jiwanya sendiri? Atau apa yang bisa diberikan seseorang sebagai ganti jiwanya?" (Matius 16:26). Kekayaan, ketenaran, dan keuntungan dapat membawa kenikmatan sesaat dan membuat orang menjadi tenar serta dihormati orang lain, tetapi jika itu berarti kehilangan kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan keselamatan, itu sama saja dengan mengorbankan nyawa. Apa maknanya?

An Ran terus membaca bagian lain dari firman Tuhan: "Yang Mahakuasa berbelas kasihan kepada orang-orang yang sudah sangat menderita ini; pada saat yang sama, Dia sangat membenci orang-orang yang tidak memiliki kesadaran ini, karena Dia harus menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawaban dari umat manusia. Dia ingin mencari, mencari hati dan rohmu, untuk membawakanmu air dan makanan, serta membangunkanmu, agar engkau tidak akan haus dan lapar lagi. Ketika engkau letih dan ketika engkau mulai merasakan adanya ketandusan yang suram di dunia ini, jangan kebingungan, jangan menangis. Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Penjaga, akan menyambut kedatanganmu setiap saat. Dia berjaga di sisimu, menantikanmu untuk berbalik. Dia menantikan hari ketika engkau tiba-tiba memperoleh kembali ingatanmu: ketika engkau menyadari bahwa engkau berasal dari Tuhan, bahwa, entah kapan, engkau kehilangan arah, entah kapan, engkau kehilangan kesadaran di jalan, dan entah kapan, engkau mendapatkan seorang 'bapa'; selanjutnya, ketika engkau menyadari bahwa Yang Mahakuasa selama ini selalu berjaga, menantikan di sana sangat lama untuk kedatanganmu kembali. Dia telah menanti dengan penuh kerinduan, menunggu respons tanpa jawaban. Penjagaan dan penantian-Nya begitu tak ternilai, dan semua itu adalah demi hati manusia dan roh manusia. Mungkin penjagaan dan penantian ini tidak berbatas waktu, dan mungkin semua itu sudah berakhir. Namun, engkau harus tahu persis di mana hati dan rohmu berada saat ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keluhan Yang Mahakuasa"). Melihat firman Tuhan yang berulang kali memanggil umat manusia, hati An Ran sangat tersentuh, dan air mata mengaburkan pandangannya. Hatinya terasa lega, "Ternyata, Tuhan selalu menungguku kembali, tak pernah menyerah untuk menyelamatkanku." An Ran menyadari bahwa dia telah mendengar suara Tuhan sejak lama dan telah membaca banyak firman Tuhan. Dia tahu bahwa di akhir zaman, Tuhan telah menjadi daging untuk menyelamatkan umat manusia secara pribadi. Ini adalah kesempatan yang sangat langka. Namun, dia terlalu keras kepala, dan hatinya mati rasa. Dia mencurahkan pemikiran, tenaga, dan waktunya untuk bekerja demi menghasilkan uang, mengejar rasa hormat dari orang lain, dan berjuang meninggikan dirinya sendiri. Jika terus menempuh jalan ini, dia hanya akan kelelahan dan sepenuhnya menjadi korban ketenaran serta keuntungan, tidak mampu mendapatkan masa depan yang baik dan pada akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Pada saat itu, An Ran merasa sangat tersentuh, dan matanya berkaca-kaca. Dia menyadari bahwa semua yang telah Tuhan berikan kepadanya adalah kasih dan keselamatan, sementara dia membalas itu dengan penolakan, pengelakan, dan penentangan. Dia merasa berutang budi kepada Tuhan. Diam-diam, dia bertekad untuk dengan sungguh-sungguh makan dan minum firman Tuhan, berpartisipasi dalam pertemuan, dan tidak pernah lagi terpuruk dalam keputusasaan dan perasaan direndahkan.

