Firman Tuhan Harian: Mengenal Tuhan | Kutipan 126

Enam Titik Peristiwa Penting dalam Kehidupan Seorang Manusia (Bagian-bagian Pilihan)

Keturunan: Titik Peristiwa Kelima

Setelah menikah, seseorang mulai mengurus generasi selanjutnya. Ia tidak punya pilihan atas berapa jumlah anak serta sifat seperti apa yang kelak dimiliki anaknya; hal-hal ini juga ditentukan oleh nasib seseorang, yang ditentukan sejak semula oleh Sang Pencipta. Ini merupakan titik peristiwa kelima yang harus dilalui seseorang.

Jika seseorang lahir dalam rangka memenuhi peranan sebagai anak dari orang lain, ia akan membesarkan generasi selanjutnya untuk memenuhi peran sebagai orang tua dari orang lain. Perubahan peran ini membuatnya mengalami berbagai fase kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini juga memberikannya sejumlah pengalaman hidup berbeda, yang menjadikan dia mengenal kedaulatan Sang Pencipta, dan juga menjadi fakta bahwa tidak ada yang bisa melangkahi atau merubah penetapan Sang Pencipta.

1. Orang Tidak Punya Kendali Atas Masa Depan Keturunannya

Kelahiran, pertumbuhan, dan pernikahan semuanya datang dengan jenis dan derajat kekecewaan yang berbeda. Sebagian orang merasa tidak puas dengan keluarga atau dengan penampilan fisik mereka; sebagian tidak menyukai orang tua mereka; sebagian lagi membenci atau mengalami banyak konflik dalam lingkungan tempat mereka bertumbuh. Dan bagi kebanyakan orang, di antara sejumlah kekecewaan ini, pernikahan adalah yang paling tidak memuaskan. Tidak peduli seberapa tidak puas seseorang dengan kelahiran, pertumbuhan, atau pernikahannya, semua orang yang sudah melalui semuanya itu tahu bahwa tidak seorang pun yang dapat memilih di mana dan kapan ia dilahirkan, bagaimana penampilan fisiknya, siapa yang menjadi orang tuanya, siapa yang menjadi pasangannya, dan harus menerima kehendak Surga. Tetapi ketika datang waktu baginya untuk membesarkan generasi selanjutnya, mereka cenderung memproyeksikan semua keinginan terpendam selama paruh pertama kehidupan mereka kepada keturunan mereka, seraya berharap bahwa keturunan mereka dapat menebus semua kekecewaan yang dahulu mereka alami di paruh pertama hidup mereka. Orang-orang biasanya memuaskan diri dalam berbagai fantasi akan anak-anak mereka: bahwa putri-putri mereka akan bertumbuh menjadi wanita jelita, putra-putra mereka menjadi pria-pria gagah, bahwa putri-putri mereka akan menjadi terpelajar dan berbakat dan putra-putra mereka akan menjadi pelajar brilian dan atlet bintang; bahwa putri-putri mereka akan lemah lembut, saleh, dan arif, bahwa putra-putra mereka akan menjadi pandai, bisa diandalkan, dan sensitif. Mereka berharap agar anak-anak mereka akan menghormati orang-orang tua, akan peka terhadap orang tua mereka, dikasihi dan dipuji oleh semua orang .... Pada tahap ini harapan akan kehidupan kembali mekar, dan semangat baru menyala di dalam hati mereka. Orang tahu bahwa mereka tidak berdaya dan tidak punya harapan dalam hidup, bahwa mereka tidak akan punya kesempatan lain, harapan lain, untuk menjadi berbeda dari orang lain, dan bahwa mereka tidak punya pilihan selain menerima nasib mereka. Karenanya mereka memproyeksikan semua harapan mereka, semua hasrat tak terpenuhi dan impian mereka ke generasi selanjutnya, dengan harapan bahwa keturunan mereka dapat membantu mereka mencapai impian dan mewujudkan keinginan mereka; bahwa putra-putri mereka akan membawa kehormatan bagi keluarga mereka, menjadi orang penting, kaya, atau terkenal; singkatnya, mereka ingin melihat kekayaan anak-anak mereka melejit. Orang-orang punya rencana dan fantasi sempurna; tidakkah mereka sadar bahwa jumlah anak yang mereka miliki, penampilan anak mereka, kemampuan anak mereka, dan hal-hal lainnya tidak bisa mereka putuskan? Bahwa nasib anak-anak mereka tidak ada di dalam genggaman mereka? Manusia bukanlah tuan atas nasib mereka sendiri, namun mereka berharap bisa mengubah nasib generasi muda; mereka tidak berdaya menghindari nasib mereka sendiri, namun mencoba mengendalikan nasib putra-putri mereka. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka terlalu memandang tinggi diri mereka sendiri? Bukankah ini menunjukkan kebodohan dan kebebalan manusia? Orang-orang berbuat apa saja demi kebaikan keturunan mereka, tetapi pada akhirnya, berapa banyak anak yang mereka miliki, dan seperti apa anak-anak mereka, pada akhirnya tidak menjawab rencana dan keinginan mereka. Sebagian orang berkekurangan tetapi memiliki banyak anak; sebagian lagi kaya raya tetapi tidak punya keturunan. Sebagian orang menginginkan anak perempuan, tetapi keinginan itu tidak terpenuhi; sebagian lagi menginginkan seorang putra tetapi gagal melahirkan anak laki-laki. Sebagian orang memandang anak sebagai berkat; sedangkan sebagian lain melihatnya sebagai kutukan. Ada pasangan yang pandai, tetapi melahirkan anak-anak yang lamban dalam berpikir; ada orang tua yang rajin dan jujur, namun membesarkan anak-anak yang malas. Ada orang tua yang baik dan jujur, namun anak-anak mereka ternyata licik dan jahat. Sebagian orang tua tanpa cacat fisik dan mental, tetapi melahirkan anak-anak berkebutuhan khusus. Ada orang tua yang biasa-biasa saja dan tidak berhasil namun punya anak-anak yang mencapai hal-hal luar biasa. Sebagian orang tua statusnya rendah, tetapi anak-anak mereka masyhur. ...

2. Setelah Membesarkan Generasi Selanjutnya, Orang-orang Mendapatkan Pengertian Baru tentang Nasib

Kebanyakan orang menikah pada usia tiga puluh tahunan, dan pada titik kehidupan tersebut seseorang tidak punya pemahaman akan nasib manusia. Tetapi saat mereka mulai membesarkan anak-anak, seiring bertumbuhnya keturunan mereka, mereka menyaksikan generasi baru mengulang kehidupan dan segala pengalaman yang dilalui pendahulu mereka, dan mereka melihat masa lalu mereka sendiri dalam diri generasi baru dan menyadari bahwa jalan yang ditapaki oleh generasi muda, layaknya jalan yang mereka tapaki dahulu, tidak bisa direncanakan atau dipilih. Dihadapkan pada fakta ini, mereka tidak punya pilihan selain mengakui bahwa nasib setiap orang telah ditentukan sejak semula; dan tanpa mereka sadari perlahan-lahan mereka mengesampingkan keinginan mereka sendiri, kemudian semangat dalam hati mereka layu dan mati .... Dalam periode waktu ini, seseorang telah melewati sebagian besar titik perhentian dalam hidup dan telah menemukan pemahaman baru akan hidup, dan menyikapi hidup dengan cara yang baru. Apa lagi yang bisa diharapkan seseorang pada usia ini dari masa depan dan prospek mereka? Wanita berumur lima puluh tahun macam apakah yang masih memimpikan Pangeran Tampan? Lelaki berumur lima puluh tahun macam apakah yang masih mencari Putri Salju? Perempuan paruh baya macam apa yang masih berharap bisa berubah dari si itik buruk rupa menjadi angsa rupawan? Apakah sebagian besar pria paruh baya masih memiliki semangat berkarier yang sama dengan yang masih muda? Singkatnya, baik pria maupun wanita, ketika telah hidup mencapai umur ini biasanya akan memiliki sikap yang relatif rasional dan praktis terhadap pernikahan, keluarga, dan keturunan. Seseorang pada tahap ini biasanya tidak punya banyak pilihan tersisa, tidak ada lagi hasrat untuk menantang nasib. Dalam perkara pengalaman manusia, ketika seseorang mencapai usia ini, ia akan mengembangkan sikap seperti ini: "Seseorang harus menerima nasib; anak-anak punya nasib mereka sendiri; nasib manusia telah diatur sejak semula oleh Surga." Sebagian besar yang tidak paham akan kebenaran, setelah menghadapi berbagai kemalangan, frustasi, dan kesulitan dunia, akan merangkum pandangan mereka terhadap kehidupan manusia dalam kata-kata berikut: "Itulah nasib!" Walaupun frasa ini merangkum kesimpulan dan kesadaran duniawi orang-orang akan nasib manusia, meskipun frasa tersebut mengungkapkan ketidakberdayaan manusia dan dapat dikatakan cukup tepat, cara pandang demikian masih jauh dari pemahaman akan kedaulatan Sang Pencipta, dan tidak seharusnya menggantikan pengetahuan akan otoritas Sang Pencipta.

—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"

Jika Tuhan telah membantu Anda, apakah Anda mau belajar firman Tuhan, mendekat kepada Tuhan dan terima berkat Tuhan?

Konten Terkait