Kemudian dia mendengarkan pembacaan firman Tuhan: "Engkau adalah makhluk ciptaan—engkau tentu saja harus menyembah Tuhan dan mengejar kehidupan yang bermakna. Jika engkau semua tidak menyembah Tuhan tetapi hidup dalam dagingmu yang kotor, lalu bukankah engkau hanyalah binatang buas yang mengenakan pakaian manusia? Karena engkau adalah manusia, engkau harus mengorbankan dirimu bagi Tuhan dan menanggung semua penderitaan! Engkau harus dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu menerima sedikit penderitaan yang engkau alami sekarang dan menjalani kehidupan yang bermakna, seperti Ayub dan Petrus. Di dunia ini, manusia mengenakan pakaian setan, makan makanan dari setan, serta bekerja dan melayani di bawah kendali iblis, menjadi sangat terinjak-injak dalam kotorannya. Jika engkau tidak memahami makna kehidupan atau mendapatkan jalan yang benar, lalu apa artinya hidup seperti ini? Engkau semua adalah orang-orang yang mengejar jalan yang benar dan yang mencari peningkatan. Engkau semua adalah orang-orang yang bangkit di negara si naga merah yang sangat besar, mereka yang Tuhan sebut orang benar. Bukankah itu kehidupan yang paling bermakna?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (2)"). Setelah mendengarkan firman Tuhan, An Ran menemukan tujuan hidup yang benar, merasa sangat lepas dan tenang. Dia merenungkan tahun-tahun yang telah dia jalani demi ketenaran dan keuntungan, sehingga membuat dirinya begitu menderita karena hasrat untuk menjadi unggul, terbebani dengan tekanan, rasa sakit, serta kesengsaraan, dan pada akhirnya dia akan dibinasakan bersama Iblis. Semua ini karena hidup berdasarkan pandangan hidup yang keliru. Kini An Ran memahami bahwa kekayaan, status, ketenaran, dan keuntungan, semuanya kosong. Sebagai makhluk ciptaan, hidup untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, mengejar kebenaran, dan mengenal Tuhan adalah hidup yang paling bermakna. Jika dia dapat bersungguh-sungguh mengejar kebenaran selama pekerjaan Tuhan dan menyingkirkan wataknya yang rusak, pada akhirnya dia bisa menjadi seseorang yang diperkenan oleh Tuhan. Sekalipun dia tidak mendapat penghormatan dari orang lain selama hidupnya, diperkenan oleh Tuhan adalah penghormatan yang tertinggi. Jika memikirkan begitu banyak saudara-saudari, beberapa adalah lulusan perguruan tinggi, dan beberapa lainnya menjalankan bisnis keluarga. Mereka mampu meninggalkan ketenaran serta keuntungan mereka sendiri demi melaksanakan tugas. Memangnya seorang guru biasa seperti An Ran tidak bisa melepaskan apa? An Ran menutup buku firman Tuhan miliknya, berlutut, dan berdoa, "Tuhan, aku telah memberontak, hidup dalam pengejaran akan kekayaan, ketenaran, serta keuntungan, dan tak mau datang ke hadirat-Mu. Hari ini, aku terbangun dan menyadari bahwa mengorbankan hidupku demi ketenaran, keuntungan, dan kekayaan tidaklah sepadan. Tuhan, terima kasih karena tak pernah menyerah untuk menyelamatkanku dan selalu menungguku kembali. Mulai saat ini dan seterusnya, aku bersedia untuk fokus makan dan minum firman-Mu, lebih sering berpartisipasi dalam pertemuan, dan melaksanakan tugasku. Aku tak mau lagi dibodohi dan dicelakai oleh Iblis." Setelah berdoa, hati An Ran terasa mantap. Di hari-hari berikutnya, dia dengan tekun makan dan minum firman Tuhan setiap hari dan lebih sering menghadiri pertemuan.

Tak lama setelah Festival Musim Semi, seorang teman sekelas yang sudah lama tidak berkontak dengan An Ran tiba-tiba meneleponnya, menawarinya pekerjaan di program usai-sekolah di kota, di mana dia akan mengajar murid-murid di jam makan saja. Meskipun pekerjaan ini memberi gaji yang lebih sedikit dan tidak membuatnya dihormati serta dikagumi, An Ran sangat senang karena memiliki lebih banyak waktu untuk makan dan minum firman Tuhan serta melaksanakan tugasnya.

Di Minggu pagi lainnya, saat An Ran berjalan pulang, orang-orang berjalan dengan cepat ke sana kemari di sepanjang jalan, sementara dia memperlambat langkahnya. Dia sangat bingung. Kemarin, sepupunya meneleponnya, mendesaknya untuk kembali bekerja di sekolah itu; para kerabatnya pun mendesaknya. An Ran merenung: Penyakitnya telah membaik, dan dia masih muda. Mengapa tidak dia coba lagi saja? Jika dia kembali ke sekolah itu, orang lain akan menghormati dan mengaguminya.

Saat angin berembus, An Ran teringat akan hari-harinya yang sengsara di sekolah. Kini, akhirnya dia berhasil keluar, dan mampu dengan normal menghadiri pertemuan, makan dan minum firman Tuhan, serta melaksanakan tugasnya. Jika dia kembali bekerja di sekolah itu, bukankah itu namanya mencari kesukaran?

Setelah memikirkan hal ini, An Ran mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada sepupunya, menolak dengan sopan.

Tin! Suara klakson berbunyi, sebuah mobil pun berhenti di depan An Ran. Dia mengambil kopernya dan mulai menempuh jalan melaksanakan tugasnya.

An Ran duduk di sisi jendela dan mengenang perjalanannya, dari seseorang yang begitu terjebak oleh uang, ketenaran, dan keuntungan, menjadi seorang anggota yang melaksanakan tugasnya di rumah Tuhan. Memang, setiap langkah dibimbing oleh Tuhan dan dipenuhi dengan begitu banyak kasih dan keselamatan dari Tuhan. Jika bukan karena firman Tuhan yang memberikan pencerahan dan bimbingan, dia akan tetap terjebak dalam pusaran ketenaran, keuntungan, dan status. Dia bersyukur kepada Tuhan di dalam hatinya, hanya ingin menghargai waktu yang berharga yang dia miliki sekarang, dengan sungguh-sungguh mengejar kebenaran, dan melaksanakan tugasnya untuk menghibur hati Tuhan.

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait

Pilihanku untuk Sisa Hidupku

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku...